#Stagnan
Explore tagged Tumblr posts
Text
heart feels so heavy tonight :/
#idk i'm okay but i'm just struggling a bit these days like i'm not back at uni yet until another week or so n idk it doesn't feel like i'm d#oing anything even tho i am n like#i appreciate this time to rest n everything n i know i'll think abt it more when things are busier again it just makes me feel a bit stagnan#t esp in comparison to peers but ik i shouldnt think like that n i am grateful for everything#diary#tiyas thoughts
55 notes
·
View notes
Text
Tidak Sesempit Itu
Dua pekan lalu, aku hadir dalam sebuah temu virtual. Dalam sesi tersebut, dibahas tentang bagaimana pentingnya memperkuat ibadah, bukan hanya tentang yang wajib, namun juga yang sunnah.
Di sesi itu, aku menyempatkan diri bertanya.
"Mbak, gimana sih caranya mengembalikan ritme ibadah setelah futur dalam waktu yang lama? Seperti aku yang secara ibadah nggak bisa semudah dulu saat sebelum menikah ataupun punya anak."
Saat itu pertanyaanku dijawab dengan,
"Intinya, di saat kita merasa futur, ada yang tidak baik-baik saja, langsung gempur dengan ibadah. Dengan tilawah misalnya."
"Memang setiap fase baru, ketika kita mendapatkan suatu amanah baru, cenderung kita akan mengalami penurunan atau futur. Amanah apa pun."
Seketika aku teringat. Iya ya. Entah itu aku yang berubah status dari anak SMA ke anak kuliah, dari kuliah ke sekolah profesi, dari sekolah profesi ke bekerja.. masa-masa futur dalam peralihannya selalu ada.
"..Dan cara terbaik untuk mengatasinya adalah dengan menyegerakan ibadah."
Dijawab seperti itu, ada rasa bersalah menggelayut di hati.
Ah, aku memang kurang bersegera ya....
Melihat kilas balikku beberapa tahun ini dengan amanah baru.. aku merasa masih stagnan dalam hal ibadah. Padahal, ketika dulu sebelum menerima amanah untuk menjadi seorang istri dan ibu, rasanya tak kurang-kurang ikhtiar dan doa yang dilakukan supaya Allah lekaskan, Allah lancarkan.
Aku merasa bersalah, maaf ya Allah...
Usai temu virtual, aku menerima pesan di gawai.
"Bismillah. Mau nambahi jawaban tadi.
Jadi emang ada masa “ibu rentan depresi karena meerasa ibadahnya nggak semantep masih gadis”
Tapiiiii, Allah baik banget mai. Kita nyiapin makanan untuk keluarga juga bisa jadi ibadah, diniatin untuk nabung amal sholih. Sambil “dikejar” kuantitas ibadah yg pernah dilakuin semasa gadis 🥰"
Aku membalasnya dengan emoji menangis.
Aku tersadar. Selama ini aku memandang ibadah hanya sebatas dalam konteks ritual. Sholat, mengaji, bersedekah, puasa, dll.
Aku tahu bahwa mengurus rumah tangga dan mengasuh anak juga adalah bagian dari ibadah. Tapi, kurasa kesalahanku disini adalah, tidak menganggap aktivitas rumah tangga sebagai ibadah yang setara dengan ibadah ritual.
Ya Allah, maafkan aku..
Setelah ini, kuniatkan untuk lebih berkesadaran. Menyadari bahwa dalam setiap aktivitasku saat ini adalah bagian dari ibadah, bentuk penghambaan diri kepada Allah. Semoga, itu membuatku lebih lapang untuk menikmati ritme hidupku sekarang.
Benar. Makna ibadah tidak sesempit itu.
Ya Allah, maafkan diri yang sudah berburuk sangka.
Seringkali aku lupa, sempitnya hidup yang dirasa, itu karena hati yang terbatas dalam memaknai peristiwa.
Sementara karunia Allah, terlampau lapang untuk ternodai dengan buruknya prasangka manusia.
71 notes
·
View notes
Text
Zonasi
Kalau di 2007 ada sistem zonasi, mungkin sekarang aku berakhir sebagai ibu 3-4 anak, gak kuliah, dan bekerja jadi buruh pabrik gaji sejuta/bulan di desa.
Gak akan ada "jiwa kompetitif" karna bersekolah di sekolah favorit satu kabupaten. Perlu bangun pagi, berangkat 05.45 biar bisa ngejar angkot ke Kota yang jaraknya 27km, sampai di sekolah 06.30. Pulang jam 3 sore, repeated again and again for 3 years.
"Untung" aku gak sekolah di SMA "favorit" di kecamatan ku, yang mana 90% teman SMP pasti sekolah disana. Pikir ku, bersekolah di kecamatan tidak ada "prestige" nya. Kalau dipikir sekarang, bukan soal prestige, lebih ke, lingkungan yang support untuk belajar, dengan teman-teman yang cukup "ambis".
Anak "kota" gak akan paham gimana rasanya bersekolah dengan fasilitas biasa dan teman-teman yang malas. Si anak desa ini, somehow, butuh lingkungan yang kondusif biar ga terus-terusan "miskin" pemikiran.
Mungkin zonasi bisa works di kota besar, tapi GAK di desa/kabupaten. Mereka, anak-anak "kampung" yang pintar, butuh lingkungan yang "pintar" di kabupaten/kota nya. Berlian butuh berlian lagi, bukan malah disimpen di pasir dan jadi stagnan sendirian.
Sistem zonasi hanya membuat sisi anak-anak medioker (yang porsinya besar) untuk malas-malasan semakin tinggi. Padahal, kalo mereka bisa di lingkungan yang "banyak orang pinternya", mereka bisa ikutan "pinter" walau dipandang "gak pinter-pinter" amat.
Yang ngide sistem zonasi siapa sih? gak aneh ada tiktok berseliweran kalo Jakarta itu termasuk ke Provinsi Jawa timur.
22 Oktober 2024
60 notes
·
View notes
Text
Harta yang Dicintai
Secara terang benderang, Allah mengatakan dalam kitabNya kalau kita sebagai manusia, salah satun ujiannya adalah ketakutan akan kekurangan harta, alias takut miskin. Itu perasaan manusiawi yang dirasakan manusia, karena memang itu salah satu ujian yang dirasakan. Bahkan dengan sebertumpuk-tumpuk harta yang dimiliki, masih merasa kurang karena takut miskin tadi, heuheuu...
Rasanya pas lagi di fase Quater Life Crisis, salah satu hal yang jadi concern kita adalah uang yang didapatkan dari pekerjaan. Apakah bisa menghasilkan sejumlah tertentu, senominal sekian. Apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan diri, sehingga tidak sadar secara alam bawah sadar apa yang menjadi "driven" kita adalah uang tadi.
Kita jadi memandang dan menilai sesuatu, jika ada uangnya. Syukur-syukur ada uangnya. Bahkan menilai apa yang dilakukan orang lain, dengan cara pandang uang. Menimbulkan perasaan iri dan dengki, perasaan hasad atas perolehan materi orang lain.
Tambah umur, ketika kebutuhan semakin bertambah. Mulai memikirkan beli rumah, kendaraan, dan segala hal yang memerlukan uang. Makin khawatir, apakah bisa? Terutama dari pendapatan saat ini yang mungkin udah stagnan selama beberapa tahun terakhir, kalau ada pertumbuhan, kalah dengan laju inflasi.
Tambah peran, ada hal-hal baru lainnya. Biaya pendidikan anak dan sebagainya. Seterusnya, tidak ada habisnya. Dan perasaan takut kekurangan akan harta itu terus menyelimuti ruang hati. Perasaan takut miskin. Perasaan yang membuat cara pandang kita pada hidup, dinilai dari uang/harta.
Sampai-sampai bebal dan mati hati kita untuk merasa tenang menerima nasihat-nasihat baik, bahwa sesungguhnya hidup ini sudah dicukupkan rezekinya sama Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Makin berumur, dari kepala dua ke kepala tiga, dari kepala tiga menuju kepala empat. Salah satu hal yang bisa menjadi kunci dari ketenangan hidup yang sedang diusahakan adalah melepaskan diri dari keterikatan kepada dunia, dalam konteks ini adalah harta. Sampai-sampai perasaan iri itu bukan pada orang yang berlebihan secara materi, tapi kepada orang-orang yang begitu tenang dan damai hatinya, yang tidak cemas sedikitpun soal rezekinya. Layaknya burung-burung yang pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang, Allah yang jamin rezekinya.
Memang manusiawi rasanya mengalami ketakutan itu. Tapi, mari bebagai upaya kita lakukan untuk bisa memerahi perasaan takut itu. Agar rasa takut miskin itu tidak menjadi dasar sikap, cara pandang, dan cara hidup kita seterusnya. Berusaha menginternalisasi konsep bahwa rezeki itu sudah diatur, insyaallah dicukupkan, ada jalannya. Fokus kita adalah berikhtiar dan jangan terlalu mencintai dunia yang kita tumpuk-tumpuk di tabungan itu.
Bersedekahlah dengan harta yang kita cintai itu. #NTMS
197 notes
·
View notes
Text
Hidup yang Begini-Begini Saja
Aku sering berpikir, sepertinya poin paling besar yang menjadi pembeda seseorang dengan orang lain adalah dirinya sendiri; ceritanya, perjalanannya dan kompleksitas cara berpikirnya. Itu kenapa aku sering sekali merasa seharusnya aku menuliskan ceritaku, perjalananku, dan semua huru-hara hidup yang membuat jatuh bangun.
Namun di sisi lain, masih sering sekali skeptis sama diri sendiri; 'Memang apa yang kau tawarkan dari cerita itu? Hei, lihat dirimu, masih saja terlunta-lunta urusan hidup.' Tapi, itu menariknya kan? Kita sering melihat, cerita duka hanya dibaca jika disampaikan oleh orang yang sudah bersuka ria. Cerita sedih dilirik jika sudah ada titik bahagia. Kegagalan didengarkan saat ada kesuksesan yang turut bisa dijual. Lalu kenapa kita yang seringnya merasa masih begini-begini saja, bersusah payah untuk didengarkan dengan berbagai strategi dan upaya, padahal kisah sendiri adalah kisah yang tiada duanya. Tapi sebenarnya apa itu menjadi begini-begini saja?
Uang? Kekuasaan? Kecantikan? Popularitas? Semua itukah yang membuat kita menjadi seseorang? Atau terlalu naif kita untuk memahami, bahwa banyak hal yang terjadi dalam hidup ini meski tanpa semua itu.
Aku tak cukup bijak untuk mengambil kesimpulan, tak cukup lainnya untuk didengarkan, namun ayolah, untuk diri sendiri setidaknya kita mau menerima dan mengerti, bertahan sejauh ini menjadi seseorang yang memahami kebaikan bukankah sebuah pencapain? Mari sama-sama hitung orang di sekitar kita, berapa hati yang menghilangkan kebaikan dalam dirinya demi semua hal yang sifatnya materi itu? Bahkan tanpa sadar kita sering melakukannya.
Pemahaman ini, pelajaran ini, bisa jadi sesuatu yang diketahui banyak orang. Tapi ada saja alasan yang digunakan untuk memaklumi bahwa adil menjalani kehidupan yang penuh kelicikan dan kepura-puraan demi semua pencapaian yang hingar bingar. Sehingga hadirlah sentimen bahwa menjadi seseorang yang berintegrasi dengan kejujuran, kebaikan dan prinsip menjalani hidup tidak seperti orang kebanyakan menjadi sebuah pilihan yang terlalu naif. Sayangnya aku juga pernah percaya itu.
Pada satu titik aku juga pernah menjadi si orang paling stress bahkan depresi akan hidup yang masih begini-begini saja. Melihat kiri kanan yang penuh dengan pencapaian, mendengar depan belakang yang penuh tekanan. Titik yang akhirnya membuat diri tak hanya stagnan dalam bergerak namun juga berhenti dalam berpikir. Hanya karena agar sama dengan orang lain, agar diterima di semua kalangan, dan agar-agar lain yang kalau kupikirkan sekarang, untuk apa?
Mungkin jika tidak melalui semua itu tak banyak yang kupelajari soal hidup. Mungkin hidup yang begini-begini saja adalah pengalaman yang tidak sembarang orang miliki, jadi kenapa harus merasa bahwa tak ada hal yang bisa kuceritakan sebab aku masih begini-begini saja?
Aceh, 02 Mei 2024
114 notes
·
View notes
Text
Memulai
@hardkryptoniteheart
Aku sendirilah yang memilih menapaki jalan ini sejak beberapa tahun lalu. Aku pun memulai sesuatu yang terasa asing dan baru ini dengan keberanian sampai kesempatan itu dihadirkan ke dalam hidupku. Meski aku memiliki ketakutan dan kekhawatiran, aku ingin mencoba menghadapinya. Bukankah aku tidak pernah dibiarkan untuk berjalan sendiri di dalam menjalani hidup ini?
@yustrialubna
Mari selesaikan apa yang semestinya diselesaikan.Terlalu banyak yang dipikirkan tak akan lantas membukakan jalan. Sudah cukup mencari alasan membuatnya terbengkalai, inilah saatnya untuk memulai.
@shofiyah-anisa
Mari kita awali tulisan ini dengan ayat Al-Qur’an 'Faidhaa Faroghta Fanshob', yang artinya “maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.)” (QS. Al-Insyiroh : 7). Di ayat tersebut ada perintah yang bisa menjadi motivasi untuk manusia supaya selalu produktif. Sedikit ataupun banyak agar selalu bergerak dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Selanjutnya mari kita kaitkan ayat ini dengan hadits Nabi “ ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhori no. 6412, dari Ibnu Abbas). Yap, sebuah motivasi yang sangat luar biasa bukan?
Memulai itu susah-susah gampang. Banyak yang pandai memulai, ngide, ataupun mempunyai banyak hal yang bisa di tulis dan dibicarakan. Namun tidak sedikit jua yang susah memulai. Mau nulis, bingung tema apa, bingung tentang apa, dll. Maka dari kedua hal diatas kita bisa membuat kesimpulan "udah mulai aja dulu, nanti pasti akan sampai." Oh iya saya ingat salah satu perkataan dari seorang teman "kita hanya butuh kebiasaan aja. Coba kamu nulis satu hari satu tulisan, nanti akan terbiasa, insyaaAllah ndak ada itu bingung dalam memulai menulis". Begitulah. Maka masalah 'memulai' adalah masalah saya masa silam. Seakan stagnan di proses "buka laptop atau memegang bolpen" tapi gak tau mau nulis apa.
Semoga dengan kedua potongan ayat al-Quran dan hadits Nabi diatas bisa memotivasi kita dan mendorong diri untuk menghadirkan niat terlebih dahulu. Sebelum akhirnya membuka laptop untuk mencoba menulis satu kata. Karena kebiasaan juga perlu dibangun bukan?
Mari lakukan.!
@rumelihisari
Tak apa jika baru memulai
Orang lain sudah mau wisuda dan memakai toga, sedang kamu baru memulai perjalanan menjadi mahasiswa ditengah kesibukan peran utama sebagai ibu muda
aku tahu kamu merasa tertinggal dari teman-temanmu. mereka terlihat seperti berlari begitu kencang mencapai berbagai impian, sedang dirimu masih ada di garis start dengan segala kekhawatiran yang mengintai.
Khawatir gagal, khawatir tak sampai pada tujuan, khawatir melalaikan kewajiban, khawatir menyerah di perjalanan, khawatir dengan cibiran orang-orang yang meremehkan.
Kamu tidak tertinggal, sayang. ini hanya perkara garis start yang berbeda dan tak perlu disamakan. Tidak apa jika baru kembali memulai disaat orang sudah dekat untuk mencapai tujuan.
Tidak ada yang terlambat. Kamu hanya perlu kembali menata diri, memulainya dengan niat yang benar, bahwa apa yang ingin kamu capai dan tengah kamu lakukan hanya untuk mencari dan mendapatkan rida' Allah saja. sehingga tak perlu membandingkan diri dengan pencapaian orang lain, cukup membandingkan diri hari ini dengan hari sebelumnya. mencatat juga mengevaluasi diri supaya hari-hari berjalan dengan baik dan sesuai dengan jalanNya.
@cicakuaci
Tahun dua ribu dua puluh empat diawali dengan memulai hal baru dan hal lama. Hal baru ini benar-benar baru— yang ternyata merupakan bagian dari doa yang selalu dirapal dan diyakini dalam hati. Alhamdulillah, sangat bersyukur atas itu. Sedangkan pada hal lama, aku ingin melakukan sesuatu yang sudah sejak lama terencana tapi belum sempat dilakukan dan memulai kembali beberapa hal yang pernah terhenti. Semoga selalu diluruskan niat dan segala prasangka di dalamnya, ya. Hwaiting!
@padangboelan
Seringkali kita takut untuk memulai sesuatu. Padahal jika kita tidak memberanikan diri untuk memulainya, bagaimana mungkin kita akan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya?
@gndrg
Badai telah usai Barangkali, puas sudah ia membantai Sore itu, suasana kota begitu ramai Dipenuhi orang-orang yang bersantai menikmati jalan kota yang menjajakan mimpi-mimpi yang terburai Diselai kelakar renyah seolah menertawai kenyataan yang tak berperi Isi kepalaku pun sama ramainya Namun ia justru sibuk merencanai berbagai andai Membenahi yang terbengkalai Mengutuhkan yang tercerai berai Memulai kembali sesuatu yang hampir usai
@yurikoprastiyo
Jika ditanya penyesalan terbesar saat ini ialah tak berani memulai apa yang menjadi ambisiku sejak dulu. Berpikir bahwa akan tak siap menerima segala konsekuensi yang harus diterima. Memilih jalan yang berbeda, mengarungi ketidakpastian dan merasakan ketidaknyamanan.
Padahal jika memulainya sejak dulu mungkin saja aku sudah ditahap yang sedikit lagi sampai ditujuan atau barangkali sudah merasakan gagal atas apa-apa yang diupayakan. Bukankah tak apa merasakan kegagalan, ia memberitahu kita bahwa tak semua harapan harus terwujudkan.
Tetapi tanpa memulai aku tak bergerak sama sekali, bahkan tidak tau akan gagal atau berhasil karna tak sedikitpun berani mencoba. Meski mimpi itu telah tertidur tapi ia tidak benar-benar mati, seringkali ia bangun untuk menghantui. Bahwa penyesalan terbesar itu bukan gagal tapi takut memulai melangkahkan satu kaki.
@semangaaaatt
Bagaimana caraku memulainya? Kapan aku akan memulainya? Dimana aku bisa memulainya? Mengapa aku harus memulainya? Apakah aku sanggup memulainya? Jika aku tidak memulainya, lantas siapa?
54 notes
·
View notes
Text
Edukasi yang Sampai ke Hati
“Oh gitu ya Dok? Wah saya baru tau. Terima kasih banyak ya, Dok!”
Satu hal yang signifikan terasa setelah menjalani 2 dari 6 bulan ku di puskesmas adalah: melakukan edukasi yang sampai ke hati. Ya, hati pasien.
Aku sampai berpikir: sebervariasi itu ya manusia, spektrumnya dimulai dari apatis sampai dengan neurotis. Haha. Dari “saya tidak sakit” walau tekanan darah 220/110, sampai dengan “saya minta dirujuk” walau tak ada indikasi. Tentunya ini disebabkan aspek multifaktorial seperti level pendidikan, akses terhadap informasi, status ekonomi, dan kepercayaan.
MasyaAllaah setiap hari jadi tantangan dari Allaah untuk bisa mengakomodasi keluhan dan permintaan pasien dan keluarganya. Jadi merenung: Betapa indahnya pekerjaan ini, membuatku semakin yakin bahwa tidak mungkin hari-hari dilalui tanpa kekuatan dari Allah. Laa haula wa laa quwwata illa billaah.
Pekan ini contohnya, tugas di poliklinik umum, dengan cakupan 60-100 pasien sehari, diampu 2-3 dokter.
Setelah berjalan 2 jam pertama, ada momen ketika terbesit dalam hati: aduh ini pasien kenapa gak mau dikasih tau sih? Sudah berbusa menyarankan untuk dirujuk, tetap saja ia menolak.
Pasien lainnya, gula darah dan tensi di luar batas normal, takut minum obat karena kata orang, efek sampingnya ke ginjal.
Malam hari itu, aku ngobrol dengan beberapa temanku. Kadang frustrasi ya Hab, karena banyak hal yang di luar kendali kita. Kendatipun kita sudah berusaha maksimal. Deg. Astaghfirullah.
Ternyata hari itu lupa: berdoa meminta lisan agar dimudahkan, hati pasien dilembutkan, hati dokter dilapangkan.
Edukasi yang sampai ke hati, tentunya butuh akses dari Yang memegang hati manusia yaa?
Ternyata masih segini levelku, belum selevel Rasulullah saw. yang dalam kondisi berdarah dilempar batu di Thaif, tetap lembut lisannya, tetap berdakwah walau ke satu pemuda, tetap mendoakan kebaikan untuk mereka yang mendzaliminya.
Belum selevel ulama yang menghafal nama beserta detail kehidupan seseorang, nama anak, orang tua, asal daerah.. agar dapat menyentuh hati mereka ketika memberi nasehat.
Belum selevel dosen-dosen subspesialis kami yang super lelah, sibuk, kerja sampai larut malam, namun selagi visite mampu mengajak semua berdoa bersama untuk pasien.
Ternyata masih banyak PR ku mengelola hati.
Semoga rutinitas monoton tidak membuat stagnan, tidak berkembang, dan lalai dari meluruskan niat dan melangitkan amal.
Semoga menjadi pribadi yang bisa terus peka terhadap hikmah, dari cerita pasien tentang kebunnya, anaknya, suaminya, istrinya, orang tuanya, pekerjaannya, hewan peliharaannya, teman kerjanya, haha.
-ha.
Semoga tulisan ini pun, sampai ke hati.
124 notes
·
View notes
Text
Hidup adalah seni berdamai dengan kekhawatiran.
Terlihat tegar dan baik-baik saja di tengah riuh di hati dan kepala adalah topeng yang "biasa" dipakai oleh semua orang.
Waktu masih sekolah (yang pada waktu itu masih ada UN), khawatir tidak lulus.
Begitu mengambil keputusan untuk kuliah dan menjalaninya, khawatir tidak lulus tepat waktu.
Sudah lulus kuliah, khawatir tidak punya pekerjaan.
Sudah bekerja dan semakin tambah umur, khawatir tidak bisa menikah.
Dan sekarang sedang di fase, khawatir tentang anak dan karir yang terasa stagnan dalam hal pencapaian maupun penghasilan.
Lalu akan tambah menjadi berat ketika kepala mengeluarkan kalimat-kalimat "seandainya dulu begini, seandainya dulu begitu" dan menjadi lupalah akan setiap nikmat yang sudah Allah berikan. Astaghfirullah..
Di umur ini, memang sudah seharusnya bisa me-manage rasa khawatir ini dengan lebih bijak. Sebisa mungkin tidak mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Saat bekerja, bersosialisasi dengan teman, maupun berkumpul dengan keluarga. Karena aku menyadari perasaan itu bisa beresonansi dan mempengaruhi yang lain.
Selain itu, di umur ini pula aku menyadari semua orang sibuk dengan dunianya masing-masing. Dan hanya orang-orang tertentu yang dikaruniai empati dan rasa peduli terhadap orang lain.
Maka memakai topeng "baik-baik saja", bisa jadi adalah keputusan yang bijak.
Lepaskan topeng itu dalam sujud-sujud panjang dan do'a-do'amu. Ceritakan dan tumpahkan semuanya. Semua rasa berat dan sesak itu, karena hanya Allah Sang Pemilik hatimulah yang bisa menenangkanku.
Kalaupun butuh bercerita dengan orang lain. Maka pastikan orang itu betul-betul bisa menjaga rahasia dan bisa memberikan masukan yang bijak. -Dan lagi-lagi indikatornya adalah kedekatan orang itu dengan Allah dan kepahaman agamanya-
Salah tempat bercerita, bisa-bisa malah jadi bumerang untuk diri sendiri. Entah malah disebarluaskan, atau diberi saran yang tidak tepat.
Tetapi.... terkadang aku merasa rasa khawatir inilah yang menjadi alarm bagi diri untuk terus dekat dengan Allah dan mengingatNya dalam kondisi apapun. Maka akupun bersyukur masih merasakan perasaan ini, menyadari bahwa manusia itu lemah dan selalu membutuhkan Allah dalam setiap langkah.
Alhamdulillah 'alla kulli hal, semoga Allah senantiasa karuniakan rasa tenang pada hati hamba-hamba-Nya.
Mulailah berdamai dengan rasa khawatirmu, jadikan ia pengingat untuk selalu mendekat kepada Tuhamu
:)
19 notes
·
View notes
Text
Moe Life
Hari kemarin berlalu dengan cerita uniknya, berbeda dari rutinitas biasanya.
Pagi hari bersiap berangkat bareng umi dan adek yang udah mulai sekolah lagi, seneng soalnya nggak kedandapan seperti biasanya.
Turun di halte IHS sebelum jam 06.47 jadi ada peluang ketemu Pak Firstno -driver BST yg lama ga ketemu- dann benar saja! Kukira bakal penuh banget karena anak sekolah udah pada masuk, eh ternyata masih libur jadi lenggang dan hanya ada 3 penumpang lain. Satu orang diantaranya adalah penumpang istimewa.
Setelah turun 2 penumpang beliau memulai pembicaraan, "Piye wes kacek?" "Udah, pak, alhamdulillah"
Ternyata beliau memutuskan buat nggak jadi berangkat ke Saudi buat kerja karena banyak pertimbangan, salah satunya orang tua sakit. Membicarakan seputar kerja di Indonesia yang kebanyakan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dan sulit untuk menyisihkan tabungan.
"Adekku ndisek tak doktrin ben iso kerja ng luar wae trus saiki kelakon ng Korea, wes ndue sawah, ruko, bengkel, wes iso ngumrohke wong tuwo"
Waw. Hebat banget ya kakak di seluruh dunia.
Kemarin habis baca tulisan hangat di litbase,
"Wes pokok e mugo-mugo lancar, kuliah sg bener, diserap ilmune tenanan, sok kerjo ng luar negeri wae"
"Makasih ya, pakk"
"Iyo sama-sama, ati-ati"
Ah iya, dua pekan ini aku lupa nggak daftar online untuk kunjungan hari Selasa. Kalo Rabu dan Jum'at sih memang daftarnya lewat loket dan ga bisa online :) Mungkin udah terlalu terbiasa jadi yang diinget rutinitas besok ke rumah sakit aja tapi ga inget kalo harus daftar wkwk
Jadilah pagi itu aku daftar onsite di salah satu anjungan, dan kebingungan. Tidak ada pilihan Poli Rehabilitasi Medik di layar komputer. Oh, baru ingat! ini kan rujukan baru, kalau mau fisioterapi harus ada konsulan dari Poli Orthopedi sedangkan jadwal kesana baru besok ((waduh)).
Yakin nggak bisa diusahakan sih kalau begini. Tapi kita coba dulu deh ambil antrian di loket pendaftaran.
Sesuai dugaan, tetap tidak bisa. Kalau mau ke rehab harus ke ortho dulu, kalau hari itu ke ortho besok jadi ga bisa ke ortho padahal mau suntik terakhir, yasudah pulang aja dan kembali besok. Hahaha aku cuma tertawa dan yaudahlah nggak menyesali apa-apa. Kata Ibu petugasnya, "Ya Allah wes adoh-adoh rene, maaf yaa, soalnya emang nggak bisa nek kayak gitu"
"Besok dateng langsung ke loket aja ya sidik jarinya" Memang betul Allah sediakan banyak sekali kemudahan. Beliau sudah hafal aku dari masih pake dua kruk, lalu satu kruk, dan sekarang udah lepas. Tapi ya, kalo besok kan masih bisa daftar online hari ini dan nggak perlu ke loket karena bisa cetak mandiri di anjungan pendaftaran.
"Enaknya main ke mana dulu yaa...." Pikiran pertama yang muncul saat pulang lebih cepat dari waktu biasanya dan masih banyak sekali waktu tersisa. Setelah berpikir singkat, aku memutuskan pulang aja lah sepertinya beberes rumah lebih menyenangkan dan menenangkan.
Tadinya mau nunggu di halte depan RS langsung soalnya kapokk capek banget kalo nyebrang lewat JPO. Gapapa ikut muter sampe Palur jadi lebih lama daripada lemes seharian besoknya. Nah tapi pas udah di halte RS lihat tangga ke JPO kok sangat menarik ya, bisa menghemat waktu perjalanan sekian puluh menit nih.
Akhirnya dengan segala pertimbangan, aku pilih naik tangga ke JPO dan pulang dari halte seberang wkwk. Pertimbangannya adalah ini bukan tangga landai seperti kalau dari dalam rumah sakit dan tangga ini ada pegangannya jadi amanlah bebannya ga terlalu berat. Sepertinya justru lebih berat di tangga landai karena berasa banget nanjaknya kan, sedangkan di tangga biasa gerakan kaki tuh lebih stagnan meskipun nanjak juga apalagi dibantu pegangan samping jadi lebih ringan.
Perjalanan pulang biasa saja. Naik Koridor 1 turun di AURI, lanjut gocar sampe rumah. Buat pengguna gojek jangan lupa masukin kode promo GORIDEAJA dan GOCARAJA tiap awal pekan dan GOJEKHEMAT tiap bulan wkwk.
Sampe rumah istirahat bentar trus sesuai rencana mulai beberes menertibkan barang-barang lama, lalu menemukan sebuah tulisan.
Tulisan jaman kapan, wa 😭 asli ketawa banget bacanya 🤣
Kayaknya sih tulisan pas SD, ngetik di laptop trus ngeprint banyak lembar entah buat apa. Berguna juga sekarang buat dibaca berulang kali dan tertawa wkwkw sesulit apa sih kenyataan saat itu sampe tak mungkin bisa kuterima dengan ikhlas 😭
Cukup puas sama sesi bebersih kemarin walaupun belum tuntas semuanya. Emang kapan manusia benar-benar merasa puas sama kehidupan dunia?
Setelah mencukupkan diri untuk beberes, sore hari saatnya istirahat menunggu berbuka.
Memulai malam dengan kelas yang sudah beberapa hari izin dan banyak tertinggal 😪 tapi senang sekali dapat kesempatan baru untuk pertama kalinya dan cukup baik hasilnya. Rasanya meneduhkan, berada di majelis ilmu.
Bersambung dengan kelas ke-3 dari Qolamuna, membahas writers block atau kebuntuan dalam menulis. Kak Jauh membagi buntu jadi dua, pada ide dan kalimat. Saat ide sudah ditemukan tapi kalimat belum menemui kenyamanan,
Tidak apa-apa. Kenalilah tulisanmu sendiri. Saat merasa buntu, temukan dulu titik ketidaknyamanan dalam tulisanmu itu. Apakah pada diksi di suatu kalimat? Ataukah pada sajak di setiap akhir kalimat? Atau mungkin, pada kata sambung di awal kalimat?
Temukan saja dulu, nanti pikiranmu akan terbuka seiring berjalannya waktu. Lalu sampai kapan menunggu?
Hei, menunggu adalah perjalanan kita dengan waktu. Jangan hanya diam tak bergerak, kau tetap bisa mengabadikan tulisanmu dalam ketidaksempurnaannya.
Tetaplah belajar. Semakin banyak tahu, akan kau temukan sendiri koreksi dari tulisanmu yang lalu.
📝 14/30 (mulai ditulis di BST menuju Moe dan selesai di Poli Rehab Medik menunggu obat untuk kembali ke Ortho)
telatnya parah sampe besoknya tapi gapapa wkwk
7 notes
·
View notes
Text
Sebentar, sebelum bobo mari kita abadikan hari penuh haru biru ini🥹
Gimana yak. Akhir² berasa sangat² roaller coaster wkwwk. Kemarennya habis bikin tulisan dengan mata yang berbinar², eh besoknya pas dibaca lagi udah sambil nahan air mata dan nolak tulisan itu sendiri wkwkwkwwkkw lucu. Kadang hidup tu apaya kita ketawain terus aja sih😭🤏. Tapi belom bisa ketawa kalo lagi mendalami peran suntuk²nya wkwkwk
Ah, tapi hari ini aku kaya dikasih booommm!!! Gitu. Padahal paginya masih nangis², dari siang sampe malem kaya langsung Allah jawab pelan². Ahh gimanaaaa ya jelasinnyaaa🥹🥹🥹🥹🥹🥹🫶🫶🫶🫶🫶
Aku gapapa kalo suatu saat bahkan aku bakal denial lagi sama tulisanku sendiri wkwkwkw. Tapi kadang, kita emang cuma perlu untuk terus hidup aja sih. Dan perjalanan mengenal diri sendiri itu perjalanan sepanjang waktu. Jadi gaperlu buru² juga, gapapa. Yang penting terus dipelajari aja. Soalnya kita manusia yang ga mungkin stagnan. Pasti ada 1 2 hal yang bikin sikap kita berubah, pikiran kita berubah, ato apa-apanya lah. Terus, pr besar di tahun ini adalahhh memperbaiki pikiran² negatif yang malah dibajuin ke diri sendiri wkwkw. Haeyolahh mari hidup dengan fakta. Yok bisa yok. Orang² kalo ngarang cerita fiksi juga bagus² ini kenapa kudu gini amat dah yeuuu. Lalu laluuuu, jalanmu masih akan terus berat kalo masih terus menggembol masa lalu oh wahai. Lepaskan lepaskan. Langkahmu juga butuh lapang😌. Dan terakhir, putus asa itu manusiawi sayang. Tapi jika suatu saat kamu kembali lagi pada tulisan ini, aku yakin esok kamu akan bangkit dan kembali berbinar lagi! Karena akupun yakin hamba Allah yang bertakwa gaakan menjadikan putus asa sebagai satu²nya jalan, ia juga masih akan terus percaya bahwa Allah tidak akan salah menjadi guide terbaik dalam setiap lika liku perjalanannya.
Kita usahakan apa????? Kenal sama Allah lebih dekat untuk menerima diri lebih lapang! ♡
Written with "🥹", thank you Allah
9 Ramadhan 1445H
12 notes
·
View notes
Note
thinking of a few... tainted, sordid, putrefied, rot, stagnation
wait hang on lets trainslate things.
decay - interitus
putrid/rot/putrefied - putridus
fortune - fortuna
tainted - infectus
sordid - sordidus
stagnation - stagnans
like are these anything.
8 notes
·
View notes
Text
[SEBERAPA BUTUH]
Waktu kecil, selalu diajarin bahwa sholat adalah sebuah kewajiban. Makin besar makin paham, bahwa disisi lain sholat itu sebenernya sebuah kebutuhan.
Iya, kebutuhan hamba pada Rabbnya. Kebutuhan untuk bertemu, untuk mengadu, untuk meminta. Bahkan Rasulullah memerintahkan kepada sahabatnya untuk mengistirahatkan dengan shalat:
"قم يا بلال، فأرحنا بالصلاة"
Dalam shalat, ada waktu khusus antara hamba dan Tuhannya. Sebuah pertemuan tanpa penghalang, di sana kita bebas berbicara dengan Ia Yang Maha Segala.
Pun dengan ibadah lainnya. Hematnya, seberapa taat kita dalam beribadah menunjukan seberapa butuh kita kepada Allah.
Mereka yang banyak dihimpit masalah namun masih angkuh dan enggan meminta, apa Allah melupakannya? Sama sekali tidak. Allah tetap bantu dan beri dia hidup.
Sungguh tenang mereka yang telah dengan mudahnya menjalankan ibadah-ibadah dengan hati yang gembira. Mereka sadar bahwa ketenangan adalah hal termahal yang tak bisa didapat dengan uang.
Beri waktu pada hatimu. Istirahatkan ia dengan shalat.
Kalau benar butuh, seharusnya intensitas ibadahnya juga akan bertambah. Tapi kalau masih stagnan, sila tanyakan pada diri. Apa aku benar-benar butuh?
Mereka yang telah mendapatkan kenikmatan dalam ibadah akan dengan mudah melangkahkan kaki dalam kebaikan. Mereka tak butuh definisi bahagia yang selama ini menjadi perbincangan dan banyak dicari orang. Mereka telah menemukan kebahagiaan dalam ibadahnya.
Setenang itu jiwanya.
Dan semoga, kita selalu diberi taufik dan hidayah oleh Allah untuk menjadi salah satunya.
Aamiin.
#30haribercerita#30harimenulis#muhasabah#petuah#hidup#do'a#belajar#sabar#diri#ibadah#shalat#tenang#kebutuhan#kewajiban#21 Syawwal
52 notes
·
View notes
Text
Merawat ingatan
Jika suatu hari aku mulai lupa atau tidak lagi bersemangat. Semoga ini bisa menjadi cara untuk kembali bersemangat..
Jika semangat mu luruh entah apapun alasannya, coba lihatlah foto-foto kita.
Kita pernah begitu bersemangat belajar sampai lupa bagaimana cara untuk memejamkan mata dan beristirahat. Kamu tidak berpikir untuk mengalahkan siapapun. Juga tidak ingin bersaing dengan siapapun. Apalagi untuk menjadi idaman seseorang disana.
Tapi kita, bersaing dengan diri kita yang kemarin. Hari kemarin adalah pelajaran untuk kita hari ini. Untuk berbenah lebih baik lagi.
Hari ini harus lebih baik lagi dari kemarin. Jika tidak lebih baik dari kemarin maka kita merugi. Jika kemarin sama dengan hari ini maka kita sedang stagnan. Jika hari ini lebih baik dari kemarin kita beruntung.
Setidaknya setiap hari baru yang dijalani. Yang Allah berikan kita kesempatan untuk menjalaninya. Ayo, berusaha lebih baik lagi. Tidak harus hal besar. Bila tidak bisa menambah amal kita hari ini, setidaknya kita berusaha menahan diri dari yang tidak bermanfaat pun menjauhi dari yang Allah tak suka.
Teruntuk diriku,
46 notes
·
View notes
Text
Dulu, hubungan gue sama mama buruk tapi gue punya banyak teman. Teman gue di mana-mana. Sekarang, hubungan gue sama mama perlahan membaik. Meskipun gak sehangat keluarga orang lain, setidaknya udah gak ada lagi komunikasi dengan saling teriak-teriak. Tetapi gue semakin malas berteman, dan teman-teman gue yang dulu masih saling kontak sekarang udah sama-sama sibuk dengan hidup masing-masing.
***
Setiap hubungan kita entah itu dengan keluarga ataupun teman pasti mengalami pasang surut. Ada kalanya kita menjadi lebih dekat dengan keluarga, ada waktu juga di mana teman kita lebih terasa seperti keluarga. Dari hal itu gue belajar bahwa gak akan pernah ada siapa pun yang stay di kehidupan gue selamanya. Entah itu teman ataupun keluarga.
Keluarga emang gak bisa digantikan, tetapi keluarga bisa berubah dan bertambah. Entah berubah karena berkurang (meninggal atau pisah/bercerai) bisa juga bertambah (menikah/melahirkan). Seorang teman pun seperti itu. Sedekat apa pun kita dengan seseorang, pada akhirnya posisi kita ya tetap 'orang lain' dalam kehidupannya. Gak akan pernah jadi prioritas atau mungkin akan jadi prioritas yang ke sekian. Tidak pernah menjadi lebih penting dari orang-orang yang lebih penting dalam kehidupan teman kita.
Makanya gue selama ini berusaha dan memaksa diri gue untuk belajar melakukan semuanya sendiri. Dan membuat diri gue nyaman ditemani diri gue sendiri. Karena gak akan ada yang benar-benar stagnan dalam hidup gue. Jadi sebisa mungkin, gue harus mampu menolong diri gue sendiri.
***
Ada satu waktu di mana hidup gue tiba-tiba diisi dengan begitu banyak orang. Gue yang selama ini cuman kenal yang 'itu-itu aja' dan 'itu-itu lagi', tiba-tiba kenal dengan banyak orang (lain). Sebagian datang sendiri, sebagian dikenalin, sebagiannya lagi gue ajak kenalan. Hidup gue yang semula hening, karena memutuskan tak mengenal dan dikenal tiba-tiba berubah menjadi begitu riuh, rame, dan juga lebih berwarna.
Keadaan yang tak biasa membuat semuanya ternyata menjadi lebih tak mudah buat gue. Terutama saat orang-orang yang semula cuman gue kenal, perlahan berubah naik tingkat: menjadi seseorang yang gue sayang, gue anggap keberadaannya, dan gue masukkan dalam orang-orang yang gue anggap penting.
Lalu, perlahan, hal-hal yang selalu gue takutkan terjadi...
Ditinggalkan.
***
Gue gak bermasalah dengan orang-orang yang gue kenal cuman sebatas nama lalu tiba-tiba berubah gak kenal dengan gue. Tapi gue selalu BERMASALAH dengan orang-orang yang udah berubah posisinya dalam hidup gue, orang-orang yang gue udah terbiasa dengan dia HADIR dan ADA dalam hidup gue tiba-tiba menghilang.
Menghilang saat gue nggak mempersiapkan apa-apa untuk kehilangan. Lucu, ya. Emang ada orang yang pernah bersiap untuk sebuah kehilangan?
Ibaratnya, gue yang udah terbiasa minum air putih, tiba-tiba gak dibolehin lagi minum air putih. Atau gue yang terbiasa makan enak-enak aja, tiba-tiba muncul sariawan. Rasanya aneh, sakit, nggak nyaman, kosong, dan bikin pengen selalu nangis karena gak kuat....
Hal itu jujur bikin gue trauma berat. Gue sampe mikir, "apa gue gak usah temenan lagi ya sama siapa pun?" Saking gue gak mau mengulang rasa sakitnya kehilangan.
Perasaan itu mungkin disebabkan karena gue belum bisa ikhlas kebahagiaan yang gue rasakan karena kehadiran mereka kini tak lagi bisa gue rasakan. Jadi gue harus bisa mencari orang lain yang bisa menganti kebahagiaan bersama mereka. Tapi siapa?
Inilah pentingnya untuk tidak menggantung kan kebahagian kita kepada orang lain. Agar ketika mereka gak lagi ada. Kebahagiaan kita gak ikut pergi dan menghilang.
Jujur, gue teralu lelah untuk mengulang kembali semuanya dari awal. Mencari orang baru, menjalin pertemanan, ngobrol, dekat, nyaman, lalu setelah itu apalagi? Apa endingnya gue harus ditinggal kan lagi? Dan apa setelah semua trauma itu gua masih punya selera buat mencari orang baru?
Tentunya tidak.
***
Gue pernah dengar seseorang pernah bilang,
"Kalau kita menahan orang-orang yang seharusnya sudah lama kita lepaskan karena mereka adalah orang yang baik atau seseorang yang kita sayang, maka itu berarti sama saja kita tidak mengizinkan Tuhan untuk mendatangkan orang-orang yang LEBIH baik & orang-orang yang menyayangi kita untuk masuk dalam kehidupan kita."
Melepaskan orang-orang yang kita sayang bukan berarti melupakan kenangan baik mereka. Melepaskan seseorang berarti mengizinkan diri kita untuk bertemu dengan LEBIH banyak orang BAIK yang bisa LEBIH MEMBAHAGIAKAN KITA. Dan merindukan seseorang bukan berarti kita harus memaksa mereka untuk kembali. Karena jika seseorang memang berniat untuk bertahan, mereka akan selalu menemukan cara untuk kembali. Karena jika seseorang memang tidak ditakdirkan untuk selamanya dalam hidup kita, mereka akan selalu punya cara untuk pergi. Dan missing someone is just one of stages of moving on...
***
Gue orang yang sangat tulus dalam berteman. Apalagi saat gue udah sayang sama seseorang. Karena posisi gue yang gak terbiasa dekat sama keluarga, dengan kehadiran teman yang gue sayang setidaknya gue bisa merasakan perasaan bagaimana bahagianya menyayangi dan disayangi.
Gue tahu, kehilangan adalah sebuah keniscayaan dalam hidup. Dan pastinya akan selalu terulang. Meskipun tak peduli seberapa kali pun proses itu terjadi. Gak akan ada seorang pun yang akan merasa terbiasa. Begitupun gue. Namun, semoga ke depannya, saat lagi-lagi gue harus ditinggalkan dan meninggal kan seseorang, gue gak teralu kaget lagi. Dan bisa pulih lebih cepat.
Karena kalau dipikir sayang juga ya? kalau gue hanya fokus pada orang-orang yang meninggal kan gue, tanpa memikirkan bahwa akan seberapa baik ganti yang diberikan Tuhan dari orang-orang yang Dia 'ambil' itu?
Mari lihat ke depannya.
7 notes
·
View notes
Text
Penolakan Kesekian
Hari ini salah satu naskahku ditolak penerbit. Mereka menyertakan alasan, naskahnya terlalu puitis untuk nonfiksi dan pula bukan fiksi. Naskah ini adalah naskah pertama yang kuselesaikan, berisi banyak tulisan afirmasi sebagaimana aku menulis jurnal di awal-awal aku menulis di tumblr.
Isinya itu nyaris semuanya katarsisku di masa itu, yang setelah kufilter cukup layak untuk dibagi. Judul naskahnya sendiri aku buat Tetaplah Hidup, sesuai dengan judul akun ini.
Perjalanan naskah ini udah panjang, pernah diterima penerbit semi mayor tapi dianggurin satu tahun dan akhirnya aku tarik kembali. Sudah ditolak empat penerbit mayor. Tapi baru kali ini memberikan alasan penolakan, jadi itu cukup membuat aku merasakan sesuatu, semacam tulisanku nggak cukup puitis jadi puisi, tapi terlalu puitis sebagai buku pengembangan diri.
Sebelum mengirimkan naskah biasanya aku selalu riset penerbit itu gimana, jadi bukan asal kirim. Sebisa mungkin aku pilih yang tulisanku sesuai dengan tipe buku-buku yang mereka terbitkan. Baru kali ini akhirnya aku merasa, mungkin memang tulisanku yang itu bukan sejenis tulisan yang disukai pasar sehingga nggak banyak penerbit yang menerbitkan tulisan sejenis, tulisan yang tiba-tiba pengen kusebut sebagai afirmatif/reflektif puitis. Atau sepertinya, emang mainku masih stagnan di penerbit yang itu-itu aja.
Kalau ditanya apa akhirnya aku merasa sesuatu yang buruk, ada sedikit, perasaan di mana aku merasa asing untuk diterima, seolah nggak sesuai pasar. Tapi bisa jadi, itu justru hal yang menarik dari caraku menulis, meski kemungkinan besar tetap banyak tulisan semisal yang masih jarang kutemui diterbitkan penerbit-penerbit yang kuketahui.
Sekarang, tulisanku sudah nggak banyak yang reflektif, sepenuhnya aku bergeser ke tulisan puisi dan fiksi lainnya. Entah mungkin karena aku merasa selesai mengeksplor diri aku dalam bentuk tulisan yang reflektif, atau bisa jadi aku sudah menggeser caranya aja dan menjadi benar-benar puitis.
Tapi omong-omong soal menulis reflektif, itu adalah momen paling menyenangkan saat beberapa orang menyampaikan bahwa meraka juga merasakan dan mengambil pelajaran dari tulisanku. Aku merasa lebih berdampak. Alasan yang kupakai untuk benar-benar menjadi penulis, setelah pernah mimpi itu aku tidurkan bertahun-tahun lamanya.
Aku harap, apapun yang kutulis sekarang, tetap memberikan dampak, setidaknya penghiburan untuk jiwa-jiwa yang lelah, entah karena cinta, entah karena negara.
Omong-omong, insyaAllah masih dalam bulan ini, kalau nggak ada aral melintang buku pertamaku akan segera rilis. Meski aku mungkin rada sungkan promosi di sini, karena sepertinya pengikut akun ini adalah pembaca tulisan afirmatifku yang dulu atau pembaca tulisan sajak / suratku yang menye sekarang. Sedangkan buku yang mau terbit ini adalah buku puisi yang isinya kebanyakan satire dan sarkas, dengan tema sosial. Tapi sebagai akun media sosialku yang paling menjangkau banyak orang, kalian lagi membaca naskah promosi pertamanya sekarang, hehe.
46 notes
·
View notes
Text
Konsistensi dalam Berproses
Pantas saja dalam hadits disebutkan bahwa Allah menyukai amalan yang rutin meskipun sedikit.
Ternyata, rutin atau istilah lainnya kontinu atau istiqomah memang merupakan amalan yang besar sekali tanggung jawabnya. Karena seringnya, ditengah niat dan tekad yang sudah bulat untuk konsisten dalam berproses pasti akan ada banyak sekali ujian dan godaan yang melalaikan.
Karena untuk menjadi konsisten itu bukan sekadar kita melakukan sesuatu dengan kondisi yang stagnan. Tetapi juga bagaimana menjaga komitmen dan prinsip yang sudah kita tekadkan, agar jangan sampai kita mengingkarinya atau menyepelekannya.
Karena untuk menjadi konsisten menuntut kita untuk senantiasa belajar mengelola kesabaran. Dalam perjalanannya, pasti selalu akan ada ujian yang mungkin membuat kita ingin menyerah saja. Tetapi ingat, bahwa menjadi konsisten memang bukan perkara yang mudah, tetapi jangan lupakan bahwa Allah mencintai orang yang konsisten dalam beramal loh :")
Karena untuk menjadi konsisten secara tidak langsung mengharuskan kita menjadi pribadi yang pembelajar dan terus haus akan ilmu dan amal kebaikan. Sehingga, akan kita temui bahwa makin banyak kita menambah ilmu, akan semakin kita merasa bahwa kita bukanlah apa apa. Yang kita miliki dan punyai hanya segelintir ilmu saja dari luasnya ilmu yang belum kita ketahui.
Ternyata, menjadi konsisten itu bukan sesuatu yang semudah diucap.
Menjadi konsisten dalam berproses berarti bersedia merawat dan membenahi diri sepanjang hidup agar senantiasa terus lebih baik dari waktu ke waktu. Bertahan dalam segala sempit. Bersabar dalam segala ujian. Karena ada keyakinan dalam hati bahwa dengan terus konsisten berarti kita sedang melangkah setapak demi tapak untuk mwnuju garis finish yang ingin kita capai.
Mungkin diri ini masih teramat jauh dari menjadi pribadi yang konsisten. Maka, semoga Allah senantiasa mengistiqomahkan kita dalam berproses dan menghimpun kita dengan orang orang yang konsisten. Aamiin.
Yaa Muqallibal Quluub Tsabbit Qalbi Ala diinik
12 notes
·
View notes