#Pikiran Berulang
Explore tagged Tumblr posts
Text
Menghormati Pikiran Berulang sebagai Perjalanan Penyembuhan
Dalam perjalanan hidup ini, kita sering kali dihadapkan pada pikiran-pikiran yang berulang. Pikiran-pikiran ini bisa datang tiba-tiba, mengingatkan kita pada pengalaman masa lalu yang mungkin telah kita coba lupakan. Namun, saya mulai menyadari bahwa pikiran-pikiran ini bukanlah musuh yang harus kita hindari. Sebaliknya, mereka adalah bagian dari proses penyembuhan yang alami dan penting. Gambar…
#Dukungan Emosional#Kesadaran Diri#kesehatan mental#Mencintai Diri Sendiri#Penyembuhan#Perjalanan Hidup#Pikiran Berulang#refleksi diri
0 notes
Text
Meski Tidak Siap
Sudah beberapa kali mungkin kita merasa tidak siap dalam hidup. Tapi, meski tidak siap, kita tetap memilih buat menjalaninya hingga tak terasa sudah berlalu sekian lama. Apakah setelah sekian lama kita jadi merasa siap? Rasanya enggak juga. Tetap dengan rasa khawatirnya tapi juga diiringi dengan keyakinan, ternyata kita bisa menjalaninya meski dengan beragam rasa yang naik turun.
Sudah banyak hal yang berlalu seperti itu. Tapi setiap kali hal baru ditemui di usia ini, rasanya masih sama, ragu. Berusaha kuat untuk terus meyakinkan diri, "nggak apa-apa, ada Allah."
Jika pun kita tidak mendapatkan apa yang kita cari, berarti apa yang kita jalani saat ini memang yang terbaik. Susah sekali memang mengatakan hal itu ke pikiran sendiri, berulang-ulang. Agar tak menjadi putus asa.
Semoga kita dikuatkan sembari meyakini bahwa semua keyakinan kita tak akan menjadi sia-sia.
Jadi, apa hal yang akhirnya tetap kamu jalani meski dulu kamu tidak siap? Bagaimana kabarmu saat ini?
312 notes
·
View notes
Text
PEREMPUAN SELALU JADI KORBAN
Saya mau cerita sedikit ya ke kalian. Sesuatu yang akhirnya membuka mata saya bahwa dunia memang sekejam itu. Ini masih sambungan dari pertanyaan soal dating app.
Kalau ada yang bertanya apakah saya pakai dating app? Ya, betul. Awalnya cuma iseng karena penasaran ingin tahu. Juga, dulu pernah diledeki sama teman-teman PPI Amerop waktu mereka lagi bahas Tinder, saya tidak tahu apa itu. Dan mereka menjelaskanlah ini-itu, saya masih tetap tidak tahu. Waktu berlalu dan saya tidak peduli dengan aplikasi macam begituan. Hingga sampailah ke Covid kemarin yang mana kita semua tahu bahwa kegabutan adalah konsumsi semua orang. Di situlah mulai iseng install dan ternyata seru juga. Saya pakai Bumble, by the way.
Seru karena ternyata bisa bertemu dengan banyak orang yang unik-unik; bisa mengevaluasi cara kita berkomunikasi; dan bisa dapat cerita drama yang akan saya ceritakan di sini. Sampai ada yang cerita panjang lebar lewat suara, meski kita tidak tahu dan tidak pernah ketemu juga. Ada yang menangis, marah, sampai menceritakan dosa dan kebodohan-kebodohan masa lalu. Ada yang dengan entengnya bilang aktif berhubungan seksual dengan pacar, padahal berjilbab rapi. Ada yang sampai menawarkan dirinya sendiri untuk dipakai. Pernah juga ketemu dengan seorang hafizah yang dibuatkan profil sama temannya. Ah, lucu dan seru. Tapi lain kali saya cerita yang unik-unik itu. Saya cerita sisi gelapnya dulu soal perselingkuhan.
Jadi, begini. Di situ, saya bertemu banyak sekali divorcee. Dari yang masih muda usia 22 tapi sudah pisah dengan satu orang anak, sampai yang usia 28 dengan tiga orang anak masih kecil-kecil. Ada yang bahkan pisah saat masih hamil. Kira-kira, dari 10 orang pisah, 9 karena perselingkuhan dan 1 karena narkoba. 9 yang selingkuh ini macam-macam jenisnya, ada yang main gila, ada yang memang sudah penyakit, ada yang menikah karena buat menutupi kelainan seksual, ada yang menikah dengan orang lain karena tidak direstui orang tuanya tapi mereka masih tetap berhubungan (bahkan sudah seperti suami istri). Dari semuanya yang menjadi korban adalah perempuan. Ada yang bahkan sampai tiga kali sujud-sujud ke istrinya karena ketahuan selingkuh tiga kali pula. Tahu pas kapan? Saat mereka ada di RS menunggu istrinya lahiran. Saat itu, suaminya ikut jaga dan kebetulan HP suaminya ditinggal di meja. Istrinya tidak sengaja melihat ada chat sayang-sayangan. Di situlah terbongkar ternyata suaminya selingkuh dengan mantannya. Bayangkan, kejadian ini berulang sampai tiga kali dan baru saat di anak yang ketiga si perempuan sudah tidak bisa memaafkan. Ada juga yang menikah tapi tidak pernah disentuh sama suaminya. Sampai-sampai si perempuan pakai pakaian yang begitulah, tapi tetap suaminya tidak menyentuh. Hingga setelah lama baru mau, tapi setengah hati. Baru setelah memuncak konfliknya ketahuanlah ternyata dia boti.
Gila. Stress saya mendengarkan kisah-kisah ini. Awalnya saat mendengar cerita seperti ini, saya selalu mencoba untuk berada di tengah, sebab saya hanya mendengar dari satu sisi. Bisa jadi ada kejadian yang tidak diceritakan. Tapi, dari semua pola yang ada: jelas yang paling terdampak adalah perempuannya. Semua sudah punya anak, anak-anaknya ikut dengan ibunya. Kebanyakan laki-lakinya bahkan tidak bertanggung jawab (tidak memberikan nafkah sama sekali untuk anaknya). Bayangkan, perempuan sudah diselingkuhi, merawat anak sendiri, bekerja dan cari nafkah sendiri, lalu masih lagi harus menyandang gelar “divorcee”. Saya sampai speechless mendengar kisah-kisah mereka. Di situ saya percaya bahwa mereka tidak mengada-ada.
Dari situ saya ambil kesimpulan bahwa di segala perceraian perempuan selalu menjadi korban yang paling besar. SELALU. Cerita di atas belum termasuk dari beberapa orang yang saya kenal dan mengalami nasib yang sama. Polanya sama: diselingkuhi, ditinggal pergi, anak-anak tidak diacuhi. Ini benar-benar membuka pikiran saya bahwa ternyata sekejam itu dunia di luar sana. Jujur, saya berasal dari lingkungan Tarbiyah yang mayoritasnya keluarga mereka baik-baik saja, tidak ada keributan, apalagi perselingkuhan. Setidaknya itu yang saya temukan dalam sirkel saya pribadi. Begitu sederhana tapi sempurna. Kalaupun ada yang cacat itu bisa dihitung dengan jari. Semenjak kenal dengan orang-orang baru, dari aplikasi itu, saya bisa sedikit melihat pada dunia yang lebih luas. Dunia yang ternyata: ada lho yang begitu. Astaghfirullah. Kalian pernah tidak sampai rasanya ulu hati sakit karena mendengar atau melihat sesuatu yang di luar ekspektasi? Saya merasa benar-benar masuk ke dalam hutan belantara.
Entahlah, apa hikmah yang bisa kalian ambil dari sedikit pengalaman yang saya bagi di sini. Yang jelas, ini bukan soal aplikasi. Ini soal dunia kelam yang, maaf sekali untuk kalian para perempuan, telah sering menjadi korban. Saya tidak menduga dunia sekejam itu. Berhati-hatilah ketika memilih pasangan. Jangan pernah terbuai dengan kecantikan, ketampanan, harta, atau hal-hal yang tidak membawa kalian ke kedamaian hati. Pilih pasangan yang benar-benar takut pada Tuhan yang bisa dilihat dari gesturnya, bukan sekadar tulisan atau persona yang dibangun di sosial media. Berdoalah untuk diberikan pasangan yang sama-sama mau ke surga. Dan, senantiasa perbaiki diri agar dipertemukan dengan orang yang sekufu dengan kita. Sekian.
72 notes
·
View notes
Text
Doa-Doa Tak Pernah Selesai
(1)
Tuhan, aku tahu aku punya banyak sekali dosa, juga kesombongan yang entah bagaimana tak kunjung punah. Namun biarkanlah aku bertaubat berulang-ulang, menggunakan hak istimewa yang Kau berikan sejak aku terlahir ke dunia.
Kau sudah pasti tahu kenapa aku datang. Aku sedang menyukai seseorang, tak ingin aku munafik jika di hadapanmu (percuma juga, Kau maha tahu). Jujur saja, hatiku meminta. Namun aku sadar, siapalah aku di hadapan cinta.
Kali ini aku tak ingin mengutuk, meski hatiku sudah mulai ribut. Belum lagi kepala dan seluruh isinya yang semakin hari semakin kusut. Namun izinkan aku menggunakan kesempatan kali ini untuk meminta melebihi dicintai salah satu makhluk-Mu yang lain.
Aku meminta kelapangan dada, agar tak begitu banyak dendam bermukim di sana. Juga rasa benci yang kerap beranak pinak. Rasa iri yang tak kunjung selesai. Rasa dengki yang susah sekali dikenali.
Sebab aku tahu, akar dari hatiku yang semerawut tidak terletak pada keraguanku terhadap cinta, atau perasaanku terhadap dicintai. Ia hidup sebagai kegagalanku menguasai nafsu, amarah dan emosi.
Sepanjang aku hidup, inilah yang paling sulit. Bertikai berkali-kali dengan diri sendiri. Kadang tak mengenali kata hati, terkadang menuduh hati menginginkan yang tak mesti. Kadang menganggap segala hal wajar dilakukan selama bisa bertahan dalam keparatnya dunia (mohon ampun, ternyata aku masih mengutuk).
Tuhan, aku percayakan urusan perut sejengkal ini kepada rezeki yang telah kau takar. Aku percayakan urusan jodoh ini kepada nama yang telah kau sandingkan jauh sebelum aku dilahirkan. Aku percayakan urusan napas ini kepada masa dari garis tangan yang kau tuliskan. Namun, sebagaimana aku percaya usaha yang kadang mengkhianati hasil, biarkan aku tetap tumbuh tanpa pernah menyerah, sekalipun hasilnya bukanlah apa yang kuharapkan. Proses-proses itu, izinkanlah kulalui meski terkadang banyak sekali perdebatan dalam perjalanannya.
Aku meminta lebih banyak kepada kesadaranku akan hal baik yang telah tumbuh, sebagaimana Kau menitipkan pikiran yang mampu dan kritis. Agar tak ada rasa benciku pada pengetahuan, tak ada rasa dendamku kepada tanggung jawab, tak ada rasa iriku kepada mimpi, dan tak ada rasa dengkiku kepada iman.
Tuhan, aku memang menyukai seseorang. Sekali lagi aku tak munafik jika aku menginginkannya. Tapi melebihi dia (sekalipun aku tahu dengan hadirnya di hidupku maka dunia akan lebih baik) aku ingin lebih baik sebagai seorang individu, terlepas aku berhenti menyukainya atau Kau izinkan aku mencintainya seumur hidup.
Gerimis Sebelum Fajar, 22 November 2024
106 notes
·
View notes
Text
Sayangku, di tengah riuhnya dunia yang penuh dengan berbagai macam suara, jadilah tenang yang dapat mendinginkan isi kepalamu sendiri. Suara dari luar sudah cukup bising untuk memenuhi pendengaranmu, maka yang di dalam kepalamu itu, uraikanlah ia satu per satu, tidak semuanya harus kau dengar, terkadang ia hanya perlu dididik dengan sedikit lebih tegas, agar tidak terlena larut dalam pemikiran berlebih yang penuh dengan hal-hal yang tidak baik itu, semisal perasaan-perasaan terabaikan, insecure, tidak percaya diri, merasa tidak punya motivasi, dan berbagai perasaan lainnya yang menimbulkan pemikiran buruk, tolong agar segera diuraikan ya, Sayang. Perasaanmu valid sepenuhnya, namun tidak dengan pemikiran-pemikiran yang menyiksamu itu, kita masih bisa mengendalikan hal ini. Jangan dibiarkan terlalu lama mereka mengendap di dasar otakmu kemudian menguap masuk lagi ke hatimu, itu hanya akan menjadi siklus berulang yang tiada habisnya hingga memakan habis senyum manis dan keceriaan di wajahmu. Jadi, Sayang. Berbaiklah pada dirimu sendiri, melembutlah dalam menghadapi perasaan-perasaannya namun bersikap tegaslah dalam mendidik pemikiran-pemikiran negatifnya. Agar tenang hatimu, agar riuh di kepalamu itu mereda, agar kembali mekar senyum kesukaan orang-orang tersayangmu itu. Kita usahakan menjadi wanita yang tenang itu ya, Sayang. Melewati badai-badai di kepala sendirian dan menikmati indahnya pemandangan setelah badai itu. Kita usahakan menjadi wanita yang tenang itu, agar nanti di perjalanan selanjutnya kita sudah pandai dalam mendidik diri, menata hati dan pikiran, sehingga bertumbuh semakin cantik, mekar dan memberikan wangi bagi sekitar. Sebagaimana yang selalu kamu semogakan. Semangat ya, Shalihahku🌹
#catatan#menulis#renungan#kisah#sajak#sajak puisi#puisi#hijrah#puisiindonesia#opini#islamic#islam#islamdaily#muslim
21 notes
·
View notes
Text
Bismillah, Bab Baru
Harusnya gak perlu ada yang beda, harusnya sama aja karena ya cuma ganti angka.
Beberapa tahun belakangan, ulang tahun bukan lagi hari spesial yang amat ditunggu-tunggu. Gak lagi nunggu ucapan atau berharap banyak yang ingat tentang hari lahirku.
Terlebih setelah tahun lalu, nenek berpulang empat hari sebelum hari lahirku. Menyusul kakek yang sudah dipanggil satu setengah tahun lebih dulu.
Kaget, karena kok tiba-tiba langsung hilang dua-duanya. Enam tahun tinggal sama mereka, membuat aku merasa punya 'sedikit' kedekatan emosional. Saat dua-duanya berpulang aku sama sekali gak sempat menyaksikannya. Cuma melalui panggilan video karena keterbatasan jarak.
Waktu kakek meninggal, meski gak sempat mengantar aku masih bisa pulang. Tapi saat nenek yang gak ada, aku sama sekali gak pulang karena ada Bilal yang masih newborn saat itu.
Aku menangis tapi ya sudah. Aku pikir sudah selesai. Ternyata dukaku baru terasa setahun setelahnya. Rasa sedih itu tertumpuk sampai akhirnya aku sadar ternyata aku sedih kehilangan mereka.
Aku sempat bertanya, kenapa kabar baik hadirnya suami dan anakku harus ditukar dengan dipanggilnya mereka? Apakah semua harus ada 'tumbal'nya?
Astaghfirullah, aku sudah berprasangka buruk pada Allah.
Perjalanan menuju 30 tahunku bagiku cukup terjal. Peran baru, rutinitas baru, tantangan baru, dan iman yang justru turun level.
Astaghfirullah.
Ibadah yang ala kadarnya, rasa iri dengki yang sering munculnya, prasangka dan praduga yang membuat hidup makin terasa "ini apa ya?"
Beberapa bulan sebelum Desember, tiba-tiba rasa cemas akan kematian datang. Aku gak tahu kalau jadi istri dan ibu itu banyak yang dipikirkan. Aku sibuk dengan pikiran-pikiran yang aku besarkan sendiri sampai jadi ketakutan yang berulang.
Rasa takut meninggalkan suami dan anak yang masih kecil terus berkembang menjadi pertanyaan "Kalau aku mati, apa yang bisa aku jadikan bekal?"
Astaghfirullah.
Hampir setiap hari rasa cemas itu datang. Bahkan saat kalut setan muncul dengan bisikannya yang maut.
Namun ternyata Allah sayang sekali sama aku. Allah masih jaga dan melindungi aku.
Sampai akhirnya aku dititik memaknai kejadian ini adalah bentuk kangennya Allah sama aku. Allah mau aku kembali bersimpuh dan merayu-Nya lama-lama.
Aku terlalu jauh, padahal setiap hari kita terlalu dekat dengan mati.
Masih sering cari apresiasi manusia, padahal udah tau dapatnya kecewa. Masih taruh harap sama usaha sendiri, padahal keberhasilan diri kalau bukan karena Allah apa bisa? Hidup buat apa sih memangnya? Buat cari ridho-Nya aja kan ya harusnya?
Perlahan, aku mau berlama-lama berbicara sama penciptaku lagi. Bukan saat sedih dan susah. Bukan bersyukur saat senang saja. Tapi setiap waktu.
Meski belum sempurna, tapi aku gak mau jauh dariNya. Takut rasanya kalau Allah gak peduli lagi sama kita. Takut Allah biarin kita gitu aja.
Astaghfirullah.
Semoga hari lahir ini senantiasa bisa jadi pengingat bahwa yang semakin dekat itu kematian. Dan yang paling bisa kita siapkan adalah amal.
Sulit memang. Jangankan untuk bangun di sepertiga malam. Seberapa sering istighfar terlantun dan syukur terucap setiap harinya? Bahkan di tengah-tengah 'kesibukan' kita, berapa kali kita mengingat dan melibatkan Allah?
Astaghfirullah, semoga Allah senantiasa beri rahmat-Nya. Semoga kita selalu diberi kenikmatan dalam beribadah.
Aku bukan manusia sempurna. Aku cuma berusaha untuk lebih baik setiap harinya. Peringatan kematian adalah pelajaran paling mahal dalam perjalanan hidupku. Aku merasa akan jadi manusia yang merugi jika mengabaikan dan menyia-nyiakan kesempatan begitu saja.
Maka sekarang, apapun yang dilakukan harus dilandasi 'hanya karena dan untuk Allah'. Sebab setan masuk dan berbisiknya lebih lihai dari dugaan kita.
Semoga kita dipanjangkan umurnya dalam taat dan taqwa.
Dan akhirnya, angka dua berganti dengan angka tiga. Semoga makin banyak baik dan juga bijaksana.
Aamiin 🤍
13 notes
·
View notes
Text
Sejujurnya, sebelum memulai perjalanan kemarin, banyak sekali takut yang berulang datang. Takut akan keselamatan, takut akan kekurangan, takut akan kekuatan, dsb.
Sebisa mungkin ku enyahkan tiap kali mereka bertandang. Bukan apa, karena aku percaya pikiran yang berulang akan menjadi kenyataan.
Lalu Tuhan menunjukkan jalan, dengan satu per satu hal dimudahkan.
23 notes
·
View notes
Text
Surat untuk Career Class
Kepada Career Class
di tempat
Hai,
Dalam kamusku, aku–sebisa mungkin–menghindari melihat sesuatu hal terjadi karena kebetulan. Karena kupercaya bahwa semua itu sudah diatur melalui ketetapan-Nya. Begitupun ketika akhirnya benang merah kehidupan mempertemukanku denganmu di tengah tidak kunjung meredanya badai pikiran yang juga hampir menenggelamkanku dalam samudera keputusasaan tentang menjadi dewasa.
Dari melewati hari demi hari, bulan demi bulan, aku merasa selalu ditemani hingga tidak lagi punya cukup waktu untuk menatap kosong masa depan yang penuh ketidakpastian. Kau–berulang kali–memberiku satu keyakinan yang semula tidak pernah kupikirkan bahwa : semua orang punya kesempatan untuk mengusahakan apa yang akan terjadi di masa depannya. Tidak ada salahnya dengan berusaha. Jika setelahnya, memang belum sesuai dengan hasil yang kita harapkan, maka tentu ceritanya akan berbeda dengan tidak berhasil tapi sedari awal memang tidak mengusahakan apapun.
Masa lalu kita boleh (saja) kurang baik, tapi masa depan kita (harus) bisa lebih baik.
Terimakasih sudah menjadi wasilah Allah untuk menarik tanganku kembali ke permukaan. Terimakasih sudah membuat banyak warna di kosongnya kanvasku. Terimakasih karena sudah ada. Terimakasih sudah jadi temanku bertumbuh.
Semoga kita keluarga selamanya (sampai surga), Career Class <3
Salam sayang,
-dari (yang akan segera menjadi) alumni CC23-
49 notes
·
View notes
Text
Hal yang paling 'membingungkan' dan bikin 'mikir' baru-baru ini adalah ketika anak dapet undangan ulang tahun dari (anak) tetangga.
Sebetulnya tidak terlalu kenal secara personal, baik saya sebagai ortunya maupun anak kami. Pernah bertemu? Iyes karena tetanggaan tapi belum sedekat itu untuk bisa undang-mengundang.
Pikiran baiknya, mungkin berbaik hati untuk mengundang supaya anaknya senang dan acaranya ramai.
Terlebih nilai keluarga kami; kami tidak merayakan ulang tahun. Tidak ada perayaan atau peringatan apa². Ingat tentu ingat, tapi kita isi hari bersejarah tersebut dengan doa extra dan tetap menjalani agenda harian seperti biasa.
📌 Yang jadi PR/tugas besar adalah bagaimana kami mengomunikasikan (dan mengajari) hal ini pada anak kami.
Hal pertama-tama yang kami lakukan adalah:
- tidak memberi tahu anak soal undangan tsb.
💭 alasannya: anak belum akan mengerti soal perayaan ulang tahun itu apa & gimana, terlebih yang berulang tahun saat itu usianya lebih kecil daripada anak kami. Dia tidak tahu soal undangan itu tidak akan jadi masalah.
- memberi kado/bingkisan untuk anak yang berulang tahun sebagai ganti kami tidak bisa menghadiri acara perayaan tsb.
💭 alasannya: dalam rangka menjalankan norma sosial, menjaga hubungan baik dengan ortu sang anak, niatkan: memberi hadiah bukan untuk ikut merayakan. Memberikan kado lebih awal sebelum acara berlangsung dan mengabari bahwa kami belum bisa hadir karena ada agenda lain.
📌 Ketika nanti anak kami sudah lebih besar, lebih berkembang kemampuan berpikirnya, lebih mampu memahami alasan dan sudah siap menurut penilaian kami, insya Allah akan segera disampaikan 'materi' soal perayaan ulang tahun.
Untuk saat ini kami memilih untuk tidak mengekspos anak dengan kegiatan perayaan² ulang tahun. Mau menjaga dulu.
Khawatirnya akan timbul pertanyaan² semacam, "kenapa ulang tahun dirayakan?" atau "kok adeknya ulang tahun dirayakan, ulang tahunku engga?"
Badcasenya malah jadi ingin (berharap) dapat kado/hadiah dari banyak orang, atau meminta dirayakan. Padahal bukan itu yang ingin kami ajarkan.
Tangerang, 15 Desember 2024 | 05.56 WIB
10 notes
·
View notes
Text
Sebuah Evaluasi Pernikahan
Tentang kendali diri. Mungkin bagi yang telah menikah, di suatu hari pernah ada momen-momen dimana diri menjadi hilang kendali, bingung hadapi situasi, diduga masih terus berlangsungnya proses adaptasi, ya memang tanpa henti.
Apa yang membuat kita hilang kendali?
Sebelum pernikahan terjadi, di dalam pikiran—kita punya konsep ideal tentang sebuah pernikahan. Kemudian ada suatu hal yg tak sesuai ekspektasi kita. Wajar kecewa. Ada sebab-akibat.
Apa yang dilakukan ketika mulai hilang kendali?
Cobalah untuk tidak merespon emosi secara langsung. Berhitung dulu, tidak langsung reaktif.
Lakukan deeptalk dengan pasangan. Tanyakan hal apa yang bikin kamu tak nyaman soal aku? Dan sebaliknya. Jangan pernah bosan lakukan obrolan ini, kasih tahu lagi, kasih tahu terus, bahas berulang-ulang karena memang seperti itu, perlu diingatkan.
Selain itu, buat satu aktivitas bersama di luar aktivitas harian yang menjenuhkan. Kembalikan memorinya untuk mengingat tentang kita, bukan tentang tugas-tugas keseharian.
Apa yang penting untuk disadari?
STANDAR PENTING antara kita dan pasangan boleh jadi berbeda. Tak penting bagiku, bisa penting baginya, juga sebaliknya.
Kemudian, hadirkan sikap toleran pada pasangan. Ya kali mau mengubah satu orang dalam waktu singkat, sementara dia sudah seperempat abad hidup dengan orang tuanya yang memiliki pola asuh berbeda dengan orang tua kita. Hasilnya tentu ada perbedaan dalam keseharian dan hal-hal kecil lainnya yang memang cukup mengganggu.
Bila ada sesuatu yang tak sesuai ekspektasi, contoh kecilnya seperti dalam rumah saya, suami kalau ngepel ampun deh sampai becek lantainya kayak abis banjir, kalau nyuci piring airnya ngucur terus kan boros, kalau bantu cuci baju pernah salah gitu lho padahal pakai mesin cuci, kalau nyapu berisik gedabruk-gedabruk sampai saya takut sapunya rusak hih. Akhirnya berdamai dengan keadaan~ fyuuuuh.
Caranya dengan: diterima aja dulu apa-apa yang tidak sesuai ekspektasi kita. Karena ini dua makhluk yang berbeda dan tidak sempurna. Karena menikah bisa dikatakan adalah kompromi seumur hidup. Maka pilihlah seseorang yang kamu bisa berkompromi atas tindakannya walau itu bikin kamu kesal. Kalau kamu tak bisa terima, jangan paksakan untuk bersama, risiko seumur hidup dihinggapi rasa dongkol apa tidak lelah, sis?
Selanjutnya, sampaikan value kita—yang kalau dilanggar kita akan marah besar.
Merubah seseorang adalah hal di luar kendali kita. Oleh karena itu pikirkan apakah dia bisa toleran dengan value kita? Apakah bisa diupayakan? Ya, pikirkan ya tolong.
Sadar nggak sih, kita kadang nggak sabar sama prosesnya. Terlalu fokus sama tujuan. Jangan bergelut dengan perasaan dan harapan. Fokuslah ke aktivitas.
Proses pahit adalah buah dari tidak sabarnya kita pada diri sendiri, belum menerima dan merasa tidak utuh. Solusinya memang sedikit berat: yaitu ikhlas, ridho.
Jadi, sabar dulu pada diri. Sabar yang ngasih itu Allah, tapi kita bisa berusaha. Let it go, perbolehkan dirimu untuk belum mampu.
Sekian evaluasi pernikahan yang semoga bermanfaat buat yang membacanya.
Bogor, 31 Maret 2023
151 notes
·
View notes
Text
Menjalani hidup baru sekali ini, semua hal yang dilalui serba pertama kali. Bahkan ketika mendewasa, ya ini juga pertama kalinya menjadi dewasa. Sementara waktu terus berjalan dan mungkin sebagian besar dari kita merasa tidak ada pengulangan, tidak boleh buang waktu, nanti kesempatannya hilang. Hal yang membuat kita menjadi cemas jika di waktu-waktu tertentu yang berdasarkan ukuran orang-orang, kita belum sampai.
Belum wisuda, belum menikah, belum memiliki anak, belum memiliki rumah, belum memiliki pekerjaan, dan aneka parameter lain yang dinilai berdasarkan "kapan" nya. Seolah jika tidak sesuai dengan waktunya, maka kita termasuk orang yang gagal. Kita mungkin berusaha sekali untuk mencapai target waktu itu, dari alam bawah sadar kita. Meskipun berulang kali kita "nge-puk-puk" diri sendiri, "Nggak apa-apa." Bekerja keras hingga tak kenal waktu. Bersahabat baik dengan obat-obatan asam lambung, maag, antidepresan, dan lain-lain. Kita sangat bersemangat untuk hidup. Semangat yang membuat kita sering mengabaikan alarm diri; badan, pikiran, dan hati. Bahkan mungkin jadi lupa buat menikmati hasil dari usaha-usaha kita selama ini, menumpuknya, menahannya, dan akhirnya ia dipaksa keluar untuk hal-hal yang tak kita duga. Seperti sakit, kendaraan rusak, kehilangan sesuatu, dan lain-lain. Kita merasa sedih atas hal-hal yang seperti itu.
Bahkan karena begitu semangatnya untuk hidup, kita berubah menjadi terlalu mencintai dunia dan takut mati. Kita lupa mempersiapkan diri buat kematian karena sibuk hal lain.
Apakah seperti ini hidup yang diinginkan? (c)kurniawangunadi
343 notes
·
View notes
Text
M E M U L A I
Ada sesuatu dalam diriku yang sering menangis setiap kali berdiam. Sesuatu itu tak pernah mengenalkan diri, dan seberapa lama pun aku merasakannya aku selalu gagal mengenalinya dengan baik. Hingga suatu waktu aku memutuskan menunjukkan langkah yang sekiranya ia sukai atau sebenarnya itu adalah pilihan yang aku buat agar ia tak lagi banyak menangis.
Hari ini, langkah itu berupa keberanian untuk kembali memulai, kembali menyusuri satu dua hal ringan yang pernah ia bayangkan dalam dialog lewah pikir yang seringnya datang tengah malam. Mendebat habis-habisan diri sendiri apakah layak atau tak layak? Apakah sia-sia atau memberikan setidaknya satu kebaikan? Apakah berdampak atau hanya menghabisi waktu yang pernah dibuat menjadi tak berguna?
Aku dalam dialog itu, masih serupa ragu yang takut akan bagaimana orang bereaksi. Masih takut apakah kali ini akan menjadi pilihan buruk perihal mimpi, yang barangkali tak pernah tertulis dengan pasti tapi sering membayangi dalam gulita setiap mata terbuka pada dini hari.
Sebanyak ketakutan itu muncul, sebanyak itu pula hasrat yang terbangun dari diamnya. Keinginan sederhana yang berulang kali ditidurkan hingga dipaksa mati dengan dalih mencari aman. Ia berontak disetiap kesempatan kapanpun aku ingin berhenti memiliki harapan. Seolah menyerah bukan pilihan. Ya, bukankah seharusnya menyerah tak pernah jadi pilihan?
Tapi menyerah bukan paling berisik yang ada dalam diriku. Adalah memulai yang tak pernah jadi karena katakutan-ketakutan akan pilihan diri yang pasti dipergunjingkan. Padahal menjadi diam tetap harus menerima tuduhan akan hal yang membuat hati kelu akan naasnya tenggang rasa.
Berulang kali aku mempertanyakan itu dalam diri, seberapa lama aku tak berani memulai hanya karena ketakutan yang barangkali tak akan pernah ada? Jika pun ia ada bukankah sudah puas jiwa dan raga dihabisi kawan karena perbedaan pilihan? Bukankah diri telah belajar bahwa setiap jalan memiliki lubang, kerikil dan bebatuannya?
Hari ini, separuh diriku adalah yang berani. Membagi yang selayaknya dibagi dan bicara yang selayaknya dibicarakan. Ketakutan perihal salah yang juga mendebat hati berkali-kali cukup dijadikan tumpuan untuk berpikir lebih baik, agar tak asal lidah bicara, tak mudah pikiran menghakimi.
Separuh diriku yang lainnya adalah kosong, yang selalu mencari kemana saja langkah pergi. Yang aku percaya perlahan akan terisi seiring diri yang berani memulai.
Medan, 22 November 2022
34 notes
·
View notes
Text
Menjadi 23 Secara Tak Terduga
Sejak perilisannya pada september 2022 dan sempet jadi most played track tahun 2023, lagu milik chilldspot satu ini sampai sekarang masih banyak urang putar. Dari semua lagu hidden gem yang urang temui, lagu ini adalah salah satu yang terbaik dan mungkin paling timeless sehingga sampai kapan pun rasanya gak akan bosen ngedengernya.
Beberapa alasan kenapa ‘Ivy’ ini jadi favorit adalah karena meskipun lagu ini gak banyak muluk soal produksi musiknya (gak yang megah dan keren seperti beberapa lagu lainnya, melodinya pun berulang-ulang) tapi ngerasain vibe musiknya dan memaknai liriknya, lagu ini jadi sangat menggambarkan situasi setahun ke belakang. Isi dari lagu ini kurang lebih adalah orang yang selalu memaksakan cita-cita di masa lalunya. Selalu mikirin ‘saat ini, gimana caranya memperbaiki yang sudah lampau itu’, berbagai usaha untuk memaksakan diri sendiri membawanya pada kesimpulan bahwa ‘yang udah lampau mah yaudah, biar aja seperti itu’. Kemudian lagunya ditutup dengan kalimat:
”今日もにこやかに健やかに” ”Tetap sehat dan berseri hari ini juga”
“Kejadiannya begitu cepat” begitu kiranya ungkapan yang tepat menggambarkan tahun ini, 7 Juni gak sadar kelewat jauh sekali, menjadi dua tiga secara tidak terduga. Sempat sekali berfikir ‘ah udahlah hidup pengen ngalir aja, mau dibawa kemana juga hayu’, Tapi nampaknya gaya hidup seperti itu lama kelamaan mengusik juga, entah sebab nurani urang yang menolak, atau ada harapan dari luar urang yang mencampuri, sehingga selalu saja ungkapan itu terbalaskan dengan ungkapan ‘kayaknya masih banyak yang harus diwujudkan dalam diri urang’. Pusing sih, bahkan untuk menata pikiran-pikiran itu pun butuh cukup energi, apalagi untuk mewujudkannya. Mungkin sebab itu juga urang seringkali mengesampingkan kehendak menulis di sini. Tapi nampaknya ngeliat tulisan urang yang dulu kayaknya keren dan ada benernya juga: “Merebah sejenak untuk perjalanan yang lebih jauh”. jadi ya sudah, marilah melepas pikiran-pikiran yang lain untuk merebah sejenak.
Ada progres yang harus terpaksa diberhentikan, ada progres yang harus digeser ‘arah geraknya’. Kadang ngeliat setahun ke belakang, banyak pikiran gak bener kayak ‘maneh goblog pisan bisa jadi kieu’, atau lebih parahnya, menyalahkan orang lain. Tentu itu bukan hal yang baik buat urang sendiri, dan karena itu juga urang harus mengubur dalam-dalam pikiran tadi, sebab mau se-nyorocos gimana pun juga gak akan mengubah fakta bahwa memang itu yang dikehendaki dalam hidup urang.
Untuk tahun ini, kayaknya gak banyak hal-hal yang bisa dibahas, atau lebih tepatnya belum mau dibahas. Karena urang rasa ini tahun yang penuh misteri, tahun penuh alur yang rumpang. Harus Mencari kepingan puzzle yang hilang, dan melakukannya gak mudah dan gak sebentar, jadi masih di-keep untuk sendiri. tapi janji, setelah semuanya kejawab, pasti ini jadi hal yang memorable dan pasti akan tumbuh kehendak untuk menceritakannya. persis kayak reels dari Agus Kuncoro Adi ini.
Yang kuat aja bertahannya, yakin nanti datang plot twist yang akan dihadirkanNya, kemudian kamu akan merasa semuanya jadi masuk akal, lalu kamu bilang ke diri kamu sendiri:
"That was a good plot"
From : '22 years old’ Me
To : '23 years old’ Me
5 notes
·
View notes
Text
Jurnal 4 - 30 Januari 2025
Allah, Aku Berdosa Lagi. Aku Harus Bagaimana?
Hujan turun lebih lebat dari biasanya. Malam ini, kedua mataku ingin sekali menangis, sederas hujan yang sedang berbunyi riang di atas atap rumah. Aku ingin duduk tersedu-sedu di atas sajadah, menyerahkan diriku yang hina pada Yang Maha Memiliki jiwa nan lemah ini. Aku ingin bersujud dengan air mata tumpah, menyerah pada keadaan yang tak kan pernah mampu aku perjuangkan dengan mengandalkan jiwa dan ragaku sendiri.
Allah..
Bahkan katanya, jika langit semakin malam, tandanya fajar akan datang. Bahwa senantiasa selalu ada jalan keluar bagi hamba-hambaMu yang sedang tersesat.
Tapi Allah..
Dimanakah jalan keluar dari labirin yang menjebakku dalam kenestapaan dan kefanaan dunia?
Kedua mata, kedua tangan, kedua kaki, kedua telinga, lisan, hati, hingga pikiran.. kelak kan bersaksi di hadapan-Mu, tentang dosa-dosa yang tak pernah mampu raga titipan ini memperjuangkannya. Tentang maksiat-maksiat yang tak pernah berkurang, namun terus bertambah, hingga ia tak tau lagi dimanakah mesti ia letakkan wajahnya yang telah gelap gulita itu?
Allah..
Masih adakah pintu keluar untukku? Di antara semak belukar perjalanan yang membuatku malu untuk kembali pulang menemui-Mu. Masih adakah ruang maaf untukku? Di antara jurang-jurang neraka yang telah siap sedia membakar seluruh ragaku hingga gosong dan tak mampu menyicipi Syurga-Mu setitik air pun jua?
Kemanakah aku mesti mencari kunci? Kemanakah aku mesti menoleh? Kemanakah aku mesti melangkah dan meninggalkan jiwaku yang telah kering kerontang dalam tumpukan dosa maksiat yang tak berkesudahan?
Aku malu.. bahkan untuk mengakui ini, aku malu. Aku hina, lebih hina dari para pendosa di muka bumi-Mu ini.
Lisanku tak terjaga walau aku sudah berusaha, hatiku tak mampu menepis kesu'udzonan duniawi walau aku telah mencobanya berulang kali, telingaku masih asik mendengarkan jahily walau berulang kali nasihat-nasihat ukhrowi bermunculan menegur, kedua mataku tak terjaga.. apakah aku.. belum sepenuhnya mencintai-Mu? Bagaimanakah caraku agar aku mampu.. untuk tak tergelincir lagi?
Faghfirlanaa ya rabb.. tolong kami, ampuni kami 😭🤲🏻
2 notes
·
View notes
Text
Menulislah. Tak Apa Meski Tak Meyenangkan Semua Orang
Sebagai seseorang yang suka menulis, kamu tak pernah berniat menjadikan tulisanmu sebagai peluru yang melukai orang lain. Kamu hanya menumpahkan pikiran, menggambarkan realitas, atau sekadar bercengkerama dengan kata-kata. Tapi di luar sana, selalu ada individu yang merasa tertembak. Mereka membaca, merasa tersindir, lalu diam-diam menyulut kebencian terhadapmu.
Memang membingungkan, kadang. Bagaimana bisa sebuah tulisan, yang bahkan tak menyinggung siapa pun secara spesifik, memicu reaksi personal seperti itu?
Memang benar, menulis bukan hanya soal kamu dan kata-katamu, tapi juga tentang mereka yang membaca. Tapi, bukan berarti kita harus memuaskan atau meredakan segala perasaan, kan? Kadang-kadang, menulis bisa lebih tentang kejujuran daripada melayani setiap perasaan. Kalau ada yang merasa tersentuh atau tersindir, itu bukan sepenuhnya salahmu. Toh, kamu menulis untuk dirimu, untuk suara yang terus berdenyut dalam pikiranmu, dan mungkin—jika semesta mengizinkan—untuk mereka yang mencari makna yang sama.
Mestinya, seperti itu juga tidak apa-apa, mengingat menulis adalah proses yang tak pernah selesai. Membiarkan menulismu tetap menjadi ekspresi yang jujur adalah tahap yang tak boleh dilangkahi. Mungkin pada awalnya kamu menulis hanya untuk menjadi jujur—mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran atau hati, namun akan ada saatnya, ketika kejujuran itu tidak lagi cukup, menulis akan mengajarkanmu untuk melihat lebih jauh, mendengarkan lebih dalam, dan mungkin akan menyadarkan bahwa menulis adalah lebih dari sekadar itu. Kamu akan mengerti bahwa menulis adalah cara berbicara dengan dunia yang lebih luas. Kamu akan memahami, ada lapisan-lapisan yang tersembunyi, kepekaan terhadap suara-suara lain yang kadang baru kamu temui setelah berulang kali menulis dan merenung. Saat itu, segalanya akan berubah perlahan dan kamu akan merasa perlu menulis bukan hanya untuk sekadar jujur, tapi juga peka terhadap nuansa dan banyak lapisan perasaan pembaca.
Kau akan sampai di sana, nanti. Sekarang, nikmati dan jalani saja prosesnya. Pertahankan warnamu. Jangan kehilangannya oleh tuntutan akan hal-hal yang belum kau kuasai.
5 notes
·
View notes
Text
Strawberry Shortcake
"Sekarang rasanya gimana? Berarti udah lebih lega?" Temanku bertanya ketika aku sedang menceritakan kisah hidup yang sama dengan episode yang berulang ini. "Kalo dibilang lega, ada leganya, sih. Ngga keliatan dan kerasa persis, tapi dari perilaku yang sudah mulai bisa menerima seseorang untuk mencoba masuk ke hidupku, ya walau gagal, kayanya itu salah satu respon dari kelegaan ini."
Ngga ada yang bilang mudah hidup jadi generasi roti lapis. Menopang kaki sendiri aja susah, ditambah harus menopang yang lain apa tidak megap-megap?! Terperangkap pada kata berbakti padahal ikhlas belum sampai masuk ke hati. Ditambah topping-topping trauma, yg bikin hidup kaya semboyan Chitato, life is never flat.
Beberapa minggu lalu aku mengenali diriku lebih dalam setelah mengikuti salah satu webinar psikologi. Anak perempuan pertama, apalagi si roti lapis, mempunyai peluang lebih besar takut akan pernikahan. Sebabnya adalah ia terlalu banyak hidup dalam mode survival. Ia melihat pernikahan seperti sebuah arena baru yang ia tidak tau akan ada ancaman apa di dalamnya. Arena yang ia jalani saja sudah cukup sulit, bagaimana ditambah harus berpetualang di arena yang lain? Hidupnya jarang berada pada mode aman, maka wajar jika ia memiliki kemampuan memecahkan masalah, memimpin kelompok, juga keberanian yang cukup besar. Karakter-karakter yang wajib dimiliki para survivor. Minusnya, ia tumpuk semua masalah sendirian. Tidak ingin terlihat lemah, bukan karena si paling kuat, tetapi tempat bersandar tak boleh mudah goyah. Jika terus begini, akan berbahaya bukan hanya untuk dirinya, tetapi bisa jadi untuk orang lain. Seperti sebuah balon yang terus-terusan diberikan tekanan udara terus-menerus.
Strawberry shortcake. Istilah yang temanku berikan untuk para generasi roti lapis. Katanya, biar berlapis tapi manis. Mari meyakini kembali bahwa tidak ada perjuangan yang berakhir sia-sia. Tidak ada secuil bagian hidup pun yang tidak mengandung hikmah. Akan selalu ada alasan mengapa hal ini dan itu terjadi. Nggapapa, yakin itu kadang yakin banget, yakin aja, kadang malah yakin ngga ya? Kalau sudah mulai bertanya-tanya, afirmasi lagi dari awal, langitkan lagi doa-doa untuk melapangkan hati dan menjernihkan pikiran. Hidup ini memang isinya bertahan-berjuang-bertahan-repeat.
3 notes
·
View notes