#Goresan kata
Explore tagged Tumblr posts
Text
Menerima Luka dan Menyembuhkan Diri
Luka, baik itu fisik maupun emosional, selalu meninggalkan bekas. Ada kalanya luka itu dapat terlihat jelas, seperti goresan di kulit, atau terkadang tersembunyi dalam-dalam di dalam hati kita. Namun, satu hal yang pasti: luka tidak bisa disembuhkan hanya dengan harapan atau keinginan semata. Penyembuhan adalah proses, dan sering kali, luka memerlukan waktu untuk benar-benar sembuh. Seperti halnya memaafkan, yang sering kita anggap sebagai solusi instan untuk menghilangkan rasa sakit—memaafkan ternyata bukanlah obat mujarab yang bisa menghapus segala perasaan terluka dalam sekejap.
Memaafkan, meskipun sering dianggap sebagai kunci utama untuk penyembuhan, pada kenyataannya bukanlah langkah yang mudah atau cepat. Memaafkan bukan berarti melupakan atau menerima segala yang telah terjadi tanpa memperhitungkan dampaknya. Memaafkan adalah proses yang membutuhkan waktu, pengertian, dan, yang terpenting, kesabaran.
Ketika kita terluka, terutama oleh orang-orang yang kita percayai atau cintai, rasa sakitnya tidak akan hilang hanya dengan satu kata maaf. Memaafkan bisa menjadi langkah pertama untuk melepaskan beban emosional, namun proses ini jauh lebih kompleks daripada sekadar mengatakan kata "maaf". Memaafkan membutuhkan kita untuk menghadapi perasaan yang terkadang sangat dalam dan rumit—perasaan marah, kecewa, bahkan rasa tidak adil yang terpendam dalam diri kita. Memaafkan tidak serta-merta menghapus rasa sakit itu; yang ada adalah sebuah ruang untuk memulai proses pemulihan.
Penyembuhan diri, pada kenyataannya, dimulai dengan menerima luka tersebut. Menerima bahwa kita merasa terluka dan mengakui bahwa perasaan itu ada. Luka emosional sering kali dianggap sebagai kelemahan, sehingga kita cenderung menyembunyikannya atau mengabaikannya. Padahal, dengan menerima luka, kita memberi diri kita kesempatan untuk merasa dan meresapi proses penyembuhan itu. Jika kita terus-menerus menekan perasaan kita, luka tersebut hanya akan mengakar lebih dalam dan semakin sulit untuk disembuhkan.
Proses menerima luka tidak berarti kita harus menyetujui tindakan yang menyebabkan kita terluka, tetapi lebih kepada memberi diri kita ruang untuk merasakan sakit itu tanpa rasa malu. Hanya dengan begitu kita bisa mulai memproses perasaan tersebut dan melangkah menuju pemulihan. Penyembuhan emosional tidak bisa dipaksakan; itu adalah perjalanan yang memerlukan waktu dan penerimaan.
Setelah menerima luka, barulah kita bisa mulai membicarakan tentang memaafkan. Tetapi sekali lagi, memaafkan bukanlah langkah yang instan. Proses ini memerlukan waktu yang bervariasi bagi setiap orang. Ada kalanya kita merasa bahwa memaafkan adalah hal yang mustahil dilakukan, dan itu adalah hal yang wajar. Kadang-kadang, kita harus memberi diri kita waktu untuk tidak langsung "baik-baik saja" hanya karena kita sudah memaafkan seseorang.
Memaafkan bukan tentang membenarkan tindakan orang lain atau melupakan kesalahan yang terjadi. Memaafkan adalah tentang membebaskan diri kita dari beban emosional yang menghantui kita, yang sering kali menghalangi kita untuk melanjutkan hidup. Memaafkan memberi kita kesempatan untuk melangkah maju tanpa terikat oleh kebencian atau rasa sakit yang lama terpendam.
Namun, meskipun memaafkan adalah langkah penting, kita juga harus sadar bahwa luka tidak sembuh dalam semalam. Kadang-kadang, meskipun kita telah berusaha untuk memaafkan, rasa sakit itu tetap ada. Itu adalah bagian dari proses. Memaafkan, meskipun itu adalah tindakan yang membebaskan, memerlukan kesabaran dan keteguhan untuk terus berusaha hingga akhirnya kita bisa menemukan kedamaian dalam diri kita.
Penyembuhan diri, pada akhirnya, adalah tentang memberi kesempatan pada diri kita untuk tumbuh melalui luka tersebut. Luka yang kita alami bisa menjadi guru yang mengajarkan kita banyak hal—tentang kekuatan kita, tentang ketabahan, dan tentang bagaimana kita bisa mencintai diri kita sendiri meskipun telah terluka. Terkadang, luka mengajarkan kita untuk melihat dunia dengan cara yang lebih lembut, lebih bijaksana, dan lebih penuh kasih.
Seperti halnya memaafkan yang bukanlah obat instan, begitu juga dengan penyembuhan luka. Tidak ada jalan pintas untuk itu. Proses ini membutuhkan waktu, perhatian, dan usaha yang konsisten. Kita mungkin akan terjatuh beberapa kali, merasa kesakitan, atau merasa bahwa kita tidak akan pernah benar-benar sembuh. Namun, setiap langkah kecil yang kita ambil menuju pemulihan adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar. Melalui luka, kita belajar tentang ketahanan, keikhlasan, dan kekuatan diri kita yang sejati.
Pada akhirnya, menerima luka, menyembuhkan diri, dan memaafkan bukanlah tentang menghapus apa yang telah terjadi, melainkan tentang memberi kita kesempatan untuk menjadi lebih baik. Luka akan selalu ada sebagai bagian dari perjalanan hidup kita, namun bagaimana kita menghadapinya—dengan menerima, memaafkan, dan akhirnya sembuh—adalah yang akan menentukan siapa kita ke depannya. Dalam setiap luka, ada potensi untuk menemukan kedamaian, dan dalam setiap proses penyembuhan, ada peluang untuk tumbuh menjadi lebih kuat dan lebih bijaksana.
-s.b
12 notes
·
View notes
Text
Doa untuk Langit Kelabu
@jejak-aksara
Sudah lama, rintik tidak lagi berjatuhan. Hanya beberapa kali tebendung di pelupuk mata. Pura-pura tak apa, padahal ada rasa sesak yang meronta. Sesekali ditumpahkannya segala keluh kesah rintik di atas selembar kertas. Tidak berupa air mata, tetapi cinderamata sang pujangga untuk kekasihnya yang telah lama pergi jauh. Hatinya telah lama runtuh, tetapi rasa cintanya masih saja utuh.
Peluk jauh, untuk seseorang yang sudah lama tak berlabuh. Pada raga yang tidak lagi kau sebut sebagai rumah. Pada hari yang tidak lagi ramah. Serta, pada kisah yang kini telah punah.
Sesaat setelah surat ini sampai kepadamu, dalam beberapa waktu setelahnya kau tidak akan menemukan asa dan harapan dalam setiap kata yang ditumpahkannnya lewat goresan pena. Hanya doa yang bisa menjadikan cinta di dalamnya melekat dalam setiap untaian waktu.
Untukmu, langit senja yang kini berubah menjadi kelabu.
Ruang Rindu, 5 Mei 2024
44 notes
·
View notes
Text
23 Tahun: Seharusnya aku sudah selesai pada luka itu
Orang-orang yang dulu menyakitiku, mungkin sudah lupa bagaimana sedihku, perihku, serta tangisku pada hari itu. Goresan kecil di tangan dengan sedikit darah, perlawananku, serta kata pembelaan angkuh yang bisa aku keluarkan kala itu mungkin sudah hangus dalam pikiran mereka. Mungkin bisa jadi, jika aku ceritakan bagaimana bencinya aku atas kejadian itu membuat mereka bertanya: Apa benar aku pernah melakukannya?
Seharusnya aku bisa memaklumi perilaku anak kecil yang polos lagi sedang bersemangat untuk menunjukkan kekuatannya. Anak laki-laki yang ingin dilihat, didengar, disegani oleh lingkungan sekitar lantaran banyaknya orang yang melihatnya dengan sebelah mata dan merendahkan kemampuannya. Seharusnya aku bisa memahami bahwa anak laki-laki itu hanya meminta perhatian dan penghormatan meski menggunakan cara yang melukai seseorang.
Tapi nyatanya berdamai dengan masa lalu tidaklah mudah. kenang-kenangan yang aku peroleh dari masa kecil itu membuat pandangan hidup serta rasa-rasa yang hadir tetap berkaitan. Aku tetap terhubung pada masa itu, terutama setiap kali aku mulai percaya pada seorang laki-laki.
Banyak pertanyaan yang memenuhi pikiranku dan berkecamuk begitu kuat. Seringnya berbuah keraguan dan kesedihan serta gelombang yang mempertontonkan bagaimana kejadian masa lalu itu begitu menyakitkan.
Mampukah dia menghargaiku dengan sebaik-baiknya penghargaan? Mampukah dia memahamiku dengan segala bentuk kekurangan serta luka yang terkadang membuatku rapuh? Mampukah dia menahan perkataan kasar serta merendahkan tatkala amarahnya sedang berkecamuk? Mampukah dia tidak menghinaku saat kondisi fisikku tidak mampu memanjakan penglihatannya?
Ya, pertanyaan yang memenuhi isi kepala ini bukan lagi seputar harta dan kecukupan ekonomi. Kekhawatiran terbesar letaknya pada perilaku. Meski aku tahu bahwa luka ini berada pada kendaliku, tapi aku juga terkadang tidak mampu jika terus menerus dihadapkan dengan sinyal-sinyal yang mengingatkanku pada masa itu.
Aku tahu bahwa berdamai dengan masa lalu adalah keharusan. Tapi berdamai bukan berarti melupakan semuanya. Ada sisa rasa yang masih menetap dan membesar tatkala diingatkan kembali. Perihnya, derasnya, sedihnya bukan perkara mudah untuk dihilangkan.
43 notes
·
View notes
Text
selamat, ya…!
menatap wajah rembulan di secangkir kopi bersama secarik foto kenangan. telah kutulis untaian mimpi-mimpi di sebaliknya saat keakraban mulai menautkan hati kita. meski goresan tintanya telah pudar oleh waktu, ingatan tentang kalian senantiasa melekat. sebab kata ‘teman’ bagiku adalah hikmah sekaligus pengingat betapa rapuhnya seseorang yang berjalan sendirian di dunia.
aku mengerti, terdapat sejuta cerita yang tak sempat diperdengarkan di balik senyum dan tawa itu. kita memang dibatasi masa yang singkat dan jalan hidup yang sering kali melebarkan jarak. meski kabar tentang kalian tak pernah sampai di telingaku, kalian hadir menjelma nasihat dan inspirasi dalam ketaatan kepada Yang Maha Pengasih.
bulan…
tolong sampaikan ucapan selamat kepada mereka yang akhirnya menamatkan salah satu bab paling berkesan dalam buku kehidupan masing-masing. terima kasih telah berjuang dan tidak menyerah bagaimana pun kondisi yang harus kalian hadapi. syukurlah… kita semua berhasil lulus dari bab yang mempertemukan kita di dalam wadah dengan visi misi mulia.
“mungkinkah kalian berjalan beriringan lagi di lembar-lembar berikutnya?” tanya bulan.
“entahlah,” jawabku. “tapi, kuharap doa-doa baik selalu dapat menemukan mereka.”
surabaya, 14 agustus 2024
#ntms#reminder#tulisan#puisi#inspirasi#motivasi#sajak puisi#sajak rindu#puisiindonesia#quotes#sahabat
7 notes
·
View notes
Text

Untuk Laksamana,
Orang bilang aku ini sang petualang. Mereka mengenalku serdadu tanpa tuan. Kakiku bebas berpijak dimana saja. Tapi yang mereka tahu, aku selalu pulang jika bulan sudah ingin mengekang.
Aku tak membawa senapan yang diselipkan di antara pinggang. Tak juga belati yang tajam menusuk sanubari. Aku hanya membawa dawai sebagai tamengku dari kesepian.
Aku tak mengenal musuh, tak mengenal kawan, tak mengenal apapun yang disebut taktik peperangan. Aku hanya serdadu yang awam dengan kekejaman. Tugasku hanya memastikan penduduk suka cita dengan petikan dawai yang kupunya.
Hari itu, saat rembulan muncul di permukaan angkasa, aku melihat ujung geladakmu yang perdana. Helaian suraimu berkibar bersama alunan angin yang terperangah.

Tak ada yang mengerti tentang apa arti debaran yang bersarang terbungkus jantung dan terpenjara rusuk. Semua bermain dengan nada yang sembrono serta tidak terpaut kunci yang sesungguhnya. Hanya secarik bibirmu yang melengkung membentuk busur. Kiranya, baru kali ini aku lihat senyum selayak madu yang dihasilkan oleh ratunya.
Manis
Tatkala aku hanya ingin bersikap naif, tak ingin lebih jauh menjamah bahteramu yang berbau air laut itu. Membiarkan sayup tutur puja dari para pujangga yang menggilaimu. Tiap bait yang tercecah tinta itu tersusun rapih membentuk bait-bait puisi. Nyatanya, semua itu hanya untukmu.
Yang dipuja menorehkan kesan luar biasa di tiap hati manusia. Kau memimpin samudra dengan cakap, mengarungi puluhan badai tanpa gegabah. Kau memiliki dunia hanya di atas genggamanmu saja.
Nyaris, aku terpana, terperangah, nan terpesona.

Kelam yang membujur dari khatulistiwa lantas membuatku menemukan sang pelita, kau, Laksamana. Kedua obsidianmu membidik langsung ke dalam jantung hatiku. Menancapkan panah rindu yang tiada sudahnya. Kelak, ingin aku tabung rindu itu agar engkau tahu bagaimana aku dibuat kaya raya oleh daya pikatmu.
Aku menyerah pada egoku sendiri, ternyata aku memang menggilaimu sepanjang hari tanpa aku sadari. Lain halnya dengan para pujangga itu, sajakku tak pernah ingin lahir dari jemariku. Ia hanya membentuk syair lirih yang sudah berkawin dengan semilir angin. Terkadang kutemani dawaiku untuk mengiringinya. Berharap suatu saat telingamu menangkap kidungnya.
Sial, tampaknya itu tidak berhasil jua. Engkau semakin tenggelam dalam pesona lembayung di ujung samudra. Tak menghiraukan apapun bentuk partikel yang menyapa pancaindramu seutuhnya.
Syairku akhirnya terbit juga

Kadang kala aku merasa malu dengan para pujangga yang tampak percaya diri melayangkan hasil karyanya kepadamu. Meskipun entah kau lirik atau bahkan berakhir kering dibawa kembali sang burung merpati. Mereka tak gentar jua.
Aku pun sama, kupaksakan aksara itu terbentang di atas putih. Memainkan segala bentuk guru lagu agar larik ini semakin merdu meski hanya sekadar kau baca. Mungkin ini rasanya akan sangat picisan dan terkesan membual. Aku harap kau sudi membacanya hingga akhir, Laksamana.
Aku, serdadu tak bertuan, seorang amatir yang teguh pendirian. Aku mengaku sudah terjatuh atas pusaran rasa yang kau terbarkan. Menaruh harap pada kepercayaan diri untuk mengabdikan tanggung jawabku setelah sekian waktu memujamu.
Terlalu lama aku kurang ajar dalam mengambil rindu secara diam-diam padamu. Membiarkan rasa pelik yang tak temu titik terangnya menggerayangi tubuhku tanpa ada penawarnya. Semua menemui puncak setelah kau kembali di telan riak air yang menghantarkan pilaumu ke laut lepas. Dawaiku tak menemukan nada yang seharusnya, jemariku hanya semakin membuat goresan tak berarti pada melodinya. Aku kehilangan separuh jiwaku yang kau bawa berlayar di atas deburan ombak.
Namun pilu itu redup, menghilang perlahan tergantikan harapanku yang terbit. Kau kembali ke sini, membiarkan jangkarmu mengakar di dasar dan menuntunmu untuk berdiri di zamin ini. Begitupun dengan mawar di dadaku yang tumbuh mekar, mengundang banyak kupu-kupu untuk bersarang di sekujur tubuh.

Kurasa, aku telah menemukan tuan baru. Mematahkan segala pendirianku untuk tidak tanduk pada siapapun. Menjaganya dari kejamnya hukum lautan, meski aku tahu kau lebih menguasai dari segalanya. Menanamkan benih merah muda di atas geladak bahteramu. Menyelimuti dirimu sendiri dengan taburan rindu dan kasih yang kupunya. Menjadi teropongmu dalam memaknai kehidupan. Bahkan, aku siap menukarkan jiwaku pada sang penguasa demi bisa melebur bersamamu.
Laksamana,
Sudilah kiranya engkau menarikku ke dalam mahligaimu. Ajak aku dalam menyelami hatimu bersama-sama. Jangan beri aku upah, aku tidak butuh emas dan permata. Lekaslah beri cinta pada serdadu yang dirundung suka, yaitu aku. Ciptakan percikan temaram romantis hingga penghuni nirwana enggan untuk mengutuk kita. Biar aku membawa dawaiku, memetiknya, dan bersenandung merdu untuk kembali membuat syair pujaan atas dirimu.
Sungguh, kaulah Laksamana, sang pelita pujaan hatiku.
Dari aku,
Sang Serdadu penggilamu.

22 notes
·
View notes
Text
K(Aya)
Kejadian ini aku ingat sekali.
Waktu itu Alhamdulillah Ami diberi rezeki untuk bisa beli motor, yang mana ini menjadi kendaraan pribadi di rumah setelah puluhan tahun Allah mengambil nikmat kemampuan untuk membeli barang berprioritas sekunder bagi kami.
Nah, karena motor masih baru belum bisa digunakan ke jalan protokol jadi Ami masih menggunakan jemputan pabrik. Lalu Ai izin pinjam, singkat cerita waktu Ai mau memarkirkan di halaman rumah, motor yang di parkir kurang seimbang dan meluncur ke bawah. Menyebabkan banyak goresan dan beberapa bagian motor patah. Ketika Ami pulang sudah terprediksi akan marah besar. Dan aku paling takut kalau Ami lagi marah, seperti bukan Ami.
Ah situasi kacau, lalu mamah lebih marah melihat kemarahan Ami dan bilang:
"Kalau Aa gak mau barang Aa rusak ya simpan jangan di pakai sekalian, jangan dipinjamkan. Aa boleh marah kalau barangnya dirusakin tapi kan ini gak sengaja. Namanya musibah gak ada yang tahu, namanya juga barang gak akan selalu awet, selalu bagus. Inget a, barang rusak bisa diperbaiki bahkan bisa dibeli lagi. Tapi saudara gak akan ada yang bisa ganti, mau dicari kemana?"
Aku nangisin Ai yang dimarahin Ami, aku nangisin mamah yang lagi marah, aku nangis karena ngerasa Ami jahat ke saudara sendiri.
Waktu berlalu, ternyata nilai itu terinstall. Aku jadi belajar bahwa dunia itu bisa rusak lalu digantikan, bisa awet lalu ditinggalkan, bisa banyak tapi penuh ujian, bisa sedikit tapi rasa syukur kita berlipat-lipat.
Cerita hidup jatuh bangunnya mamah dan bapak dulu. Aku belajar sekali, dari ada lalu tidak ada lalu Allah beri secukupnya. Sehingga aku belajar tidak perlu terlalu lekat karena cuma titipan, bisa diberi tanpa diduga-duga, lalu bisa Allah ambil kembali tanpa aba-aba. Jadi secukupnya, seperlunya, yang harus dikejar adalah keberkahannya. Rezeki yang banyak belum tentu berkah tapi rezeki yang berkah akan terasa lebih banyak.
Pengen jadi orang kaya, tapi yang shalih. Pengen jadi orang kaya biar bisa bantu banyak orang. Pengen jadi orang kaya yang kaya imannya, kaya hatinya, kaya hartanya juga kaya amal shalihnya.
Kalau kata orang Sunda cenah:
"Teu nanaon teu kaya oge, nu penting mah lamun nuju butuh aya." hehe intermezzo nya
5 notes
·
View notes
Text
Ribuan kata telah ku rangkai menjadi sebuah kalimat dalam beberapa bab. Ku tata bahasanya sedemikian rupa agar kau memahami apa yang ku rasa selama ini.
Kata demi kata ku ukir dengan rapi, disetiap goresan nya mengandung banyak makna tersirat. Ini kisah tentang ku, yang mencintai mu tanpa syarat.
Kau tau, kisah kita telah ku abadikan dalam beberapa buku.
Andai kita masih bersama, akan ku berikan setiap buku ku pada hari kelahiran mu. Agar kau tau bagaimana bahagia & bersyukurnya aku bisa mengenal laki-laki sepertimu.
Namun kini, buku-buku itu hanyalah hiasan belaka, yang ku taruh di rak buku bersanding dengan foto-foto mu.
04.10.24R
2 notes
·
View notes
Text
13/366
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” ― Pramoedya Ananta Toer
Sekedar mengingatkan betapa diri ini dahulu sangat suka dengan surat, buku dan segala artifak yang mengingatkan pada sosok seseorang. Terlepas cenderung suka atau tidak dengan nya.. Dan begitu juga kegiatan menulis dan menggambar coretan coretan untuk nanti ditularkan ke anak cucu. Sungguh cita-cita terbesar adalah menyebarkan ilmu itu bermanfaat hingga nanti menjadi jalan ketika diliang lahat.
Dari banyak cerita soal hidup, yang berperang sebagai seorang yang melankolis. serta menjadikan sarana menulis untuk sekedar berbicara kepada diri sendiri. mengingatkan dahulu sejak masa sekolah, berawal dari kegiatan menulis mengenai otak dan kecerdasan. kemudian berlanjut pada perang nan segala ketidak adilan serta protes-protes masyarakat terhadap pemerintah yang berkuasa. dan pula kebencian saya terhadap candu ( yang dalam hal ini disebut agama dan cinta ). Hingga kini semua terangkum dalam tulisan yang tertulis di buku yang diberi nama ..........
Hingga sekarang telah lahir beberapa buku yang ditulis dengan tinta dan akan terus berlanjut hingga denyut nadi membisu di sebuah peti berukirkan"bersamanya telah tiada seorang revolusioner". Begitulah sekelumit impian receh yang pernah diperjuangkan dahulu.
namun dalam tulisan ini inginnya tak akan membahas banyak mengenai diri sendiri (nun ternyata 100% narsisitasnya berkata demikian). pun pula patut diapresiasi atas usaha dalam menuliskan beberapa pesan kepada (?). Aku suka dengan tulisan sesiapa. Aku suka dengan cara pandang sesiapa dalam melihat dunia. Aku suka cara pemilihan kata yang menandakan sesiapapun itu manggunakan perasaan dan pikirannya yang mendalam dalam menulisnya.
Namun memang tak bisa dipungkiri, Dalam bahasa yang lebih melankolia, kurasa. Refleksi dari buku buku yang dibaca sedikit banyak berpengaruh terhadap mindset yang kau sajikan kepada (?). Memang tak bisa melarang bahasa yang terpengaruh puitis khas melankolis. Atau cara seseorang menulis yang statis lagi mencari-cari arti selanjut makna. Dari perasaan yang kadang kau sibukkan untuk memenuhi nadi nadi goresan. Memang kadang terasa penat untuk membaca. Apalagi ketika dikau menyelipkan sebuah buku dengan aliran romantisme lainnya. Duh.. tapi Don't judge the book by cover. Aku membaca.
Namun, dari semua cerita yang disampaikan kepada (?). Aku mengerti. untuk menerima segala keabsurdan yang menjangkit jiwa lelaki ini. Butuh sebuah intuisi pendamping yang rela dengan tulus menerima segala hal yang ada didalam diri.
Kita mengetahui banyak dari teman akrab kita. Menjadi dekat karena dengan ketulusan mereka mau mentolelir kekurangan kita. sembari menyeimbangkan dengan nasehat nasehat bermunajatkan cinta yang kerap kita anggap acuh dan sok care buat dibahas. Namun ketahuilah, dalam cinta. Kita selalu menarik sesuatu yang sefrekuensi dengan kita. Kita akan sangat susah untuk memaksakan orang untuk sefrekuensi kecuali orang tersebut memiliki Visi yang berdasarkan dari pemikirannya. Namun bukan berarti perasaan saya nafikkan disini. Tentu tidak. Perasaan yang akan menghiasi ikatan tersebut. Bagaikan Rantai emas yang menjaga agar lampu kristal yak terjatuh dan pecah dari gantungannya.
Begitulah sekelumit pesan yang aku sampaikan. Pahamilah setiap diksi, buka segala pintu yang mendekatkan pada kebenaran. karna sesungguhnya tak ada maksud lain dariku selain untuk membukakan jalan baru bagimu melihat sisi lain dunia (?).
Et lux in tenebris lucens, et deducet in spe, Dear.
From Solo, With Love..
In Memoir of Me (2013)









13 notes
·
View notes
Text
Ini cerita pertama yg aku up di Tumblr, Semoga kita bisa mengambil nilai di dalamnya, terkhusus untuk diriku
Tanpa Judul
Di tengah kilau metropolitan yang tak pernah surut, aku menjadi tokoh wanita berusia dua puluh empat tahun untuk kehidupanku sendiri. Melangkah dalam pelan dan hening, bagaikan butiran debu dalam hembusan angin waktu. Setiap pagi, aku menelusuri koridor gelap menuju ruang kerjaku, tempat di mana rutinitas yang membosankan perlahan mengikis kedamaian batinku, menyisakan goresan-goresan samar di permukaan jiwaku. Aku merasa seperti nebula yang redup di hamparan angkasa, kehilangan orbit dan tujuan.
Hari ini, aku merasa semesta mendukung kegelisahan dalam diriku. Hujan turun deras dan mengaburkan batas-batas cakrawala kota, aku secara kebetulan menemukan sebuah toko barang antik yang tersembunyi di celah-celah gedung tinggi. Toko itu, bagaikan harta karun yang tertutup debu waktu, memamerkan barang-barang tua dengan aura misterius. Di antara tumpukan artefak yang hampir tidak terlihat, sebuah buku tua dengan sampul terukir halus menarik perhatianku. Buku itu tak bertajuk, hanya terdapat satu kalimat yang samar: "Sekelumit Jawaban."
Setibanya di rumah, aku membuka buku tersebut dengan hati-hati, hanya untuk menemukan satu halaman yang berisi tulisan tangan kuno: "Di sinilah perjalananmu dimulai." Dengan rasa penasaran yang membara, aku mulai menuliskan perjalanan hidupku, berharap bisa menemukan sedikit pencerahan. Setiap malam, aku menuliskan lamunan dan keresahanku, melukiskan keberagaman emosi yang mengisi hari-hariku.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku merasa bahwa menulis tidak cukup untuk mengatasi keraguan yang mendalam. Ada bisikan dalam diriku yang seolah mengatakan bahwa aku perlu lebih dari sekadar merangkai kata untuk menemukan pemahaman sejati.
Suatu malam yang tenang, aku memutuskan untuk menjelajahi sebuah kafe kecil di sudut kota yang jarang tersentuh oleh keramaian. Kafe tersebut, dengan nuansa hangat dan cahaya temaram, seolah tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Di sudut kafe yang sepi, aku bertemu dengan seorang pria tua yang duduk sendirian, membaca koran dengan tatapan yang dalam dan penuh makna. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang memikatku, seolah dia menyimpan kunci untuk memahami misteri yang membelenggu hidupku.
Percakapan kami berkembang menjadi diskusi mendalam tentang esensi hidup dan pencarian identitas. Kata-kata pria tua itu seolah membuka tabir-tabir misterius yang selama ini membungkus batinku. Namun, ketika malam beranjak larut dan perpisahan tak terhindarkan, pria tua itu meninggalkanku dengan satu pertanyaan yang menggantung: "Apakah kamu merasa puas dengan narasi yang telah kamu tulis, ataukah kamu masih mencari makna yang lebih mendalam di luar sana?"
Pertanyaan itu terus menggelayuti pikiranku sepanjang perjalanan pulang. Setibanya di rumah, aku membuka kembali buku "Sekelumit Jawaban" dan menulis dengan sudut pandang baru. Aku menulis tidak hanya tentang pengalamanku yang lalu, tetapi juga tentang ketidakpastian dan misteri yang kini mengisi hatiku.
Hari demi hari berlalu, dan meskipun aku mendekati usia dua puluh lima tahun, aku belum menemukan jawaban pasti. Aku menyadari bahwa pencarian makna dan kebahagiaan tidak pernah benar-benar mencapai titik akhir definitif, melainkan merupakan perjalanan yang terus-menerus berkembang. Aku mengerti bahwa mungkin, dalam pencarian tanpa akhir ini, jawaban yang sejati terletak pada perjalanan itu sendiri, bukan pada penemuan akhir dari sebuah cerita.
Di halaman terakhir buku yang masih kosong, aku menulis dengan kesadaran baru: "Mungkin, dalam setiap pencarian, jawaban sejatinya adalah pada perjalanan itu sendiri, bukan pada akhir yang pasti."
Dengan itu, aku menutup buku tersebut, meletakkannya di rak dengan kesadaran bahwa pencarianku masih berlanjut. Aku tidak mengetahui apa yang akan datang, tetapi aku sadar bahwa ceritaku masih harus ditulis, dengan segala ketidakpastian dan banyak pilihan yang menunggu di depan.
#berbagirasa#menulis#bemyself#tulisan#inspirasi#quotes#reminder#belajarmenulis#sajak#quotesoftheday#ceritakehidupan
3 notes
·
View notes
Text
Ada apa buk?
serius sekali raut wajahnya, tumben (monolog ku) "diingat-ingat sudah lama sekali ngga ada interaksi apa-apa lagi bu" awal mula percakapan ku pada pertanyaan ibuk kala sore itu, tatapan mata ibuk yg sangat jelas ada garis kesedihan terpancar kala menatap mata kecil anak keduanya ini,
ibuk lanjut bercerita dan menjelaskan banyak sore itu, dan dari setiap sisi penjelasan ibuk yg runut ibuk jelas sekali sangat hati-hati dalam memilih kata agar aku tak menangkap penjelasan nya dengan pandangan yg buruk, namun aku tetap paham dengan baik apa maksud kalimat ibuk, yg menjadi kegelisahan dan kegundahan ku kala malam terjawab lewat lisan lembut ibuk. alhamdulillaah.
ku jelaskan padanya dengan sedikit meyakinkan nya "tidak apa buk, memang sudah jalannya.. Allaah yg menghendaki apa yg Dia kehendaki" (menahan agar tak menangis di hadapan ibuk sangat menguji ehehe😄)
ibuk usap jari jemari ini sambil berkata lembut "ngga apa-apa yaa nduk? semoga ini adalah sebuah bentuk penjagaannya Allaah untuk mba",
aku mengangguk patuh, "ngga apa-apa dong buk (sambil ku usahakan senyum riang itu muncul), hidup selamanya dengan ibuk pun mba sangat senang (candaku)", ibu mulai tertawa namun sedikit pilu (ekspresi ibuk yg lucu😄)
aku mengerti kenapa ibuk sesedih itu, krna selama ini aku sudah banyak sekali bercerita mengenai satu nama yg begitu baik itu, dari kepribadian maupun kehidupan nya aku bisa mengenalnya lewat orang² yg mengenalnya dengan baik dan lewat tulisan² yg kerap ia tulis lengkap bersama perjalanan sederhana nya, bukan waktu yg sebentar bagiku untuk bisa meyakini rasa.
kenapa ibuk menatap ku dengan sendu? krna ibuk tahu aku adalah perempuan yg tak mudah menaruh rasa, ibuk mengerti akan prinsip yg ku jaga, tidak menoleh kesana kemari bila sudah dititipkan sebuah amanah, ibuk tahu aku selalu mempertimbangkan hal-hal yg sangat berpengaruh dalam hidup ku dan mungkin ibuk merasa dari jawaban yg ibuk berikan sore itu membuat ku merasa jatuh, sedih, dan patah.
mungkin memang benar, tapi aku kembali paham bahwa bersama dengan waktu, yg sakit kelak akan sembuh. aku bertanggung jawab atas setiap retak yg terlanjur hadir agar bisa kembali utuh.
"ibuk minta maaf ya nduk, selama ini kita sudah berusaha, sisanya biarlah Allaah yg bergerak, Allaah tidak mungkin meragukan do'a, usaha, dan keyakinan nya mba", diciumnya pipiku.
aku membisik, "mba yg minta maaf ya buk"
ibuk yg selama ini menemani langkah ku ternyata ikut juga merasakan goresan ini. nyatanya ibuk tetap bisa merasakan hati yg patah itu walau aku cengengesan cengar-cengir. aku cuma ngga mau ibuk merasa gagal dalam menjaga hati putrinya, padahal aku sendiri penyebabnya yg jelas tahu bila menaruh rasa sebelum datangnya kehalalan itu akan kecewa.
lengang; aku menerawang kembali kebelakang dipaksa membuka memori kenangan.
memang sudah lama sekali tidak komunikasi lewat apapun itu, pesan yg terkirim singkat dan sebentar itu bisa terhitung hanya sedikit dalam kurun waktu 4 tahun dan itu menjadi sesuatu yg ku syukuri, jeda berkepanjangan pun sudah aku rasakan, bahkan ingin hanya sekedar tanya kabar lewat pesan singkat itupun tidak aku lakukan apalagi telfon yg kebanyakan sudah lumrah di lakukan namun lagi-lagi aku tak pernah berani melewati batas itu.
egoku ingin sekali, hatiku memekik keras ingin melakukannya, pikirku kala malam yg seringkali menuntut untuk sebuah jawab yg pasti akan rasa itu selalu ku kubur dalam-dalam sebab aku tak ada keberanian melawannya. atau.. aku tidak siap dengan kenyataannya??
entahlah, simpulkan saja krna aku takut akan jawaban yg mengecewakan, atau krna hatiku masih menginginkan satu nama itu menemani hari dalam hari ku meski hanya tipis sekali keinginan itu bisa terwujud dan kecil kesempatan nya sebab aku masih misteri sekali di depan sana, namun lagi-lagi pertolongan Nya menolong ku, tidak ada nya jawaban ternyata itulah sebenarnya jawaban.
menghadapi kesakitan lalu melewatinya di temani doa sang ibunda.
2 notes
·
View notes
Text
RASA SAJAM DALAM PELUPUK MALAM
Keterjatuhan tahta hujan pada romansa didalam kias metafora.
Hujan deras merinai duka dari langit yang mendung;
Siapapun enggan berteduh merundung bingung;
Bersiaplah murung; dipanggil sejuk palsu asmara yang kian berkabung.
Betadine adalah resep mujarab dari rindu yang ter-jerembab ; pelupuk nanar sembab sedangkan sisa malam kian menguap.
Perih adalah musafir yang tak asing dalam rindu; sedangkan goresan luka yang khas adalah pertanda.
hanya temu muka dalam dialog senja; atau telinga yang mengiang sebuah nada; resep tabib istimewa yang melahir harap sembuh semula.
Tuli adalah kisah yang bias ; tuna-runggu adalah diksi bius majas.
Bisu adalah bahasa sansekerta; yang diartikan tuna runggu yang buta aksara.
Aku bicara, kau dan telingamu memilih Kudeta.
Bipolar Sukma bergeriliya dalam Jarah dialektika.
aku adalah gangguan mental; dan kau adalah obat Influenza; kita yang berarti jelas ! tak pernah bisa jadi apa - apa.
Matamu bagaikan nikotin yang terbakar bara;
Melepas phobia beputar liar bak biang lala.
Ku dapati candumu dalam sorot mata yang insomnia.
Duka bercerita pada airmata yang tumpah dengan segera; diam tanpa kata; merundung pilu romansa yang sedang drama.
Bukankah jelas tertera pada akhirnya,
Perjalanan itu menghantar sesuatu yang fatamorgana; cinta yang melepas rasa ; luka yang meng-genapi cerita; dan kehilangan adalah penutup paling manis di sebuah alenia.
Tertanda,
AKU, PENULIS YANG MATI DALAM TULISANNYA SENDIRI.
- D911 x Pardesela 🌙
4 notes
·
View notes
Text
"yaaAllah, Bukan aku berputus asa. Jika memang aku lebih baik berjodoh dengan kematian, aku ingin husnul khatimah dan dijaminkan surga firdaus untukku."
Gumam Lisa dalam batinya yang bergemuruh lantaran desakan bulik dan budhe kala lebaran kemarin. Pertanyaan "kapan" menghujam bak panah api, tepat menancap kedalam hati yang sudah penuh goresan luka.
Lisa, bukan sekali dua kali gagal dalam urusan percintaan. Kini usianya 37th dan sebentar lagi akan berkepala empat. Siraman kata "perawan tua" sudah bukan hal yang baru lagi. Sosok Lisa yang terlihat tegar diluar, nyatanya rapuh di dalam. Kali ini lia bersujud diatas sajadahnya, ketika ia bangun tak terasa sajadahnya sudah basah oleh air matanya.
2 notes
·
View notes
Text
32
Entah berapa kali deritan kumbang menemani rangkaian kata dalam petang. Garis-garis angkasa nampaknya sedang tak senang. Sendiri, ia tidak membersamai bintang. Apakah rembulan akan hadir menjelang? Atau bersembunyi di balik bayang? Bila tak hadir jua, akan aku panggil cahaya kunang. Ia akan menyapaku dengan riang, mengobati gundahan yang sedang tersengat bimbang. Tidak, bukan itu saja. Ia akan memperbaiki goresan hati berlubang yang di lahap perlahan-lahan oleh ulat bercak belang. Bila engkau bertanya apa penyebab dari kesumbangan ini? Tersebab kau yang membiarkan dua abu centang. Kau malah memberikan dua biru centang untuk lain orang. Cibiru, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Gedung FST antara lantai tiga dan empat.
#sajak#puisi#prosa#rindu#nasehat#tulisan#catatan#menulis#hijrah#cinta#kata#sastra#syair#quotes#mputraff#kata cinta#sajakcinta
24 notes
·
View notes
Text
Salah satu cara terbaik adalah dengan mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang pernah menyakiti hatimu.
Bersabarlah, carilah ruang dimana kamu bahagia.
Jika tak ada ruang untuk bahagia mu maka menepihlah sejenak, ada banyak hal yang bisa direnungi dari kesendirian itu. Atau kalau bisa menengadahlah lagi di tiap keheningan malam.
Rasanya akan nikmat sekali, di keheningan malam sambil menangis berdo'a Ya Allah... ya Allah...
"Perkenalanlah permintaan ku, kalaupun tidak mudahkan lah aku untuk ridho akan semua, serta kuatkanlah hatiku dari permainan dunia yang kadang membuat membuat ku lellah, kadang juga membuat air mataku tumpah ruah di kelilingi oleh rasa sakit pula.
Kuatkanlah... Kuatkanlah Pundakku
Jauhkanlah aku dari rasa yang berkepanjangan.
Mungkin itulah isi sebahagian do'amu di keheningan malam itu. Memang tak semua yang kita minta akan segera di kabulkan detik itu juga. Tapi yakinlah bahwa setiap do'amu adalah 'IYA' hanya saja kita tak tau iya yang bagaimana yang akan terjadi.
Teruntuk jiwa-jiwa yang pernah diSAKITI oleh manusia manusia yang tak tau apa yang sebenarnya dan kebenarannya, semoga hati mu lapang untuk mengikhlaskan perihal perlakuan manusia lain terhadapmu.
Biarlah Allah yang membalasnya, kamu tak perlu berdo'a yang tak baik untuk mereka. Do'akan saja kebaikan untuknya semoga cukup kamu yang pertama dan terakhir yang merasakan sakit darinya.
Kadang manusia itu aneh, mereka dengan asyiknya menggoreskan luka lalu tetiba seolah-olah merekalah yang terluka padahal sebenarnya goresan yang mereka berikan pada orang lain tak kalah jauh lebih menyakitkan. Bahkan sangat menyakitkan.
Saking sakitnya terkadang luka itu sudah sembuh tapi bekasnya masih tersimpan abadi bahkan bertahun-tahun lamanya.
Ada hikmah juga didalam adalah berhati-hati dari mengeluarkan kata-kata, liat siapa orang yang sedang berhadapan dengan kita, liat pula kondisi dan sekitarnya.
Jangan sampai niat kita ingin menghibur kawan yang bersedih lantas malah semakin sedih tersebab lisan kita yang tak terkontrol.
Memang benar ya lidah tak bertulang namun lebih tajam dari pada pedang yang sangat tajam.
-keheningan malam, selasa 06 februari 2024

3 notes
·
View notes
Text
Di suatu senja yang sunyi, ku temani diri ini dengan pena dan kertas. Hatiku terpatri dalam kerinduan yang tak terucapkan, menanti datangnya hari yang mungkin hanya ada dalam anganku.
Aku mencoba merangkai kata-kata, seperti mengarungi gelombang kesunyian, untuk menyusun puisi yang mencerminkan perasaanku yang terpendam. Setiap goresan pena adalah sebuah doa, sebuah harapan untuk bertemu denganmu lagi.
Sekedar tuk mengagumi, kutulis tentang paras indahmu yang terpatri dalam kenangan. Sungguh, kau seperti lukisan yang tak terganti, dan hatiku hanya mampu mengagumi dari kejauhan.
Namun, di antara kerinduan dan pengaguman, aku menyadari bahwa walau aku bukan seorang pujangga, aku tetap mencoba mengukir puisi indah tentangmu. Setiap bait puisi adalah ungkapan perasaan yang tak terungkapkan, tentang dirimu dan tentang harapan yang ku simpan di lubuk hati.
Mungkin, dalam kesederhanaan kata-kata, aku mencoba menyampaikan bahwa meski engkau bukan milikku, dan aku rasa aku bukan untukmu, namun aku akan selalu di sini, menanti hari-hari yang dipenuhi dengan senyumanmu, meski bukan untukku.
Dalam jurnal ini, kutorehkan segala perasaan dan harapan, seperti sebuah catatan yang hanya bisa dibaca oleh hati sendiri. Semoga, suatu hari, kata-kata ini bisa merentangkan jarak dan menemukan jalannya pada dirimu, meskipun hanya sebagai puisi yang indah dan terpendam.
NB: Terinspirasi dari lagu Sekedar Mengagumi - Daun Jatuh .
4 notes
·
View notes
Text
Jadikan Malu Sebagai Amunisi Untuk Maju
Selama menapaki perjalanan hidupku, terkadang aku terpesona oleh sejumlah kesalahan dan momen memalukan yang melintasi masa laluku.
Melakukan banyak kesalahan, dihujam pula oleh cibiran dan kritikan dari sekitar, rasa down yang cukup bergemuruh, serta perasaan tidak berguna yang terus menghantui. Tidak jarang pula, pikiran negatif dan overthinking menyelinap ke dalam isi kepalaku.
Apakah bisa, jika aku menganggapnya sebagai amunisi untuk membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku mampu bangkit?
Setiap goresan luka adalah pengingat bahwa hidup tidak selalu mulus, namun aku berusaha dan memilih untuk bisa melaluinya.
Melalui perjalanan ini, aku belajar menghadapi tantangan dengan sikap yang positif. Aku belajar menerima diri sendiri dengan segala kekurangan dan kesalahan. Rasa sayang pada diri sendiri menjadi pendorong utama dalam perubahan.
Kata-kata "kalau bukan kamu yang sayang sama diri sendiri, siapa lagi?" mencuat sebagai mantra yang mendorongku untuk terus berkembang.
Aku tau, proses perubahan itu membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Aku belajar memberi ruang pada diriku sendiri untuk pulih, memberikan waktu bagi luka-luka itu untuk sembuh.
Meski perjalanannya penuh rintangan, aku menyadari bahwa setiap langkah kecil menuju perbaikan adalah langkah berarti. Setiap kesalahan adalah guru yang membimbingku ke arah yang lebih baik.
Biarkan semuanya pulih, dan jadikan kehidupan lebih bermakna. Meski perlu melewati masa sulit untuk menemukan kedamaian. Seiring waktu juga goresan luka itu akan menghilang, meninggalkan jejak yang mengajarkan kebijaksanaan dan kekuatan.
Jadi, meski terdapat banyak hal memalukan dalam perjalanan hidupku, aku belajar untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri dan menerima bahwa setiap perjalanan memiliki pasang surutnya.
Dan aku bersyukur karena hal itu membentuk diriku menjadi versi yang lebih baik.
Aku bangga, sebab dalam setiap kegagalan, aku menemukan motivasi untuk terus memperbaiki diri, menjalani proses pemulihan, meski luka terasa mendalam.
2 notes
·
View notes