#30dayswriting
Explore tagged Tumblr posts
Text
2. Impian 5 tahun kedepan
Bicara soal impian, gue merupakan seorang yang teramat suka merancang mimpi, senang bermimpi tinggi. Tau kok, tau kalau gue bermimpi terlalu tinggi ditakutkan impian itu enggak terealisasi membuat gue jatuh sejatuh-jatuhnya dengan semua rencana gue sendiri. Membuat gue hancur dengan isi kepala gue sendiri.
Saat ini, gue hanya seorang remaja 17 tahun yang sedang senang membuat dunianya sendiri, sedang asyik dengan dunia yang dibuatnya. Masih seorang remaja yang senang membuat banyak impian, rencana untuk hidupnya kedepan.
Untuk beberapa waktu kebelakang, gue merasa abu-abu dengan impian gue sendiri, dengan semua rencana yang sudah gue susun. Rasa khawatir akan kata ‘gagal’ selalu menghantui diri.
Gue merasa kayak kehilangan arah untuk saat ini. Ragu buat kembali melangkah untuk merangkai kembali mimpi yang pernah gue buat, semua rencana yang pernah gue susun.
Dan ya, gue berusaha meyakinkan diri gue kembali untuk membuat impian-impian seperti sebelumnya. Gue juga mencoba untuk membuat ruang khusus jika suatu saat impian-impian tersebut gagal, impian-impian tersebut pupus.
Tetap jadi diri sendiri.
Tetap menulis.
Semua tulisan terbit, dan kalau boleh ada di rak top best seller.
Udah di luar negeri buat lanjut kuliah s2, entah itu di Asia timur, Amerika, atau Eropa.
Untuk 5 tahun kedepan, mungkin hanya itu yang gue impikan. Meskipun gue masih merasa abu-abu --sedikit, tapi setidaknya gue membuat sebuah warna, melihat sebuah cahaya buat gue terus melangkah.
Bersamaan dengan itu, tetap yakin dengan semua rencana. Juga menerima dengan lapang hati jikalau rencana tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan. Percaya bahwa Tuhan akan mengganti dan memberikan yang lebih baik dari yang sebelumnya, lebih baik dari yang pernah diharapkan.
4 notes
·
View notes
Text
Day 26: Write about an area in your life that you’d like to improve
Có một điểm có lẽ mình thấy cần phải fix và cải thiện hơn là tính “CHÂY Ì” của bản thân.
Chây ì ở đâu không có nghĩa là không làm, không muốn làm, không thích làm hay không có khả năng làm mà là luôn bị phân tâm cũng như cứng nhắc khi thực hiện một việc gì đó cần phải qua người khác.
Bản thân mình có thể nói là ham học hỏi, nhất là cái mới, nhưng để biến nó thành hiệu quả thay vì chỉ thỏa mãn cảm hứng của bản thân luôn là thách thức với mình.
Vốn cầu toàn, muốn đưa ra cái gì đó thật mới, thật đúng nhưng thực sự còn hạn chế về khả năng nên, mặc dù lường trước được các ý kiến phản biện, mình đâu đó vẫn còn ngại.
Rồi ngại bị giục giã một vấn đề đó, ngại cứ phải bị nhắc đi nhắc lại cần làm gì. Tất nhiên không phải mọi việc đều rơi vào tình trạng đó, nhưng nó cũng là 1 cản trở lớn trong công việc của mình.
Rồi ngại phải đi giục mọi người. Luôn hỏi tại sao đã gửi thông tin rồi mà lại phải giục nhỉ, có phải thư ký đâu mà đặt ra yêu cầu đó. Trách nhiệm mỗi người đều phải làm như nhau cả. Không những phải giục cấp trên và cùng như nhau cũng phải giục, không thì sẽ bị quy trách nhiệm. Khổ nỗi mình là CÁ BIỆT. Ai cũng sẵn sàng giục còn mình thì không.
Hậu quả, không giục thì họ không làm, không phản hồi, rồi cuối cùng mình vẫn chịu báng.
Sao thế nhỉ? Chây ì, bướng bỉnh, cứng nhắc,...phải chăng là cái điểm quá yếu ở bản thân.
5 notes
·
View notes
Text
Part 2
November 2017
“Ge, aku akan menikah!” kata Aria padaku melalui telepon. Sudah lama aku tak bertemu dengannya semenjak ia lulus dari sebuah universitas negeri.
“Alhamdulillah!” kataku spontan dan melanjutkan “Ari, dengan mantan kekasihmu itu?” ledekku sambil tertawa.
Aria tertawa di seberang sana. Tawa yang masih sama, seperti tawa ketika kami di asrama 8 tahun silam.
“Tentu saja” jawabnya tanpa tedeng aling-aling. Aku yakin pipinya merona merah walaupun aku tak melihatnya sekarang. “Kau akan datang kan, Ge?” lanjutnya.
“Bagaimana ya” kataku sengaja dan tertawa.
“Awas kau Ge kalua berani melewatkan hari spesialku!” ancamnya.
“Ya ya ampun Tuan Putri. Akan kuusahakan. Doakan aku mendapat cuti selama satu minggu”
“Ge pernikahanku tak selama itu! Kau mengambil kesempatan ya” katanya dan diikuti dengan tawa.
“Kau sangat pandai Tuan Putri! Kau tau sendiri kan, pekerjaanku seringkali menyita waktu” jawabku mencari alasan, padahal bagiku menjadi seorang designer tak menuntut banyak waktuku.
“Baiklah Ge, kututup dulu ya, aku harus menemani mama pergi”
“Oke Ari, see you” kataku menutup percakapan dan diakhiri salam.
Aria sungguh beruntung menurutku. Selain itu, keyakinannya membuktikan bahwa ucapanku dulu adalah salah. Ketika calon suaminya itu memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka dengan alasan ingin fokus pada kuliah dan memperbaiki diri, aku malah menuduhnya hanya mencari alasan untuk berpisah dengan Aria. Aria sama sekali tak marah dengan pendapatku, tapi entah dalam hatinya. Ia tetap yakin pada calon suaminya itu. Well, semua terbukti di depan mataku. Pendapatku salah dan calon suami Aria adalah laki-laki yang bertanggung jawab, ia menyelesaikan kuliahnya, mempersiapkan keberangkatannya ke Belanda untuk melanjutkan postgraduatenya dan lalu melamar Aria, mengajaknya hidup di belahan bumi lain. Jangan salah sangka, calon suami Aria bukanlah lelaki yang ia ceritakan padaku semasa kami hidup di asrama dulu. Mereka berdua berbeda, dan kini aku yang terjebak dengan lelaki itu.
…
Mei 2010
Aria akan berangkat mengikuti sebuah ajang perlombaan tingkat nasional bersama beberapa orang dari clubnya. Ah, aku belum memberitahu club apa sebenarnya yang ia ikuti. Ia bergabung dengan orang-orang yang terobsesi dengan bintang dan rasinya. Favoritnya adalah Rigel. Entah apa yang ia sukai dari rasi itu, sepertinya rasi itu punya makna tersendiri baginya. Aku? Hanya sebuah rasi yang kuhafal mati. Scorpio, rasi bintang yang menyerupai tanda tanya yang terbalik. Aku selalu berhasil menemukan rasi bintang itu diantara banyaknya rasi-rasi bintang lain yang tersebar di langit.
Malam ini, Aria, aku dan dua orang laki-laki dari clubnya berkumpul di lapangan sepak bola untuk berlatih persiapan lomba. Aku, hanya menemaninya saja agar ia tak sendirian diantara dua lalaki. Mereka membahas soal-soal dan berlatih membaca rasi bintang diatas sana. Malam ini langit sangat cerah. Tak salah aku bersedia menemani Aria, aku jatuh cinta. Pertama kalinya aku membahas berbagai macam rasi bersama mereka dan berusaha menghafalkan setiap jenis rasi yang ada di langit. Mereka menertawaiku. Tapi aku tak peduli.
“Cantik! Ah yang itu apa namanya?” tanyaku.
“Itu Orion” jawab Ata singkat. Ata adalah lelaki yang diceritakan Aria bulan lalu. Sebenarnya aku tahu ada maksud tertentu Aria belajar bersama mereka. Hanya sekedar ingin bersama Ata dan semakin mengenalnya. Ya, sambil menyelam minum air sih kataku pada Aria sore tadi. Ia bisa bersama Ata dan sekaligus belajar untuk perlombaannya.
“Hafalkan Ge, rasi itu punya titiknya masing-masing” kata Nan menambahkan. Nah, Nan ini adalah sahabat Ata, kebetulan saja ia juga mengenalku. Tapi sebenarnya kami semua saling kenal, Cuma tak begitu dekat. Aku hanya mengangguk menanggapi kalimat Nan.
Mereka kembali membahas persiapan lomba mereka. Aku tetap mendongak menatap langit, mengamati rasi-rasi bintang yang muncul di Bulan Mei. Bulan depan mereka akan berangkat keluar kota untuk perlombaan itu. Aku sungguh berharap mereka kembali dengan medali.
“Ge, kau sudah mengantuk?” Tanya Ata tiba-tiba.
“Belum sih, tapi sudah jam setengah sepuluh. Kukira kita harus segera kembali sebelum ketua asrama mengunci asrama kita masing-masing” jawabku dan aku segera berdiri serta menepuk-nepuk bagian belakang rokku yang terasa berdebu. Kami berpisah jalan dengan mereka berdua. Aria disampingku tersenyum tak henti-henti selama perjalanan kembali ke gedung asrama kami.
“Ge, makasih ya” katanya sambal nyengir karena saking senangnya.
“Belikan aku pisang keju besok di koperasi” kataku tetap berjalan tak menghentikan langkah.
“Geeeeeeee” protes Aria, aku tak menggubris. “Ah iya iyaaa baiklaaah” akhirnya ia menyerah dan aku tertawa puas.
Aku tak menyadari bahwa perasaan lama-kelamaan akan memudar atau bahkan menghilang seiring waktu. Aku masih belia dan tak begitu mengerti tentang hal itu.
1 note
·
View note
Text
Ramadhan #4 : Hubungan saudara jarak jauh
Aku akan menyebut kami adalah saudara yang menjalin hubungan jarak jauh. LDR kalau kata anak zaman sekarang. Layaknya orang yang berpacaran jarak jauh, akan ada komunikasi di dunia maya yang akan menghiasi hari-hari. Zaman itu komunikasi hubungan jarak jauh kita hanya sebatas telfon atau sms. Waktu itu kita belum mengenal aplikasi chatting seperti yang tersedia sekarang. Aplikasi video call pun belum semudah saat ini untuk mengaksesnya.
Tidak dengan kami. Tidak ada komunikasi dunia maya yang menghiasi hari-hari. Kata anak zaman sekarang, hubungan kami bukanlah contoh hubungan jarak jauh yang berjalan dengan baik. Bagaimana mungkin hubungan kami baik-baik saja tanpa ada kabar satu sama lain. Tak ada teror “kamu kenapa gak ngabarin aku? Kamu sibuk dengan orang lain? Kamu sudah tidak peduli dengan keadaanku?”. Tak ada pertanyaan-pertanyaan klise itu dalam hubungan kami. Hubungan kami berjalan baik-baik saja dengan komunikasi yang boleh dibilang jarang bahkan tak ada sama sekali dalam kurun waktu berbulan-bulan misalnya.
Hingga suatu hari, aku membaca buku Habiburrahman El Shirazy yang berjudul “Ketika Cinta Bertasbih”. Aku menyadari suatu hal, hubungan kami sedang tidak baik-baik saja. Aku yang sewaktu itu, tak peduli kisah itu nyata atau tidak. Bagiku, bagaimana mungkin mereka yang bersaudara (Husna dan Azzam) itu tetap menjalin komunikasi, tak terhalang oleh jarak antar benua yang memisahkan mereka. Sementara kami, hanya pulau yang memisahkan dan kita masih di negara yang sama. Bagaimana mungkin kita yang memiliki teknologi handphone (sebatas telfon dan sms), kita belum mengenal smartphone semasa itu, bisa tak menjalin komunikasi berbulan-bulan lamanya?
Ada yang salah diantara kami. Adalah aku, adikmu yang lugu, yang merindu hadirnya sosok seorang kakak laki-laki yang perempuan lain rindukan dan aku memilikinya. Adikmu yang masih labil ketika itu, memulai aksi protes dengan mengirim surat kepadamu. Meniru isi surat dalam novel itu. Kemudian mulai mempertanyakan “mengapa tak pernah ada kabar dari kakak? Aku tahu, anak kuliahan itu sibuk, tapi apa ndak bisa kasih kabar. Kalau gak bisa setiap hari, ya sekali seminggu. Jika tak bisa setiap minggu, apakah sekali sebulan juga masih terlalu berat?”. Surat itu tak berwujud fisik, ia aku kirim ke fitur pesan f*c*book semasa itu. Tahukah kalian? Surel itu memperbaiki hubungan kami. Aksi protes berhasil. Sosok kakak yang sudah lama dirindu itu kembali hadir.
Kini, aku tak hanya memiliki seorang kakak. Aku juga memiliki peran itu, jadilah aku seorang kakak sejak hadir adik saat 9 tahun usiaku. Kini ia mulai beranjak remaja, cepat sekali dirimu bertumbuh dik. Aku yang kini berada di posisi sang kakak dulu. Aku kembali terlibat hubungan saudara jarak jauh dengan adikku. Adalah aku yang tak ingin mengulang kisah lama, menjadikan adik merasakan apa yang aku rasakan. Adalah aku, seorang kakak yang sedang belajar hadir untuk adiknya meski jarak memisahkan, jauh. Barangkali aku adalah kakak kebanggaanmu yang kau ceritakan kepada teman-temanmu. Seorang kakak perempuan yang kau jadikan inspirasi, salah satu panutanmu. Persis, seperti aku dulu yang begitu kagum dengan sosok seorang kakak.
Adikku, maafkan uni bila belum bisa hadir dalam keterpurukanmu. Maafkan uni yang masih jauh dari sosok yang bisa kau banggakan, uni masih penuh kekurangan. Adikku, maafkan uni yang masih belajar untuk menjadi sosok teladan bagimu.
Barangkali teman-teman sedang berada jauh dari rumah. Jauh dari saudara-saudaramu. Sesibuk apapun itu, sempatkanlah untuk sekedar menanyakan kabar mereka. Sekedar mendengarkan cerita dari mereka misalnya. Atau berbagi cerita yang barangkali bisa diselipkan dakwah untuknya. Dulu aku sempat mempertanyakan hal itu, maka biarkanlah ini jadi pengingat bagiku bahwa aku pernah protes akan hal itu, jangan sampai adikku juga protes hal yang sama kepadaku.
Jika kita sibuk berbuat di tempat yang jauh ini, sibuk berbagi manfaat untuk orang banyak, semoga kita tak lupa ada saudara (yang dekat) meski jarak terpisah jauh yang barangkali kita lupa untuk berbagi kebaikan kepada mereka. Yang barangkali kita lupa untuk berbagi manfaat untuk mereka. Yang barangkali kita sibuk berdakwah di keluasan negeri ini, sementara kita lupa ada adik yang sedang menunggu kakak untuk tempat ia bertanya akan gelisah yang mulai bergejolak dalam dirinya. Seperti kata teh @prawitamutia tempo hari dalam tulisannya http://prawitamutia.tumblr.com/post/161108057787/1-kebaikan-yang-dekat. Semoga benih-benih kebaikan itu tidak hanya kita tebar jauh tapi juga dekat, dekat sawah di belakang rumah misalnya.
Tulisan ini adalah bagian dari challenge #30daysramadhanwriting yang saya ikuti. Terinspirasi dari teh @novieocktavia. Semoga bisa istiqomah menulis selama ramadhan ini dan tulisan tanpa tema alias random setiap harinya akan saya upload di rentang waktu 16.30-17.00. Masih belajar. Semoga bermanfaat
Kabupaten hujan, 30 Mei 2017
#30daysramadhanwriting#30dayswriting#30dayswritingchallenge#tulisan#ramadhan#welydya#prawitamutia#ramadhaninspiratif
69 notes
·
View notes
Text
Selama ini aku mencari jawaban atas pertanyaan yang aku pun tak tahu pertanyaan nya apa. Hatiku bimbang. Ada bagian dari diri ini yang hilang. Merasa sepi yang belum ada penawarnya. Apa yang aku cari sebenarnya? Bertanya pada ruang dan waktu yang enggan menjawab. Apa yang akan kuperjuangkan? Apa yang akan ku korbankan? Beranikah aku untuk melakukannya?
Aku benci, benci pada keadaan ini.
Sepertinya aku perlu mengambil jeda sejenak. Mungkin segalanya tak perlu alasan yang jelas. Tapi, hanya perlu satu langkah untuk memulainya, meskipun tertatih, meskipun hanya berbekal sebuah niat yang entah yakin akan berhasil atau tidak.
Memulai saja itu adalah langkah awal untuk pencapaian selanjutnya. Tak apa, mesti harus memulainya dari awal. Daripada berdiam diri dan kalut, menimbang-nimbang sudah siapkah aku untuk terjun, sampai tiba masanya hanya ada penyesalan, karena kehilangan waktu, kenapa aku tak memulainya dari dulu. Selalu begitu. Basi rasanya.
Jadi, yakinlah pada diri dan langkahmu. Kamu pasti bisa!!!
0 notes
Text
#02 - Jangan Lupakan Mereka
Pasien pertama.
Seorang wanita usia 60 tahun datang ke sebuah poliklinik untuk kontrol dikarenakan adanya keganasan pada ginjal. Ibu ini sudah terpasang selang pipis.
“Ibu, ibu dianterin siapa?” tanya seorang dokter kepada pasiennya di poliklinik tempat aku belajar.
“Niki...” menunjuk perempuan di sebelahnya. “Lho, niki sinten?” (re: Ini siapanya?) “Kulo budenya, tetangganya dokter.” (re: saya budenya) jawab perempuan itu. “Ibu tinggal serumah nggak?” “Ndak dokter tapi deket.” -- Dokter itu melanjutkan anamnesisnya,
“Ibu, selangnya dipasang kapan?” “Selasa dokter.” “Selasa kapan?” “Selasa kemarin.” “Ya kemarin kapan ibu? Tanggal berapa?” “Tanggalnya lupa dok.” “Lho jangan lupa toh ya bu.” “Yang tahu anak saya dok.” “Anak ibu kemana sekarang? Kok nggak ikut nganterin?” “Katanya kesel dokter abis jualan es.” (kesel dalam bahasa jawa artinya capek)
--
“Hasil labnya mana bu?” “Aduh ngga di bawa dok.” “Kok bisa?” “Ada di anak saya.” “Lha sekarang anak ibu mana? Kok ngga mau nganterin ibunya sendiri?” “Capek lagi jualan es.” “Ya ibu mau sembuhnya tuntas apa engga? Kok ibu dan keluarga ibu ngga ada yang peduli dengan kesembuhan Ibu. Bu, kalau ibu dan keluarga ibu ngga peduli, Ibu bisa selamanya pake selang itu bu. Ibu mau?” “Nggak dok” “Ya makanya bu. Udah, nanti balik lagi aja lusa, harus dianter oleh anak ibu. Harus sama yang serumah bu dianternya.”
Pasien kedua.
Seorang laki-laki 65 tahun, datang untuk kontrol karena ada pembesaran kelenjar prostat. Pasien ini sebelumnya diminta untuk mencatat kapan dan durasi ia pipis untuk menilai fungsi saluran kemih pasca operasi. Bapak ini diantar oleh anak ketiganya, yang notabennya bukan pengantar bapak berobat dari awal. Efeknya, instruksi dari dokter tidak tersampaikan dengan baik.
Dokter kemudian memberikan kesempatan 2 hari untuk mencatat sesuai instruksi dokter.
“Tapi dokter...di rumah ngga ada yang bisa ngawasin.” “Lho, Ibu kemana emang?” “Saya kerja dok.” “Anak yang lain?” “Jauh sih dokter ndak ada yang disini.” “Ibu, bapak ini ngga bisa mengawasi dirinya sendiri. Coba Ibu rembukan dengan saudara-saudara Ibu. Kalau bukan Ibu dan anak-anak yang lain, siapa yang mau rawat bapak, Bu? Pasien saya banyak lho Bu yang anak-anaknya sampai pulang dari luar negeri demi merawat orang tuanya. Coba Ibu pikirkan. Ngga ada alasan sebenernya bu untuk tidak merawat Bapak.
Selesai dua pasien itu, dokter ini memberi wejangan pada kita, dedek-dedek koas, “Nanti kalau kalian tua jangan jadi anak kayak gitu ya. Tetaplah jagain orang tua kalian, sesibuk apapun kalian. Kalau orang tua kalian sakit, memang harapan satu-satunya yang merawatnya adalah keluarganya. Ngga ada orang lain lagi.”
Keluarga. Menjadi sekelompok orang yang satu sama lainnya saling menguatkan. Saat satu melemah, yang lain menopang, membangun, menguatkan. Seperti halnya saat kita kecil dahulu, lemah tak bedaya, kosong tak berisi, yang kemudian melalui keluarga kita, ada harga diri yang terbangun, ada pemahaman yang terkonstruksi, ada kekuatan yang tercipta.
Tidak akan henti gelar ‘keluarga’ terlekat pada masing-masing anggotanya. Terus menembus dimensi waktu, tempat, situasi.
Maka, tidak heran nasehat Al-Quran tentang hormat pada orang tua bernada tegas.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Qs Al-Isra:23)
Kita bertumbuh. Kita menua. Begitu pun dengan kedua orang tua kita. Secara fisiologis, akan banyak fungsi yang menurun dalam tubuhnya. Bukankah kemudian merawatnya menjadi tanggung jawab anaknya -yang dengan logika umur kesehatannya masih dalam kondisi prima? Belum lagi ternyata support keluarga sangat berpengaruh dalam proses penyembuhan seseorang, apalagi dengan kondisi fisik tua dan renta.
Saya tertegun ketika mendengar kisah keluarga besar yang memiliki jadwal nengok orang tua setiap minggunya. Apakah mereka tidak sibuk? Tentu saja sibuk, mayoritas suami dan istrinya sama-sama bekerja. Tapi, ternyata cinta mereka jauh lebih besar dibanding pekerjaannya. Lagi-lagi ini soal menyempatkan. Saat orang tuanya sakit, tidak pernah terlewati waktu yang tidak didampingi oleh anaknya. Ah, indah sekali memiliki anak yang solih-solihah.
Semoga saat kita besar nanti, dengan kesibukan apapun kita, kita tidak melepas kesempatan beramal dan membalas kebaikan mereka yang tak terhitung banyaknya. Kita tidak mengharapkan orang tua kita sakit tapi ketika Allah mengujinya, kita sanggup memberikan pelayanan terbaik. Ah, semoga ya kita masih ingat bahwa di bawah telapak kaki ibu kita, ada surgaNya. Sampai kapanpun. Jangan pernah lupa. Jangan pernah.
----
03 Ramadhan 1438 H.
18 notes
·
View notes
Text
Ramadhan #3: Saat Kita Masih Kecil Dulu
[Jurnal Ilmyah: Hari #127]
Ramadhan tiba, ramadhan tiba, ramadhan tiba Marhaban ya ramadhan, marhaban ya ramadhan, marhaban ya ramadhan, marhaban ya ramadhan
Ramadhan tiba semua bahagia Tua dan muda bersuka cita Bulan ampunan bulan yang berkah Bulan terbebas api neraka
Opick, Ramadhan Tiba
Ramadhan sudah menginjak hari ke-3 saja. Target ibadah masih tertulis manis di buku catatan pribadi. Realisasinya jauh dari yang diharapkan. Ternyata berubah itu butuh bayaran mahal, yaitu sakit yang teramat dan tak pernah mudah melakukannya. Apalagi kebiasaan buruk yang menahun diperbuat, sulit mengubahnya dengan tiba-tiba. Butuh pembiasaan dalam jangka waktu lama.
Kalau elang harus memilih satu dari keputusan berat antara bertransformasi dengan risiko sakit luar biasa atau menyerah pasrah untuk kemudian menanti saat-saat kematiannya tiba. Ketika memilih opsi mendapat kesempatan hidup lebih lama lagi (sekitar 30 tahun) elang harus berjuang dengan merasakan sakit luar biasa.
Ia harus mematuk-matukkan paruhnya ke batu yang keras agar paruh lamanya terlepas. Lalu setelah ia berdiam diri sambil menunggu paruh barunya tumbuh, ia mempergunakan paruh baru itu untuk menanggalkan cakarnya satu demi satu. Sang elang lantas menunggu kembali dalam waktu yang tak sebentar untuk menumbuhkan cakarnya yang kemudian akan digunakan untuk mencabuti bulunya. Dan ini sungguh sangat menyakitkan. Setelah perjuangan berat itu dilalui, elang pun memperoleh imbalannya: bisa terbang lagi dengan leluasa menelusuri angkasa.
Hal yang secara prinsip kurang lebih sama pun harus dilalui seekor ular. Ia harus puasa dari makan dalam waktu relatif lama untuk berganti kulit dengan yang baru. Ia harus mengendalikan nafsunya seperti halnya manusia berjam-jam harus tahan dari makan dan minum.
Berkaca pada apa yang dilakukan elang dan ular tadi untuk mendapatkan sesuatu yang berharga, maka kita pun perlu berakit-rakit ke hulu dan berenang ke tepian. Kita perlu bersakit-sakit dahulu untuk kemudian berbahagia. Dan pulau yang dijanjikan sebagai tujuan di hulu dan di tepian memang jadi bayaran setimpal bagi yang mau melangkah mengibarkan bendera perjuangan untuk mendapatkannya.
. . .
Bersama rintik hujan yang turun mendekati tengah malam (saat tulisan ini mulai dirancang) kenangan—meminjam sebagian puisi Aan Mansyur yang berjudul Tidak Ada New York Hari Ini—memasukiku sebagai angin. Ia membuat hawa menjadi dingin dan memunculkan angan dan ingin. Kenangan yang saya maksud yakni tentang pengalaman Ramadhan masa kecil saya di kampung. Di salah satu sudut kecamatan di kabupaten Tasikmalaya.
Dulu, di rentang SD hingga MTs., Ramadhan selalu identik dengan buku catatan amal yang diberikan sekolah. Untuk saat SD diintruksikan oleh Guru Agama, yang sebenarnya adalah Mamah saya sendiri. Kalau untuk MTs., saya lupa lagi dikoordinir oleh siapa. Berbagai amalan Ramadhan dilaporkan perkembangannya di buku tipis itu, yang bahkan menjelang akhir puasa begitu lecek karena dibawa kemana-mana. Ini khusus untuk anak laki-laki biasanya. Anak perempuan mah beda, mereka suka apik, bukunya dibungkus pakai sampul plastik.
Isi buku harian selama bulan Ramadhan ini adalah tentang ceklis shalat 5 waktu (berjama’ah/munfarid), puasa (tamat/tidak beserta kolom alasan kalau misal tidak tamat), isian materi kultum (biasanya sebelum tarawih), catatan kosong untuk kuliah subuh, dan tak lupa tabel tentang shalat tarawih yang dipenghujung shalat biasanya anak-anak mengganti untuk minta tanda tangan imam sebagai bukti telah turut serta.
Ketika para orang tua (bagi anak-anak SD awal-awal) sudah bersiap pulang, anak-anak mereka ngariung mengantri untuk minta tanda tangan sang imam. Imam tarawih mendadak jadi artis yang tanda tangannya begitu berarti. Pemandangan yang sudah lama tak saya lihat lagi, namun beruntung masih bisa saya kenang.
Hal menarik tentang shalat tarawih, ketika saya masih SD sekitar kelas 1-4 biasanya saya dan teman-teman suka mencuri kesempatan untuk sesekali tak mengikuti shalat beberapa rakaat. Alasannya sederhana, capek. Padahal kita tidak lari-lari. Bermain beberapa jam juga padahal jarang tuh kita merasa lelah. Ah, capek di sini barangkali kata lain dari ngantuk karena jenuh. Bayangkan, kami (waktu itu) tak mengetahui alasan kenapa harus shalat dengan rakaat sebanyak itu? Sekarang mah insya Allah sudah tidak seperti itu lagi.
Dan saya pribadi beruntung bisa mengalami masa kecil tentang keberagamaan yang cukup kental. Hal-hal yang dibiasakan—kalau tak berlebihan kita sebut pemaksaan—seperti shalat tarawih di masjid dan berpuasa (meskipun belum baligh) ketika bulan Ramadhan, mengaji tiap maghrib setelah sebelumnya sekolah agama juga (MDA), harus menghafal surat-surat pendek maupun panjang di Al-Qur’an beserta hadits dan do’a-do’a ternyata manfaatnya terasa sekali saat ini. Kenangan masa lalu itu sedikit banyak membentuk saya yang sekarang.
Saya tak bisa bayangkan jika dulu oleh orang tua tak diajari membaca Al-Qur’an, tak dimarahi ketika malas mengaji ke masjid, tak di utuh-etah buat cepat-cepat berangkat shalat Jum’at dan jangan dinanti-nanti, mungkin saya akan tak acuh dengan ritual-ritual ibadah itu hari ini.
Saya jadi berpikir ulang tentang metode pembiasaan dalam pendidikan yang terkesan dipaksakan itu. Selama itu baik, misalnya yang saya sebutkan tadi ketika saya masih kecil, ya sudah terima saja. Suatu saat nanti juga kita bakal paham apa maksud orang tua atau guru-guru kita itu. Meski mempertanyakan tentang metode ini pun tak salah. Pertanyaan-pertanyaan di kepala harus terus disirami agar tetap tumbuh subur. Namun tetap, menurut saya metode ini sangat baik dan masih tetap relevan untuk diterapkan.
Saya jadi turut berduka dengan teman-teman yang tak tersentuh pengalaman masa kecil terkait sekolah agama, mengaji di masjid dan mushala, dan turut serta dalam pendidikan keagamaan lainnya karena berbagai sebab. Salah satunya barangkali karena ketaktahuan dan ketakpedulian orang tua mereka akan pendidikan agama ini sehingga menganggap biasa saja jika anaknya tak belajar mengaji dan aktif di kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Boleh jadi memang orang tuanya pun sewaktu kecil diperlakukan serupa oleh orang tua mereka. Ah, ini barangkali dosa turunan. Harus diputus segera.
. . .
Kalau dulu sewaktu kita anak-anak kita begitu antusias untuk selalu menuliskan apa yang kita kerjakan di bulan Ramadhan serta saling berlomba-lomba memperbagus isi bukunya, apakah saat ini kita pun melakukannya? Waktu masih imut-imut dulu kita tak rida jika tabel isian shalat 5 waktu kita lebih banyak munfaridnya ketimbang teman-teman lain. Lantas apakah rasa tidak rida itu hadir saat ini ketika atas nama malas dan kesibukan kita melalaikan peluang shalat berjama’ah di masjid?
Saat dulu kita begitu iri melihat jumlah ayat dan halaman Al-Qur’an yang telah dibaca teman kita sudah jauh. Ketika itu, kita malu kalau ada satu saja puasa yang batal bahkan karena alasan sakit. Lalu apakah sekarang rasa malu itu masih tertanam di hati-hati kita saat puasa kita tak bertahan sampai waktu berbuka?
Saat kecil dulu, kita tak rela kalau catatan kuliah subuh kita tak lebih baik dan rapi ketimbang catatan teman. Apakah saat ini kita masih antusias mencatat ceramah para ustadz baik menjelang tarawih, setelah shalat subuh, atau waktu mengikuti kajian-kajian menjelang buka puasa?
Masa lalu memang bukan masa sekarang. Masa sekarang ya masa sekarang yang tentu akan beda dengan masa silam. Namun apabila ada penurunan kualitas antara dulu dan hari ini apakah itu wajar bila disikapi biasa saja? Sayang sekali ya. Di saat semakin beranjaknya kita ke usia tua, semestinya kedewasaan kian meningkat, ghirah mendekatkan diri kepada Allah makin menguat. Kenyataannya semangat kita makin melempem kayak kerupuk disiram kuah sayur waktu makan sahur.
Kita barangkali berharap bahwa kenangan masa kecil tentang euphoria Ramadhan tetap hadir di bingkai memori kita di masa sekarang. Memberikan kesan bahwa kita pernah begitu bergairah menyambut dan memakmurkan bulan ini.
Kita selayaknya berterimakasih kepada Allah atas kemampuan mengingat kejadian-kejadian menyenangkan dan menenangkan di masa yang telah terlewat. Tanpanya, kita tak bisa sesekali menengok ke belakang untuk menertawakan masa-masa konyol itu sembari juga mengambil banyak pelajaran berharga darinya.
Muhammad Irfan Ilmy | Bandung, 29 Mei 2017
sumber gambar: Kompasiana
@bidadariberansel @fay-nurjannah @novieocktavia
7 notes
·
View notes
Text
Refleksi#1 - Niat
“ah aku besok mau belajar menghafal Juz Amma biar hafalannya nambah”
“aku besok mau belajar mata kuliah ini biar pas UAS bisa lancer”
“aku besok mau buka puasa bareng temen-temen SMA, lumayan kan buat silaturahmi”
Kalimat tersebut memang benar tapi ada satu yang kurang. Apa yang kurang?
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)
Setiap niat yang kita ucapkan walaupun hanya dalam hati akan dicatat sebagai amal perbuatan baik. Tapi apakah niat kita sudah benar? Rasullulah pun berkata bahwa semua amal kegiatan itu tergantung dari niatnya. Semua kegiatan tersebut pun akan dipahalai sesuai dengan apa yang diniatkan.
Kalau kamu ingin lulus kuliah karena ingin membahagiakan orang tua, maka Allah pun hanya akan membantumu sampai orang tuamu bahagia.
Jika kamu niat berhijrah hanya karena ingin mendapatkan ikhwan sholeh atau akhwat sholehah, Allah pun akan dengan mudah memberikannya.
Ini tidak salah. Hanya alangkah lebih baik bila semua kegiatan diniatkan hanya untuk Allah semata. Lillahita’ala.
Percaya saja sama Allah bahwa semua kegiatan yang kamu lakukan yang didasari niat pada Allah akan dimudahkan. “Ah udahlah gimana Allah aja. Yang penting saya sudah berusaha. Hasilnya pasrah aja”. Kalimat itu tuh biasa diucapkan oleh kita, namun sangat berati bagi Allah.
Alhamdulillah saya masih bisa dipertemukan dengan bulan Ramadhan tahun ini. Saya tak ingin menyia-nyiakan pertemuan ini. Saya ingin bisa lebih baik dan lebih baik dari puasa tahun kemarin. Dan insya allah semua didasari dengan niat lillahita’ala. Pasang target-target Ramadhan. Ubah kebiasaan menyia-nyiakan waktu luang. Datang ke majelis ilmu. Dan masih banyak lagi kegiatan di Bulan Ramadhan yang bisa kamu lakukan. Tapi jangan lupa ya semua itu diniatkan dengan ikhlas hanya untuk Allah semata (:
Cimahi, 27 Mei 2017 | 1 Ramadhan 1438 H -Astrid Yupitasary-
1 note
·
View note
Text
Tiap awal tahun, biar tidak lupa, suka menulis hal-hal yang ingin dicapai. Banyak pinginnya, idealisme kesendirian masih membuncah, flight of idea, dan jika tak ditulis maka akan lupa. Di akhir sering teringat hal-hal kecil, goal yang di anak tirikan, "oh iya aku ingin ini ya". Lalu resah mau dimasukkan ke tahun selanjutnya atau tidak.
Melangkah terus atau menyisipkan hal-hal kecil yang terlupakan. Namun, setidaknya ada hal yang selalu diingat, goal besar yang menjadi tujuan utama tahun itu.
Hampir tak ada resolusi tahun baru yang jelek. Yang ada kemampuan mengingat kita yang buruk. Karena seringkali kita lupa, lalu mimpi-mimpi menguap dan satu tahun berlalu begitu saja.
— Taufik Aulia
684 notes
·
View notes
Text
"Tentu saja bukan perjalanan kapal ini yang kumaksud. Meski memang jarak pelabuhan Jeddah masih berminggu minggu. Melainkan perjalanan hidup kita. Kau masih muda. Perjalanan hidupmu boleh jadi masih jauh sekali, Nak. Hari demi hari, hanyalah pemberhentian kecil. Bulan demi bulan, itupun sekadar pelabuhan sedang. Pun tahun demi tahun mungkin itu bisa kita sebut dermaga transit besar. Tapi itu semua sifatnya adalah pemberhentian semua. Dengan segera kapal kita berangkat kembali, menuju tujuan yang Paling hakiki."
~190118, beautiful words from one of my favorite novel by Tere Liye.
0 notes
Text
4. Buku yang belakangan dibaca
Okay, i'm very excited to write about this. Karena kemarin gue baru aja menyelesaikan sebuah buku yang udah gue baca dari bulan Juni.
Sebenernya enggak selama itu, cuma pada saat itu gue terlalu ingin menyelesaikan buku tersebut, jadinya gue maraton. Sekitar 1 atau 2 harian gue udah sampai di halaman 200-an lebih, dan entah kenapa otak gue udah enggak bisa menerima kata demi kata di buku tersebut. Udah pusing+sakit kepala saat itu, dan pas di ajak ngobrol orang gue nge-lag dulu, loading dulu buat mencerna.
Terus, apa yang gue lakuin? Ya ninggalin buku itu, karena gue sadar kalau gue udah terlalu berlebihan. Soalnya, biasanya gue baca enggak sampai sebanyak itu. Pun kalau maraton baca selalu gue kasih jeda buat melakukan pekerjaan lain. Dan saat itu gue bener bener berlebihan terhadap diri sendiri, yang jadinya berdampak buruk.
So, gue kasih deskripsi bukunya dulu ya. Baru nyeritain apa yang udah gue baca.
Oke, judul bukunya adalah ‘Shine’ yang ditulis oleh Jessica Jung. Iya, Jessica K-Pop star yang mantan member Girls Generation. Terbit tahun 2020 diterbitkan oleh Simon and Schuster, di Amerika. Lalu versi Indonesia diterbitkan lada tahun yang sama oleh penerbit Gramedia. Jumlah keseluruhan halaman ada 360-an.
Seperti yang diketahui kalau Jessica ini seorang K-Pop star yang sebelumya memutuskan keluar girl group Girls Generation aka SNSD. Dibuku ‘Shine’, Jessica menuliskan ceritanya sebagai seorang trainee dulu lewat tokoh Rachel Kim yang merupakan Amerika-Korea. Sebelumnya Rachel tinggal di Amerika, kemudian kala usianya 11 tahun keluarganya pindah ke Korea untuk Rachel yang saat itu menjadi seorang trainee di salah satu agensi ternama, DB Entertainment.
Dibuku ini, kita akan diajak merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang trainee oleh tokoh Rachel. Bagaimana struggle dan lika-likunya jadi seorang trainee, bagaimana sisi gelapnya di dunia industri K-Pop.
Jujurly, gue cukup tercengang dengan sisi gelapnya dunia K-Pop. Kayak, skandal yang terjadi pada seorang idol tuh sebenernya enggak dia lakuin, tapi atas campur tangan agensi. Iya, jadi agensi yang sebenernya membuat skandal si idol tersebut. Kayak... Memanipulasi berita untuk popularitas (?)
Selain itu, perlakuan agensi yang diceritakan di buku ini juga--DB Entertainment terhadap tiap idolnya berbeda-beda. Si DB Ent. ini memperlakukan idol cowoknya lebih legowo, sedangkan pada idol cewek agak strict. Kayak ada di satu scene, Jina--Sunbae nya Rachel diberitakan kalau memutuskan keluar agensi atas kemauannya. Padahal yang terjadi enggak kayak gitu. Sebenernya agensi lah yang mendepak Jina dari DB Entertainment, dengan alasan ia berkencan dengan idol dari agensi lain. Cowoknya Jina di depak juga gak? Enggak, karena kebijakan agensi yang berbeda.
Sumpah, demi apa, se-manipulatif itu dong!
Bukan cuma itu, hal lain yang cukup membuat gue tercengan adalah perihal jual-beli trainee. Tokoh Akari yang bersahabatan dengan Rachel sejak awal menjadi trainee dijual oleh DB Entertainment ke agensi lain. Ini membuat gue tersadar akan hal idol yang pernah diberitakan “[nama idol] merupakan mantan trainee dari [nama agensi sebelumnya] sebelum menjadi trainee di [agensi yang di tempatinya saat itu]”.
Sepanjang cerita perihal mengulik sisi gelap K-Pop, gue misuh misuh sendiri. Kayak, kesel emosi gitu bacanya. Fyi, sepanjang cerita gue jadi mikirin boy group idol yang gue stan, yang kebetulannya berada di agensi yang sama dengan Jessica pas masih jadi member Girls Generation. EXO. Iya gue Fangirl, EXO-L.
Bagian yang paling gue suka itu di bab terakhir, pas dia udah mau debut. Ketika dia menghadiri pengumuman siapa saja yang akan debut. Kayak, whoah merinding banget pas bacanya, terharu.
Rachel hampir menyerah dengan mimpinya untuk menjadi K-Pop star, dan memutuskan buat ikut dengan apa yang eomma(ibu) nya inginkan saat itu, fokus dengan sekolahnya. Tapi saat itu sang eomma sadar kalau ini mimpi anaknya, karena eomma nya tau gimana rasanya sebuah impian yang ditentang oleh orang tua, so eomma nya bilang gini “Kamu pantas mendapatkan kesempatan apa yang kau inginkan. Kau berhak mendapatkannya”. Whoah, demi apa gue hampir nangis pas scene Rachel di belakang panggung buat performance debut pertama dia. Dan gue merasa eophoria karena tokoh Rachel Kim berhasil meraih impiannya menjadi K-Pop star.
Sebuah pesan yang dapat gue ambil dari buku ‘Shine’ by Jessica Jung, semua pilihan yang kita ambil pasti memiliki resiko. Kalau kita berani mengambil pilihan tersebut, itu artinya kita siap dengan segala resiko yang akan muncul ketika sedang menjalani pilihan tersebut. Dan, semangat seorang Rachel untuk meraih impiannya menjadi seorang K-Pop idol pun dapat dijadikan reminder, karena semua usaha yang sudah dikerahkan pasti sebanding dengan apa yang akan didapatkan. Karena enggak ada usaha yang sia-sia.
Beneran deh, Jessica tuh bener bener ngulik semuanya, menceritakan perjalanan dirinya buat jadi seorang idol lewat tokoh Rachel ini. Dan menurut gue ini wajib BANGET masuk read list nya seorang K-Pop-ers, kalau mau tau gimana dibalik mereka jadi seorang trainee dulu.
Anyway, Jessica udah ngeluarin sequel buku ‘Shine’ kemarin, judulnya ‘Bright’. Kalau di buku ‘Shine’ Jessica nulis cerita dia sebagai trainee, dan di buku ‘Bright’ akan menceritakan ketika dia udah jadi idol.
0 notes
Text
Day 18. Post 30 facts about yourself
1. Mình học ngoại ngữ chủ yếu bằng cách tự nói chuyện với bản thân. Ở trường mình không học được nhiều.
2. Mình không dễ nản với công việc khó nhưng lại dễ fail với công việc có deadline dài.
3. Mình thực sự không thể ăn đươc giá.
4. Bất cứ bộ phim nào xem cũng có thể nhập tâm vào, nhưng sau đó cũng quên phần lớn các phim đã xem.
5. Mình không phải là người quản lý tài chính tốt.
6. Mình thích viết lách nhưng không thật sự là rất tệ.
7. Lần đầu tiên cầm volăng oto, mình đã tông vào cây do nhầm chân phanh và ga. Do đó mình rất cảm thông với các case như vậy và cẩn thận hơn.
8. Minh đã thành công khi học bơi qua đọc sách + xem clip.
9. Các phim về chiến tranh, thiên tai và thảm họa (bao gồm cả dịch bệnh) luôn thu hút mình
10. Mình quan niệm: tin tưởng là không có điều kiện gì cả.
11. Mình luôn là người mua sắm đồ dùng trong bếp. Ưu tiên của mình là đồ Đức về độ bền cũng như sự tin tưởng tuyệt đối. Đồ Nhật luôn có cái gì đó thật sự sáng tạo, đôi khi kỳ dị.
12. Mình chưa một lần lái oto để đi làm.
13. Mình không thấy thoải mái khi phải giục người khác khi đã gửi thông tin đầy đủ. Và mình rất tệ trong khoản nhắc nhở người khác chuyện đó. Văn hóa nhắc nhỏ khiến mình thấy không hợp chút nào cả.
14. Mình thà tự tìm hiểu còn hơn phải hỏi người khác về ngay chính vấn đề của họ (chủ yếu trong công việc)
15. Công việc mình đang làm chả liên quan gì đến cái mình đã học
...
Sẽ để viết tiếp sau này
6 notes
·
View notes
Text
Ramadhan #19 : Budaya Lungsuran
Malam itu saya terlibat diskusi dengan adik kecil saya yang mulai beranjak remaja. Usia kami terpaut 9 tahun tapi ia serasa tumbuh begitu cepat. Obrolan panjang kami di telfon malam itu berujung pada membahas baju lungsuran. Berawal dari keprihatinan adik di rumah salah seorang kerabat yang disesaki oleh banyak lemari. Lemari itu dipenuhi oleh banyak baju yang menurut pengamatannya masih ada baju telah menahun tidak terpakai masih tersimpan dengan baik. Kami kemudian bersyukur dengan budaya lungsuran yang dicontohkan oleh Ibu.
Lalu, saya teringat tulisannya Kak Uti @prawitamutia beberapa waktu lalu yang membahas tentang budaya lungsuran dalam keluarganya. Bisa dibaca disini http://prawitamutia.tumblr.com/post/161275418032/5-baik-itu-kalau-bermandaat-bermanfaat-itu-baik
Inilah kisah lungsuran dalam keluarga kami. Lungsuran yang mulai saya ingat adalah saat menginjak kelas 5 SD. Semasa itu saya mengalami pertumbuhan yang signifikan, yang mencapai bertambah tinggi 13 cm dalam kurun waktu setahun. Alhasil, baju-baju yang saya miliki mulai senteng dan sebagainya. Pertumbuhan yang cepat dalam waktu yang singkat itu terselamatkan oleh budaya lungsuran dalam keluarga kami. Adalah baju-baju adik ibu yang paling kecil yang menjadi baju ketika masa-masa peralihan waktu itu. Usia kami terpaut cukup jauh tetapi postur tubuh berkata lain. Lungsuran menyelamatkan.
Saya memiliki banyak saudara sepupu perempuan, keturunan nenek dari garis Ibu memang didominasi oleh perempuan. Usia kami pun berjenjang. Saya mendapatkan lungsuran dari adik Ibu, kemudian adik sepupu mendapatkan lungsuran dari saya, begitu seterusnya. Budaya lungsuran ini terus berlanjut sampai usia saya yang menginjak 22 tahun saat ini. Saya yang tinggal jauh dari rumah semenjak SMP, memiliki ritual memilah-milah baju setiap pulang dalam kurun waktu 6 bulan atau setahun. Baju-baju yang masih layak pakai tetapi sudah tidak muat akan dibawa pulang untuk kemudian menjadi lungsuran.
Adik saya tahun ini menginjak usia 13 tahun. Tampaknya ia juga mengalami hal yang sama seperti saya, tumbuh lebih tinggi daripada teman-teman seusianya. Alhasil, banyak sekali baju-baju dalam kurun waktu 2-3 tahun terakhir yang sudah tak bisa dipakai olehnya. Ia sempat risau dengan baju-bajunya yang sudah tak muat dan sedikitnya baju yang bisa ia pakai. Namun, ia tak perlu khawatir, ia bisa menikmati baju-baju lungsuran saya semasa SMA. Selain itu, baju-bajunya yang sudah tak muat yang seingatnya ada yang baru 1-2 kali pakai, hendak dikemanakan baju-baju itu? Tak perlu khawatir kataku, Ibu memanage hal itu dengan baik. Ada banyak adik sepupu yang akan menerima lungsuran itu.
Benar kata Kak Uti @prawitamutia bahwa “hakikat dari benda (harta) pada dasarnya adalah kegunaan, kebermanfaatan-bukan kepemilikan atau kebaruan”. Bagi Ibu, pantangann untuk menumpuk barang-barang yang kemudian menjadi tak terpakai, memenuhi ruangan. Sebentar lagi lebaran, yuk bongkar lagi lemari-lemari pakaian kita. Barangkali ada atau banyak baju-baju yang sudah tak terpakai tetapi masih begitu layak pakai. Ayo dikeluarkan dan bagikan kepada saudara-saudara kita yang lebih membutuhkan baju-baju tersebut. Agar kebermanfaatan benda itu terus berlanjut, tak terhenti. Kalau masih sayang sama baju-bajunya, pilih mana “sayang tapi baju-bajunya numpuk tak terpakai, manfaatnya habis atau dibagikan (dilunsurkan) dan kebermanfaatannya berlanjut?”
Tulisan ini adalah bagian dari challenge #30daysramadhanwriting yang saya ikuti yang diinisiasi oleh teh @novieocktavia. Semoga bisa istiqomah menulis selama ramadhan ini dan tulisan tanpa tema alias random setiap harinya akan saya upload di rentang waktu 16.30-17.00. Masih belajar. Semoga bermanfaat.
Kabupaten hujan, 14 Juni 2017
#30daysramadhanwriting#30dayswriting#30dayswritingchallenge#tulisan#ramadhan#ramadhaninspiratif#welydya
33 notes
·
View notes
Text
Waktu seakan cepat berlalu seperti sekedipan mata saja. Atau selama ini yang tidak benar2 menikmati kehadiran waktu dengan sepenuhnya hadir dan utuh. Menjaga waktu dengan rasa. Seakan-akan kehilangan waktu adalah hal biasa. Sungguh, aku benar-benar dalam kerugian yang nyata. Innalilahi!!
.
.
.
Sepertinya memang perlu diet media sosial. Halah, rasanya basi dari dulu juga wacananya. Ckckck
0 notes
Text
#11 - Di Luar Sana.
Di luar sana, banyak orang yang ingin memiliki apa yang kita miliki sekarang. Sesuatu yang kita pikir tidak begitu berharga. Sesuatu yang kita kira hal biasa.
Satu di antaranya adalah kesempatan menikmati hari-hari terakhir Ramadhan ini.
Kita mungkin tidak bisa membayangkan ada banyak orang di luar sana yang harus tetap berjaga pada 10 malam terakhir Ramadhan. Mereka dengan niat begitu besar untuk bermunajat kepadaNya tapi tidak punya pilihan selain mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya. Mereka yang ingin disapa oleh lailatul qadr –sesuatu yang sudah ditunggu sejak lama.
Mereka tidak akan pernah terlihat wajahnya di rumah-rumah Allah. Bisa jadi mereka sedang berjaga di kantor, bisa jadi mereka adalah polisi yang bertugas mengamankan lalu lintas, bisa jadi juga mereka adalah tenaga kesehatan yang tidak punya pilihan selain tetap melayani masyarakat yang membutuhkan, atau mereka harus terjaga sepanjang jalan sebab mereka yang menyetir kendaraan-kendaraan besar.
Tapi, mereka –yang tak terlihat ini ternyata dinilai lebih oleh Allah. Akibat niat yang begitu besar ingin beri'tikaf. Akibat kelihaiannya mencuri-curi waktu untuk mengingat asmaNya.
Sebuah hadits berkata orang yang diterima amalnya tetap bisa mendapat pahala lailatul qadr –sekalipun ia adalah musafir, wanita haid, orang yang tidak bisa berdiam diri di masjid. Betapa banyak orang yang begadang untuk shalat malam, namun tidak mendapatkan rahmat. Bahkan mungkin orang yang tidur yang mendapatkan rahmat tersebut. Orang yang tertidur hatinya dalam keadaan hidup karena berdzikir pada Allah. Sedangkan orang yang begadang shalat malam, hatinya yang malah dalam keadaan fajir.
Sedang kita, orang-orang yang diberikan anugerah kesempatan, waktu, serta kesehatan ternyata tidak lihai untuk bersyukur. Tidak menggunakan karuniaNya untuk memaksimalkan hari-hari. Justru adanya kemudahan malah menjerumuskan kita pada kemalasan.
Maka, malu-lah kita jika kita diberikan banyak kesempatan –yang diinginkan banyak orang. Tapi kita jauh dari kata syukur. Abai dengan pemberianNya.
Katanya bersyukur tapi kok masih punya banyak waktu kosong? Katanya bersyukur tapi kok tidurnya masih banyak? Katanya bersyukur tapi kok ibadahnya masih sama aja? Nah loh. *namparin diri sendiri*
—- 25 Ramadhan 1438 H
7 notes
·
View notes
Text
Ramadhan #2: Menyelami Lautan Makna
[Jurnal Ilmyah: Hari #126]
Hari pertama puasa kemarin saya hampir terancam tak makan sahur. Alarm di smartphone sebenarnya sudah saya set di pukul 03.20-an, do’a pun sudah dipanjatkan semoga dibangunkan pada waktunya sahur, juga minta tolong ke kakak kelas yang juga satu kosan untuk mengetok pintu atau kaca jendela agar saya bisa bangun. Tapi sebagaimana pengalaman-pengalaman sebelumnya, saya butuh dibangunkan secara langsung lewat ditepuk atau disentuh. Mengandalkan bunyi alarm saja kadang saya tak ingat. Karena tidurnya sering larut juga sih penyebabnya. Jadi ngantuknya suka enggak ketulungan.
Saat ini saya memang sendirian saja di kontrakan berisi 2 kamar. Ogie (teman kontrakan saya) sudah wisuda duluan dan tak ada alasan lagi untuk tinggal berlama-lama di Bandung karena diminta orang tuanya untuk pulang ke Lampung. Saya kembali sendiri. Kalau ada dia, saya bisa minta tolong untuk dibangunkan karena setahu saya Ogie lebih sensitif ketimbang saya kalau urusan terdistraksi suara-suara yang membuat tidurnya tak nyenyak.
Alhamdulillah, Allah membangunkan saya lewat undangan sahur bareng dari ibu kos yang memasak untuk seluruh penghuni kosan yang hanya beberapa orang saja dan laki-laki semua. Bapak kos mengetuk pintu rumah beberapa kali sampai akhirnya saya terbangun. Seingat saya, alarm saat saya bangun pun belum berbunyi.
Saya mendengar ajakannya untuk makan sahur di rumahnya saja (letaknya persis di samping kontrakan saya, hanya dipisah satu daun pintu yang ditutup permanen). Saya tak langsung mengikuti intruksinya sampai akhirnya bapak kos mengulangi sekali lagi tawarannya.
Saya pun luluh, tidak bisa menolak. Meskipun dalam hati memang sangat ingin, tapi gengsi juga sih awalnya mah. Padahal saya pun tak tahu pasti apakah warung nasi di sekitar kontrakan ada yang buka karena mahasiswanya pada pulang kampung untuk munggahan. Rezeki memang sudah diatur. Ini salah satu bukti itu. Dan tololnya, saya sering sekali mengkhawatirkan apa yang sudah dijanjikan oleh-Nya.
Kami, para penghuni kosan, ada sekitar 4 orang beserta bapak-ibu kos serta 2 anak dan 1 menantu serta anaknya pun menyantap nasi dengan lauknya. Menunya orek kentang, sayur ayam plus tahu pake kuah santan, dan kerupuk. Lalu disediakan pula air putih hangat. Saya ingat, ternyata ayam yang dicabuti bulunya oleh bapak kos di siang hari saat saya menjemur pakaian itu ternyata memang untuk makan sahur nantinya. Ayamnya ayam kampung. Favorit saya pisan karena dagingnya lebih gurih ketimbang ayam yang biasa dijual di pasar.
Kami tenggelam dalam kekhusyukan memakan rezeki di pagi hari itu. Setidaknya kebersamaan bersama keluarga ibu kos dan penghuni lainnya mengobati sedikit rindu saya pada makan sahur bersama keluarga di rumah. Biasanya saat di rumah saya tinggal makan saja tak mesti cari-cari makan sahur ke warung-warung nasi. Menu yang hampir ada setiap hari adalah masakan berkuah. Kami biasanya makan sambil menonton tayangan televisi khas Ramadhan seperti Para Pencari Tuhan, acara kompetisi dakwah dan hal-hal semacamnya yang hanya ada di bulan mulia ini.
Selepas beres menyiapkan makanan buat para penghuni rumah, mamah biasanya makan lebih dulu. Saya, adik, dan teteh kadang suka sulit bangun. Setelah bangun biasanya kami cuci muka dulu sambil kalau kebelet sekalian buang air kecil. Nah, kalau bapak sebelum sahur biasanya tahajud dulu sampai mendekati saat-saat injury time ke imsak sekitar 10-15 menit. Dan memang begitu kan sunnahnya, mengakhirkan makan sahur dan menyegerakan buka puasa.
Bapak sangat istiqomah melakukannya di tiap kali Ramadhan tiba. Kalau bapak sedang anteng-antengnya kadang-kadang mamah bilang sambil agak menggerutu, “Pak….imsyak yeuh sakedap deui. Enggalan!” Bapak mengajak dengan teladan yang beliau lakukan.
Dengan konsistensinya, tentu shalat malam saat waktu sahur lalu mengakhirkan makan sahur itu menjadi menginspirasi anak-anaknya untuk ikut melakukan juga. Hal yang sampai saat ini belum bisa saya lakukan secara sempurna sebenarnya. Apalagi mengakhirkan sahur. Saya suka ingin leluasa tidak terlalu terburu-buru dengan habisnya waktu makan dan minum sebelum akhirnya menahan diri dari semuanya itu.
Setelah merasa cukup bermesraan sama Allah, bapak pun sahur juga. Kadang-kadang makan di meja makan ditemani mamah, dan sesekali juga nimbrung bersama anak-anaknya di depan televisi. Begitulah tradisi puasa di keluarga saya. Sederhana tapi ada kehangatan di dalamnya. Itu untuk makan sahur saja. Untuk budaya saat berbuka dan lainnya, semoga bisa saya ceritakan di jurnal berikutnya. Harus diceritakan secara terpisah biar menggambarkan keadaannya.
. . .
Setelah selesai makan, kami menghaturkan terimakasih kepada bapak-ibu kos atas jamuan sahurnya. Mudah-mudahan kebaikan ini menjadi jalan terbukanya rida Allah atas keluarga kalian. Lumayan kan bisa menghemat uang untuk sekali makan dan bisa dialokasikan untuk keperluan lain. Kuota misalnya, he. Apa yang dilakukan oleh ibu dan bapak kos ini diam-diam saya jadikan referensi ketika nanti misalnya saya punya kos-kosan, saya pun ingin melakukan hal serupa. Menjadi jalan kebahagiaan orang lain adalah kebahagiaan yang sebenarnya. Terimakasih pak-bu sudah menginspirasi saya.
Puasa selain secara simpel adalah menahan diri dari makan dan minum serta semua hal yang membatalkannya juga hendaknya menjadikan kita mampu menyelami maknanya lebih mendalam. Bila dihayati secara serius puasa mengajarkan empati, puasa mampu melatih kita untuk jadi manusia peka, puasa ajang berbagi lebih banyak lagi, puasa ajang mengelola emosi agar tak terlalu meluap-luap seperti sebelumnya, dan banyak lagi nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya.
Setidaknya itu hikmah-hikmah ibadah puasa yang bisa saya ingat dari khutbah iedul fitri, dari kajian-kajian menjelang puasa, dari ceramah sebelum shalat tarawih, dari artikel-artikel yang tersebar dari internet, dari petuah para dosen di kampus dan lain-lain. Awalnya saya hanya menjalani puasa dengan pemahaman terbatas yang minim dengan penghayatan dalam melakukannya hanya karena ikut-ikutan saja. Seiring usia yang menua, pemahaman yang kian bertambah, pemaknaan terhadap ibadah yang Allah sendiri yang akan tahu ganjarannya ini jadi meluas pula.
. . .
Kita tentu tak ingin kualitas puasa kita dari tahun ke tahun itu-itu saja. Rugi dong. Kita selalu menginginkan agar puasa kita berdampak terhadap keseharian hidup di luar bulan diwajibkannya. Kita mengangankan tentang perkataan “hei, jangan bicara buruk, ini lagi puasa! Hei jangan melihat yang tidak-tidak, nanti pahala puasanya enggak ada! Hei jangan ngomongin orang, kita lagi puasa lho!” menjadi tameng di bulan-bulan selain Ramadhan. Kita sangat berpeluang besar mendapatkan karakter unggul itu. Dengan catatan tentu mau berusaha ekstra keras dan sungguh-sungguh.
Mudah-mudahan kita selalu dibimbing Allah untuk mampu mengambil hikmah dan pembelajaran dari satu peristiwa, ibadah, apa-apa yang kita lakukan, dan hal-hal yang menimpa kita. Mudah-mudahan kita memiliki kemampuan untuk menyelam ke dasar-dasar segala sesuatu untuk mengambil mutiara makna darinya. Dari Ramadhan yang kita tak pernah tahu di Ramadhan berikutnya kita akan menjadi bagiannya atau tidak, pembelajaran itu super melimpah, makna tersebar di mana-mana. Masa tidak kabita?
Muhammad Irfan Ilmy | Bandung, 28 Mei 2017/ 2 Ramadhan 1438H
sumber gambar: Pixabay.com
@bidadariberansel @prawitamutia @novieocktavia @choqi-isyraqi
4 notes
·
View notes