Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Nyata//Maya
Apartemen di lantai 23 itu selalu gelap. Lampu kuning hanya menerangi satu titik: Di ruang tamu lapang yang hanya berisikan satu sofa, satu meja kopi, dan satu kaktus artifisial dalam pot putih di atas meja kopi—tanpa televisi, tanpa lampu hias, tanpa segala perabotan yang tidak dibutuhkan. Dan di satu-satunya tempat di mana terang begitu nyata, seorang pria berumur 30 tahun bertubuh kurus dengan rambut hitam pendeknya yang sedikit beruban menghabiskan waktu setiap malam sehabis pulang kerja dan hampir setiap saat jika sedang libur.
Pria yang benci makan itu bernama Malori Hagan. Ia selalu sibuk bercengkrama bersama teman-temannya di dunia virtual. Bukan teman dengan wujud manusia, tapi teman-teman dengan figur animasi tiga dimensi. Malori bahkan memiliki kekasih di realitas maya bernama Your Authentic Companions.
Melalui teknologi tersebut para penggunanya bisa menciptakan sebuah teman virtual sesuai dengan keinginannya masing-masing. Mulai dari mengatur bagaimana bentuk fisik sampai kepribadian. Beberapa bentuk fisik dan kepribadian bersifat premium dijual terpisah sehingga para penggunanya harus mengeluarkan uang lebih untuk membelinya. Malori adalah pengguna premium Your Authentic Companions. Segala fitur tambahan yang disediakan ia beli, mulai dari fitur teman lebih dari tiga hingga fitur memiliki kekasih. Untuk menjadi pengguna premium, Malori—begitu juga pengguna lainnya—harus merelakan uang sebesar Rp 259.000,- setiap bulannya.
Malori termasuk enam dari sepuluh orang di kotanya yang digolongkan sebagai orang-orang kesepian. Di tahun 2018, kesepian telah menjadi persoalan serius. Inggris menjadi negara pertama yang menyoroti pentingnya memberantas kesepian. Kehadiran menteri baru kala itu untuk mengurusi warga kesepian sempat menjadi lelucon karena dirasa bukan perkara penting dibandingkan dengan masalah-masalah lain seperti terorisme, pemanasan global, hinggga masalah klasik yakni kesenjangan ekonomi. Namun lelucon itu berubah menjadi wabah paling ditakuti di berbagai negara. Dan kini, hanya berselang tiga tahun kesepian telah menjadi semacam penyakit mematikan yang menyerang dengan membabi buta di penjuru dunia. Mulai dari mereka yang sudah renta hingga anak-anak muda pengeruk dosa.
Pemerintah tidak menyediakan solusi pasti untuk menghadapi kesepian, para pengeruk uang nan jeli akan peluang juga yang akhirnya dengan rendah hati ikut membantu. Your Authentic Companions adalah produk dari perusahaan teknologi realitas bertambah terbesar di dunia asal Cina yang berperan besar dalam memberantas kesepian. Meskipun keuntungan adalah tujuan utama mereka membuat program semacam itu. Tapi setidaknya berkat kehadiran Your Authentic Companions, persoalan kesepian bisa lebih dikesampingkan, dan membantu mereka yang kesepian agar terhindar dari jahanamnya realitas modern.
Malori sendiri merasa kehadiran Your Authentic Companions adalah pemanis kehidupannya. Keluarga bukanlah rumah bagi Malori, ia terbiasa sendiri sejak kecil, orangtua Malori yang bertanggung jawab atas sifat mandiri anak bungsunya itu. Namun, kesepian bukan jadi masalah utama Malori muda. Rasa sepi itu baru muncul ketika ia melihat teman-teman terdekatnya telah berhasil memeluk erat realitas modern dengan pundi-pundi emas mereka. Bisa memiliki rumah, mempunyai keluarga, dan segala kebutuhan tersier mereka terpenuhi dengan baik. Sementara Malori di umurnya yang sudah kepala tiga masih tinggal di apartemen sewa, tidak memiliki pasangan, dan hanya mampu memenuhi kebutuhan sekunder ataupun tersier hanya untuk dirinya sendiri. Pekerjaannya sebagai Analis Kredit tak kunjung membuat Malori sejahtera. Sempat terlintas untuk meninggalkan pekerjaan tersebut, namun Malori selalu berhasil dikalahkan oleh rasa takut. Tiada bosan-bosannya rasa takut itu berbisik kepada Malori bahwa ia sudah lewat waktu untuk memulai hal baru, sehingga lebih baik bersabar dan terus berjuang keras sembari menanti keajaiban kalau pekerjaan yang Malori tekuni sekarang bisa menyandang berkah. Dan dari ketidakmampuan menghadapi realitas modern tersebut kemudian lahir benih-benih sepi yang tumbuh subur dalam tubuh Malori.
Suatu malam menjelang akhir pekan di bulan April, Malori pulang ke rumah dalam keadaan suntuk, beban kerjanya hari itu begitu menumpuk, ditambah dengan percakapan Malori dengan ibunya melalui telefon yang memang selalu berakhir dengan salah satu dari mereka mematikan telefonnya tanpa apa ada persetujuan kedua belah pihak saat salah satu diantaranya sedang berbicara panjang lebar. Rasanya seperti dihujani air-air perkara tanpa sempat menyediakan payung untuk melindungi jiwa dan raga. Apartemen Malori gelap gulita seperti biasa saat ia membuka pintu lalu berjalan membungkuk menuju ruang tamunya di mana terang berada. Malori melemparkan jaketnya ke arah acak, lalu menjatuhkan badan ke sofa abu-abu bukat dari kain woven. Masih mengenakan pakain kerja lengkap dengan pantofel cokelat yang hanya terpasang di kaki kiri, Malori memejamkan mata dengan menaruh lengan kanannya dalam balutan kemeja putih di dahinya. Tangan kiri Malori meraba-raba tas kerjanya yang ia taruh di lantai—menyender di sofa. Ia merogoh isi tas untuk mengambil alat realitas mayanya berbentuk lensa kontak serta fon telinga nirkabel berwarna putih dalam kotak besi berwarna hitam seukuran kotak cincin kecil dan terdapat tulisan Your Authentic Companions berwarna emas di atasnya yang kemudian ia taruh di atas dada.
Setelah puas memejamkan mata, Malori bangun dari baringnya menuju posisi duduk sambil memasang alat realitas maya untuk menuju ke dunia Your Authentic Companions. Setelah masuk ke halaman utama Your Authentic Companions, Malori terlebih dulu harus memilih siapa teman bicaranya, latar tempat, dan juga waktu. Ia kemudian menunjuk sang kekasih virtual sebagai teman bicaranya. Leticia Zidni adalah nama pemberian Malori kepada kekasih virtualnya. Paras kekasih Malori di dunia maya itu begitu cantik, badannya sedikit lebih berisi dibanding Malori, dengan tinggi yang hanya lebih pendek lima sentimeter dari Malori, rambut hitam sebahu serta kulit putih yang secerah bola matanya di kelopak mata yang kecil, Leticia Zidni tampak seperti peranakan Amerika-Jepang. Latar tempat yang Malori pilih adalah ruang tamu sebuah apartemen mewah berisikan sofa serta meja kopi yang menghadap langsung ke jendela besar dengan pemandangan kota yang terlihat elok terutama saat malam hari saat lampu-lampu kota mewarnai kegelapan malam. Dan malam hari menjadi latar waktu yang Malori pilah karena Malori ingin menjadikan dunia virtual itu tampak dekat dengan realita sebenarnya.
Leticia Zidni yang malam itu menggunakan setelan kaos putih polos dan celana pendek jin biru sedang berdiri di depan jendela sambil melipat tangan di depan dadanya saat Malori memanggilnya. Leticia lalu menoleh dengan senyumnya sambil melantunkan sapaan dengan nada yang kaku, “Halo Malori, bagimana harimu?” Malori tak langsung menjawab, ia menghampiri Malori terlebih dahulu. Berbalut keindahan kota virtual di depan Malori, ia baru menanggapi:
“Hai Leticia, hari ini benar-benar memuakkan. Di kantor tadi tadi ada masalah serius berhubungan dengan salah satu nasabah, jadi aku harus bekerja lembur menyelesaikan pekerjaan itu dan atasanku hanya merecok saja dengan congornya yang tajam. Tadi juga ibuku telefon, seperti biasa, dia mengungkit-ungkit perkara statusku yang masih melajang. Padahal kami sudah berkali-kali membicarakan hal yang bukan masalah buatku. Sampai kapan aku harus mengeluarkan kata-kata yang sama? Susah sekali membuat orang tua satu itu bisa percaya.”
“Sepertinya kau mengalami hari yang berat, bagaimana kalau kita sekarang bersenang-senang?” Balas Leticia yang langsung disambut dengan banjir endorfin dalam kepala Malori. Malori menghabiskan malam bersama Leticia dengan berbincang-bincang, sesekali bersenda gurau, sesekali bermesraan, sampai rasa senang dalam diri Malori berganti jadi kantuk bahagia. Ditemani bintang-bintang pada gelapnya langit berpolusi, Malori bermimpi indah, membuat hati Malori semakin terang.
Belaian sinar matahari pagi membangunkan Malori dari keindahan mimpi keeseokan harinya. Dengan energi bahagia yang tertimbun berkat kekasih virtualnya, Malori dengan riang bangun dari tempat tidur kecil yang menempel di lantai menuju kamar mandi. Ia sudah ada janji pagi itu dengan kakaknya, Kawira Hagan. Satu minggu lalu, melalui telefon, Kawira mengajak Malori untuk hadir di ulang tahun anak Kawira. Malori hanya berujar bahwa ia akan datang kalau tidak disibukkan dengan kerjaan. Tentu saja ujaran Malori itu adalah dalih belaka, sebab Malori yakin akan mendapat pancuran motivasi dari kakaknya yang lebih tua tiga tahun itu. Kedua saudara itu tidak dekat satu sama lain, atau lebih tepatnya Malori yang enggan dekat dengan kakaknya. Mereka hanya bertemu di waktu-waktu tertentu saja. Dalam satu tahun, jari di satu tangan saja cukup untuk menghitung berapa kali mereka bertemu. Beruntung kupu-kupu cantik sedang berterbangan di dalam dada, sehingga Malori tidak mempedulikan semua perusak kebahagiaan yang dari bisa menyerang dari setiap sudut di mana pun Malori berada. Rasa enggan untuk mengunjungi rumah Kawira pun berubah menjadi nektar yang dilahap habis oleh kupu-kupu dalam dada Malori.
Langit di atas sana begitu kelabu. Tiada burung bertebangan, tiada biru laut menghiasi udara. Jalanan ramai seperti biasa. Orang-orang berjalan, mobil dan sepeda motor lalu lalang, berlomba-lomba untuk menghiraukan aman. Dalam balutan kemeja putih yang diselimuti jaket jin biru belel, Malori melihat kekacauan siang itu dengan bahagia. Kedua matanya menjadi kuas, menjadikan kekacauan sebagai kanvas kosong yang kemudian dilukisnya sehingga berubah jadi karya indah dalam benak Malori. Langit kelabu diubah menjadi biru benderang dengan matahari yang tak lagi bersembunyi. Suara bising diubahnya menjadi lantunan musik klasik ala Beethoven. Dihiraukannya cerita si supir taksi kurus yang gemar bicara. Bagi Malori, melihat indah balau seperti itu adalah mustahil sampai ia akhirnya benar-benar melihat gempita dunia. Perjalanan Malori menuju rumah Kawira yang jauh juga harus berhadapan dengan desak-desakan antara kuda besi sampai-sampai tidak menganggu emosi Malori. Ia justru dibangunkan paksa dari alam khayal oleh si supir taksi gemar bicara ketika mobil tumpangannya itu sudah berhenti tepat di depan rumah Kawira.
Pagar kayu menyambut bisu langkah kaki Malori yang memasuki rumah Kawira. Dari kejauhan sudah terdengar suara keceriaan anak-anak kecil. Mereka bersorak-sorai merayakan ihwal bahagia yang sama sekali tidak mereka mengerti. Sebuah layar kecil—seperti televisi penampil kristal cair mini—di depan pintu rumah Kawira menjadi tanda bagi Kawira bahwa adik satu-satunya itu sudah berdiri di depan pintu. Malori memasang senyum bukan pura-pura ketika wajah Kawira muncul di layar kecil. Pintu kayu tinggi yang terlihat mewah itu terbuka, terlihat sosok Kawira yang merupakan Malori versi gemuk. Malori memberikan pelukan hangat kepada sang kakak, sebuah bentuk kasih sayang hingga rindu yang tidak pernah Malori lakukan sebelumnya. Tentu Kawira menyambut pelukan Malori meskipun gestur tubuh Kawira benar-benar kaku.
“Di mana si kecil Eiko?” Tanya Malori sambil merangkul bahu Kawira dan berjalan menuju kerumunan anak-anak. Dengan gelagat risih karena tangan Malori ada di bahunya, Kawira menunjuk ke arah Eiko yang berpakaian gaun serbang pink serta mahkota perak berkilauan, “Itu dia keponakanmu sedang duduk sambil bermain komputer tablet dan sesekali melihat kado-kadonya. Sudah tidak sabar ingin membuka kado dia, makanya mukanya masam seperti itu. Kau bawa kado kan untuk Eiko?” Malori mengangguk, melepaskan rangkulannya, lalu menghampiri Eiko yang lebih peduli dengan hadiah-hadiah daripada teman-temannya. Malori menundukan badannya sehingga sudah sama tinggi dengan Eiko, ia pun memeluk keponakannya yang bingung dan mengucapkan selamat ulang tahun, “Selamat ulang tahun Eiko, kamu pasti senang banyak teman-teman di sini.” Eiko yang berulang tahun keempat hanya menghiraukan paman yang tidak begitu dikenalnya. Tak kehabisan akal Malori pun mencoba merayu Eiko, “Eiko, saya bawa hadiah untuk kamu, tapi kamu harus bergabung dulu bersama-sama temanmu, setelah itu baru saya akan kasih kadonya.” Tiada kata tertuang dari mulut kecil Eiko, tapi ia mengerti kata-kata Malori. Setelah Malori berbicara seperti itu, Eiko loncat dari kursi kecilnya dan menghampiri teman-temannya.
Disambanginya Kawira yang berada di halaman belakang rumah dan melihat apa yang dilakukan Malori kepada Eiko. “Bicara apa kau dengan Eiko sampai-sampai hilang kerut dibibirnya?” Tanya Kawira kepada Malori. Dengan senyum yang menunjukkan rasa bangga terhadap apa yang diperbuatnya Malori mengatakan kalau ia baru akan memberikan kado kepada Eiko kalau Eiko mau bermain dengan teman-temannya lebih dulu. Kawira berterima kasih kepada sang adik karena berhasil membujuk Eiko. Melihat tingkah adiknya yang tidak biasa itu, Kawira mencoba untuk menggali apa yang terjadi pada Malori, “Kau terlihat berbahagia dan bertenaga sekali hari ini, baru dapat uang berlimpah atau kekasih? Atau ada yang lain?”
“Tebakanmu yang kedua sudah benar. Tapi bukan baru dapat kekasih, tapi aku memang sudah punya kekasih,” jawab Malori. Mendengar kebahagiaan yang adiknya sedang peroleh, Kawira turut menyampaikan rasa bahagianya, “Aku ikut senang, siapa namanya? Sudah berapa lama kalian berpacaran? Seharusnya kau ajak dia ke sini, aku akan sangat senang jika bisa berkenalan dengannya.”
Dengan suara yang sedikit mengecil Malori menjelaskan, “Namanya Leticia Zidni, kami sudah berpacaran kurang lebih tiga bulan. Tapi kau sepertinya tidak akan pernah bertemua dengannya, sebab—” Kawira memotong penjelasan Malori, “Sebab apa? Jangan berujar kalau kekasihmu itu lagi-lagi dari dunia maya, seperti kekasih yang pernah kau ceritakan empat tahun lalu dan ternyata hanya kecerdasan buatan dalam sebuah aplikasi pesan singkat?”
Empat tahun lalu, Malori memang mengaku memiliki seorang kekasih bernama Rinna. Dan Kawira akhirnya mengetahui bahwa adiknya itu berbohong dan menemukan bahwa Rinna yang Malori maksud hanyalah kecerdasan buatan. Malori geram mendengar apa yang dikatakan Kawira. Ia merasa bahwa apa yang ia coba lakukan demi mengusir sepi-sepi adalah sebuah kesalahan di mata orang-orang, termasuk sang kakak, Kawira.
“Kalau memang benar, apa salahnya? Salah jika aku mencoba untuk tidak kesepian? Kau seolah mengisyaratkan adalah kesalahan memanfaatkan teknologi untuk melawan kesepian? Kau harusnya berkaca, lihat Eiko yang kau biarkan terikat di komputer tablet sementara ada teman-temannya di depan matanya. Dan kau melihat itu sebagai hal yang biasa, bukan? Rasanya kau harus buka mata melihat seperti apa dunia sekarang.”
“Kau yang seharusnya buka mata Malori. Bodoh sekali kau menyamakan diri dengan Eiko. Kau itu seorang dewasa. Atau mungkin ayah dan ibu benar, kau tak lebih dari anak kecil manja dalam tubuh tua renta yang enggan melihat dunia sebenarnya,” balas Kawira yang langsung membuka pintu kaca halaman belakang dan masuk ke dalam rumah.
Matahari sudah pulas tertidur. Bulan tiada bosan menjadi pengawal malam, juga menemani Malori yang pulang ke rumah dengan rasa gusar yang menyebar keseluruh tubuhnya sampai-sampai sesak mengguncang dada. Sesampainya di apartemen yang diselimuti gelap, Malori mengambil alat realitas maya di meja kopi ruang tamunya. Leticia adalah satu-satunya nama yang terus terbayang dalam benak Malori setelah kebahagiaan Malori hari itu dikoyak-koyak oleh Kawira. Setelah terhubung ke dunia virtual, ia langsung menyapa Leticia, dengan cerita panjang lebar soal pertemuannya dengan Kawira:
“Leticia, aku tadi bertemu dengan Kawira, kakakku. Ia berceramah seakan tau segala yang paling baik dalam hidup ini. Kebahagiaanku dicakar oleh kata-kata tumpul yang keluar dari kepala tak berisi. Kawira bilang bahwa aku tidak akan pernah bisa bahagia jika hanya lari dari realita dan tenggelam di dunia maya.”
Wajah kaku Leticia terlihat tenang, ia tersenyum kemudian berujar dengan gerak bibir yang halus, “Malori sudah berapa lima kita bersama? Tiga bulan, bukan? Bukankah kini kau merasa lebih bahagia berkat kehadiranku?”
Malori terdiam mendengar perkataan kekasih virtualnya. Apa yang dikatakan Leticia adalah sebuah kebenaran pikir Malori. Ia merasa semenjak menggunakan Your Authentic Companions kondisi fisiknya jauh lebih bugar—meskipun masih membenci makan. Setiap pagi pun ia terbangun dengan pancaran sinar dari wajahnya dan menjadi lebih berkobar-kobar jiwanya untuk hadapi rutinitas yang harusnya ia benci. Setelah pulang kerja tiada lelah meredupkan api dalam jiwanya, justru api-api itu semakin menggelora. Dengan senyuman terlebar yang pernah Malori tebarkan, ia setuju dengan Leticia, “Kau benar. Tak ada dalam harapanku kalau aku ternyata bisa kembali merasa. Bisa kembali bahagia. Meskipun harus tinggalkan dunia realitas nyata lalu hidup di dunia maya.”
0 notes
Text
Semoga Mafhum
Sabtu malam pukul 20.28 WIB aku tenggak asap rokokku dengan segelas Cafe Latte panas—masih utuh—dengan sembunyi-bunyi. Aku duduk di meja berkapasitas empat orang dengan meja bundar tempat bungkus rokok, Caffe Latte, asbak berisikan tiga batang rokok, serta abu yang berserakan. Tidak, aku sama sekali tidak menunggu siapa pun. Di tempat ini meja-meja memang tidak tersedia tempat berkapasitas hanya untuk satu orang.
Di meja-meja lain tepat di depanku ada tiga orang asing. Yang pertama adalah seorang wanita bertubuh gempal dengan kaos putih garis-garis hitam horizontal. Ia juga sendiri sama sepertiku. Sepenglihatanku, ia sibuk bermain ponsel sambil menghisap rokok mentol. Aku bisa melihat bungkus rokok berwarna putih-hijau di mejanya. Pasti rokok mentol. Minumannya sudah habis. Perkiraanku ia memesan Iced Vanilla Latte atau Ice Hazelnut Latte. Aku tidak tahu pasti dari negara mana wanita gempal beramput pirang pendek ini berasal. Yang pasti dia asing.
Dua orang lainnya, aku bisa memastikan bahwa mereka adalah pasangan kekasih entah sudah menikah atau belum—bukan urusanku. Aku yakin mereka dari Korea—entah Korea Selatan atau Korea Utara. Kalau dari Korea Utara aku ikut berbahagia karena mereka salah satu dari orang-orang beruntung, bisa terbebas dari pemimpin diktaktor berbadan gempal yang kalau sedang tertawa mirip dengan Boboho tapi dengan rambut 80’s Top Collection.
Aku yakin pasangan kekasih itu dari Korea, sebab aku bisa menguping pembicaraan mereka yang aku tak paham artinya. Tapi aku tahu betul itu bahasa Korea. Sebenarnya mereka berdua irit bicara. Si pria yang mengenakan polo shirt pink, serta sepatu adidas berwarna hitam-oranye—aku tidak tahu tipenya—dan celana pendek yang aku tidak tahu warnanya karena tertutup sofa merah, sibuk terus dengan ponselnya. Sedangkan si wanita yang tampak seperti pedagang mie bangka dekat rumahku, sibuk dengan barang belanjaannya.
Sekitar pukul 20.45 WIB ada dua gadis yang aku taksir masih belum punya masalah besar, duduk di belakang mejaku. Mereka berpakaian sedikit terbuka—tapi itu bukan masalahku. Yang menjadi masalah adalah mereka bukan orang asing. Mereka sama denganku. Maksudku, dari negara yang sama. Yang menjadi masalah adalah suara mereka itu teramat nyaring. Begitu menganggu. Aku bisa mendengar mereka membicarakan hal-hal tidak penting. Soal belanjaan mereka, soal harga-harga diskon dan bagaimana seharusnya mereka belanja lebih banyak lagi tapi orangtua mereka hanya memberikan sedikit uang, hingga soal gosip-gosip murahan tentang selebriti juga tentang teman-teman mereka—aku tidak tahu pasti apakah itu teman-teman mereka atau selebriti juga.
Aku memasang fon telinga dan mendengarkan lagu dari ponselku karena terganggu suara dua gadis itu saat ada satu keluarga beranggotakan seorang ayah dengan ketiga anaknya, satu laki-laki, dan dua perempuan—aku tidak tahu ibunya ke mana, mungkin masih berbelanja. Aku sempat tidak fokus membaca karena mereka seperti orang kebingunan. Bolak-balik tak karuan mencari tempat duduk. Pertama aku melihat mereka duduk di meja yang letaknya persis sebelahku. Lalu mereka pindah ke meja belakangku, lebih tepatnya lagi ke meja belakang kedua gadis berisik. Tak lama setelah wanita asing bertubuh gempal pergi, mereka duduk di tempat itu. Pelayan kafe tampak kebingunan menaruh pesanan mereka, mulai dari makanan hingga minuman karena mejanya terlampau kecil. Akhirnya ketiga kakak beradik memutuskan untuk masuk ke ruangan ber-AC di mana meja-meja di dalam itu berukuran lebih besar. Si pelayan mengambil lagi makanan dan minuman yang sudah ditaruh itu, lalu membawanya ke dalam membuntuti ketiga kakak beradik tadi. Si ayah tetap berada di luar dengan minumannya—sepertinya Iced Americano. Benar-benar tampak seperti keluarga pada umumnya saat sedang berada di kafe atau restoran: Merepotkan.
Daritadi aku bicara soal orang terus. Sekarang giliranku bercerita tentang aku sendiri. Keberadaanku di tempat ini adalah untuk menjadi asing, seperti tiga orang di depanku dan aku baru selesai ceritakan. Maksudku, aku saat itu sedang tidak ingin bertemu dengan orang-orang terdekatku. Baik itu keluarga atau sahabat. Kenapa? Karena ada satu fase di mana kalian sadar kalau orang-orang terdekat kita bisa menjadi parasit jahat. Mereka menggerogoti materi, raga, akal, hingga jiwa kita saat berada di sekitar mereka. Makanya menjadi asing sewaktu-waktu itu amat diperlukan. Meskipun efeknya hanya sebentar—terlalu sebentar menurutku. Tapi setidaknya kalian benar-benar menjadi “kalian.” Mengertikan maksudku?
Begini, bagiku ketika kita berada bersama orang lain kita buknalah “kita” sesungguhnya. Tanpa kalian sadari, kita telah menjadi aktor/aktris berbakat yang sangat layak menang Oscar. Karena kita sedang berpura-pura menahan emosi, pura-pura menjadi baik, pura-pura lucu, sampai parahnya pura-pura sedang menjadi diri sendiri. Sekarang mengertikan maksudku?
Aku bukannya sedang ingin menghasut atau menanam implan dalam otak kalian dengan bualan. Percayalah, aku berkata dengan sejujur-jujurnya. Masa kalian sama sekali tidak pernah merasa apa yang aku rasakan? Pasti pernahkan? Percayalah, aku berkata dengan sungguh-sungguh. Kalau kalian pikir aku sedang coba memasuki pikiran kalian agar kalian menjauhi orang-orang terdekat, kalian salah paham. Bukan itu maksudku. Begini, mungkin kalian berpikir jika sedang berpergian ke mana pun itu sendirian adalah hal menyedihkan. Kalian mungkin takut dibilang kesepian. Tapi justru ketika kalian sedang tidak menjadi diri kalian sendiri itu adalah kesepian sesungguhnya. Sekarang mengertikan maksudku?
Sial! Sudah pukul 21.00 WIB. Aku sudah membeli tiket untuk menonton. Filmnya tayang pulul 21.00 WIB. Aku benci masuk ke dalam bioskop jika filmnya sudah tayang meskipun baru terlewat satu menit. Nanti aku lanjutkan lagi ceritaku kalau kalian tidak mengerti maksudku.
0 notes
Text
Lantunan Narasi
/1/
Ada kaca penuh noda di tembok putih berjamur dan aku membisu, melihat wajah samar karena pantulan tak sempurna
kukepalkan tangan kanan lalu hantaman lekukan jari-jari malang meluncur kencang
Darah dan retak mengalir halus menjadi sahabat dada sesak juga pikiran yang tergerus karena kehidupan fana yang kekurangan arti.
/2/
lagu lawas pemancar pilu bangkitkan benih-benih bunga mawar bisu yang tajamnya lahirkan perih sisakan lebam-lebam ungu penghias epidermis
di dalamnya sel-sel darah tersendat meluncur, saling tabrak lalu hancur
nyawa ini telah berserah karena segala tempat singgah sudah musnah dilahap makhluk serakah yang gemar berkeluh kesah.
/3/
garis putus-putus, tergambar lirikan Aeolus namun terlihat fana karena tatapan sasa milik sang pemberi tanda.
liliput nakal berjerih payah untuk menyerah walaupun lantunan narasi masih melayang bebas di awang-awang bersama angin yang sulit tuk dijamah.
0 notes
Text
Bil, R, & Kara #13
“R, cepat bangun, aku punya sesuatu untukmu. Mau lihat tidak?”
Dengan mata masih terpejam, R menjawab dengan suaranya yang samar-samar, “Kau bawa apa?”
“Aku bawakan obat spesial untuk penyakitmu. Temanku yang seorang dokter atau ilmuwan itu memberikan obat ini. Katanya bisa sembuhkan penyakitmu yang tak satu dokter pun tahu.”
R tidak tertarik. Tapi ia tetap mengambil obat pemberian sang kakak. Ia melihat obat itu dengan teliti. Tidak ada sesuatu yang spesial dalam obat itu. Hanya kapsul berbentuk sama dengan warna hitam pekat diseluruh tubuhnya.
Masih di tempat tidurnya, R menenggak kapsul hitam itu dengan kopi hitam sisa semalam. Hanya berselang kurang dari satu menit. Kepala R terasa segar, badannya yang selalu dilanda linu itu mendadak enteng seperti seorang baru terbangun dari tidur nyenyak.
Dengan gesit, R langsung beranjak dari kasurnya kemudian berlari menuruni anak tangga untuk mengabarkan kabar bahagia kepada sang kakak yang berada di lantai bawah.
Euforia yang mengalir dalam tubuh R justru membuatnya melupakan kesialan yang bisa menimpanya meskipun berada di dalam rumah. R tergelincir dari tangga dengan keras. Kepalanya lalu terbentur anak tangga. Darah mengucur deras dari dahi R, menyisakan noda merah yang akan membekas selamanya.
0 notes
Text
There Is No End
I howl like a wolf yet they don’t get bothered
Their voice isn’t soft Forcing me to keep lying low so they can shoot an arrow straight into the dreamers
An exertion to control have blinded their tremendous sense and creating the absurd
Don’t dare to run We’re all already being held with their secret witan
0 notes
Text
Terputus
hujan bersua pagi ini dengan geram, rintikannya menghantam kekeringan di bumi, orang-orang kecil berlari mencari perlindungan tanpa memperhitungkan mati yang bernaung di sela-sela kerikil.
0 notes
Text
Begitu Kembali, Tinggal Kenangan
Terbenam resah dalam pelukan Tentram yang aku rindu bersemayam dalam senyuman elok di balik bangsal masa lalu
Tiada paras tertangkap hanya deretan kata-kata tersingkap melalui goresan tinta gelap
Bisa juga berlega hati setelah membuka pintu besi dengan siasat dusta agar tak tertumbuk pandangan durja
Sebab, tiada berkenan sarubani ini menilik kau terus hanyut dalam sedu sedan gubahaan sang pecandu mati
1 note
·
View note
Text
Bil, R, & Kara #8
Ia duduk sendirian. Mereka duduk bersama. Aku duduk sendirian. Aku memperhatikan mereka karena mereka tidak memperhatikan aku. Gerak-gerik tiga orang itu terlalu sayang jika tidak dimanfaatkan untuk jadi bahan lelucon seperti dengan menyulih suara percakapan mereka di dalam kepalaku.
Yang duduk sendirian sibuk menelfon. Yang duduk bersama sibuk bermesraan. Aku tirukan orang yang duduk sendirian dulu, “Kau tahu kalau kau itu bajingan tengik dengan rupa mirip kecoa berbadan babi, otakmu itu sekecil penismu. Dasar bajingan.”
Ia duduk sendirian sambil menelfon sambil marah-marah. Makanya aku tirukan seperti itu.
Sekarang giliran mereka yang duduk bersama aku sulihkan percakapan mereka:
“Ayolah sayang, malam ini ya?”
“Bagaimana kalau saat ini, di sini?”
“Boleh! Tapi kita minta pria yang duduk sendirian di sana merekam kita ya!”
Kara datang. Aku berhenti bermain. Masalahnya kalau ada dia semuanya jadi tidak seru.
0 notes
Text
Jadi Anjing
Siapa senang diperintah bermimpi? Lekas bergegas tegas! Jawab, segera jawab! Lantas, pangkas kasar? Biadab! Kalian semua biadab!
Pantas jika makin bernanah hati ini diremuk-remuk jeruji besi berduri.
Tiada sudi, tiada hancur juga rupanya!
Kian merintih pilu, terus mencengkram paksa berbagai macam nyawa melalui senandung lirih bernama, palsu!
Payung rapuh tiada guna Ada jari-jari putus singgah dalam derasnya hujan darah.
Merah, aku dibalut merah!
Tertawalah, kalian anjing berbisa tiada makna.
0 notes
Text
Petuah Sang Ajal
Kalau matiku menjemput malam nanti Janganlah kau kubur aku dalam hati
Ku muak dengan belantara pura-pura Kelak juga kau pasti lupa Kelak juga kau pasti bahagia
Bukankah waktu bersabda seperti itu?
Sia-sia pula semisal kau berlinang air mata Karena siraman kesedihan adalah kesia-siaan
Adalah isak yang tak cakap buatku bahagia di alam sana
Rahasiaku menjamur dalam kepalan tanganmu Ku damba kau tebarkan saja semua dari langit biru
Semoga aku bisa selalu abadi dalam kepala-kepala baru
dalam keraibanku.
1 note
·
View note
Text
Arkais
Seratus tahun sudah ia tersekap di ruang antah berantah dilahapnya kecoa hidup-hidup serta bangkai tikus karena rembulan kian meredup
Ingin rujuk kepada-Nya tapi ribuan cara telah dicoba dan semuanya sia-sia
Ia membakar asa dengan parang tajam berupa kata-kata dari congornya yang nista
Dalam gelap, ia bernaung menjadi majenun penuh kelakar dalam senyap, ia bersenandung lantunan doa-doa hambar penawar benguk yang ia kandung
Karena tak ada satu pun kirana bisa menjadi anestesi bagi kedustaan dalam jiwa bagi ia sang pemuja sepi
0 notes
Text
Agonia
darah di telapak tanganmu jatuh tepat di mawar liar yang kau petik dengan kasar saat malam berdatang sembah kepada setiap makhluk biru
kau pun bergegas lari menghiraukan maut
kau lupa ada jurang hampa menanti di penghujung bukit beralaskan flora-flora agonia tempat kau larut dalam kesia-siaan sujudmu
telah kuperingatkan engkau melalui panjatan doa agar tak bertingkah di dunia yang kau sebut penjara
tapi kau jelas ingin terjun bebas karena kau adalah makhluk biru yang akan selalu kupuja.
0 notes
Text
Bil, R, & Kara #7
Jumat 23.59
(Kamu udah punya pacar baru ya?)
Sabtu 08.56
(Emang kenapa?)
Minggu 09.54
(Aku berkesimpulan kalau aku harus terus maju. Mencari seorang baru untuk mengalihkan pikiran dan perasaan ini kepada kamu?)
Senin 11.01
(Aku pulang ke Jakarta, kemungkinan awal Januari. Mau ketemu?)
Senin 11.03
(Aku rasa aku belum siap, maaf.)
*
“Sebenarnya aku tidak ingin kembali ke Jakarta, karena tidak alasan juga untuk aku pulang.”
“Memang harus sampai butuh alasan kalau hanya ingin kembali ke Jakarta?”
“Iya.”
“Kalau begitu, aku bisa berkata seperti ini, aku sama sekali tidak punya alasan untuk hidup. Jadi buat apa aku hidup. Tapi nyatanya, sampai saat ini aku masih belum bunuh diri dan tetap hidup tanpa sebuah alasan.”
Telepon terputus.
0 notes
Text
Gara-Gara Varicella-Zoste
“Juni itu ponselmu berdering, ada telepon sepertinya.”
Sial. Keras sekali suara Ibuku itu. Susah baginya untuk betutur lembut satu kali saja. Padahal aku selalu berharap ibu bisa seperti itu. Padahal ibuku persis duduk di sebelahku. Kami sedang berada di ruang keluarga waktu itu. Menyaksikan film dari DVD bajakan yang baru Ibuku beli. Kami menonton film yang menceritakan kisah Nabi Nuh. Kata Ibu ia ingin menonton film itu karena tetangga-tetangga di rumah mengatakan kalau film itu sesat. Melecehkan sejarah hingga agama. Makanya ibu penasaran sekali menonton film arahan Darren Aronofsky itu.
Ponselku sendiri berada di meja makan yang letaknya amat dekat dari ruang keluarga. Aku sebenarnya tahu kalau ponselku itu berdering, tapi sengaja aku diamkan. Karena aku tahu, nada dering dari ponselku itu akan menganggu ibu yang kalau sedang nonton film terlampau fokus dan paling benci jika diganggu bunyian lain kecuali celotehannya sendiri. Menjahili ibu adalah hal yang paling aku gemari. Tapi tetap saja, karena ia sudah teriak seperti itu, aku langsung berlari ke meja makan dan kumatikan ponsel berisik itu.
Doaku malam itu terkabul. Setelah selesai melaksanakan ibadah pagi—kami tidak beragama, tapi kami selalu berdoa setiap pagi dan malam hari kepada Tuhan—aku melihat ada yang aneh dari wajah Ibuku. Salah satu sisi wajahnya terlihat turun. Aku langsung memberitahu Ibuku dan bergegas memaksanya ke dokter.
Kekhawatiranku sedikit berkurang setelah sampai ke rumah sakit. Aku berdiri di pinggir jalan karena aku harus merokok. Rokok itu seperti obat panik untukku. Mungkin aku bisa terkena serangan jantung jika sedang panik-paniknya tak kutemukan rokok di saku celana. Egois memang, seharusnya aku menemani ibu di ruang gawat darurat, tapi aku lebih memilih untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Aku baru masuk menemui Ibuku setelah aku menghabiskan tiga setengah batang rokok. Ketika batang ketiga, sengaja aku puntungkan karena panik dalam diriku sudah kabur.
Dokter langsung meyambangiku ketika aku masuk ke ruang gawat darurat dengan bau rokok disekujur tubuhku—ditambah dengan bau matahari juga. Aku berlagak sok panik dan berteriak kecil tepat dihadapan dokter pria paruh baya itu, “Dok, ibu saya baik-baik saja kan? Dia kena stroke ya dok?”
“Ha-Ha-Ha, kamu tidak perlu panik ganteng, ibu kamu terkena Bell’s Palsy kemungkinan karena virus varicella-zoste.”
Sial. Bahasa apa itu, aku sama sekali buta kata asing. Yang terbayang dalam kepalaku ketika mendengar Bell’s Palsy adalah kedai makanan cepat saji dengan maskot bocah laki-laki bertubuh gempal dengan topi koboi lalu sambil membawa hamburger dan milkshake sambil tersenyum lebar. Lalu, apa pula virus varicella-zoste itu, terdengar seperti nama-nama alien di film fiksi ilmiah. Mungkin aku yang terlalu bodoh untuk tahu hal-hal seperti itu.
“Ibumu sering berada di tempat ber-AC ya?” tanya dokter paruh baya yang memanggilku ganteng.
“Iya dok, ia kalau di rumah paling sering menghabiskan waktunya di depan televisi, entah itu nonton film atau sinetron. Dan di atas televisi itu ada AC. Dan terus nyala kalau Ibu sedang asyik dengan dunianya.”
“Oh berarti karena AC itu,” ujar si dokter itu yang semakin membuatku bingung, “tenang ganteng, kamu tidak perlu khawatir, Ibumu baik-baik saja. Sekarang kamu urus administrasi dulu saja ya.”
Sial. Tadi ia bilang karena virus valencia-zoste atau valerie-zoste, ah apapun itulah, sulit sekali menyebutnya dengan benar. Sekarang ia bilang karena AC. Sejak kapan AC memiliki virus. Satu-satunya virus yang aku tahu benar-benar cuma virus trojan di komputer. Dan lagunya Slank. Entahlah.
Situasi rumah sakit pagi itu begitu sIbuk. Ternyata banyak juga orang sakit pagi-pagi. Aku sedikit kerepotan saat hendak mengurus pembayaran. Pertama, aku membayar uang administrasi lalu diberikan resep obat yang harus aku tebus di lantai dua. Ah, aku tiba-tiba berharap ada ayah di sini biar ia yang mati kerepotan mengurus persoalan seperti ini. Tapi ayah sudah mati terperangkap dalam lubang vagina seorang wanita yang umurnya sepantaran denganku.
Setelah memberikan resep kepada sang apoteker lalu menunggu dipanggil, aku membayangkan ibuku yang terkapar di kasur rumah sakit sambil menatap langit-langit ruangan dengan aroma khas rumah sakit. Pasti ia bosan sekali.
“Atas nama Nyonya Sri Oemi Indrawati.”
“Atas nama Nyonya Sri Oemi Indrawati.”
“ATAS NAMA NYONYA SRI OEMI INDRAWATI.”
Sial. Itu nama ibu. Aku lupa yang sakit itu ibu bukan aku, jelas saja nama yang tertera di kantung plastik biru tempat obat-obat bersemayam adalah nama ibuku: Sri Oemi Indrawati. Lantas, aku langsung bangun dari lamunanku, berlari ke arah asal suara yang memanggil.
“Atas nama Sri Oemi?” tanyaku kepada apoteker berwajah judes. Mungkin ia kesal karena harus memanggil sampai tiga kali. Untung bukan hantu atau makhluk apalah itu yang muncul kemudian mengambil obat Ibuku.
“Iya, ini saya kasih tiga obat untuk ibumu. Ini Medixon untuk peradangan sendi, diminum empat kali setelah makan setiap hari. Saya juga kasih antivirus, Acyclovir diminum lima kali sehari setiap minum langsung dua tablet ya. Dan yang terakhir ada obat tetes mata pakai empat kali sehari; pagi, siang, sore, dan sebelum tidur.”
Sial. Nama-nama aneh lagi. Obat macam apa yang langsung diminum dua kali secara langsung dan harus diminum lima kali sehari pula. Rumah sakit ini ingin membuat ibuku overdosis atau apa? Tapi aku percaya sajalah, buat apa keluar uang mahal-mahal, ke rumah sakit ternama tapi justru ditipu. Tidak mungkin kan? Jelas tidak.
Ibuku sedang sibuk dengan ponselnya saat aku akhirnya menghampiri lengkap dengan obat-obatan yang ia butuhkan, “Ibu gimana perasaannya?”
“Gimana apanya? Kamu lihat sendiri wajah ibu ini. Aneh kayak film-film alien yang suka kamu tonton. Jadi tidak cantik lagi kan ibu. Pusing sudah kalau begini, apa kata teman-teman ibu nanti.”
Sial. Ia masih bisa bercanda—mungkin serius. Tapi doaku tetap terkabul, baru kali ini dia berbicara dengan tutur lembut. Meskipun pernyataan seperti itu lebih pantas jika dilontarkan secara keras dan meledek. Layaknya sinetron-sinetron yang ia suka tonton di ruang keluarga sambil disambar angin AC yang bervirus itu.
Tapi apa yang Ibu bilang ada benarnya juga. Karena ia bilang wajahnya jadi mirip alien. Aku jadi teringat makhluk bernama The Cronenbergs di serial kartun Rick & Morty. Ngomong-ngomong soal nama makhluk yang diambil dari nama sutradara Kanada, David Cronenberg, kira-kira ia bangga atau kesal ya nama belakangnya dijadikan nama makhluk berwujud aneh seperti itu. Tapi kurasa sih tidak, soalnya ia sendiri sering menciptakan makhluk-makhluk aneh di filmnya. Apalagi di film Naked Lunch. Aku ingat ketika menonton film itu di ruang keluarga sambil disambar angin AC, ibu berteriak-teriak karena kesal dengan makhluk-makhluk dalam film itu. Pantas saja tadi ia langsung mencelaku, ia pasti teringat film itu.
Ibu langsung diperbolehkan pulang. Dokter paruh baya itu bilang kalau ibu harus kontrol lagi minggu depan. Aku lalu langsung menuju ke mobil. Bukan maksudku meninggalkan ibuku begitu saja dan membiarkan ia jalan sendiri ke tempat parkir. Aku memang sengaja mengambil mobil lalu berhenti di depan ruang gawat darurat agar ibu hanya perlu berjalan sedikit. Lagipula, ia memang masih mampu berjalan dengan gesit sambil melemparkan senyuman kepada si dokter paruh baya saat aku berada di mobil dengan jendela terbuka.
Dalam perjalanan pulang, aku sibuk mengganti-ganti stasiun radio. Tidak ada pembicaraan seru soalnya. Yang ada cuma lagu-lagu itu saja. Bosan. Sialnya ponselku mati, jadi aku tidak bisa menyambungkan ponselku via bluetooth supaya bisa mendengarkan lagu-lagu di ponselku. Ingin memutar CD tapi semuanya CD punya Ibu. Apa syahdunya terik-terik begini mendengarkan lengkingan suara diva-diva Indonesia? Tapi biasanya kalau sedang pergi dengan ibu, aku pasti mengalah. Membiarkan kedua telinga ini dirasuki suara-suara emas diva Indonesia plus suara ibu yang keras tapi tidak emas. Untungnya Ibu langsung tertidur tak lama masuk ke mobil. Ia pasti kelelahan karena hanya terkapar di atas kasur rumah sakit tanpa menonton televisi.
Begitu sampai di rumah, ibu langsung menempati singgasananya. Di ruang keluarga, di depan televisi, di hantam semburan AC bervirus. Langsung saja aku layangkan peringatan kepada Ibuku, “Bu, kan tadi dokter sudah bilang jangan sering-sering di bawah AC. Sekarang pilih, mau aku cabut kabel televisinya atau aku matikan AC bervirus itu?”
Tentu ibu memilih pilihan kedua. Ia pasti lebih memilih berkeringat daripada harus ketinggalan sinetron-sinetron favoritnya yang lebih absurd daripada film Naked Lunch yang diprotes ibuku saat aku sedang menonton.
“Bu, ini obat-obatannya, aku tidak terlalu paham cara pakainya. Pokoknya ada satu obat antivirus yang harus diminum lima kali sehari langsung dua tablet sekali minum. Ya, sisanya ibu bisa baca sendiri kan pada petunjuk yang tertera.”
“Iya. Sudah sana, jangan ganggu ibu, episode ini lagi seru-serunya.”
“Yasudah tapi itu obat jangan lupa diminum ya Bu. Mahal!”
Ah, entahlah, bagiku setiap episode dari sinetron-sinetron yang ditonton oleh Ibu sama sekali datar. Maksudku, monoton saja begitu. Terkadang aku suka bingung, bagaimana bisa orang-orang macam ibuku keranjingan tontonan seperti ini. Apakah karena rutinitas orang-orang macam ibuku itu juga monoton seperti sinetron-sinetron layar kaca. Jadi seakan antara yang menonton dan film itu ada ikatan batin nan kuat, sehingga jika ketinggalan satu episode saja bisa dilanda duka mendalam.
Aku menuju dapur untuk membuat kopi hitam yang diberikan oleh teman ibu dari Aceh. Aku sebenarnya benci kopi hitam, tapi kopi dari teman ibu ini berbeda. Bisa dibuat mabuk kepayang badan dan pikiranku karena kopi hitam asal Aceh itu. Setelah kopi hitamku siap minum, aku menuju ruang makan—satu-satunya tempat aku boleh merokok di rumah. Aku sedikit mengintip tontonan ibuku. Sinetron yang aku tidak tahu dan tidak peduli judulnya itu sedang mempertontonkan seorang anak kecil yang sedang menangis sambil memeluk bonekanya dengan terbalik. Bonekanya lucu sekali, seperti kelinci tapi bukan kelinci. Sebab kupingnya lebih mirip rubah, matanya juga berwarna merah. Yang membuat aku yakin itu boneka kelinci karena boneka itu memeluk wortel.
Ternyata anak laki-laki dalam sinetron itu menangis karena si ibu habis memarahinya sebab ia terus bermain boneka. Padahal si ibu baru saja membeli mainan baru berupa mobil remot kontrol teranyar. Sang Ayah justru membela anaknya, alhasil kedua orangtua bocah malang itu malah beradu mulut dan membiarkan anaknya menangis di sudut tembok ruang tamu rumahnya.
Mata ibu mulai sembab. Mungkin ia teringat pertengkaran dengan ayahku yang mati terperangkap dalam lubang vagina. Adegan di sinetron itu sebenarnya mirip dengan memori masa kecilku dan berujung pada perkelahian ayah dan ibu. Bedanya aku tidak menangis di pojokkan, namun justru lari kabur ke luar rumah lanjut bermain bola dengan kawan-kawanku. Umurku saat itu baru tujuh tahun—sepertinya. Ayah marah padaku saat itu karena aku selalu bermain dengan anak laki-laki.
Bulan dan bintang sudah merayu-rayu aku dan Ibu untuk tidur. Aku lagi-lagi mengingatkan ibu apakah ia sudah menenggak obat pemberian dokter paruh baya tadi, “Bu sudah diminum obatnya?”
“Sudah Nak, berat juga ya harus minum obat antivirus ini langsung dua tablet. Omong-omong, kamu ingat nama virus yang dokter katakan tadi tidak?”
Sial. Lagi-lagi aku harus berusaha mengingat nama aneh virus itu. Langsung saja aku asal sebut agar ibu aku diam dan cepat pulas tertidur, “Valentino-cortex Bu kalau tidak salah.”
“Ah jadi virus saja merepotkan, mulai dari nama juga penyakit yang dibawanya. Eh, omong-omong, tadi sang dokter memanggilmu “ganteng” ya?”
“Ha-Ha-Ha. Benar Bu, dia berkali-kali panggil saya ganteng. Mungkin dia juga terserang virus yang membuat penderitanya tidak bisa membedakan mana laki-laki dan perempuan.”
Ibu tertawa tapi tidak bisa terbahak-bahak. Aku yakin ia ingin tertawa terbahak-bahak. Kami lalu melakukan doa malam dan aku mencium kening Ibuku sebagai penghantar tidur agar gelombang otaknya semakin melambat dan melewati semua tahapan tidur agar langsung saja masuk ke tahap REM.
0 notes
Text
MUNGKIN BESOK ATAU LUSA
Detak jantung kian cepat Sirnah sudah irama indah itu Diganti dengan nada-nada menganggu
Hati-hati nanti jadi sendu Kemudian lupa akan berbagai isyarat Terlalu sibuk dibelenggu Hingga waktu pun berkarat
Kenapa tidak pejamkan mata saja? Memalukan jika masih takut gelap Kurung setan-setan dengan baja Siapa tahu bisa segera terlelap
Atau coba berdoa Berharap dunia besahabat besok atau lusa Ada hawa panas melintas dalam doa ini Mungkin karena terpaksa Wajar akhirnya jika iblis jadi berani Lalu menghampiri, dan melempar senyum manis, sebelum menyiksa!
0 notes
Text
BOSAN, BOSAN, BOHONG!
Tak banyak yang pria itu bisa lakukan selain berjalan tanpa arah mencari rumah. Setiap harinya, ia berjalan tanpa alas kaki, pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari di mana rumah yang selama ini ia cari. Hidupnya bak kaum gipsi sang pengembara yang memilih untuk selalu berpindah-pindah tempat.
Matahari sudah mulai malu-malu memancarkan sinarnya saat pria itu duduk di sebuah taman tak terurus. Tumbuhan liar, serta serangga-serangga nakal menjadi sahabat sesaat sang pria. Ia merebahkan dirinya di sebuah kursi renta, sekadar untuk mengumpulkan energi sebelum ia melanjutkan perjalanannya.
Suara-suara dari keramaian dari taman itu perlahan sirnah. Entah karena malam akan tiba dan mereka segara pulang. Atau karena keberadaan sang pria hilang arah dengan tampilannya yang mengerikan sehingga label “orang gila” pasti menempel pada dirinya. Namun, apalah arti gila itu jika gila hanya ciptaan dari mereka yang awalnya gila, agar kegilaan mereka dianggap normal oleh banyak orang.
Seekor kucing kampung dengan kaki pincangnya menghampiri pria tersebut. Bahkan kucing pun tahu kalau pria paruh baya ini merasa kesepian. Butuh teman untuk berbicara mungkin pikir si kucing.
Sang pria tak menghiraukan keberadaan kucing itu awalnya. Namun, kucing kampung itu terus memanggil. Ia akhirnya menyerah, mengambil kuncing itu dan menaruh di atas dadanya yang tak diselimuti pakaian.
“Malang sekali nasibmu wahai kucing pincang. Sudah berapa lama kau mencari rumah?,” bisik sang pria hilang arah. “Suatu saat aku mungkin akan bernasib sama sepertimu. Berkelana mencari rumah, hingga penyangga badanku rapuh dan memperlambat gerakku.”
Kucing berjenis calico dan berkelamin jantan itu tampak nyaman berada dalam pangkuan sang pria. Dengan mata terpejam, si kucing seakan mendengarkan sang pria hilang arah dengan seksama.
“Wahai kucing malang, akan sampai kapan kita terus mencari rumah? Rutinitas ini semakin membosankan. Awalnya aku kira inilah tujuan aku ada di Bumi, untuk mencari rumah yang dijanjikan. Tapi sesungguhnya aku lelah wahai kucing malang.
Apakah rumah yang sama-sama kita cari itu adalah kematian? Atau jangan-jangan menyerah adalah satu-satunya jalan untuk mencapai rumah yang kita tuju? Aku yakin kau pun juga mempertanyakan hal serupa, bukankah begitu wahai kucing malang?
Aku mungkin dianggap gila oleh sekitarku. Tapi menurutku merekalah yang tak berakal. Anugerah Tuhan kepada sesamaku mereka sia-siakan begitu saja. Justru, kehendak tangan-tangan tak kasat mata yang datang dari sesamaku juga mereka jalankan dengan penuh senyum tanpa mempertanyakan apakah jalan yang mereka tempuh itu adalah sebuah kebenaran.
Banyak dari sesamaku yang seakan sengaja dibuat amnesia oleh tangan-tangan tak kasat mata agar mereka lupa punya akal. Menjadi sama, berjalan ke utara, dikelabui dengan iming-iming rasa bahagia yang berada di ujung sana.
Entahlah wahai kucing malang. Aku justru merasa bingung dari mana rasa lelah ini datang. Apakah dari langkah kaki yang berjalan entah ke mana atau langkah pikiran yang melompat-lompat tak karuan.”
Si kucing malang itu tak berpindah tempat. Mungkin ia telah menemukan rumahnya. Sang pria hilang arah membiarkan kucing malang itu tetap dalam pangkuannya.
Malam semakin larut, bulan sabit tersenyum bersama bintang-bintang di atas sana. Sang pria hilang arah memutuskan untuk bermalam di taman terurus. Sebelum memejamkan mata untuk menikmati bunga tidur, sang pria hilang arah menyanyikan lagu pengantar tidur untuk sang kucing dan juga untuk dirinya.
Did you ever see a robin weep When leaves begin to die? Like me, he's lost the will to live I'm so lonesome I could cry The silence of a falling star Lights up a purple sky And as I wonder where you are I'm so lonesome I could cry
0 notes