#yatrakacerpen
Explore tagged Tumblr posts
yatraka-blog · 7 years ago
Text
Semoga Mafhum
Sabtu malam pukul 20.28 WIB aku tenggak asap rokokku dengan segelas Cafe Latte panas—masih utuh—dengan sembunyi-bunyi. Aku duduk di meja berkapasitas empat orang dengan meja bundar tempat bungkus rokok, Caffe Latte, asbak berisikan tiga batang rokok, serta abu yang berserakan. Tidak, aku sama sekali tidak menunggu siapa pun. Di tempat ini meja-meja memang tidak tersedia tempat berkapasitas hanya untuk satu orang.
Di meja-meja lain tepat di depanku ada tiga orang asing. Yang pertama adalah seorang wanita bertubuh gempal dengan kaos putih garis-garis hitam horizontal. Ia juga sendiri sama sepertiku. Sepenglihatanku, ia sibuk bermain ponsel sambil menghisap rokok mentol. Aku bisa melihat bungkus rokok berwarna putih-hijau di mejanya. Pasti rokok mentol. Minumannya sudah habis. Perkiraanku ia memesan Iced Vanilla Latte atau Ice Hazelnut Latte.  Aku tidak tahu pasti dari negara mana wanita gempal beramput pirang pendek ini berasal. Yang pasti dia asing.
Dua orang lainnya, aku bisa memastikan bahwa mereka adalah pasangan kekasih entah sudah menikah atau belum—bukan urusanku. Aku yakin mereka dari Korea—entah Korea Selatan atau Korea Utara. Kalau dari Korea Utara aku ikut berbahagia karena mereka salah satu dari orang-orang beruntung, bisa terbebas dari pemimpin diktaktor berbadan gempal yang kalau sedang tertawa mirip dengan Boboho tapi dengan rambut 80’s Top Collection.
Aku yakin pasangan kekasih itu dari Korea, sebab aku bisa menguping pembicaraan mereka yang aku tak paham artinya. Tapi aku tahu betul itu bahasa Korea. Sebenarnya mereka berdua irit bicara. Si pria yang mengenakan polo shirt pink, serta sepatu adidas berwarna hitam-oranye—aku tidak tahu tipenya—dan celana pendek yang aku tidak tahu warnanya karena tertutup sofa merah, sibuk terus dengan ponselnya. Sedangkan si wanita yang tampak seperti pedagang mie bangka dekat rumahku, sibuk dengan barang belanjaannya.
Sekitar pukul 20.45 WIB ada dua gadis yang aku taksir masih belum punya masalah besar, duduk di belakang mejaku. Mereka berpakaian sedikit terbuka—tapi itu bukan masalahku. Yang menjadi masalah adalah mereka bukan orang asing. Mereka sama denganku. Maksudku, dari negara yang sama. Yang menjadi masalah adalah suara mereka itu teramat nyaring. Begitu menganggu. Aku bisa mendengar mereka membicarakan hal-hal tidak penting. Soal belanjaan mereka, soal harga-harga diskon dan bagaimana seharusnya mereka belanja lebih banyak lagi tapi orangtua mereka hanya memberikan sedikit uang, hingga soal gosip-gosip murahan tentang selebriti juga tentang teman-teman mereka—aku tidak tahu pasti apakah itu teman-teman mereka atau selebriti juga.
Aku memasang fon telinga dan mendengarkan lagu dari ponselku karena terganggu suara dua gadis itu saat ada satu keluarga beranggotakan seorang ayah dengan ketiga anaknya, satu laki-laki, dan dua perempuan—aku tidak tahu ibunya ke mana, mungkin masih berbelanja. Aku sempat tidak fokus membaca karena mereka seperti orang kebingunan. Bolak-balik tak karuan mencari tempat duduk. Pertama aku melihat mereka duduk di meja yang letaknya persis sebelahku. Lalu mereka pindah ke meja belakangku, lebih tepatnya lagi ke meja belakang kedua gadis berisik. Tak lama setelah wanita asing bertubuh gempal pergi, mereka duduk di tempat itu. Pelayan kafe tampak kebingunan menaruh pesanan mereka, mulai dari makanan hingga minuman karena mejanya terlampau kecil. Akhirnya ketiga kakak beradik memutuskan untuk masuk ke ruangan ber-AC di mana meja-meja di dalam itu berukuran lebih besar. Si pelayan mengambil lagi makanan dan minuman yang sudah ditaruh itu, lalu membawanya ke dalam membuntuti ketiga kakak beradik tadi. Si ayah tetap berada di luar dengan minumannya—sepertinya Iced Americano.   Benar-benar tampak seperti keluarga pada umumnya saat sedang berada di kafe atau restoran: Merepotkan.
Daritadi aku bicara soal orang terus. Sekarang giliranku bercerita tentang aku sendiri. Keberadaanku di tempat ini adalah untuk menjadi asing, seperti tiga orang di depanku dan aku baru selesai ceritakan. Maksudku, aku saat itu sedang tidak ingin bertemu dengan orang-orang terdekatku. Baik itu keluarga atau sahabat. Kenapa? Karena ada satu fase di mana kalian sadar kalau orang-orang terdekat kita bisa menjadi parasit jahat. Mereka menggerogoti materi, raga, akal, hingga jiwa kita saat berada di sekitar mereka. Makanya menjadi asing sewaktu-waktu itu amat diperlukan. Meskipun efeknya hanya sebentar—terlalu sebentar menurutku. Tapi setidaknya kalian benar-benar menjadi “kalian.” Mengertikan maksudku?
Begini, bagiku ketika kita berada bersama orang lain kita buknalah “kita” sesungguhnya. Tanpa kalian sadari, kita telah menjadi aktor/aktris berbakat yang sangat layak menang Oscar. Karena kita sedang berpura-pura menahan emosi, pura-pura menjadi baik, pura-pura lucu, sampai parahnya pura-pura sedang menjadi diri sendiri. Sekarang mengertikan maksudku?
Aku bukannya sedang ingin menghasut atau menanam implan dalam otak kalian dengan bualan. Percayalah, aku berkata dengan sejujur-jujurnya. Masa kalian sama sekali tidak pernah merasa apa yang aku rasakan? Pasti pernahkan? Percayalah, aku berkata dengan sungguh-sungguh. Kalau kalian pikir aku sedang coba memasuki pikiran kalian agar kalian menjauhi orang-orang terdekat, kalian salah paham. Bukan itu maksudku. Begini, mungkin kalian berpikir jika sedang berpergian ke mana pun itu sendirian adalah hal menyedihkan. Kalian mungkin takut dibilang kesepian. Tapi justru ketika kalian sedang tidak menjadi diri kalian sendiri itu adalah kesepian sesungguhnya. Sekarang mengertikan maksudku?
Sial! Sudah pukul 21.00 WIB. Aku sudah membeli tiket untuk menonton. Filmnya tayang pulul 21.00 WIB. Aku benci masuk ke dalam bioskop jika filmnya sudah tayang meskipun baru terlewat satu menit. Nanti aku lanjutkan lagi ceritaku kalau kalian tidak mengerti maksudku.
0 notes
yatraka-blog · 7 years ago
Text
Bil, R, & Kara #13
“R, cepat bangun, aku punya sesuatu untukmu. Mau lihat tidak?”
Dengan mata masih terpejam, R menjawab dengan suaranya yang samar-samar, “Kau bawa apa?”
“Aku bawakan obat spesial untuk penyakitmu. Temanku yang seorang dokter atau ilmuwan itu memberikan obat ini. Katanya bisa sembuhkan penyakitmu yang tak satu dokter pun tahu.”
R tidak tertarik. Tapi ia tetap mengambil obat pemberian sang kakak. Ia melihat obat itu dengan teliti. Tidak ada sesuatu yang spesial dalam obat itu. Hanya kapsul berbentuk sama dengan warna hitam pekat diseluruh tubuhnya.
Masih di tempat tidurnya, R menenggak kapsul hitam itu dengan kopi hitam sisa semalam. Hanya berselang kurang dari satu menit. Kepala R terasa segar, badannya yang selalu dilanda linu itu mendadak enteng seperti seorang baru terbangun dari tidur nyenyak.
Dengan gesit, R langsung beranjak dari kasurnya kemudian berlari menuruni anak tangga untuk mengabarkan kabar bahagia kepada sang kakak yang berada di lantai bawah.
Euforia yang mengalir dalam tubuh R justru membuatnya melupakan kesialan yang bisa menimpanya meskipun berada di dalam rumah. R tergelincir dari tangga dengan keras. Kepalanya lalu terbentur anak tangga. Darah mengucur deras dari dahi R, menyisakan noda merah yang akan membekas selamanya.
0 notes
yatraka-blog · 7 years ago
Text
Bil, R, & Kara #8
Ia duduk sendirian. Mereka duduk bersama. Aku duduk sendirian. Aku memperhatikan mereka karena mereka tidak memperhatikan aku. Gerak-gerik tiga orang itu terlalu sayang jika tidak dimanfaatkan untuk jadi bahan lelucon seperti dengan menyulih suara percakapan mereka di dalam kepalaku.
Yang duduk sendirian sibuk menelfon. Yang duduk bersama sibuk bermesraan. Aku tirukan orang yang duduk sendirian dulu, “Kau tahu kalau kau itu bajingan tengik dengan rupa mirip kecoa berbadan babi, otakmu itu sekecil penismu. Dasar bajingan.”
Ia duduk sendirian sambil menelfon sambil marah-marah. Makanya aku tirukan seperti itu.
Sekarang giliran mereka yang duduk bersama aku sulihkan percakapan mereka:
“Ayolah sayang, malam ini ya?”
“Bagaimana kalau saat ini, di sini?”
“Boleh! Tapi kita minta pria yang duduk sendirian di sana merekam kita ya!”
Kara datang. Aku berhenti bermain. Masalahnya kalau ada dia semuanya jadi tidak seru.
0 notes
yatraka-blog · 7 years ago
Text
ILUSI PSIKIS
Tumblr media
Situasi rumah sakit jiwa itu, di akhir pekan ramai seperti biasanya. Tak berbeda jauh dengan rumah sakit lainnya. Yang berbeda adalah para pasien itu sendiri. Kesehetan mental itu jelas sulit diterka ketimbang melihat orang-orang yang fisiknya sedang dihampiri penyakit.
Aku datang sedikit terlambat hari itu. Maklum, akhir pekan, alarm dari ponsel pintarku berdering sedikit terlambat dari biasanya. Belum lagi, lagu dari Ravi Shankar yang aku jadikan stimulus agar aku cepat memejamkan mata tapi justru aku terhanyut dalam balutan nada pada sitar yang menyejukkan pikiran itu.
Beberapa pegawai, terutama resepsionis wajahnya sudah tampak lelah. Kewalahan ia sepertinya meladeni para pasien. Aku takut, kalau nantinya dia tak tahan dengan pekerjaan ia dan malah berujung menjadi pasienku. Bagaimana tidak, para pasien ini sulit sekali untuk sabar. Jika kesabaran mereka itu sudah habis, dilayangkanlah suara-suara protes dengan wajah kesal yang menggambarkan kalau ia itu sakit dan seharusnya konsumen itu raja. Merasa ada kekuatan lebih sebagai konsumen, sungguh sombong pikirku.
Ah, janganlah berpikir seperti itu. Mereka itu butuh pertolongan secepat mungkin pasti. Aku yang salah hari ini karena datang terlambat. Dokter lain tentu tak bisa menampung semua pasien itu. Wajar akhirnya jika ruang tunggu jadi penuh sekali.
Wajah mereka kebanyakan tampak terlihat ceria, ada juga yang memasangkan wajah dengan bibir manyun dan dahi mengkerut-yang aku yakin karena terlalu lama menunggu.
Aku langsung menuju ruangan tempat para dokter biasa berkumpul. Niatnya, ingin beristirahat sejenak. Tapi situasi tidak memungkinkan. Salah seorang resepsionis menghampiri aku, menyakan kesiapanku untuk segera membantu mereka yang butuh pertolongan.
“Dokter Bintang, pasien sudah banyak yang menunggu. Dan banyak juga yang ingin menemui anda. Sepertinya, pasien-pasien dokter terdahulu,” ujar sang Resepsionis dengan suara yang tertatih-tatih.
Aku mengiyakan. Tentu harus aku mengiyakan, ini adalah tugasku untuk membantu mereka. Berjalan menuju tempat ini bukan ihwal gampang bagi mereka, apalagi rumah sakit jiwa sudah mendapat stigma di tengah masyarakat yang tak mengerti apa-apa soal kesehatan mental itu. Baru saja aku duduk di ruang periksa, ternyata sudah ada pasien yang mengetuk pintu.
“Permisi, benar ini ruangan Dokter Bintang?” Tanya seorang wanita yang aku taksir umurnya masih sekitar 25 tahun.
“Benar, mari masuk dan silahkan duduk. Perkenalkan, saya Bintang. Apa yang saya bisa bantu?”
Wajah wanita itu menunduk. Tangan kananya memeluk tangan kirinya lalu kadang dibalik. Gelisah betul kelihatannya wanita muda ini. Aku yakin dia baru pertama kali menemu psikiater. Dan aku pun belum pernah melihat dia sebelumnya.
“Mba Valer? Betul tidak saya memanggilnya? Atau saya sok tahu?” Aku berusaha untuk berjenaka sedikit. Walapun aku tahu, sama sekali aku tak pandai untuk bercanda. Tapi cara seperti itu sudah aku coba berkali-kali dan terbukti sukses.
“Valeri aja dok. Saya tak suka kalau nama saya dipotong-potong begitu,” sanggah wanita yang bernama Valerie tanpa huruf ‘e’ saat melafalkannya. Ia pun nampak sudah sedikit tak gelisah.
“Baik, mba Valeri, kalau bingung cerita dari mana, coba sampaikan saja apa yang paling menganggu pikiran mba Valeri sekarang.”
Wanita itu masih diam saat aku sudah mencoba sepersuasif dan selembut mungkin. Aku tak mau memaksakan lagi. Mungkin ia masih mencoba untuk menyusun kata atau memang sedang beradaptasi agar merasa lebih nyaman sebelum berbicara.
Tak selang lama, Valerie mulai bersuara.
“Dok, sebenarnya ini bukan pertama kalinya saya berkonsultasi dengan kesehatan mental. Saya sudah pindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Menemui berbagai dokter yang berbeda-beda jua. Tapi tak ada yang bisa membantu pikiran yang menganggu ini.”
Dugaanku benar. Ia langsung berbicara panjang lebar. Rasanya, ia benar-benar menyusun kalimat itu dengan amat matang dan terstruktur tak ada kata “eeeeh” saat dia berbicara. Aku pun lansung menanggapinya dengan cepat, “Memang apa yang menganggu pikiranmu itu, sampai saat ini tak ada solusi untuk mengatasinya?”
Valerie tak langsung menjawab. Ia sepertinya sedang menyusun kalimat lagi. Agar sekali bicara, pesan yang tersampaikan pun jelas.
“Saat aku pertama kali datang ke psikiater. Dokter bilang aku mengalami gangguan kecemasan. Sang dokter pun meminta aku untuk kontrol satu bulan sekali. Setelah itu, obat-obatan jadi seperti makanan yang harus aku santap tiga kali sehari.”
Aku memperhatikan dengan seksama apa yang Valerie ceritakan.
“Namun ada pernyataan yang menganggu dalam pikiran ini. Dan tak ada dokter atau pihak rumah sakit manapun mampu untuk menjawab ini. Aku merasa dipermainkan oleh pihak-pihak layanan kesehatan. Aku seakan dijadikan sumber pemasukan mereka. Aku harus kembali tiap bulan, membayar jasa dokter dan administrasi. Lalu juga harus membayar obat.
Aku kesal sebenarnya. Aku rasa, aku sudah merasa baikan. Tapi dokter tempat aku sering berkonsultasi mengatakan kalau aku tak kunjung baik. Dosis obat-obatanku justru dinaikkan. Aku akhirnya lelah dan memutuskan untuk mengunjungi beberapa rumah sakit dan menghampiri berbagai psikiater untuk menanyakan akan hal itu. Apa benar aku atau para pasien lain yang mengidap kesehatan mental, hanya menjadi objek sumber pemasukan? Apa benar rumah sakit itu sebagai ladang bisnis atau layanan kesehatan.”
Aku tertegun. Cukup terkejut mendengar pernyataan Valerie tadi. Sebab, selama 13 tahun aku mengabdi untuk bisa membantu mereka dengan kesehatan mental. Sama sekali aku tak pernah memikirkan hal seperti itu. Sungguh, tidak pernah. Kritis sekali anak ini, pikirku.
“Valeri, dengarkan saya baik-baik ya. Kamu tidak salah berpikir seperti itu. Tapi bukannya, hal itu justru menyulitkan diri kamu sendiri? Tenggelam dalam pikiran-pikiran tersebut, bukannya justru akan semakin menganggu kesehatan mental kamu?”
Valerie tak menanggapi. Aku kembali mencoba memberi pengertian kepadanya.
“Jika kamu memang tidak percaya kepada kami untuk membantu. Kamu mungkin bisa mencoba untuk bantu diri kamu sendiri. Saya yakin, dokter yang sudah kamu kunjungi sebelum-sebelumnya telah memberikan berbagai solusi di luar obat-obatan. Jadi, untuk hari ini, saya tidak akan memberikan kamu obat apa-apa. Dan apa yang menganggu pikiranmu tadi, coba berdamailah.
Aku di sini hanya bisa berbicara sebagai seorang dokter saja. Karena aku ada, dan tujuanku memilih jalan ini, murni karena ingin membantu orang banyak. Dan meningkatkan kesadaran masyarakat luas akan pentingnya menjaga kesehatan mental. Sama sekali tak ada maksud untuk memperkaya diri.”
Valerie nampaknya tak terlalu puas dengan jawaban yang aku berikan, “Baiklah dok kalau begitu, terima kasih sudah coba membantu.”
Valerie langsung bergegas keluar dari ruangan. Aku pun menelpon pihak resepsionis agar biaya dokter atas nama Valerie tak usah ditagih, sebab aku yang akan menanggungnya.
Waktu sudah petang kala itu. Tugasku hari ini sudah selesai. Cukup banyak pasien yang aku bantu hari ini. Tapi cuma Valerie yang masih ada dalam benaku. Aku kagum akan pandangannya yang kritis tadi.
Aku tak langsung pulang ke rumah. Sebab, istriku masih dalam perjalanan untuk menjemputku. Aku putuskan untuk membeli kopi dan menunggu istriku di cafe yang letaknya tak jauh dari rumah sakit tempat aku bekerja.
Valerie ternyata berada di cafe itu. Bersama para teman-teman wanitanya. Aku tak ingin menyapa. Aku yakin Valerie tak menceritakan kepada teman-temannya kalau ia kerap datang untuk berkonsultasi dengan psikater tentang kesehatan mentalnya.
Setelah memasan secangkir kopi hitam panas, aku memutuskan untuk duduk agak jauh dari Valerie dan membelakanginya. Aku pun tak mau jika Valerie sampai harus melihatku.
Obrolan Valerie dengan teman-temannya cukup nyaring. Sampai-sampai aku bisa mendengarnya. Dan aku akhirnya mencoba mendengar topik apa yang lagi dibicarakan oleh mereka.
“Val, tadi gimana? Dapet kan obat penenang kaya biasa? Nanti malem ada acara seru nih,” tanya seorang teman Valerie.
“Gagal total. Padahal akting saya udah kayak biasanya. Dan pasti selalu dapet. Dokter yang tadi sok bijak banget, kebanyakan ceramah kayak motivator,” celetuk Valerie lalu diikuti dengan luapan tawa teman-temannya, meskipun ada di antara mereka yang mengeluh dan berteriak, “Yaaahhhhhh.”
Aku cukup kesal mendengarnya. Tapi apa daya, aku tak memilih untuk menghampiri Valerie dan memberikan ceramah seperti motivator itu. Beruntung tak lama, istriku yang juga seorang dokter sudah datang menjemput. Aku sempat menceritakan soal Valerie melalui telepon tadi siang kepada istriku.
Di dalam mobil aku memberi tahu kepada istriku cerita yang aku dapat dari saat menguping layaknya intel tadi, “Ternyata, anak-anak itu lebih pintar mengelabui daripada kita.”
0 notes
yatraka-blog · 7 years ago
Text
Bulan Merah Jambu
Tumblr media
Malam kala itu, purnama sedang tersenyum. Malam kala itu, layaknya malam-malam biasa bagi seorang pria bernama Tio. Malam yang selalu penuh kegelisahan dan selalu diiringi oleh lagu milik Nick Drake berjudul Pink Moon.  Tidak ada lagu gembira, tidak ada raut wajah bahagia, yang ada hanya beban masalah bak menanggung beratnya karung beras 50 kilogram.
Semua lampu sudah redup. Memang selalu redup, demi berhemat listrik-mungkin. Cahaya hanya terpancar dari layar 13,3 inci. Ya, di meja-sebut saja meja kerja-itu Tio selalu menghabiskan waktunya saat akhir pekan. Lebih betah daripada para budak kapitalis yang bekerja delapan jam per hari itu.
Niatnya, Tio ingin melanjutkan karya fiksi pertama yang sedang ia garap. Tapi distraksi terlalu meracuni malam itu. Berbagai panggilan telepon, pesan instan, kerap berdatangan. Sebagian besar hanya berisi ajakan pergi ke sebuah klub malam untuk berpesta pora. Meneguk minuman alkohol dengan harga tak bersahabat, berdansa dengan dentuman musik elektronik tak bernada, dan hanya berujung dengan penat.
Tio akhirnya hanya duduk meratapi layar dengan keterangan maksimal itu. Berharap ada teman berbicara dan berdiskusi soal hidup. Tapi siapa yang senang diskusi soal hidup? Paling-paling hanya berujung soal kisah cinta yang jauh lebih tragis dibandingkan sinetron drama percintaan yang absurd di layar kaca.
“Ah lebih baik aku abaikan saja pesan-pesan instan keparat itu,” teriak Tio dalam hati. Tio kembali dihadapi kebimbangan. Masalah klasik dalam dirinya: Sifat labil. Selang beberapa detik,  pikirannya sudah berubah. “Apa aku iyakan saja ya ajakan mereka? Menulis pun aku sedang dalam kondisi tak terlalu buruk.”
Tio memang hanya bisa diam berjam-jam menulis ketika suasana hatinya sedang kacau. Meskipun setiap hari suasana hati Tio memang begitu. Tapi Tio harus menunggu kalau memang sudah benar-benar ia tahan lagi gejolak rasa yang menganggu sukma dalam dirinya.
Waktu sudah menunjukkan angka 23.37 WIB. Tio akhirnya tak jadi menulis. Tak jadi pula ikut berpesta bersama kawanannya. Tio memilih untuk melamun. Mengecilkan volume suara dari speaker portabelnya dan memilih untuk menikmati riuhnya suara mobil-mobil berlaju kencang.
Rumah Tio cukup berdekatan dengan pusat para nokturnal pencari kebahagian semu berkumpul. Itulah yang membuat Tio merasa jarang merasa kesepian.
Beberapa menit berlalu. Lamunan Tio membawanya ke masa-masa lalu yang pilu. Tio menjatuhkan kepalanya di atas meja. Perlahan tentunya. “Ini yang aku tunggu-tunggu, wahai sang pembawa duka cepatlah merasuk dalam jiwa.”
Nampaknya sang pembawa duka sudah terlelap. Pikirannya sudah berlaga seperti seekor kera, loncat ke sana ke mari. Pikiran akan masa lalu pilu beralih menjadi memori-memori suka cita penghancur sendu.
Tio kemudian bangkit menuju tempat tidurnya. Merebahkan diri, kemudian menarik selimut berdebu miliknya. Masih dalam euforia suka cita, Tio tersenyum membayangkan bagaimana rasa bahagia yang sudah lama tak ia rasakan.
Waktu yang tepat untuk terlelap pikir Tio-meskipun bukan waktu biasanya Tio untuk tidur. Tio mulai memejamkan mata. Ternyata benar, dalam sekejap, Tio sudah mencapai bunga tidur.
Dalam mimpi itu, sang pembawa duka hadir. Tio bercengkrama dan melontarkan kata-kata kasar penuh dendam. “Kenapa baru muncul sekarang? Aku sedang berbahagia. Jadi tolong jangan rusak momen langka ini.”
Sang pembawa duka tak menjawab. Tak juga memberi. Tio pun menghiraukannya. Namun, Tio bertanya-tanya. “Benarkah ini mimpi? Mengapa aku merasa begitu sadar. Lebih gila lagi, aku bisa berbicara langsung dengan sang pembawa duka. Tak aku sangka, ternyata perawakannya begitu sedap dipandang mata. Begitu cantik dan lembut.”
Terlalu penasaran, Tio akhirnya memaksa untuk bangun dari tidurnya. Tio merasa sedikit nanar ketika bangun. Namun Tio serasa mendapat inspirasi untuk menulis dan langsung melompat dari kasurnya, kemudian kembali menuju ke depan sahabatnya si layar terang berukuran 13,3 inchi.
Tangan Tio mendadak langsung lihai mengetik. Merangkai kata demi kata tanpa jeda. Merasa sedikit lelah, Tio memutuskan untuk mengakhiri lanjutan cerita fiksi untuk novel pertamanya. Setidaknya, Tio berhasil mendapatkan satu hingga dua paragraf. Sedikit memang, tapi daripada tidak sama sekali.
Karya fiksi Tio sendiri menceritakan pengalaman sang tokoh protagonis yang memiliki sahabat dalam kepalanya sang pemandu hidup sang tokoh utama. Progres tulisan tersebut masih dalam bab awal yang menjelaskan sang tokoh utama. Tio melanjutkan tulisan itu dengan sedikit pengalaman yang baru saja ia alam dalam bunga tidurnya.
*** Bulan purnama di hari Minggu itu begitu sedap dipandang mata. Kondisi lalu lintas Jakarta, masih seperti itu saja. Mobil hingga sepeda motor pribadi masih menjadi primadona kaum urban gagal ini. Kemacetan pun merajalela. Tapi tidak semua orang bisa menikmati situasi neraka jalanan Ibu Kota. Berbeda dengan Tio yang justru sudah berdamai dengan kemacetan dan menjadikan momok warga Jakarta itu sebagai sahabat karibnya.
Tio begitu senang dengan kondisi kemacetan. Hanya pada saat itulah, di dalam mobil pribadinya, Tio bisa memutar lagu-lagu favoritnya dan berkaraoke ria. Layaknya kaum urban gagal lainnya, Tio lebih gemar berpergian dengan kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum.
Seorang teman sedang menunggu di salah satu kedai kopi favorit kaula muda yang amat mendewakan sosial media. Tio juga seorang pecandu sosial media. Larat, mantan pecandu sosial media. Tapi kini ia punya candu yang lebih menyenangkan daripada sosial media. Apalagi kalau bukan pekerjaannya yang meruntuhkan idealisme secara perlahan.
Setelah berkutat dalam kemacetan yang membahagiakan itu, Tio sampai juga ke tempat tujuannya. Ada satu hal yang paling dibenci Tio saat berkendara dengan mobil pribadi: Mencari parkir. Lama perjalanan ditambah pencarian tempat parkir yang sukar itu sudah membuat Tio-mungkin warga Jakarta lainnya-banyak kehilangan waktu.
Tak ada harapan, tukang parkir liar ramai-ramai memanggil. Uang adalah waktu bukan? Dengan membayar harga yang sedikit mahal untuk parkir, tapi bisa mempersingkat waktu. Itu adalah prinsip Tio yang suka dicerca oleh teman-temannya. Tapi Tio tak peduli. Sebab, prinsip pertama Tio dalam hidup adalah: “Ini hidup saya, saya yang menjalani, silakan beri saran, tapi tetap saya yang memutuskan dan menjalani”.
Setelah memangkas waktu parkir, Tio langsung memasuki kedai kopi itu seraya mengirim pesan instan ke temannya. Tio benci percakapan via telepon, meskipun lebih mudah untuk situasi seperti ini. “Kamu duduk sebelah mana? Saya sudah sampai.”
Heli, teman Tio, sudah melihat Tio dari kejauhan. Tak perlu membalas, Heli langsung berteriak di keramaian pemuda urban Jakarta yang kebanyakan tak menyeruput kopi itu. “Nelveen! Sebelah sini!”.
Kebanyakan teman Tio memanggil dirinya dengan nama belakangnya. Tio van Nelven, nama yang aneh mungkin bagi teman-temannya. Tapi nama belakangnya itu adalah nama belakang seluruh keluarga Tio. Karena kakek Tio berasal dari negara yang pernah menjajah Indonesia: Belanda. Sebenarnya, Tio paling tidak suka dipanggil dengan nama itu. Tapi apa daya, teman adalah teman, buat apa nama panggilan jadi perdebatan.  
Tio tak langsung menuju ke tempat Heli duduk, ia memilih untuk memesan americano yang sebenarnya tak terlalu disukai. Sebenarnya, Tio amat menyukai jenis menu kopi seperti cappucino, latte atau flat white. Namun semenjak Tio membaca sebuah zine asal Singapura berjudul “The Ideology”, semuanya berubah. Sebab, dalam zine itu ada sebuah tulisan yang membuat logika Tio goyah. Berikut bunyi tulisan tersebut: “We are ‘latteing’ our financial future”. Sebenarnya, inti yang Tio lakukan hanya membeli kopi dengan harga lebih murah dibandingan menu dengan jenis kopi lainnya.
Sambil membawa americano yang ia tak suka itu, Tio langsung menghampiri Heli yang sudah menunggu Tio cukup lama. Dan basa-basi pun dimulai untuk membuka percakapan yang biasanya akan menghabiskan satu americano lagi. “Tumben kamu on time hel? Biasa paling susah bedain mana WIB, mana Waktu Indonesia Suka-Suka Kamu.”
Heli tertawa mendengar gurauan Tio yang tak lucu itu dengan rokok yang masih menyangkut di bibirnya. Tio dan Heli sudah berkawan lama, jadi tak pernah saling tanya kabar ketika bertemu. Karena hampir setiap satu bulan sekali atau dua kali, mereka saling meluangkan waktu untuk bertemu.
Sambil membuka bungkus rokok yang baru dibeli Tio di pedagang eceran jalanan, Heli dengan sedikit kesal dan dengan nada sindirian menanyakan kesulitan Heli dengan teman Tio lainnya saat mereka mencoba menghubungi. “Kemarin kamu ke mana? Belakangan ini susah banget ditelfon, chat juga cuma di lihat doang. Lagi sibuk bikin novel? Atau tenaga udah abis gara-gara makin diperbudak sama bos kamu yang orang asing itu?”.
“Dua-duanya. Mau lanjut nulis, tapi udah capek duluan. Karena tenaga udah abis mungkin ya, jadi perasaan saya statis aja. Kamu kan tau hel, saya produktif kalau sedang melankolis,” balas Tio sambil membakar rokok.
“Dasar melankolis, manusia pecinta drama,” sindir Heli.
Tio hanya tersenyum mendengar pernyataan nyinyir Heli yang sudah jadi makanan sehari-harinya ketika mereka berjumpa. Bukan Tio namanya kalau tak membalas sindiran Heli tadi dengan bentuk sarkas yang kerap bikin Heli jengkel. “Semua orang kayaknya melankolis hel, enggak ada yang bener-bener bahagia, mereka cuma pinter cari distraksi aja.”
Sambil memainkan ponsel pintar terbaru yang bisa membuat kedudukan status seseorang bertambah 10-20% tapi mengurangi kecerdasannya hingga 40% itu, Heli tampak sedikit kebingunan dengan apa yang dikatakan Tio tadi.
Dengan sedikit ragu dan sok tau, Heli mencoba menasehati Tio. “Kamu terlalu banyak beranggapan sendiri Nelven, terlalu sibuk mikirin diri sendiri juga. Banyak main makanya, jangan kurung diri terus. Kita ini makhluk sosial kan?”
“Kita sekarang, maaf, bukan kita, tapi kamu dan mereka di luar sana, udah bukan lagi makhluk sosial. Tapi makhluk media sosial,” balas Tio dengan nada yang meninggi.
Belum sempat Heli menanggapi perkataan Tio, karena terbawa emosi, Tio langsung menimpali lagi perdebatan tak berfaedah itu. “Lagi apa bedanya mereka dengan saya? Mereka juga cuma pikirin unggahan-unggahan mereka di media sosial, hanya karena gengsi atau cari atensi.”
“Ah udahlah ven, ini saraf saya di bagian kepala sudah mulai menggumpal. Gimana kalau sekarang kita pindah dari sini, terus ke tempat “biasa”? Adora, Nala, sama Ellen lagi pada di sana” rayu Heli yang kepada Tio.
Ada tempat “biasa” di mana Tio bersama dengan teman-temannya berkumpul. Sebuah tempat di mana tak ada satupun manusia yang tampak tak menyimpan duka. Sebuah tempat di mana kebahagiaan kolektif hadir. Sebuah tempat paling tepat menjadi alat distraksi.
Tio pun mengiyakan ajakan Heli tanpa pikir panjang. Mungkin Tio juga sudah lelah jika percakapan dengan sahabatnya itu akan selalu berakhir dengan perdebatan dan gumpalan saraf di pikiran.
Selama perjalanan menuju tempat “biasa” itu, tak ada percakapan berarti antara Tio dan Heli. Yang hadir hanya percakapan-percakapan kecil nan basi dan tak jauh-jauh membahas ihwal bahagia duniawi.
Dalam nalar Tio, banyak sekali pandangan Heli yang sebenarnya bersebrangan dengan dirinya. Tapi apa daya? Bagi Tio sahabat adalah sahabat, tak peduli cara pandang sahabatnya terhadap itu seperti apa.  Tio pun lebih banyak mendengar cerita-cerita Heli yang menurut Tio adalah suatu kumpulan kisah sama yang dihadapi semua orang. Soal cinta, karier, dan uang tentunya. Wajar, mereka ini adalah manusia-manusia yang lahir dari rahim kapitalis.
Di sela-sela percakapan, Tio mengeluarkan suatu barang, bukan narkotika, tapi hanya obat penenang yang tentunya legal karena telah menggunan resep resmi dari dokter. Meski Heli tampak lebih ceria daripada Tio, tapi siapa sangka, pskiatris Heli menyatakan bahwa Heli memiliki gangguan kecemasan.
Itu lah sebabnya, Heli selalu memiliki obat penenang agar saat gangguan kecemasannya sedang hadir menyapa, Heli bisa langsung menengguk obat itu kemudian merasa tenang.
Tapi namanya juga anak muda, sekali-sekali menyalahgunakan obat turunan dari benzodiazepine itu, nampaknya bukan jadi perkara besar-menurut Heli. “Ven, mau gak? Sekali-sekali pakai, tak akan jadi masalah kok, coba rileks sedikit dong, emang kamu sebegitu senang ya dalam kondisi tegang di mana pikiran selalu berloncat ke sana ke mari?.”
Lagi-lagi tanpa ragu, Tio menerima tawaran Heli tersebut. Entah apa yang merasuki Tio yang kuat dengan pendiriannya itu. Nampaknya Tio hanya ingin keluar dari tubuhnya dan digantikan dengan raga lain yang sebenarnya adalah sosok Tio juga.
Sampai juga Tio dan Heli di tempat “biasa” itu. Tempat itu begitu remang. Asap-asap rokok begitu jelas dipandang mata. Menyatu bersama cahaya kilau warna-warni, mengikuti dentuman musik bernada mayor.
Wajah-wajah dengan senyum bahagia lengkap dengan mata sayu masih menjadi gangguan kecil bagi Tio. “Orang-orang semakin pintar ya hel untuk mengelabui kejamnya hidup.”
Tak dihiraukannya ucapan Tio tadi oleh Heli. Tempat “biasa” ini tak pantas bagi Heli untuk memperbincangkan soal hidup. Terlalu sakral bagi Heli untuk menanggapi Tio yang Heli yakin akan jadi percakapan panjang.
Suara musik tiba-tiba berhenti. Seseorang berteriak dengan keras mengajak para pedansa untuk semakin larut dalam keseruan distraksi malam.
“Pemuda-pemuda pecinta pesta! Mari kita berdansa dan berbahagia mengikuti alunan tembang lagu cinta era pop masih berjaya,” teriak orang itu dengan mikrofon dan diikuti dengan gemuruh tepuk tangan.
Tio sedikit geram. Kenapa harus lagu cinta pikirnya. Tio yang sedang tak ingin berurusan dengan semua ihwal akan cinta itu memilih untuk keluar dari tempat sesak itu. “Hel, kamu duluan ya cari Nala sama yang lain, saya keluar dulu, lupa beli rokok.”
Tio langsung bergegas keluar meskipun sedikit sulit untuk melewati lautan manusia syahdu yang sedang berdansa dengan diiringi tembang lagu cinta 80an. Belum sampai pintu keluar, Tio terpaku. Dari kejauhan Tio melihat seorang wanita. Wanita yang Tio sedang berusaha hindari karena alasan cinta.
Bersama sang kekasihnya, wanita ini berjalan menuju ke arah Tio. Kencangnya suara musik tak membuat Tio tuli untuk mendengar sapaan sang Wanita. Tanpa balas menyapa, wanita itu langsung melewati Tio.
Ekspektasi Tio bahwa kesenangan akan hinggap malam itu berubah menjadi malam penuh kebimbangan. Pikiran Tio langsung terdistraksi menuju satu cerita fiksi. Kisah tentang Werther, pemuda yang mengakhiri hidupnya karena cintanya terhadap seorang wanita tak terbalaskan.
Tanpa pamitan. Tio bergegas menuju mobilnya. Meninggalkan Heli beserta teman-teman Tio lainnya yang Tio yakin sudah menyatu bersama para manusia pecinta distraksi malam.
Mesin kendaraan roda empat milik Tio tak langsung dinyalakannya. Tio memilih untuk mendalami rasa yang baru saja menyapanya tadi. “Bedebah, apa gunanya perangsang hormon dopamine tadi kalau rasa kesal masih harus aku pikul hanya karena seorang wanita yang aku pun tidak tahu dekat.”
Entah cinta, infatuasi, atau sekadar rasa penasaran, Tio memang tidak paham apa yang dirasakannya pada wanita itu. Begitu memalukan bagi Tio jika harus sampai pergi ke psikiater apalagi pakar cinta untuk mendefinisikan rasa terhadap sosok wanita tadi. Tio jelas sadar kalau dia perlu definisi perasaannya, tapi Tio yakin jika ia bertanya pada para ahli atau apalah itu, justru motivasi-motivasi bermakna bualanlah  yang akan Tio dapatkan.
“…And none of you stand so tall, Pink moon gonna get ye all,” lagu Nick Drake itu mengiringi Tio menuju rumah. Lagi, malam Tio ditemani dengan sahabat karibnya, kegelisahan. Setidaknya, hanya dalam semalam saja, Tio mendapatkan apa yang ia inginkan. Hatinya kacau, berarti karya fiksi Tio pun akan memasuki babak baru. Setidaknya, kekacauan hati itu akan berlangsung lama. Setidaknya, masih ada yang Tio dapatkan.
“Sampah! Nasib apa ini, cerita-cerita soal kesedihan, larut dalam kegalauan. Ini semua menjijikan! Siapa juga yang ingin bersahabat dengan kegelisahan tiap malam!”  Tio berteriak kencang sekencang mobil yang dikemudikannya. Entah kepada siapa Tio marah, kepada teman-temannya? Kepada dirinya sendiri? Atau mungkin kepada Nick Drake yang bersumpah bahwa “Bulan Merah Jambu” itu akan menyambar kita semua. Ya, Bulan Merah Jambu.  
0 notes
yatraka-blog · 7 years ago
Text
Pengungsi Sistem
Tumblr media
“Sekolah, lalu perguruan tinggi, kemudian bekerja…. Persetan dengan hal itu…” ujar sebuah karakter fiksi dari film drama komedi satire berjudul Little Miss Sunshine. Nampaknya dialog film yang diucapkan oleh tokoh Dwayne Hoover si pencinta Nietzsche itu menjadi doa bagi para pembangkang sistem seperti Teis.
Teis, seorang pemuda yang selalu bergulat dengan pikirannya setiap waktu, adalah seorang yang muak dengan segala tatanan sosial disekitarnya. Bukan kalimat dalam film tersebut yang menjadi pelatuk pikiran Teis untuk melawan sistem. Jauh sebelum Teis menyaksikan film itu, dirinya sudah merasa ada yang salah dengan pola hidup statis yang dilestarikan dari generasi terdahulu.
Cukup sedikit terlambat bagi Teis sebenarnya untuk melawan sistem dan membuktikan sistem hidup yang banyak teman sebayanya jalani itu bisa untuk diubah. Teis pun mau tidak mau harus merasakan sistem yang sudah menjadi “kitab” hidup orang banyak tersebut.
Beruntung, Teis adalah orang yang keras kepala. Sikap arogan yang dimiliki Teis membuat keterlambatan bukan lah kuldesak yang membuat Teis harus menjadi korban dari sistem yang dibencinya itu.
Dalam suatu waktu tak terduga, saat hujan mengguyur daerah tempat Teis biasa mengungsikan dirinya dari pikiran-pikiran yang menghantui, Teis bertemu dengan kawan lamanya, Alka.
Mirip dengan Teis, Alka juga seorang pembakang sistem. Bedanya, langkah Alka sudah lebih jauh daripada Teis untuk mendobrak sistem yang ada. Ketika mereka berdua bertemu, entah secara sengaja atau tidak, mereka akan memperbincangkan sejauh mana mereka telah berhasil membangkang terhadap sistem.
Seruput demi seruput Teis meminum kopi mahal yang ia benci tapi cinta itu. Beruntung kopi milik Teis masih penuh, cukup untuk melepas dahaga ketika pembicaraan menguras liur mulai terjadi. Sayang, rokok Teis hanya tersisa sedikit. Tak perlu lama basa-basi, Alka langsung melontarkan pertanyaan yang biasanya berbuntut panjang.
“Jadi gimana is? Kamu sekarang lagi sibuk ingin buktikan apalagi?” Tanya Alka sambil mengunyah singkong goreng—menu favorit dari tempat pengasingan Teis. Teis langsung mengambil posisi duduk andalannya, bersila di sebuah kursi kayu dan mengarahkan pandangannya ke arah Alka yang berada di sampingnya. “Jujur ya Al, saya merasa makin terpinggirkan dari lingkungan sosial karena pilihan ini.”
“Bukannya kamu juga sadar akan hal itu dari jauh hari?” Tanya Alka.
Teis sedikit terhentak, pernyataan Alka barusan adalah kalimat yang paling ditakuti Teis. Perlahan Teis merasa terpojokan tak hanya dari pikirannya, tapi juga perkataan kawan lamanya itu. Teis kemudian mengambil sisa rokok yang belum dihabiskannya tadi sambil meminta waktu kepada Alka. “Biar aku pikirkan dulu pernyataanmu barusan.”
 Asap rokok yang menggumpal menghiasai ruangan itu. Alka tampak risih, sambil mengibaskan tangannya agar asap rokok itu tak mengenai wajahnya, apalagi rambut Alka.
“Kamu kebiasaan is, hanya bisa terdiam sehabis disadarkan, sambil merusak mahkotaku dengan asap rokokmu yang mematikan itu.” Ujar Alka sedikit menggerutu.
Teis tahu, perkataan Alka tadi bak sebuah kunci ajaib untuk membuka pintu hati Teis yang sekeras batu itu. Saat pintu itu terbuka, Teis hanya bisa tertegun. Sebab, apa yang paling ditakutinya selalu saja terjadi—padahal Teis sadar akan ketakutan itu dan telah berupaya sekuat tenaga menghindari ketakutannya.
Alka sibuk memainkan ponsel pintarnya dengan hiasan tak kasat mata yang menempel di ponsel hingga tangannya. Layaknya ada sebuah lem yang mengeratkan ponsel pintar Alka dan tangannya. Teis pun juga masih sibuk menghabiskan rokoknya yang seharusnya sudah habis dalam waktu cepat.
“Al, aku sadar, aku ini sudah pantas mendapatkan titel sebagai pengungsi, dari sistem yang sedang kita lawan.” Kata Teis sambil membuang puntung rokok itu sembarangan—untuk menemani rokok-rokok lain yang sudah tak terhitung dan menjadi hiasan kotor.
“Layaknya pengungsi, kesulitan pasti akan selalu menemani aku dengan amat setia. Terpinggirkan dari lingkungan sosial, hanya dampak kecil dan membuat aku tampak sial. Aku jadi teringat seorang aktor asal Sudan Selatan, Ger Duany, pernah berkata, ‘Pengungsi adalah bagian dari kemanusiaan dan kita tidak bisa meninggalkan mereka’. Rasanya, masih ada banyak orang yang akan mengerti dengan bagaimana pemberontakan kita melawan sistem. Meskipun terpinggirkan dari dari lingkungan sosial, bukannya ada lingkungan sosial lain? Lingkungan sosial yang bisa membantu kita bersama-sama mewujudkan apa yang ‘mereka' sebut sebagai utopia.”
Alka mendengarkan luapan hasil olah emosi dan logika yang habis dimuntahkan Teis. Alka kemudian menaruh ponsel pintar teranyar itu dan kembali menyelutuk. “Bedanya kamu dengan pengungsi yang kamu analogikan itu, kamu itu jenis pengungsi yang hanya berputar-putar dipersoalan yang sama, hanya mencari aman, tak mau berhadapan dengan tantangan baru. Untuk ukuran pengungsi, kamu terlalu ada dalam posisi aman dan nyaman Is.”
Obrolan itu akhirnya hanya berlangsung singkat. Sesingkat orang yang sedang melakukan transaksi barang-barang haram. Bedanya, ada nikmat dari transaksi barang haram itu, sedangkan yang didapatkan Teis hanya celaka, tapi sama-sama haram. Bagi Teis tentunya.
Alka lalu kembali ke teman-temannya. Teis kembali menyendiri. Berusaha merogoh tas tempat Teis menaruh rokoknya. Sayang, Teis tak menemukan rokok itu, Teis hanya menemukan kekosongan dalam tasnya dan dalam pikirannya.
0 notes
yatraka-blog · 7 years ago
Text
Nyata//Maya
Apartemen di lantai 23 itu selalu gelap. Lampu kuning hanya menerangi satu titik: Di ruang tamu lapang yang hanya berisikan satu sofa, satu meja kopi, dan satu kaktus artifisial dalam pot putih di atas meja kopi—tanpa televisi, tanpa lampu hias, tanpa segala perabotan yang tidak dibutuhkan. Dan di satu-satunya tempat di mana terang begitu nyata, seorang pria berumur 30 tahun bertubuh kurus dengan rambut hitam pendeknya yang sedikit beruban menghabiskan waktu setiap malam sehabis pulang kerja dan hampir setiap saat jika sedang libur.
Pria yang benci makan itu bernama Malori Hagan. Ia selalu sibuk bercengkrama bersama teman-temannya di dunia virtual. Bukan teman dengan wujud manusia, tapi teman-teman dengan figur animasi tiga dimensi. Malori bahkan memiliki kekasih di realitas maya bernama Your Authentic Companions.
Melalui teknologi tersebut para penggunanya bisa menciptakan sebuah teman virtual sesuai dengan keinginannya masing-masing. Mulai dari mengatur bagaimana bentuk fisik sampai kepribadian. Beberapa bentuk fisik dan kepribadian bersifat premium dijual terpisah sehingga para penggunanya harus mengeluarkan uang lebih untuk membelinya. Malori adalah pengguna premium Your Authentic Companions. Segala fitur tambahan yang disediakan ia beli, mulai dari fitur teman lebih dari tiga hingga fitur memiliki kekasih. Untuk menjadi pengguna premium, Malori—begitu juga pengguna lainnya—harus merelakan uang sebesar Rp 259.000,- setiap bulannya.
Malori termasuk enam dari sepuluh orang di kotanya yang digolongkan sebagai orang-orang kesepian. Di tahun 2018, kesepian telah menjadi persoalan serius. Inggris menjadi negara pertama yang menyoroti pentingnya memberantas kesepian. Kehadiran menteri baru kala itu untuk mengurusi warga kesepian sempat menjadi lelucon karena dirasa bukan perkara penting dibandingkan dengan masalah-masalah lain seperti terorisme, pemanasan global, hinggga masalah klasik yakni kesenjangan ekonomi. Namun lelucon itu berubah menjadi wabah paling ditakuti di berbagai negara. Dan kini, hanya berselang tiga tahun kesepian telah menjadi semacam penyakit mematikan yang menyerang dengan membabi buta di penjuru dunia. Mulai dari mereka yang sudah renta hingga anak-anak muda pengeruk dosa.
Pemerintah tidak menyediakan solusi pasti untuk menghadapi kesepian, para pengeruk uang nan jeli akan peluang juga yang akhirnya dengan rendah hati ikut membantu. Your Authentic Companions adalah produk dari perusahaan teknologi realitas bertambah terbesar di dunia asal Cina yang berperan besar dalam memberantas kesepian. Meskipun keuntungan adalah tujuan utama mereka membuat program semacam itu. Tapi setidaknya berkat kehadiran Your Authentic Companions, persoalan kesepian bisa lebih dikesampingkan, dan membantu mereka yang kesepian agar terhindar dari jahanamnya realitas modern.
Malori sendiri merasa kehadiran Your Authentic Companions adalah pemanis kehidupannya. Keluarga bukanlah rumah bagi Malori, ia terbiasa sendiri sejak kecil, orangtua Malori yang bertanggung jawab atas sifat mandiri anak bungsunya itu. Namun, kesepian bukan jadi masalah utama Malori muda. Rasa sepi itu baru muncul ketika ia melihat teman-teman terdekatnya telah berhasil memeluk erat realitas modern dengan pundi-pundi emas mereka. Bisa memiliki rumah, mempunyai keluarga, dan segala kebutuhan tersier mereka terpenuhi dengan baik. Sementara Malori di umurnya yang sudah kepala tiga masih tinggal di apartemen sewa, tidak memiliki pasangan, dan hanya mampu memenuhi kebutuhan sekunder ataupun tersier hanya untuk dirinya sendiri. Pekerjaannya sebagai Analis Kredit tak kunjung membuat Malori sejahtera. Sempat terlintas untuk meninggalkan pekerjaan tersebut, namun Malori selalu berhasil dikalahkan oleh rasa takut. Tiada bosan-bosannya rasa takut itu berbisik kepada Malori bahwa ia sudah lewat waktu untuk memulai hal baru, sehingga lebih baik bersabar dan terus berjuang keras sembari menanti keajaiban kalau pekerjaan yang Malori tekuni sekarang bisa menyandang berkah. Dan dari ketidakmampuan menghadapi realitas modern tersebut kemudian lahir benih-benih sepi yang tumbuh subur dalam tubuh Malori.
Suatu malam menjelang akhir pekan di bulan April, Malori pulang ke rumah dalam keadaan suntuk, beban kerjanya hari itu begitu menumpuk, ditambah dengan percakapan Malori dengan ibunya melalui telefon yang memang selalu berakhir dengan salah satu dari mereka mematikan telefonnya tanpa apa ada persetujuan kedua belah pihak saat salah satu diantaranya sedang berbicara panjang lebar. Rasanya seperti dihujani air-air perkara tanpa sempat menyediakan payung untuk melindungi jiwa dan raga. Apartemen Malori gelap gulita seperti biasa saat ia membuka pintu lalu berjalan membungkuk menuju ruang tamunya di mana terang berada. Malori melemparkan jaketnya ke arah acak, lalu menjatuhkan badan ke sofa abu-abu bukat dari kain woven. Masih mengenakan pakain kerja lengkap dengan pantofel cokelat yang hanya terpasang di kaki kiri, Malori memejamkan mata dengan menaruh lengan kanannya dalam balutan kemeja putih di dahinya. Tangan kiri Malori meraba-raba tas kerjanya yang ia taruh di lantai—menyender di sofa. Ia merogoh isi tas untuk mengambil alat realitas mayanya berbentuk lensa kontak serta fon telinga nirkabel berwarna putih dalam kotak besi  berwarna hitam seukuran kotak cincin kecil dan terdapat tulisan Your Authentic Companions berwarna emas di atasnya yang kemudian ia taruh di atas dada.
Setelah puas memejamkan mata, Malori bangun dari baringnya menuju posisi duduk sambil memasang alat realitas maya untuk menuju ke dunia Your Authentic Companions. Setelah masuk ke halaman utama Your Authentic Companions, Malori terlebih dulu harus memilih siapa teman bicaranya, latar tempat, dan juga waktu. Ia kemudian menunjuk sang kekasih virtual sebagai teman bicaranya. Leticia Zidni adalah nama pemberian Malori kepada kekasih virtualnya. Paras kekasih Malori di dunia maya itu begitu cantik, badannya sedikit lebih berisi dibanding Malori, dengan tinggi yang hanya lebih pendek lima sentimeter dari Malori, rambut hitam sebahu serta kulit putih yang secerah bola matanya di kelopak mata yang kecil, Leticia Zidni tampak seperti peranakan Amerika-Jepang. Latar tempat yang Malori pilih adalah ruang tamu sebuah apartemen mewah berisikan sofa serta meja kopi yang menghadap langsung ke jendela besar dengan pemandangan kota yang terlihat elok terutama saat malam hari saat lampu-lampu kota mewarnai kegelapan malam. Dan malam hari menjadi latar waktu yang Malori pilah karena Malori ingin menjadikan dunia virtual itu tampak dekat dengan realita sebenarnya.
Leticia Zidni yang malam itu menggunakan setelan kaos putih polos dan celana pendek jin biru sedang berdiri di depan jendela sambil melipat tangan di depan dadanya saat Malori memanggilnya. Leticia lalu menoleh dengan senyumnya sambil melantunkan sapaan dengan nada yang kaku, “Halo Malori, bagimana harimu?” Malori tak langsung menjawab, ia menghampiri Malori terlebih dahulu. Berbalut keindahan kota virtual di depan Malori, ia baru menanggapi:
“Hai Leticia, hari ini benar-benar memuakkan. Di kantor tadi tadi ada masalah serius berhubungan dengan salah satu nasabah, jadi aku harus bekerja lembur menyelesaikan pekerjaan itu dan atasanku hanya merecok saja dengan congornya yang tajam. Tadi juga ibuku telefon, seperti biasa, dia mengungkit-ungkit perkara statusku yang masih melajang. Padahal kami sudah berkali-kali membicarakan hal yang bukan masalah buatku. Sampai kapan aku harus mengeluarkan kata-kata yang sama? Susah sekali membuat orang tua satu itu bisa percaya.”
“Sepertinya kau mengalami hari yang berat, bagaimana kalau kita sekarang bersenang-senang?” Balas Leticia yang langsung disambut dengan banjir  endorfin dalam kepala Malori. Malori menghabiskan malam bersama Leticia dengan berbincang-bincang, sesekali bersenda gurau, sesekali bermesraan, sampai rasa senang dalam diri Malori berganti jadi kantuk bahagia. Ditemani bintang-bintang pada gelapnya langit berpolusi, Malori bermimpi indah, membuat hati Malori semakin terang.
Belaian sinar matahari pagi membangunkan Malori dari keindahan mimpi keeseokan harinya. Dengan energi bahagia yang tertimbun berkat kekasih virtualnya, Malori dengan riang bangun dari tempat tidur kecil yang menempel di lantai menuju kamar mandi. Ia sudah ada janji pagi itu dengan kakaknya, Kawira Hagan. Satu minggu lalu, melalui telefon, Kawira mengajak Malori untuk hadir di ulang tahun anak Kawira. Malori hanya berujar bahwa ia akan datang kalau tidak disibukkan dengan kerjaan. Tentu saja ujaran Malori itu adalah dalih belaka, sebab Malori yakin akan mendapat pancuran motivasi dari kakaknya yang lebih tua tiga tahun itu. Kedua saudara itu tidak dekat satu sama lain, atau lebih tepatnya Malori yang enggan dekat dengan kakaknya. Mereka hanya bertemu di waktu-waktu tertentu saja. Dalam satu tahun, jari di satu tangan saja cukup untuk menghitung berapa kali mereka bertemu. Beruntung kupu-kupu cantik sedang berterbangan di dalam dada, sehingga Malori tidak mempedulikan semua perusak kebahagiaan yang dari bisa menyerang dari setiap sudut di mana pun Malori berada. Rasa enggan untuk mengunjungi rumah Kawira pun berubah menjadi nektar yang dilahap habis oleh kupu-kupu dalam dada Malori.
Langit di atas sana begitu kelabu. Tiada burung bertebangan, tiada biru laut menghiasi udara. Jalanan ramai seperti biasa. Orang-orang berjalan, mobil dan sepeda motor lalu lalang, berlomba-lomba untuk menghiraukan aman. Dalam balutan kemeja putih yang diselimuti jaket jin biru belel, Malori melihat kekacauan siang itu dengan bahagia. Kedua matanya menjadi kuas, menjadikan kekacauan sebagai kanvas kosong yang kemudian dilukisnya sehingga berubah jadi karya indah dalam benak Malori. Langit kelabu diubah menjadi biru benderang dengan matahari yang tak lagi bersembunyi. Suara bising diubahnya menjadi lantunan musik klasik ala Beethoven. Dihiraukannya cerita si supir taksi kurus yang gemar bicara. Bagi Malori, melihat indah balau seperti itu adalah mustahil sampai ia akhirnya benar-benar melihat gempita dunia. Perjalanan Malori menuju rumah Kawira yang jauh juga harus berhadapan dengan desak-desakan antara kuda besi sampai-sampai tidak menganggu emosi Malori. Ia justru dibangunkan paksa dari alam khayal oleh si supir taksi gemar bicara ketika mobil tumpangannya itu sudah berhenti tepat di depan rumah Kawira.
Pagar kayu menyambut bisu langkah kaki Malori yang memasuki rumah Kawira. Dari kejauhan sudah terdengar suara keceriaan anak-anak kecil. Mereka bersorak-sorai merayakan ihwal bahagia yang sama sekali tidak mereka mengerti. Sebuah layar kecil—seperti televisi penampil kristal cair mini—di depan pintu rumah Kawira menjadi tanda bagi Kawira bahwa adik satu-satunya itu sudah berdiri di depan pintu. Malori memasang senyum bukan pura-pura ketika wajah Kawira muncul di layar kecil. Pintu kayu tinggi yang terlihat mewah itu terbuka, terlihat sosok Kawira yang merupakan Malori versi gemuk. Malori memberikan pelukan hangat kepada sang kakak, sebuah bentuk kasih sayang hingga rindu yang tidak pernah Malori lakukan sebelumnya. Tentu Kawira menyambut pelukan Malori meskipun gestur tubuh Kawira benar-benar kaku.
“Di mana si kecil Eiko?” Tanya Malori sambil merangkul bahu Kawira dan berjalan menuju kerumunan anak-anak. Dengan gelagat risih karena tangan Malori ada di bahunya, Kawira menunjuk ke arah Eiko yang berpakaian gaun serbang pink serta mahkota perak berkilauan, “Itu dia keponakanmu sedang duduk sambil bermain komputer tablet dan sesekali melihat kado-kadonya. Sudah tidak sabar ingin membuka kado dia, makanya mukanya masam seperti itu. Kau bawa kado kan untuk Eiko?” Malori mengangguk, melepaskan rangkulannya, lalu menghampiri Eiko yang lebih peduli dengan hadiah-hadiah daripada teman-temannya. Malori menundukan badannya sehingga sudah sama tinggi dengan Eiko, ia pun memeluk keponakannya yang bingung dan mengucapkan selamat ulang tahun, “Selamat ulang tahun Eiko, kamu pasti senang banyak teman-teman di sini.” Eiko yang berulang tahun keempat hanya menghiraukan paman yang tidak begitu dikenalnya. Tak kehabisan akal Malori pun mencoba merayu Eiko, “Eiko, saya bawa hadiah untuk kamu, tapi kamu harus bergabung dulu bersama-sama temanmu, setelah itu baru saya akan kasih kadonya.” Tiada kata tertuang dari mulut kecil Eiko, tapi ia mengerti kata-kata Malori. Setelah Malori berbicara seperti itu, Eiko loncat dari kursi kecilnya dan menghampiri teman-temannya.
Disambanginya Kawira yang berada di halaman belakang rumah dan melihat apa yang dilakukan Malori kepada Eiko. “Bicara apa kau dengan Eiko sampai-sampai hilang kerut dibibirnya?” Tanya Kawira kepada Malori. Dengan senyum yang menunjukkan rasa bangga terhadap apa yang diperbuatnya Malori mengatakan kalau ia baru akan memberikan kado kepada Eiko kalau Eiko mau bermain dengan teman-temannya lebih dulu. Kawira berterima kasih kepada sang adik karena berhasil membujuk Eiko. Melihat tingkah adiknya yang tidak biasa itu, Kawira mencoba untuk menggali apa yang terjadi pada Malori, “Kau terlihat berbahagia dan bertenaga sekali hari ini, baru dapat uang berlimpah atau kekasih? Atau ada yang lain?”
“Tebakanmu yang kedua sudah benar. Tapi bukan baru dapat kekasih, tapi aku memang sudah punya kekasih,” jawab Malori. Mendengar kebahagiaan yang adiknya sedang peroleh, Kawira turut menyampaikan rasa bahagianya, “Aku ikut senang, siapa namanya? Sudah berapa lama kalian berpacaran? Seharusnya kau ajak dia ke sini, aku akan sangat senang jika bisa berkenalan dengannya.”
Dengan suara yang sedikit mengecil Malori menjelaskan, “Namanya Leticia Zidni, kami sudah berpacaran kurang lebih tiga bulan. Tapi kau sepertinya tidak akan pernah bertemua dengannya, sebab—” Kawira memotong penjelasan Malori, “Sebab apa? Jangan berujar kalau kekasihmu itu lagi-lagi dari dunia maya, seperti kekasih yang pernah kau ceritakan empat tahun lalu dan ternyata hanya kecerdasan buatan dalam sebuah aplikasi pesan singkat?”
Empat tahun lalu, Malori memang mengaku memiliki seorang kekasih bernama Rinna. Dan Kawira akhirnya mengetahui bahwa adiknya itu berbohong dan menemukan bahwa Rinna yang Malori maksud hanyalah kecerdasan buatan. Malori geram mendengar apa yang dikatakan Kawira. Ia merasa bahwa apa yang ia coba lakukan demi mengusir sepi-sepi adalah sebuah kesalahan di mata orang-orang, termasuk sang kakak, Kawira.
“Kalau memang benar, apa salahnya? Salah jika aku mencoba untuk tidak kesepian? Kau seolah mengisyaratkan adalah kesalahan memanfaatkan teknologi untuk melawan kesepian? Kau harusnya berkaca, lihat Eiko yang kau biarkan terikat di komputer tablet sementara ada teman-temannya di depan matanya. Dan kau melihat itu sebagai hal yang biasa, bukan? Rasanya kau harus buka mata melihat seperti apa dunia sekarang.”
“Kau yang seharusnya buka mata Malori. Bodoh sekali kau menyamakan diri dengan Eiko. Kau itu seorang dewasa. Atau mungkin ayah dan ibu benar, kau tak lebih dari anak kecil manja dalam tubuh tua renta yang enggan melihat dunia sebenarnya,” balas Kawira yang langsung membuka pintu kaca halaman belakang dan masuk ke dalam rumah.
Matahari sudah pulas tertidur. Bulan tiada bosan menjadi pengawal malam, juga menemani Malori yang pulang ke rumah dengan rasa gusar yang menyebar keseluruh tubuhnya sampai-sampai sesak mengguncang dada. Sesampainya di apartemen yang diselimuti gelap, Malori mengambil alat realitas maya di meja kopi ruang tamunya. Leticia adalah satu-satunya nama yang terus terbayang dalam benak Malori setelah kebahagiaan Malori hari itu dikoyak-koyak oleh Kawira. Setelah terhubung ke dunia virtual, ia langsung menyapa Leticia, dengan cerita panjang lebar soal pertemuannya dengan Kawira:
“Leticia, aku tadi bertemu dengan Kawira, kakakku. Ia berceramah seakan tau segala yang paling baik dalam hidup ini. Kebahagiaanku dicakar oleh kata-kata tumpul yang keluar dari kepala tak berisi. Kawira bilang bahwa aku tidak akan pernah bisa bahagia jika hanya lari dari realita dan tenggelam di dunia maya.”
Wajah kaku Leticia terlihat tenang, ia tersenyum kemudian berujar dengan gerak bibir yang halus, “Malori sudah berapa lima kita bersama? Tiga bulan, bukan? Bukankah kini kau merasa lebih bahagia berkat kehadiranku?”
Malori terdiam mendengar perkataan kekasih virtualnya. Apa yang dikatakan Leticia adalah sebuah kebenaran pikir Malori. Ia merasa semenjak menggunakan Your Authentic Companions kondisi fisiknya jauh lebih bugar—meskipun masih membenci makan. Setiap pagi pun ia terbangun dengan pancaran sinar dari wajahnya dan menjadi lebih berkobar-kobar jiwanya untuk hadapi rutinitas yang harusnya ia benci. Setelah pulang kerja tiada lelah meredupkan api dalam jiwanya, justru api-api itu semakin menggelora. Dengan senyuman terlebar yang pernah Malori tebarkan, ia setuju dengan Leticia, “Kau benar. Tak ada dalam harapanku kalau aku ternyata bisa kembali merasa. Bisa kembali bahagia. Meskipun harus tinggalkan dunia realitas nyata lalu hidup di dunia maya.”
0 notes
yatraka-blog · 7 years ago
Text
Bil, R, & Kara #7
Jumat 23.59
(Kamu udah punya pacar baru ya?)
Sabtu 08.56
(Emang kenapa?)
Minggu 09.54
(Aku berkesimpulan kalau aku harus terus maju. Mencari seorang baru untuk mengalihkan pikiran dan perasaan ini kepada kamu?)
Senin 11.01
(Aku pulang ke Jakarta, kemungkinan awal Januari. Mau ketemu?)
Senin 11.03
(Aku rasa aku belum siap, maaf.)
*
“Sebenarnya aku tidak ingin kembali ke Jakarta, karena tidak alasan juga untuk aku pulang.”
“Memang harus sampai butuh alasan kalau hanya ingin kembali ke Jakarta?”
“Iya.”
“Kalau begitu, aku bisa berkata seperti ini, aku sama sekali tidak punya alasan untuk hidup. Jadi buat apa aku hidup. Tapi nyatanya, sampai saat ini aku masih belum bunuh diri dan tetap hidup tanpa sebuah alasan.”
Telepon terputus.
0 notes
yatraka-blog · 7 years ago
Text
Gara-Gara Varicella-Zoste
“Juni itu ponselmu berdering, ada telepon sepertinya.”
Sial. Keras sekali suara Ibuku itu. Susah baginya untuk betutur lembut satu kali saja. Padahal aku selalu berharap ibu bisa seperti itu. Padahal ibuku persis duduk di sebelahku. Kami sedang berada di ruang keluarga waktu itu. Menyaksikan film dari DVD bajakan yang baru Ibuku beli. Kami menonton film yang menceritakan kisah Nabi Nuh. Kata Ibu ia ingin menonton film itu karena tetangga-tetangga di rumah mengatakan kalau film itu sesat. Melecehkan sejarah hingga agama. Makanya ibu penasaran sekali menonton film arahan Darren Aronofsky itu.
Ponselku sendiri berada di meja makan yang letaknya amat dekat dari ruang keluarga. Aku sebenarnya tahu kalau ponselku itu berdering, tapi sengaja aku diamkan. Karena aku tahu, nada dering dari ponselku itu akan menganggu ibu yang kalau sedang nonton film terlampau fokus dan paling benci jika diganggu bunyian lain kecuali celotehannya sendiri. Menjahili ibu adalah hal yang paling aku gemari. Tapi tetap saja, karena ia sudah teriak seperti itu, aku langsung berlari ke meja makan dan kumatikan ponsel berisik itu.
Doaku malam itu terkabul. Setelah selesai melaksanakan ibadah pagi—kami tidak beragama, tapi kami selalu berdoa setiap pagi dan malam hari kepada Tuhan—aku melihat ada yang aneh dari wajah Ibuku. Salah satu sisi wajahnya terlihat turun. Aku langsung memberitahu Ibuku dan bergegas memaksanya ke dokter.
Kekhawatiranku sedikit berkurang setelah sampai ke rumah sakit. Aku berdiri di pinggir jalan karena aku harus merokok. Rokok itu seperti obat panik untukku. Mungkin aku bisa terkena serangan jantung jika sedang panik-paniknya tak kutemukan rokok di saku celana. Egois memang, seharusnya aku menemani ibu di ruang gawat darurat, tapi aku lebih memilih untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Aku baru masuk menemui Ibuku setelah aku menghabiskan tiga setengah batang rokok. Ketika batang ketiga, sengaja aku puntungkan karena panik dalam diriku sudah kabur.
Dokter langsung meyambangiku ketika aku masuk ke ruang gawat darurat dengan bau rokok disekujur tubuhku—ditambah dengan bau matahari juga. Aku berlagak sok panik dan berteriak kecil tepat dihadapan dokter pria paruh baya itu, “Dok, ibu saya baik-baik saja kan? Dia kena stroke ya dok?”
“Ha-Ha-Ha, kamu tidak perlu panik ganteng, ibu kamu terkena Bell’s Palsy kemungkinan karena virus varicella-zoste.”
Sial. Bahasa apa itu, aku sama sekali buta kata asing. Yang terbayang dalam kepalaku ketika mendengar Bell’s Palsy adalah kedai makanan cepat saji dengan maskot bocah laki-laki bertubuh gempal dengan topi koboi lalu sambil membawa hamburger dan milkshake sambil tersenyum lebar.  Lalu, apa pula virus varicella-zoste itu, terdengar seperti nama-nama alien di film fiksi ilmiah. Mungkin aku yang terlalu bodoh untuk tahu hal-hal seperti itu.
“Ibumu sering berada di tempat ber-AC ya?” tanya dokter paruh baya yang memanggilku ganteng.
“Iya dok, ia kalau di rumah paling sering menghabiskan waktunya di depan televisi, entah itu nonton film atau sinetron. Dan di atas televisi itu ada AC. Dan terus nyala kalau Ibu sedang asyik dengan dunianya.”
“Oh berarti karena AC itu,” ujar si dokter itu yang semakin membuatku bingung, “tenang ganteng, kamu tidak perlu khawatir, Ibumu baik-baik saja. Sekarang kamu urus administrasi dulu saja ya.”
Sial. Tadi ia bilang karena virus valencia-zoste atau valerie-zoste, ah apapun itulah, sulit sekali menyebutnya dengan benar. Sekarang ia bilang karena AC. Sejak kapan AC memiliki virus. Satu-satunya virus yang aku tahu benar-benar cuma virus trojan di komputer. Dan lagunya Slank. Entahlah.
Situasi rumah sakit pagi itu begitu sIbuk. Ternyata banyak juga orang sakit pagi-pagi. Aku sedikit kerepotan saat hendak mengurus pembayaran. Pertama, aku membayar uang administrasi lalu diberikan resep obat yang harus aku tebus di lantai dua. Ah, aku tiba-tiba berharap ada ayah di sini biar ia yang mati kerepotan mengurus persoalan seperti ini. Tapi ayah sudah mati terperangkap dalam lubang vagina seorang wanita yang umurnya sepantaran denganku.
Setelah memberikan resep kepada sang apoteker lalu menunggu dipanggil, aku membayangkan ibuku yang terkapar di kasur rumah sakit sambil menatap langit-langit ruangan dengan aroma khas rumah sakit. Pasti ia bosan sekali.
“Atas nama Nyonya Sri Oemi Indrawati.”
“Atas nama Nyonya Sri Oemi Indrawati.”
“ATAS NAMA NYONYA SRI OEMI INDRAWATI.”
Sial. Itu nama ibu. Aku lupa yang sakit itu ibu bukan aku, jelas saja nama yang tertera di kantung plastik biru tempat obat-obat bersemayam adalah nama ibuku: Sri Oemi Indrawati. Lantas, aku langsung bangun dari lamunanku, berlari ke arah asal suara yang memanggil.
“Atas nama Sri Oemi?” tanyaku kepada apoteker berwajah judes. Mungkin ia kesal karena harus memanggil sampai tiga kali. Untung bukan hantu atau makhluk apalah itu yang muncul kemudian mengambil obat Ibuku.
“Iya, ini saya kasih tiga obat untuk ibumu. Ini Medixon untuk peradangan sendi, diminum empat kali setelah makan setiap hari. Saya juga kasih antivirus, Acyclovir diminum lima kali sehari setiap minum langsung dua tablet ya. Dan yang terakhir ada obat tetes mata pakai empat kali sehari; pagi, siang, sore, dan sebelum tidur.”
Sial. Nama-nama aneh lagi. Obat macam apa yang langsung diminum dua kali secara langsung dan harus diminum lima kali sehari pula. Rumah sakit ini ingin membuat ibuku overdosis atau apa? Tapi aku percaya sajalah, buat apa keluar uang mahal-mahal, ke rumah sakit ternama tapi justru ditipu. Tidak mungkin kan? Jelas tidak.
Ibuku sedang sibuk dengan ponselnya saat aku akhirnya menghampiri lengkap dengan obat-obatan yang ia butuhkan, “Ibu gimana perasaannya?”
“Gimana apanya? Kamu lihat sendiri wajah ibu ini. Aneh kayak film-film alien yang suka kamu tonton. Jadi tidak cantik lagi kan ibu. Pusing sudah kalau begini, apa kata teman-teman ibu nanti.”
Sial. Ia masih bisa bercanda—mungkin serius. Tapi doaku tetap terkabul, baru kali ini dia berbicara dengan tutur lembut. Meskipun pernyataan seperti itu lebih pantas jika dilontarkan secara keras dan meledek. Layaknya sinetron-sinetron yang ia suka tonton di ruang keluarga sambil disambar angin AC yang bervirus itu.
Tapi apa yang Ibu bilang ada benarnya juga. Karena ia bilang wajahnya jadi mirip alien. Aku jadi teringat makhluk bernama The Cronenbergs di serial kartun Rick & Morty. Ngomong-ngomong soal nama makhluk yang diambil dari nama sutradara Kanada, David Cronenberg, kira-kira ia bangga atau kesal ya nama belakangnya dijadikan nama makhluk berwujud aneh seperti itu. Tapi kurasa sih tidak, soalnya ia sendiri sering menciptakan makhluk-makhluk aneh di filmnya. Apalagi di film Naked Lunch. Aku ingat ketika menonton film itu di ruang keluarga sambil disambar angin AC, ibu berteriak-teriak karena kesal dengan makhluk-makhluk dalam film itu. Pantas saja tadi ia langsung mencelaku, ia pasti teringat film itu.
Ibu langsung diperbolehkan pulang. Dokter paruh baya itu bilang kalau ibu harus kontrol lagi minggu depan. Aku lalu langsung menuju ke mobil. Bukan maksudku meninggalkan ibuku begitu saja dan membiarkan ia jalan sendiri ke tempat parkir. Aku memang sengaja mengambil mobil lalu berhenti di depan ruang gawat darurat agar ibu hanya perlu berjalan sedikit. Lagipula, ia memang masih mampu berjalan dengan gesit sambil melemparkan senyuman kepada si dokter paruh baya saat aku berada di mobil dengan jendela terbuka.
Dalam perjalanan pulang, aku sibuk mengganti-ganti stasiun radio. Tidak ada pembicaraan seru soalnya. Yang ada cuma lagu-lagu itu saja. Bosan. Sialnya ponselku mati, jadi aku tidak bisa menyambungkan ponselku via bluetooth supaya bisa mendengarkan lagu-lagu di ponselku. Ingin memutar CD tapi semuanya CD punya Ibu. Apa syahdunya terik-terik begini mendengarkan lengkingan suara diva-diva Indonesia? Tapi biasanya kalau sedang pergi dengan ibu, aku pasti mengalah. Membiarkan kedua telinga ini dirasuki suara-suara emas diva Indonesia plus suara ibu yang keras tapi tidak emas. Untungnya Ibu langsung tertidur tak lama masuk ke mobil. Ia pasti kelelahan karena hanya terkapar di atas kasur rumah sakit tanpa menonton televisi.
Begitu sampai di rumah, ibu langsung menempati singgasananya. Di ruang keluarga, di depan televisi, di hantam semburan AC bervirus. Langsung saja aku layangkan peringatan kepada Ibuku, “Bu, kan tadi dokter sudah bilang jangan sering-sering di bawah AC. Sekarang pilih, mau aku cabut kabel televisinya atau aku matikan AC bervirus itu?”
Tentu ibu memilih pilihan kedua. Ia pasti lebih memilih berkeringat daripada harus ketinggalan sinetron-sinetron favoritnya yang lebih absurd daripada film Naked Lunch yang diprotes ibuku saat aku sedang menonton.
“Bu, ini obat-obatannya, aku tidak terlalu paham cara pakainya. Pokoknya ada satu obat antivirus yang harus diminum lima kali sehari langsung dua tablet sekali minum. Ya, sisanya ibu bisa baca sendiri kan pada petunjuk yang tertera.”
“Iya. Sudah sana, jangan ganggu ibu, episode ini lagi seru-serunya.”
“Yasudah tapi itu obat jangan lupa diminum ya Bu. Mahal!”
Ah, entahlah, bagiku setiap episode dari sinetron-sinetron yang ditonton oleh Ibu sama sekali datar. Maksudku, monoton saja begitu. Terkadang aku suka bingung, bagaimana bisa orang-orang macam ibuku keranjingan tontonan seperti ini. Apakah karena rutinitas orang-orang macam ibuku itu juga monoton seperti sinetron-sinetron layar kaca. Jadi seakan antara yang menonton dan film itu ada ikatan batin nan kuat, sehingga jika ketinggalan satu episode saja bisa dilanda duka mendalam.  
Aku menuju dapur untuk membuat kopi hitam yang diberikan oleh teman ibu dari Aceh. Aku sebenarnya benci kopi hitam, tapi kopi dari teman ibu ini berbeda. Bisa dibuat mabuk kepayang badan dan pikiranku karena kopi hitam asal Aceh itu. Setelah kopi hitamku siap minum, aku menuju ruang makan—satu-satunya tempat aku boleh merokok di rumah. Aku sedikit mengintip tontonan ibuku. Sinetron yang aku tidak tahu dan tidak peduli judulnya itu sedang mempertontonkan seorang anak kecil yang sedang menangis sambil memeluk bonekanya dengan terbalik.  Bonekanya lucu sekali, seperti kelinci tapi bukan kelinci. Sebab kupingnya lebih mirip rubah, matanya juga berwarna merah. Yang membuat aku yakin itu boneka kelinci karena boneka itu memeluk wortel.
Ternyata anak laki-laki dalam sinetron itu menangis karena si ibu habis memarahinya sebab ia terus bermain boneka. Padahal si ibu baru saja membeli mainan baru berupa mobil remot kontrol teranyar. Sang Ayah justru membela anaknya, alhasil kedua orangtua bocah malang itu malah beradu mulut dan membiarkan anaknya menangis di sudut tembok ruang tamu rumahnya.
Mata ibu mulai sembab. Mungkin ia teringat pertengkaran dengan ayahku yang mati terperangkap dalam lubang vagina. Adegan di sinetron itu sebenarnya mirip dengan memori masa kecilku dan berujung pada perkelahian ayah dan ibu. Bedanya aku tidak menangis di pojokkan, namun justru lari kabur ke luar rumah lanjut bermain bola dengan kawan-kawanku. Umurku saat itu baru tujuh tahun—sepertinya. Ayah marah padaku saat itu karena aku selalu bermain dengan anak laki-laki.
Bulan dan bintang sudah merayu-rayu aku dan Ibu untuk tidur. Aku lagi-lagi mengingatkan ibu apakah ia sudah menenggak obat pemberian dokter paruh baya tadi, “Bu sudah diminum obatnya?”
“Sudah Nak, berat juga ya harus minum obat antivirus ini langsung dua tablet. Omong-omong, kamu ingat nama virus yang dokter katakan tadi tidak?”
Sial. Lagi-lagi aku harus berusaha mengingat nama aneh virus itu. Langsung saja aku asal sebut agar ibu aku diam dan cepat pulas tertidur, “Valentino-cortex Bu kalau tidak salah.”
“Ah jadi virus saja merepotkan, mulai dari nama juga penyakit yang dibawanya. Eh, omong-omong, tadi sang dokter memanggilmu “ganteng” ya?”
“Ha-Ha-Ha. Benar Bu, dia berkali-kali panggil saya ganteng. Mungkin dia juga terserang virus yang membuat penderitanya tidak bisa membedakan mana laki-laki dan perempuan.”
Ibu tertawa tapi tidak bisa terbahak-bahak. Aku yakin ia ingin tertawa terbahak-bahak. Kami lalu melakukan doa malam dan aku mencium kening Ibuku sebagai penghantar tidur agar gelombang otaknya semakin melambat dan melewati semua tahapan tidur agar langsung saja masuk ke tahap REM.
0 notes