Tumgik
#upacara pernikahan adat minangkabau
sandra-uts-bam · 5 months
Text
Makna dan Simbolisme dalam Kesenian Adat Minangkabau
Tumblr media
1. Gerakan Tarian
Dalam kesenian tari Minangkabau, setiap gerakan memiliki makna simbolis yang mendalam. Misalnya, gerakan memutar piring dalam Tari Piring tidak hanya sebagai tindakan fisik semata, tetapi juga mengandung makna tentang keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan. Piring yang diputar dengan indah dan penuh keahlian oleh penari menggambarkan filosofi tentang bagaimana menjaga keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungan sosial maupun spiritual. Begitu pula dengan gerakan-gerakan lainnya yang menggambarkan perasaan, cerita, atau konsep-konsep abstrak lainnya.
2. Lirik Lagu
Lagu-lagu tradisional Minangkabau sering kali mengandung makna mendalam tentang nilai-nilai budaya dan kehidupan masyarakatnya. Misalnya, dalam lirik-liriknya terdapat penghormatan pada leluhur, kecintaan pada tanah air, atau semangat dalam menghadapi cobaan hidup. Kata-kata yang dipilih dengan cermat dan diiringi dengan melodi yang khas menciptakan suasana yang mengangkat jiwa dan memperkaya pengalaman mendengarkan.
3. Motif Seni
Seni rupa tradisional Minangkabau, seperti motif rumah gadang pada arsitektur atau motif-motif pada kain songket, merupakan cerminan dari keindahan alam, keberanian, dan keagungan adat. Setiap motif memiliki cerita dan makna tersendiri yang melambangkan nilai-nilai yang dihargai dalam budaya Minangkabau. Misalnya, motif burung pucung pada kain songket bisa menggambarkan keindahan alam atau motif bungo pacik pada rumah gadang melambangkan kesuburan dan kelimpahan.
4. Hubungan dengan Kehidupan Sehari-hari
Kesenian adat Minangkabau tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Dalam perayaan kelahiran, misalnya, adanya tarian-tarian khas atau musik tradisional menjadi bagian tak terpisahkan yang mengiringi kegembiraan. Begitu pula dalam upacara pernikahan atau kematian, di mana kesenian adat memainkan peran penting dalam merayakan dan menghormati momen-momen penting dalam kehidupan.
5. Upacara Adat
Upacara-upacara adat Minangkabau, seperti Tanduo, Randai, atau Maantaek, tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga merupakan pertunjukan seni yang sarat dengan makna dan simbolisme. Contohnya, Randai tidak hanya sebagai pertunjukan teater tradisional, tetapi juga mengandung pesan-pesan moral dan budaya yang disampaikan melalui dialog, gerakan, dan musik.
Dengan memahami setiap elemen kesenian adat Minangkabau ini secara mendalam, kita dapat lebih mengapresiasi kekayaan budaya dan warisan filosofis yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau. Hal ini juga membuka ruang untuk menjelajahi bagaimana kesenian adat ini terus hidup dan relevan dalam konteks modern, sambil tetap menjaga nilai-nilai dan identitas budaya yang unik.
0 notes
snackbox-jakarta · 9 months
Text
Lapis Ijo : Kelezatan dan Sejarah di Balik Makanan Tradisional Indonesia
Lapis Ijo adalah salah satu makanan tradisional Indonesia yang kaya akan sejarah dan kelezatan. Makanan ini tidak hanya memikat lidah dengan rasa manisnya, tetapi juga mengandung nilai-nilai budaya yang mendalam. Mari kita telusuri lebih jauh tentang keunikan Lapis Ijo, serta sejarah dan bahan-bahan yang membuatnya begitu istimewa.
Sejarah Lapis Ijo
Tumblr media
Lapis Ijo memiliki akar yang kuat dalam tradisi kuliner Indonesia, khususnya di wilayah Sumatra Barat. Kue ini memiliki hubungan erat dengan keberadaan Minangkabau, sebuah suku yang kaya akan warisan budaya dan kuliner. Meskipun tidak jelas kapan Lapis Ijo pertama kali dibuat, namun kue ini telah menjadi bagian penting dari berbagai upacara adat dan perayaan di Minangkabau.
Kata "lapis" dalam Lapis Ijo merujuk pada lapisan kue yang terdiri dari bahan-bahan berbeda yang disusun secara bergantian. Sementara itu, warna hijau yang mencolok dihasilkan dari pewarna alami, seperti daun pandan. Pewarnaan ini bukan hanya untuk tujuan estetika, tetapi juga untuk memberikan rasa dan aroma khas yang membuat Lapis Ijo unik.
Bahan-Bahan Utama Lapis Ijo
Tumblr media
Kelezatan Lapis Ijo tidak terlepas dari bahan-bahan utama yang digunakan dalam pembuatannya. Keyword utama yang mendominasi di sini adalah pandan. Daun pandan memberikan warna hijau yang khas pada lapisan kue, sekaligus memberikan aroma alami yang menggugah selera. Selain pandan, bahan-bahan lainnya termasuk tepung beras, kelapa parut, santan, gula, dan air daun suji. Kombinasi ini menciptakan harmoni rasa yang memanjakan setiap gigitan.
Proses Pembuatan Lapis Ijo
Proses pembuatan Lapis Ijo memerlukan ketelatenan dan keahlian. Pertama-tama, daun pandan dihaluskan dan dicampur dengan santan untuk menghasilkan adonan dasar. Setelah itu, lapisan demi lapisan kue dibuat dengan cara bertumpuk dan dikukus. Proses ini memakan waktu, tetapi hasilnya sebanding dengan usaha yang dikeluarkan. Keunikan terletak pada warna hijau yang merata di setiap lapisan, menciptakan tampilan yang menggoda selera.
Kelezatan dan Varian Lapis Ijo
Lapis Ijo tidak hanya lezat dalam bentuknya yang klasik, tetapi juga memiliki berbagai varian yang menarik. Beberapa penjual kue tradisional bahkan mencoba berinovasi dengan menambahkan bahan-bahan seperti kacang, cokelat, atau keju untuk memberikan sentuhan modern pada cita rasa tradisional. Meskipun demikian, kebanyakan orang tetap menyukai keaslian dan kelezatan Lapis Ijo dalam bentuknya yang sederhana.
Makanan Simbolik dan Tradisi
Lapis Ijo tidak hanya sekadar makanan. Bagi masyarakat Indonesia, kue ini juga memiliki makna simbolik dalam berbagai tradisi. Warna hijau pada Lapis Ijo melambangkan kesuburan dan harapan akan kehidupan yang baik. Oleh karena itu, kue ini sering dihadirkan dalam perayaan-perayaan yang melibatkan kebahagiaan dan keberuntungan.
Keunikan dan Popularitas
Keunikan Lapis Ijo tidak hanya terletak pada tampilannya yang cantik, tetapi juga pada rasa lezatnya yang menciptakan pengalaman kuliner yang tak terlupakan. Kombinasi antara tekstur lembut dan aroma pandan memberikan kesan istimewa pada setiap gigitan. Popularitas Lapis Ijo juga diperkuat oleh kenyataan bahwa kue ini sering dihadirkan dalam berbagai perayaan, seperti pernikahan, acara keluarga, dan festival tradisional.
Tumblr media
Sebagai warisan kuliner yang terus berkembang, Lapis Ijo tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kuliner Indonesia. Dengan menghormati sejarahnya yang kaya dan terus berinovasi, Lapis Ijo tetap menjadi bukti bahwa tradisi kuliner dapat hidup dan berkembang, menciptakan kelezatan yang abadi di lidah setiap generasi.
Lapis Ijo bukan hanya sekadar makanan lezat ia merupakan bagian dari warisan kuliner Indonesia yang patut dilestarikan. Sejarahnya yang kaya, bahan-bahan alami, dan makna simboliknya menjadikan Lapis Ijo lebih dari sekadar camilan, melainkan bagian dari identitas budaya yang patut kita banggakan. Jadi, jika Anda belum pernah mencoba, jangan ragu untuk menikmati kelezatan kue tradisional ini dan merasakan sentuhan Indonesia yang kaya akan rasa dan warna.
Jadi, jika kamu ingin mencicipi kue tradisional ini jangan ragu untuk menghubungi Kuehany sekarang. Kamu dapat memesannya melalui Gofood Jakarta, Grabfood Jakarta, dan Shopee Food Jakarta (cari “Kuehany” tanpa spasi). Selain itu, kamu juga bisa memesan secara online melalui Website, Instagram, Facebook atau Whatsapp ke 0811 9877 099.
0 notes
produsenbajumuslim · 10 months
Text
Ragam Keindahan Budaya: Pesona Baju Adat Indonesia yang Memikat Hati
Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman budaya, memiliki berbagai suku dan etnis dengan tradisi yang unik. Salah satu ekspresi kekayaan budaya ini terlihat dalam beragam baju adat yang dipakai di berbagai daerah. Setiap baju adat mencerminkan sejarah, nilai-nilai, dan keindahan yang melekat dalam setiap kain, motif, dan warnanya. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi beberapa baju adat yang sering dipakai di Indonesia, memperlihatkan pesona dan keelokan warisan budaya yang dijaga dengan cermat.
1. Kebaya: Pesona Elegan dari Jawa: Kebaya adalah salah satu baju adat yang paling ikonik di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Kebaya merupakan pakaian tradisional untuk perempuan yang biasanya dipadukan dengan kain batik. Dengan potongan yang anggun dan detil bordir yang cantik, kebaya menciptakan tampilan yang elegan dan memukau. Kebaya hadir dalam berbagai warna dan desain, mencerminkan kekayaan budaya Jawa yang megah.
2. Baju Bodo: Pesona Simplicity dari Sulawesi Selatan: Baju Bodo adalah pakaian tradisional yang berasal dari Sulawesi Selatan, khususnya dari suku Bugis. Baju Bodo terkenal dengan desainnya yang sederhana dan longgar, memberikan kenyamanan bagi pemakainya. Meskipun sederhana, keindahan baju ini terletak pada pemilihan warna yang cerah dan motif sulam yang khas.
3. Ulos: Karya Seni dari Batak: Ulos adalah kain tradisional yang berasal dari suku Batak di Sumatera Utara. Ulos memiliki nilai simbolis yang tinggi dan sering digunakan pada acara adat, pernikahan, atau upacara keagamaan. Warna-warna cerah, pola-pola rumit, dan kehalusan tenunannya menjadikan Ulos sebagai warisan budaya yang mempesona.
4. Baju Sikap: Kedinamisan dari Sumatera Barat: Baju Sikap adalah baju adat dari suku Minangkabau di Sumatera Barat. Ciri khasnya adalah tumpal, hiasan bordir atau sulaman di bagian bawah baju yang melambangkan keberuntungan. Baju Sikap juga terkenal dengan kain songketnya yang indah, yang merupakan hasil tenunan tangan dengan benang emas atau perak.
5. Baju Pangsi: Keanggunan dari Bali: Baju Pangsi, atau lebih dikenal sebagai baju adat Bali, mencerminkan keindahan dan keanggunan budaya Bali. Terdapat berbagai jenis baju adat di Bali, seperti kebaya, baju kebat, dan baju duduk, yang semuanya memiliki desain dan motif yang khas. Warna-warna cerah dan hiasan emas sering digunakan untuk menonjolkan keindahan baju adat Bali.
Tumblr media
6. Baju Paes dan Jarik: Karya Seni dari Jawa Tengah: Baju Paes dan Jarik adalah pakaian tradisional dari Jawa Tengah, khususnya digunakan dalam upacara pernikahan atau acara adat penting lainnya. Baju Paes melibatkan tata rias wajah yang khas, sedangkan Jarik adalah kain panjang yang dibalutkan di pinggang. Keduanya memberikan tampilan yang megah dan penuh makna.
7. Baju Adat Melayu: Busana Megah dari Riau hingga Jambi: Baju Adat Melayu memiliki variasi yang kaya di berbagai daerah, seperti Riau, Jambi, dan Palembang. Pakaian ini umumnya terdiri dari baju kurung untuk perempuan dan baju melayu untuk laki-laki. Kain sarung atau kain songket sering digunakan sebagai padanan, menciptakan kombinasi warna dan motif yang indah.
8. Baju Kabaya: Busana Tradisional dari Betawi: Baju Kabaya adalah pakaian tradisional suku Betawi di Jakarta. Dengan potongan yang anggun dan padanan warna yang menarik, Baju Kabaya sering dipakai dalam berbagai acara adat, seperti pernikahan atau upacara keagamaan. Motif batik juga sering diaplikasikan pada baju ini, menambah pesona dan keunikan.
9. Baju Hudoq: Mistisisme dalam Busana Dayak: Baju Hudoq adalah busana adat yang berasal dari suku Dayak di Kalimantan. Terkenal dengan topeng-topengnya yang khas, Baju Hudoq digunakan dalam upacara adat dan ritual keagamaan. Kombinasi warna-warna alami dan ornamen-ornamen tradisional memberikan kesan mistis yang kuat.
10. Baju Sandeq: Perpaduan Budaya di Papua: Baju Sandeq adalah pakaian tradisional dari Papua yang menggabungkan unsur-unsur budaya Papua dengan sentuhan modern. Terbuat dari kulit kayu dan hiasan-hiasan alam, Baju Sandeq mencerminkan keberagaman budaya di wilayah timur Indonesia.
Baju adat Indonesia bukan hanya sekadar pakaian, tetapi juga merupakan warisan budaya yang mencerminkan keindahan, makna, dan keragaman tradisi setiap suku. Setiap detail, mulai dari motif hingga warna, memuat sejarah dan kekayaan nilai budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Pemakaian baju adat bukan hanya sekadar sebuah fashion, melainkan bentuk penghormatan dan kebanggaan terhadap warisan budaya Indonesia yang begitu megah dan memesona.
0 notes
viainhere · 1 year
Text
Eksporasi Busana Pernikahan Adat di Indonesia
Tumblr media
Busana pernikahan adat di Indonesia memiliki keindahan dan keunikan tersendiri, dengan berbagai ragam warna, motif, dan detail yang mencerminkan identitas budaya setiap daerah.
Setiap suku atau etnis di Indonesia memiliki gaya pakaian dan aksesoris pernikahan adat yang khas dan bervariasi.
Kami akan membahas berbagai ragam busana pernikahan adat dari berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, artikel ini juga akan mencakup perkembangan busana pernikahan adat di Indonesia dari masa ke masa.
Semoga artikel ini dapat memberikan wawasan yang menarik dan inspiratif bagi para pembaca, serta menjadi salah satu cara untuk memperkuat rasa cinta dan bangga terhadap warisan budaya Indonesia.
Ragam busana Pernikahan Adat Berbagai Daerah Di Indonesia
Busana pernikahan adat di Indonesia memiliki kekayaan dan keunikan yang mencerminkan keragaman budaya dan tradisi di berbagai daerah. Berikut adalah beberapa contoh ragam busana pernikahan adat dari beberapa daerah di Indonesia:
Jawa: a. Busana Pengantin Jawa Solo: Busana pengantin adat Jawa Solo umumnya menggunakan kebaya dengan motif yang indah dan sarung batik. Pengantin wanita biasanya juga memakai sanggul dengan mahkota dan berbagai aksesoris tradisional seperti kalung dan gelang. b. Busana Pengantin Jawa Yogyakarta: Busana pengantin adat Jawa Yogyakarta serupa dengan Jawa Solo namun memiliki ciri khas tersendiri. Pengantin wanita menggunakan kebaya encim dengan motif dan warna yang khas. Aksesoris tradisional seperti rante dan cunduk mentul juga menjadi bagian penting dari busana ini.
Sumatera: a. Busana Pengantin Adat Batak: Busana pengantin adat Batak memiliki ciri khas warna merah, hitam, dan emas. Pengantin wanita memakai ulos (kain tenun tradisional) yang dipadukan dengan kain songket. Sementara pengantin pria menggunakan pakaian tradisional berupa baju Ulos. b. Busana Pengantin Adat Minangkabau: Busana pengantin adat Minangkabau dikenal dengan sebutan "Bundo Kanduang" untuk wanita dan "Bundo Pacik" untuk pria. Pengantin wanita mengenakan baju kurung berlengan panjang, kain songket, serta hiasan kepala yang indah. Pengantin pria mengenakan pakaian tradisional berupa baju Teluk Belanga.
Kalimantan: a. Busana Pengantin Adat Banjar: Busana pengantin adat Banjar menggunakan warna merah sebagai warna utama. Pengantin wanita mengenakan kebaya khas Banjar dengan kain sarung dan selendang. Pengantin pria mengenakan baju bodo dengan motif khas dan berbagai aksesoris. b. Busana Pengantin Adat Dayak: Busana pengantin adat Dayak memiliki kekayaan motif dan warna yang mencerminkan alam dan kehidupan suku Dayak. Pengantin wanita mengenakan busana adat yang dihiasi dengan hiasan kepala dan kalung. Pengantin pria mengenakan pakaian adat berupa baju dan celana khas.
Sulawesi: a. Busana Pengantin Adat Toraja: Busana pengantin adat Toraja dikenal dengan sebutan "Pallawa" untuk wanita dan "Pakkure" untuk pria. Pengantin wanita mengenakan pakaian berlapis-lapis dengan warna-warna cerah. Pengantin pria juga mengenakan pakaian khas dan diberi hiasan kepala yang indah. b. Busana Pengantin Adat Bugis: Busana pengantin adat Bugis mengandalkan keindahan kain songket. Pengantin wanita memakai baju bodo dengan hiasan songket yang indah, sementara pengantin pria menggunakan baju Bodo berwarna-warni.
Papua: a. Busana Pengantin Adat Papua: Busana pengantin adat Papua kaya akan warna-warni dan hiasan-hiasan tari. Pengantin wanita mengenakan pakaian adat berupa baju daerah dengan berbagai ornamen dan aksesoris. Pengantin pria juga mengenakan pakaian tradisional khas Papua.
Setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing dalam busana pernikahan adatnya.
Ragam busana ini menjadi bagian penting dari upacara pernikahan, mengandung makna mendalam, dan mencerminkan identitas budaya yang kuat dari masing-masing daerah.
Perkembangan Busana Pernikahan Adat Dari Masa Ke Masa
Perkembangan busana pernikahan adat di Indonesia mengalami transformasi yang menarik dari masa ke masa. Perubahan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk interaksi antarbudaya, perkembangan zaman, dan pergeseran sosial.
Berikut adalah beberapa tahapan perkembangan busana pernikahan adat di Indonesia:
Tradisi Prasejarah: Sebelum adanya catatan tertulis, busana pernikahan adat di Indonesia sudah ada dalam bentuk sederhana. Masyarakat pada masa ini mengandalkan bahan-bahan alami seperti daun, kulit hewan, dan serat tumbuhan untuk membuat pakaian pernikahan. Busana ini berfokus pada fungsi praktis dan kemampuan melindungi tubuh.
Pengaruh Hindu-Budha: Pada masa penyebaran agama Hindu-Budha di Indonesia, terjadi perkembangan busana yang lebih rumit dan estetis. Pengaruh dari India memperkenalkan kebaya sebagai busana pernikahan yang digunakan oleh wanita. Selain itu, pakaian berlapis dengan kain songket atau batik mulai menjadi populer.
Pengaruh Islam: Setelah Islam masuk ke Indonesia, busana pernikahan adat mengalami adaptasi dengan nilai-nilai Islam. Misalnya, dalam busana pernikahan adat Jawa, perempuan mulai menggunakan jilbab sebagai bagian dari busana pengantin. Pakaian adat dari berbagai daerah di Indonesia juga mulai menggabungkan elemen Islam seperti kain sarung atau kain songket dengan motif-motif Islami.
Era Kolonial: Masa kolonialisme membawa pengaruh Barat ke Indonesia, termasuk dalam busana pernikahan. Kain-kain sutra, renda, dan brokat mulai digunakan dalam busana pengantin, menggabungkan unsur-unsur lokal dengan sentuhan Eropa.
Masa Kemerdekaan: Setelah kemerdekaan Indonesia, busana pernikahan adat mengalami revitalisasi dalam upaya melestarikan budaya dan identitas nasional. Kebaya dan batik menjadi simbol penting dalam busana pernikahan adat Indonesia.
Era Modern: Dalam beberapa dekade terakhir, busana pernikahan adat mengalami pengaruh tren dan mode modern. Desain busana pengantin adat mulai dirombak untuk mencerminkan gaya yang lebih kontemporer dan lebih sesuai dengan selera masa kini. Meskipun terjadi modernisasi, upaya untuk mempertahankan elemen tradisional tetap dijaga.
Revival Budaya: Saat ini, semakin banyak perhatian yang diberikan pada pelestarian dan revival budaya. Banyak desainer dan komunitas berusaha untuk menghidupkan kembali busana pernikahan adat yang khas dari berbagai daerah di Indonesia. Pameran dan acara budaya menjadi sarana untuk memperkenalkan kembali kekayaan busana pernikahan adat kepada generasi muda.
Perkembangan busana pernikahan adat dari masa ke masa mencerminkan dinamika budaya dan sejarah Indonesia.
Meskipun mengalami perubahan, nilai-nilai tradisional tetap dihargai dan dijaga agar tetap relevan dalam pernikahan modern.
Penerusan tradisi ini berfungsi sebagai bentuk identitas budaya Indonesia yang kaya dan beragam.
Temukan keindahan budaya dalam perayaan pernikahan Anda dengan Paket Wedding Murah Jakarta! Kami menghadirkan pengalaman pernikahan yang menakjubkan dengan harga yang terjangkau, memadukan kekayaan budaya Indonesia dalam setiap langkahnya.
Dengan Paket Wedding Murah Jakarta, Anda akan mengalami keindahan ragam busana pernikahan adat dari berbagai daerah di Indonesia.
0 notes
zasckiiiaaa · 1 year
Text
Sejarah Rendang Padang: Perjalanan Sebuah Kuliner Legendaris
Tumblr media
Rendang Padang merupakan salah satu hidangan kuliner yang sangat terkenal di Indonesia. Kelezatannya telah merambah ke berbagai belahan dunia, menjadi salah satu makanan Indonesia yang paling diakui secara internasional.
Dalam artikel ini, kita akan melihat perjalanan panjang sejarah rendang Padang, mulai dari asal-usulnya hingga pengakuan global yang diterimanya saat ini.
Tak hanya itu, artikel ini juga akan mengupas bagaimana rendang Padang meraih pengakuan internasional sebagai salah satu makanan yang harus dicoba dalam daftar kuliner dunia.
Dengan begitu, kita akan lebih menghargai kekayaan budaya Indonesia yang terwujud dalam sepotong rendang Padang yang lezat.
Sejarah Rendang Padang
Sejarah rendang Padang dapat ditelusuri hingga akar budaya Minangkabau, sebuah suku bangsa yang bermukim di wilayah Sumatra Barat, Indonesia.
Rendang sendiri merupakan hidangan daging yang dimasak dalam campuran rempah-rempah dan santan kelapa yang kental. Menurut legenda, rendang berasal dari abad ke-16, pada masa Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.
Hidangan ini dipercaya awalnya dipersembahkan sebagai hidangan istimewa dalam acara-acara adat, perayaan, dan upacara keagamaan. Rendang juga sering disajikan dalam pesta pernikahan, khitanan, atau acara-acara penting lainnya sebagai simbol kemewahan dan kecintaan terhadap tamu.
Proses memasak rendang pada awalnya dilakukan oleh perempuan Minangkabau yang terampil dalam menggunakan rempah-rempah lokal. Mereka akan mencampurkan bumbu-bumbu seperti cabai merah, bawang merah, bawang putih, serai, lengkuas, jahe, kemiri, kayu manis, dan lainnya dengan daging yang dipotong menjadi potongan-potongan kecil.
Setelah itu, daging dan bumbu-bumbu akan dimasak dalam santan kelapa yang dikeringkan hingga meresap ke dalam daging dan bumbu-bumbu tersebut.
Keunikan rendang terletak pada proses pemasakan yang sangat lambat dan lama. Proses ini dikenal dengan istilah "memasak rendang dengan api kecil". Dalam beberapa resep tradisional, rendang dapat memakan waktu hingga berjam-jam atau bahkan berhari-hari untuk mendapatkan hasil yang sempurna.
Selama proses pemasakan ini, rempah-rempah meresap ke dalam daging, santan kelapa menyusut, dan kekentalan serta aroma yang khas dari rendang terbentuk.
Seiring berjalannya waktu, rendang tidak hanya dihidangkan dalam acara adat atau upacara keagamaan, tetapi juga menjadi hidangan sehari-hari di masyarakat Minangkabau. Rendang menjadi makanan yang penting dalam kehidupan sehari-hari, yang disajikan sebagai lauk dalam makanan utama.
Baca Juga: Peluang Usaha Abon Ayam : Bagaimana Cara Memulai Usaha Abon Ayam
Rendang Sebagai Warisan Budaya
Pada era modern, rendang Padang mulai menyebar ke luar Minangkabau dan menjadi hidangan yang populer di seluruh Indonesia.
Rendang Padang ditemukan di berbagai restoran dan warung makan di seluruh negeri, bahkan menjadi hidangan wajib dalam sajian nasi Padang yang terkenal.
Prestasi rendang Padang juga tidak terbatas di dalam negeri. Pada tahun 2011, rendang Padang berhasil mendapatkan pengakuan sebagai "Hidangan Warisan Budaya Tak Benda" dari UNESCO. Pengakuan ini menegaskan nilai budaya dan sejarah rendang sebagai warisan yang perlu dijaga dan dilestarikan.
Sejak itu, rendang Padang juga semakin mendapatkan perhatian di tingkat internasional. Pada tahun 2017, rendang Padang berhasil mendapatkan gelar "Makanan Terlezat di Dunia" dalam ajang "World's 50 Best Foods" yang diselenggarakan oleh CNN International. Prestasi ini menunjukkan kepopuleran rendang sebagai hidangan yang menggugah selera di seluruh dunia.
Sejarah rendang Padang menggambarkan perjalanan panjang hidangan ini dari akar budaya Minangkabau hingga mendapatkan pengakuan global yang tinggi.
Kekayaan rempah-rempah, tradisi memasak yang turun-temurun, serta cita rasa yang tak tertandingi telah menjadikan rendang Padang sebagai salah satu kuliner legendaris yang terus memikat lidah orang-orang di berbagai belahan dunia.
0 notes
poetrafoto · 3 years
Photo
Tumblr media
(via Tarian Galombang Pasambahan Silek Baralek Gadang Minangkabau di Upacara Pernikahan Pengantin Adat Padang Wedding Jogja Ririn+Firman)  😍 Tarian Galombang Pasambahan Silek Baralek Gadang Minangkabau di Upacara Pernikahan Pengantin Adat Padang Wedding Jogja Ririn+Firman 
https://poetrafoto.wordpress.com/tarian-galombang-pasambahan-silek-baralek-gadang-minangkabau-di-upacara-pernikahan-pengantin-adat-padang-wedding-jogja-ririnfirman/ 
#TariGalombangPasambahan #TarianGalombangPasambahan #TariGalombangPasambahanSilek #TarianGalombangPasambahanSilek #TariSilek #GalombangPasambahan #GalombangPasambahanSilek #BaralekGadang #BaralekGadangMinang #BaralekGadangMinangkabau #BaralekMinang #BaralekMinangkabau #BaralekPadang #UpacaraPernikahanAdatMinang #UpacaraPernikahanMinang #UpacaraWeddingAdatMinang #UpacaraWeddingMinang #AdatMinangkabau #AdatMinang #AdatPadang #UpacaraPengantinAdatMinang #UpacaraPengantinMinang #PernikahanAdatMinang #PernikahanAdatMinangkabau #PernikahanAdatPadang #PengantinAdatMinang #PengantinAdatPadang #WeddingAdatMinang #WeddingAdatPadang #WeddingMinang
0 notes
vanteagthdq · 4 years
Text
Tradisi Suku-Suku Di Indonesia Meminang Pasangannya
Tumblr media
Tradisi Pernikahan Di Indonesia-Sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak suku, Indonesia memiliki ragam jenis upacara pernikahan yang berbeda. Setiap daerah memiliki upacara pernikahan yang unik. Megahnya acara dan banyaknya pernak pernik pernikahan yang memanjakan mata.
Dari banyaknya suku diindonesia berikut beberapa adat pernikahan yang sudah dirangkum untuk kalian.Pernikahan ini tidak hanya enak dipandang saja tapi juga memiliki filosofi dan nilai budaya yang tinggi sehingga layak untuk dilestarikan. Berikut beberapa pernikahan di Indonesia yang sanggup membuatmu kesengsem ingin cepat menyusul.
1.           Pernikahan Adat Jawa
Pernikahan adat Jawa Pernikahan dengan adat Jawa memang dikenal cukup rumit karena memiliki banyak sekali komponen. Ada yang namanya pingitan yaitu kedua mempelai tidak diperbolehkan bertemu sampai acara resepsi, malam midodareni, hingga temu penganten di mana pengantin pria dan wanita dipertemukan. Yang unik dari pernikahan adat Jawa adalah dekorasinya yang megah. Ornamen bunga, janur, hingga warna cerah memenuhi ruangan. Tidak ketinggalan mempelai pria dan wanita didandani pak raja dan ratu kerajaan Jawa.
2. Pernikahan Adat Minangkabau
Pernikahan adat Minangkabau Upacara pernikahan di Minangkabau juga dilaksanakan dengan sangat meriah. Mempelai wanita akan didandani begitu cantik lengkap degan hiasan di kepalanya yang pastinya lumayan berat. Hiasan itu bisa sampai lebih dari satu kilogram loh. Hiasan di pelaminan selalu dominan warna emas dan memiliki aksen rumah gadang yang unik meski upacara dilaksanakan secara tradisional, tata caranya tetap tidak bisa lepas dari tradisi Islam.
3. Pernikahan Adat Sunda
Pernikahan adat Sunda hampir mirip dengan adat Jawa. Proses dimulai jauh sebelum pesta utama dilakukan. Proses lamaran dan seserahan juga masuk dalam adat pernikahan sehingga harus dilakukan secara berurutan. Yang membedakan antara pernikahan Jawa dan Sunda adalah ornamen yang dipakai oleh wanita. Di Sunda, wanita tidak dilukis pada bagian keningnya, selain itu mereka juga memakai mahkota yang didominasi warna putih cerah.
4. Pernikahan Adat Tana Toraja
Pernikahan adat Tana Toraja biasanya dilaksanakan dalam 3 jenis yang berbeda. Pembeda ini dilihat dari siapa wanita yang akan dinikahi. Semakin tinggi tingkatannya, maka semakin megah pula pesta pernikahan yang akan dilaksanakan.. Acara pernikahan adat Tana Toraja biasanya dilaksanakan dengan arak-arakan yang panjang sebelum akhirnya kedua mempelai sampai di pelaminan yang megah. ada pertunjukan seni seperti tari-tarian di setiap pernikahan adat tana toraja.
5. Pernikahan Adat Bali
Pernikahan adat Bali Upacara pernikahan adat di Bali biasanya diadakan di rumah mempelai pria. Calon mempelai wanita akan dijemput dari kediamannya dengan ditutupi selembar kain tipis. Setelah sampai di rumah mempelai pria, dia akan disambut dengan beberapa upacara. Saat upacara pernikahan berjalan, mempelai wanita akan didandani lengkap dengan hiasan kepala yang lumayan berat namun indah. Pernikahan adat Bali dikenal sangat unik karena penuh dengan ritual.
6. Pernikahan Adat Batak
Pernikahan adat Batak  termasuk salah satu prosesi pernikahan yang cukup rumit di Indonesia. Banyak ritual-ritual penting yang harus dilakukan mulai dari persiapan hingga pesta pernikahan. Semua dilakukan berurutan sehingga memakan waktu yang cukup lama. Dalam pernikahan ini mempelai wanita didandani dengan ada ikat kepala berwarna merah. Sementara itu mempelai pria akan mengenakan aksesori kepala juga yang berbentuk lancip ke atas.
1 note · View note
nagarikamang · 5 years
Photo
Tumblr media
26. Tata Upacara Adat Minangkabau: Pendahuluan PENDAHULUAN Salah satu tata kehidupan yang diatur oleh adat Minangkabau adalah berbagai bentuk upacara yang dikaitkan dengan daur hidup seperti kelahiran, pernikahan, kematian dan pewarisan kepemimpinan adat (
0 notes
injuritime-blog · 6 years
Text
Sejarah Pencak Silat di Indonesia ada Sejak Abad ke 7
Tumblr media
Seni bela diri pertama kali muncul di dunia dikarenakan oleh cara manusia untuk mempertahankan dirinya dari berbagai macam serangan manusia lain atau tantangan alam dalam sebuah konflik. Tahukah kalian bahwa pada zaman dulu, jauh sebelum seni bela diri mulai berkembang, orang-orang di negara eropa biasa melakukan perkelahian dengan tinju. Mengandalkan kekuatan secara langsung sehingga dapat diprediksi bahwa setiap pertarungan akan selalu dimenangkan oleh orang yang bertubuh besar dan juga kuat. Seiring berjalannya waktu, orang-orang mulai menyadari bahwa dalam setiap pertarungan tidak hanya memerlukan besarnya kekuatan, tetapi  efektifitas dari serangan yang juga mematikan, sehingga ada kebutuhan atas seni bela diri. Bangsa Indonesia sudah lama sekali telah memiliki seni bela diri yang disebut Pencak Silat. Gerakan dalam ilmu bela diri Pencak Silat muncul sebagai hasil kreasi dari menirukan gerakan hewan  yang ada di alam sekitarnya, seperti gerakan kera, harimau, ular, atau burung elang. Diperkirakan pencak silat menyebar di kepulauan nusantara sejak abad ke 7 masehi, namun demikian asal mulanya belum bisa ditentukan secara pasti. Dikisahkan secara turun temurun bahwasannya Kerajaan-kerajaan besar di nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit sudah memiliki banyak pendekar-pendekar hebat dan juga sakti yang menguasai ilmu bela diri. Dikarenakan Tradisi ilmu pencak silat yang sebagian besar diturunkan hanya melalui lisan atau dari mulut ke mulut, mengakibatkan minimnya informasi yang dapat menjelaskan secara detail sejarah mengenai asal mula pencak silat di tanah air. Beberapa sejarah mengenai pencak silat bisa dilihat dalam bentuk legenda yang beredar dimasyarakat yang tentunya berbeda versi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Pada legenda Minangkabau misalnya, pencak silat diciptakan oleh Datuk Suri Diraja dari Pariaman pada abad ke-11. Lalu kemudian silat dibawa serta dikembangkan oleh para perantau Minang ke seluruh Asia Tenggara. Demikian pula cerita rakyat mengenai asal muasal silat aliran Cimande. Dikisahkan bahwa ilmu silat bersumber dari seorang perempuan yang sedang mencontoh gerakan pertarungan antara harimau dengan monyet. Setiap daerah pada umumnya memiliki tokoh persilatan masing-masing yang sangat dibanggakan, misalnya Prabu Siliwangi sebagai tokoh pencak silat asal Sunda Pajajaran, Hang Tuah seorang panglima Malaka, atau Si Pitung yang populer jawara Betawi. Perkembangan seni pencak silat secara historis mulai tercatat pada abad ke-14. Ketika itu penyebarannya banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Islam di nusantara. Kala itu pencak silat diajarkan bersamaan dengan pelajaran agama di pesantren. Silat dan filosofinya menjadi sangat erat dengan spiritual. Hingga masuk pada masa zaman Penjajahan, Pencak Silat kemudian berkembang sangat pesat semakin luas dari sarana penyebarluasan ilmu agama menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajahan asing. Dalam sejarah perjuangan melawan penjajah, tercatat para pahlawan di Republik Indonesia yang diketahui mahir menguasai seni bela diri, seperti Panembahan Senopati, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Imam Bonjol, serta beberapa pendekar wanita, seperti Sabai Nan Aluih, Cut Nyak Dhien, dan Cut Nyak Meutia. Dalam budaya beberapa suku di Tanah Air, pencak silat ternyata juga memiliki peran menjadi bagian dalam upacara adat. Semisal kesenian tari Randai asal Minangkabau yang tak lain merupakan gerakan pencak silat. Tari randai sendiri biasa ditampilkan dalam sebuah acara adat atau perayaan di Minangkabau. Kemudian dalam sebuah prosesi pernikahan adat Betawi juga terdapat pencak Silat dalam tradisi “Palang Pintu”. Prosesi ini menceritakan bahwa rombongan pengantin pria yang dalam perjalannya untuk meminang pengantin perempuan dihadang oleh para pendekar silat di kampung setempat. Sebagai prasyarat untuk bisa meminang pengantin perempuan, maka pengantin pria diharuskan mengirim utusan jawaranya untuk mengalahkan sang penghadang pintu tersebut. Sehingga pertarungan silat antara jawara penghadang dengan pendekar pengiring pengantin pria pun terjadi. Ini sebagai simbol usaha keras membangun pernikahan. Read the full article
0 notes
loaandthetwins · 8 years
Photo
Tumblr media
CALON ANAK DARO
Ntan, ini namanya Suntiang. Intan tahu kan benda ini? Okeh, biar Uda jelaskan.
Benda ini akan Intan pakai saat menikah nanti jika keluarga besarnya Intan menginginkan upacara pernikahan dengan adat Minangkabau.
Benda ini akan berada di atas kepala Intan selama pesta, jika resepsi pernikahannya di laksanakan di gedung, Intan akan memakainya sekitar dua sampai tiga jam. Tapi jika dilaksanakan di rumah almarhum nambo di kampuang, bisa seharian Intan memakainya.
Namanya juga pesta pernikahan, biasanya nih, hari jumat Intan akan disibukkan dengan prosesi penghalalan secara agama melalui ijab kabul, malamnya Intan akan mengikuti “malam bainai”. Sabtunya dimulai dari pagi, rumah akan ramai diisi oleh keluarga besar beserta tetangga untuk “manggulai jo mamasakan randang”, malamnya akan bergadang (lagi) bersama anak-anak muda untuk mendekorasi rumah dengan pernak-pernik pernikahan bernuansa Minangkabau. Kemudian hari minggu, hari menjadi Ratu sehari, Intan akan diarak keliling kampung diiringin musik talempong sepanjang jalan. Tenang, arak-arakan ini “in a good way” kok, jangan banyangkan seseram film lawas Suzanna dimana ada scene dua sejoli yang dijebak telah bersenggama, mereka dibotaki, ditelanjangi, lalu diarak keliling kampung. Walau Uda tahu, rasa capek dan malunya bisa dikatakan sebelas-duabelas dengan seramnya adegan jebakan di film Suzanna yang Uda ceritakan tadi.
Why do I tell they are so 11-12? Haha, hitung saja berapa hari Intan harus berhari-hari memasangkan senyum kepada semua orang. Menunjukkan Intan akan bahagia seiring doa restu tamu yang datang. I know you well, it’s hard for you to give a triple F to all people which is the triple F belong to Fu*king Fake Face.
Bagaimana bisa tetap tersenyum manis jika benda dari bahan besi dengan satuan kilogram tetap teronggok di kepala. Selain berat, benda itu juga akan sedikit menusuk-nusuk kulit kepala. Persetan dengan menjadi Ratu sehari jika siksaannya begini. Belum lagi bahan pakaian beludru yang panas dan tidak menyerap keringat, oh iya, semua kostum itu adalah barang sewaan yang kita tidak tahu apakah pemakai sebelumnya punya penyakit kulit atau pihak penyewa sudah mencucinya bersih dengan deterjen anti bakteri. Wait, sepertinya itu cuma pemikiran Uda yang sering kamu curigai terdiagnosa OCD.
Suntiang itu katanya sebuah pengibaratan, akan banyak beban yang akan ditanggung saat Intan berkeluarga nanti. Bagaimana menjaga hati suami tapi tidak mendurhakai orang tua, bagaimana menjaga hati orang tua tapi tidak mengesampingkan kedua mertua, belum lagi keponakan, sepupu, adik-adik dan keluarga besan. Maka dari itu di hari bersejarah nanti, Intan akan “sedikit dikerjai” dan diberi pelajaran bahwa berkeluarga itu adalah hal yang berat.
Uda bukannya menakut-nakuti, tapi yabegitulah kepercayaan adat yang diwariskan secara turun temurun. Rumit memang untuk menjalaninya, meskipun sudah menjalani cara yang “legal” di mata norma dan agama dalam membangun sebuah keluarga, tetap saja segala macam kerumitan itu harus Intan jalani dan Intan mau tak mau diberikan pelajaran meski terkesan dikerjai.
Intan, berbicara soal pakaian adat saat pernikahan nanti, Uda akan mengutip kata-kata Rita Ora kepada kontestan America’s Next Top Model Season 23, “jika kau dipakaikan suatu pakaian, pakailah baju itu, jangan baju itu yang memakaimu, jadilah BOSS dari apa yang kau pakai. Berikan attitude”. Keep on stunning girl, beauty is pain.
Intan, jika kegilaan yang sedang kita skenarionkan untuk bahan tertawaan kita dan teman-teman yang tahu tentang gilanya skenario kita itu kesampaian, Uda akan menggenggam tangan Intan di hari itu dan berkata “be cool girl, anggap penderitaan beberapa hari ini untuk membayar kesenangan-kesenangan petualangan kita berikutnya.” Even that would be punchline terpecah dalam hidup kita dan teman-teman yang siap memberikan standing ovation setelah penghulu berkata “Sah”, I still can not imagine it. No I can’t. Tidak terbayang sama sekali.
Dear Calon Anak Daro kesayangan, mulai sekarang Uda akan berlatih melafaskan “Saya terima nikahnya Intan Faridha Risda S. Pd binti Abdullah (Uda belum tahu siapa nama Ayahnya Intan) dengan setumpuk ego yang sudah diturunkan, sekumpulan drama yang diprotagoniskan, beberapa set list comedy dengan kejutan punchline dan banyak rahasia yang tak akan dikemukakan, dibayar tunai.”
*kepada semua spectator tercinta yang telah berkenan hadir, kami persilahkan untuk mengangkat topi dan bertepuk tangan sambil berdiri*
1 note · View note
nadiyahshabrina · 3 years
Text
Mengenal Tari Tradisional asal Minangkabau
Tari tradisional atau yang biasanya dikenal dengan tarian rakyat adalah unsur gerak yang mengandung unsur keindahan yang dibuat untuk kepentingan adat dalam suatu suku. Minangkabau merupakan suku yang ada di Sumatera barat. Seperti suku pada umumnya, suku Minangkabau memiliki beragam jenis kesenian tradisional, salah satunya yaitu tarian. Berikut ini kita akan membahas beberapa jenis tarian tradisional asal Minagkabau.
a) Tari Piring
Tari Piring atau dalam bahasa Minangkabau disebut dengan Tari Piriang adalah jenis tarian adat Minangkabau yang berasal dari kota Solok, Sumatera Barat. Tarian ini dilakukan dengan menggunakan piring sebagai media utama. Piring-piring tersebut yang belakang sekali diayun dengan gerakan-gerakan cepat yang teratur, tanpa terlepas dari genggaman tangan.
Pada awalnya, tari ini merupakan ritual ucapan rasa syukur masyarakat setempat kepada dewa-dewa setelah mendapat hasil panen yang melimpah ruah. Setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau, tradisi tari piring tidak lagi dipergunakan sebagai ritual ucapan rasa syukur kepada dewa-dewa. Tari tersebut dipergunakan sebagai sarana prasarana hiburan untuk masyarakat banyak yang ditampilkan pada acara-acara keramaian.
Tarian ini diikuti oleh alat musik Talempong dan Saluang. Kombinasi musik yang cepat dengan gerak penari yang begitu lincah membuat pesona Tari Piring begitu menakjubkan. Pakaian yang dipergunakan para penaripun haruslah pakaian yang cerah, dengan nuansa warna merah dan kuning keemasan.
b) Tari Rantak
Tari Rantak merupakan tarian Minangkabau yang mungkin diadaptasi dari Tarian Rantak Kudo, tarian tradisional Jambi. Meski pada dasarnya memiliki kesamaan, khususnya pada hentakan kaki, namun oleh seniman Minang dikolaborasikan dengan silek (silat) yang tegas. Gerakan-gerakan silat dalam tarian ini mengambil bagian dari bungo silek yang memang difungsikan untuk pertunjukan semata. Tari ini disajikan dengan iringan musik yang cenderung bertempo cepat. Dalam ranah kebudayaan Minang dikenal dua tarian Rantak, yakni Rantak Kudo Pesisir Selatan dan Rantak karya Gusmiati Suid.
c) Tari Pasambahan
Tarian Pasambahan adalah contoh tarian yang didominasi oleh penari wanita. Tarian ini berkembang merata di Sumatera Barat, khususnya di Kota Padang. Pasambahan sendiri adalah tari penyambutan sebagai ungkapan selamat datang dan rasa hormat pada tamu. Keberadaan tari ini cukup melekat dengan upacara pernikahan adat Minang. Biasanya ditampilkan saat kedatangan tamu yang datang dari jauh, atau ketika pengantin pria tiba di rumah pengantin wanita. Dalam penyajiannya, tamu dipayungi sebagai bentuk penghormatan, setelahnya dilanjutkan dengan suguhan daun sirih dalam carano.
Tari ini disajikan oleh 9 penari yang terbagi dalam tiga kelompok. Pertama; dua orang penari laki-laki membawakan gerak pencak silat, kedua; empat orang penari perempuan yang menari lembut dan anggun. Dan, ketiga; tiga perempuan dengan satu orang pembawa carano dan dua orang sebagai pendampingnya.
d) Tari Indang
Kesenian indang atau yang lebih dikenal sebagai tari Badindin merupakan ragam kesenian khas milik masyarakat pantai atau pesisir Sumatera Barat (Navis, 1986: 264). Menurut sejarahnya, kesenian indang sebagai seni tradisi awalnya berfungsi sebagai media komunikasi dalam menyampaikan ajaran Islam, kemudian berubah sebagai media silahturahmi dalam masyarakat. Selanjutnya kesenian indang berubah sebagai media hiburan, yakni hiburan pada acara pesta perkawinan, perpisahasan, dan sebagainya.
Kesenian ini disajikan per kelompok antarnagari dalam bentuk dendangan, diiringi oleh alat musik rapa’i sekaligus sebagai properti yang digunakan pemain dalam penampilan. Pemain terdiri dari laki-laki saja berjumlah ganjil.Namun, seiring berjalannya waktu, wanita pun juga turut melakukan tarian satu ini.
e) Tari Payung
Tari Payung adalah tari yang bersifat hiburan sebagai tari sosial yang mengutamakan nilai-nilai rekreasional dan ditarikan secara berpasangan dengan jumlah genap termasuk kelompok tari unison yang terdiri dari tiga orang penari perempuan dan tiga orang penari laki-laki. Gerak tari Payung sebagai tari Melayu Minangkabau mendapat pengaruh dua budaya yaitu selain Minangkabau juga terdapat budaya Melayu yaitu gerak singajua lalai sedangkan musiknya disebut musik Langgam Melayu diiringi lagu Babendi-bendi dengan menggunakan musik diatonis. Dalam menarikan tari Payung menggunakan properti, penari laki-laki menggunakan payung dan selendang untuk penari perempuan. Tari Payung sering tampil dalam bentuk pertunjukan tari Melayu Minangkabau baik dalam bentuk hiburan maupun dalam bentuk pertunjukan seni (performing art).
f) Tari Lilin
Tari Lilin merupakan salah satu tarian tradisional dari Sumatera Barat. Tarian ini dimainkan oleh para penari dengan menggunakan piring kecil dengan lilin yang menyala di atasnya sebagai atribut menari. Tarian lilin dimainkan oleh sekelompok penari dengan gerakan yang atraktif dan seirama dengan alunan musik yang mengiringinya. Tarian ini merupakan salah satu tarian yang terkenal di Indonesia dan menjadi salah satu ikon tarian tradisional di Sumatera Barat, khususnya masyarakat Minangkabau.
Fungsi Tari Lilin dulunya hanya ditampilkan acara adat, yaitu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil dan pencapaian yang didapatkan masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman, fungsi Tari Lilin kini tidak hanya ditampilkan untuk acara adat saja, namun juga sebagai kesenian dan hiburan.
oleh Nadiyah Shabrina Subhan
Daftar pustaka:
Hidayat, Hengki Armez, Wimrayardi dan Agung Dwi Putra. (2019). Seni Tradisi dan Kreativitas dalam Kebudayaan Minangkabau. Musikolastika Jurnal Pertunjukan dan Pendidikan Musik, Vol.1 (No.2), 65-73.
Khairally, Elmi Tasya. (2021). Mengenal Tari Piring, Warisan Budaya Kebanggaan Sumatera Barat di https://travel.detik.com (diakses 26 April 2021).
Rulita. (2018). Keseniang Minangkabau yang Paling Terkenal di https://ilmuseni.com/(diakses 26 April 2021).
Rustiyanti, dkk. (2013). Estetika Tari Minang dalam Kesenian Randai. Jurnal Seni & Budaya Panggung, Vol.23 (No.1), 42-46.
0 notes
gubuakkopi · 6 years
Text
Juni 2018 menjadi awal perjalanan kami bertujuh sebagai pendekarwati Daur Subur, sebuah platform yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi dalam usaha mengarsipkan dan memetakan kultur pertanian di Sumatera Barat. Program ini memberi kesempatan pada kami untuk memperlajari kultur pertanian dari sudut pandang media berbasis komunitas. Program Daur Subur periode Juni-Agustus 2018 ini mengangkat tema “Bakureh” yang dikonsep dalam “Bakureh Project”, sebuah proyek memetakan aktivitas bakureh di lingkungan masyarakat Sumatera Barat. Pada awalnya, kami akan difokuskan pada bakureh sebagai kegiatan memasak kaum ibu dalam acara-acara besar seperti pernikahan, aqiqah, khatam, pengangkatan penghulu (batagak panghulu) atau bahkan upacara kematian. Namun, seiring berjalannya waktu, isu yang kami angkat berkembang, yakni mengupas bakureh lebih mendalam secara keseluruhan, baik itu dalam konteks memasak kaum ibu, maupun dalam konteks bekerja “berkuras tenaga”. Tujuh orang yang dimaksud adalah Sefniwati (Sefni), Nahlia Amarullah (Nahal), Olva Yosnita (Olva), Dyah Roro Puspita Amarani (Roro), Annisa Nabila Khairo (Ica), Nurul Haqiqi (Qiqi) dan saya sendiri.
Rangkaian pembekalan dimulai sejak tangal 1 Juni 2018. Pembekalan yang kami dapatkan berupa materi Literasi Media dari Albert Rahman Putra dan Delva Rahman di hari pertama. Dilanjutkan dengan materi Adat Istiadat Minangkabau dari Mak Katik dan Kultur Bakureh dari Bundo Kanduang Suarna di hari kedua. Pada hari ketiga, kami kembali medapat pembekalan dari Albert, yakni materi Metode Riset. Di hari terakhir pembekalan, yakni hari keempat, kami mendapat materi Kultur Bakureh sebagai Adat Istiadat Minangkabau dari Buya Khairani. Setelah rangkaian pembekalan tersebut, barulah kami memulai observasi awal pada sore hari di hari keempat, 4 Juni 2018 tersebut. Obeservasi awal dilakukan untuk mengumpulkan informasi awal mengenai bakureh, tradisi dan perempuan Minangkabau. Hasil observasi awal inilah yang nantinya akan menentukan fokus riset masing-masing pendekarwati. Observasi awal dilakukan secara terpisah namun tetap berkelompok. Diiringi oleh satu sampai dua fasilitator. Saya mendapat kesempatan bekerja sama dengan Nahal, dan diiringi  Riski dan Volta sebagai fasilitator.
Kelas Metode Penelitian bersama Albert Rahman Putra di Pandopo Taman Bidadari, Kota Solok, 3 Juni 2018. (Foto: Arsip Gubuak Kopi)
Suasan diskusi bersama Mak Katik dalam Lokakarya Daur Subur, dalam Rangkaian Bakureh Project di Kantor Komunitas Gubuak Kopi, 2 Juni 2018. (Foto: Arsip Gubuak Kopi)
Suasan diskusi dalam Lokakarya Daur Subur, dalam Rangkaian Bakureh Project di Kantor Komunitas Gubuak Kopi, Juni 2018. (Foto: Arsip Gubuak Kopi)
Suasan diskusi bersama Delva Rahman dalam Lokakarya Daur Subur, dalam Rangkaian Bakureh Project di Kantor Komunitas Gubuak Kopi, Juni 2018. (Foto: Arsip Gubuak Kopi)
Mencari Isu
Riski, Volta, Nahal dan saya berangkat dari markas Gubuak Kopi ke Koto Baru dengan mengendarai dua motor. Perjalanan dimulai sekitar pukul 3 sore. Di sepanjang perjalanan, saya tidak begitu memperhatikan keadaan lingkungan sekitar. Tapi, sekilas saya melihat bahwa Kota Solok sudah mengalami modernisasi. Kami sempat terjebak macet karena ada beberapa truk yang berjalan berpapasan di jalan yang tidak begitu besar, dan terdapat pohon besar yang cukup rendah di pinggirnya. Truk-truk tersebut sedikit kesulitan untuk melintas karena ranting-ranting pohon yang menjuntai ke tengah jalan dan tersangkut ke bagian atas salah satu truk. Truk terpaksa jalan perlahan sambil dibantu knetnya, agar pohon tidak tertarik dan rubuh. Dalam keadaan macet tersebut, tampaklah kendaraan bermotor yang mulai memadati jalanan, yang menurut saya, merepresentasikan  modernisasi yang dialami masyarakat Solok. Truk-truk yang membuat macet jalanan pun menunjukkan indikasi adanya “pembangunan” di sekitar Solok. Begitu pula dengan rumah-rumah yang berdiri di sepanjang jalan yang sudah berdinding batu dan tampak masih baru. Beberapa tanah lapang bekas persawahan juga mulai dibangun gedung, yang menurut perkiraan saya adalah rumah penduduk. Tidak banyak sawah luas yang terbentang. Tidak ada lagi rumah penduduk yang bergonjong, hanya beberapa gedung pemerintahan saja. Hal ini, menurut asumsi awal saya, juga dapat merepresentasikan keadaan sosial masyarakat Solok yang sudah mulai berjarak dengan adat budayanya.
Perhatian saya sempat terpaku pada bentangan sawah luas yang hijau di sisi kanan jalan, sebelum kejadian macet.  Di tengah-tengah sawah, terpasang nama “SAWAH SOLOK” . Ada  tiga  landmark yang terpasang. Saya, yang waktu itu berboncengan dengan Riski, menanyakan hal tersebut. Riski menjelaskan bahwa sawah tersebut milik masyarakat setempat yang juga dikelola oleh pemerintah sebagai destinasi wisata. Saya berasumsi bahwa “Bareh Solok” yang sering disebut-sebut itu barasal dari sini. Dan Riski mengamini asumsi saya tersebut sambil terus melajukan motor ke arah Koto Baru.
Tak jauh setelah kami masuk ke gang yang menuju rumah Riski, saya melihat sekilas aktivitas menjemur padi (maampai padi). Ada beberapa orang laki-laki yang sedang bekerja dan ada sekitar tiga-empat gundukan padi yang belum dikaka.  Pengamatan saya hanya sampai di situ karena Riski melaju cukup kencang sehingga saya tidak sempat mengajaknya berhenti sebentar. Saat di perjalanan pulang pun, saya sudah lupa dengan aktivitas tersebut. Padahal, pemandangan tersebut memunculkan asumsi baru di kepala saya bahwa mungkin saja tradisi dan adat istiadat Minangkabau di daerah sini belum seutuhnya luntur. Dan mungkin saja dalam aktivitas tersebut ada “bakureh” –nya.
Kiri-kanan: Volta, Ama, Risky (Belakang), dan Nahal di kediaman Ama
Rumah Riski berada di pertigaan antara jalan utama gang dan gang yang lebih kecil. Karena saya masih baru di Solok ini, saya tidak tahu ada apa di ujung jalan utama gang, dan ada apa di gang kecil tersebut. Saya dan Nahal hanya mengekor Riski dan Volta yang setibanya di rumah langsung saja masuk ke dalam. Ibu Riski (kami memanggilnya Ama), yang kemudian saya ketahui bernama Hermita, sedang memantau kerja tukang. Rumah Riski sedang dicat ulang, dan sore itu tukang sedang mengecat bagian atap ruang tamu.  Setelah dipersilakan duduk oleh Ama, Riski pun menjelaskan maksud kedatangan kami, yakni sedang mencari narasumber yang bisa ditanyai tentang bakureh. Ama menawarkan beberapa nama yang sekiranya paham perihal ini. Namun, Nahal langsung berinisiatif menanyakan pengalaman Ama. Ama dengan begitu saja menjadi narasumber pertama kami.
Menurut Ama, bakureh  merupakan tradisi yang sudah pasti selalu ada dalam acara-acara besar seperti pernikahan atau aqiqah. Sampai sekarang pun, aktivitas bakureh masih tetap ada meski di beberapa kasus, pemilik acara memilih memakai catering.
“Tapi di siko, alun ado yang saratus persen pakai catering sen. Pasti ado agak saketek bakureh juo (Tapi di sini (Koto Baru), belum ada yang memakai catering saja seratus persen. Pasti tetap ada yang bakureh untuk memasak makanan barang sedikit).”
Ama juga menjelaskan bahwa kesepakatan akan diadakannya bakureh, misalnya dalam suatu pesta pernikahan atau alek, sudah dibahas oleh keluarga sebelum mengundang para tetangga. Ada tiga tahap perencanaan alek secara umum. Pertama mendiskusikan rencana alek dan bakureh bersama keluarga inti atau disebut juga dengan Sipangka, sebagai orang yang menyelenggarakan alek. Tahap ini disebut baiyo-iyo sakaluarga, yakni tahap perencanaan. Kemudian, memberitahukan kabar tersebut kepada niniak-mamak. Tahap ini lebih dikenal dalam istilah lokal sebagai baimbau mamak. Tujuannya adalah meminta penilaian dan persetujuan dari niniak-mamak tentang perencanaan sebelumnya. Barulah setelah rencana disetujui, berita pernikahan disebarluaskan ke keluarga besar dan keluarga sasuku[1] dengan cara mengumpulkan keluarga besar, atau disebut dengan tahap babaua mamak. Rentang waktu yang dibutuhkan untuk melewati proses ini kurang lebih sebulan. Barulah setelah itu, Sipangka mengundang para tetangga untuk bakureh. Umumnya undangan ini disebarkan secara lisan dari rumah ke rumah oleh pihak Sipangka sekitar tiga hari sebelum acara. Namun, apabila pestanya cukup besar, yang akan dimasak juga biasanya akan lebih banyak, sehingga semakin banyak pula waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan makanan. Maka, biasanya tujuh hari sebelumnya para pelaku bakureh sudah mulai mengangsur mempersiapkan bumbu dan menggulai.
Sebelum kaum ibu memulai aktivitas bakureh dalam artian “memasak bersama”, kaum bapak biasanya bakureh dalam artian bergotong royong mendirikan tenda atau dapur dadakan untuk memasak, yang kalau di daerah Koto Baru disebut “Rumah Kajang”. Oleh sebab itu, istilah bakureh di Koto Baru pada zaman dahulu juga disebut “mandirian tenda”. Namun, pada zaman dahulu, tidak sebatas mendirikan Rumah Kajang, tetapi juga mendirikan tenda pelaminan, yang pada zaman sekarang tanggung jawab tersebut sudah diambil sepenuhnya oleh orang pelaminan. Setelah kaum bapak mendirikan Rumah Kajang, barulah kaum ibu mulai mempersiapkan bumbu dan memasak. Sehari sebelum alek, di saat makanan sudah selesai dimasak semuanya, makanan dimasukkan ke dalam sebuah ruangan yang disebut “Biliak Samba”. Malam harinya, secara alamiah akan berlangsung malam batanggang, yaitu malam makan dan minum bagi para muda-mudi sambil menjaga sambal atau lauk-pauk atau makanan yang sudah dimasukkan ke Biliak Samba. Malam batanggang disebut juga malam bajago samba (malam menjaga lauk-pauk).
Bekas Rumah Kajang tak jauh dari kediaman Risky. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2018)
Bekas Rumah Kajang tak jauh dari kediaman Risky. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2018)
Bekas Rumah Kajang tak jauh dari kediaman Risky. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2018)
Apa yang dijelaskan oleh Ama, sama dengan yang dijelaskan Bundo Kanduang Koto Baru, Tek Erih, yang menjadi narasumber kedua kami. Kami mengunjungi Tek Erih berdasarkan saran dari Ama, karena beliau dianggap sebagai orang yang paham dengan adat dan tradisi bakureh ini. Sekitar pukul 4 sore, setelah mengobrol dengan Ama, kami berempat beriringan ke tempat Bundo Kanduang. Sebelumnya, Riski memberitahu bahwa bangunan terbengkalai di sebelah rumahnya adalah contoh nyata “Rumah Kajang” yang dimaksud Ama. Bangunan tersebut terbuat dari bambu, mulai dari tiang-tiang penyangganya atau pondasi semi permanen, sampai ke kerangka atap. Kemudian, bagian atapnya ditutup dengan seng. Bagian kiri, kanan, depan dan belakang dibiarkan terbuka. Di tengah-tengah Rumah Kajang memang terlihat bekas api tungku. Sayangnya, Rumah Kajang tersebut sudah mulai tertutup semak belukar, dan menjadi tempat menaruh gerobak motor.
“Berarti Rumah Kajang tu emang dipadiaan tagak se yo, Ski? (Berarti, Rumah Kajang memang dibiarkan berdiri begitu saja, ya, Ski?)” tanya saya kepada Riski di perjalanan menuju rumah Bundo Kanduang.
“Ndak juo do, Kak. Biasanyo, babarapo hari setelah alek, Rumah Kajang tu dirubuahan. Tapi nan iko emang dipadiaan se jo Ibuk yang punyo alek, dek tanah tu tanah kosong. Jadi ndak ado yang tagaduah. (Tidak juga, sih, Kak. Biasanya, beberapa hari setelah pesta, Rumah Kajang akan dirubuhkan. Tapi yang ini memang dibiarkan saja oleh Ibu yang berpesta waktu itu, karena tanah itu tanah kosong. Tidak akan ada orang yang terganggu).”
Sesampainya di rumah Bundo Kanduang, kami tidak langsung bertemu Tek Erih, karena beliau sedang solat Asar. Kami menunggu di depan rumahnya sambil mengamati tanaman di depan rumah Tek Erih yang tumbuh subur. Saya juga terkejut saat melihat seekor Jawi atau sapi di samping rumah Tek Erih. Jawi tersebut menurut saya berbadan lebih besar dari yang pernah saya lihat. Cukup menarik bagi saya yang tinggal di kota Pekanbaru, yang jauh dari pemandangan seperti ini. Bagi saya keberadaan jawi ini atau ternak lainnya, serta banyaknya tanaman di pekarang rumah seseorang, menunjukkan kedekatan orang tersebut pada tradisi budaya dan adat istiadat. Artinya, asumsi awal saya tadi mulai dipatahkan, atau mulai berubah. Lingkungan kota Solok bisa saja sudah terkontaminasi modernisasi, namun sepertinya, di daerah kampong seperti Koto Baru ini, belum seutuhnya tercemar lajunya modernisasi atau perkembagan zaman, meski mobil dan motor sudah mulai banyak berlalu lalang di gang rumah Riski tersebut.[2]
Tek Erih muncul tidak lama kemudian dan mempersilakan kami masuk dan duduk. Riski langsung saja menjelaskan maksud kedatangan kami. Tek Erih lalu menjelaskan apa yang dimaksud tradisi bakureh di Koto Baru. Kata beliau, Bakureh dalam tradisi Koto Baru lebih dikenal dengan sebutan “Manolong memasak ka dapua” (menolong memasak ke dapur) atau “mangalamai” (membuat galamai). Disebut mangalamai sebab salah satu makanan wajib dalam alek Koto Baru adalah galamai. Makanan wajib lainnya adalah salamak (nasi ketan), samba randang dan gulai. Galamai merupakan makanan ringan yang berbahan dasar tepung beras ketan, gula saka, dan santan, yang dalam pembuatannya membutuhkan tenaga yang banyak untuk mengaduk adonan dalam jumlah banyak.[3] Galamai hampir mirip dengan dodol. Akan tetapi, galamai lebih kenyal dan lembut dibandingkan dengan dodol. Galamai berwarna hitam pekat dan umumnya dicampur dengan potongan kacang tanah, sehingga menjadi lebih renyah. Rasanya manis dan gurih. Selain dalam alek, galamai juga dapat ditemukan di toko oleh-oleh makanan khas Minangkabau.
Tek Erih juga menjelaskan bahwa dalam tradisi bakureh di Koto Baru, pihak yang memasak adalah kaum ibu. Sementara kaum bapak mendirikan Rumah Kajang yang lokasinya di pekarangan rumah tempat pesta berlangsung, membantu mengangkat yang berat-berat, seperti mengangkat tungku, kuali atau mencari kayu. Kaum bapak juga bertugas menjadi janang, yang dalam konteks Koto Baru merupakan orang yang bertugas sebagai penghidang makanan untuk niniak-mamak.
Kiri-kanan: Volta, saya, Tek Erih, dan Nahal
Dalam konteks Koto Baru, tidak dikenal pembagian tugas dalam bakureh. Para tetangga yang menolong memasak biasanya sudah paham apa yang harus dikerjakan, sehingga pembagian tugas terjadi secara alami. Para tetangga datang dengan membawa pisau sendiri agar pekerjaan mempersiapkan bumbu bisa diselesaikan dengan mudah dan cepat. Sementara alat masak lainnya seperti kuali, disediakan oleh Sipangka. Namun, ada satu orang yang mendapat tugas penting, yang dikenal dengan istilah Rubiah, yakni juru kunci Biliak Samba (pemengang kunci bilak). Biasanya, Rubiah adalah orang yang dipercaya keluarga Sipangka, yang bisa saja tetangga yang dipercaya atau memang anggota keluarga. Rubiah bertanggung jawab dalam mengeluarkan makanan yang dibutuhkan saat acara, berhak menyuruh seseorang untuk menyendok lauk-pauk ke piring, untuk kemudian dihidangkan.
Di Koto baru juga tidak ada istilah baupah (diupah atau dibayar). Artinya, bakureh dilakukan secara sukarela dan bergotong royong, sebagai bentuk bantuan dari para tetangga untuk keluarga Sipangka. Meskipun begitu, secara adat, keluarga Sipangka tetap wajib mengundang tetangga secara langsung, untuk membantunya memasak di dapur. Undangan ini sebagai perpanjangan hubungan silaturrahmi antara Sipangka dan tetangga. Saling mengundang ini menunjukkan kuat-lemahnya rasa kekerabatan kita dalam bertetangga. Selain itu, kata Tek Erih, kewajiban mengundang dan datang bakureh sudah tradisi dari nenek moyang, sehingga apabila misalnya salah satu tetangga lupa atau tidak diundang bakureh, tetangga tersebut tidak akan datang. Umumnya, kejadian seperti ini memang tidak dipermasalahkan atau dimasukkan ke dalam hati. Sebab, masing-masing orang sudah paham bahwa dalam keadaan baralek, kita bisa saja tidak fokus dan melupakan beberapa hal, seperti mengundang salah satu tetangga, misalnya.
“A, makan se lah gulai cubadak tu sorang (makan saja gulai nangka itu sendiri),” kata Tek Erih mencontohkan salah satu gurauan yang biasa diucapkan tetangga yang tidak diundang bakureh. Sipangka cukup menjelaskan alasannya, dan pihak yang tidak diundang akan mengerti dengan sendirinya.
“Alun pernah ado yang sampai bacakak dek iko lai do (Belum pernah ada yang sampai bertengkar karena itu).” Tek Erih menekankan.
Tek Erih juga menjelaskan bagaimana hubungan timbal balik berlaku dalam tradisi bakureh. Perlakuan kita kepada tetangga bisa berbalik ke diri kita sendiri. Ini seperti bermain julo-julo atau arisan, dimana kita akan mendapatkan apa yang kita berikan kepada orang. Jika hubungan bertetangga kita jaga dengan baik, serta rajin menolong orang memasak atau bakureh, maka akan banyak pula orang yang datang menolong kita nantinya. Di Koto Baru, tradisi ini masih dipegang, demi keamanan dan kenyamanan masyarakat sendiri. Ada kesadaran dari masing-masing orang untuk saling menjaga hubungan baik. Karenanya, di Koto Baru, tradisi gotong royong bakureh ini masih terus terjaga dan berlangsung secara sukarela.
Bundo Kanduang Koto Baru ini juga menyinggung sedikit tradisi bararak (arak-arakan) dalam alek di Koto Baru. Kemudian, karena rasa penasarannya, Volta memancing Tek Erih untuk menjelaskan lebih lanjut. Tek Erih menerangkan bahwa biasanya, bararak di Koto Baru terdiri dari 6 macam bararak, yang ditentukan oleh banyaknya rombongan bararak. Enam macam bararak tersebut adalah arak 7, arak 9,  arak 12, arak 16, arak 24 dan arak 32. Arak 12 dan arak 16 biasanya menunjukkan bahwa alek disertai dengan membantai atau memotong kambing. Sementara arak 24, berarti membantai jawi atau sapi. Arak 32, mengindikasikan alek yang disertai membantai kerbau. Yang ikut dalam bararak adalah mempelai wanita dan kaum ibu yang menjunjung makanan di atas kepalanya menggunakan cawan dan dulang. Misalnya, dalam arak 12, rombongan dibagi ke dalam dua kelompok; delapan orang menjunjung masakan seperti galamai, salamak, samba randang, gulai, kukuh, paniaran pisang[4], siriah (sirih) dan nasi; lalu empat orang lainnya yang berpakaian putih-putih, yang terdiri dari anak daro (mempelai wanita) kakak rarak atau adiak rarak (pendamping anak daro) dan dua orang pembawa cawan yang berisi lauk-pauk dan gulai.
Informasi ini kemudian menarik perhatian saya. Sebab, saat pemberian materi dua hari sebelumnya bersama Bundo Kanduang Tembok, Ibu Suarna, dijelaskan bahwa bararak di Kota Solok sudah mengalami perubahan, yakni tidak lagi berjalan kaki. Orang-orang Solok zaman sekarang, khususnya di Tembok, mulai berarak menggunakan bendi[5], akibat terpengaruh oleh pesta pernikahan anak Presiden Jokowi yang ditayangkan di media arus utama beberapa waktu lalu. Hal berbeda, berdasarkan penjelasan Tek Erih, terjadi di Koto Baru. Orang-orang di Nagari Koto Baru masih berarak secara tradisional.
Selain itu, dalam proses bararak, dijelaskan oleh Tek Erih bahwa kaum ibu secara gotong royong menjunjung bawaannya, sambil mengiringi kedua mempelai berjalan dari rumah Induak Bako (saudara perempuan kandung dari pihak ayah) ke rumah Anak Daro (mempelai wanita). Meski Tek Erih sendiri menyebutkan bahwa aktivitas bararak ini bukan bakureh, saya menilai aktivitas ini tetap bisa disebut sebagai “bakureh” juga. Bakureh yang saya maksud masuk ke dalam konteks “gotong royong”, “bekerja sama” atau “bekerja keras”. Namun demikian, asumsi ini ada baiknya mendapat tinjauan ulang dan pertimbangan lebih lanjut, agar tidak membuat rancu makna “bakureh” itu sendiri.
Sebelum menutup pembicaraan kami, Tek Erih secara tersirat menggambarkan betapa tradisi di daerah Koto Baru mulai luntur. Salah satu contohnya adalah tradisi berbalas pantun dalam kegiatan bakureh. Salah satu penyebabnya adalah generasi terdahulu yang masih melestarikan berbalas pantun dan dendang tersebut sudah tidak aktif pergi bakureh, dan tidak sedikit pula yang sudah meninggal. Menurut Tek Erih, kemungkinan orang yang masih dekat dengan tradisi bapantun adalah mereka yang usianya 70 tahun ke atas. Penyebab lainnya adalah tradisi bapantun, yang menurut asumsi saya merupakan hiburan saat memasak dalam kegiatan bakureh tersebut, tidak pula diturunkan. Menurut saya pribadi, hal ini bisa saja disebabkan oleh kemunculan teknologi radio dan telepon genggam pintar. Teknologi ini memudahkan orang untuk mengakses lagu, seperti lagu-lagu daerah, lagu dangdut,  lagu pop atau lagu rohani, yang bisa dijadikan hiburan.
Tradisi Bararak, Istilah Khusus dan Situasi Sosial di Setiap Alek
Bararak dalam pesta pernikahan di Koto Baru. (Foto: Koleksi Arsip Gubuak Kopi, 2016)
Setelah berdiskusi bersama Ama dan Tek Erih, kami berempat kembali ke Markas Gubuak Kopi. Saya dan Nahal masing-masing sudah menggaris bawahi beberapa poin penting dalam kepala kami, yang kemudian akan kami persentasikan di malam harinya, di hadapan pendekarwati lainnya dan para fasilitator. Hasil persentasi yang saya lakukan mengarahkan saya pada riset lebih lanjut tentang beberapa poin. Yakni, isu berarak dalam konteks terdahulu dan masa kini; bagaimana perkembangan zaman bisa menggeser kebiasaan dalam tradisi bararak? Selain itu, menurut Delva, penting juga untuk melihat situasi sosial di setiap alek, sebab hal tersebut bisa merepresentasikan situasi dan kondisi suatu masyarakat serta kemungkinan besar juga memiliki keterkaitan dengan perkembangan zaman. Situasi sosial yang mulai berubah ini juga bisa terlihat dalam tradisi bararak.
Bararak merupakan rangkaian terakhir dari acara pernikahan, aqiqah, khatam alquran, pengangkatan penghulu (batagak panghulu) atau bahkan upacara kematian. Fungsinya adalah sebagai media pengumuman pada masyarakat luas. Misalnya, pada acara pernikahan, bararak menjadi indikasi bahwa kedua mempelai sudah sah menjadi sepasang suami istri.[6] Umumnya, fungsi bararak di setiap daerah adalah sama, yakni sebagai media pengumuman. Namun, praktiknya berbeda-beda di setiap nagari.
Kata bararak memiliki makna yang sama dengan kata “berarak” dalam Bahasa Indonesia. Akar katanya adalah “arak”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarak didefinisikan sebagai “berjalan bersama-sama secara beriring.”[7] Arak dapat pula diartikan sebagai iringan barisan mengiring sesuatu  seperti tamu agung atau pengantin, sebagaimana yang sudah didefinisikan oleh Usman (2002:54).[8] Dengan demikian, bararak dalam tradisi Minangkabau merupakan aktifitas mengiringi pengantin yang dilakukan masyarakat Minangkabau, sesuai dengan adat istiadat dan budaya masing-masing nagari.
Untuk memahami tradisi bararak ini, saya mendapat kesempatan untuk mewawancarai orangtua Volta di hari kelima observasi, 5 juni 2018, dan beberapa ibu-ibu di Nagari Kinari pada 6 Juni 2018, setelah acara berbuka bersama di Masjid Nurul Hidayah, Sawah Sundi, Nagari Kinari. Pada hari kelima, Saya, Nahal, Volta dan Irvan (anak magang Gubuak Kopi) berangkat ke kampung halaman Volta di Sawah Baruah, Jorong Pamujan, Nagari Kinari, Kecamatan Bukit Sundi, Kabupaten Solok, seusai diskusi bebas di Markas Gubuak Kopi. Di rumahnya, ibu Volta sudah menunggu kedatangan kami karena sebelumnya Volta sudah menghubungi orangtuanya. Setelah dipersilakan masuk dan duduk, kami langsung mewawancari ibu Volta, yang juga kami panggil Ama.
Ama menjelaskan bahwa di Nagari Kinari, tradisi bararak dikenal pula dengan istilah “pai bajamu” (pergi menjamu). Biasanya, bararak ini ditemukan dalam alek, pai mambadak (dalam Bahasa lokal Solok, lebih dikenal dengan “turun mandi”) dan batagak panghulu (pengangkatan penghulu). Dari yang saya tangkap, bararak dalam alek Nagari Kinari adalah aktivitas arak-arakan dari rumah perempuan ke rumah laki-laki. Hal ini sedikit berbeda dari nagari-nagari lainnya di Sumatera Barat. Beberapa pembandingnya adalah bararak di Nagari Tembok, Koto Baru, dan Padang. Ketiga nagari ini memiliki tradisi arak-arakan yang dilakukan dari rumah Induak Bako ke rumah orangtua Anak Daro[9]. Sementara di Nagari Salayo, tradisi bararak-nya sama dengan Nagari Kinari, diarak dari rumah Anak Daro (perempuan) ke rumah Marapulai (laki-laki).[10]
Banyaknya iringan bararak di Nagari Kinari tidak ditentukan dari bantai-membantai hewan ternak, berbeda dengan Nagari Koto Baru (sudah dijelaskan sebelumnya). Di Nagari Kinari, semakin banyak orang yang ikut berarak, semakin bagus arakannya. Sementara, bawaan para kaum ibu dalam bararak alek di Nagari Kinari umumnya terdiri dari kain, samba (lauk pauk; rending, goreng ayam, sambal telur, dll), kue, dan perkakas rumah tangga, seperti piring, kompor, gelas, dan lain sebagainya. Kaum ibu yang menjunjung makanan dan bawaan terdiri dari keluarga dan para tetangga, yang dipimpin oleh seorang ibu yang dituakan, yang disebut Urang Tuo Korong. Banyaknya rombongan arakan dan beragamnya bawaan kaum ibu saat bararak menunjukkan bagaimana pribadi Sipangka dalam hubungan sosialnya.
Bararak dalam pesta pernikahan di Koto Baru. (Foto: Koleksi Arsip Gubuak Kopi, 2016)
Bararak dalam pesta pernikahan di Koto Baru. (Foto: Koleksi Arsip Gubuak Kopi, 2016)
Bararak dalam pesta pernikahan di Koto Baru. (Foto: Koleksi Arsip Gubuak Kopi, 2016)
Bararak dalam pesta pernikahan di Koto Baru. (Foto: Koleksi Arsip Gubuak Kopi, 2016)
Apa juga menjelaskan bagaimana susunan rombongan bararak. Di Nagari Kinari, Anak Daro didampingi oleh Urang Tuo Korong dan kaum ibu pembawa baban[11]. Di belakangnya, Marapulai diiringi oleh pemain musik talempong. Semakin ramai yang mengiringi dan bermain musik, semakin meriah lah arak-arakan tersebut.
Dalam tradisi pai mambadak, bararak dilakukan dari rumah Sipangka ke batang aia (anak sungai). Tradisi pai mambadak merupakan tradisi memandikan anak bayi yang baru berusia satu bulan. Tradisi memandikan ini dilakukan oleh keluarga Induak Bako, turun dari rumah Sipangka diiringi Dukun Kampuang, keluarga dan para tetangga. Bayi digendong oleh Induak Bako, dimandikan oleh Dukun Kampuang di anak sungai. Setelah dimandikan, anak dibalut handuk, lalu diserahkan kembali ke Induak Bako untuk diarak kembali ke rumah. Sebelum memasuki rumah, ada tradisi berbalas pantun yang dilakukan oleh Dukun Kampuang dan Janang[12]. Setelah itu, barulah Induak Bako membawa si Anak masuk ke dalam rumah, dipakaikan pakaiannya oleh Dukun Kampuang dan diberi bedak. Oleh sebab itulah, tradisi memandikan anak ini dikenal dengan pai membadak (pergi membalurkan bedak di sekujur tubuh anak bayi agar wangi).
Saat observasi kedua ini, saya belum mendapatkan informasi terperinci mengenai bararak dalam  tradisi baralek maupun pai mambadak. Namun, sekilas saya menangkap bahwa dalam tradisi pai mambadak ini tidak ada yang dibawa oleh rombongan. Fungsi arak-arakan selain sebagai media pengumuman atas kelahiran anak, juga untuk meramaikan acara dan membahagiakan keluarga Sipangka. Lagi-lagi, Ama dan Apa (ayahnya Volta, yang saat itu baru pulang dari bekerja) menekankan, bahwa banyaknya rombongan bararak ini ditentukan oleh sikap dan hubungan keluarga Sipangka dalam berdunsanak bertetangga.
Pada kesempatan mewawancarai kaum ibu seusai buka bersama di Masjid Nurul Hidaya keesokan harinya, saya mendapat informasi tambahan bahwasanya istilah bakureh bagi masyarakat loka Nagari Kinari bersifat kasar. Orang lebih menggunakan kalimat “pai manolong mamasak” jika ada kegiatan memasak untu alek. Sementara, untuk mengupah orang pun, orang enggan menggunakan kata bakureh, sebab bagi masyarakat setempat, bakureh berarti bekerja dengan tujuan mendapat keuntungan atau “maambiak barang urang”.
Selain itu, saya juga mendapat informasi bahwa bararak umumnya dilakukan oleh kaum menengah ke atas. Sebab, umumnya bararak disertai dengan membantai kambing, sapi atau kerbau. Bararak juga sering diiringi permainan musik dan tari piring.
Dari observasi dua hari tersebut, saya menarik kesimpulan sementara bahwa tradisi bararak cukup beragam, tergantung nagarinya. Selain itu, bararak juga bisa merepresentasikan status sosial seseorang. Informasi terakhir yang saya dapatkan cukup menjelaskan, meskipun tradisi dan adat istiadat di Nagari Kinari masih cukup kuat, perkembangan zaman tetap berhasil masuk. Salah satu buktinya adalah sudah adanya orgen tunggal, serta pemanfaatan media musik sejenis mp3 untuk mendengarkan lagu, yang menurut asumsi saya menggantikan posisi bapantun dan badendang. Namun demikian, tetap diperlukan riset lanjutan mengenai tradisi-tradisi tersebut, serta saya rasa perlu juga mengamati tradisi di kanagarian lain, khususnya di Solok, sebagai usaha membaca lebih mendalam tradisi bakureh dan bararak. Serta untuk memahami kondisi sosial masyarakat Solok, yang mungkin saja bisa terepresentasikan dari keadaan masing-masing kanagarian.
Pengalaman Bakureh bersama masyarakat Nagari Kinari
6 Juni 2018 menjadi hari terakhir observasi awal para pendekarwati. Hari itu, kami mendapat undangan berbuka bersama di Masjid Nurul Hidayah. Sehari sebelumnya, Apa menjelaskan bahwa di Nagari Kinari terdapat tradisi bakureh dalam rangka menyambut buka bersama yang diadakan di beberapa masjid di Kanagarian Kinari. Tradisi buka bersama ini menjadi tradisi tahunan, dan diadakan secara bergilir. Bisa digabungkan pula dengan aqiqah. Seperti yang kami alami sendiri pada hari keenam rangkaian lokakarya Bakureh Project ini.
Di acara buka bersama tersebut, ada tiga anak yang di-aqiqah, dengan diikuti membantai jawi dan kambing. Pagi harinya, seusai subuh, kaum bapak membantai jawi, lalu membersihkannya di batang aiai. Selanjutnya jawi tersebut dikuliti bersama-sama oleh kaum bapak. Sementara kaum ibu mempersiapkan bumbu masak, seperti mengupas dan mengiris bawang, membersihkan cabai merah, dan memetik pucuk bunga papaya, mengupas timun dan lain sebagainya. Pada pagi itu, saya, Nahal, Sefni dan Olva mendapat kesempatan bergabung bersama kaum ibu dan mengalami langsung persiapan memasak tersebut. Saat bumbu-bumbu sambal tersebut hampir selesai dipersiapkan, sebagian ibu akan mempersiapkan tungku, dibantu oleh beberapa orang bapak. Bapak-bapak tersebut membantu menyusun batu tungku yang cukup berat. Selanjutnya, kaum ibu mulai memasak. Pada acara buka bersama itu, ada empat makanan berat yang dibuat, yaitu dendeng, kalio, anyang[13], dan salada mantimun[14]. Sementara cemilannya, seperti Kolak Cukuik-cukuik[15]. Saya, Nahal, Sefni, Olva, Volta, Zekal dan Irvan memang tidak mengikuti kegiatan bakureh sampai selesai. Namun, pagi itu kami mendapatkan informasi yang cukup untuk “membuktikan langsung” bagaimana bakureh itu dalam praktiknya. Kami juga mendengar sendiri apa dan bagaimana para kaum ibu tersebut berbincang-bincang saat kegiatan bakureh.
Kegiatan pagi itu hanya kami ikuti sampai pukul setengah sembilan. Kami kemudian kembali ke Markas Gubuak Kopi untuk mengikuti materi tambahan mengenai bakureh dari sudut pandang praktik seni pertunjukkan. Sorenya, pukul 5 sore, saya, Nahal, Roro, Irvan, Volta dan Cugik berangkat menghadiri berbuka bersama. Kami kembali mendapat kesempatan melihat dan mengalami sendiri salah satu kegiatan “baralek” buka bersama di Nagari Kinari tersebut.
  Kegiatan bakureh yang lebih dikenal memasak basamo ini biasanya selesai menjelang Asar. Selanjutnya, ibu-ibu menyusun masakan di dalam masjid. Menjelang berbuka, cemilan disusun, lalu berbuka bersama berlangsung, dilanjutkan dengan solat Magrib berjamaah. Seusai solat, barulah kaum ibu secara “bakureh” menyendokkan nasi dan lauk-pauk ke dalam piring. Kaum bapak, secara “bakureh” pula berperan sebagai janang, menghidangkan berpiring-piring makanan ke niniak-mamak yang duduk di bagian depan Masjid. Setelah semua kalangan mendapat makanan, saya, Roro, Cugik dan Irvan ikut duduk menikmati makan bersama. Sambil makan, saya mengamati bagaimana kaum ibu tidak berhenti bekerja, merapikan dan menyusun piring-piring bekas makan para hadirin. Begitu pula sebagian kaum bapak, yang saya pikir mungkin panitia acara, turut sibuk membersihkan sisa-sisa makanan dan mengumpulkan sampah dan gelas bekas minum. Selanjutnya, saat saya mencuci tangan, saya melihat kaum ibu bakureh mencuci piring. Saat saya ingin membantu, saya dilarang dan “dimarahi”.
“Ndak ado anak gadih nan mancuci piriang do! Bia induak-induak se. (Tidak ada anak gadis yang mencuci piring! Biarkan ibu-ibu saja),” kata salah seorang ibu yang kemudian menjadi narasumber kami.
Saya pun permisi dari ibu-ibu tersebut dan menunggu di dalam Masjid bersama teman-teman lainnya. Selanjutnya, kami mewawancarai sedikit beberapa ibu, yang antusias memberikan keterangan. Kesan yang kami dapatkan cukup baik dan informasi yang kami butuhkan akhirnya terkumpul. Seusai mewawancara, sekitar pukul delapan, kami berenam kembali ke Markas, untuk kemudian memulai menuliskan semua pelajaran yang kami dapat dari observasi tersebut.
Bagi saya, yang lahir, besar dan tinggal di Pekanbaru, pengalaman bakureh ini sangat berkesan. Sebab, meskipun di Pekanbaru juga ada tradisi seperti ini, kedekatan akan budaya Minang lebih terasa saat mengikuti bakureh dan buka bersama di Nagari Kinari, yang bisa dikatakan masih sangat dekat dengan budaya Minang. Berbeda dengan Pekanbaru yang merupakan kota para perantau. Di tambah lagi, perjalanan yang harus ditempuh saat ke lokasi. Tidak henti-hentinya saya melihat bentangan sawah, diselingi rumah-rumah sederhana. Beberapa di antaranya merupakan bangunan tradisional Minangkabau, yang masih dipergunakan, yang menurut saya sepertinya masih dijadikan tempat tinggal. Hal ini sangat menarik dan menambah wawasan saya secara pribadi. Selain itu juga meningkatkan rasa penasaran tentang tradisi adat istiadat Nagari Kinari, khususnya, dan Solok pada umunya.***
Solok, 7 Juni 2018 Ade Surya Tawalapi
[1] Keluarga sasuku dalam konteks Minangkabau bisa diartikan sebagai keluarga satu klan. Atau bila dicontohkan ke suku Batak, maka “keluarga sasuku” berarti keluarga semarga. Dalam KBBI, kata “suku” yang dimaksud merujuk pada golongan orang sebagai bagian dari kaum yang seketurunan. (aplikasi luring KBBI V) Beberapa contoh suku di Minangkabau antara lain suku Koto, suku Bodi, suku Caniago, dan suku Piliang. Keempatnya adalah suku induk di Minangkabau (https://mozaikminang.wordpress.com/2011/11/15/suku-suku-di-minangkabau/, diakses pada 7 Juni 2018, 15.24 WIB)
[2] Motor dan mobil bisa menjadi indikasi kemajuan suatu daerah atau modernisasi. Sebab, mobil dan motor merupakan alat transportasi modern yang memanfaatkan teknologi mesin. Dalam teori Determinisme Teknologi disebutkan bahwa pada masa Revolusi Industri, kota besar dapat disebut suatu kota industry bisa di dalam kota tersebut terdapat manufaktur dan sistem produksi yang berbasis mesin, termasuk alat transpostasi yang mendukung proses suatu produksi. (Dr. Rod Burgess, Essay : Technological Determinism And Urban Fragmentation : A Critical Analysis, Oxford Brookes Univeristy, dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Determinisme_teknologi, diakses dari 7 Juni 2018, 16.20 WIB)
[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Galamai, diakses pada 7 Juni 2018, 08.38 WIB
[4] Paniaran pisang merupakan sebutan lokal untuk paniaram atau pinyaram, yaitu kue khas Minangkabau yang berbentuk bulat berwarna cokelat kehitaman. Tebuat dari tepung beras putih atau hitam, yang dicampur dengan gula aren (gula merah atau saka) atau gula pasir, dan santan kelapa. Rasanya sangat manis. Pinyaram juga disebut sebagai Kue Cucur Padang. (https://id.wikipedia.org/wiki/Pinyaram, diakses pada 7 Juni 2018, 16.36 WIB)
[5] Kereta beroda dua yang ditarik oleh seekor kuda dengan seorang pengemudi di depannya, dikenal juga dengan istilah dokar atau delman.
[6] Iriani, Zora. Jurnal. “Malam Bakuruang (Berkurung) dalam Perkawinan Alek Gadang di Kenagarian Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok”. Vol. XI. No. 1 Th. 2012. Padang: Humanus. Hlm. 16.
[7] Aplikasi KBBI V (diakses pada 7 Juni 2018, 18.57 WIB).
[8] http://scholar.unand.ac.id/22275/2/2.BAB%20I_2.pdf, diakses pada 7 Juni 2018, 08.38 WIB
[9] Elia, Stephanie. Skripsi. “Pemaknaan Prosesi ‘Baralek’ Nagari Padang”. 2016. Tangerang: Universitas Multimedia Nusantara. Hlm. 138-155.
[10] Iriani, Zora. Jurnal. “Malam Bakuruang (Berkurung) dalam Perkawinan Alek Gadang di Kenagarian Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok”. Vol. XI. No. 1 Th. 2012. Padang: Humanus. Hlm. 16.
[11] Istilah lokal untuk junjungan berisi makanan dan lain sebagainya, yang dibawa kaum ibu di atas kepalanya saat bararak.
[12] Janang di sini merujuk pada pengatur acara tradisi mambadak.
[13] Sejenis urap, terbuat dari pucuk dan bunga papaya dicampur dengan kelapa parut.
[14] Timun diiris tipis-tipis, lalu ditiriskan. Kemudian dicampur dengan bumbu garam, merica, cuka, dan bawang goreng. Salada mantimun juga memiliki keberagaman resep, seperti di rumah saya sendiri, isi salada mantimun terdiri dari mentimun iris, telur rebus dan kentang rebus yang juga diiris-iris, lalu diaduk bersama garam, merica, cuka dan bawang goring. Dilengkapi dengan kerupuk baguak (emping).
[15] Terdiri dari kacang hijau (kacang padi), agar-agar, cincau hitam, dan cendol merah.
Bakureh, Tradisi, dan Perempuan Minangkabau Juni 2018 menjadi awal perjalanan kami bertujuh sebagai pendekarwati Daur Subur, sebuah platform yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi dalam usaha mengarsipkan dan memetakan kultur pertanian di Sumatera Barat.
0 notes
malangtoday-blog · 6 years
Photo
Tumblr media
Siapkan Uang Banyak, Ini 5 Adat Pernikahan Termahal di Indonesia!
MALANGTODAY.NET – Sebagai negeri yang kaya akan budaya, wajar jika pernikahan di Indonesia dilakukan berdasarkan tradisi yang sudah turun-temurun. Namun, upacara pernikahan dan mahar yang disarankan oleh adat daerah biasanya juga memakan biaya yang begitu besar. Alhasil, biaya pernikahan yang sisiapkan oleh calon pengantin juga harus dalam jumlah yang banyak untuk melakukan serangkaian tradisi itu. Memang pernikahan adat mana saja sih yang memakan biaya? Kamu perlu tahu nih biar gak kaget dan bisa mempersiapkannya mulai sekarang. Yuk, langsung saja disimak pernikahan adat di daerah-daerah ini! Baca Juga: Dari Instruktur Yoga Sampai Petani Ganja, Ini 3 Sisi Lain Keluarga Megan Markle!
Adat Banjar, Kalimantan Selatan
[caption id="attachment_237679" align="alignnone" width="696"] pernikahan adat banjar @thebridedept.com[/caption] Pengantin yang ingin menikah menggunakan upacara adat Banjar harus menyiapkan biaya lebih saat memberikan mahar, atau yang dalam Bahasa Banjar disebut Maatar Jujuran. Berdasarkan perhitungan masyarakat setempat, mahar yang dikenakan bisa berupa uang atau emas senilai minimal Rp. 5 juta sampai Rp. 20 juta, dan itu belum termasuk barang-barang lamaran lainnya. Tak hanya itu, besaran mahar juga menentukan banyaknya tamu yang akan diundang. Jika dihitung, calon pengantin yang ingin melaksanakan upacara adat Banjar harus menyiapkan biaya setidaknya Rp. 80 juta. Baca Juga: Suami Selingkuh, Ibu Ini Tega Hajar Anak Balitanya
Adat Batak, Sumatera Utara
[caption id="attachment_237680" align="alignnone" width="696"] pernikahan adat batak @thebridedept.com[/caption] Mahar yang disiapkan oleh calon pengantin berdarah Batak harus sesuai dengan tingginya kualitas mempelai wanita yang dipinang. Dalam adat Batak, proses ini dinamakan Marhata Sinamot atau proses tawar-menawar. Kemudian kedua calon pengantin harus menyiapkan biaya tersendiri untuk melaksanakan Martumpol (prosesi pertunangan) dan Martunggo Raja (akad atau pemberkatan), di luar dari resepsi pernikahan itu. Jadi, total yang harus disiapkan calon pengantin sekitar lebih dari Rp 100 juta. Baca Juga: Jangan Pelit, Ini 5 Hal Besar yang Kamu Dapat Jika Bersedekah Di Bulan Ramadan!
Adat Minangkabau, Padang
[caption id="attachment_237681" align="alignnone" width="696"] pernikahan adat minangkabau @thebridedept.com[/caption] Pada adat Minangkabau, perempuan lah yang harus menyambangi rumah calon mempelai pria. Dalam rangakaian upacara adat, ada yang namanya Malam Bainai oleh mempelai perempuan, yaitu ritual unjuk kasih sayang pada para sesepuh sebelum pernikahan dengan menghias tangan perempuan dengan inai (pacar). Kemudian dilanjutkan dengan Manjapuik Marapulai, yaitu parade atau arak-arakan penjemputan pengantin pria ke tempat pernikahannya. Besaran biaya yang harus disiapkan dapat mencapai angka Rp 150 juta lebih untuk upacara adat Minagkabau. Wah, tentunya perempuan-perempuan Minangkabau harus bekerja lebih keras ya. Baca Juga: Wow, Fitur Whatsapp Terbaru Tekankan Pengguna Grup!
Adat Bugis, Sulawesi Selatan
[caption id="attachment_237682" align="alignnone" width="696"] pernikahan adat bugis (istimewa)[/caption] Suku Bugis memiliki proses persiapan pernikahan yang cukup panjang dan melibatkan banyak orang. Salah satu tradisi adat yang harus dijalani oleh Mappaiseng dan  Mattampa, yakni: penyebaran informasi pada seluruh orang desa mengenai pernikahan yang akan diselenggarakan. Proses ini dilakukan sebagai bentuk permohonan bantun dan doa untuk kelancaran acara. Selain itu, biasanya besaran mahar disesuaikan dengan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh calon mempelai wanita. Tak tanggung-tanggung, kisaran biaya untuk melakukan pernikahan adat Bugis lebih dari Rp. 100 juta.
Adat Sasak, Lombok
[caption id="attachment_237683" align="alignnone" width="696"] pernikahan adat sasak @wisatadilombok.com[/caption] Mahar untuk meminang perempuan di desa Sade, Lombok Tengah ditentukan berdasarkan berbagai faktor, seperti; jauhnya jarak rumah, status kebangsawanan, serta tingkat pendidikan dan pekerjaannya. Kalau perempuan yang dilamar sudah mapan bekerja, mahar yang harus disiapkan dapat berkisar antara Rp 10 juta hingga Rp 250 juta. Duh, itu belum termasuk proses tradisi dan biaya pesta pernikahan, lho. Baca Juga: Wajib Dicoba, Ini 6 Tips Hemat ala Anak Kosan di Bulan Ramadan Kurang lebih itulah pernikahan adat yang membutuhkan biaya yang besar. Jadi kalau kamu sudah naksir berat dengan orang-orang yang berada di 5 daerah di atas lebih baik kamu bekerja keras mulai dari sekarang ya! Tapi kalau kamu memang tidak mampu, ya jangan dipaksakan untuk melakukan pernikahan adat. Toh kamu masih bisa menawarnya dengan melakukan pernikahan yang sederhana. Kalau mungkin calon keluarga menolak pernikahan sederhana yang kamu ajukan, ya sudah mundur saja. Barangkali kalian memang belum berjodoh. Sesederhana itu bukan?
Penulis       : Dian Tri Lestari Editor        : Dian Tri Lestari
Source : https://malangtoday.net/inspirasi/todayhype/siapkan-uang-banyak-ini-5-adat-pernikahan-termahal-di-indonesia/
MalangTODAY
0 notes
produsenbajumuslim · 1 year
Text
Adat Istiadat di Indonesia: Keberagaman Budaya yang Mengagumkan
Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau dan beragam suku bangsa, adalah salah satu negara yang memiliki warisan budaya yang sangat kaya dan beragam. Adat istiadat Indonesia mencerminkan keragaman ini dan menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Artikel ini akan membahas adat istiadat di Indonesia dan ciri khasnya.
Kebhinekaan Suku Bangsa:
Salah satu ciri khas utama adat istiadat Indonesia adalah keberagaman etnis dan suku bangsa. Ada lebih dari 300 suku bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia, masing-masing dengan bahasa, adat istiadat, dan tradisi unik mereka sendiri. Ini menciptakan keragaman budaya yang luar biasa.
Religiusitas yang Kuat:
Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tetapi juga memiliki berbagai agama lainnya seperti Kristen, Hindu, Budha, dan agama tradisional. Adat istiadat sering kali tercermin dalam praktik keagamaan seperti upacara pernikahan, selamatan, dan ritual keagamaan lainnya.
Tumblr media
Upacara Adat:
Setiap suku bangsa memiliki upacara adat yang khas. Misalnya, upacara adat pernikahan di Bali, yang disebut "Ngaben", sangat berbeda dari upacara pernikahan suku Jawa yang disebut "Siraman". Upacara adat ini merupakan bagian penting dalam budaya Indonesia.
Tari dan Musik Tradisional:
Tarian dan musik tradisional juga merupakan bagian integral dari adat istiadat Indonesia. Contohnya adalah tarian Pendet di Bali atau tarian Tor-tor di Sumatera Utara. Musik gamelan yang khas juga sering digunakan dalam berbagai upacara dan pertunjukan tradisional.
Bahasa Daerah:
Selain Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa daerah juga memegang peranan penting dalam adat istiadat. Setiap suku bangsa memiliki bahasa daerah mereka sendiri yang digunakan dalam berbagai konteks sosial dan budaya.
Pakaian Adat:
Pakaian adat Indonesia sangat bervariasi berdasarkan suku bangsa dan wilayah. Contohnya adalah batik yang terkenal di seluruh Indonesia, tetapi juga terdapat pakaian adat khas seperti kebaya di Jawa, sarung di Sumatera, dan ulos di Sumatera Utara.
Makanan Tradisional:
Indonesia dikenal dengan ragam makanan tradisionalnya yang lezat. Makanan seperti rendang dari Minangkabau, soto dari Jawa, dan nasi goreng yang diakui secara internasional adalah contoh dari adat istiadat kuliner yang khas di Indonesia.
Sistem Kekerabatan yang Kompleks:
Adat istiadat Indonesia juga mencakup sistem kekerabatan yang kompleks, dengan istilah-istilah spesifik yang digunakan untuk menggambarkan hubungan keluarga dan sosial. Sistem kekerabatan ini mencerminkan pentingnya keluarga dalam budaya Indonesia.
Budaya Ramah dan Sopan:
Indonesia dikenal dengan budaya yang ramah dan sopan. Salam seperti "Salam Kenal" atau "Selamat Pagi" sangat umum digunakan, bahkan kepada orang yang baru ditemui. Ini mencerminkan nilai-nilai sosial seperti keramahan dan sikap hormat.
Upacara Tradisional:
Upacara-upacara tradisional seperti khitanan (sirkumsisi), mitoni (upacara menjelang kelahiran), dan kenduri (selamatan) masih dilakukan secara luas di masyarakat Indonesia. Ini adalah contoh bagaimana adat istiadat memengaruhi berbagai tahapan kehidupan.
Adat istiadat Indonesia adalah warisan budaya yang sangat berharga dan harus dijaga dan dilestarikan. Ini adalah manifestasi dari keberagaman dan pluralisme budaya di Indonesia. Dengan menjaga dan menghormati adat istiadat ini, kita dapat memperkuat identitas budaya kita dan melestarikannya untuk generasi mendatang.
0 notes
qoriath · 7 years
Text
25 Tahun
Katanya aku sekarang sedang berada disebuah fase yang reasonable banget untuk menikah atau setidaknya mulai serius untuk memikirkan itu.  Kali ini, aku tidak akan berusaha membantah itu, mungkin ada benarnya. Waktu SMA aku memang bercita-cita untuk menikah pada umur 25 tahun, menurut ku itu adalah angka yang cukup dewasa untuk memikul tanggungjawab dengan serius. Hanya saja seiring berjalannya waktu teman-teman seangkatan ku banyak juga yang curi start.
 Sejak menyelesaikan s1, aku sudah mulai membaca, mendengarkan kajian dan apapun terkait pernikahan. Atau istilah teman ku, “sudah mulai membuka hati”. Aku termasuk jenis makhluk yang membutuhkan banyak amunisi sebelum memutuskan sesuatu iya atau tidak. Sebanyak apa ragu yang menghantui fikiran wanita sebelum duduk manis dipelaminan, sebanyak itu pula alasan yang aku temui dan harus aku ingat-ingatkan pada diriku bahwa this is not easy of course and ini adalah ibadah seumur hidup, twenty four seven. Sampai pada suatu pagi aku mendengar sebuah kabar yang membuat jantungku berhenti berdetak, sesaat.
                                                             ***
Cairo, 2014.
               Hari itu aku harus menemani seorang teman seangkatan ku ke KBRI. Kali ini bukan untuk alasan organisasi, hadir upacara, resepsi diplomatic dan sebagainya, tapi untuk meminjam baju adat Minangkabau. Ya, Wiwit akan melangsungkan pernikahannya disini, beberapa hari lagi. Hari itu, Aku, Wiwit dan calon suaminya berjalan melintasi Nil untuk sepasang baju adat dihari yang paling istimewa, mungkin 1x seumur hidup, mungkin juga tidak. Hanya Allah yang tahu.  
               Pada hari H, aku masih ingat bahwa aku yang memakaikan jilbab pengantinnya Iwit. Berbekal kepercayaan, Iwit menyerahkan hari spesialnya pada kami yang nol pengalaman untuk bereksperimen dikepalanya. Hmm.. alhamdulillah semua berjalan lancar pada hari itu.
               Aku meninggalkan Cairo di akhir 2014, seingat aku saat itu Iwit sedang hamil besar. Setelah itu tidak ada lagi kabar yang aku dengar tentangnya. Sampai pagi itu.
                                                  ***
Agustus, 2017.
               Seorang teman meng-share di WA bahwa suami Iwit baru saja meninggal dunia, kecelakaan lalu lintas di Bengkulu. Beliau meninggalkan Iwit dengan 3 orang anak; 1 orang yang lahir di Cairo tiga tahun lalu dan 2 orang anak kembar yang baru berusia 4 bulan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
                                                 ***
25 tahun sekarang usia ku. Juga usia Iwit.Juga usia teman-temanku yang baru saja merayakan pernikahannya atau merayakan kelahiran bayi pertama mereka.  Selama ini yang ter-klasifikasikan oleh ku hanya teman-teman 25 tahun yang sudah menikah dan teman-teman 25 tahun yang belum menikah, atau teman-teman 25 tahun yang sudah bergaji 20jt atau 25 tahun yang masih aja sekolah. Ternyata dengan kehendak Allah, di usia 25 ada yang sudah harus mengakhiri rumahtangga nya, diusia semuda itu.
Entah ini membuat ku semakin takut, atau semakin ber-tawakkal pada jalan yang telah dituliskan-Nya untukku. Apapun itu, mungkin aku harus mulai mengurangi untuk mengukur-ukur kebahagian dan pencapaian hidup dari angka-angka. Tidak ada yang terlalu cepat atau terlalu lambat, tidak ada yang duluan bahagia atau terakhir sengsara. Karna setiap kita sedang menjalani alur berbeda untuk kemudian bertemu di syurga, inshallah. Apapun itu.
Apapun itu, Allah, please do not leave me~  
0 notes
poetrafoto · 3 years
Photo
Tumblr media
(via Traditional Padang Wedding Photography Tradisi Upacara Pernikahan Pengantin Adat Minangkabau Ririn+Firman)  😍 Traditional Padang Wedding Photography Tradisi Upacara Pernikahan Pengantin Adat Minangkabau Ririn+Firman 
https://poetrafoto.wordpress.com/traditional-padang-wedding-photography-tradisi-upacara-pernikahan-pengantin-adat-minangkabau-ririnfirman/ 
#TraditionalWedding #TraditionalPadangWedding #PadangWedding #TraditionalWeddingPhotography #PadangWeddingPhotography #WeddingPhotographyPadang #AdatPadang #AdatMinang #AdatMinangkabau #WeddingPhotography #WeddingPadang #WeddingAdatPadang #WeddingMinang #WeddingAdatMinang #WeddingMinangkabau #WeddingAdatMinangkabau #TradisiPernikahanPadang #TradisiPernikahanAdatPadang #TradisiPernikahanMinang #TradisiPernikahanMinangkabau #TradisiPernikahanAdatMinang #TradisiPernikahanAdatMinangkabau #UpacaraPernikahanPadang #UpacaraPernikahanAdatPadang #UpacaraPernikahanMinang #UpacaraPernikahanMinangkabau #UpacaraPernikahanAdatMinang #UpacaraPernikahanAdatMinangkabau #PengantinPadang #PengantinMinang
0 notes