#terpesona
Explore tagged Tumblr posts
baliportalnews · 1 year ago
Text
Jegeg Bulan Segera Merilis Album Perdana di November 2023
Tumblr media
BALIPORTALNEWS.COM, DENPASAR - Ari Bulan Tribuana Prameswari atau akrab disapa Jegeg Bulan, musisi yang terkenal dengan singlenya 'Care Bebek' diinformasikan akan segera merilis album perdana pada November 2023 ini, Kamis (19/10/2023). Album terbaru bertajuk 'New Spectrum 21' tersebut, akan diisi sepuluh lagu diantaranya, Boom Shakala Ka Boom, Cintaku Sing Main-main, Care Siap Pengine, Sehat 5 Bergoyang, Meong Garong, Terpesona, dan lainnya. "Saya kembali hadir menggebrak blantika Musik Nasional dengan mengeluarkan album yang berjudul 'New Spectrum 21', dengan genre musik baru serta balutan instrument musik DJ, EDM, dan koplo menampilkan suasana lagu dan musik yang lebih fresh, menggoda untuk tetap bisa bergoyang dan menikmati dentuman bass diiringi dengan kendang koplo," ungkap Jegeg didampingi sang ayah sebagai produsernya, Bagus Agung Shri Aji Nathaswara Tumenggung. Di Album Perdananya ini, Jegeg Bulan bekerja sama dengan Yongki Perdana selaku founder YMM Management sebagai Art Director dan Chairman Committee, serta Hary Wijaya sebagai Makeup Artist Jegeg Bulan pada peluncuran albumnya kali ini. Seluruh lagu yang dinyanyikan Jegeg Bulan dalam album tersebut ditulis dan diproduseri oleh sang ayah, Bagus Agung Shri Aji Nathaswara Tumenggung atau yang akrab disapa Ajik Natha. Selain dapat dinikmati melalui platform digital, album baru tersebut juga dicetak dalam bentuk Compact Disc (CD). Hanya saja, CD album dicetak terbatas 1.000 keping dan tidak diperjualbelikan. CD tersebut akan dijadikan sebagai hadiah di peluncuran album perdana Jegeg Bulan pada 3 November 2023 mendatang. (aar/bpn) Read the full article
0 notes
airplane0mode · 2 years ago
Text
Segala puji bagi Tuhan, yang mengetahui isi hati dalam keadaan diam sekalipun, yang mengetahui senangnya hati ketika melihat matamu.
Bagaimana aku bisa tidak terpikat pada mata itu, ketika tiap lirikannya menggambarkan begitu banyak ekspresi, warna, cerita, keindahan yang terbaca.
Bagaimana mata itu menarikku kepada jurang cinta sesaat yang melenakan. bagaimana bisa aku tidak terlena ?
Aku membawa hati bersih kemudian ternodai hanya karena mata yang begitu anggun seketika menyelam begitu dalam, lalu aku merasa takut.
Aku takut cinta ini mendominasi diri dan mengontrol prihal fisik dan psikis yang awalnya berada ditahap awal aku jatuh.
Bantu aku untuk bertindak sewajarnya jatuh cinta.
Bantu aku untuk tidak terobsesi pada matamu.
Bantu aku untuk menempatkan posisi cinta ini di dasar paling bawah tingkatan mencintai.
Bantu aku untuk sekedar bukan selebih.
0 notes
perusahaanpaketoutbound · 9 days ago
Text
Vendor Outbound Terbaik untuk Kegiatan Outdoor Tak Terlupakan yang Akan Membuat Anda Terpesona di Batu Malang, Hub 0819-4343-1484
Tumblr media
Hub 0819-4343-1484, Setiap orang pasti ingin memiliki pengalaman yang menyegarkan dan mengesankan di luar rutinitas sehari-hari. Salah satu cara terbaik untuk mencapainya adalah dengan mengadakan kegiatan outbound yang penuh tantangan dan petualangan. Kegiatan ini tidak hanya menyenangkan tetapi juga dapat mempererat hubungan antara peserta, meningkatkan kemampuan bekerja sama, dan membangun semangat tim. Agar kegiatan outbound Anda berjalan dengan sukses dan memberikan pengalaman yang tak terlupakan, penting untuk memilih Vendor Outbound terbaik untuk kegiatan outdoor tak terlupakan. Dengan memilih vendor yang tepat, Anda dapat merasakan sensasi petualangan seru yang penuh tantangan dan keseruan.
Mengapa Kegiatan Outbound Penting?
Kegiatan outbound memberikan kesempatan bagi peserta untuk terlibat dalam aktivitas fisik yang menguji ketangkasan, kecerdasan, dan kekompakan tim. Tidak hanya itu, kegiatan ini juga dapat meningkatkan komunikasi, kepercayaan diri, dan kepemimpinan. Oleh karena itu, banyak perusahaan, komunitas, dan keluarga memilih outbound sebagai pilihan untuk menghabiskan waktu bersama.
Selain itu, kegiatan outbound memberikan kesempatan untuk keluar dari zona nyaman dan menjalin hubungan lebih erat dengan orang lain. Saat menjalani tantangan bersama, ikatan antara peserta akan semakin kuat. Namun, untuk memastikan kegiatan berjalan dengan lancar dan menyenangkan, pemilihan vendor outbound yang tepat sangatlah penting. Temukan Vendor Outbound terbaik untuk kegiatan outdoor tak terlupakan dan nikmati petualangan seru yang penuh tantangan dengan memperhatikan beberapa faktor utama yang dapat mempengaruhi keberhasilan acara.
Kriteria dalam Memilih Vendor Outbound yang Tepat
Memilih vendor outbound bukanlah tugas yang sederhana, karena banyaknya pilihan yang tersedia. Namun, ada beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan agar Anda dapat memilih Vendor Outbound terbaik untuk kegiatan outdoor tak terlupakan yang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan acara Anda.
Pengalaman dan Reputasi Vendor Salah satu faktor terpenting dalam memilih vendor outbound adalah pengalaman mereka. Vendor yang berpengalaman akan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang berbagai jenis aktivitas outbound yang dapat disesuaikan dengan tujuan Anda. Pengalaman ini juga akan memastikan bahwa mereka dapat menangani acara dalam berbagai situasi dan memberikan solusi terbaik jika ada kendala selama kegiatan berlangsung.
Varian Aktivitas yang Ditawarkan Setiap kelompok atau organisasi memiliki tujuan yang berbeda dalam mengadakan kegiatan outbound. Beberapa lebih memilih tantangan fisik yang ekstrem, sementara yang lain lebih tertarik pada kegiatan yang mengasah kreativitas atau membangun tim. Oleh karena itu, pastikan vendor yang Anda pilih menawarkan berbagai jenis aktivitas yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan Anda. Aktivitas seperti flying fox, paintball, high rope course, hingga team building games adalah contoh kegiatan yang dapat membantu meningkatkan kerjasama, komunikasi, dan kepercayaan antar peserta.
Keamanan dan Fasilitas Keamanan adalah faktor yang tidak bisa dianggap remeh dalam kegiatan outbound. Pastikan bahwa vendor yang Anda pilih memiliki peralatan yang memenuhi standar keselamatan yang tinggi. Selain itu, vendor yang baik juga akan menyediakan fasilitas yang memadai, seperti area yang luas, ruang ganti, dan akses yang mudah dijangkau. Anda juga perlu memastikan bahwa seluruh kegiatan dilakukan di lokasi yang aman dan sesuai untuk setiap jenis aktivitas yang direncanakan.
Instruktur yang Profesional dan Terlatih Keberhasilan kegiatan outbound sangat bergantung pada instruktur yang memandu jalannya acara. Instruktur yang profesional akan memberikan arahan yang jelas dan memastikan bahwa semua peserta dapat menikmati kegiatan dengan aman. Mereka juga akan membantu peserta untuk tetap termotivasi dan menjaga semangat sepanjang acara berlangsung. Pastikan vendor yang Anda pilih memiliki instruktur yang berpengalaman dan mampu mengatasi berbagai situasi yang mungkin muncul selama kegiatan.
Harga yang Wajar dan Transparan Biaya adalah pertimbangan penting dalam memilih vendor outbound. Setiap vendor menawarkan harga yang berbeda-beda, tergantung pada jenis aktivitas, lokasi, dan jumlah peserta. Namun, harga yang ditawarkan harus sebanding dengan kualitas yang diberikan. Temukan Vendor Outbound terbaik untuk kegiatan outdoor tak terlupakan yang menawarkan harga yang wajar, tanpa biaya tersembunyi, dan sesuai dengan anggaran yang Anda miliki.
Aktivitas Outbound yang Dapat Meningkatkan Pengalaman Anda
Setelah memilih vendor yang tepat, langkah selanjutnya adalah menikmati berbagai aktivitas outbound yang menarik dan penuh tantangan. Aktivitas ini tidak hanya mengasah fisik, tetapi juga memperkuat ikatan antar peserta. Berikut adalah beberapa contoh aktivitas outbound yang bisa Anda nikmati bersama kelompok Anda:
Flying Fox Flying fox adalah aktivitas outbound yang sangat populer di mana peserta akan meluncur di atas tali dengan ketinggian tertentu. Aktivitas ini sangat menantang dan memberikan sensasi tersendiri bagi setiap peserta. Selain itu, flying fox juga menguji keberanian dan rasa percaya diri, serta memberikan pengalaman yang tak terlupakan.
High Rope Course Aktivitas ini menguji kekompakan tim, serta keberanian peserta untuk menghadapi rintangan yang terletak di ketinggian. Dalam high rope course, setiap peserta harus bekerja sama untuk menyelesaikan tantangan yang ada, yang membuat aktivitas ini sangat efektif dalam meningkatkan kerjasama dan komunikasi dalam tim.
Paintball Paintball adalah permainan strategi di mana dua tim saling berkompetisi untuk menyelesaikan misi tertentu. Aktivitas ini sangat mengasyikkan dan menguji kemampuan taktis serta kerjasama antar peserta. Selain itu, paintball juga meningkatkan ketangkasan dan fokus, yang membuatnya menjadi pilihan populer dalam kegiatan outbound.
Team Building Games Berbagai permainan yang dirancang khusus untuk meningkatkan keterampilan komunikasi, kerjasama, dan kepemimpinan. Dalam permainan ini, peserta diharapkan untuk bekerja sama dalam menyelesaikan tantangan yang ada. Aktivitas ini dapat disesuaikan dengan tujuan acara dan sangat efektif dalam mempererat hubungan antar peserta.
Setiap aktivitas yang ditawarkan oleh vendor outbound yang baik bertujuan untuk menciptakan pengalaman yang menyenangkan dan penuh makna. Temukan Vendor Outbound terbaik untuk kegiatan outdoor tak terlupakan dan pastikan semua peserta mendapatkan pengalaman yang berkesan dan penuh tantangan.
Menghubungi Vendor Outbound Terbaik
Untuk memulai merencanakan kegiatan outbound Anda, langkah pertama adalah menghubungi vendor yang tepat. Dengan menghubungi vendor secara langsung, Anda dapat mendiskusikan detail acara yang Anda inginkan dan mendapatkan rekomendasi mengenai jenis aktivitas yang sesuai dengan kelompok Anda. Hubungi 0819-4343-1484 untuk informasi lebih lanjut mengenai paket outbound yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan Anda.
Tumblr media
Kesimpulan
Kegiatan outbound adalah cara yang efektif untuk menciptakan pengalaman yang menyegarkan, mempererat hubungan antar peserta, serta meningkatkan kemampuan kerja sama tim. Dengan memilih Vendor Outbound terbaik untuk kegiatan outdoor tak terlupakan, Anda dapat memastikan acara yang tidak hanya seru tetapi juga mendidik dan bermanfaat. Pastikan Anda memilih vendor yang berpengalaman, menyediakan berbagai pilihan aktivitas yang menarik, serta memiliki instruktur dan fasilitas yang berkualitas. Kegiatan outbound yang tepat akan memberikan kenangan yang tidak akan terlupakan dan mempererat hubungan antar peserta.
Tumblr media
FAQ
Apa itu kegiatan outbound? Kegiatan outbound adalah serangkaian aktivitas yang dilakukan di luar ruangan dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan kerja sama tim, komunikasi, dan kepemimpinan melalui tantangan fisik dan mental.
Mengapa memilih kegiatan outbound untuk acara kantor atau keluarga? Kegiatan outbound efektif untuk mempererat hubungan antar individu, meningkatkan semangat tim, dan memberikan pengalaman yang menyenangkan melalui tantangan bersama.
Berapa biaya untuk mengadakan acara outbound? Biaya kegiatan outbound tergantung pada jenis aktivitas, jumlah peserta, dan durasi acara. Pastikan Anda memilih vendor yang menawarkan harga sesuai anggaran Anda.
Bagaimana cara memilih vendor outbound yang tepat? Pilih vendor dengan pengalaman yang baik, berbagai pilihan aktivitas yang menarik, serta instruktur dan fasilitas yang memadai untuk memastikan acara berjalan lancar dan menyenangkan.
Apakah kegiatan outbound hanya untuk perusahaan? Tidak, kegiatan outbound juga cocok untuk keluarga, teman, atau kelompok komunitas lainnya yang ingin mempererat hubungan dan menikmati waktu berkualitas bersama.
Hubungi kami
NO WA : 0819-4343-1484
Link Whatsapp: https://wa.me/6281943431484
Maulida Islami Putri
( SMKN 1 MALANG)
0 notes
nonaabuabu · 2 months ago
Text
Surat Untukmu
Mas!
Ini surat pertamaku untukmu, dan mungkin akan menjadi satu-satunya.
Aku sudah tahu siapa kamu, seseorang yang kunanti hadirnya bertahun-tahun sudah. Yang belum aku tahu adalah, apakah kelak Tuhan berbaik hati menali kita dalam kisah yang kuinginkan.
Saat pertama kali kau hadir di hidupku, aku begitu terganggu. Kau terlalu banyak bicara, berkomentar dan hal-hal tidak menyenangkan lainnya. Tapi mungkin karena itu aku jadi memperhatikan, sambil gusar dalam dada “siapa sih dia?”
Kesalahanku, seharusnya tak mencari tahu. Seharusnya aku tetap tak melihat pada kedalaman hidupmu. Tidak butuh waktu lama untuk membuatku terpesona dengan bagaimana kau berpikir, bicara, bersikap juga tertawa. Meski aku tahu seberapa biasa bagimu menjadi demikian, dan aku tahu pula ada yang harus aku hentikan sebab tahu kemana muaranya.
Tapi Mas, kenapa kau tetap menyapa dengan senyum sumringah? Tak bisakah kau menduga bahwa ada jiwa kesepian yang kesenangan dengan apa yang kau lakukan? Tak bisakah kau menganggap aku tiada seperti ribuan jiwa lainnya?
Aku tak ingin menjadikanmu tokoh dalam sajak yang berisi makian. Aku tak mau Mas.
Kamu biarlah kata yang selalu aku baca, biarlah gambar yang selalu kulihat, biarlah suara yang selalu kudengar. Itu kenapa aku bentangkan ribuan jarak, menutup semua kemungkinan, agar aku tak mati dalam angan.
Namun jika aku boleh meminta, Mas, berhentilah menjadi laki-laki yang kuinginkan. Aku lelah mempertanyakan bagaimana engkau yang begitu jauh dari defenisiku soal cinta hadir sebagai manfestasi cinta itu sendiri.
Sudah kulihat hidupmu yang jauh dari hingar bingar hidupku. Sudah aku tahu ketidakmungkinan itu. Bisakah kita untuk tak pernah bersinggungan lagi, Mas?
Bahkan jika di kehidupan selanjutnya, mari untuk tak bertemu di kebetulan mana saja. Aku tak ingin meminta kemustahilan kepada Tuhan. Sebab aku tahu, bukan perempuan seperti aku yang kau inginkan.
93 notes · View notes
mutiarafirdaus · 4 months ago
Text
Ikhtiar Menemukan Pendamping Hidup (2)
"Ya Allah, aku memang belum baik. Masih banyak kekurangannya dan malu untuk meminta pasangan yang shalih dan mencintai Quran. Tapi orang tuaku, mereka adalah orang yang baik dan mencintai Quran. Ya Rabb. Kalau memang aku belum pantas mendapatkan suami seperti itu, izinkan orangtuaku mendapatkan menantu seperti itu ya."
Itu doa seorang teman yang dia ceritakan kepadaku. Berhubung dia anak perempuan satu-satunya di keluarga, jadi dari narasi doa seperti itu sudah tersirat maksudnya ke Allah ialah menantu untuk orangtua yang tidak lain akan menjadi suaminya. 😂
Tidak berhenti disitu saja, tapi dia dan ibunya serius untuk merayu Allah agar dihadirkan laki laki shalih dan cinta Quran yang kelak akan menjadi suami dan menantu di rumah tersebut. Karena hajat yang diminta besar, maka wasilah menuju kesana juga tidak main-main. Mereka berdua, tilawah 8 Juz sekali duduk. (Buatku itu sungguh tidak main-main 😂)
Dengan izin Allah, datanglah laki laki shalih, hafizh Quran, pejabat kampus, yang ketika dia menyebarkan undangan, orang-orang terkejut. Haah kamu nikah sama si itu? Masya Allah!!
Padahal tidak pernah berinteraksi sebelumnya dengan calon suami meski satu kampus. Pada usia yang sekeliling sepupunya sudah menyumbang cucu untuk nenek. Masa penantian mencari suami sebelumnya ia putuskan untuk hijrah ke luar pulau selepas sarjana, mengajar di sebuah pesantren selama setahun lalu hijrah lagi ke kota Bandung, melanjutkan studi S2 di ITB. Disana pun melanjutkan kembali hafalan Quran di lingkungan yang mendukung.
Pada usia tersebut, galaunya pasti ada, tapi alih-alih mencoba peruntungan dengan mendekat ke laki-laki yang dianggap berpotensi, atau mengeluh di sana sini, ia lebih memilih mengadukan semua kepada Illahi dengan terus mengasah kualitas diri.
Teringat lagi kisah tiga laki-laki yang terperangkap di dalam gua. Juga ayat di Quran yang membolehkan kita untuk mencari wasilah. Dan sebaik-baiknya wasilah ialah amal shalih.
Jadi, mungkin bisa dicoba sebagai ikhtiar. Mengingat kembali suatu amalan yang sudah pernah kita kerjakan dan kita ingat dalam pengerjaannya, tak ada tersirat nafsu riya disana. Lalu memohon kepada Allah. Ya Rabb, seandainya Engkau ridha aku pernah melakukan hal ini atau hal itu tolong kirimkan pasangan yang shalih untukku, juga menantu terbaik untuk orangtua, dan ipar yang baik untuk kakak adikku.
Namun karena kualitas diri kita jauh dibandingkan tiga laki-laki yang terperangkap dalam gua, doa itu jangan dituntut untuk segera pengabulannya. Terus diucapkan, hingga sampai di titik dimana kita terperanjat syukur karena terpesona dengan indahnya skenario hidup yang Allah ciptakan. Dan tak henti memantaskan diri, untuk senantiasa bertahan menyusuri jalan hidup yang baik meski tak menjadi yang paling unggul disana. Menjadi yang biasa saja tak apa, asal istiqomah senantiasa bertahta.
23 notes · View notes
gufxjvb · 17 days ago
Text
Blog Archives
Mami Sedap
Dec 9
Posted by mrselampit
Hallo semua, namaku Boby, aku akan menceritakan pengalaman seks-ku yang luar biasa yang pernah kurasakan dan kualami. Sekarang aku kuliah di salah satu PTS terkenal di kedah, dan tinggal di rumah di kawasan elite di keah utara dengan ibu, adik dan pembatuku. Sejak mula lagi aku dan adikku tinggal bersama nenekku di kedah, sementara ibu dan ayahku tinggal di KL karena memang ayah mempunyai perusahaan besar di wilayah Persekutuan, dan sejak nenek meninggal ibu kemudian tinggal lagi bersama kami, sedangkan ayah hanya pulang sebulan atau dua bulan sekali seperti biasanya sebelum nenekku meninggal. Sebenarnya kami diajak ibu dan ayahku untuk tinggal di KL, namun adik dan aku tidak mau meninggalkan Kedah karena kami sangat suka tinggal di tempat kami lahir.
Saat itu aku baru lulus SPM dan sedang menunggu pengumuman hasil periksaan di Kedah, dan karena sehari-hari tidak ada kerjaan, ibu yang saat itu sudah tinggal bersama kami, meminta aku untuk selalu menjemputnya dari tempat aerobik dan senam setiap malam. Ibuku memang pandai sekali menjaga tubuhnya dengan senamerobik dan renang, sehingga walaupun usianya hampir 39 tahun, ibuku masih terlihat seperti wanita 27 tahunan dengan tubuh yang indah dengan kulit putih mulus dan dada yang masih terlihat padat dan berisi walaupun di wajahnya sudah terlihat sedikit kerutan, tetapi akan hilang bila ibu berdandan hingga kemudian terlihat seperti wanita 27 tahunan.
Aku mulai memperhatikan ibuku karena setiap aku jemput dari tempat senamnya ibuku tidak mengganti pakaian senamnya dulu setelah selesai dan langsung pulang bersamaku, dan baru mandi dan berganti pakaian setelah kami sampai di rumah. Karena setiap hari melihat ibuku dengan dandanan seksinya, otak ku mulai membayangkan hal-hal aneh tentang tubuh ibuku. Bagaimana tidak, aku melihat ibuku yang selalu memakai pakaian senam ketat dengan payudara yang indah menonjol dan pantat yang masih padat berisi.
Suatu hari, saat aku telat menjemput ibuku di tempat senamnya, aku tidak menemukan ibuku di tempat biasanya dia senam, dan setelah aku tanyakan kepada teman ibuku, dia bilang ibuku sedang di sauna dan bilang agar aku menunggu di tempat sauna yang tidak jauh dari ruangan senam. Aku pun beegegas menuju ruangan sauna karana aku tidak mau ibuku menunggu terlalu lama. Saat sampai di sana, wow… aku melihat ibuku baru keluar dari ruangan hanya dengan memakai handuk yang hanya menutupi sedikit tubuhnya dengan melilitkan handuk yang menutupi dada perut dan sedkit pahanya, sehingga paha ibu yang mulus dan seksi itu terlihat dengan jelas olehku.
Aku hanya terdiam dan menelan ludah saat ibuku menghanmpiriku dan bilang agar aku menunggu sebentar. Kemudian ibuku membalikkan tubuhnya dan kemudian terlihatlah goyangan pinggul ibuku saat dia berjalan menuju ruangan ganti pakaian. Tanpa sadar krmaluanku mengeras saat kejadian tadi berlangsung. Aku berani bertaruh pasti semua laki-laki akan terpesona dan terangsang saat melihat ibuku dengan hanya memakai tuala yang dililitkan di tubuhnya.
Di dalam perjalanan, aku hanya diam dan sesekali melirik ibuku yang duduk di sampingku, dan aku melihat dengan jelas goyangan payudara ibuku saat mobil bergetar bila sedang melalui jalan yang bergelombang atau polisi tidur. Ibuku berpakaian biasa dengan jeans yang agak ketat dan seluar panjang ketat, dan setiap aku melirik ke paha ibu terbayang lagi saat aku melihat paha ibuku yang putih mulus tadi di tempat mandi. “Bob… kenapa kamu diem aja, dan kenapa seluar kamu sayang?” tanya ibuku mengejiutkan aku yang agak melamun membayangkan tubuh ibuku. “tiada apa,” jawabku gugup. Kami pun sampai di rumah agak malam karena aku telat menjemput ibuku. Sesampainya di rumah, ibu langsung masuk ke kamarnya dan sebelum dia masuk ke kamarnya, ibu mencium pipiku dan bilang selamat malam. Kemudian dia masuk ke kamarnya dan tidur.
Malam itu aku tidak bisa tidur membayangkan tubuh ibuku, gila pikirku dalam hati dia ibuku, tapi… akh.. masa bodoh pikirku lagi. Aku mencoba onani untuk “menidurkan burung”-ku yang berontak minta masuk ke sarang nya. Gila pikirku lagi. Mau mencari ewek malam boleh saja, tapi saat itu aku menginginkan ibuku. Perlahan-lahan aku keluar kamar dan berjalan menuju kamar ibuku di lantai bawah. Adik perempuanku dan pembantuku sudah tidur, karena saat itu jam satu malam. Otakku sudah mengatakan aku harus merasakan tubuh ibuku, nafsuku sudah puncak saat aku berdiri di depan pintu kamar ibuku. Kuputar kenop pintu nya, aku melihat ibuku tidur terlentang sangat menantang. Ibuku tidur hanya menggunakan tuala dan underware yang longgar.
Aku berjalan mendekati ibuku yang tidur nyenyak, aku diam sesaat di sebelah ranjangnya dan memperhatikan ibuku yang tidur dengan posisi menantang. Kemaluanku sudah sangat keras dan meronta ingin keluar dari celana pendek yang kupakai.
Dengan gemetar aku naik ke ranjang ibu, dan mencoba membelai paha ibuku yang putih mulus dan sangat seksi, dengan tangan bergetar aku membelai dan menelusuri paha ibuku dan terus naik ke atas. Kemaluanku sudah sangat keras dan terasa sakit karena batang kemaluanku terjepit oleh spendaku. Aku kemudian membuka spendaku dan keluarlah “burung perkasa”-ku yang sudah sangat keras. Aku kemudian mencoba mencium leher dan bibir ibuku. Aku mencoba meremas payudara ibuku yang besar dan montok, aku rememas payudara ibu dengan perlahan. Takut kalau ia bangun, tapi karena nafsuku sudah puncak aku tidak mengontrol remasan tanganku ke payudara ibuku.
Aku kemudian mengocok batang kemaluanku sambil meremas payudara ibu, dan karena remasanku yang terlalu bernafsu ibu terbangun, “Bobi… kamu… apa yang kamu lakukan, aku ibumu sayang…” sahut ibuku dengan suara pelan aku kaget setengah mati, tapi anehnya batang kemaluan masih keras dan tidak lemas. Aku takut dan malah makin nekat, terlanjur pikirku, aku langsung mencium leher ibuku dengan bernafsu sambil terus meremas payudara ibuku.
Dalam pikiranku hanya ada dua kemungkinan, menyetubuhi ibuku kemudian aku kabur atau dia membunuhku. “Cukup Bobi.. hentikan sayang… akh…” kata ibuku. Tapi yang membuatku aneh ibu tidak sama sekali menolak dan berontak. Malah ibu membiarkan bibirnya kucium dengan bebas dan malah mendesah saat kuhisap leher dan di belakang telinganya, dan aku merasa burungku yang dari tadi sudah keras seperti ada yang menekannya, dan ternyata itu adalah paha ibuku yang mulus.
“Sayang kalau kamu mau…cakap aja terus terang.. Mami boleh kasi…” kata ibuku di antara desahannya. Aku terkejut setengah mati, berarti ibuku sangat suka aku perlakukan seperti ini. Aku kemudian melepaskan ciumanku di lehernya dan kemudian berlutut di sebelah ibuku yang masih berbaring. Batang kemaluanku sudah sangat keras dan ternyata ibu sangat suka dengan ukuran batang kemaluanku, ibu tersenyum bangga melihat batang kemaluanku yang sudah maksimal kerasnya. Ukuran batang kemaluanku 15 cm dengan diameter kira-kira 4 cm.
Aku masih dengan gemas meremas payudara ibu yang montok dan masih terasa padat. Aku membuka tuala yang ibu pakai dan kemudian sambil meremas payudara ibu aku berusaha membuka bra yang ibu pakai, dan satelah bra yang ibuku kenakan terlepas, kulihat payudara ibu yang besar dan masih kencang untuk wanita seumurnya. Dengan ganas kuremas payudara ibu, sedangkan ibu hanya mendesah keenakan dan menjerit kecil saat kugigit kecil puting payudara ibu. Kuhisap puting payudara ibu dengan kuat seperti ketika aku masih bayi. Aku menghisap payudara ibu sambil kuremas-remas hingga puting payudara ibu agak memerah karena kuhisap.
Payudara ibuku masih sangat enak untuk diremas karena ukurannya yang besar dan masih kencang dan padat. “Bob kamu dulu juga ngisep susu ibu juga kaya gini…” kata ibuku sambil dia merem-melek karena keenakan puting susunya kuhisap dan memainkannya dengan lidahku. Ibu menaikkan pinggulnya saat kutarik celana pendeknya. Aku melihat seluar dalam yang ibu kenakan sudah basah. Aku kemudian mencium seluar dalam ibuku tepat di atas kemaluan ibu dan meremasnya.
Dengan cepat kutarik seluar dalam ibu dan melemparkannya ke sisi ranjang, dan terlihatlah olehku pemandangan yang sangat indah. Lubang kemaluan ibuku ditumbuhi bulu halus yang tidak terlalu lebat, hingga garis lubang kemaluan ibuku terlihat. Kubuka paha ibuku lebar, aku tidak kuasa melihat pemandangan indah itu dan dengan naluri laki-laki kucium dan kuhisap lubang dimana aku lahir 18 tahun lalu. Kujilat kliteris ibuku yang membuat ibuku bergetar dan mendesah dengan kuat. Lidahku bermain di lubang senggama ibuku, dan ibuku malah menekan kepalaku dengan tangannya agar aku makin tenggelam di dalam selangkangannya.
Cairan lubang kemaluan ibu kuhisap dan kujilat yang membuat ibuku makin tak tahan dengan perlakuanku, dia mengelinjang hebat, bergetar dan kemudian mengejang sambil menengadah dan berteriak. Aku merasakan ada cairan kental yang keluar dari dalam lubang kemaluan ibu, dan aku tahu ibu baru orgasme. Kuhisap semua cairan lubang kemaluan ibuku hingga kering. Ibu terlihat sangat lelah. Aku kemudian bangun dan dengan suara pelan karena kelelahan ibu bilang, “Sayang sini Mami isep kontolmu,” dan tanpa di komando dua kali aku kemudian duduk di sebalah wajah ibuku, dan kemudian dengan perlahan mulut ibuku mendekat ke burungku yang sudah sangat keras.
Ibuku membelai batang kemaluanku tapi dia tidak memasukkan batang kemaluanku ke mulutnya. Padahal jarak antara mulut ibuku dengan batang kemaluanku hanya tinggal beberapa centi saja. Aku sudah tidak tahan lagi dan kemudian kudorong kepala ibuku dan dengan leluasa batang kemaluanku masuk ke mulut ibu. dengan cepat dan liar ibuku mengocok batang kemaluanku di dalam mulutnya. Aku sudah tidak tahan lagi, kenikmatan yang kurasakan sangat luar biasa dan tidak dapat kulukiskan dengan kata-kata, dan akhirnya aku sudah tidak tahan lagi dan… “Cret.. cret.. crett..” maniku kusemprotlkan di dalam mulut ibuku.
Ibu kemudian memuntahkannya dan hanya yang sedikiti dia telan, dan masih dengan liar ibuku membersihkan batang kemaluanku dari sisa-sisa air maniku yang menetes di batang kejantananku. Ibuku tersenyum dan kemudian kembali berbaring sambil membuka pahanya lebar-lebar. Ibuku tersenyum saat melihat batang kemaluanku yang masih dengan gagahnya berdiri, dan seperti sudah tidak sabar untuk masuk ke dalam sarangnya yang hangat. Aku kemudian mengambil posisi di antara kedua paha ibuku, batang kemaluanku terasa berdenyut saat ibu dengan lembut membelai dan meremas batang kemaluanku yang sudah sangat keras.
Dengan tangan yang bergetar kuusap permukaan lubang kemaluan ibuku yang dipenuhi bulu-bulu halus dan sisa cairan lubang kemaluan yang kuhisap tadi masih membasahi bibir lubang kemaluan ibuku yang terlihat sangat hangat dan menantang. “Ayo dong Sayang, kamu kan tahu dimana tempatnya…” kata ibuku pasrah, kemudian tangannya menuntun batang kemaluanku untuk masuk ke dalam lubang kemaluannya. Tanganku bergetar dan batang kemaluanku terasa makin berdenyut saat kepala batang kemaluanku menyentuh bibir lubang kemaluan ibu yang sudah basah, dan dengan perasaan yang campur aduk, kudorong pinggulku ke depan dan masuklah batang kemaluanku ke dalam lubang kemaluan ibu yang sudah agak membuka, dan tenggelam sudah batang kemaluanku ke dalam liang senggama milik ibuku.
Aku merasakan sensasi yang sangat dasyat saat dinding lubang kemaluan ibu seperti memijat batang kemaluanku, gila meski aku pernah setubuh dengan anak ABG, lubang kemaluan ibuku terasa sangat nikmat dan luar biasa di banding dengan yang lainnya. Aku menggoyang pinggulku naik-turun diimbangi dengan goyangan pinggul ibuku yang sangat dasyat dan liar. Kami kemudian berganti posisi dengan ibu berada di atasku hingga ia dapat menduduki batang kemaluanku, dan terasa sekali kenikmatan yang ibu berikan kepadaku.
Goyangan yang cepat dan liar dan gerakan tubuh yang naik turun membuat tubuhku hanyut ke dalam kenikmatan seks yang kurasakan sangat dasyat. Tibalah saat ibuku orgasme, goyangannya makin cepat dan desahannya semakin tidak karuan, aku dengan nikmat merasakannya sambil kuhisap dan meremas pauyudara ibu yang bergoyang seirama dengan naik-turunnya tubuh ibuku menghabisi aku. Ibu mengerang dan mengejang saat kurasakan ada cairan hangat yang membasahi batang kejantananku yang masih tertanam di dalam lubang kemaluan ibuku.
Beberapa saat setelah ibu terkulai lemas aku merasakan bahwa aku akan mencapai puncak, dan dengan goyangan dan tusukan yang menghujam lubang kemaluan ibuku, “Cret… crett.. cret…” air maniku menghambur di dalam lubang kemaluan ibuku. Aku merasakan nikmat yang tidak dapat kukatakan. Saat aku masih menikmati sisa-sisa kemikmatan itu, ibu mencium bibirku dan berkata, ” kamu orgasme biar di mulut Mami aja.. tapi Mami sedap…” Aku hanya terdiam dan malah mencium bibir ibuku yang masih menindih tubuhku dengan mesra. Kemudian ibuku berbaring di sampingku, aku memeluk dia dan kami berciuman dengan mesra seperti sepasang kekasih. Kami pun tertidur karena pertempuran yang sangat melelahkan itu.
Pagi harinya saat aku bangun ibuku sudah tidak ada di sebelahku, dan kemudian aku berpakaian dan menuju dapur mencari ibuku, dan kulihat ibuku tengah menyiapkan sarapan bersama adikku yang masih Sekolah. Aku bingung dan segan karena ibuku seakan-akan malam tadi tidak terjadi apa-apa di antara kami, padahal aku telah menyetubuhi ibu kandungku sendiri tadi malam. Seperti biasanya, aku menjemput ibuku dari tempat dia senam, dan saat perjalanan pulang kami berbual tentang persetubuhan kami tadi malam dan kami berjanji hanya kami yang mengetahui kajadian itu. Tiba-tiba saat kereta kami sedang berada di jalan yang sepi dan agak gelap, ibuku menyuruhku menghentikan mobil, aku menurut saja.
Setelah mobil di pinggirkan, dengan ganas ibuku mengulum koteku. Kemudian membuka seluarku dan menghisap batang kemaluanku yang sudah keras saat ibuku mengulum bibirku tadi. Aku hanya terengah-engah merasakan batang kemaluanku dihisap oleh ibuku sambil mengocoknya, dan beberapa saat kemudian… “Cret.. cret.. crett..” maniku menyembur di dalam mulut ibuku dan dia menelan habis maniku walaupun ada sedikit yang meleler keluar. Ibuku kemudian membersihkan sisa maniku yang menetes di tangannya dan batang kemaluannku. Tak kusangka ibuku kembali menelan calon-calon cucunya ke dalam perutnya. Tapi aku sih asyik-asyik saja ibuku mau menghisap batang kemaluanku saat kami masih di dalam kereta.
Kami berciuman dan melanjutkan perjalana pulang dan kemudian tidur seranjang dan “bermain” lagi. Kami berdua terus melakukannya tanpa sepengetahuan orang lain. Sejak persetubuhan kami yang pertama, sebulan kemudian ibuku merasa dia hamil, dan ibu bilang bahwa sebelum bersetubuh denganku, ibu sudah lebih dari 3 bulan tidak bersetubuh dengan ayahku, karena memang ayahku terlalu sibuk dengan perusahaan, dan hotel-hotelnya. Ibuku cakap ibu hamil olehku karena selain dengan ayahku dan aku, ibu belum pernah perhubungan seks dengan lelaki lain. Ibu menggugurkan kandungannya karena dia tidak mau punya bayi dari aku. dan hingga sekarang…
Posted in Anak - Mak
Leave a comment
Tags: sumbang mahram
Ayah Yang Baik Hati
Dec 7
Posted by mrselampit
Pada suatu hari, ayah yang akan berkahwin sebulan lagi setelah kematian ibuku lima tahun yang lalu menalifonku dan katanya ada hal penting yang perlu aku menolongnya. Aku ketika itu sedang duduk berehat menonton tv bersama anak-anakku merasa hairan di atas pertolongan yang diperlukan ayah. Ayah akan datang ke rumahku pada malam nanti untuk memberitahuku pertolongan apa yang diperlukannya.
Setelah meletakkan talifon, aku cuba memikirkan apa sebenarnya pertolongan yang ayah mahu aku menolongnya. Jika masalah kewangan, memang aku tidak dapat menolong ayah kerana aku dan suamiku tidak ada simpanan. Lagi pun takkan ayah mahu meminta bantuan kewangan dariku kerana ayah memang seorang yang berduit. Selama ini pun ayah yang selalu membantuku jika aku ada masalah kewangan. Rumah yang aku diami sekarang ini adalah hadiah dari ayah ketika aku berkahwin dahulu dan kereta yang suamiku guna sekarang ini pun pemberian dari ayah.
Tidak mungkin ayah mahu meminta pertolongan kewangan, mungkin ayah mahu aku menolongnya dalam persiapan perkahwinanya, fikirku.
Lebih kurang jam 9.00 malam, ayah pun sampai di rumahku dan ketika itu aku hanya tinggal bersama anak-anakku kerana suamiku bekerja shif malam. Suamiku hanya bekerja di sebuah kilang yang tidak jauh dari rumahku. Selepas bersalam dengan ayah, aku menjemput ayah masuk dan duduk di ruang tamu rumahku.
“Mana Rosdi, kerja malam ke? Budak-budak mana?” Tanya ayah sambil duduk di atas sofa di ruang tamu rumahku.
“Ya ayah… abang Rosdi kerja malam, budak-budak awal lagi sudah tidur,�� jawabku yang duduk di depan ayah.
“Bagus la… takde orang lagi bagus…” kata ayah yang aku lihat masih bergaya walaupun umurnya sudah 51 tahun.
“Ayah mahu Nita tolong apa?” Tanyaku kerana merasa hairan apabila mendengar kata-katanya.
“Jangan terkejut dan jangan marah jika ayah cakap… ini soal maruah ayah dan maruah Nita, tetapi ayah tiada jalan lain… ayah terpaksa juga minta pertolongan dari Nita kerana Nita seorang sahaja anak ayah,” kata ayah panjang lebar.
Aku mula merasa tidak sedap hati dan perasaan ingin tahu semakin kuat.
“Pertolongan apa ni ayah?” Desakku.
“Ayah perlukan bantuan dari Nita… ayah harap Nita boleh membantu ayah kerana haya Nita seorang sahaja yang dapat menolong ayah dan bantuan ini agak berat… ayah harap sangat Nita boleh menbantu demi masa depan ayah.”
Mendengar kata-kata ayah, aku mula merasa risau kerana aku tahu ayah mempunyai masalah besar.
“Bantuan apa ayah? Cakap la, jika boleh… Nita akan tolong ayah,” Tanyaku bersungguh-sungguh.
“Nita boleh tolong jika Nita sanggup bekorban demi ayah…” Kata ayah lagi membuatkan aku tertanya-tanya apa sebenarnya masalah ayah.
“Jangan buat Nita risau… ayah cakap la, Nita sanggup menolong ayah…” Tanyaku lagi dengan berdebar-debar.
“Sebenarnya ayah tengah berubat, tapi bomoh tu tetapkan syarat susah sikit…. ayah harap Nita boleh tolong… mudah saja” Kata ayah.
“Ayah sakit ke? Ayah sakit apa?” Tanyaku cemas.
“Ayah tak sakit… ayah cuma… cuma…” Ayah tidak meneruskan kata-katanya.
“Cuma apa?” Tanyaku.
“Nita tahu kan, sebulan lagi ayah akan berkahwin… jadi ayah pergi berubat sebab benda ni dah lemah…” Ayah berkata sambil menunjukkan ke arah batangnya membuatkan aku terkedu dan merasa malu.
“Ka…kalu ayah dah tahu… ke.. kenapa ayah nak kahwin lagi?” Suaraku tergagap-gagap kerana merasa malu.
“Walaupun batang ayah dah lemah… tetapi ayah masih bernafsu… ayah teringin berkahwin lagi…” Jawab ayah dengan cepat membuatkan aku terperanjat apabila mendengar ayah bercakap begitu.
“Habis… apa Nita boleh buat?” Aku mula bertanya setelah diam seketika.
“Bomoh tu cakap batang ayah ni perlu di urutkan oleh anak perempuan ayah sendiri untuk pulih. Jika tak naik juga ayah perlu geselkan pada tubuh Nita dan jika tak keras juga ayah terpaksa bersetubuh dengan Nita… Nita boleh tolong ayah tak?” ayah menerangkan kepadaku sambil bertanyaku sama ada aku sanggup atau tidak.
Aku sebenarnya merasa sungguh terkejut dengan permintaan ayah dan merasa sungguh malu.
“Nita…Nita… tak ada cara lain ke ayah?” Tanyaku dengan perasaan malu dan aku tidak tahu untuk memberitahu ayah sebenarnya aku tidak sanggup tetapi aku takut ayah kecewa kerana hanya aku seorang sahaja anaknya dan hanya aku sahaja dapat menolongnya.
“Sudah banyak tempat ayah pergi berubat tetapi tidak pulih… tolong la Nita, demi masa depan ayah… bila dah kahwin nanti ayah tak mahu mengecewaka isteri ayah… Nita pun tahukan, makcik Samsiah tu janda… mesti banyak pengalaman, ayah takut ayah malu nanti… tolong la Nita… hanya Nita yang boleh menjaga maruah ayah sebagai seorang lelaki…” Ayah merayuku dengan suara yang sayu.
Aku merasa sungguh kasihan melihat ayah kesayanganku dalam keadaan begitu. Aku tahu ayah sudah banyak menolongku, tetapi sanggupkah aku menyerahkan tubuhku kepada ayah. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, untuk menolak permintaan ayah aku tidak sanggup dan jika aku membantu ayah sanggupkah aku.
Aku menjadi keliru sama ada mahu menolong ayah atau tidak, jika di ikutkan hatiku memang aku tidak sanggup tetapi apabila mengenangkan nasib ayah yang sudah banyak menolongku, aku mula merasa tidak salah jika aku menolong ayah demi kebahagian ayah aku sendiri.
“Tak ada cara lain lagi ke ayah? Cara ini salah…” Tanyaku perlahan.
“Ayah pun sudah tidak tahu lagi di mana lagi ayah perlu berubat… tolong la ayah Nita… ayah merayu dan ayah perlu sangat pertolongan Nita… tolong la ayah…” Ayah merayu dengan suara kesedihan.
Aku tidak sanggup melihat ayah begitu lagi dan jika mahu dibandingkan, ayah sudah banyak bekorban dari apa yang di mintanya.
“Baik la… tetapi ini harus menjadi rahsia kita berdua…” Kataku perlahan dengan penuh perasaan malu kerana sebentar lagi ayah akan dapat melihat serta dapat menjamah tubuhku malah dapat dinikmatinya apa yang tersembunyi selama ini.
“Betul ke ni Nita?” Ayah bertanya dan terus menghampiriku lalu duduk di sebelahku.
Aku hanya menganggukkan kepalaku perlahan. Ayah terus membawa tanganku ke celah kangkangya, ke arah batangnya yang masih di dalam seluarnya. Aku tergamam seketika dan perlahan-lahan aku mula mencuba mengurut batang ayah sambil menunduk mukaku memandang ke arah bertentangan dengan ayah.
Ayah tanpa berkata-kata terus membuka seluarnya lalu dilurutkan ke paras pehanya bersama seluar dalamnya sekali. Aku yang tersentak itu tanpa sedar memandang ke arah batang ayah, batang ayah yang masih lembik itu sebenarnya memang besar dan agak panjang.
Ayah membawa kembali tanganku pada batang lembiknya, aku mula mengenggam batang ayah aku gosok-gosokkan dan lurutkan perlahan-lahan. Setelah hampir sepuluh minit diurutku, batang ayah masih longlai dan tidak juga mengeras.
“Nita… benarkan ayah menggeselkan batang ayah ke tubuh Nita… mungkin boleh naik…” Minta ayah.
Aku bagaikan dipukau, aku hanya mengikut sahaja kemahuan ayah dan ini juga mungkin kerana nafsuku sudah mula terangsang sedikit. Mana tidaknya, seumur hidup aku tidak pernah memegang batang orang lain selain dari batang suamiku.
Tanpa ku sedari, nafsuku dengan sedirinya terangsang namun aku masih dapat mengawalnya. Apabila melihat persetujuan dariku, ayah menarik tubuhku berdiri lalu ayah terus memeluk tubuhku dari belakang.
“Tak payah la buka…” Kataku apabila merasa tangan ayah yang berada di perutku mula meleraikan ikatan kain batikku.
“Kalau tak buka, macam mana ayah nak geselkan batang ayah ni pada tubuh Nita…” Jawab ayah sambil melepaskan kain batikku jatu ke lantai.
“Ayah… seluar tu…” Kata-kataku terhenti apabila seluar dalamku sudah di tarik turun sehingga ke kakiku lalu ayah memeluk kembali tubuhku dan terasalah batangnya yang terkulai itu di punggungku.
Aku tidak dapat mengelak lagi dan hanya membiarkan sahaja ayah menggeselkan batangnya di lurah punggungku tetapi batang ayah tidak juga mengeras.
Ayah membaringkan tubuhku meniarap di atas karpet dan ayah terus meniarap menindih belakangku. Tangannya memeluk tubuhku sambil meramas-ramas buah dadaku beberapa kali lalu menyingkap ke atas baju t-shirtku itu dan terus ditanggalkannya. Aku yang semakin kuat terangsang hanya membiarkan sahaja tubuhku di bogelkan ayah.
“Wahh… cantiknya tubuh Nita…” Puji ayah sambil meramas-ramas punggungku dan mula menggesel-geselkan batangnya di celah alur punggungku sambil tangannya meramas kedua buah dadaku.
Rasa geli dan kenikmatan membuatkan nafsuku terangsang kuat, puting buah dadaku mula mengeras dan cipapku juga mula terasa berair. Aku merasa batang ayah di celah alur punggungku mula mengeras sedikit dan geselan ayah semakin ke bawah, menyentuh bibir duburku serta menyentuh sedikit hujung bibir cipapku. Aku memejamkan mataku sambil menikmati geselan batang ayah dan tiba-tiba ayah menelentangkan tubuhku.
Ayah menanggalkan seluarnya serta bajunya dan aku dapat melihat batang ayah sungguh besar dan panjang walaupun masih belum mengeras sepenuhnya. Ayah yang sudah berbogel itu terus baring di sisiku lalu menghisap puting buah dadaku dan tangannya pula meramas-ramas punggungku.
Aku merasa semakin bernafsu, ayah menjilat-jilat perutku sambil meramas buah dadaku dan mula menindihi tubuhku. Aku dapat rasakan batang ayah mula menyentuh bibir cipapku yang sudah basah itu dan ayah cuba menekan batangnya untuk masuk ke dalam cipapku tetapi setelah beberapa kali mencuba, batang ayah masih tidak berjaya masuk.Ayah menekan lagi batangnya di libang cipapku dan ayah berjaya membenamkan separuh batangnnya ke dalam cipapku.
“Errrrrgggghhhh….” Aku mengerang kenikmatan sambil menggeliat dan terus memeluk tubuh ayah menikmati kemasukkan batang ayah yang separuh keras itu.
Walaupun batang ayah masih belum mengeras sepenuhnya, aku merasa cipapku penuh kerana batang ayah sungguh besar. Ayah menekan batangnya masuk lagi sehingga pangkal batangnya rapat terbenam di dalam cipapku.
“Arrrggghhh… ayahhhh…” Sekali lagi aku mengerang kerana merasa senak di dalam perutku disebabkan kepanjangan batang ayah namun aku merasa sungguh nikmat sehingga punggungku terangkat sedikit.
Aku mengemut-ngemut cipapku apabila merasa batang ayah yang terbenam di dalam cipapku mula mengembang menjadi bertambah besar. Batang ayah yang berada di dalam cipapku kini sudah berjaya mengeras sepenuhnya sehingga aku merasa cipapku ketat apabila ayah mula mengerakkan batangnya keluar masuk dengan perlahan.
“Ohhh… masih ketat cipap Nita ni walaupun sudah beranak tiga… urggghh…” Ayah mengerang menikmati cipapku.
“Ayah… laju lagi… laju lagi ayahhhh…”
Aku meminta ayah melajukan lagi tujahan batangnya kerana aku merasa sungguh nikmat sambil mengemut-ngemutkan cipapku sekuat hati. Ayah melajukan tujahan batangnya dan semakin lama makin laju. Ayah menarik punggungku ke atas membuatkan batang panjangnya menusuk lebih jauh ke dalam cipapku.
“Aarrrrggghhhh…. ayahhhh…” Tiba-tiba tubuhku mengejang dan aku mengerang panjang kerana mencapai puncak klimaksku. Aku mengemut kuat cipapku dan tujahan batang ayah semakin laju serta semakin dalam.
“Aahhh… ooohh…. ahhhhhh…” Ayah mengerang sambil memancutkan air maninya ke dalam cipapku dengan agak banyak sehingga membanjiri rongga cipapku.
Tubuh ayah rebah di atas tubuhku yang lemah kerana kepuasan, walaupun ayah sudah tua tetapi ayah masih hebat di dalam persetubuhan.
“Terima kasih Nita… terima kasih kerana mengubati ayah…” Ayah bangun lalu mengambil pakaiannya lalu di pakainya kembali.
“Untuk ayah tersayang… Nita sanggup demi kebahagiaan ayah…” Kataku sambil tersenyum, aku juga turut bangun dan memakai kemballi pakaiaanku.
“Baik hati sungguh anak ayah ni…” Puji ayah sambil memelukku lalu mencium pipi serta dahiku, aku membalas dengan memeluk erat tubuhnya.
Malam itu tubuhku menjadi sebagai habuan untuk mengubati ayah, namun begitu aku juga dapat merasa kepuasan dari batang besar serta batang panjang ayah.
Dua minggu sebelum ayah melangsungkan perkahwinannya, malam itu ayah datang lagi ke rumahku dan pada malam itu juga suamiku bekerja malam.
“Ada apa lagi ayah…” Tanyaku setelah ayah duduk di sofa ruang tamu rumahku.
“Ayah nak minta tolong lagi kerana batang ayah masih belum pulih sepenuhnya…” Jawab ayah sekali lagi mengejutkan aku kerana ayah mahu mengulangi lagi persetubuhan malam itu.
Aku sebenarnya masih teringin untuk merasa lagi batang besar ayah. Sejak persetubuhan malam itu, aku asyik teringatkan batang besar dan batang panjang milik ayah. Apabila aku bersetubuh dengan suamiku, kenikmatan yang aku alami ketika bersetubuh dengan ayah tidak aku rasai.
“Takkan ayah nak lagi? Nita tak sanggup buat lagi…” Kataku untuk tidak menunjukkan aku memang mahu bersetubuh lagi dengan ayah, aku berpura-pura mengelakkan.
“Boleh la Nita… hari perkahwinan ayah sudah hampir… tolong la…” Ayah merayu-rayu padaku dan aku hanya terdiam, ayah tetap merayu sambil memujukku.
“Ayah mahu minum, Nita ke dapur sekejap… nak buatkan air…” Kataku sambil bangun dan terus menuju ke dapur untuk membuat minuman.
“Ayah mahu minum air ni…” Apabila aku sampai di dapur, tiba-tiba ayah memelukku dari belakang.
Aku berpura-pura untuk melepaskan diri dari pelukan ayah tetapi tidak berjaya kerana tubuhku dipeluk kemas oleh ayah.
“Boleh la Nita… tolong la ayah… bagi la tubuh Nita pada ayah malam ni…” Ayah memujukku kerana ayah ingin bersetubuh denganku.
Pelukkan ayah membuat tubuhku menjadi hangat dan aku mengeliat kerana nafsuku mula terangsang. Tangan ayah mula merayap ke buah dadaku lalu diramas-ramasnya perlahan dan aku merasa nafsuku semaki kuat melanda diriku.
“Ayah…. janganla… Nita tak mahu…”
Ayah membuat tidak dengar dengan laranganku, buah dadaku terus diramasnya lembut. Tubuhku mula memberi tidak balas dari rangsangan ayah, buah dadaku mula tegang dan nafasku terasa sesak. Tangan ayah di buah dada kini turun ke perutku lalu diusap-usapnya dengan perlahan-lahan.
Tangan ayah turun lagi hingga ke celah kangkangku dan telapak tangan ayah mencekup cipapku yang tembam itu. Cipapku ditekan-tekan membuatkan aku menonggekkan sedikit punggungku dan aku dapat rasakan batang ayah yang sudah mengeras itu di lurah punggungku.
Ayah menyelak baju kelawarku ke atas keparas pinggangku, punggungku terdedah kerana aku memang tidak memakai seluar dalam. Ayah terus mengusap serta meramas-ramas punggungku membuatkan punggungku terangkat sedikit menahan kesedapan.
Tangan ayah beralih pula ke cipapku, alur cipapku digosok-gosok ayah dan aku mengangkangkan sedikit kakiku lalu jari terus mengentel kelentitku.
“Ayah…. uhhh… uhhh… emmpphhh” Rintihku kenikmatan apabila kelentitku digentel jari ayah sehingga alur cipapku mula berair.
Ayah mengentel serta mengusap cipapku agak lama sehingga cipapku betul-betul berair, ayah mula memegang pinggangku dan batang kerasnya yang entahh bila sudah di keluarkan dari seluarnya itu sedang menekan lurah punggungku.
Aku tahu yang ayah mahu memasukkan batangnya ke dalam lubang cipapku, aku membongkokkan tubuhku dengan bertahankan tangan di birai meja makan. Ayah meletakkan sebelah kakiku di atas kerusi dan dengan satu tekanan, batang ayah berjaya masuk ke dalam cipapku sedikit demi sedikit.
“Uuhhhh… ayahhhh…” Aku mengerang sambil menikmati kemasukkan batang besar ayah ke dalam cipapku.
“Nita….ketatnya…” Bisik ayah setelah hampir keseluruhan batangnya terbenam di dalam cipapku sehingga aku merasa senak di dalam perutku.
Ayah membiarkan batangnya terbenam di dalam cipapku seketika, aku merasa batng ayah berdenyut-denyut di dalam cipapku. Ayah memegang pinggangku lalu menarik batangnya keluar sedikit dan dimasukkan kembali dengan perlahan-lahan membuat aku merasa sedap yang amat sangat.
Setelah masuk hampir keseluruhan batangnya, ayah mula mengerakkan batangnya keluar masuk di dalam cipapku dengan cepat. Setelah agak lama cipapku ditujah oleh batang ayah, aku mula merasa hendak klimaks. Tubuhku mula bergetar dan terus menjadi kejang lalu aku mencapai puncak klimaksku yang sungguh nikmat. Aku tercungap-cungap kepenatan, ayah mencabut batangnya yang masih keras keluar dari cipapku dan memeluk tubuhku dengan erat dari belakang.
Ayah membaringkanku di atas lantai dan kedua kakiku dibukanya luas, ayah menolak kedua belah kakiku ke atas sehingga lututku tersentuh dengan buah dadaku. Sambil tersenyum ayah menekan batangnya masuk ke dalam cipapku yang sudah banyak berair itu.
Sekali lagi cipapku menjadi sasaran batang ayah dan kali ini rasanya lebih sedap kerana kelentitku bergesel-gesel dengan bulu-bulu kasar batang ayah. Dengan kedudukanku begitu, seluruh kepanjangan batang ayah dapat meneroka jauh ke dalam cipapku.
“Uhhhh… ayah, sedapnya…” Aku merengek dan ayah semakin laju menujah cipapku sehingga aku merasa lagi tanda-tanda untukku mencapai klimaks.
Tujahan batang ayah semakin laju menandakan ayah juga mahu sampai kepuncak klimaksnya. Ayah semakin laju menujah cipapku, menghempap punggungku sehingga tubuhku tergoncang-goncang. Ini membuatkan aku semakin hampir untuk mencapai puncak klimaksku. Aku memeluk tubuh ayah dengan erat, ayah juga memeluk tubuhku dan dengan satu tujahan yang agak kuat, terpancutlah air mani ayah menembak-nembak rahimku.
Pada masa yang sama, aku juga mencapai puncak klimaksku buat kali yang kedua. Setelah agak lama menindihi tubuhku, ayah bangun dan mengenakan pakaiannya kembali. Aku juga bangun lalu membetulkan baju kelawar yang terselak ke atas itu.
“Terima kasih Nita…” Ayah mencium pipiku dan meramas punggungku lalu menuju ke ruang tamu rumahku. Aku membuat ayah air dan duduk berborak sambil menonton tv, ayah tidak habis memuji kecantikkan tubuhku serta kesedapan kemutan cipapku.
Pujian ayah membuatkan aku merasa sungguh bangga dan nafsuku terangsang lagi kerana ayah yang berada di sebelahku selalu menggosok-gosok pehaku.
“Ayah nak balik ke malam ni…?” Tanyaku dan menganggukkan kepalanya.
“Kenapa?” Tanya ayah.
“Tidur sini la… subuh esok ayah baru balik, sebelum abang Rosdi pulang dari kerja…” Mintaku sambi tersenyum, aku sebenarnya mahu merasa lagi batang besar dan panjang milik ayah itu.
“Boleh juga… dapat la Nita mengubati ayah lagi…” Ayah berkata sambil memeluk pinggangku dan aku terus bangun lalu memimpinan tangan ayah menuju ke bilik tidurku.
Sebaik saja berada di dalam bilik tidurku, ayah terus merangkul tubuhku dan merebahkanku ke atas katil. Ayah mencium serta menjilat betisku sehingga ke pangkal pehaku. Perbuatan ayah membuat aku merasa geli dan kegelian itu menyerap ke cipapku. Punggungku terangkat-angkat apabila pangkal pehaku dijilat lidah ayah dan ayah menolak baju kelawarku ke atas. Coliku juga ditolaknya ke atas lalu buah dadaku diramas-ramas ayah perlahan membuat aku mengeliat kesedapan.
Aku mengeliat sambil mengeluh dan merintih kecil apabila puting dan buah dadaku dinyonyot ayah dengan rakus. Aku merasa sungguh terangsang lalu aku menolak tubuh ayah rebah di atas katilku. Baju dan seluar serta seluar dalam ayah ditanggakkanku dengan cepat. Ayah hanya membiarkan sahaja, batangnya yang separuh tegang itu dipegangku lalu aku urut-urutkan dari pangkal hingga ke kepala batangnya.
Tindakanku itu membuatkan batang ayah menjadi tegang dan keras serta berdenyut-denyut lalu aku mengucup kepala batang ayah beberapa kali.
“Batang ayah ni dah pulih ke belum?” Tanyaku sambil tersenyum.
“Sudah hapir pulih… pandai Nita ubatkan…” Jawam ayah sambil mengusap kepalaku.
“Ayah nak Nita ubatkan lagi…?” Tanyaku lagi dan ayah hanya menganggukkan kepalanya.
Aku duduk mengangkang di atas tubuh ayah sehingga cipapku hampir dengan kepala batang ayah. Aku duduk perlahan-lahan lalu kepala batang ayah menguak bibir cipapku dan sedikit demi sedikit batang ayah terbenam di dalam cipapku.
“Urrrggghhhh…” Aku mengerang kenikmatan kerana seluruh batang ayah terbenam di dalam cipapku setelah aku melabuhkan punggungku rapat di celah kangkang ayah. Batang ayah terasa tercucuk di dalam perutku, aku mengemutkan cipapku beberapa kali lau mula mengangkat naik dan turun punggungku. Ayah menikmati kesedapan batangnya keluar masuk di dalam cipapku sambil meramas-ramas buah dadaku yang tergantung itu.
Kesedapan yang aku rasai membuatkan aku semakin laju mengerakkan punggungku turun naik. Habis seluruh batang ayah terbenam rapat ke dalam cipapku dan setelah agak lama, aku merasa batang ayah berdenyut-denyut. Aku juga turut merasa ada tanda-tanda untuk aku mencapai klimaks. Tubuhku mula mengejang dan aku tekankan punggungku rapat di celah kangkang ayah membuatkan batang ayah jauh terbenam di dalam cipapku.
“Urrggghhh… arrrggghhhh…” Serentak dengan itu, aku mula mencapai puncak klimaksku dan ada cairan kenikmatan yang keluar dari cipapku membasahi peha ayah.
Ayah membaringkan aku yang masih tercungap-cungap itu lalu menindihi tubuhku dan memasukkan batangnya di dalam cipapku. Ayah mengerakkan punggungnya ke depan dan ke belakang membuatkan batangnya keluar masuk di dalam cipapku. Ayah menujah cipapku dengan laju dan agak ganas sehingga tubuhku bergegar-gegar di hempap ayah.
“Emmm…uuhhh… Nita…ayah nak pancut ni…” Kata ayah sambil mendengus-dengus.
Aku membantu dengan mengemut kuat cipapku agar dinding cipapku lebih rapat menghimpit batang ayah. Beberapa ketika kemudian, ayah mula memancutkan air maninya yang hanggat di dalam cipapku. Malam itu sebanyak tiga kali aku bersetubuh dengan ayah sehingga tubuhku lemah longlai.
Setelah hari hampir subuh, barulah ayah pulang dan aku terus tertidur kepenatan dengan penuh kepuasan. Begitulah pengalamanku untuk mengubati batang ayah dan sehingga kini aku masih bersetubuh dengan ayah. Apabila aku merasa terangsang menginginkan batang panjang dan besar milik ayah, aku akan meminta ayah memuaskan nafsuku.
Batang ayah kini sudah pulih sepenuhnya malah lebih bertenaga kerana diubati dengan cipapku. Sekarang cipapku pula yang perlu diubati dengan batang ayah kerana aku tidak merasa puas lagi jika bersetubuh dengan suamiku. Hanya batang besar serta batang panjang ayah sahaja yang dapat memuaskan nafsuku.
Posted in Anak - Bapak
Leave a comment
Tags: skandal, sumbang mahram
Junaidah
Nov 28
Posted by mrselampit
Cerita ini melibatkan saya dan adik kandung saya. Nama saya Anwar. Di saat ini, saya ialah seorang lelaki yang berumur 26 tahun. Sedangkan adik perempuan saya bernama Junaidah atau singkatannya Ju, yang kini sudah pun berusia 23 tahun. Kisah ini bermula ketika saya masih mentah. Masa tu saya mulai menyukai cerita-cerita yang berkaitan dengan unsur-unsur seksual. Pada umur tersebut saya juga, sudah terbiasakan diri dengan kegiatan melancap.
Suatu hari, saya terbaca satu berita di akhbar. Ianya tentang pembongkaran kegiatan seks di antara beradik yang berbangsa melayu. Saya sering membaca tentang berbagai cerita seks, tetapi baru kali inilah saya ketahui tentang wujudnya kecenderongan berzina dengan saudara sendiri. Entah kenapa ianya merupakan cerita telah berjaya menarik perhatian serta minat ku. Setiap kali saya mengingati cerita tersebut, saya menjadi semakin berminat. Lebih-lebih lagi bila mana saya cuba mengaitkannya dengan adik perempuan saya yang comel tu.
Cerita tersebut seperti mendorong saya untuk merealisasikannya. Kebetulan pula pada saat itu, saya tidur di bilik tidur yang sama dengan adikku, Junaidah. Hanya katil kami saja yang berasingan, namun jaraknya hanya sekitar 2 meter sahaja. Suatu malam pada sekitar pukul 12.30, saya terbangun lalu memasang lampu untuk menerangi kegelapan. Dari tinjauan saya, nampaknya semua orang di dalam rumah sedang nyenyak tidur. Namun hajat sebenar aku ialah untuk meninjau keadaan Junaidah. Dari keadaan mulutnya yang sedikit ternganga itu, aku pasti dia juga sedang nyenyak dibuai mimpi. Masa tu selimutnya tersingkap tinggi hingga mendedahkan pangkal pehanya.
Dengan keadaan kedua kakinya yang terkangkang agak luas, maka terlihatlah aku akan celah kelangkangnya itu. Rupa-rupanya Junaidah tidur tanpa memakai panties. Ketembaman pantat yang tanpa berbulu itu terlambak di hadapan mata ku. Hal inilah yang telah membuakkan gelodak nafsu ku, lebih-lebih lagi apabila mengimbasi cerita tentang perhubungan seks adik-beradik yang ku minati itu. Perlahan saya turun dari tempat tidur, dan mendekati katil Junaidah. Saya ingin memastikan tahap tidurnya. Saya menggelitik telapak kakinya. Ketiadaan reaksi gelinya telah mengesahkan kenyenyakkan tidur adik comel ku itu. Kemerahan alur belahan pantat Junaidah seakanakan menggamit undangan terhadap sentuhan jari ku.
Pantas aku menunaikan hajat geram ku terhadap alur yang menjadi lambang kesuciannya itu. Tangan saya keras bergetaran. Peluang untuk menjari pantat Junaidah sudah pasti akan ku manfaatkan sebaik mungkin. Mula-mula ku usapi dengan lembut. Tetapi lama-kelamaan tindakkan ku jadi semakin keras. Namun kenyenyakkan tidurnya adik ku itu tidak sedikit pun terjejas. Bila dah tak tahan lagi, saya menciumi pantat Junaidah. Kemudian saya cuba mencari lubang yang sering saya dengari, iaitu tempat melakukan persetubuhan. Saya sangka ianya ada di bahagian depan, tapi ternyata jangkaan saya selama ini salah.
Posisi yang sebenar rupanya di bahagian bawah. Saya pun kembalilah cium pantat Junaidah sampai ke bahagian lubang itu. Saya sudah benarbenar tidak tertahan lagi. Saya menuruni katil untuk membogelkan diri sendiri. Lepas tu saya pun perlahan-lahan naik semula ke atas katil Junaidah. Sementara tangan kanan menahan tubuh, tangan kiri saya cuba mengarahkan batang ke lubang pantat tersebut. Ternyata agak sukar nak memasukkannya. Saya cuba memasukkan dari depan, pada hal lubangnya ada di sebelah bawah. Sementara saya giat berusaha, tiba-tiba tubuh Junaidah bergerak. Kerana takut angkara itu terbongkar, saya pun cepat-cepat bangun mengenakan pakaian dan kembali ke ranjang. Tak lama kemudian saya pun terus terlena.
Pengalaman malam tersebut telah mulai menganggu konsentrasi ku. Hajat batang ku untuk bertemu di dalam pantat Junaidah masih belum lagi terlunas. Setiap kali apabila cetusan dendam nafsu mula melanda, batang ku tak semena-mena jadi keras. Itulah sebabnya saya selalu menunggu datangnya malam. Di saat di mana semua orang tertidur, di saat itulah saya akan cuba untuk memenuhi hajat sumbang terhadap Junaidah.
Selama beberapa malam saya melakukan usaha serupa. Namun ianya selalu terbatas kerana merisaukan Junaidah akan terkejut dari tidurnya. Sampailah di suatu malam ketika saya benar-benar telah dirasuk oleh dorongan nafsu. Gema bisikan syaitan pula tak henti-henti menghasut ketegangan batang ku. Berkubang di dalam pantat adik comel ku itu jelas menjanjikan seribu kenikmatan yang maha hebat. Desakan untuk menyahut seruan iblis tak lagi upaya ku bendung. Pantas aku bergerak ke katil Junaidah. Kemudian aku membogelkan diri ku sendiri.
Lepas tu perlahan-lahan ku pisahkan selimut yang menyaluti tubuhnya. Aku selak skirt tidur Junaidah hingga ke paras pusat. Sekali lagi seperti yang ku dugakan, dia tidur tanpa memakai sebarang pakaian dalam. Saya sudah tekad untuk melakukannya malam itu. Perlahan saya naik ke atas katil. Kedua kaki Junaidah saya rentangkan selebarlebarnya. Saya ciumi dan jilat pantat Junaidah sepuas hati. Kemudian saya mulai menghalakan batang ke arah lubang pantatnya. Sekali lagi ianya ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Cukup sukar untuk memasukkan batang ku ke dalam lubang sedap itu.
Berkat dari rangsangan iblis yang berterusan, akhirnya kepala batang ku mulai terselit kemas di celahan bibir pantat Junaidah. Semakin hampir batang ku untuk melungsuri lubang nikmat itu, semakin keras rangsangan yang melanda batang ku. Apa pun yang bakal terjadi, malam ini lubang pantat Junaidah akan pasti aku tebukkan dengan batang ku ini. Dengan gerak yang perlahan tetapi keras, ku dorongkan kemasukkan batang ku ke dalam pantat Junaidah. Walaupun ada masa-masanya terdapat sesuatu halangan yang cuba menghalang, namun ku tetap bertegas memaksakan.
Akhirnya berjaya juga ku benamkan sepanjang-panjang batang aku tu ke dalam lubang pantat Junaidah. Selaput yang menjadi lambang kesucian adik ku itu terbolos dek sondolan kepala batang ku. Berdenyut-denyut batang ku meraikan keseronokkan detik-detik tercemarnya kehormatan Junaidah. Adik perempuan ku yang comel itu kini tidak lagi layak bergelar “dara”. Aku benar-benar puas dan bangga dengan pencapaian ku itu. Kerana kerakusan batang ku dalam penaklukan tersebut, tiba-tiba Junaidah mulai tersedar dari tidurnya. Dia kelihatan bingung dengan apa yang sedang berlaku. Tambahan pula mungkin lubang pantatnya terasa sakit dengan kehadiran batang ku.
Junaidah mula merintih sambil memprotes terhadap apa yang sedang ku lakukan ke atas dirinya. “Hissst…! Jangan bising…. nanti mak marah…. teruk Ju kena pukul nanti….!” Mendengarkan ugutan dan nasihat ku itu, dia pun mulai menahan suara kerana takut dimarahi mak. Namun sekali-sekala kedengaran juga rintihannya menahan kesakitan. Saya pun teruslah menggoyang pinggang mendorong batang keluar masuk ke dalam lubang pantat Junaidah. Kerana baru pertama kali, tak sampai pun 2 minit, batang ku dah mulai berdenyut bagai nak gila. Berasap kepala ku dengan kesedapan yang sungguh tak kudugakan. Sedar-sedar saja, air mani ku dah penuh bertakung di dalam lubang pantat Junaidah. Aku rasa keletihan dan terpaksa berehat sebentar.
Junaidah juga nampaknya terkangkang keletihan lalu kembali menyambung tidurnya. Beberapa minit kemudian batang ku mulai bangkit semula. Aku pun kembali menindih Junaidah. Kali ini mudah batang ku dapat mencari sasaran lubang sedap itu. Henjutan-henjutan garang aku telah sekali lagi menganggu kelenaan tidur Junaidah. Kuyu matanya sambil mengigit-gigit bibir bawahnya. Adik comel ku itu kini pasrah melebarkan kangkangnya untuk menerima tikaman demi tikaman batang ku. Sekali lagi semburan nafsu ku likat memenuhi telaga bunting Junaidah. Pada permainan kali kedua itu, saya boleh bertahan sampai 10 minit.
Malam itu saja saya telah menyetubuhi adik kandung saya sebanyak 3 kali. Memang puas dan berbaloi dapat main dengan adik-beradik ni. Sejak malam itu, hampir setiap malam saya berzina dengan Junaidah. Pada awalnya dia hanya menerima saja apa yang saya lakukan. Namun setelah setahun berlalu nampaknya Junaidah juga sudah mulai menyukai dan menagihinya. Apabila saya tertidur, dia sendiri sudah pandai datang ke katil ku dan menggoda batang ku dengan sentuhan jarinya. Selama 4 tahun, kami berleluasa melakukan zina. Tetapi apabila Junaidah mulai baligh, saya agak berhati-hati sedikit kerana takut silap-silap nanti boleh terbuncit perut adik kesayangan aku tu.
Aku tak mahu angkara itu nanti akan menyebabkan kami terpisah buat selama-lamanya. Apabila umur kami meningkat, kami telah ditetapkan bilik yang berasingan. Dengan itu terpaksalah kami menerokai peluang berseronok selain daripada waktu malam. Kesempatan berseronok ketika ayah pergi kerja manakala mak pula ke pasar, tidak sekali-kali kami lepaskan. Tapi yang paling best ialah ketika mak dan ayah pergi mengunjungi saudara atau ada undangan. Memang sehari suntuklah kami dua beradik bebas bertelanjang bulat di serata rumah.
Akibat dari itu maka tak sempat keringlah pantat Junaidah tu. Sentiasa saja meleleh air putih aku tu di situ. Mana tidaknya, baru saja nak kering aku dah pamkan semula air tu ke dalam lubang pantatnya. Sampai saat ini pun kami tetap selalu melakukannya. Walau sekarang kami sudah dewasa dan masing-masing sudah mempunyai pacar, tetapi perhubungan unik kami itu tetap berterusan. Jika di rumah tidak meruangkan kesempatan, maka kami biasa melorongkan peluang dengan melakukannya di hotel.
Posted in Adik - Abang
Leave a comment
Tags: sumbang mahram
Kak Hasliza
May 6
Posted by mrselampit
Dalam keluarga aku, aku hanya mempunyai 2 beradik , dan aku mempunyai seorang kakak yang lebih tua dari aku 5 tahun. Namanya hasliza dan aku panggilnya kak ija. Ibu dan ayahku telah lama tiada kerana mengidap penyakit kencing manis dan darah tinggi. Tinggallah aku berdua bersama kak ija di rumah peninggalan arwah kedua ibubapaku. Kami hidup sederhana sahaja, kak ija bertugas sebagai Jururawat di Hospital Swasta dan belum berkahwin manakala aku hanyalah seorang pekerja pembantu am rendah lantaran kelulusan SPM ku yang tidak seberapa bagus. tapi kami cukup gembira dan tidak merungut dengan kerjaya kami.
Bercerita mengenai fizikal kak ija, aku boleh gambarkan dirinya seorang yang bertubuh tegap dan sederhana tinggi dan mempunyai dada yang bidang dan disitulah membukit 2 buah gunung yang kukira cukup besar. dia juga mempunyai pinggul yang sungguh tonggek dan besar. rambutnya sederhana panjang ke paras bahu dan ikal bentuknya. dan beliau juga berkulit kuning langsat dan sedikit sepet matanya mengikut arwah ayah yang ada mix cina.Ramai lelaki mengidamkan tubuhnya yang ranum dan menyelerakan itu. Tapi yang peliknya kak ija tidak melayan semua itu dan beliau juga tidak mempunyai teman lelaki. dan aku tidak pernah bertanyakan mengenai hal itu.. dan mengenai taste fashionnya, dia suka bertudung dan berpakaian jeans ketat serta t shirt yang melekap di badan..
Satu hari petang , cuaca cukup tidak baik.. hujan yang berterusan selama berjam-jam membuat aku mati kutu untuk berjalan diluar bersama rakan-rakan. plan asal aku untuk ke pekan terpaksa dibatalkan. Kak ija juga tidak muncul dari biliknya.
“Mungkin buat hal dia lah tu ” getus hati aku..
aku pun terus melangu kebosanan tak tau nak buat apa…buat ini tak kena.. buat itu tak kena….tiba-tiba dengan tak semena-mena, GGRRRUUMMMMMMMMMM.. kedengaran bunyi petir dan guruh sabung menyabung. sejurus selepas itu kedengaran seperti orang menjerit dari bilik.
“Arrrrrkkk! Amran.. tolong, akak”..aku terus bergegas ke bilik kak ija dan mendapati dia sedang terbaring kerana terkejut dengan bunyi guruh tadi..
”akak tak apa-apa” aku bertanya..
”kuat betul bunyi guruh tu.. terkejut akak.. amran temankan akak jelah dalam bilik ni yer.. takut pulak akak sorang2 ni..” aku mengiyakan saja tanda tak kisah..
rupanya kak ija tengah sedap tidur tadi.. urm.. dia pun menyambung kembali tidurnya setelah diganggu oleh guruh tadi.. aku pon duduk di kerusi solek.. takkan aku nak tidor sebelah dia plak…gila apa..
Tetapi bau harum yang hangat dari bilik itu membuatkan aku serba tak kena. dengan cuaca yang suram dan hujan, aku dapat rasakan tiba tiba nafsu syahwatku bergelojak dalam diri..
”takkan aku nak rogol kak aku sendiri..itu salah” getus hati aku..
makin lama makin tak boleh ditahan-tahan.. aku membuat keputusan untuk merapatkan diri ke katil kak ija. Misi harus dibuat segera walaupun ia bermakna aku akan merosakkan masa depan kak ija.. ditambah dengan kak ija yang berpakain baju kelawar berwarna merah membuatkan aku hilang kawalan..
Perlahan2 aku mengesot ke katil dan aku duduk disebelahnya.. dengan tangan yang menggeletar.. aku beranikan diri menyentuh bahunya.. aku urut lembut dan ku lihat tiada respon dari kak ija. aku beranikan diri untuk memegang lembut bahagian dadanya.. tiba 2 kak ija tersentak dan terkejut dengan tindakan aku.
”am, apa yang am buat ni? am jangan apa2kan akak.. am nak rogol akak yer..” aku mula ketakutan..
aku mula memikirkan tindakan aku tadi.. melihat aku mula ketakutan, kak ija mula mengendurkan kemarahannya..
”kenapa ni Am? Am nak buat apa dengan akak, ha.. akak ni akak kandung Am.. sampai hati am buat akak camni.”
“Akak, am bukannya apa, am dah tak tahan tengok kecantikan tubuh akak, body akak lentik, punggung besar, dada pulak membukit kencang.. am jadi tak keruan, ” aku mula berterus terang..
Melihat pengakuan ku itu, kak ija tersenyum ..
”napa am tak pernah cakap kat akak yang am idamkan tubuh akak.. kalau am berterus terang, kan senang.. tak payah nak curi-curi pegang,” berderau aku mendengar kata-kata kak ija..
“Jadi akak kasi lah am meneroka tubuh akak?” aku bertanya inginkan kepastian.
”Untuk adik akak, akak sanggup buat apa saja”..aku menjerit kegembiraan dalam hati..yes yes…
”Nak akak bukak baju ni ke atau am yang sendiri bukakkan” aku mengangguk dan menyatakan kak ija yang perlu membuka bajunya..
Kak ija menyuruh aku berbaring di atas katil sementara dia bangun dan mula membuat aksi membuka baju kelawarnya secara perlahan-lahan. sedikit demi sedikti tersingkap tubuh badannya yang bercoli hitam dan.. argghhhh.. dia memakai G string berwarna hitam.. adikku dibawah ni mula menegang keras yang tak dapat ditahan-tahan lagi.
”am suka g string akak ni?” Aku mengangguk laju-laju macam orang bodoh.
dia mula menonggeng membelakangi aku dan menarik tali gstring yang nipis itu dan dilepaskannya perlahan..
”Am tak nak cium bontot akak ni? ” aku yang sudah tidak sabar terus saja meluru ke arah punggungya yang besar dan aku cium semahu-mahunya.
”perlahan sikit dik, tak lari gunung dikejar..” aku malu sendiri..
Aku pun mula menerokai pungung akak ku dan ku jilat secara rakus.basah punggung kak ija dengan air liur aku yang bersemburan..
”bawak akak ke katil itu sayang” kak ija meminta.
dengan sepenuh kudrat aku membawanya ke katil.. perlahan2 aku turunkannya.. Kak ija terus membuka g string dan dibukanya sedikit demi sedikit sehingga aku tidak keruan.
”Jilat adikku sayang. Jilatlah semahunya.”
..Aku yang tidak sabar terus saja memegang pussynya yang tidak berbulu dan tembam itu menggunakan jari telunjuk dan jari hantu, kak ija mendengus kesedapan dan meminta ku menjilatnya. aku sengaja melambat2kan permintaanya supaya dia berasa geram.. Dia menarik rambut dikepalaku dan aku tersembam dipussynya yang sudah berair itu.. aku mula menjilat secara laju dan perlahan berselang-seli.
”Uh Ah Uh uhgrhhhhh.. sedapnya.. fuck me amran, fuck me..” Kak ija mula hilang arah..
aku juga yang hilang akal terus saja melajukan proses jilatan aku diselang seli dengan tangan ke arah klitorisnya. ..laju dan perlahan berselang seli sehingga kami melupakan terus ikatan adik beradik dalam persetubuhan ini.
Aku mula megang buah dadanya yang besar dan tegang itu. aku urut perlahan-lahan dan aku menanggalkan tali branya yang hitam itu sedikit demi sedikit. kak ija yang sudah kuyu matanya tidak mempedulikan tindakan aku itu.
”ramas tetek akak ni am.. ramas sekuat2nya.. gigit am.. gigittttt ”
aku yang geram terus saja mencium putingnya yang berwarna coklat gelap dengan pantas dan tangan kiriku meramas buah dada yang satu lagi. aku gentel, aku pusing, aku ramas secara berselang seli. aku kerjakan buah dadanya sehingga aku berasa nikmat yang teramat sangat..
setelah puas meneroka bukit kak ija, kak ija ingin merasai keenakan buah zakarku. dia meminta aku berbaring dan mengangkangkan kakiku supaya mudah dia melakukan kerjanya itu.. kak ija memegang sdikit demi sedikit zakarku yang sederhana besar itu. dan kemudian setelah dikocoh berkali – kali, dia memasukkan nnya ke dalam mulut dan mula menelan sedikit demi sedikit.. diulangnya proses telan dan luah berkali-kali sehingga ku berasa pening dek kenikmatan yang tak pernah aku rasakan.
”Am nak lawan akak yer…kita tengok berapa lama am boleh tahan dengan lancapan akak ni”
Wah cam pertandingan pulak. kak ija mula mengocoh zakarku dengan lembut dan bertukar kepada laju. Aku terpaksa bertahan dari “serangan” kak ija yang bertubi-tubi itu.
”wah boleh tahan yer adik akak ni.. cam dah biasa buat jer?” aku tersipu-sipu malu dengan sindirannya itu..
“oklah , kita tukar posisi ye sayang..”
Kak ija berbaring dan dia pun mengangkang kakinya seluas mungkin.
”Am, fuck me am, fuck me harder..” aku pun bergerak ke arah atas badannya dan memegang zakarku untuk ditujukan ke pussy kak ija yang telah bersedia menerima tujahan dari aku..
aku memasukannya perlahan-lahan dan terus menekan ke dalam.. ku tarik dan memasukannya sekali lagi perlahan-lahan dan terus menujah ke pussy kak ija yang ketat itu.. setelah itu aku tidak menunggu lagi setelah pussynya terbuka lantas aku menujahnya secara perlahan2 dan diselang seli dengan tujahan yang keras dan dalam. Kak ija sudah mengerang kesedapan ..
“Plap, plap, plap, plap” bunyi air maziku bertemu dengan air mazi kak ija..
Aku memegang pinggangnya yang ramping itu dan ku tolak ke atas badanku untuk dia merasakan kedalaman zakarku..dia hanya mengerang “ARGHHH, ARghhhh…” sahaja dengan matanya yang kuyu..
Aku meminta kak ija menonggeng selentik mungkin dan ku ingin menujah pussynya dari belakang, Bontotnya yang pejal dan besar itu aku tampar beberapa kali secara lembut untuk aku memulakan proses kesedapan.. setelah itu aku tidak menunggu lagi dan terus aku membelasah bontotnya dengan tujahan yang keras dan mantap sehingga kak ija tidak mampu berkata-kata melainkan mengerang dan mendesah…
” rogol akak am, rogol akak am…” itulah ayat2 yang diulang2nya sehingga membuat aku ingin klimaks…
aku dengan pantas menyuruh kak ija untuk menyedut air maniku yang bakal keluar tidak lama lagi.. setelah menujah beberapa kali untuk kali terakhir, air mani yang panas dan hangat itu pun ku talakan ke mukanya dan buah dadanya. laju dan pantas pancutannya..
kemudian aku mencium bibir kak ija dan mencium dahinya seraya mengucapkan terima kasih diatas kesudianyya untuk disetubuhi. kak ija hanya tersenyum dan berkata
”lain kali kita boleh buat lagi, nanti akak akan prepare untuk “peperangan” kita yang seterusnya..” Aku tersenyum dan berasa sungguh gembira..
aku dan kak ija terbaring kepenatan di katil. Aku tidak sangka kami akan melakukan hubungan seks sedangkan kami adalah adik beradik yang tak sepatutnya melakukan taboo seperti ini.
kak ija melangkah ke bilik air dengan berbogel seraya memberikan aku senyuman yang paling manis.
“Harap2 lepas ni dapat lagi” kata-kataku sambil memeluk bantal.
Posted in Adik - Kakak
Leave a comment
Tags: sumbang mahram
Rahsia Suamiku
Apr 25
Posted by mrselampit
Aku sudah berkahwin dan mempunyai seorang anak. Hubungan aku suami isteri tiada apa-apa masalah. Dulu aku selalu rasa syak dan wasangka terhadap suami aku. Selalu juga dahulu aku tengok ada sms sms perempuan dalam handphonenya. Sudah mestinya ia menjadi pertikaian besar antara aku dan suami aku. Namun selepas itu ianya senyap selepas suami ku memutuskan hubungan dengan teman-teman wanitanya.
Sebagai isteri, aku memang cukup risau kalau dimadukan. Malah aku semakin risau andainya suami aku melakukan hubungan seks dengan perempuan lain. Aku takut dia dijangkiti HIV atau pun sifilis sebab diakhirnya aku juga yang menderita penyakit itu.
Aku tahu nafsu suami aku memang kuat. Pantang tercuit pasti nak main. Pantang aku pakai ketat-ketat pasti nak main. Begitu jugaklah kalau dia nampak perempuan seksi-seksi, mesti dia mudah terangsang. Kadang kala sebab dah sayangkan suami, walau penat atau demam pun, aku layankan juga. Aku sanggup mengangkang dalam demam-demam asalkan dia puas dan asalkan dia tak main buntut aku. Aku sanggup berkorban diri aku asalkan dia puas dan tak cari perempuan lain yang entah apa status kesihatannya.
Memang aku kuat cemburu. Pantang nampak suami aku berbual dengan perempuan lain walau pun berbual kosong, pasti aku akan isim dan merajuk. Termasuklah dengan kakak ipar ku sendiri, iaitu kakak kandung suami ku. Walau pun cemburu, aku tetap hormat melayannya sebagai seorang kakak walau pun hanyalah ipar sahaja. Tetapi apabila suami ku ada, aku rasa seakan suami aku menggilakan kakaknya sendiri.
Terus terang dulu aku selalu nampak suami aku asyik melihat tubuh kakaknya setiap kali kami balik kampung. Malah aku sendiri pernah nampak beberapa gambar kakak ipar ku di telefon bimbit suami ku dan semuanya adalah di dalam posisi yang memberahikan. Aku tahu suami ku menangkap gambarnya secara curi-curi. Namun satu kejadian yang aku lihat depan mata aku beberapa tahun lepas membuatkan aku tahu siapa suami aku yang sebenarnya.
Jam menunjukkan pukul 2 pagi semasa itu. Aku terjaga dari tidur dan aku lihat suami aku tiada di sebelah. Anak aku sudah nyenyak di sebelah aku juga. Aku turun dari katil dan aku keluar dari bilik. Aku lihat sekeliling dalam rumah mak mertua aku, tak nampak suami aku. Aku lihat bilik mak mertua aku dah tertutup rapat dan gelap dari dalam. Pasti dia sudah tidur. Aku lihat di celah pintu bilik kakak ipar ku agak terang dari dalam.
Aku menuju ke pintu bilik kakak ipar ku itu dan dari celah pintu kayu itu, aku terlihat adegan-adegan yang meredamkan hati ku. Cahaya lampu bilik kakak ipar ku itu menerangi suasana dalam biliknya dan aku lihat kakak ipar ku yang juga janda berusia 44 tahun itu sedang menonggeng atas katil. Dengan kain batiknya yang tersangkut di pinggang, aku tengok punggungnya tak pakai seluar dalam. Dan ketika itu aku lihat wajah seorang lelaki yang aku cukup kenal berada di tengah-tengah punggung kakak iparku itu. Dia adalah suami ku.
Aku rasa seperti ingin menangis melihat perlakuan sumbang mahram mereka berdua. Suami aku menjilat kemaluan kakak kandungnya hingga ke celah punggungnya. Malah lubang buntut kakaknya turut dijilatinya. Walau pun aku sedih dan kecewa tidak terperi, aku tetap nak lihat sejauh mana perginya perbuatan mereka adik beradik itu.
Aku tengok suami aku berhenti jilat kemaluan kakaknya dan dia berlutut di belakang kakaknya. Kakak ipar aku pula menarik batang suami ku masuk ke dalam kemaluannya dan seterusnya suami ku menjolok kemaluannya keluar masuk. Kepala kakak ipar ku terdongak semasa suami ku menjolok batangnya dengan amat dalam. Tak lama selepas tu suami aku terhenjut-henjut kuat di punggung kakaknya dan tubuhnya mengeras. Aku tahu dia sedang memancutkan maninya di dalam kemaluan kakak kandungnya. Kakak ipar ku dari keadaan menonggeng terus berlutut dan suami ku tanpa mencabut kemaluannya keluar terus memeluk kakaknya. Lama juga mereka berpelukan dan sebaik suami aku mencabut kemaluannya keluar, aku lihat air mani suami ku mengalir keluar dengan banyak dari lubang kemaluan kakak ipar ku.
Dengan air mata yang aku tahan-tahankan, aku tinggalkan pintu bilik kakak ipar ku itu masuk menuju ke dalam bilik. Aku menangis melihat kecurangan suami ku yang berlaku di hadapan mata. Sampai ke subuh aku tak dapat tidur kerana berendam air mata. Suami aku masuk ke bilik sebaik azan subuh kedengaran. Aku tak tahu entah berapa round dia buat. Aku tak berani nak tanya pasal perkara itu sebab ia melibatkan kekeluargaan dan keaiban keluarganya dan keluarga ku. Aku rasa baik aku rahsiakan dahulu perkara itu dan aku juga nak lihat sejauh mana perhubungan mereka.
Pada waktu siang, aku sengaja memberikan peluang kepada mereka berdua untuk bersama di dapur. Aku layan anak aku bersama mak mertua ku di beranda rumah. Di hati aku ingin juga tahu apa yang mereka lakukan di dapur. Lalu aku masuk ke dalam rumah sekejap dan aku mengintai apa yang mereka lakukan. Kelihatannya suami aku sedang bercangkung di belakang kakaknya. Kedua-dua tangan suami ku sudah pun berada di punggung kakak ipar ku itu. Dia meramas-ramas punggung kakak kandungnya yang aku nampak ketat dengan kain batik lusuhnya masa itu. Pada masa tu kakak ipar ku tengah cuci beras di dalam periuk nasi untuk di masak.
Khusyuk betul suami ku meramas punggung kakaknya. Baju T yang kakak ipar ku pakai memang sendat dan singkat. Suami ku kemudian merapatkan mukanya di punggung kakaknya dan kakak ipar ku menoleh ke arah suami ku sambil tersenyum. Dia melentikkan punggungnya dan ketika itu aku terdengar bunyi kentut yang kuat. Rupa-rupanya kakak ipar ku mengentutkan muka suami ku yang rapat menciumi punggungnya. Aku ingatkan suami ku akan mengalihkan mukanya, tetapi aku silap, dia terus berada di punggung kakaknya.
Pada waktu petangnya, sewaktu mak mertua ku pergi kenduri di balairaya, aku sengaja membiarkan suami ku bersama kakaknya menonton filem hindustan bersama. Sementara aku membawa anak aku yang tertidur sebab penat bermain di laman rumah ke dalam bilik dan memberi alasan mengantuk.
Aku sengaja duduk diam dalam bilik untuk bagi mereka peluang bersama. Kemudian aku keluar dengan perlahan-lahan dan aku mengintai apa yang mereka lakukan. Aku lihat kakak ipar ku sedang menonggeng di sofa sementara suami ku pula berada di belakangnya sedang mengeluh kuat. Kain batik kakak ipar ku sudah terselak di pinggang dan seluar pendek suami ku pula sudah terlucut di lututnya.
Aku tengok suami aku tarik keluar kemaluannya dari tubuh kakak ipar ku. Aku terkejut melihat air mani suami ku mengalir keluar dari lubang buntut kakaknya, bukan dari lubang kemaluannya. Aku mengucap panjang melihat perlakuan sumbang mereka dua beradik. Sebaik kakak ipar ku berpaling memandang ke tv dan suami ku duduk di sebelahnya, aku segera berundur agar tidak disedari oleh mereka.
Bunyi tv yang kemudiannya diperlahankan membolehkan aku mendengar setiap perbualan mereka. Dari perbualan mereka itulah dapat aku ceritakan serba sedikit dari apa yang aku ingat ketika itu.
Kakak ipar ku bertanya kepada suami ku adakah dia tak rasa bersalah melakukan persetubuhan terkutuk itu dengannya sedangkan dia sudah beristeri, tidak seperti kakaknya yang sudah menjanda itu.
Suami ku mengatakan dia tak menyesal, malah bangga sebab dapat selamatkan rumah tangga dari menjalinkan hubungan sulit dengan mana-mana perempuan yang dia sendiri tak tahu latar belakang dan kesihatannya.
Dari perbualan mereka itu dapat aku ketahui yang hubungan seks mereka baru sahaja bermula pada malam yang aku mengintai di pintu bilik kakak ipar ku itu. Rupa-rupanya selama itu mereka hanya bermain perasaan. Suami ku meluahkan yang dia begitu mengidamkan tubuh kakaknya itu sejak dari dia budak-budak lagi. Kakaknya pula mencelah dan mengatakan patutlah setiap kali kami balik ke kampung kerap sahaja kain batiknya berselaput dengan air mani. Suami ku mencelah, bukan sahaja kain batiknya, malah baju-baju kurungnya yang licin termasuk tudungnya pernah jadi mangsa.
Kakak ipar ku bertanya suami ku apa lagi kenakalan yang pernah dilakukan terhadap dirinya sebelum itu. Suami ku mendedahkan segala-galanya dan aku bagaikan nak pitam mendengar pengakuan suami ku yang kuat nafsu tu. Dia beritahu kakaknya yang dia kerap melancap sambil melihat kakaknya tu tidur dalam bilik pada waktu malam semata-mata hendak memancutkan air maninya di punggung atau pun muka kakaknya itu. Kakaknya ketawa mendengar pengakuan suami ku.
Suami ku turut mendedahkan yang dia begitu gilakan punggung kakak kandungnya yang tonggek, montok dan entah apa-apa lagi entah puji-pujian yang dia beri. Dia kata dia suka tengok kakaknya berkain batik dan berkain skirt ketat yang kerap dipakainya di rumah. Kalau masa dia budak-budak dulu, dia suka sangat tengok kakaknya tu pakai kebaya ketat uniform kilang hingga selalu jadikan uniform kakaknya itu tempat melancap memuaskan nafsu.
Kakaknya tahu yang selama ini dia menjadi idaman adiknya cuma soal haram dan hubungan sedarah yang membuatkan dia menegah dirinya dari melakukan. Tetapi sebaik dia menyedari kemaluan suami ku memasuki lubang kemaluannya sewaktu dia tersedar dari tidur malam itu membuatkan dia membuang semua perasaan itu dan menerima nafsu persetubuhan adik beradik itu dengan rela hati. Lebih-lebih lagi dia sudah lama tidak menikmati persetubuhan yang mengasyikkan.
Kakak ku bertanya kepada suami ku sudah berapa ramai perempuan yang sudah ditidurinya. Itu adalah soalan yang selama itu aku nanti-nantikan. Suami aku macam nak berahsia tapi kakaknya pandai menggoda dan memujuk hingga akhirnya suami ku mendedahkan dia sudah menyetubuhi 5 orang perempuan sepanjang dia masih belum berkahwin hingga sudah berkahwin dan mempunyai seorang anak. Aku hampir pengsan mendengar pengakuannya.
Kemudian adik ku bertanya kepada kakak ku sudah berapa ramai lelaki yang menyetubuhinya. Tidak termasuk bekas suaminya, dia sudah menjalinkan hubungan seks dengan 4 orang lelaki, seorang sewaktu masih menjadi isteri orang dan selebihnya semasa menjanda. Kakaknya turut mengeluh meluahkan perasaan bahawa lelaki-lelaki yang pernah didampinginya cuma pentingkan nafsu mereka sendiri. Tetapi sebaik dia merasakan penangan suami ku, terus dia merasakan kepuasan persetubuhan yang selama itu dia idam-idamkan.
Suami ku bertanya adakah mereka masih berhubungan dengan kakaknya. Kakaknya memberitahu buat masa itu cuma ada seorang yang masih mengharapkan tubuhnya menjadi tempat bertenggek iaitu bangla di kilangnya. Dia bercadang hendak berhenti kerja agar dapat memutuskan hubungan itu tetapi terfikir juga siapa yang hendak membiayai persekolahan anak-anaknya di asrama.
Selepas aku balik ke kota bersama suami dan anak, aku rasa lega kerana bayangan hidup suami ku bersama kakak ipar ku hilang bersama tugas. Namun siapa sangka, di belakang aku rupa-rupanya mereka saling bersms dan meluahkan kata-kata lucah. Banyak sms suami ku yang memuji buntut kakak kandungnya itu. Malah selalu aku lihat suami ku bertanyakan perihal pakaian-pakaian yang dibelikan untuk kakaknya. Entah bila dibelinya dan entah bila diberikan kepada kakaknya tidak aku tahu. Yang pasti mereka sempat bersetubuh kerana ada beberapa sms yang ku baca mengatakan suami ku betul-betul puas menikmati punggung kakaknya sewaktu pakaian-pakaian itu dipakai.
Hari demi hari, aku dapat rasakan perbezaan besar yang cukup ketara kepada suami aku. Dia jarang pulang lewat dan kasih sayangnya kepada aku dan anak cukup sempurna. Aku ingatkan dia sudah memutuskan hubungan sulit bersama kakaknya rupa-rupanya ternyata aku silap. Aku terjumpa kain batik kakak ipar ku yang berbau air mani dalam beg kerja suami aku.
Namun satu sms yang aku masih ingat hingga kini adalah luahan suami ku kepada kakaknya untuk menjadi suami gelapnya. Dia lebih rela beristerikan kakak kandungnya dari memadukan aku agar hati aku tidak terluka. Aku di dalam dilemma antara marah dan terharu dengan perbuatannya. Namun mengenangkan perubahan besar dalam sikapnya membuatkan aku seakan pasrah dan lebih rela mendiamkan sahaja rahsia itu, asalkan keluarga kami bahagia dan suami ku tidak berpeleseran dengan mana-mana jalang untuk memuaskan nafsunya. Sekurang-kurangnya kalau dia tak balik dan aku tahu dia menipu mengatakan ada meeting dan kursus supaya hati ku tak lagi berkecamuk, tetapi aku lega sebab dia pasti bersama dengan kakaknya, bukan dengan orang lain.
Sebaik mak mertua aku meninggal dunia, suami aku bawa kakaknya tinggal bersama kami. Walau pun serba salah untuk menerima tetapi demi hormatnya aku kepada kakak ipar ku itu aku terima juga dia tinggal bersama. Aku pun tahu, sekurang-kurangnya apabila dia ada di rumah, terkemas juga rumah kami dikemasnya.
Suami ku membayar gaji kakak ku setiap bulan sehingga kini. Malah aku lihat hampir setiap malam suami aku mesti hilang dari katil. Aku yang sudah tahu kemana perginya malas nak menegah, sebaliknya lega kerana dia tidak bermain dengan perempuan lain yang tidak ku tahu asal usul.
Kadang-kala aku pulang dari pejabat, suami ku sudah pun berada di rumah. Biasanya pasti dapat aku lihat kesan basah di punggung kain batik kakak ipar ku itu. Malah kadang kala kakak ipar ku sengaja memakai yang merangsang nafsu suami ku seperti berkebaya ketat atau pun memakai kain yang licin yang dipakai bersama baju T yang ketat dan singkat. Pernah aku balik tengok pintu bilik kakak ipar aku terbuka dan bila aku masuk aku nampak suami aku tengah buat sesuatu pada komputer kakak ipar aku dengan hanya berseluar pendek. Kakaknya pula berkain batik dan bercoli. Dengan bau biliknya serta katil yang berselerak aku tau dia orang baru lepas main.
Begitu juga setiap hujung bulan, mereka pasti akan pulang ke kampung dengan alasan hendak melihat keadaan rumah pusaka mereka. Aku yang malas nak kacau lebih suka duduk di rumah bersama anak. Mereka pastinya akan bermalam di sana selama semalam dan aku sudah agak pasti persetubuhan yang menjadi agenda mereka.
Sewaktu mereka tiada di rumah itulah aku mengambil peluang untuk menyelongkar bilik kakak ipar ku itu dan aku terkejut kerana tiada satu pun pil perancang mahu pun kondom yang aku temui. Aku juga menjumpai pen drive milik suami ku berada di laci meja kakak ipar ku dan setelah ku buka, beratus-ratus video persetubuhan mereka dirakam menggunakan handphone suami ku. Itu termasuklah di hotel, di rumah kampung mereka dan juga di dapur rumah ku sendiri! Menggigil aku melihat mereka telanjang bulat beromen di katil hotel sampai memancutkan keluar mani suami ku dari kemaluan kakaknya. Termasuklah melakukan persetubuhan seks ikut buntut yang paling banyak ku lihat dilakukan mereka di rumah ku ini, terutamanya ketika kakak ipar ku itu berkain batik. Video kakak ipar aku hisap kemaluan suami aku dalam kereta pun ada. Entah apa-apa entah suami aku masa tu cakap sedap kena kolom kakaknya yang bertudung licin. Pakai tudung satin pun boleh stim ke. Kenyang juga kakak ipar aku tu telan semua mani suami aku.
Perhatian ku tertarik kepada fail yang disimpan di dalam almari pakaian kakak ipar ku. Bagai nak luruh jantung ku melihat sijil perkahwinan mereka di Thailand. Memang mereka itu benar-benar serius hendak berlaki bini. Tak apalah asalkan bukan dengan orang lain.
Hari ini genap 7 tahun kakak ipar ku tinggal bersama kami sekeluarga. Dia tetap tak mengandung walau pun aku tahu kekerapan suami ku bertenggek dengannya lebih banyak berbanding diri ku. Aku syak kakak iparku melakukan pembedahan mengikat rahim kerana aku pernah ternampak resitnya di poket baju suami ku beberapa tahun dahulu. Pasti suami ku yang menajanya.
Walau pun sekarang ini kakak ipar ku itu sudah pun berusia 52 tahun, aku pelik kerana suami ku masih lagi berselera kepada kakaknya itu. Sms kakak ipar ku kepada suami ku menjadi klu kepada aku bagaimana hubungan mereka itu masih bertahan walau pun kakak ipar ku itu sudah berusia kini. Kerelaannya menjadi ‘hamba’ suami ku setiap saat hidupnya walau pun tanpa duit dan pakaian-pakaian baru menjadi faktor kepada keutuhan hubungan mereka. Aku kadang-kadang rasa kerdil sewaktu bersama kakak ipar ku kerana aku tidak dapat memberikan kenikmatan yang suami aku mahukan. Aku tahu aku terlalu dibayangi oleh salahnya hubungan luar tabie iaitu seks buntut walau pun aku sendiri jarang sekali mengerjakan suruhan agama.
Malam beberapa hari lepas aku sempat curi dengar perbualan mereka dalam bilik. Masa tu pukul 2 pagi. Mestinya dia orang ingat aku dah tidur. Kakak ipar aku tanya kenapa suami aku masih stim kepadanya walau pun dia dah makin berumur. Suami aku kata sebab bontot kakaknya masih tonggek dan lebar serta sebab kakaknya boleh kena pancut atas bawah depan belakang. Lepas tu suara suami aku bagi pakaian baru kepada kakaknya. Dia suruh pakai esoknya. Tak sabar juga nak tahu baju apa.
Jadi paginya aku tengok kakak ipar aku dah pakai baju jubah muslimah warna kuning. Bukan setakat licin dari atas ke bawah, ianya betul-betul sendat di badannya. Bila aku balik, suami aku tengah cuci keretanya. Awal baliknya hari tu. Bila aku masuk dalam rumah, kakak ipar aku tengah buat air di dapur. Masih pakai jubah muslimah tu tapi buntutnya nampak basah. Aku malas nak cakap apa-apa. Faham-faham sendirilah.
Percaya atau tidak terpulanglah. Aku menaip cerita ini pun di pejabat. Suami aku cuti dan ada di rumah dengan kakaknya. Anak aku sekolah. Pagi tadi pun aku pergi kerja kakak ipar aku dah siap-siap pakai kebaya jarang yang singkat tak bercoli. Kain batiknya yang selalu dipakai di rumah. Faham-faham sajalah apa yang mereka buat di rumah.
Posted in Adik - Kakak
Leave a comment
Tags: sumbang mahram
Ku Lancap Batang Adikku
Apr 22
Posted by mrselampit
Aku ada seorang adik lelaki. Zul namanya. Aku nak cerita dari awal biar korang faham. Sejak aku masih tingkatan 5 lagi aku dah rasa semacam dekat adik aku tu. Bukannya apa, aku selalu rasa dia macam suka perhatikan aku. Kadang-kadang dia mengintai aku mandi. Tengah berak pun pernah. Aku diamkan je sebab aku tahu dia bukan berani buat apa pun. Tapi rasa macam tak sangka pun ada juga sebab dia masa tu masih darjah 6.
Bila aku tamat sekolah dan adik aku naik tingkatan 1, semakin luar biasa rasa semacam aku dekat adik aku. Aku tengok dia semakin hari semakin parah nampaknya. Dia makin tak keruan. Maksudnya dia nampak serba gelisah bila aku ada. Kena pulak tu dia baru sembuh dari sunat. Pernah juga aku ternampak batangnya mengeras dalam kain pelikat atau pun seluarnya.
Biasanya aku tengok dia serba tak keruan bila aku pakai kain batik kat rumah. Bagi aku mulanya aku rasa macam biasalah sebab dari mak aku, kakak aku yang sulung, kakak aku yang kedua dan aku sendiri memang biasa pakai kain batik kat rumah. Tapi apa masalahnya dengan adik aku tu. Aku memang tak faham sangat dengan nafsu orang lelaki masa tu. Walau pun aku pernah lancapkan batang boyfriend aku masa sekolah dulu tapi aku masih tak berapa faham gelagat nafsu dia orang ni.
Lama-kelamaan aku mula sedar yang aku sendiri sebenarnya yang membuka pintu syahwat adik aku tu. Aku mula sedar antara aku, mak aku, kakak-kakak aku, yang paling menyerlah seksinya adalah aku. Aku tahu yang aku suka pakai baju T yang singkat dan ketat masa kat rumah. Kadang-kadang aku selamba je pakai baju yang jarang-jarang. Bila abah aku ada aku tak berani sebab pernah kena marah dengan dia. Tapi sebab abah selalu keluar outstation, kadang-kadang mak pun ikut sekali jadi aku bebas buat apa saja di rumah. Kakak-kakak aku pula masing-masing dah hidup sendiri di perantauan sebab kedua-duanya jurutera dan baliknya sekali sekala. Masa tu dia orang masih bujang lagi. Jadi kebanyakan masa aku berdua bersama adik aku yang sorang tu je kat rumah.
Satu lagi halnya aku ni pulak suka posing seksi. Entahlah. Dah semula jadi agaknya. Bagi aku semua tu biasa-biasa je tapi tak sangka pulak adik aku boleh ‘terambik’ serius pulak sampai terangsang. Alah kalau setakat suka menggeliat, tubuh melentik masa ikat rambut, duduk melentik dekat kerusi, suka menonggeng, suka selak kain sampai peha masa tengok tv dan macam-macam lagi tu bagi aku biasa je. Biasalah aku ni kan perempuan. Normal la tu. Kadang-kadang aku rasa body aku ni seksi sebab nak bandingkan dengan kakak-kakak aku, kita orang lebih kurang je slimnya. Mak aku pulak berisi, biasalah mak orang. Cuma aku je yang tonggek sikit. Boyfriend aku masa sekolah dulu suka sangat pegang bontot aku. Dia cakap aku tonggeklah, melentiklah, seksilah. Itu yang asyik nak berlendir je kat celah bontot aku. Asal jumpa je mesti basah kain aku. Entah apa cerita dia sekarang.
Satu lagi yang aku rasa masa tu adalah cara jalan aku yang macam itik serati pulang petang, bak kata bekas boyfriend aku dulu. Bila aku try jalan depan cermin aku rasa macam biasa je, tapi lama-lama baru aku faham apa yang boyfriend aku cakap dulu. Memang nampak jelas melenggok bentuk bontot aku bila berjalan. melentik pulak tu. Barulah aku rasa macam kesian pulak kat adik aku yang sorang tu asyik selalu je kena gangguan seksual dari aku. Sorilah Zul akak mana tahu masa tu. Akak pun hampir-hampir terlupa jugak yang engkau tu pun ada nafsu.
Cuti krismas tahun 1993. Aku masih ingat lagi hari tu. Mak dan abah pergi Singapore. Kakak-kakak aku balik rumah nenek. Aku dan adik aku pulak tinggal dekat rumah. Pada hari tu aku sengaja nak dengki dia. Aku nak tengok macam mana gelisahnya dia bila berdua dengan aku hari tu. Jadi sengajalah aku pakai baju T yang ketat hari tu. Sengaja aku nak tengok macam mana gayanya adik aku yang sorang tu bila tengok body aku berpakaian sendat. Aku nak dengki dia supaya dia tak keruan tengok bontot aku yang ketat dengan kain batik.
Jadi pagi-pagi lagi aku dah siapkan dia sarapan. Memang itu rutin aku bila mak tak ada. Bila dia bangun tidur, dengan bertuala lagi dia dah duduk dekat meja makan bersarapan sorang-sorang. Aku pun dengan selambanya mundar mandir dekat dapur. Buat-buat sibuklah kononnya. Susun gelas dalam kabinetlah, cuci pasu bunga dekat table top dan macam-macam lagilah. Asalkan aku boleh bagi adik aku tu tengok body aku puas-puas hari tu. Sengaja nak dengki dia biar tak keruan dia sepanjang hari tu.
Masa aku susun cawan dalam kabinet bahagian bawah, aku sengaja melentikkan bontot aku dan menonggeng-nonggeng. Jadi makin sendatlah kain batik aku tu melekat dekat bontot. Aku dengar bunyi kerusi meja makan tu ditarik dan aku toleh dan nampak adik aku bergegas masuk tandas. Aku sempat ternampak batangnya menonjol dalam tuala. Stim la tu. Aku dah fikir sah dia melancap dalam bilik air. Aku pun mengintai ikut lubang yang selalu adik aku guna untuk mengintai aku. Terbeliak mata aku tengok batang dia yang keras berurat tu. Baru tingkatan satu tapi batang dah nak hampir sama saiz dengan bekas boyfriend aku dulu. Berdebar-debar aku tengok dia. Aku tunggu punya tunggu nak tengok betul ke tidak dia melancap. Dari awal dia mandi sampai habis dia tak melancap langsung. Batangnya dari keras sampai lembik aku tengok. Aku pun tanam niat dalam hati, tak apa, hari masih panjang. Aku akan buat dia betul-betul tak boleh tahan hari tu.
Lepas tu aku cakap awal-awal dekat adik aku masa dia tengah tengok tv yang dia tak boleh keluar hari tu sebab mak abah pesan suruh tolong aku kemas rumah. Sebenarnya aku sendiri yang reka alasan tu, tak nak dia lari keluar dari rumah sebab tak tahan tengok body aku. Jadi adik aku yang baik tu pun tolonglah aku kemas rumah. Aku kemas area ruang tamu, dia pun ikut kemas. Aku kemas area ruang tengok tv, dia pun ikut kemas. Mana-mana aku pergi dia ikut je. Aku jeling-jeling juga, dia asyik tengok body aku je bila ada peluang. Aku pun sengaja la lentik-lentikkan body masa ikat rambut, menonggeng-nonggeng dan kadang-kadang sengaja aku betulkan kain batik aku depan dia.
Aku tengok dia dah macam tak tentu arah. Seluar pendek dia pun aku tengok dah mengelembung, tanda batang dia dah keras macam apa dalam seluarnya. Aku tau dia menahan je masa tu. Lepas dah siap kemas rumah, aku ajak adik aku tolong aku masak kat dapur. Kononnya panas, jadi aku tukar T shirt yang aku pakai masa tu kepada yang lebih singkat dan jarang. Aku sengaja tak pakai coli. Aku tau dia mesti boleh nampak puting tetek aku sebab aku sendiri pun boleh nampak warna puting aku yang tersembul bila tengok depan cermin.
Aku suruh adik aku potong kacang panjang. Jadi dia boleh tengok body aku puas-puas dari belakang masa aku tengah tumis rencah dalam kuali. Malas aku nak masak lauk. Jadi masak nasi goreng kampung sajalah. Adik aku pun tak komplen. Janji kenyang. Bila dah siap masak, kita orang pun makan sama-sama. Masa makan sengaja aku bidang-bidangkan dada aku depannya. Dia asyik curi-curi pandang.
Lepas makan, aku tengok dia tengok tv. Aku pun ikut menyibuk baring melintang depan tv. Aku mengiring membelakangkan dia yang duduk dekat sofa. Lepas tu aku sendat-sendatkan kain batik aku dengan tariknya ke depan supaya adik aku nampak bontot aku betul-betul sendat dengan kain batik. Tak lama lepas tu aku tengok dia dah tak ada kat belakang aku. Sofa kosong. Aku rasa dia ke bilik air melancap. Aku pun tinggalkan tv yang masih hidup nak ke bilik air. Bila aku melalui depan bilik dia, aku dengar suara adik aku macam menangis dalam biliknya. Pintunya tutup rapat. Aku rapatkan telinga aku kat pintu biliknya dan memang betul adik aku menangis dalam bilik.
Aku pun pulas tombol pintu bilik dia. Nasib baik tak berkunci. Aku pun terus masuk dan terperanjat betul bila aku tengok adik aku duduk dekat tepi katil dengan tak pakai seluar. Batangnya keras macam tiang. Adik aku terperanjat bila tengok aku masuk dan cepat-cepat tutup batang dia dengan bantal. Aku tutup pintu dan terus duduk sebelah adik aku. Aku tengok air matanya masih basah dekat pipinya. Kesian pulak aku tengok dia macam tu. Takkan tak tahan tengok aku dah menangis macam tu sekali.
Aku tanya dia apa masalahnya, menangis tak pakai seluar dalam bilik. Dia diam je tak nak cakap. Aku pujuk dia. Dia diam jugak. Lepas tu aku tanya kenapa batang dia keras. Dia diam juga. Aku rasa dia malu masa tu. Jadi dengan selambanya aku tanya dia menangis sebab tak tahan tengok aku ke. Adik aku tengok muka aku. Dari muka dia aku rasa dia macam tak sangka aku tanya soalan tu. Lepas tu dia tundukkan muka dia. Aku tarik dagu dia ke atas dan aku tengok muka dia kemerahan. Memang betul dia malu gila dengan aku masa tu. Masa aku tengok muka dia tu sayu pulak hati aku. Aku dera perasaan adik aku betul-betul hari tu sampai dia tak tahan dan menangis sebab tak tahu nak buat apa dengan keberahian tu.
Aku rasa bersalah juga sebab aku ingat paling kuat pun dia melancap je. Tapi tanya punya tanya, walau pun bila aku tanya, sepatah je jawabnya, aku tahu juga akhirnya yang adik aku tu tak tahu melancap. Bila aku tanya dia dah mimpi masah ke belum, jawabnya “mimpi basah tu macam mana kak?”. Memang betul adik aku tu betul-betul lurus bendul. Memang aku akui yang adik aku tu budak baik. Ada budak perempuan suka kat dia pun dia lari.
Jadi oleh sebab kesian dan tak nak dia murung sepanjang hari, ditambah pulak dengan miang aku yang tiba-tiba jadi rindu nak pegang batang lepas nampak batang adik aku masa masuk ke biliknya awal sebelum tu, aku pun dengan selambanya tarik bantal yang menutup batangnya tu kuat-kuat dan campak ke lantai. Kelam kabut adik aku tutup batang dia pakai tangan. Dah lembik rupanya. Aku cuba alihkan tangannya tapi dia kuat betul tutup batang dia. Jadi aku cakap aku nak tolong dia hari tu dan minta dia buang perasaan malu kat aku. Akhirnya dia pun buka tangannya.
Terliur pula aku tengok batang adik aku tu. Kepalanya masih kemerahan. Lebih merah dari batang bekas boyfriend aku dulu. Aku cuit sikit kepalanya. Mendesis adik aku. Mukanya macam ngilu masa tu. Aku pun pegang batangnya. Dia mendesis lagi. Lepas tu aku usap-usap batangnya. Aku kocok-kocok lembut. Tapi dia tak naik-naik juga. Aku tanya adik aku kenapa tak naik batangnya. Dia diam je. Mungkin malu dekat aku rasanya. Tak boleh jadi. Sebelum aku malu sendiri sebab aku cakap nak tolong dia kononnya, tapi batang dia tak naik. Jadi aku perlu buat sesuatu.
Aku berdiri depan adik aku. Aku lentik-lentikkan bontot aku masa aku ikat rambut aku dekat depan cermin. Aku sengaja buat-buat getah pengikat rambut aku jatuh ke lantai. Aku berlutut dan menonggeng kat lantai depan dia masa nak ambil balik getah rambut tu. Lepas tu lentikkan bontot aku depan dia. Bila aku tengok adik aku, dia dah gelisah. Batangnya dah keras balik. Memang itu yang aku nak. Dia macam malu-malu dekat aku masa tu.
Sebelum malunya membuatkan batangnya turun kembali, cepat-cepat aku berlutut depan dia dan aku goncang batangnya. Dari hampir-hampir nak lembik balik sebab terkejut dengan tindakan aku yang tiba-tiba tu, batangnya keras balik bila aku pegang dan lancapkannya depan muka aku. Aku tengok je batangnya yang keras tu bergegar kena lancap. Aku tengok muka dia, merah macam udang kena bakar. Nafasnya macam tengah berlari. Aku tambahkan lagi berahinya. Aku berlutut di lantai dan berdiri mengiring di hadapannya. Biar dia tengok body aku dari tepi. Aku tarik tangan dia dan letak dekat bontot aku. Adik aku ramas bontot aku.Batangnya makin keras. Lubang kencingnya dah makin banyak keluarkan air mazi. Sampailahh aku dengar ucapan pertamanya dalam nafsu yang masih aku ingat sampai hari ni,
“NAK BONTOT KAK CIKKKKK!!!!”
Masa tulah menyembur air mani pertamanya ke dunia. Banyak yang sememangnya banyak. Terlalu banyak kalau nak dibandingkan dengan air mani bekas boyfriend aku masa sekolah dulu. Dalam dua tiga kali ganda rasanya. Aku betul-betul terkejut tengok batangnya keluarkan air maninya yang banyak. Aku teruskan lancap batangnya dan biar dia puas habiskan air maninya menembak tubuh aku. Pinggul aku yang sendat dengan kain batik tu berlumuran dengan air maninya.
Lepas tu aku berdiri dan tarik tangan dia supaya berdiri sama. Aku selak kain batik aku tinggi dan aku lap batangnya gunakan kain batik aku. Menggeletar badan dia sampai dia peluk aku sebab tak nak terjatuh. Begitu hebatnya dia terpancut mani buat kali pertama dalam hidupnya. Aku dah buatkan adik aku akil baligh hari tu, 25 Disember 1993.
Petangnya aku tak pakai kain batik tu. Aku pakai kain sarung uniform sekolah bersama baju T yang sama, yang nipis dan ketat gila tu. Aku nak tengok pula dia stim tak kalau aku pakai macam tu sebab kalau sebelum tu, bekas boyfriend aku memang tak tahan kalau nampak aku berpakaian macam tu. Jadi petangnya aku buat kat adik aku sama macam yang aku buat dekat bekas boyfriend aku. Aku tarik adik aku supaya dia peluk aku dari belakang, dan aku gesel-geselkan bontot aku dekat batang dia yang stim. Aku buat dia rasa best batangnya kena lenyek bontot aku yang tonggek tu. Baru aku ingat nak lancapkan dia pakai kain sekolah aku tu, dah menyembur air mani dia basahkan bontot aku.
Malamnya, adik aku mintak nak tidur dengan aku, aku faham apa dia nak. Jadi sebelum tidur tu aku lancapkan dia dan aku sempat ringan-ringan dengan dia. Memang kaku tak macam boyfriend aku. Aku pun cuma nak lepas gian je sebab dah lama tak romen. Bukan masuk dalam pun. Aku pun masih dara masa tu. Aku siap buka baju dan bagi adik aku hisap tetek aku. Aku lancap batang dia pakai tangan, tak pancut-pancut. Sampai lenguh tangan aku. Aku lancapkan pakai kain batik. Pun sama juga. Last-last aku guna losyen. Barulah dia terpancut.
Sejak dari hari tu, dengan rasminya aku menjadi pelancap batang adik kandung aku tu. Sepanjang minggu pertama tu, aku terpaksa melayan permintaannya sebab dia dah kemaruk sangat mintak dilancap. Kalau aku sibuk kemas rumah ke, memasak ke, dia lancap sendiri dan bila nak terpancut cepat-cepat dia halakan dekat bontot aku. Bila mak dan abah dah balik pun dia asyik ambil kesempatan nak peluk aku je. Asalkan dapat tembab sekejap batang dia kat bontot aku cukuplah. Lepas tu kita orang dah slow sikit sebab dia dah mula sekolah balik dan aku pulak dah dapat kerja dengan kawan mak aku. Tapi masa hujung minggu pantang ada peluang, mesti dia nak pancutkan air mani dia dekat bontot aku.
Masa umur aku 24 tahun aku dah couple dengan suami aku sekarang ni. Lepas tu pada usia aku 25 tahun, aku jadi isteri orang. Sehari sebelum aku nikah, adik aku murung je. Aku pun bila ada peluang nak borak berdua dengan dia pun tanya dia kenapa. Rupa-rupanya dia sedih sebab aku akan jadi milik orang dan mungkin aku takkan bagi dia kenikmatan yang selalu dia dapat dengan aku. Aku kesian dengan dia dan suruh dia masuk bilik aku bila semua orang dah tidur. Masa tu akak-akak aku dah balik dengan suami masing-masing. Dia orang dah kawin masa tu.
Malam tu adik aku masuk bilik aku dalam pukul 2.30 pagi. Aku tengah tidur dikejutkan dan aku bangun dari katil dan buka lampu. Aku tersenyum tengok muka dia yang innocent tu. Aku buka almari dan aku keluarkan baju kebaya singkat yang aku pakai masa kakak aku yang kedua tu kawin. Aku masih ingat baju kebaya tulah yang buat kami adik beradik hampir-hampir terlanjur sebab aku terlalu khayal dengan nafsunya yang betul-betul ghairah kat aku. Bayangkan masa majlis kawin kakak aku tu, aku dengan adik aku sempat buat projek dalam bilik pengantin. Dia punya tak tahan sebab kebaya tu dahlah pendek dan ketat, kainnya pula licin dan terbelah belakang sampai ke peha. Memang seksi pakai kain ketat tu. Adik aku peluk aku dan selak kain aku. Dia selit batangnya dalam seluar dalam aku sampai aku sendiri tak tahan. berdecit bunyi pepek aku bergesel dengan batang dia sebab aku sendiri dah betul-batul basah. Aku punya tak tahan sampai biar batang adik aku yang tak sengaja termasuk dalam pepek aku. Bila aku terasa sakit baru aku sedar kepala batangnya dah terjerlus dalam lubang pepek aku. Cepat-cepat aku tarik badan aku sampai batang dia terkeluar dan menganjal balik melekat kat atas bontot aku yang ditutupi kain licin. Masa tulah membuak-buak air mani dia keluar. Habis basah kain aku. Adik aku pulak dia goncang batang dia pakai kain satin aku tu. Lagilah bersepah air mani dia yang pekat kat kain aku. Bila masing-masing dah slow, barulah aku perasan yang kain aku tu dah tak layak nak pakai hari tu sebab terlalu bersepah sangat dengan air mani adik aku yang berlumuran di sana sini. Berdebar-debar aku sebab dahlah buat masa orang tengah ramai kat luar bilik. Dibuatnya ada orang masuk nak tengok bilik pengantin memang naya kita orang hari tu. Lepas tu hampir-hampir nak terlanjur pula tu. Aku pun terpaksa pinjam kain akak aku yang ada dalam bilik tu sebab tak kan aku nak keluar bilik dengan kain aku yang basah dengan lendir pekat air mani adik aku tu.
Jadi untuk sesuatu yang istimewa kepada adik aku malam tu, aku pakai baju kebaya tu lagi. Aku sengaja telanjang depan dia dan masa dalam keadaan telanjang tulah aku lentikkan bontot aku masa nak sarungkan kebaya tu ke badan. Terpacak batang adik aku dalam kain pelikatnya. Bila aku dah pakai kebaya tu, bulat mata adik aku tengok body aku. Aku tarik dia berdiri bersama. Pertama kali dalam sejarah, kami berdua berpelukan dan berkucupan malam tu. Aku lancap batangnya dan biar dia raba body aku, terutamanya di bahagian bontot.
Aku gesel-geselkan kepala batangnya dekat perut aku. Biar kepala batangnya yang kembang sangat tu rasa betapa licin dan lembutnya perut aku yang berkain satin. Aku tarik adik aku naik ke katil dan berpelukan sambil baring. Lepas tu aku selak kain aku dan menonggeng atas katil. Aku jambak rambut adik aku dan tarik kepalanya ke bontot aku. Adik aku bila dah dapat peluang macam tu, di jilatnya celah bontot aku macam orang kebulur setahun tak makan. Aku punya sedap kena jilat tu biar je sebab aku tahu dia memang suka kat bontot aku. Jadi malam tu aku bagi dia main bontot aku puas-puas. Asalkan tak masuk dalam cukuplah. Lepas tu dia kata lidahnya penat. Aku baring sebelah dia dan sambung lancapkan batangnya. Aku goncang-goncang batangnya sampai akhirnya dia terpancut juga. Itu pun lepas aku balut batangnya dengan kain yang aku pakai. Biar dia rasa sedapnya kena lancap pakai kain yang licin tu.
Lepas kawin aku ikut laki aku. Sesekali aku balik juga ke rumah mak dan abah. Kalau adik aku tak kerja, dapatlah kita orang jumpa lepaskan rindu. Aku pun tak tahu kenapa aku rindu sangat bila tak jumpa dia. Beberapa bulan lepas tu aku mengandung. Masa aku mengandung 7 bulan, adik aku call aku dan cakap dia tak tahan sangat tengok bontot aku yang semakin tonggek masa tu. Dia rindu sangat nak pancutkan air mani dia kat bontot aku. Aku faham sebab memang lumrah orang mengandung perutnya berat ke depan. Aku kesian pulak kat adik aku dan suruh dia datang ke rumah sewa aku bila aku ambil cuti rehat sehari.
Dia pun datang. Laki aku kerja masa tu. Aku pun sambil hilangkan rindunya, aku hilangkan sekali rindu aku kat adik aku tu. Aku memang teringin sangat nak kena mandi air maninya kat bontot. Aku memang rindu sangat dengan kehangatan air maninya yang banyak tu. Rupa-rupanya hari tu adalah permulaan kepada jalan hidup yang semakin hitam dalam hidup kami berdua.
Aku sengaja pakai kain batik hari tu. Memang agak susah sikit nak pakai sebab perut dah besar. Tapi itu semua boleh adjust. Aku jugak sengaja pakai baju T. Makin tonggeklah aku pakai baju yang sendat kat perut. Adik aku dah tak tahan. Aku di suruh menonggeng dekat sofa. Dia jilat lubang bontot aku dan korek lubang bontot aku pakai lidahnya dalam-dalam. Aku geli campur sedap juga masa tu.
Lepas tu di luar jangkaan aku, aku yang mulanya mengharapkan dia memancutkan air maninya di bontot aku dan paling tidak pun aku lancapkan batangnya sampai pancut kat atas perut aku yang tengah mengandung tu terkejut besar sebab adik aku sumbat batangnya masuk ke dalam lubang bontot aku. Aku menjerit sebab sakit dan terperanjat. Aku tarik badan aku supaya batangnya tertanggal keluar tapi dia cepat-cepat tarik rambut aku sampai aku rasa tak dapat nak bergerak sebab kepala aku sakit setiap kali aku berkeras.
Akhirnya dia tekan sedalam-dalamnya dan aku betul-betul rasa bersalah hari tu. Aku nak marah dah memang salah aku sebab akulah manusia pertama yang buat dia akil baligh dulu. Dan aku juga yang selalu bermain-main dengan air mani dan batangnya. Terus terang aku rasa yang aku ni dah tak layak untuk jadi kakaknya. Aku ajar dia buat benda tak senonoh dan akhirnya ianya memakan diri aku sendiri.
Aku diliwat adik aku pagi tu. Aku menangis di sofa sebab sakit di bontot. Adik aku pulak entah kenapa lambat betul nak terpancut mani. Bila aku rasa batangnya berdenyut-denyut kuat dalam bontot aku barulah aku rasa lega. Pertama kali aku rasa betapa hangatnya lubang bontot aku diisi air mani. Sedap juga tapi pedih kat lubang bontot jangan cakaplah. Tuhan je yang tahu. Bila dia keluarkan je batangnya dari lubang bontot aku, cepat-cepat aku lari masuk ke bilik. Masa tulah aku rasa air maninya mengalir laju keluar dari lubang bontot aku. Masa aku berlari masuk bilik tu aku dengar macam aku tengah berak cair. Menciritkan air mani adik aku dari lubang bontot.
Aku lupa nak kunci pintu. Aku menangis atas katil. Adik aku datang dan peluk aku. Dia minta maaf dan bagi tau dia sebenarnya rindu yang teramat sangat dekat bontot aku. Dia kata dia sanggup mati untuk aku. Aku pulak yang jadi sedih dan aku terima kemaafannya tu.
Tengaharinya masa aku tengah masak kat dapur, adik aku tolong masak sekali. Masa tu aku teringat hari pertama aku menggodanya dulu. Aku di dapur bersama dengannya. Cuma bezanya aku dah mengandung masa tu. Adik aku tak tahan rupanya tengok bontot aku yang melentik tonggek dengan kain batik yang sendat. Dia peluk aku dan tembab batang dia dekat bontot aku. Dia puji aku tinggi melangit. Langit pun aku rasa tak setinggi pujiannya. Dia kata aku cantik pakai kain batiklah. Dia kata bontot aku memang tak ada perempuan yang boleh lawanlah. Sambil tu aku dapat rasa dia selak kain batik aku dan letak batang dia kat celah bontot aku. Bergesel kat celah bontot.
Air maninya yang masih ada sikit dalam lubang bontot aku memudahkan dia masukkan batangnya ke dalam bontot aku. Walau pun aku rasa sakit, tapi perasaan sayang aku yang melampau-lampau dekat adik aku tu buatkan aku rasa macam kena bius. Aku biar je dia sorong tarik batangnya kat lubang bontot aku. Masa tu dia kata bontot aku sedap dan dia tak tahan tengok bontot aku yang makin lebar tu. Dia kata aku perempuan paling tonggek dalam hidupnya. Semakin lama dia semakin tak tahan dan semakin laju dia jolok bontot aku. Akhirnya dia pancutkan lagi air maninya ke dalam bontot aku. Walau pun aku sakit aku masih boleh tanya dia sedap ke pancut dalam bontot. Sedangkan masa tu batangnya masih terpacak dalam bontot aku. Dia jawab sudah tentunya sedap.
Bermula dari tu aku dan dia menjalinkan hubungan sulit yang songsang. Hubungan sumbang mahram yang selamat sebab aku tak akan mengandung janin yang tercipta dari benihnya. Masa aku mengandung anak ke dua pun sama juga. Terlalu kerap bontot aku di sondolnya sampai aku berak air maninya selalu. Sekarang usia aku 35 tahun. Adik aku pulak 30 tahun. Dia dah kawin. Dengan awek dia yang bertubuh lagi montok dari aku yang slim ni. Bontot bini dia lagi besar dari aku tapi adik aku cakap bontot aku lebih tonggek dan lebih menggoda berbanding bontot bininya. Dia cakap bontot aku pun lagi sedap dari lubang bontot bininya.
Sekarang ni walau pun tak seaktif macam dulu, aku masih lagi menyerahkan bontot aku untuk melakukan hubungan seks luar tabie dengannya. Kalau hari raya tu memang peluang besar untuk kami. Kalau dalam rumah tak selamat, belakang rumah pun jadi dalam gelap-gelap malam. Asalkan dia dapat lepaskan rindu jolok bontot kakaknya ni sampai puas. Yang aku pulak memang dah gian nak rasa batang dia keluar masuk ikut bontot. Paling best masa dia pancutkan air maninya.
Aku sebenarnya teringin nak luahkan cerita songsang ni sebab aku sekarang ni tengah mabuk betul dengan adik aku tu. Sebenarnya aku sekarang ni dah tak tinggal sebumbung dengan suami aku. Dia bawak anak-anak aku tinggal dengan mak dia. Kita orang memang ada salah faham sikit. Dia syak aku ada affair dengan lelaki lain di belakangnya dan aku menafikan. Takkan aku nak mengaku yang aku ada affair dengan adik sendiri. Puncanya masa aku balik kerja laki aku nampak kesan basah dekat kain aku. Betul-betul dekat tengah bontot aku yang lebar ni. Aku pulak sengaja pakai kebaya singkat berkain satin kuning. Sengaja nak bagi lebih seronok bila aku bersama adik aku dekat hotel. Itulah puncanya.
Jadi dah alang-alang tinggal sorang-sorang, aku pun bagilah lampu hijau kat adik aku supaya selalu datang. Masuk hari ni dah sebulan kami jadikan rumah aku ni sebagai tempat melepaskan rindu dan nafsu kami. Tiap-tiap hari adik aku balik ke rumahnya lambat sebab dia singgah dulu rumah aku untuk menjamu seleranya. Sekarang ni dah pukul 2.20 pagi dan esok hari minggu. Aku masih dapat rasa kain batik di bontot aku ni masih basah dengan air mani yang aku ciritkan dari lubang bontot aku beberapa jam sebelum ni. Adik aku sondol bontot aku cukup-cukup hari ni, dari tengahari sampai ke malam. Patutnya hari ni dia tak kerja sebab hari sabtu tapi dia bagi tau bini dia dia kerja. Sedangkan dia mengerjakan aku cukup-cukup hari ni.
Pagi aku berkebaya singkat. Kainnya tak sah kalau tak licin. Kat ruang tamu kami berasmara sampai dia puas penuhkan lubang bontot ku. Lepas tu tengahari, dia minta aku pakai kain batik dan bercoli sahaja. Dekat dapur aku menonggeng menerima batangnya menjolok bontot ku. Petangnya, aku keluar dengan dia ke pasar malam. Aku pakai seluar palazzo dengan tak pakai seluar dalam. Nampak tembam pepek aku dan bontot aku. Adik aku asyik bisik cakap tak tahan dekat pasar malam. Baliknya belum sempat nak masuk rumah kami dah beromen dalam kereta kat garaj. Memancut air mani dia keluar balik dari bontot aku membasahkan kerusi kereta aku. Dan tadi, sebelum balik aku goda dia. Aku ingat nak hisap batang dia sampai terpancut dalam mulut je sebab kadang-kadang adik aku ni bila dah puas, dia tak nak dah nak main bontot aku. Biasanya aku hisap je batang dia dan sebenarnya dari pertama kali aku hisap batangnya dulu sampailah sekarang, tak pernah sekali pun aku tak telan. Memang habis masuk dalam perut aku telan. Tapi entah kenapa dia bernafsu betul dan benihkan bontot aku lagi.
Aku semakin gila kepada adik kandung sendiri dan dia pun begitu juga. Sebagai adik beradik sedarah seibu dan sebapa, tergamak kami melakukan persetubuhan sumbang mahram dan lebih menghayutkan adalah melalui jalan yang tidak sepatutnya. Masih terngiang-ngiang di telinga aku macam mana dia cakap kata aku tadi yang dia betul-betul cintakan aku dan sanggup ceraikan bininya kalau betul aku akan berpisah dengan suami aku nanti. Aku pulak melayan dan tanya kenapa. Dia luahkan kat aku betapa dia menyanjungi aku sebagai kakak kandungnya dan dia meluahkan cintanya kepada aku lebih hebat berbanding kepada bininya. Dia lebih puas bersama aku dan dia tak nak perempuan tonggek yang seksi ni jadi milik orang lain. Dia nak aku jadi miliknya yang mutlak! Aku terdiam dengar dia cakap macam tu sebelum dia pergi tinggalkan aku tadi.
Baru kejap tadi dia sms aku,
“k cik. Apa yg ucuk ckp td tu mmg bnr2 dr hati ucuk. ucuk cintakn k cik. k ciklah satu2nya wanita yg seksi & mjd idamn ucuk. ucuk syg k cik slama2nya”
Posted in Adik - Kakak
Leave a comment
Tags: sumbang mahram
Fahmi Anakku
Apr 21
Posted by mrselampit
Sebagai seorang ibu tunggal, aku selalu kesepian sendirian. Namun syaitan selalu berbisik untuk ku melakukan perzinaan dengan lelaki-lelaki yang ku sukai tetapi aku malu untuk memulakan. Lebih-lebih lagi kebanyakan dari mereka semua adalah suami orang.Jadinya, aku hanya memendam perasaan ku sendiri.
Anak ku semua dah besar-besar. Semuanya tiga orang. Yang sulong perempuan, dah berkahwin. Sama juga yang kedua, perempuan juga dan dah berkahwin. Yang masih bujang adalah anak bongsu ku, Fahmi. Hanya Fahmi yang tinggal bersama ku kerana dia bekerja sebagai pekerja am di sebuah kilang.
Hari demi hari aku lihat anak ku Fahmi semakin matang. Ketika umurnya meningkat 24 tahun sedikit sebanyak aku seakan terdorong untuk cuba melihat sejauh mana perkembangan usianya mempengaruhi kelakiannya. Namun perasaan itu aku cuba tahankan kerana dia adalah anak kandung ku, amat berdosa jika aku melakukan perbuatan sumbang dengannya.
Namun pada satu hari yang terkutuk, aku menjadi nekad untuk sedia disetubuhinya. Semuanya gara-gara selepas aku mengejutkannya bangun tidur lebih kurang pada pukul 9 pagi. Aku lihat anak ku Fahmi yang sedang menggeliat di atas katil setelah dikejutkan oleh ku. Mata ku terpaku kepada susuk zakarnya yang keras menongkat selimutnya. Aku tahu anak ku gemar tidur telanjang. Air liur ku secara tanpa disuruh ku telan berkali-kali. Berahi ku secara tiba-tiba meronta-ronta. Aku jadi malu. Aku masuk ke bilik dan termenung di atas katil.
Ketika anak ku mandi, aku mengintipnya dan aku lihat zakarnya yang molek itu. Sekali lagi keberahian ku melonjak dalam debaran di dada ku. Aku menjadi tidak senang duduk dan kembali ke bilik untuk memikirkan adakah mustahil atau tidak untuk ku merasai kenikmatan ianya memasukki tubuh ku. Syaitan semakin berbisik mendorong keberanian ku dan memberi berbagai-bagai jalan untuk ku mencapai matlamat ku. Akhirnya aku mendapat satu akal. Aku cuba mengoda anak ku yang kebiasaannya hanya terperap di rumah kerana cuti hujung minggu pada hari itu. Namun bagaimanakah caranya? Perlukah aku terus menggodanya di ranjang atau hanya telanjang bulat memancing nafsu mudanya? Sekali lagi syaitan berbisik memberikan ku akal yang bernas demi tuntutan nafsu ku yang semakin nekad itu.
Almari pakaian ku buka dan satu demi satu pakaian ku belek-belek. Akhirnya ku jumpai pakaian yang ku rasakan mampu menggoda nafsu anak ku. Kebaya yang ku pakai 15 tahun dulu sewaktu arwah suami ku masih ada seakan memberikan ku keyakinan. Baju kebaya yang licin itu ku sarungkan ke tubuh ku. Sendat ku rasakan kerana tubuh ku sudah tidak seramping dulu. Walau macam mana pun masih mampu disarungkan ke tubuh ku. Butang di bahagian atasnya sengaja ku biarkan tak berkancing agar mendedahkan lurah tetek ku yang tidak bercoli. Puting tetek ku nampak begitu jelas menonjol di baju kebaya yang licin itu.
Ku sarungkan pula kain batiknya yang masih belum luntur warnanya. Nasib ku baik kerana pinggangnya bukan jenis berkancing. Pinggang getahnya masih muat untuk tubuh ku yang semakin montok ini. Namun punggung ku yang semakin lebar kelihatan terlalu sendat disarung kain batik itu. Ku buangkan seluar dalam yang dipakai agar dapat memberikan ku sedikit keselesaan.
Ku gayakan tubuh ku di hadapan cermin. Punggung ku yang lebar jelas melentik mempamerkan bentuk punggung ku. Tundun ku yang tembam juga jelas kelihatan dibaluti kain batik yang ketat itu. Kaki ku buka luas. Belahan kainnya yang setinggi peha menyerlahkan kaki ku yang putih mulus. Aku rasa cukup yakin dengan penampilan ku. Namun sebaik ku lihat perut ku, serta merta hati ku seakan kecewa. Perut ku kelihatan begitu jelas buncitnya. Ku takuti lemak yang membuncitkan perut ku itu bakal membuatkan ku ditertawakan anak ku. Namun setelah ku amati, ianya sedikit sebanyak menjadikan tubuh ku kelihatan lebih tonggek di dalam pakaian yang sendat itu. Aku yakinkan diri dan buang segala prasangka buruk dari menganggu rancangan ku. Nekad ku semakin berahi dan berani.
Aku keluar dari bilik dan ku terus ke dapur. Anak ku Fahmi ku lihat sedang menjamu sarapan di meja makan. Perlahan-lahan ku turuni anak tangga supaya kain ku tidak terkoyak. Anak ku seakan terpaku melihat ku. Ku cuba kawal keadaan dengan memberi riaksi seperti biasa.
Anak ku Fahmi bertanya kepada ku mengapa aku kelihatan begitu cantik pada hari itu. Bangga sungguh aku di puji sebegitu, semangat ku ingin menggodanya semakin jitu. Aku hanya menjawab saja-saja ingin memakai pakaian lama di rumah. Ku sengaja buat-buat sibuk di dapur dan berjalan mundar mandir di hadapannya. Ku lihat mata anak ku seakan malu-malu tetapi mahu-mahu menjalar seluruh tubuh ku.
Anak ku kemudian bangun dari kerusi dan menuju kepada ku yang sedang mencuci pinggan di sinki dapur. Dia memberitahu ingin keluar membeli akhbar. Matanya ku lihat terpaku kepada lurah tetek ku yang sengaja ku bidangkan. Aku memesan agar segera pulang. Anak ku mengangguk dan segera keluar dari rumah menghidupkan enjin motorsikalnya.
Aku menunggu anakku di ruang tamu sambil menonton rancangan tv. Sambil duduk di sofa rotan lama itu, aku cari gaya yang seksi untuk ku goda anak ku nanti. Ku silangkan kaki dan ku biarkan belahan kaki ku mendedahkan kaki ku hingga ke peha. Ku yakin itu mampu mengusik nafsu mudanya.
Tidak lama kemudian anak ku pulang dan duduk di atas lantai di hadapan ku sambil membaca akhbar. Sesekali matanya menonton rancangan tv dihadapannya. Ku terus berlutut dihadapannya dan bergaya seakan merangkak mengambil sebahagian naskhah akhbar yang belum dibacanya. Ku sengaja tunduk agar anak ku Fahmi melihat alur tetek ku dari bukaan leher kebaya yang sengaja ku buka luas. Kemudian ku kembali duduk di sofa dan sengaja ku silangkan kaki membiarkan belahan kain batik ku mendedahkan betis dan sebahagian peha ku yang gebu dan putih.
Tidak lama kemudian anak ku bangun dan menuju ke ruangan dapur. Segera ku bangun dari sofa dan ku lihat dia masuk ke biliknya. Biliknya yang tidak berdaun pintu, hanya ditutupi langsir memudahkan ku mengintipnya. Anak ku Fahmi kelihatan melondehkan seluar pendeknya hingga ke peha dan berdiri mengadap dinding membelakangi ku. Punggungnya yang molek itu serta merta mendatangkan ghairah ku. Ku lihat kelakuannya. Tangannya bergerak-gerak di bahagian depan tubuhnya dan ku yakini dia sedang melancap mungkin kerana tidak tahan dengan godaan ku tadinya.
Perlahan-lahan ku hampirinya dengan debaran yang semakin kuat dan terus sahaja ku berdiri disisinya sambil memaut pinggangnya. Anak ku Fahmi terperanjat dengan kehadiran ku dan segera dia menarik seluar untuk memakainya kembali. Dengan membuang rasa malu ku pula segera memegang zakarnya yang sedang keras itu dan melancapnya. Anak ku Fahmi membisu sahaja. Mukanya masih dalam keadaan terperanjat dan malu kemerah-merahan. Zakarnya ku rasa semakin lembik dan ku yakin ia akibat rasa malu kepada ku.
Ku mula bertanya kepadanya adakah dia melancap gara-gara terangsang dengan ku. Anak ku Fahmi mengangguk kepalanya perlahan-lahan. Ku lancapkan zakarnya lagi dan ku tanyakan adakah dia tidak tahan dengan bentuk tubuh ku pada hari itu. Fahmi mengangguk kepalanya lagi. Ku tanya kepadanya adakah dia ghairah kepada tetek ku sambil ku membidangkan dada ku agar tetek ku semakin menonjol di dalam baju kebaya licin itu. Dia menganggukkan kepalanya lagi dan tangan ku semakin merasai zakarnya semakin keras dan semakin hangat dalam genggaman. Zakarnya ku kocok lembut hingga kembang berkilat kepala tedungnya. Secara sendiri aku menelan air liur ku sendiri. Keinginan ingin merasai zakarnya menyelubung perasaan ku yang serta merta keberahian itu.
Fahmi mengeluh merasakan zakarnya dilancapkan ku. Fahmi melihat tetek ku yang menonjol dan tangannya ku rasa memaut pinggang ku. Ku rapatkan tubuh ku ke tubuhnya dan ku sandarkan kepala ku di bahu lengannya. Ku letakkan tangan anak ku di punggung ku dan seperti yang ku agak, dia meramas punggung ku yang memakai kain batik ketat itu dengan bernafsu.
Zakar anak ku semakin tegang diisi nafsu kepada ku. Lantas ku berlutut di hadapannya dan ku hisap zakar anak kandung ku itu. Lidah ku menjilat lubang kencingnya. Bibir ku menghisap kepala tedungnya. Anak ku Fahmi semakin mengeluh zakarnya ku perlakukan sebegitu. Nafas ku juga sebenarnya semakin laju. Aku begitu bernafsu hingga hilang kewarasan ku dan tergamak melakukan perbuatan sumbang mahram yang terkutuk dengan anak kandung ku sendiri.
Fahmi memegang kepala ku dan mendorong zakarnya masuk lebih dalam mulut ku. Hampir tersedak juga aku dibuatnya. Air liur ku semakin bercucuran dari bibir ku. Bunyi hisapan ku semakin kuat dan laju. Fahmi ku lihat semakin mengeluh kuat dan semakin kuat memegang kepala ku. Sedang ku khayal mengolom zakar anak ku tiba-tiba saja anak ku mengeluh kuat dan memaut kuat kepala ku rapat hingga seluruh zakarnya ditenggelamkan ke dalam mulut ku. Akal ku cepat saja terfikir air maninya akan keluar dan tepat sekali sangkaan ku apabila tekak ku berkali-kali dihujani pancutan demi pancutan air maninya yang sungguh pekat dan sukar untuk tekak ku menelannya.
Ku cuba tolak tangannya dari terus memaut kepala ku namun tenaganya sungguh kuat. Aku gagal menolaknya dan akhirnya aku hanya membiarkan sahaja zakarnya terus memancutkan air maninya terus ke kerongkong ku. Agak lama juga ku biarkan dia melepaskan air maninya sepuas hatinya.
Sambil melepaskan air maninya, anak ku Fahmi menarik dan menolak zakarnya keluar masuk mulut ku. Air maninya yang tidak mampu ku telan terkumpul di dalam mulut ku. Cecair likat itu seakan memenuhi mulut ku. Aku hampir lemas dan mahu tidak mahu ku telan jua air maninya sikit demi sikit hingga habis. Zakarnya yang semakin lembik akhirnya dikeluarkan dari mulut ku.
Fahmi terduduk di katil. Zakarnya yang semakin lesu terdedah kepada pandangan mata ku yang terduduk bersimpuh di atas lantai. Matanya yang lesu memandang wajah ku. Riak wajah seperti penyesalan dapat ku lihat terpamer di wajahnya. Aku bangun dan duduk disebelahnya. Pehanya ku usap dan ku pujuknya agar jangan menceritakan perkara itu kepada sesiapa. Anak ku Fahmi diam sahaja. Aku usap rambutnya dan ku katakan ku sayangkannya.
Pada petangnya hari itu juga, aku kembali melakukan perbuatan sumbang dengan anak ku. Ianya bermula sewaktu makan tengahari. Aku sengaja duduk disebelahnya dan ku layan dia lebih mesra dari biasa. Sambil makan ku sengaja kangkang-kangkangkan kaki biar belahan kain batik ku yang ketat mendedahkan peha ku. Aku lihat anak ku makan diselubungi nafsu. Setiap perbuatannya serba tak kena dan ku tanyakan kenapa kepadanya tetapi dia hanya tersenyum kepada ku.
Aku usap zakarnya dan kurasakan zakarnya semakin keras. Ku habiskan makan dan ku terus berlalu menuju ke bilik ku. Sengaja ku lenggok-lenggokkan jalan ku agar punggung ku menjadi perhatiannya. Sewaktu menaiki tangga aku sengaja melentikkan punggung dan naik perlahan-lahan biar nafsunya semakin hebat kepada ku. Aku terus menantinya di bilik.
Tidak lama kemudian anak ku habis makan dan masuk ke bilik ku. Aku yang sedang duduk di meja solek terus berdiri dan berjalan kepadanya yang berdiri di muka pintu. Ku pimpinnya ke tepi katil. Sambil berdiri ku memeluknya dan merebahkan kepala ku di dadanya. Aku peluknya penuh sayang dan anak ku memeluk ku dan meraba seluruh tubuhku yang dibaluti kebaya yang sendat. Kami berkucupan dan berpelukan keberahian.
Sedang kami hanyut dalam pelukan nafsu, hujan kedengaran menitik di atas zink atap rumah. Lama kelamaan hujan semakin lebat dan menghilangkan suasana panas sedikit demi sedikit. Aku naik ke atas katil dan merangkak menayang punggung ku kepadanya. Anak ku Fahmi ikut naik ke atas katil dan dia cium punggung ku yang sendat dengan kain batik. Aku lentikkan punggung ku membiarkannya mencium punggung ku.
Lepas itu aku baring mengiring kepadanya. Kaki ku biarkan terdedah dari belahan kain batik kebaya ku. Anak ku Fahmi mengusap kaki ku dari betis hingga ke peha dan melarat masuk ke dalam belahan kain batik sendat ku meraba celah kelengkang ku yang semakin licin itu. Aku tarik tubuhnya merapati ku dan kembali berkucupan nafsu. Anak ku mengiring mengadap ku dan kami berpelukan dan berkucupan anak beranak. Seluar pendeknya ku tanggalkan dan zakarnya yang keras itu ku pegang dan ku lancap.
Aku hisap zakarnya dan sambil itu anak ku meraba punggung ku. Nafsu ku semakin hilang kawalan disaat ku menghisap zakar anak kandung ku itu. Anak ku menolak tubuh ku hingga ku terlentang terkangkang di atas katil. Aku selak belahan kain batik ku dan ku singsing lebih tinggi agar tundun ku mudah terdedah kepadanya. Aku tarik zakar anak ku memandunya menuju ke lubang tempat ku melahirkannya dahulu.
Perasaan ku sudah tidak sabar ingin merasakan kembali disetubuhi. Perlahan-lahan anak ku Fahmi menekan zakarnya masuk cipap ku. Ohhh…. Sungguh sedapnya kembali dapat merasai cipap ku dimasuki zakar yang keras dan hangat itu. Bertahun-tahun ku kegersangan dan ketandusan melakukan persetubuhan yang sebegitu. Agak pedih jua kerana sudah lama lubang ku tidak dimasuki zakar.
Anak ku menekan lagi dan akhirnya membiarkan zakarnya masuk hingga habis. Kami berpelukan dan berciuman. Sambil memeluknya aku menikmati sepuas-puasnya zakarnya berada di dalam lubang ku.
Anak ku mula menghayun zakarnya keluar masuk dan aku mengaduh sedap berkali-kali. Ku sebut namanya bertalu-talu dan ku pintanya menyetubuhi ku. Anak ku semakin sedap menjolok tubuh ku, ibu kandungnya sendiri. Aku menikmati batang zakarnya menjolok ku. Anak ku menciumi leher ku dan seterusnya menyonyot puting tetek ku yang menonjol di baju kebaya licin ku. Bunyi nafasnya semakin kuat dan ku tahu nafsunya sedang sangat kuat ketika itu.
Anak ku masih terus menghenjut tubuh ku. Matanya liar dan bernafsu menjamah tubuh ku yang berkebaya licin yang ketat. Tetek ku di ramas-ramas dan lubang cipap ku di jolok semakin dalam. Aku semakin berahi dan ku rasakan air ku semakin banyak mengalir ke celah bontot ku. Luar biasa sekali nafsu ku ketika itu. Zakarnya ku kemut semahunya. Ku rasakan mahu sahaja ianya terus berlaku tanpa henti hingga akhir masa. Aku sudah tidak hiraukan lagi siapa yang sedang menyetubuhi ku itu. Aku hanya khayal dalam asmara membiarkan diriku disetubuhi anak kandung ku.
Aku akhirnya kalah dalam pelayaran. Aku kelemasan dalam keghairahan. Ku peluk anak ku dan kaki ku memaut punggungnya agar menjolok cipap ku lebih dalam. Akhirnya aku kepuasan dalam kenikmatan bersetubuh dengan anak kandung ku. Sumbang mahram yang ku lakukan kepada anak ku memberikan ku nikmat yang hakiki. Aku puas sepuas-puasnya.
Ku bisikkan ucapan sayang yang lucah ditelinganya. Ku beritahunya zakarnya sedap dan ku kepuasan menikmatinya. Ku tanyakan anak ku adakah sedap menyetubuhi ku dan anak ku hanya mengangguk tersenyum. Ku tanyakan lagi adakah sudi dia melakukannya lagi dengan ku untuk selama-lamanya dan dia mengangguk lagi.
Ku pinta dia meneruskan hayunan lagi. Anak ku Fahmi kembali menjolok cipap ku dan ku godanya dengan lentikan serta lenggokan gaya ku yang menggoda. Ku perlakukan diriku ibarat pelacur yang menggoda. Ku luahkan kesedapan disetubuhinya. Hayunan zakar anak ku semakin dalam dan laju menandakan waktu puncaknya semakin tiba. Ku pintanya meneruskan dan pintanya menyetubuhi ku sepuas-puasnya.
Hinggalah akhirnya anak ku kekerasan tubuhnya seraya menghentak zakarnya sedalam-dalamnya. Ohhh… Sedapnya diwaktu itu ketika ku rasakan zakarnya bergerak-gerak memuntahkan air maninya di dalam tubuh ku. Air mani anak kandung ku itu ku rasa hangat dan menikmatkan menyiram lubang kelahirannya. Anak ku memerah air maninya memenuhi cipap ibu kandungnya yang menggodanya.
Aku khayal dipancuti air maninya. Sudah lama aku tidak merasai air mani memancut di dalam cipap ku. Kami berpelukan di atas katil. Hembusan nafas anak ku semakin reda dan kami terlena dalam kesejukan hujan yang seakan mengerti gelora nafsu kami dua beranak.
Aku terjaga dari tidur sewaktu azan asar sayup berkumandang. Hujan sudah berhenti dan kedinginan masih terasa. Aku lihat anak ku juga sudah mencelikkan matanya dan memandang ku tersenyum. Aku bangun dari katil dan mengambil tuala keluar dari bilik menuju ke bilik air. Anak ku mengekori ku dari belakang. Aku melencong ke sinki dapur setelah terlihat sebiji gelas yang anak ku guna selepas makan tengahari tadinya terbiar di dalam sinki.
Sedang ku mencuci gelas anak ku Fahmi memeluk ku dari belakang dan mengucup leherku. Aku menoleh ke arahnya dan kami berkucupan mesra. Kami sudah di ibarat bagaikan sepasang kekasih yang terjalin antara ibu dan anak kandung. Zakar anak ku menekan pinggang ku dan ku rabanya dan ku dapati anak ku telanjang bulat di dapur. Anak ku meraba punggung ku yang sendat dengan kain batik itu dan meraba belakang tubuh ku yang sendat dengan baju kebaya licin. Anak ku melorotkan kain batik ketat ku hingga terlucut ke kaki ku. Tubuh ku yang hanya tinggal berbaju kebaya licin yang ketat itu mendedahkan punggung ku yang langsung tidak tertutup dengan seurat benang kepada anak ku.
Anak ku meyelitkan zakarnya di celah kangkang ku dari bawah bontot ku dan menggesel-geselkan zakarnya di cipap ku. Aku tanyakan kepadanya adakah dia mahu menyetubuhi ku lagi. Dia berkata dia terlalu ghairah kepada bontot tua ku yang lebar dan tonggek ini. Aku lantas menekan zakarnya hingga masuk ke dalam cipap ku. Aku menonggeng agar zakarnya mudah memasuki cipap ku. Aku paut sinki dan bontot ku lentikkan lagi. Anak ku menujah lubang cipap ku sambil dia memaut pinggang ku. Aku rasakan kenikmatan sekali merasakan tubuhku dihenjutnya dari belakang. Aku sudah tidak hiraukan segala-galanya. Kemaruk ku kepada persetubuhan merelakan ku menyerahkan tubuh ku untuk dinikmati anak kandung ku dimana-mana sahaja.
Lubang cipap ku semakin kebas di jolok zakar anak kandung ku. Aku menunduk ke lantai dan terlihat air keberahian ku mengalir di pehaku. Sedapnya bukan kepalang di setubuhi sedemikian rupa. Arwah suami ku sendiri pun tidak pernah menyetubuhi ku di dapur. Anak ku mengeluh kuat dan akhirnya dia menjolok cipap ku sedalam-dalamnya dan memancutkan air maninya sekali lagi di dalam cipap ku. Aku tertongeng-tonggeng merasakan air maninya yang kuat memancut di dalam cipap ku. Anak ku memeluk ku dan membiarkan air maninya habis dilepaskan di dalam tubuh ku. Selepas itu kami mandi bersama tanpa seurat benang.
Pada malamnya kami tidak bersetubuh, tetapi kami tidur bersama satu katil dan satu selimut. Kami berpelukan anak beranak menikmati asmara sumbang mahram yang sungguh menikmatkan itu.
Selepas dari itu, aku tidak perlu lagi berpakaian seksi untuk menggoda anak ku. Cukuplah dengan hanya berkain batik dan berbaju t di rumah. Setiap keperluan batin ku sedia anak ku penuhi dan aku rasa anak ku lebih banyak meminta persetubuhan berbanding diri ku. Aku bagaikan tempat untuk anak kandungku melepaskan nafsunya. Asal saja ada peluang dan masa baginya, pasti tubuh ku menjadi tempatnya bertenggek melepaskan nafsunya. Aku benar-benar gembira tubuh ku menjadi tempat buangan benihnya. Namun aku langsung tidak merasai kekesalan malah aku sedia memberikan segala yang dimahunya asalkan dia sudi menemani ku hingga akhir hayat ku.
Aku juga beruntung kerana benih air maninya tidak menghasilkan zuriat. Kini aku sudah menopause dan termasuk pada hari ini hampir 12 tahun kami hidup bagaikan suami isteri. Umur ku juga baru sahaja genap melepasi 58 tahun dan nampaknya nafsu anak ku kepada ku bagaikan tidak mengenal jemu dan masih tetap berselera menjadikan ku kekasihnya.
Anak ku Fahmi tidak mahu mendirikan rumah tangga selagi aku masih bernyawa kerana baginya hanya aku sajalah yang layak menjadi isterinya. Nampak benar cintanya kepada ku begitu mendalam. Tidak sia-sia rasanya gelora nafsu ku menggodanya dahulu.
Pagi tadi selepas anak ku pergi kerja, aku membuka komputernya yang ada sambungan internet dan secara tak sengaja aku terjumpa halaman ini selepas aku mencari perkataan-perkataan sumbang mahram dan persetubuhan antara ibu dan anak di googel. Aku tahu sikit guna komputer selepas diajar Fahmi beberapa bulan dulu. Lalu aku ambil masa menaip perlahan-lahan cerita hidup ku untuk dikongsi bersama dan diharap pihak sekfantsia sudi sekiranya memperbetulkan perkataan-perkataan yang aku silap taip.
Sebelum aku berhenti kerana anak ku akan balik kerja jam 6 petang nanti, aku ingin juga menceritakan bagaimana persetubuhan kami semakin melampaui batasan apabila tidak cukup dengan cipap, lubang bontot ku juga menjadi tempat kami memadu kasih.
Ianya berlaku kira-kira 5 tahun dulu. Sebaik pulang dari majlis kenduri doa selamat cucu ku iaitu anak kepada anak perempuan ku yang sulong berkhatan, kami berdua bersetubuh di ruang tamu sebaik masuk ke dalam rumah. Anak ku Fahmi rupa-rupanya geram melihatkan diri ku yang berbaju kurung sutera putih yang boleh tahan juga jarangnya hingga coli hitam ku dapat dilihat dan seluar dalam ku sekiranya aku menyelak baju kurung ku ke atas.
Dengan tudung yang masih belum dibuka, kami terus sahaja berpelukan dan berkucupan di ruang tamu selepas pintu ditutup. Aku segera menanggalkan seluar dan seluar dalam anak ku dan menghisap zakarnya yang tidak jemu ku nikmati. Kepala ku yang bertudung itu anak ku paut erat dan dia menjolok mulut ku agak laju.
Anak ku kemudian meminta ku menyelak kain ku ke pinggang dan dia menciumi bontot ku yang masih berseluar dalam hitam. Seluar dalam ku yang lembap dengan peluh selepas hampir seharian perjalanan di dalam kereta itu anak ku cium dengan bernafsu. Seluar dalam ku anak ku lucutkan dan dia mula menjilat kelengkang ku. Anak ku kemudian meminta ku menonggeng dengan berpaut pada tiang rumah dan mula menjolok cipap ku.
Anak ku Fahmi mengusap bontot ku dan menyetubuhi ku. Aku yang sememangnya menjadi isterinya merangkap ibu kandungnya membiarkan tubuh ku yang masih berbaju kurung dan bertudung menonggeng disetubuhi suami tidak sah ku itu iaitu anak kandung ku Fahmi yang ku cintai.
Kemudian Fahmi mengeluarkan zakarnya dari cipap ku dan mula melakukan sesuatu yang mengejutkan ku. Anak kandung ku Fahmi cuba menjolok bontot ku dan aku segera menepis zakarnya. Ternyata Fahmi benar-benar inginkannya dan merayu agar aku membenarkannya. Akibat terlalu kasihan dan sayang kepadanya, aku merelakan dan buat pertama kali dalam sejarah hidup ku aku disetubuhi di bontot dan ianya berlaku di sekitar usia emas ku. Meskipun aku menanggung kepedihan dan kesakitan namun aku relakan Fahmi menusuk zakarnya keluar masuk lubang yang menjadi tempat najisku keluar setiap hari.
Sambil menjolok bontot ku, Fahmi memeluk tubuh ku dan meluahkan rasa sayangnya yang tak berbelah baginya kepada ku. Fahmi memuji bontot lebar ku yang tonggek dan dia mengatakan tidak menyesal memperisterikan ibu kandungnya yang semakin gemuk dan berlemak ini. Anak ku Fahmi akhirnya melepaskan air maninya nun jauh di dalam lubang bontot ku sambil menjerit mengatakan dia mencintai ku. Aku menitiskan air mata akibat kesakitan dan rasa terharu kepada cintanya.
Sejak hari itu aku sudah semakin biasa disetubuhi melalui lubang bontot ku dan akhirnya baru ku sedari ianya juga memberikan ku kenikmatan yang merangsang nafsu ku. Sejak itu jugalah aku semakin sukar hendak mengawal perasaan ku dan senang untuk dikatakan aku semakin gatal dan miang minta disetubuhi. Begitulah sejarah benar hidup ku yang bersuamikan anak kandung ku hingga ke hari ini.
Posted in Anak - Mak
Leave a comment
Tags: sumbang mahram
Ida Adikku
Apr 21
Posted by mrselampit
Aku Am, anak sulong dalam sebuah keluarga yang sederhana. Bertugas sebagai pegawai pemasaran hartanah. Mak bapak aku memang sibuk memanjang. Ada kat rumah time malam je. Time siang yang ada cuma aku dan adikku serta orang gaji.
Orang gaji aku mbak murni. Dah agak tua. Tengok pun tak selera. Setahun 2 kali balik indon. Adik aku pula Ida, satu-satunya adik yang aku ada. Sekarang dia bertugas sebagai junior eksekutif.
Pada masa itu, aku menuntut di kolej swasta dan adik aku bersekolah tingkatan 4. Beza umur kami 2 tahun je. Hubungan kami memang akrab. Kisah ini terjadi bila mak aku ambik cuti dan temankan bapak aku pergi conference di Australia selama 1 bulan. Siap honeymoon sekali lagi daa.. Ketika itulah hubungan terlarang antara aku dan adikku bermula sehingga kini. Aku sendiri tidak menyangka akan melakukan perbuatan terkutuk itu dengan adikku sendiri. Malah, sebelum itu aku sendiri akui aku langsung tiada berniat serong kepada adikku. Namun pada hari itu, sejarah yang menyatukan hati kami telah membawa kami ke kancah yang hina ini. Ikutilah kisahnya yang telah diolah semula untuk menyedapkan penyampaian tanpa mengubah sebarang fakta asal.
Memang boring hari tu. Kuliah habis awal. So, balik rumah pun awal lah. Aku tengok mbak Murni masih lagi membersihkan halaman rumah.
“Kok awal pulang hari ini bapak Am?” mbak Murni menegurku yang sedang berjalan menuju ke pintu masuk rumah.
“Kuliah habis awal lah mbak. Mbak masak tak hari ni?” tanyaku.
“Sudah pak, saya baru sahaja siap sediakan di atas meja. Masih panas. Makan sekali dengan ibu Ida ya pak.” Katanya
“Ida dah balik ye?” tanyaku
“Sudah pak, baru saja tadi dia masuk ke dalam” sambung mbak murni.
Adikku sudah balik sekolah rupanya. Aku pun masuk ke rumah dan kelihatan adikku sedang sedap makan sendirian.
“Wah, makan sorang ye? Tengok tu, punyalah gelojoh, baju sekolah pun tak tukar lagi.” Kataku mengusik adikku.
“Laparlah bang. Jomlah makan sekali” pelawa adikku sambil terus bangun dan menyedukkan nasi ke dalam pinggan untukku.
Aku pun makan bersama-sama adikku. Sedang aku sedap melantak, tiba-tiba kakiku terasa diusik. Aku lihat di bawah meja, tiada apa-apa. Kucing memang tiada, mak aku tak suka kucing. Aku sambung kembali makan. Sekali lagi kakiku terasa di usik. Aku tengok sekali lagi di bawah meja. Memang tak ada apa-apa, aku syak mesti adikku yang main-main ni. Aku pun jeling adikku dan kelihatan dia buat seolah tiada apa-apa yang berlaku. Sekali lagi aku merasakan kakiku di sentuh dan sepantas kilat kedua-dua kaki ku mengepit dan menangkap apa yang mengusik kakiku.
“Aduhh bang.. Ida surrender.. Ida surrender.. ha ha ha ha” kata adikku sambil ketawa.
“Oh.. kacau abang ye.. Kenapa? Kaki dah gatal ye?” usikku.
“Tak, satu badan… abang tolong garukan ye lepas ni..” kata adikku manja sambil melentokkan badannya.
“Garulah sendiri, nah pakai ni lagi sedap tau..” kataku sambil menghulurkan garfu kepadanya.
“Alah abang ni…” adikku marah manja sambil mencubit pehaku.
Kami pun kembali menyambung makan dan sepanjang makan itu lah adikku terus menerus menggesel-geselkan kakinya di kakiku. Aku buat tak kisah je, maklumlah, apa yang ada di dalam fikiran aku adalah dia hendak bergurau dengan aku. Selepas aku habis makan, aku menuju ke sinki untuk membasuh tangan dan diikuti adikku di belakang. Sedang aku mencuci tangan, adikku tiba-tiba menyelit di sebelah dan terus menghulurkan tangan ke arah paip yang mencurah keluar airnya. Sedangkan ketika itu aku masih lagi mencuci tangan.
Sambil tersenyum-senyum dia terus merapatkan badannya kepada ku dan tangan kirinya memeluk pinggangku erat. Dapat aku rasakan buah dadanya menonjol rapat ke lenganku. Lembutnya bukan kepalang. Tapi langsung tiada niat buruk di kepalaku time tu. Selepas itu, dia pun terus berlari masuk ke bilik dan aku terus menuju ke bilik komputer, hendak menyiapkan assignment.
Sedang aku menyiapkan assignment, mbak murni datang dan memberitahu bahawa jika perlukan apa-apa panggil dia di bilik. Dia penat dan hendak tidur katanya. Aku pun mengiyakan. Tidak lama selepas itu, sedang aku khusyuk mengadap komputer, aku terkejut bila tiba-tiba ada tangan yang memelukku erat dari belakang dan terasa pipinya menyentuh pipiku. Aku rasa aku kenal bau tu.
“Hah, dah tak ada kerja lah tu. Kerja rumah dah buat?” kataku
“Belum, malam nanti abang tolong ajarkan ye. Ida peninglah, abang faham-faham sajalah cikgu Taufik tu. Ajar macam kita orang ni dah pandai. Laju je..” kata adikku.
Aku faham, oleh kerana aku juga bersekolah di sekolah yang sama dahulu. Cikgu Taufik tu mengajar memang laju. Aku sendiri pun terpaksa banyak bincang dengan kawan-kawan untuk lebih faham.
“Abang, Ida nak tengok tv lah, jom..” ajak adikku.
“Ida pergi dululah, abang nak siapkan satu chapter dulu. Kejap lagi abang datang.” Kataku
“Ok, datang ye..” kata Ida sambil memberi aku satu ciuman di pipi.
Aku rasa pelik, kenapa dengan adik aku pada hari tu. Macam miang semacam. Ah, lantak dialah. Aku sambung kembali kerja ku.
Siap je satu chapter, aku terus tutup pc dan keluar menuju ke ruang tamu. Senyap, tv tidak hidup. Tadi kata nak tengok tv? Mana dia pergi? Ah, mesti kat bilik mak dan abah. Kalau betul lah kat situ, teruklah kalau mak abah tahu, dia orang memang tak gemar kami tengok tv dalam bilik dia orang.
Aku terus menuju ke bilik mak abah kat atas. Aku lihat sejenak bilik mbak Murni, pintunya tertutup rapat. Dah tidur lah tu. Bila aku buka pintu bilik mak abah, aku lihat Ida tengah baring atas katil sambil matanya tertumpu kepada tv di hadapan katil.
“Ha, datang pun.. jom lah sini, cerita best ni.” Pelawa adikku selepas menyedari kehadiran aku.
Aku menutup pintu dan terus baring di sebelahnya. Kelihatan di tv adegan-adegan panas sedang tertayang. Terkejut aku, mana dia dapat cerita tu.
“Mana Ida dapat cerita ni?” tanyaku.
“Jumpa dalam laci meja solek mak.” Jawab adikku.
Aku pun tanpa banyak tanya, terus tengok cerita tu. Dari satu babak kepada satu babak. Memang aku bernafsu time tu tapi aku tahan. Adik aku ada kat sebelah, tak kan aku nak lancap kat situ jugak. Adik aku pulak, aku dengar nafasnya semakin kuat. Aku jeling, kelihatan tangannya dah ada kat kelengkang. Aku jeling sekali lagi, aku tengok betul-betul kelengkangnya. Wah, kain batiknya dah basah. Biar betul adik aku ni. Matanya tak berkelip tengok mat salleh tu men’doggie’ minah salleh yang seksi tu. Lepas satu lubang, satu lagi lubang dia bedal.
Aku pun terangsang jugak, lebih-lebih lagi bila nafas adik aku makin menggila. Dia tak malu ke aku abang dia nih kat sebelah dia je?Lantak dia lah, aku pulak yang rasa malu. Terus aku bangun dari katil dan hendak keluar dari bilik. Tiba-tiba adikku menarik tanganku.
“Abang nak pergi mana?” tanyanya menggoda.
“Nak ke toilet jap. Nak kencing.” Kataku sambil melihat dia masih memegang tanganku sementara tangan yang sebelah lagi di kepit kelengkangnya yang kelihatan sudah basah kain batiknya.
“Abang nak lancap ye?” tanyanya sambil tersengih.
“Nak kencing lah, apa lah kau nih” kataku sambil melepaskan pegangan tangannya dan terus keluar dari bilik.
Apa lagi, masuk bilik air, terus melancaplah. Tengah syok bedal batang tiba-tiba pintu bilik air diketuk. Kedengaran suara adikku menyuruh aku keluar cepat sebab dia nak terkencing sangat. Terus tak jadi aku nak terus melancap. Aku pakai balik seluar dan keluar dari bilik air. Ternampak adikku tengah mengepit kelengkangnya. Memang kelihatan macam orang yang tak tahan nak terkencing. Aku bagi laluan dia masuk ke tandas, macam lipas kudung dia masuk. Tapi, bukan ke kat dalam bilik mak abah dan bilik dia ada toilet, yang dia sibuk masuk toilet aku nih apahal pulak.
Aku duduk atas katil sementara tunggu dia keluar dari bilik air. Tak lama kemudian dia keluar. Muka ceria semacam.
“Dalam bilik mak abah kan ada toilet, kenapa sibuk nak masuk toilet bilik abang ni?” tanyaku kepadanya yang sedang membetulkan kain batiknya.
Ternampak tompok yang basah jelas kelihatan di kain batiknya.
“Saja, tak boleh ke nak kencing kat toilet bilik abang?” katanya
“Dah habis ke cerita tadi?” tanyaku lagi
“Tak habis lagi. Tapi Ida dah tutup dan simpan cd nya” katanya lagi.
“Dah kencing, tak reti-reti nak keluar?” kataku.
“tak nak.. “katanya.
Aku terdiam melihat telatah adikku yang tersengih-sengih berdiri di hadapan ku. Kemudian dia menanyakan aku soalan cepu emas.
“Abang pernah lancap?” tanyanya
“Itu rahah. Yang kau sibuk nak tahu ni kenapa? Yang kau tu pernah lancapkan?” tanyaku pula.
“Pernah…. “jawabnya sambil tersenyum.
“Bila? Hah ni mesti tadi time stim tengok cerita blue tu? Kah kah kah..” kataku sambil ketawa.
“Tak sekarang….” Adikku menjawab sambil terus meletakkan tangannya di celah kelangkangnya.
Dia terus menggosok-gosok kelengkangnya sambil terbongkok-bongkok. Kelihatan kain batik yang masih dipakainya bergerak-gerak mengikut gerakan tangannya sambil matanya tak henti-henti memandangku kuyu. Suaranya mendesah, terasa seperti ada kenikmatan sedang menyelubunginya.
“Abang… ooohh sedapnyaaa banggg…” Ida merintih kesedapan di hadapanku.
Aku serta merta terkejut dengan perlakuannya. Sama sekali tidak aku sangka aku akan melihat tayangan percuma seorang perempuan melancap di hadapanku, malah dia adalah adikku sendiri. Aku tak tahu nak cakap apa. Nak halau dia keluar dari bilik, tapi perasaan aku tertahan-tahan pasal best pulak tengok dia mendesah kenikmatan dengan gaya yang mengghairahkan itu. Nafsu aku perlahan-lahan bangkit tapi aku tahankan sebab aku tahu dia adikku dan aku tak sepatutnya mengambil kesempatan ke atasnya.
Hatiku betul-betul bergelora. Terutama bila dia semakin hampir kepada ku dan jarak kami kini hanya lebih kurang sekaki. Dapat aku lihat kain batik yang melapik tangannya yang sedang menggosok kelengkangnya semakin basah. Adikku tiba-tiba menarik tanganku dan diletakkan di atas teteknya yang tidak bercoli itu. Aku tidak menolak, aku membiarkan. Seperti terpukau dengan pertunjukkan yang dipamerkan.
Aku ramas dan usap teteknya yang masih berlapik t-shirt itu. Terasa ianya keras dan putingnya menonjol. Desahan adikku semakin kuat. Tiba-tiba dia menolak aku hingga aku terlentang di atas katil. Aku cuba bangun tetapi dia terus duduk di atas dadaku. Terus sahaja dia menggeselkan kelengkangnya di badanku. Kali ini tanpa halangan dari kain batiknya kerana sudah diselakkan namun masih tertutup dan membuatkan aku tidak dapat melihat kelengkangnya yang menghenyak dadaku. Kedua-dua tangannya menguli teteknya sendiri. Memang seperti tayangan strip tease. Kemudian dia melentikkan badannya ke belakang dan menghulurkan tangannya ke belakang dan mencari zip serta butang seluar slack yang ku pakai. Aku cuba bangun untuk menghalang tapi badannya yang agak berat itu menahan dan tangan ku terhalang oleh pehanya yang montok di atas badanku. Aku pasrah, terasa seperti aku akan di rogol oleh adikku sendiri. Kelakarkan? Memang kelakar, tapi itulah kenyataan.
Adikku berjaya mendapatkan batang aku yang mengeras setelah dia berjaya membuka dan melurutkan seluar dan seluar dalamku. Di lancapkan batangku lembut, aku semakin asyik. Aku membiarkan perlakuannya yang masih menggeselkan kelengkangnya di atas dadaku sambil tangannya terus melancapkan batangku di belakangnya. Dadaku terasa semakin basah dengan cairan cipapnya. Matanya tak lepas memandang mukaku.
Batangku semakin di lancap laju. Kemudian dia menghentikan lancapannya dan mengensot ke belakang sehinggalah aku dapat merasakan kehangatan cipapnya yang basah itu menyentuh kepala batangku. Aku cuba hendak melarikan diri pada ketika itu. Ketika aku cuba bangun, dengan pantas dia terus duduk di atas batangku membuatkan dengan sekali tekan batang ku terus terbenam ke dalam cipapnya.
Ahhh, memang agak sakit ketika itu. Batangku ditekan secara paksa hingga menyentuh dasar rahimnya. Dia juga kelihatan menahan kesakitan. Kami kemudian terdiam. Aku seperti tidak percaya apa yang aku sedang lakukan. Namun apa yang aku rasakan adalah batangku kenikmatan dikemut dan dipijat-pijat oleh cipapnya. Sesekali dia akan menggelek punggungnya membuatkan batangku yang keras itu seolah diuli di dalam lubangnya.
Ohh, memang sedap ketika itu. Memang adikku kerjakan cukup-cukup batang aku. Akibat kenikmatan yang merangsang minda dan saraf aku, segala pertimbangan aku hilang serta merta. Apa yang aku ingin adalah kenikmatan ketika itu. Adikku seperti tahu. Dia terus menyelak baju t ke atas dan menanggalkannya. Tinggallah hanya kain batik yang membalut tubuhnya dari pinggang hingga ke bawah, menyembunyikan batangku yang tenggelam agak lama di dalam cipapnya.
Melihatkan aku berkali-kali menelan air liur melihat teteknya, terus dia menarik kepala ku ke arah dadanya dan disuakan puting teteknya ke mulutku. Lagaknya seperti seorang ibu yang ingin menyusukan anaknya. Aku terus menghisap putingnya yang keras menonjol itu.
Desahannya semakin kuat, tekanan ke atas batangku juga semakin kuat membuatkan batangku semakin menghenyak dasar rahimnya lebih kuat. Dia kelihatan seperti sudah kerasukan. Dipeluknya kepalaku supaya lebih rapat menekan teteknya. Aku semakin bernafsu. Aku terus memeluk tubuhnya dan menghisap teteknya semahu hatiku kerana apa yang aku rasakan adalah dia seolah inginkan aku melakukan sepuas hatiku ke atas tubuhnya atas kerelaan dirinya.
Kemudian dia mula mengangkat punggungnya naik dan kemudian turun kembali berulang kali. Batangku yang tadinya dikemut semahu hatinya kini keluar masuk ke dalam cipapnya. Ohh.. memang sedap. Masih ketat walau pun dari apa yang aku rasakan, dirinya sudah lagi tiada dara. Barulah aku tahu, sebelum ini dia pernah melakukan seks namun dengan siapa aku tidak pula pasti. Cairan yang terbit dari rahimnya melicinkan lagi pergerakan batangku keluar masuk cipapnya. Keghairahannya semakin tidak terkawal. Hayunan punggungnya semakin laju dan kemutannya semakin kuat. Selang beberapa minit selepas itu, aku dapati nafasnya semakin kuat namun agak putus-putus. Hayunannya juga semakin goyah tetapi lebih dalam hingga ke pangkal. Akhirnya adikku menenggelamkan batangku sedalam-dalamnya dengan badannya terlentik memelukku. Kelihatan pehanya mengejang dan tubuhnya juga mengeras dan sedikit menggigil seperti terkena arus elektrik. Desahan nafasnya seperti lembu kena sembelih, namun terlalu mengghairahkan.
“Abanggg…. Ida dahhh klimaksss… ohh abangggg…. Sedap banggg….” Katanya dalam suara yang menggeletar.
Bintik-bintik peluh kelihatan timbul di dahi dan dadanya bersama kulitnya yang berbintik kemerahan. Itulah first time aku tengok perempuan klimaks dalam pelukanku. Namun aku masih lagi belum terasa nak pancut. Adikku kemudian mengangkat punggungnya membuatkan batangku keluar dari cipapnya.
“Abanggg… Ida cintakan abangg…” katanya sambil tangannya membersihkan cairan cipapnya yang berlumuran di batangku menggunakan kain batik yang masih dipakainya.
Tangannya terus melancapkan batangku dalam keadaan dia masih berkain batik. Dia menonggeng di sebelah aku dan menjadikan badan aku sabagai pengalas kepalanya. Aku menikmati lancapan yang dilakukan sambil tanganku meramas-ramas punggungnya.Ketika itulah aku baru sedari bahawa adikku mempunyai bontot yang betul-betul cantik. Bontotnya bulat dan tonggek, dihiasi pinggang yang ramping dan peha yang gebu.
“Ida, bontot Ida cantiklah..” kataku memujinya.
“Abang nak ke? Jomlah…” katanya sambil terus menghentikan lancapan dan terus menyelak kainnya ke atas mempamerkan bontotnya kepadaku.
Aku terus memintanya menonggeng di atas katil. Dia menurut dan aku terus berlutut di belakangnya. Tangannya digapai kebelakang mencari batangku. Aku dekatkan batangku ke tangannya dan dia terus menyambar dan terus sahaja menggosokkan batangku dicipapnya. Setelah batang aku penuh berlumuran dengan air cipapnya yang pekat melekit itu, dia terus menghunus batangku ke lubang bontotnya yang kelihatan sedikit terbuka mulutnya. Aku tahu dia hendak aku bedal bontotnya, apa lagi, aku tekanlah batangku masuk.
Pehhh.. memang ketat gila. Baru masuk kepala dah perit batangku. Macam kena cepit. Dia cuma mendesah. Aku tekan lagi hingga separuh batang aku terbenam ke dalam bontotnya. Desahannya semakin kuat.
“Aduhhh banggg.. sakittt.. slow sikit sayanggg… “ rintihnya.
Aku tekan lagi semakin dalam. Aku tak pedulikan kesakitannya pasal aku juga merasakan sakit menekan batangku ke lubang bontotnya yang amat sempit itu hinggalah semua batangku hilang terbenam di dalam bontotnya.
Setelah agak lama dalam keadaan begitu, barulah aku menhayunkan batangku keluar masuk dalam tempo yang perlahan.
“Banggg… sakitt… tapi sedappppp… dalam lagi bangggg…” pintanya.
Aku pun hayunkan batangku sedalam-dalamnya seperti yang dipintanya. Desahannya semakin kuat. Hinggalah akhirnya dia semakin melentikkan tubuhnya membuatkan batangku semakin selesa keluar masuk bontotnya.
Aku hayunkan semahu hatiku kerana dia juga menikmatinya walau pun sesekali dia mengaduh kesakitan. Akhirnya aku sudah rasa batangku akan meletup.
“Ida, abang nak terpancut sayanggg…. Sedap niii… pancut dalam ye sayanggg..” pintaku.
“Abangggg… sedapnya…. Pancutlah banggg…. Keluarkan air abangggg…” rintihnya.
Akhirnya, aku melepaskan benihku ke dalam bontot adikku sedalam-dalamnya. Adikku mengemut bontotnya membuatkan batangku terkepit-kepit memuntahkan maninya. Ohh.. memang sedap.. Lepas habis aku pancutkan benih aku dalam bontotnya, aku tarik keluar batangku dan kelihatan batangku berlumuran dengan cairan maniku yang sedikit kotor warnanya. Aku lap dengan kain batik yang dipakainya dan terus terbaring kepenatan. Dia terus memelukku dan kami terlena hingga ke petang.
Selepas kejadian itu, kami selalu mengambil peluang untuk bersama dan ketika malam, jika dia tidak datang bulan, sudah pasti dia akan datang ke bilikku minta dijimak. Akibat dari ketagihan membedal bontotnya, lubang bontotnya kini semakin besar dan semakin dapat menerima batangku tanpa rasa sempit yang teramat sangat seperti ketika pertama kali aku membedalnya.
Adikku menceritakan bahawa dia sebenarnya cemburu kerana terlalu ramai pelajar perempuan di sekolahnya yang menyintai aku. Walau pun aku sudah tidak lagi bersekolah di situ, tetapi namaku masih lagi disebut-sebut pelajar perempuan. Dari situ timbul perasaan ingin menyintai aku dan seterusnya timbul perasaan berahi yang amat mendalam kepadaku. Walau macam mana pun kami melakukan hubungan seks, kami tetap cover line. Kondom dan pil perancang pasti ada dalam simpanan kerana setiap air maniku pasti tidak akan dibazirkannya. Melainkan jika aku ingin memuntahkannya di atas badannya seperti di mukanya, punggungnya, pakaiannya dan tudungnya. Hingga kini, walau pun kami masing-masing sudah mempunyai kekasih, namun jika kami bersama, pasti kami lebih dari suami isteri.
Baru sahaja tadi adikku keluar dari pejabatku dengan cipapnya yang dipenuhi air maniku. Dah lah kondom tak bawak, pil perancang pulak dah habis. Sanggup dia datang pejabat aku dari pejabatnya yang 5 kilometer jaraknya semata-mata nak batang aku. Bayangkanlah betapa peliknya dia tu. Mesti sekarang ni dia tengah cari pil perancang kat farmasi. Kalau tak, teruklah kita orang. Alamak, seluar dalam dia tertinggal pulak, jangan sampai air mani aku banyak meleleh keluar sudah lah, kalau banyak meleleh, pasti nampak basah .
6 notes · View notes
kevinsetyawan · 10 months ago
Text
Dibalik Senja
Oleh : Kevin Setyawan
Tumblr media
Biarkan aku mencintainya seperti aku mencintai langit senja dengan semburat oranye yang seolah membawaku untuk terbang diatasnya.
Menelusuri jauh diluar jangkauan sampai pada titik tertinggi dalam jiwaku yang bebas menari jauh diantara kepalan awan awan.
Dibalik rona cerah, langit selalu menyimpan gemuruh dan derasnya hujan yang siap jatuh melululantahkan segalanya dengan tiba tiba.
Memang mencintaimu serupa mencintai langit, tatkala dia indah kamu akan terpesona dengan setiap rona yang muncul darinya, akan tetapi kamu harus ingat dibalik birunya langit cerah awan kelabu bisa saja muncul dari sudut yang tak pernah kita duga.
Seolah darinya kita hanya belajar mencintai dengan ikhlas tanpa kita sadari sesuatu yang indah terkadang tak pernah bisa sepenuhnya kita miliki.
Karena senja selalu mengajarkan sesuatu boleh saja indah sekalipun dirimu
16 notes · View notes
juliarpratiwi · 1 year ago
Text
Mengelola Ekspektasi
Rangkaian kejadian yang qadarullah hadir beberapa waktu ini, menitipkan banyak sekali pelajaran yang tak ternilai. Satu waktu ketika diri dihadapkan pada sebuah proses yang kembali gagal, lalu ternyata beberapa teman pun mengalami hal yang serupa, dan sempat muncul sebuah keheranan
"Padahal udah ngaji ya, padahal sudah lebih lama mengenal dakwah sunnah, padahal katanya mengaku bermanhaj salaf tapi....."
Alhamdulillah, sempat kecewa lalu memutuskan menerima dengan penuh pasrah bahwa tidak mungkin terjadi tanpa kehendak-Nya, tidak mungkin datang tanpa sebuah maksud, saya mencoba mengurainya bahwa mungkin selama ini saya punya bayangan yang terlalu tinggi tentang seseorang ataupun sesuatu. Saya terlalu mudah terpesona dengan keindahan seseorang pada sebuah kertas dan halaman, kebagusan seseorang yang hanya terlihat dari tampilan secara permukaan saja, lalu lupa mengembalikannya kepada Yang Maha Tahu tentang setiap diri, setiap hati, dari yang nampak sampai yang tersembunyi.
Beberapa waktu ini saya kembali belajar bahwa setiap orang punya potensi untuk mengecewakan, baik ia seorang penuntut ilmu, sekalipun ia seorang pengajar. Sebab kita dan mereka hanyalah manusia biasa, bisa salah, bisa lupa, bisa keliru, bisa tergelincir. Maka, kini saya belajar untuk mengelola ekspektasi. Saya belajar untuk berfokus pada bagaimana saya, bukan terlalu mengkhawatirkan bagaimana nanti, bagaimana ia, bagaimana mereka. Saya boleh saja kagum dengan CV nya, saya boleh saja memiliki penilaian positif tentang pribadinya. Karena hanya sebatas itu yang bisa saya ikhtiarkan, secara dzahir dan apa yang ia tampilkan di permukaan saja. Sisanya Allah Yang Maha Tahu, sisanya saya kembalikan kepada Yang Maha Baik, Yang Maha Tahu Yang Terbaik.
Ya Rabb, beri kami nikmat untuk senantiasa bergantung dan berharap kepada-Mu saja.
29 notes · View notes
jejaringbiru · 2 years ago
Text
Sejak ditinggalkan olehmu aku tak lagi menyukai senja, sebab ia sama sepertimu. Sempat membuatku terpesona oleh keindahannya yang sementara, dan pada akhirnya pergi begitu saja meninggalkan luka yang membekas selamanya.
@gndrg
Page 82 of 365
74 notes · View notes
teman-perjalanan · 4 days ago
Text
Mengapa disebut narsis?
Ada sebuah legenda Yunani yang menceritakan kisah seorang pemuda bernama Narcissus. Suatu hari, ia melihat bayangan wajahnya di permukaan air sumur. Ia terpesona oleh keindahan dirinya dan terus memandangi bayangannya dengan penuh kekaguman sampai akhirnya ia kehilangan keseimbangan, lalu jatuh ke dalam sumur, dan tenggelam.
Setelah itu, sumur tersebut mengering, dan di tempat itu tumbuh sebuah bunga yang dinamakan bunga narsis. Bunga narsis dikenal sebagai bunga yang menarik dan memiliki aroma harum, tetapi juga tergolong sebagai bunga beracun. Setiap tanaman yang tumbuh di sekitarnya akan mati.
Karena itu, istilah "narsisme" digunakan untuk menggambarkan kepribadian yang "beracun" dan merugikan orang lain. Dari legenda ini, lahir istilah "narsisme," yang mengacu pada cinta berlebihan terhadap diri sendiri atau sifat egosentris.
(Lukisan di bawah ini berjudul "Narcissus")
Tumblr media
6 notes · View notes
menyapamakna1 · 1 month ago
Text
Tumblr media
Cerpen: Merindukanmu.
Hujan turun begitu deras, guntur susul menyusul memekakkan telinga. Jendela ruanganku berembun. Ruanganku gelap, cahaya pun tak bisa menembus ruangan ini. Sangat sepi, aku selalu sendirian di ruangan ini, hanya meja belajar dipinggir ranjang dan buku-buku yang berjajar rapih menemaniku. Terdengar suara mobil masuk ke pelataran rumah. Kakiku melangkah pelan, lalu membuka sedikit tirai jendela. Tak ada cahaya matahari, tak ada sinar keemasan menimbun langit. Yang ada hanya langit mendung, juga gemuruh hujan dan aroma paving blok yang basah. Mataku menangkap mobil yang masuk ke pelataran rumah, berhenti tepat di depan rumah. Keluarlah dua orang ceria, terlihat seperti keluarga bahagia. Satu orangnya sebaya denganku, satu tahun lebih muda malah, satunya lagi berwajah tenang, berkerut dikedua mata namun tegas. Tangannya keriput, tapi putih. Ia cekatan mengambil payung dikursi belakang, lalu perlahan membukanya. Membiarkan perempuan satu tahun lebih muda dariku untuk mendekapnya. Kemudian mereka berjalan kearah pintu. Pemandangan biasa yang sering kulihat berkali-kali. Sementara aku kembali melangkahkan kaki, duduk ditepi ranjang. Ruanganku sepi, tak ada siapapun kecuali diriku sendiri, pemuda penyendiri yang hidup didalam kamar. Sehari-hari bertemankan dinding berwarna abu, langit-langit kamar, meja dan kursi belajar dipinggir ranjang, beberapa buku yang berjajar dirak yang tersimpan disudut kamar, juga beberapa gambar yang terpanjang di dinding. Gambar-gambar itu adalah hasil karyaku. Gambar yang terlihat gelap, suram, juga mungkin sendu kalau orang-orang bisa melihatnya. Tapi bagiku itu sangat indah, sempurna, memesona. Sesekali keluar kamarpun untuk mengambil makanan.
Katanya aku seperti monster, orang-orang takut melihatku, setidaknya itu yang digambarkan keluargaku kepadaku. Padahal menurutku tidak demikian, wajahku lumayan, berkulit kuning langsat, bermata tajam, siapa saja yang melihatku mungkin akan terpesona. Alis tebal, rambut pendek hitam legam. Tapi entah kenapa keluargaku sangat takut padaku ketika bertemu, padahal senyumku manis. Tapi aku bagai di iris benda tajam, sempurna menghantam jantungku, hatiku merasa sakit, aku seperti ditusuk ribuan panah, meraba dada, mencengkram baju kuat-kuat, lalu keluarlah air bening nan jernih dipelupuk mata, mengingat adegan nenek tua dan Lili, orang yang satu tahun lebih muda berpelukan. Lihatlah aku kesakitan, aku terluka sendiri, menangis sendiri, tak ada sandaran untukku. Aku adalah burung dalam sangkar, tak bisa kemana-mana, tak bisa menikmati indahnya dunia, menikmati pemandangan jalan, orang-orang berlalu lalang. Tak bisa menikmati aroma dedaunan dan tumbuh-tumbuhan dan bunga yang bermekaran di jalanan, ditaman, dimanapun. Aku hanya bisa menikmatinya dari kejauhan. Apakah aku se aneh itu? Seseram itu? Sehingga aku diperlakukan berbeda dari yang lain. Apa yang mereka takutkan? Apa yang membuat mereka berpandangan aneh kepadaku? Sejenak aku selalu berpikir demikian. Hujan sempurna mengguyur seluruh kota, sempurna menyentuh dedaunan, rerumputan hijau, pepohonan, bangunan-bangunan kota. Menawarkan kesejukkan lewat dinginnya angin menembus kulit, menerpa helaian dedaunan. Rintik hujan yang indah, tapi sayang, tak seindah hidupku, tak seindah hari-hariku, tak seindah perjalananku. Aku tak bisa menyaksikan semua itu, menyaksikan keindahan dunia yang orang-orang dengan mudah bisa melihanya. Hanya dengan berjalan kaki keluar dari rumah, sudah bisa menyaksikan indahnya matahari yang menerangi seantero semesta, atau bulan saat senja mulai tenggelam, berganti dengan hitam pekat, lalu bulan siap menampilkan keindahannya dan bintang- bintang siap bertaburan mempercantik langit kota. Melihat gedung-gedung pencakar langit, lampu bundar yang berjajar di sepanjang jalan, mobil yang saling berjajar berdesakkan. Bisa melihat lenskep kota ditempat yang tinggi. Semua dapat disaksikan oleh kedua mata mereka, lalu merekah lah kebahagiaan tidak terhingga. Sementara aku selalu ditempat yang sama. Lihatlah, tak ada yang tahu bahwa aku ada kecuali keluargaku. Keluarga? Entahlah, apakah mereka layak disebut keluarga? Mereka mengurungku seperti tahanan. Aku kembali melihat lukisan-lukisan indah yang ku lukis, setidaknya melukis adalah caraku meluapkan kesedihan. Tuk..tuk..tuk.. seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku segera menghapus airmata yang datang sembarangan. Membuka pintu, dan lihatlah siapa yang datang. Lili, adik yang paling disayang keluarga, manusia yang terjaga dengan kelembutan oleh keluarga, makhluk murni yang paling dicintai keluarga. Jujur aku benci sekali melihatnya, kenapa dia harus datang kekamarku? Bukankah kalau memiliki sesuatu tinggal telpon saja, atau minta seseorang dirumah menyampaikan pesan padaku. Jaman sekarang dunia semakin canggih dengan berbagai peralatannya. Lili menghambur memelukku, unggingan senyum lahir dibibirnya. Ia memelukku sangat lama, seolah melepas kerinduan tiada tara. Seolah kita tidak bertemu sangat lama, padahal kita selalu dirumah, padahal kamarku tidak jauh dari tempat dimana kakinya selalu ingin berpijak. Di ruang keluarga, di taman, di halaman, dimanapun sekitar rumah. Dia adalah orang yang bebas, orang-orang rumah akan senang ketika melihatnya ceria. Hal yang membuat Lili senang, maka keluargaku juga senang. Tanganku berusaha melepaskan pelukan, tapi gadis riang ini malah semakin erat memelukku.
"Kamu tidak merindukanku Fatih?" Lili masih membenamkan dirinya dipelukanku, bahkan nafasku sesak juga dia tidak peduli. Dia membuncahkan kerinduannya, terlihat sangat nyaman. Matanya tertutup, kedua tangannya merengkuh tubuhku. Pelukan yang sangat kubenci sebenarnya, tapi sangat nyaman bagi gadis yang terpenuhi kasihnya oleh keluarga. Aku membiarkannya, pasrah menunggu ia selesai dengan apa yang dilakukannya. Lili mendongakkan kepala, melihat ekspresiku yang datar, tangannya masih merengkuh, tapi kemudian melepaskannya setelah melihat wajahku. Manyun melihatku yang datar-datar saja.
"Aku bosan hari ini, sendirian menikmati kota. Kamu tahu, hari ini aku banyak mengunjungi gedung-gedung tinggi, melihat univnya Ilyas, cuacanya juga bagus, meski hujan, karena sejuk. Kamu paling suka saat hujan kan?" Aku tertegun sejenak, kupikir keluarga ini sudah melupakan Ilyas. Hatiku terasa sakit lagi, ribuan anak panah diam-diam menusuk, membiarkan diriku kembali meratap, mengambang diantara kejadian-kejadian suram yang menimpa diriku. Aku takut setengah mati, bergetar seluruh tubuh. Tapi berusaha tak memperlihatkannya didepan Lili. Lili masih lanjut berceloteh.
"Hari ini kita juga menjenguk Ilyas dirumah sakit. Kamu tahu keadaannya masih sama, tidak ada perubahan, ekspresinya masih sama, matanya masih terpejam. Bahkan alat-alat rumah sakit yang terpasang ditubuhnya masih ada, tidak hilang. Aku sungguh sangat prihatin" Lili menatapku, melihat wajahku seksama. Memerhatikan ekspresiku yang terlihat biasa saja.
"Kamu tidak merindukannya?" Lili menatapku. Memerhatikan lamat-lamat wajahku.
"Pergilah, kalau tak ada kepentingan, aku butuh istirahat. Lagi pula nenek tidak akan suka kalau kamu disini. Berhenti membuat masalah untukku" Balasku langsung menutup pintu. Lili mendesah pasrah, padahal kerinduan masih membuncah. Lili tahu aku tidak pernah menyukainya sejak kejadian beberapa tahun silam. Kejadian yang menerkamku dengan beribu hantaman kejam keluargaku kepadaku. Lontaran yang siap menyerang mentalku. Menyerang akal, pikiran, hati, bahkan tindakanku. Hari itu semua menjadi berbeda, rumah yang dulu hangat seperti mentari pagi, lenyap seketika. Rumah yang dulu seperti senja yang memanjakan mata kala keindahannya siap memesona langit sore, musnah seketika. Rumah yang seperti bulan siap menyongsong keindahan mempercantik langit malam, semuanya sempurna sirna, sejak kejadian mengerikan dan menyakitkan itu. Nenek bahkan tak memberiku kesempatan berbicara. Baginya aku adalah monster. Makhluk mengerikan yang harus musnah dari dunia ini. Siapa pula yang menginginkan kejadian itu. Keluarga hangat itu tidak ada, keluarga harmonis itu hanya menjadi sejarah. Aku juga kesakitan, bukan hanya nenek, bukan hanya Lili. Tapi kenapa semuanya disematkan kepadaku. Aku bukan keluarga satu-satunya, aku bukan anak satu-satunya. Ada Lili, kenapa dia tidak pernah disalahkan? Kenapa dia tidak dimarahi? Padahal umurnya hanya berjarak satu tahun lebih muda dariku. Apa karena dia lebih muda dariku? Tidak mungkin kan? Aku merajuk, tubuhku perlahan lemas, terkulai dipintu kamar. Aku menangis. Merengkuh lutut, membenamkan wajahku. Lengang, hanya derap langkah Lili yang meninggalkan kamar, menuruni anak tangga yang terdengar.
****
Pagi siap menyambut hangat dengan sinar keemasan menyoroti jendela kamarku lewat ventilasi udara. Semua orang siap memulai aktivitasnya, tak terkecuali Lili yang sudah siap rapih akan berangkat kuliah. Tapi sebelum itu seperti biasa keluarga yang penuh dengan cinta ini berkumpul dimeja makan, meski hanya dua orang. Mereka sarapan dengan tenang, senyum merekah, berbincang satu sama lain. Bercerita tentang apapun yang sudah dilalui. Sungguh keluarga yang bahagia. Setelah selesai Lili naik menuju kamarku, dilihat oleh nenek. Ekspresi nenek cemberut, entah kenapa, sedang Lili tersenyum lembut, riang kearah yang dituju. Setelah sampai gadis itu diam sejenak, berdehem, lalu mulai menceloteh.
"Fatih, aku berangkat ya, ingat untuk sarapan pagi" Lili langsung pergi setelah menyampaikan itu dengan unggingan senyum lembut. Wajahnya amat cantik, tapi aku tidak menyukainya. Penampilannya cukup untuk menarik setiap orang ingin berada didekatnya. Lili menghambur, memeluk nenek lembut. Amat damai, pelukan hangat itu mampu mengambil hati nenek, mampu membasuh hati nenek dengan kesejukan, mampu menyelimuti dengan kesejahteraan. Nenek dialiri ketenangan, senyum nenek penuh damai. Melepaskan pelukan membiarkan Lili berangkat dengan tentram, tanpa beban. Lili menghilang dari pandangan. Dari luar rumah, Lili menatap jendela kamarku beberapa detik. Seolah ingin aku juga memeluknya, mengatakan selamat pagi, melihatnya pergi dan menyambutnya ketika pulang. Lili lanjut melangkah lagi, masuk ke mobil, kali ini benar-benar meninggalkan rumah.
Aku sudah terbangun, kedua tanganku merengkuh lutut, wajahku panik ketakutan. Jantungku berdetak kencang, aku tersengal. Bagaimana tidak, ingatan mengerikan itu kembali bermain dikepalaku. Merenggut awal pagiku yang seharusnya tenang menjadi lautan yang siap melahap bangunan indah yang sempurna rapih dipertengahan kota. Pusaran hitam yang ingin aku lupakan, kejadian yang ingin aku singkirkan dari diriku. Ingatan itu mengikat tubuhku, menerkam hatiku, pikiranku, akalku. Aku bergetar hebat. Bayangan ketika Ilyas berada di atap kampus yang tinggi, memunggungiku, menghadap kedepan. Pandangannya sendu, matanya redup, wajahnya lesu. Ilyas menangis kecil meratapi kehidupannya. Tertekan dengan segala yang terjadi dihidupnya, ia menangis tersedu-sedu, berbalik badan menatapku seolah meminta pertolongan. Tangannya meraba dada lalu mencengkramnya kuat. Lelaki ini bergetar. Ia adalah anak pertama dari keluargaku. Sungguh hari itu aku melihatnya merintih kesakitan, matanya sembab, sesenggukan, tubuhnya lemas. Aku melihatnya seperti ada beban yang tersimpan dipundaknya, ada sebuah tanggung jawab yang harus dikerjakan, tapi ia tak sanggup melakukannya. Ia redup. Aku menatapnya khawatir, bingung apa yang harus kulakukan untuk menenangkannya.
"Fa, aku ingin pergi, rasanya aku tak sanggup menjalani hidupku. Aku tidak sempurna seperti yang keluarga inginkan, aku gagal. Aku ingin tenang" Angin malam itu sangat dingin, masuk menembus kulit, menyapa aku dan Ilyas yang berada di atap kampus. Langit malam seolah mengerti keadaan kami, lalu membasuhi kami dengan angin sejuk, dedaunan yang meliuk-liuk. Dari tempat kami berdiri dapat terlihat beberapa pohon lebat dan tinggi dengan daunnya yang menari-nari. Gedung-gedung tinggi yang berjajar yang disetiap lantai lampu menyala, berpadu dengan lampu-lampu jalan yang menyala, memperindah kota. Dari tempat kami berdiri bisa terlihat sedikit orang yang pulang dari aktivitas atau beberapa orang sedang bertegur sapa. Mengumbar senyum menenangkan, tanpa beban. Orang-orang yang bersahutan sambil membawa ransel ditangan. Wajah-wajah itu dibalut kebahagiaan tiada tara. Sungguh menyenangkan menyaksikan semua itu, tapi tidak bagi Ilyas. Ada iri yang membuncah, Ilyas ingin seperti mereka, yang bisa bersenang-senang seperti seumurannya. Ilyas malah harus menanggung semua kesedihan itu, memikul beban itu. Saat anak-anak seumurannya bisa bermain bebas, Ilyas harus menanggung keinginan orang lain. Keinginan yang merusak mentalnya, merusak dirinya, mengubur mimpinya. Ia harus berjalan dijalan yang disediakan orang lain, bukan berdiri dikaki sendiri. Tak ada cahaya di dirinya, tak ada sinar diwajahnya, ia redup.
"Fa, bagaimana rasanya ya menjadi mereka" Mata Ilyas menatap orang-orang yang berlalu lalang dibawahnya. Aku tidak tahu kalau Lili juga sedang mencari kami. Karena kelasnya sudah selesai, lalu bergegas mencari keberadaan kami diberbagai tempat dikampus tapi tak ada.
"Aku kesakitan Fa" Tangan Ilyas bergetar hebat, matanya bergetar, seluruh tubuhnya bergetar. Aku mendekat, memperhatikan wajah Ilyas yang sudah merah seutuhnya.
"Ilyas, jangan pernah lakukan hal bodoh, jangan seperti ibu dan ayah ya, aku mohon. Aku dan Lili membutuhkanmu. Jangan menghilang dari hidup kami, aku mohon" Aku meyakinkan. Melihat Ilyas dengan kondisi seperti itu, aku takut dia akan melakukan hal konyol. Sama seperti ayah dan ibu kami. Sudah cukup bagi kami menyaksikan ayah dan ibu mengakhiri hidup mereka. Aku tak ingin Ilyas melakukan hal serupa. Pelan-pelan aku pegang bahunya, menenangkan hatinya yang keruh, pikirannya yang rusuh. Memberitahu bahwa aku dan Lili mendukungnya, aku dan Lili adalah penopang hidupnya. Aku dan Lili adalah kristal yang perlu dijaga. Cahaya yang tak boleh dibiarkan redup. Ilyas hanya tersenyum getir, cukup untuk memberitahuku bahwa dia memang tidak baik-baik saja. Matanya terpejam, merasakan lembut angin yang menerpa wajahnya. Tak ada suara, sunyi. Malam itu bulan dan bintang-bintang dilangit menjadi saksi bagaimana keadaan kami, bagaimana keadaan Ilyas. Beberapa detik kemudian Ilyas tiba-tiba tidak ada disampingku, ia akhirnya terjun kebawah. Aku menatap tempat orang yang disampingku beberapa detik lalu dengan ketakutan. Aku bergetar hebat. Apa yang kuduga terjadi, nafasku tertahan, seketika semuanya pecah. Aku membekap mulut dengan kedua tanganku, ingin sekali aku berteriak, tapi tertahan. Aku terpaku, mencerna segala yang terjadi. Sementara itu suara teriakan orang-orang dibawah tempatku berada, begitu histeris. Kaget sekaligus takut, merinding melihat seseorang yang tiba-tiba jatuh dari ketinggian. Tepat saat itu nenek berada didepan Ilyas yang terjatuh. Matanya sama bergetarnya denganku, melihat ke atap, tepat saat wajahku muncul bermaksud memastikan tubuh Ilyas.
Aku meringkuk ketakutan mengingat kejadian itu. Kejadian yang bisa membunuhku perlahan. Saat kejadian itu pula nenek mulai tak menyukaiku, mulai mengurungku, menganggapku monster. Pembunuh berdarah dingin, julukan itu sudah dilekatkan kepadaku sejak kejadian itu. Dan rasanya sangat menyesak dada, aku tersengal, nafasku tak beraturan. Aku mengambil satu bantal, menutup kedua telingaku. Semakin aku rekatkan bantal ketelingaku, semakin lihai pula ingatan itu melingkariku, mengikatku. Semakin riuh ingatan itu dalam kepalaku. Terasa jelas suara-suara yang tak ingin ku dengar, sayup-sayup percakapan antara kami, kejadian saat Ilyas memilih terjun kebawah. Suara berisiknya orang-orang yang menjerit ketika menyaksikan tubuh Ilyas terkapar. Juga bayangan ketika nenek mendongakkan kepala melihat kearahku, yang saat itu ada di atap kampus. Semuanya sempurna membelenggu diriku, menjadikan diriku tak terkendali, bergetar, aku merasa cemas. Bola mataku membelalak kala ingatan itu masih berkeliaran dikepalaku. Beberapa detik kemudian tanganku kembali merengkuh lutut, aku kembali membenamkan wajahku, aku menangis. Bening-bening kristal turun perlahan. Ku lampiaskan kesedihanku lewat tangis yang semakin lama semakin keras. Semakin menjadi-jadi, semakin membuncah. Nenek terdiam di ruang makan mendengarku menangis. Aku luapkan segala hal yang menyakitkan itu, aku tumpahkan seluruhnya agar perasaanku lega.
****
Malam hari tiba, aku sedang mewarnai lukisanku. Lukisan yang menurutku sangat indah, sangat menawan. Lukisan yang menggambarkan indahnya diri dan indahnya dunia dengan berbagai problematikanya. Lukisan dua orang bersama sedang menikmati langit malam. Yang satu kepalanya tertunduk meratap, yang satu menatap lurus tegak menikmati dunia, wajahnya sendu. Ku oles warna hitam pekat pada langit yang ku gambar, sementara pada dua orang yang ku lukis dilekatkan warna biru dan coklat pada bajunya. Bintang-bintangnya berwarna abu. Setelah menyelesaikan lukisan, kakiku bergerak kearah pintu, bermaksud mengambil makan malam. Karena pada malam hari, rumah ini sepi, nenek selalu berada dikamar. Hal rutin yang selalu kulakukan. Baru juga akan membuka pintu. Suara ketukan pintu terdengar. Membuka pintu dan lihatlah, Lili sudah menarik tanganku menuruni anak tangga cepat-cepat.
"Kamu ini kenapa?" Aku keheranan dengan tingkahnya. Lili memasang wajah tak bersalah. Satu telunjuk nya ditaruh dibibir " shuuttt" Lili tersenyum riang kepadaku, mengendap-endap agar tak berisik. Langkahnya pelan-pelan, tangannya menggandeng tanganku. Ada sentuhan hangat, ada ketenangan yang mengalir saat tangannya menggenggam tanganku. Kami melangkah sepelan mungkin. Sepi, tak ada siapapun di ruang keluarga, di ruang makan, ditaman, dimanapun. Nenek mungkin sudah tidur, karena sekarang-sekarang memang waktunya jam tidur. Bukan untuk rumah ini saja, rumah lainpun begitu. Lili dan aku berhasil keluar rumah, mengendap-endap melewati rumput, melewati jajaran-jajaran bunga yang mekar. Sungguh sangat cantik. Sayup-sayup angin menambah kelembutan pada malam ini. Meleburkan perasaan rindu, perasaan benci, perasaan lelah, perasaan letih. Sungguh menakjubkan, pertama kalinya lagi aku menapakkan kaki keluar, menjejak lagi dunia yang sudah lama tak kulihat. Akhirnya kami sudah berada diluar pagar. Wajah Lili menghadapku, matanya berbinar senang, bibirnya menyungging senyum, amat meneduhkan. Entah bagaimana, aku bisa melihat kalau Lili ini sangat puas dengan apa yang dilakukannya, ia seperti berhasil keluar dari teka-teki game, atau terbebas dari Labirin yang sulit. Wajahnya cantik, merona. Lili melihat wajahku lamat-lamat, membaca wajahku yang teramat senang keluar dari sangkar mengerikan.
"Hari ini aku akan mengajakmu ketempat dimana kamu bisa melepas kerinduan. Seperti aku yang selalu merindukanmu, jujur aku rindu sekali masa-masa lalu. Bermain bebas, menyeletuk apa saja yang membuat kita tertawa, meski hal kecil. Tapi bagiku, masa-masa itu adalah yang paling membahagiakan. Aku rindu kebersamaan kita" Lili tersenyum, aku terdiam. Bila harus jujur, aku tidak ada kerinduan sama sekali. Hatiku terlanjur hancur, cintaku sudah lebur, rasa kasihku sudah menjadi kepingan, amat menyakitkan. Tidak ada yang patut dibanggakan, sungguh.
Lili menarikku menjauh, kita melangkah ke pertengahan kota. Disepanjang jalan kami terdiam. Lengang, sepanjang kami berjalan hanya hawa dingin yang menemani, hanya daun rindang menari-nari menyirami kami yang tenggelam dalam keheningan. Hingga akhirnya aku membuka suara.
"Kamu mau membawaku kemana?" Suaraku memecah keheningan. Nadaku datar. Lili menoleh, memerhatikan wajahku, lalu tersenyum.
"Rahasia, nanti kamu juga akan tahu, tapi sebelum kita sampai, aku ingin kamu menikmati semuanya. Menikmati malam ini. Cahayanya, cuacanya, perasaannya. Lepaskan semua beban itu, aku tahu sangat sulit melalui semua yang kamu alami" Lili tersenyum. Dirinya benar-benar merasa prihatin. Wajahnya memerhatikan sekitar. Melihatku, ia seperti paham sekali bahwa kalimat mutiara itu tidak pernah bisa mengobati luka dihatiku. Tidak bisa menghilangkan rasa perih di dalam batin. Kata-kata penenangnya tak mampu menembus dinding hatiku.
"Maafkan aku, aku tak bisa melakukan apapun untukmu, tak bisa membuat perasaanmu lega, tak bisa membuatmu merasa aman dan nyaman. Aku tahu betapa menyakitkannya ketika seseorang yang kita sayangi, tiba-tiba menjauhi kita, tak mau bertemu dengan kita. Aku tahu kamu sangat mencintai keluarga kita. Kamu sangat peduli padaku, pada nenek, juga Ilyas. Kamu tidak membunuhnya" Lili kali ini tertahan. Suaranya lemah, aku terdiam, sempurna membatu. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Lili berhasil menusuk jantungku, merobek hatiku. Aku ringkih, ada sesak di dada. Aku mulai bergetar diam-diam. Tapi tak diperlihatkan kepada Lili. Lima menit tak ada suara, lima menit keheningan. Lili menatap lurus, kami duduk dihalte bus beberapa detik. Kemudian bus menghampiri kami. Aku dan Lili naik, sangat sepi, hanya satu dua orang yang berada dalam bus. Kami duduk berdampingan. Lili memegang tanganku, aku menoleh.
"Lihatlah apa yang ingin kamu lihat. Jarang sekali kan mendapat kesempatan ini? Sejak beberapa tahun itu, kamu tidak pernah lagi melihat dunia, melihat tempat-tempat menakjubkan. Jadikan ini moment terbaikmu, aku ingin kamu memiliki kenangan indah" Lili berkata pelan, tangannya tak dilepaskan. Ia memegang tanganku. Aku tahu gadis disampingku ini ingin menenangkan ku, menenangkan gemuruh dihatiku. Tapi sayangnya itu tidak cukup. Aku masih terluka, luka itu masih membiru. Mataku melihat kearah jendela, menyaksikan keindahan dunia, menyaksikan keindahan kota. Menatap takzim beberapa tempat yang dilewati bus yang dinaikki olehku dan Lili. Mataku tak berpaling sedikitpun, lihatlah cahaya kerlap-kerlip lampu di mol sangat cantik, lampunya membasuh mol dengan keindahan. Gedung-gedung tinggi tak kalah menakjubkan, lampunya juga menyala, menambah pesona. Mobil-mobil melintas, satu-dua menyusul. Ada juga yang dibelakang bus yang kami tumpangi. Malam ini sungguh indah, sungguh berisik. Riuh kota tak terhindarkan. Tetumbuhan kecil dipinggir jalan tampak cantik, meliuk-liuk diterpa angin malam. Sungguh menenangkan, aku sungguh menyukainya. Hatiku bagai dibaluri air bening, menentramkan. Lebih dari itu, aku merasa nyaman. Aku fokus melihat jalan-jalan yang dilewati, menatap sedikit orang lewat jendela bus. Lihatlah, aku tidak sadar menyuging senyum, mataku berbinar, sungguh menentramkan. Aku menatap orang-orang yang berjalan bersama seseorang lainnya. Mereka tersenyum, merekah. Berbincang satu sama lain, entah apa yang mereka bicarakan, terpancar kebahagiaan diraut wajah. Aku menyaksikan jalanan yang dipenuhi kendaraan mobil yang berjajar seirama, menyaksikan bagaimana orang-orang bercengkrama, sambil menjejak kaki disisi aspal berwarna abu, mereka dibaluri kedamaian. Siluet lampu-lampu mobil menyoroti mata mereka, sehingga memicing, namun lama-lama terbiasa. Sungguh aku menyukai hari ini. Dunia yang sudah lama tak kulihat, dunia yang aku rindukan, dunia yang setiap hari aku dambakan. Hari ini aku bisa melihat segalanya. Sungguh, rasa rinduku membuncah malam ini. Mengobati hatiku yang sepi, mengobati diriku yang terluka. Bus melintasi setiap ruko-ruko, mol, gedung-gedung pencakar langit. Mataku tak berhenti terkagum-kagum, suara bising kendaraan berlalu lalang memekakkan telinga. Kami turun di pemberhentian berikutnya, melakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Lihatlah, perkotaan yang padat ini sangat indah, berbagai cahaya terang menghiasi seluruh kota, lampu-lampu jalan, lampu-lampu mol, lampu-lampu gedung-gedung tinggi berpadu menyeruakkan sinarnya. Langit pun tak kalah menunjukkan keindahan, tak kalah terang. Bintang-bintang bertaburan bercahaya meramaikan langit hitam pekat, juga bulan yang sudah tegak sempurna, sangat menawan. Memanjakan mata siapa saja yang memandang.
Setelah beberapa menit kami berjalan, aku terdiam sejenak. Memandang apa yang kulihat dengan tak percaya. Aku membeku dengan huruf didepanku. Rumah sakit harapan. Gedung putih yang telah ramai oleh beberapa orang yang keluar masuk, sibuk dengan diri sendiri. Bahkan orang-orang yang menghampiriku, sekedar lewat juga berisik dengan suara-suara obrolan khas rumah sakit. Suara-suara itu menanyakan keadaan seseorang, menanyakan suasana didalam, menanyakan kondisi ruangan dan berbagai hal lainnya. Paling banyak membicarakan seseorang yang dijenguk. Beberapa orang duduk di kursi, membicarakan hal apapun. Terlihat ketegangan diraut wajah mereka. Mereka gelisah, khawatir, cemas. Beberapa orang lainnya berlari kesana-kemari membututi adik-adik kecil yang berlarian. Wajah-wajah asing yang baru ku lihat. Wajah mereka sedang dibalut kesedihan. Aku masih mematung, bergetar. Kali ini Lili melihat keteganganku, menyentuh tanganku, mengusir kecemasan.
"Tidak apa-apa, jangan takut. Ini adalah pertemuan yang indah, tidak mungkin kamu akan menyiakan usaha kita kan?" Lili menatapku. Kata-katanya lembut, setidaknya melepaskan kecemasanku sedikit.
"Ini adalah kesempatan, aku khawatir setelah ini, aku tidak bisa membawamu lagi. Kamu tahu kan, nenek orangnya tegas" Lili menarik tanganku, aku membiarkannya. Kami masuk menelusuri rumah sakit. Sangat dingin, suhu ruangan ini dinginnya menembus kulitku. Orang-orang juga tampak kesana-kemari, sibuk sendiri. Ada yang sedang duduk-duduk cemas, ada yang bergelut dengan lamunan, ada yang sedang memerhatikan ponsel, mengetik cepat, entah apa. Wajah-wajah kusut, wajah-wajah lelah, wajah-wajah letih, wajah-wajah lesu mewarnai ruangan ini. Mereka berantakan dengan pikiran mereka sendiri. Wangi khas rumah sakit tercium, begitu pekat. Aku dan Lili melangkah melewati koridor, melewati orang-orang yang sama mau menjenguk, atau sudah selesai menjenguk. Ada juga yang menjemput orang tersayangnya keluar dari ruang inap untuk pulang. Kami saling berpapasan satu sama lain, saling menabrak, tapi spontan saling maaf-memaafkan. Wajah-wajah panik tak terhindarkan. Kami berdesakkan ke ruang yang akan dituju. Sebenarnya sebentar lagi sampai, tapi ramainya pengunjung untuk membesuk tak kalah memadati setiap langkah kami, jadi kami sedikit lambat. Mereka juga khawatir dengan orang tercinta mereka. Separuh dari mereka ada yang sedang berbincang, membahas mengenai keadaan seseorang bersama seorang dokter. Wajah kusutnya tak bisa disembunyikan. Begitu banyak orang-orang khawatir dengan orang terkasih mereka. Kalau aku sakit apakah keluargaku akan sama cemasnya seperti orang-orang yang kulihat ditempat ini? Suhu dingin pun mendadak tak terasa saking padatnya. Suara bising sekitar memenuhi ruangan. Lili dan aku masuk keruangan dimana katanya aku bisa melepaskan kerinduan, setelah berhasil melewati beberapa orang diluar. Kakiku bergetar melihat siapa yang kulihat. Membatu, mataku berkaca-kaca, bergetar. Kakiku bergerak patah-patah. Inikah tempat yang disebut oleh Lili untuk melepas kerinduan? Inikah yang disebut pertemuan yang indah? Oh tidak, lihatlah siapa yang terbaring lemah. Ilyas! Orang yang tak pernah kutemui lagi setelah kejadian mengerikan beberapa tahun silam. Orang yang dulu selalu bersama-sama setiap selesai kuliah, orang yang matanya selalu redup. Orang yang tak berhasil ku bujuk, menyebabkanku dikurung di sangkar mengerikan itu. Orang yang menumbuhkan rasa benci dihati nenek. Lihatlah tubuhnya, lemah, ditopang berbagai alat rumah sakit, ventilator itu sempurna tepasang dihidungnya. Alat untuk membantunya bernafas, memompa udara ke paru-parunya. Monitor di samping ranjang pasien berbunyi pelan memperlihatkan garis-garis zig-zag. Lihatlah, Ilyas tak berdaya, belalai panjang yang terpasang dihidungnya membuatku miris melihatnya. Mata terpejam, tubuh terbaring, tangan tak bergerak, lihatlah lelaki itu sudah seperti mayat.
Aku menangis. Perlahan tanganku memegang tangan lemah Ilyas, lalu ke wajahnya. Memperhatikan lamat-lamat wajahnya. Wajah itu pucat, sesenggukan memerhatikan setiap tubuh seseorang yang sudah lama tak kulihat ini. Hatiku pilu, rasa sakit kembali menyerang ku, menghujamku dengan ribuan pisau menusuk. Aku linglung, kepalaku pusing. Oh Ilyas, apa yang harus kulakukan?
"Lihatlah wajahmu, begitu pucat pasi. Bagaimana bisa kamu melakukan ini padaku? Kalau kamu begini, aku tidak bisa membencimu padahal aku ingin sekali mengutukmu. Lihatlah aku..." Aku bergetar, meraba dada. Mata fokus kepada Ilyas yang terpejam. Oh tuhan keadaannya mengerikan untukku. Tersengal, membiarkan airmata menetes semaunya.
"Bagaimana bisa, kamu seperti ini? Kenapa tak sekalian mati saja biar aku sudah sempurna menjadi pembunuh untukmu, aku sudah membunuhmu" Setelah keluar kalimat itu aku tersungkur, tanganku lemas. Sepi, hanya layar kotak dipinggir ranjang yang terdengar tut...tut...tut... Ruangan kecil ini begitu sunyi. Lihatlah peralatan yang terpasang pada tubuh Ilyas, begitu miris. Tubuhnya hangat, tapi tak ada pergerakan, ia sempurna diam. Aku lagi-lagi menatap penuh sendu. Langit-langit kamar berwarna putih, serta dinding berwarna putih telah menjadi saksi bagaimana keadaan Ilyas, bagaimana hari-harinya. Alat-alat itu telah bersamanya selama beberapa tahun, sudah menjadi penopang hidupnya. Wajah putih itu tidak ada sinar, tidak ada cahaya. Ia redup, seperti kehidupan yang sudah dijalaninya beberapa tahun silam, hanya keadaan yang kulihat saat ini menjadi pelengkap pahit kehidupan lelaki muda ini. Pemuda yang didambakan menjadi kebanggaan keluarga, pemuda yang di idamkan mencakrawala dikeluarga, pemuda yang diharapkan menjadi panutan bagi adik-adiknya, lihatlah sekarang, sedang terkapar tidak berdaya. Semua mimpi dan harapan keluarga itu hancur lebur, berserak, tak bersisa. Semua yang ingin digapai keluarga punah sudah, bersamaan dengan Ilyas yang terpejam diranjang rumah sakit. Lihatlah sesuatu berbentuk seperti mangkuk membekap hidung dan mulut, serta belalai panjang yang menyatu sempurna menjadi penopang hidup matinya Ilyas, menjadi bantuan pernapasan Ilyas. Entah kapan ia akan sadar, entah kapan ia akan membuka mata. Tapi setidaknya dari Lili dan nenek yang selalu menjenguk sesekali, aku tahu ada harapan yang menimbun, ada secercah keyakinan yang tumbuh, ada sedikit sinar dihati mereka, kalau orang yang paling dicintai keluarga setelah Lili ini akan bangun. Malam ini bukan pertemuan yang indah seperti yang dikatakan Lili, tapi ini adalah pertemuan menyayat hati, setidaknya bagiku.
Entahlah hatiku bimbang antara senang dan sedih. Separuh hatiku merindukan sosoknya. Sosok yang gagah ketika berpura-pura ceria didepan nenek, sosok yang terbuka ketika ia setiap kali lelah, maka kami akan berbincang sebentar. Mencari tempat sepi untuk menumpahkan segala keresahan yang dialami Ilyas. Iya dulu Ilyas sering berbicara tentang betapa ia lelah dengan kehidupannya. Lelah dengan keinginan nenek yang ingin dirinya seperti ini dan itu. Dan kakak pertama dari keluarga kami ini selalu mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan nenek, walau itu kadang ada yang bertentangan. Iya, nenek menganggap lelaki muda ini adalah sosok sempurna. Sosok yang berani dan penuh kewibawaan, panutan bagi keluarga. Yang tanpa disadari itu malah membuahkan luka. Menyebabkan Ilyas tak bisa mengutarakan keinginan yang sebenarnya. Membenamkan mimpinya, mengubur perjalanan yang disusun, dirangkai dengan baik. Karena nenek orangnya tegas dan penuh tekanan. Ilyas adalah anak pertama dari kedua orangtua kami. Jujur ketika melihat Ilyas hari ini, seketika aku teringat dengan ayah dan ibu. Bagaimana keadaan getir mereka. Masa-masa mereka bertengkar hebat dengan nenek karena ada yang tak sepemikiran, ada pertentangan, berbeda cara pandang. Ayah dan ibu adalah pekerja kantoran, pekerja keras. Mereka selalu berangkat pagi pulang malam mengurus beberapa kerjaan diluar. Kalau pulang ke rumah pun sering terdengar pertengkaran hebat antara nenek dan kedua orangtuaku. Saat itu aku, Lili dan Ilyas masih sangat kecil, berusia tujuh, delapan, sembilan tahunan. Setelah beranjak dewasa, Ilyas dituntut untuk ini dan itu, menjadi apa yang nenek mau. Seperti robot, mematuhi apa saja yang diucapkan nenek. Apa karena nenek tak berhasil membujuk ayah dan ibu menapaki jalan yang sudah disediakan oleh nenek? Apa karena nenek gagal membawa ayah dan ibu menuruti setiap jengkal keinginannya? Meski aku sudah tahu jawaban dari pertanyaan ini adalah karena nenek ingin cucunya menjadi sempurna menurut gambarannya. Yang menjadi pertanyaan adalah apa arti kata bangga bagi nenek? Apa arti kata sempurna dipandangan nenek? Aku benci sekali sebenarnya mengingat kejadian itu. Karena kejadian itu pula aku dikurung dirumah, tidak perbolehkan keluar. Sekali lagi aku adalah burung dalam sangkar. Akupun tak tahu kenapa nenek seperti itu. Yang jelas hari ini adalah malam yang penuh sesak bagiku. Penuh dengan sulaman kesedihan, penuh dengan tikaman tajam yang sempurna menghujam jantung. Aku masih bergetar, terisak menatap wajah kakak pertamaku ini. Lili diam, membiarkanku melampiaskan segalanya, melampiaskan kemarahan atas kesedihan yang kurasakan. Lili menjadi penonton malam ini, menyaksikan bagaimana aku bereaksi dengan keadaan, menyaksikan aku menangis.
"Seharusnya kamu mati saja, biar apa yang sudah kamu alami tidak lagi dirasakan, agar setiap yang membuatmu perih itu hilang. Kamu seharusnya tidak usah bertahan. Kalau seperti ini, aku malah semakin membenci dirimu, dulu kamu berjanji akan menjagaku dan Lili. Lihatlah, bahkan kamu tidak bisa melakukan apa-apa, tidak bisa menjadi pelipur lara untuk adik-adikmu, tak bisa menjadi tempat bersandar untuk kami. Seharusnya kamu menjadi pelindung untukku, untuk Lili. Tapi hari ini aku mengerti, mustahil untukmu untuk menolongku. Aku kesakitan" Airmataku tumpah, sesak di dada luruh. Dinding-dinding hati yang menimbun ribuan sesak runtuh satu-persatu. Aku tak bisa menahan emosi. Membuncahkan segalanya yang terpendam, melampiaskan semuanya yang membenam dalam batin. Ruangan kecil ini menjadi saksi atas kemarahanku. Senyap, Lili tertunduk, menahan denting air yang akan jatuh dipelupuk mata.
"Aku dikurung oleh nenek, padahal kamu yang melakukan hal keji itu, kamu yang memilih jalan itu, kamu yang memilih mengakhiri hidupmu. Aku sudah berusaha mencegahmu, mengatakan bahwa aku dan Lili membutuhkanmu! Dan kami memang membutuhkanmu!! Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu tetap melakukannya, kamu tetap melukai dirimu, kamu tidak peduli kepada kami dan tetap memilih mengakhiri hidupmu, tapi kenapa yang disalahkan adalah aku!! Kenapa yang kamu lakukan ditimpahkan kepadaku? Sungguh Ilyas, kalau kamu berkata dari awal apa sebenarnya keinginanmu kepada nenek, semua ini tidak akan terjadi padaku!! Mungkin kalau kamu berani mengungkapkan impianmu, ketakutan yang kamu rasakan itu tidak terjadi!! Kamu adalah orang paling bodoh yang pernah ada, setidaknya kalau kamu mengutarakan apa yang ada dibenakmu, mungkin nenek tidak akan marah seperti yang selalu kamu bilang, mungkin nenek tidak akan merasa kecewa atas keterus-teranganmu!! Karena kamu adalah orang yang paling dicintai nenek! Kamu orang yang berharga untuk nenek! Kamu terlalu takut dengan kemungkinan-kemungkinan yang belum terjadi! Nenek tidak akan menganggapku seorang pembunuh kalau kamu berani mengucapkan semuanya!! Kamu adalah manusia paling konyol!! kamu yang melakukan, aku yang menjadi korban" Hari ini aku menumpahkan segala isi hatiku, isi pikiranku. Biarkanlah aku merasa lega. Biarkanlah perasaan sesak itu keluar dari tubuhku. Biarkan hari ini tubuh ini merasakan leluasa, merasakan kelegaan, merasakan kelapangan, melepaskan semuanya, aku tak tahan lagi. Aku masih menangis, wajahku memerah, mata sembab, suaraku menjadi serak. Aku lemah hari ini. Dinding yang kubangun untuk diriku hancur sudah, retak sudah semuanya, berserakan. Aku roboh hari ini, aku ringkih, lemah.
"Tapi aku merindukanmu..." Nafasku sesak, tubuh berguncang-guncang karena tangisanku yang tak tertahan. Iya, separuh hatiku merindukannya, merindukan kebersamaan kami bertiga, masa dimana kami bermain bebas, meski saat melakukannya kami sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan. Meski saat melakukannya, kami bertiga selalu ada pertengkaran kecil. Tepatnya aku dan Lili yang selalu bertengkar dan Ilyas yang akan mendamaikan. Diantara kami Ilyas adalah sosok yang dewasa, selalu mengalah, selalu mengerti keinginan kami. Itulah kenapa kami sangat mencintainya setelah ayah dan ibu. Apalagi setelah kedua orangtua kami pergi jauh, cinta kami sudah dilabuhkan kepadanya. Kakak yang penuh cinta, kakak yang penuh tatapan hangat, kakak yang penuh tatapan lembut. Kami mencintainya.
Aku dan Lili memutuskan pulang. Selama kami berjalan, tidak ada suara, aku menikmati kesendirian, tenggelam dalam renungan. Lili berjalan di belakangku, memerhatikan punggungku. Udara dingin membaluri batin, malam ini sempurna menyulam kesedihan, menyulam kenangan yang dulu begitu amat menentramkan. Dulu aku, Lili, dan Ilyas hanyalah anak-anak kecil yang riang, kami selalu bersama setiap waktu. Menghabiskan hari dengan bermain, berlarian, melempar lelucon dan sebagainya. Aku merindukan moment itu, tapi sekarang aku benci perasaan itu. Perasaan rindu yang melapiskan beberapa kejadian antara senang dan sedih menyatu dalam satu ingatan. Mencabik rasa cinta kumiliki menjadi benci berkali lipat. Malam terasa sejuk, menelusup jiwaku yang bersedih, cukup untuk membasuh batinku yang sedang terluka. Lampu-lampu kota masih menyala menerangi seluruh jalan. Bulan yang berdiri tegak pun masih setia menemani. Aku masih tertimbun kenangan, meneteskan air mata. Bagaimana tidak? Setiap kenangan yang berkelibas berhasil menikamku seperti ditusuk ribuan pisau, perih sekali. Malam ini menjadi malam kesedihanku. Lili membiarkan, memperhatikanku, memutuskan malam ini menjadi milikku. Bintang-bintang ikut merayakan kesedihanku, cahayanya tak mampu menembus gelap dalam diriku. Aku redup, sinar bulan dan bintang tak bisa memecahkan gelimang perasaan terluka, rindu, benci. Aku dalam keadaan terlemah, setelah sekian lama kubangun kuat-kuat dinding dihatiku, akhirnya hancur juga. Setelah sampai rumah, kami melangkah kepelataran rumah, membuka pintu, dan lihatlah siapa yang sudah berdiri diruang keluarga. Menatap buas aku dan Lili yang baru kembali. Sungguh melelahkan hari ini, aku sudah malas melihat nenek. Tak peduli apa yang akan terjadi, perpecahan apa lagi yang akan kudengar. Aku mengabaikannya, memilih berjalan ke kamarku. Lili menghentikan langkah, matanya bergetar, bibirnya bergetar, ia panik setengah mati. Aku tak peduli, tatapan buas nenek tak mempan padaku. Entahlah, mungkin karena aku sudah terbiasa. Raut wajah nenek merah padam, seperti siap membunuhku kapan saja. Hening, hanya suara jam dinding yang terdengar.
"Darimana saja kamu?!" Nenek menatap tajam kearahku. Aku masih melangkah.
"Berhenti! Aku sedang bicara denganmu, apa kamu tidak tahu etika dirumah ini?" Tatapan nenek menyeramkan. Sebenarnya aku malas tidak mau berdebat, sudah cukup hari ini aku mengeluarkan seluruh energiku, aku lelah hari ini. Aku menghentikan langkah, lalu melihat wanita paruhbaya dihadapanku.
"Aku lelah hari ini, bisakah bicarakan besok? Kalau ingin memakiku besok saja" Nadaku datar, langkah berhenti dianak tangga. Nenek melempar gelas bening yang ada dimeja kearahku. Brakkkk terdengar keras sekali menghantam dinding beberapa inci disampingku. Tepatnya meleset. Setelah itu nenek melihat kearah Lili yang masih diam didepan pintu. Menatap garang. Lili terkesiap langsung menutup kedua telinga dengan tangan kala pecahan gelas menerpa dinding. Berkeringat dingin. Entah hari ini apa yang merasuki wanita tua ini. Ia seperti ingin menghabisi kami berdua. Lili ketakutan. Aku diam, terbiasa dengan keadaan.
"Sudah kubilang, jangan bergaul dengannya, kenapa hari ini kamu membantah Lili? Kamu tidak sayang nenek lagi?" Perkataan nenek pedas, menusuk jantung. Sungguh amat perih mendengarnya. Tapi aku terbiasa.
"Kamu tidak lupa, dia ini siapa? Dia sudah membunuh kakakmu!! Kamu tidak takut akan mengalami hal serupa seperti Ilyas? Kenapa masih peduli dengan orang tidak berguna ini!! Ilyas dirumah sakit gara-gara siapa? Gara-gara dia!!" Tangan nenek menunjuk-nunjuk padaku. Sungguh aku menahan amarahku. Sudah kelelahan. Lili menatap ketakutan, ragu-ragu berkata.
"Nek.. jangan salahkan Fatih, aku yang mengajaknya keluar hari ini. Aku mengajaknya bertemu dengan Ilyas. Sudah lama Fatih tidak keluar, aku hanya mengajaknya jalan-jalan, maaf, aku bersalah nek.." Lili tertunduk pasrah. Sedu sedan terdengar, satu denting airmata menetes membasahi pipi Lili. Sungguh perempuan satu tahun lebih muda dariku ini terkejut bukan main melihat ekspresi nenek. Baginya nenek yang lembut itu hilang dalam sekejap. Entah bagaimana mata nenek menyalak buas ke arah Lili, siap menghancurkannya, lalu menatapku lagi. Aku melihat tatapan benci dimatanya.
"Semua yang terjadi kepada Ilyas adalah salahmu, karena kesalahanmu dia menjadi seperti itu! Kamu ingin juga Lili seperti Ilyas? Tidak cukupkah untukmu mengerti kenapa Lili aku larang bersama denganmu! Karena kamu sungguh pembawa sial, kamu orang yang suka membunuh orang! Menyebabkan Ilyas seperti sekarang!! Seharusnya yang mati itu kamu!!" Nenek berteriak membuncahkan kekesalan. Aku mematung, bergetar. Tidak percaya dengan apa yang kudengar. Seperti ada dentuman yang langsung menghantam tubuhku. Seketika Nenek yang menenangkan untuk Lili hilang, nenek yang selalu senyum merekah dihadapan Lili tidak ada sama sekali, nenek yang selalu bersikap santun kepada Lili sirna. Nenek hari ini lepas kendali, gurat-gurat diwajah nenek terlihat. Lili bergetar. Setelah beberapa tahun lamanya tak melihat nenek semarah ini. Aku tersenyum terluka, menatap nenek redup, dengan sisa tenagaku.
"Bagimu aku adalah orang yang seperti itu? Kalau begitu bunuh saja akuu!! Biar kamu puas!! Biar kalau aku mati, takkan ada yang memakiku!! Karena kamu memang tidak mencintaiku, kamu tidak menyukaiku!! Biar aku sama seperti ayah dan ibu!!" Aku kalap, mataku menyalak, tak kuat dengan lontaran nenek. Tersengal dengan sisa tenagaku. Lili bingung, tak bisa menyembuyikan ketakutan, bergetar. Teriakanku dan nenek menggema keseluruh ruangan. Tanganku kearah dada, bergetar, menepuk-nepuk dada, bermaksud menghilangkan sesak nafas yang diam-diam merangsang tubuhku. Tapi semakin lama semakin tak terkendali, sungguh aku tak bisa bernafas. Bola mataku membelalak keluar, aku semakin bergetar.
"Sebegitunya kamu membenciku, seharusnya kamu tanya dirimu sendiri, ada apa denganmu. Kenapa ilyas jadi seperti sekarang!! Keluarga yang sangat kamu banggakan ini nyatanya hanya kebanggaan untuk dirimu sediri!! Kamu tidak bertanya kepada kami, apa yang kami suka, apa yang kami cinta, kami capai! Kamu hanya peduli dirimu sendiri, semua yang ada dirumah ini adalah milikmu!! Nenek yang membunuh Ilyas!!" Tanganku masih menepuk-nepuk dada. Meluapkan emosiku, kemarahanku. Wajahku merah padam. Lili menutup telinga dengan kedua tangan. Sungguh hari ini aku tak bisa mengendalikan diri.
"Biar aku mati saja!! Agar sama seperti ayah dan ibu. Kamu selalu mengharapkan segala yang ada dalam anganmu menjadi kenyataan!! Ingin menjadi yang sempurna, semua harus mengikuti apa yang kamu inginkan!! Tapi apa hasilnya? Ayah dan ibu pergi!! Gara-gara siapa? Gara-gara nenek!!" Aku semakin tersengal setelah mengatakannya, nafas sesak semakin menyerang. Mataku menatap sekitar kunang-kunang, tubuh tiba-tiba terasa berat, tapi berusaha tetap berdiri. Sungguh aku seperti akan mati. Aku melangkah patah-patah kearah nenek, memegang satu tangannya dengan cepat, mencengkramnya kuat-kuat. Aku kesetanan menatap nenek.
"Nenek kira aku juga mau hidup begini?!! Aku sudah hancur olehmu!! Aku sangat benci rumah ini, kamu sudah mengurungku semaumu, sudah mengunciku semaumu, kenapa tak sekalian bunuh saja aku!! Pukul saja aku!!" Aku berteriak, tanganku mengguncang-guncang bahu nenek. Entah bagaimana aku tak bisa mengontrol diri, lemah, aku terjatuh tepat setelah mengatakan itu.
"Diammm kamu!!!!" Nenek menutup telinga. Ketakutan, melangkah patah-patah ke kamarnya, linglung. Sedang Lili langsung menghambur kearahku, membantuku berdiri. Nafasku masih tersengal. Oh tidak, ada apa dengan tubuhku? Kenapa aku menjadi seperti ini? Tanpa banyak bicara Lili menopangku kekamar. Mendudukkan aku diranjang. Kepalaku bersandar dibantalan tempat tidur. Aku lemah, redup, tak ada cahaya, mataku kosong. Lili khawatir melihatku. Bergegas mengambil minum, menuruni anak tangga kedapur, setelah selesai Lili membantuku minum, membiarkanku terus bersantar dibantalan ranjang.
"Maafkan aku Fatih, seharusnya tidak begini. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Nenek marah padamu gara-gara aku. Sungguh Fatih aku dan Ilyas menyayangimu. Aku hanya ingin kamu tahu, kamu tidak sendirian. Meski aku tahu, aku tak sebaik Ilyas yang memiliki keberanian. Kami mencintaimu Fa, maaf..." Lili tersedu-sedu. Aku diam tidak merespon. Merenungi hidupku yang kacau balau.
"Mencintai? Jangan bergurau denganku. Kamu berkata begini, karena hidupmu terpenuhi cinta, penuh kasih. Kamu tidak akan mengerti apa yang kurasakan Lili. Karena kamu dan Ilyas hidup dengan kasih yang melimpah" Aku menatap terluka kearah perempuan disampingku ini. Dari tatapan Lili, aku tahu dia merasa bersalah. Tapi aku sudah hancur, keluarga ini tak lagi menumbuhkan rasa cinta dihatiku.
"Keluarlah, aku ingin sendiri" Aku memalingkan wajah. Lili meninggalkan kamar, aku sendirian sekarang. Aku menangis kecil, bening-bening kristal ini turun lagi, menangis lagi untuk kesekian kalinya. Aku menatap sekitar kamar, dinding, lukisan-lukisan indah, rak buku. Lengang sudah, aku kesepian. Malam ini, malam yang mengerikan.
****
Surya kembali menyapa. Sinarnya menembus sela-sela ventilasi udara kamar, mengenaiku yang terpejam. Pagi yang hangat. Aku tidak tahu apa yang dilakukan orang-orang diluar sana, mungkin mereka sedang sibuk mempersiapkan kegiatan hari ini, sibuk berpakaian rapih, pergi ke kampus, atau siap mengantar orang-orang tersayang mereka keberbagai tempat yang dituju. Mungkin sebagian orang juga berjalan kaki sambil menjajakan beberapa dagangan, juga ada yang siap membuka ruko diawal pagi. Mungkin orang-orang juga ada yang siap pergi ke kantor, atau memang sudah ada yang dikantor tidak pulang, menghabiskan seluruh waktunya di perusahaan. Waktu-waktu melelahkan telah merenggut kebersamaannya dengan orang tercinta. Seperti ayah dan ibu yang super sibuk dengan urusan dunianya, pulang hanya sesekali, itu pun kalau selesai pekerjaannya. Kalau tidak, menginap dikantor, dulu ayah dan ibu begitu. Hari ini orang-orang siap menyambut keresahan, keletihan, kekhawatiran setelah melangkah keluar rumah. Siap menggunakan tubuh mereka bekerja dan melakukan aktivitas lainnya. Aku menggeliat, mata remang-remang. Membuka selimut, melangkah gontai kearah jendela, membuka tirai jendela. Sinar keemasan mulai menyoroti kamarku lewat sela-sela, memantul ke dinding. Setelah itu melangkah lagi ke kursi didekat ranjang, duduk, menarik nafas dalam-dalam. Menatap lukisan dengan sendu, lukisan punggung dua orang saudara lengkap dengan biru dan coklat pada baju mereka, sedang duduk menatap langit gelap. Lukisan yang mengharapkan se-embun kebahagiaan, lukisan yang menanti sinar kedamaian, lukisan yang sedang berharap cemas cahaya menentramkan. Sudah seminggu ini aku diam dikamar, keluar kamar hanya sesekali mengambil apa yang ingin dimakan. Rutinitas yang selalu kulakukan. Setelah berdebat panjang lebar seminggu yang lalu, aku, Lili dan nenek tidak bertegur sapa, saling diam. Bagiku hari-hari memang selalu seperti ini, jadi tidak masalah. Lili sesekali menatapku kalau aku sedang mengambil makanan atau minum. Melihatku yang berwajah datar-datar saja. Ragu menyapa dan akhirnya hanya melihatku yang kembali kekamar. Lili menghembuskan nafas pasrah. Aku tidak tahu kalau pagi ini ada kabar membahagiakan bagi keluarga ini. Lili dan nenek sedang menjemput kebahagiaan itu, sedang menanti cinta yang kembali mekar setelah layu beberapa tahun. Terdengar suara mobil meninggalkan halaman rumah. Sementara aku menggelayut dengan lamunan. Mengingat kembali kejadian beberapa tahun silam yang menimpa Ilyas dan nenek yang seminggu lalu menginginkanku mati. Andai aku bisa memutar waktu, sungguh aku tak ingin berada dikeluarga ini. Cinta itu tidak ada bagiku, itu hanya berlaku pada Lili dan Ilyas. Mereka lah yang jadi kebanggaan keluarga. Mereka lah yang harum namanya. Bahkan nenek tak segan membicarakan Lili dan Ilyas dengan antusias kalau para tetangga membicarakan soal mereka berdua. Aku hanya nasib buruk bagi mereka. Tidak sadar kembali meneteskan air bening dimata, aku mendongak mencegah lebih banyak kristal-kristal kecil membasahi pipi. Kembali melangkah kearah jendela, membukanya. Sinar matahari langsung menyambutku, menutup mata, merasakan hangat yang ditawarkan mentari. Hangat sekali menerpa wajahku. Setidaknya mengobati diriku yang kesepian, meski tidak benar-benar menyembuhkan.
Aku tidak tahu kalau nenek dan Lili tersenyum merekah tidak sabaran ingin segera sampai kerumah sakit. Setelah mendengar kabar dari dokter bahwa Ilyas sudah bangun. Mobil-mobil dijalanan meramaikan suasana kota. Tidak peduli berdesakan, saling beradu klakson, mobil-mobil itu melaju seirama. Sebagian dikiri dan kanan, sangat ramai. Matahari terbit menambah kelembutan, menimbun kehangatan pada orang-orang yang sibuk menyetir didalam mobil, pada orang-orang yang berjalan, pada orang-orang yang bertegur sapa, pada orang-orang yang sibuk dengan diri sendiri, pada orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan di kantor, di ruko, dimanapun. Gedung-gedung tinggi menjulang seperti biasa memanjakan mata, beberapa pohon rindang bertiup diterpa angin. Jantung nenek dan Lili berdegup kencang, harap-harap cemas ingin menyaksikan orang tercinta mereka, menyaksikan cahaya yang kembali menyala, setelah sekian lama redup. Meski pagi ini riuh kota begitu memekakkan telinga, mereka tidak peduli, mereka sedang dibalut kegembiraan yang menakjubkan. Awan-awan menggantung di langit biru, amat menawan. Mobil yang mereka tumpangi menyalip beberapa mobil didepan. Layar-layar televisi raksasa yang tertempel di dinding gedung serasi menampilkan berbagai iklan. Semesta telah penuh oleh berbagai aksesoris dunia. Setelah sampai ditempat yang dituju, mereka melangkah girang. Seperti biasa rumah sakit ramai oleh orang-orang yang membesuk. Keluar-masuk dengan berbagai macam ekspresi wajah. Lili dan nenek lihai melewati beberapa orang setelah melewati pintu masuk. Langkah mereka sama cepatnya dengan orang-orang yang berburu hadiah. Lihai melewati koridor, melewati orang-orang, meski harus berdesakan. Sungguh rumah sakit selalu penuh oleh wajah-wajah resah menanti kebahagiaan, wajah-wajah khawatir menanti kesembuhan, wajah-wajah haru menanti keajaiban. Hati Lili dan nenek dibaluri kebahagiaan. Lihatlah, dokter-dokter ditempat Lili dan nenek lewati sibuk menerangkan keadaan seseorang kepada seseorang lainnya. Setelah melewati beberapa kegaduhan akhirnya sampai juga. Melangkah patah-patah kearah Ilyas yang terbangun.
Semburat kebahagiaan terpancar diwajah Lili dan nenek. Mengharu biru dengan apa yang mereka lihat. Oh Ilyas, orang tercinta mereka telah bangun. Siap menggelayutkan kemeriahan dikeluarga, siap menimbun kehangatan dikeluarga, siap menumpahkan kebahagiaan tiada tara. Lihatlah orang yang sudah lama seperti mayat itu akhirnya menunjukkan tanda kehidupan, menaburkan kembali keindahan yang megah. Mereka tidak bisa menyembunyikan rasa senang mereka. Tetes-tetes bening siap tumpah, nenek meraba wajah cucu kebanggaannya. Lihatlah, raut wajah nenek penuh haru. Menggenggam tangan Ilyas, membelai rambutnya pelan, mencium kening, lalu tangan dengan lembut. Diri mereka dialiri kedamaian. Meski terasa berat, Ilyas berusaha membuka mata lebar, tersenyum tenang. Menatap lamat-lamat wajah nenek dan Lili bergantian. Melihat sekitar remang-remang tapi lama-lama terlihat jelas. Mata pemuda ini menelisik setiap sudut ruangan. Dinding berwarna putih, sofa yang tersimpan dipinggir ranjang, meja, langit-langit ruangan, lalu kembali menatap Lili dan nenek. Bertanya lemah.
"Mana Fatih?" Ilyas menatap lamat-lamat. Lili membisu, nenek tak menggubris, terlalu berbunga hati melihat cucu kesayangannya akhirnya bangun.
"Dimana Fatih.." Sekali lagi Ilyas bertanya. Lili buru-buru menjawab.
"Dirumah, Ilyas. Tidak perlu khawatir, Fatih ada dirumah, dia menunggumu dirumah" Lili tersenyum lembut. Ilyas menatap nenek, sekali lagi tersenyum. Memegang tangan nenek hangat. Ada ketentraman digenggaman Ilyas. Nenek tak berhenti tersenyum, bersyukur orang yang amat ia cintai kembali kepadanya, siap meramaikan rumah. Ketulusan terpancar dimata nenek, amat menenangkan. Sungguh penantian yang panjang, menunggu beberapa tahun itu tidak mudah. Melewati berbagai kejadian, masa-masa sulit, melewati beberapa tahun kesedihan tapi akhirnya tergantikan oleh harapan yang menjadi kenyataan. Sungguh penantian yang tidak sia-sia, menunggu dengan sabar dan terbayar sudah kelelahan yang panjang dengan cinta yang kembali tumbuh mekar.
"Kami merindukanmu Ilyas, sungguh hari ini adalah hari yang membahagiakan bagi kami, karena kamu kembali kepada kami. Kita bisa bermain lagi seperti dulu, walau aku tahu kita tidak lagi kecil hehe" Lili teramat senang, wajahnya cerah, secerah matahari. Malu-malu melihat Ilyas. Ilyas membalasnya dengan senyuman menenangkan.
"Aku juga merindukanmu, merindukan nenek, merindukan Fatih. Maaf telah membuat khawatir, terimakasih untuk tak menyerah padaku" Ilyas dengan lembut membelai kepala Lili. Lili merona merah. Setelah beberapa jam berbincang, nenek sibuk mengurus kepulangan Ilyas dirumah sakit, tapi tidak mengapa, karena wanita tua itu melakukannya dengan senang hati. Bagaimana tidak, toh orang yang paling dicintainya kembali menyalakan semangat hidup, kembali menyeruakkan cahaya. Nenek berbinar-binar. Setelah semuanya selesai nenek dan Lili sabar menuntun Ilyas ke mobil, mereka pergi meninggalkan rumah sakit.
Sungguh pagi yang indah, tapi bagiku hari-hari selalu sama, tak ada yang spesial. Kepala mendongak kearah langit, lihatlah formasi awan-awan putih yang menghiasi langit biru pekat berpadu dengan sinar warna kuning disela-sela awan sungguh memesona. Membius setiap orang ingin melihatnya. Aku pun begitu, saking cantiknya selalu memberikan kesan baik kepadaku. Seolah berkata untuk selalu menjalani hidup dengan baik, seolah memberitahu bahwa setiap hari, apapun itu akan terlewati. Tanpa sadar bibirku menyungging senyum, setidaknya hari ini perasaanku jauh lebih baik, karena tak harus berdebat dengan nenek, tak perlu melihat Lili yang selalu mencuri-curi pandang ketika bertemu. Biarlah hari ini aku melepaskan semua beban. Aku menghirup udara, memejam mata lalu membukanya lagi, sungguh menenangkan. Tiga puluh menit berlalu, lihatlah mobil sudah memasuki halaman rumah. Aku melihat dari jendela kamar, memerhatikan kendaraan roda empat seksama. Tepat berhenti didepan pintu, meski berjarak beberapa meter saja. Lili, nenek keluar dari mobil satu persatu, amat hati-hati. Dan lihatlah siapa orang yang kulihat selanjutnya, keluar pelan dengan tangan digenggam Lili. Sungguh hatiku bagai dipanah sempurna menghujam jantung, tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Diam terpekur melihat apa yang kulihat, memerhatikan mereka melangkah kedalam rumah. Nampaknya rumah ini akan ramai lagi. Aku tidak percaya, orang yang semula terbaring lemah, kini telah menjejak lagi dunia, menjejak bumi. Entahlah apa harus senang atau sedih, tapi sungguh itu hal yang baik. Apakah cinta antar saudara akan tumbuh kembali? Kupikir tidak, cinta tidak akan mekar lagi. Ini bukan cinta, aku sudah mengikisnya jauh-jauh. Cinta keluarga itu sudah pupus, aku tidak menyukai keluarga ini. Kembali melangkah ke kursi, duduk, menatap lagi lukisan yang tadi kulihat, setelah itu membalikan lukisan. Ilyas, Lili dan nenek duduk disofa ruang keluarga. Ilyas menelisik setiap sudut, matanya megedar seperti mencari seseorang.
"Lili, dimana Fatih?" Itu kata pertama Ilyas setelah sampai rumah.
"Kenapa aku tak melihatnya?" Mata pemuda ini masih memeriksa sekitar ruangan, kalau-kalau aku mungkin lewat. Lili terdiam, baru akan beranjak dari sofa, tangan nenek mencegah Lili, menyuruhnya untuk tetap duduk menemani ilyas. Ilyas memicing keheranan dengan apa yang dilakukan nenek. Nenek memerhatikan ekspresi Ilyas, lalu cepat-cepat membuka pembicaraan.
"Nak, hari ini kamu sungguh keajaiban yang diberikan Tuhan kepada kami. Kamu tahu, kita tidak pernah lelah menunggu kamu bangun, mencemaskan keadaanmu. Sungguh hari ini kamu adalah hal yang paling membahagiakan. Sudah lama rumah ini sepi" Nenek berkata lembut, menatap Ilyas penuh kasih sayang. Raut wajahnya menunjukkan semua cinta paling dalam. Mata nenek mulai berkaca-kaca, memegang telapak tangan Ilyas. Ilyas terdiam tersenyum. Setelah itu kembali menelisik ruangan.
"Nenek mana Fatih.." Pemuda itu lagi-lagi mencari keberadaanku. Dari tatapannya, nenek tahu Ilyas amat peduli padaku. Keheranan aku masih tak menemuinya. Lili diam, tapi beberapa menit kemudian mengatakan keberadaan ku.
"Dikamar, Ilyas" Lili menempali cepat. Tangan yang semula digenggaman nenek itu terlepas ketika Ilyas langsung beranjak pergi kearah kamar. Nenek menatap Lili, tahu itu tatapan pembunuh, cukup mengerikan. Sementara Ilyas pelan-pelan menaikki anak tangga menuju kamarku. Mengetuk pintuku pelan. Entahlah, terus terang aku benci, tapi juga senang karena dia telah kembali. Setidaknya nenek tak perlu berdebat panjang lebar denganku dengan kehadirannya. Ini bukan karena aku menyayangi Ilyas sebagai keluarga, tapi lebih tidak perlu repot mendengar celotehan nenek kepadaku. Aku tak bergeming meski suara Ilyas terdengar didepan pintu.
"Kamu masih tidur Fatih?" Ilyas terdiam lagi. Tak ada jawaban dariku membuatnya mengetuk lagi berapa kali. Karena masih tak ada jawaban, memutuskan untuk membuka pintu. Dan lihatlah, Ilyas berdiri diambang pintu. Aku diam dikursi, anak pertama dari keluarga ini mendekat, memegang bahu, memerhatikan wajahku yang teramat datar.
"Aku kembali Fatih, aku merindukanmu, merindukan rumah, merindukan keluarga kita" Ilyas mencoba mengajakku bicara, aku tak menggubrisnya. Rasa benci sudah menjalar dalam diriku. Sungguh semua yang dikatakan nya bohong, apa yang perlu dirindukan dari keluarga ini? Tidak ada cinta, tidak ada sama sekali. Keluarga ini mengerikan bagiku.
"Kamu sudah kembali, aku turut senang. Dari penglihatanku kamu masih perlu istirahat. Istirahatlah, aku tak ingin mengganggumu" Jawabku sekenanya. Ilyas diam keheranan, menangkap ekspresiku yang biasa saja.
"Kamu tidak senang aku kembali?" Ilyas masih memerhatikanku. Aku balik menatapnya, memasang wajah datar.
"Itu tidak penting, yang terpenting adalah kamu sudah hadir kembali ke keluarga ini. Nenek dan Lili cukup bahagia, itu sudah cukup. Istirahatlah, kamu masih belum benar-benar pulih" Aku kembali membalikkan badan. Ilyas merasa seperti ada sesuatu denganku.
"Fatih, kata Lili kamu menungguku, kenapa tidak datang ikut bersama nenek dan Lili menjemputku? Kamu tahu, kukira aku sudah mati, kukira sudah selesai semua setelah memutuskan untuk membunuh diriku. Kukira semua selesai setelah aku memutuskan pergi, tapi ternyata sepertinya dunia ini masih belum mengizinkan" Ilyas menghela nafas. Aku diam. Ilyas melangkah kearah ranjang, lalu duduk. Memerhatikan sekitar kamarku lamat-lamat. Melihat lukisan-lukisan sendu, lukisan yang memesona bagiku. Anak pertama dari ayah dan ibu, menatap tak percaya. Seolah mengerti dari lukisan yang ku buat menjelaskan segalanya. Semua yang ku alami.
"Kamu baik-baik saja Fatih?" Ilyas bertanya lagi. Kali ini nadanya lebih rendah. Mungkin memastikan keadaanku. Aku menghadapnya, memerhatikan wajah resah, khawatir. Apakah dia mengkhawatirkanku? Tidak mungkin, itu hanya wajah yang sedang mencoba mengerti perasaan adiknya, bukan perasaan peduli. Wajah Ilyas masih sama lembutnya, sama tenangnya seperti yang selama ini kulihat, tidak ada yang berubah. Sungguh siapapun yang melihat wajahnya, mengetahui sifatnya, banyak yang akan jatuh cinta padanya. Mungkin teman-temannya dikampus menyukainya.
"Aku baik-baik saja, cemaskan saja dirimu sendiri. Kamu masih perlu banyak istirahat, lihatlah tubuhmu masih lemah, kamu terlihat kurus" Aku menjawab canggung, melangkah kearah ranjang, duduk disamping Ilyas. Tangan Ilyas mengacak-acak rambutku, tersenyum tenang. Wajah itu menentramkan.
"Berhenti melakukannya, aku bukan anak kecil lagi" Tanganku menurunkan tangan Ilyas dikepalaku. Apakah aku anak kecil? Ayolah umurku saja sudah dua puluh dua tahun, aku sudah dewasa. Seperti biasa Ilyas mampu menghadirkan ketenangan, bahkan aku bisa merasakannya. Kurasa bukan aku saja, siapapun yang bersama dengannya akan merasakan hal serupa. Itulah mengapa mungkin nenek menaruh harap banyak pada Ilyas. Apa rasa sayangku akan mekar lagi? Tidak, aku sudah benci. Apa yang ku alami sudah cukup menjelaskan betapa aku ingin menghabisinya.
"Bagiku kamu masih seperti anak kecil, kamu masih harus dibimbing. Tapi aku serius, kamu adalah cahaya dirumah ini, sama seperti Lili. Aku tidak tahu kalau tidak ada kalian, aku akan seperti apa. Kalian adalah mutiara untukku" Sungguh perkataan Ilyas lembut masuk kedalam hati. Aku terdiam. Ilyas memerhatikan sekitar kembali. Matanya melihat satu persatu isi kamarku. Rak buku, lukisan, dinding berwarna abu, langit-langit kamar.
"Aku sungguh merindukanmu Fatih, sudah lama kita tak berjumpa" Ilyas masih tersenyum. Aku? Entahlah, perasaanku sakit, sempurna seperti ditikam benda tajam.
"Sebenarnya aku kecewa, karena tak berhasil mewujudkan keinginanku. Mati, ternyata aku masih belum mati, masih menjejak bumi, menjejak jalan yang kubenci. Sebenarnya aku takut, takut kalau aku tetap tidak bisa memenuhi keinginan nenek. Takut kalau aku tak bisa menjadi diriku sendiri. Fatih, sebenarnya aku berharap, aku tak pernah bangun. Rasanya sangat menyesakkan bila mengingat betapa aku tak mampu mengatasi diriku sendiri. Bahkan ketika aku terjun pun betapa sangat menakutkannya itu. Tapi itu pilihanku agar semuanya selesai, agar diri ini tak lagi menghadapi tekanan" Ilyas meratap, matanya sendu kembali. Ternyata situasi pun tak berubah, masih sama seperti dulu. Kukira Ilyas melupakannya, kukira ia akan menerangi keluarga dengan kelembutannya atau apalah dengan peringainya. Aku menyeringai terluka.
"Ternyata kamu masih sama seperti dulu. Berpura-pura bahagia, berpura-pura menjadi kebanggaan nenek. Masih tak berani bicara jujur, sungguh munafik" Aku menjawab sinis. Ilyas memerhatikanku. Wajahnya resah.
"Fatih...." Nada suara Ilyas lemah.
"Sampaikan kepada nenek apa keinginanmu, jangan ungkapkan padaku. Seharusnya kamu bicara pada nenek, kalau kamu ingin mati. Semua yang tersimpan dalam dirimu, utarakan kepada nenek, bukan kepadaku! Sungguh Ilyas, kamu tidak pernah tahu apa yang kurasakan, tidak tahu bahwa aku menanggung kebencian teramat dalam, karena keluarga mengerikan ini. Kamu mengatakannya begitu mudah, karena kamu dan Lili adalah cintanya nenek, pelipur lara nenek. Kamu merasakan bagaimana disayangi, diberikan kesejahteraan oleh keluarga" Entah bagaimana aku mulai tak terkendali lagi. Meluapkan emosiku lagi. Ilyas diam.
"Bahkan kejadian beberapa tahun silam, aku ingin sekali melupakannya. Tapi setiap kali berkelindan, sungguh menyakitkan. Aku telah merasakan kebencian orang-orang kepadaku, kebencian nenek kepadaku amat dalam. Karena orang tercintanya memutuskan mengakhiri hidupnya, membunuh dirinya sendiri, tanpa tahu sebab mengapa kamu memutuskan melakukan itu. Karena kamu amat dicintai, nenek sungguh terpukul dengan apa yang menimpamu, tapi semuanya disalahkan kepadaku, semua yang kamu lakukan ditimpahkan kepadaku" Aku menatap terluka kearah Ilyas. Meraba dada, mencengkramnya kuat-kuat. Lihatlah mataku akan berair lagi, aku sedu-sedan lagi. Mata bergetar. Ilyas masih menatapku.
"Kamu tahu betapa menyakitkannya itu? Bahkan sekarang kamu kembali, nenek tidak akan berbaik hati padaku, tidak akan melihatku sebagai orang tercintanya, tidak akan memberikan cintanya kepadaku. Sejak kejadian kamu memutuskan untuk membunuh dirimu, nenek telah menaruh benci berkali lipat kepadaku. Sungguh Ilyas kamu tidak akan pernah tahu betapa menyakitkannya melewati semua itu, betapa terlukanya aku. Nenek tidak pernah mencintaiku, perlakuannya sama seperti perlakuannya kepada ayah dan ibu. Kadang aku berpikir keluarga ini sungguh gila, berkehendak semaunya, tanpa peduli bagaimana orang-orang disekitarnya, bagaimana perasaan orang-orang disekelilingnya. Sungguh Ilyas perih sekali, menyalahkan hal yang tidak pernah kulakukan, tapi mereka menyematkan hal itu kepadaku" Aku menatap dalam, terisak. Mata berkaca-kaca, bergetar.
"Nenek menganggapku orang yang telah membunuhmu dan aku harus segera disingkirkan. Semua cercaan yang kuterima melewati beberapa tahun, melewati masa-masa sulit. Dan kebencian nenek semakin menimbun. Nenek tidak pernah mengharapkanku, padahal aku ingin sekali dicintai, disayangi, dianggap berarti. Tapi kamu dan Lili adalah nomor satu dihatinya, tidak seperti aku, ayah dan ibu. Kami tidak akan pernah bisa memasuki hatinya, sungguh Ilyas kalau bisa mengulang segalanya, lebih baik jika aku bukan dari keluarga ini" Sedu-sedan terdengar, sempurna menangis.
"Tidak, jangan berkata demikian, kamu dicintai dikeluarga ini. Aku dan Lili mencintaimu, memperdulikanmu, kami tak ingin kehilanganmu. Kami sungguh mencintaimu, maaf kalau semua yang kamu alami disebabkan olehku, aku tak ingin kamu pergi. Kamu dan Lili adalah cahaya bagiku" Suaranya meyakinkan.
"Fatih, sudah cukup kami kehilangan ibu dan ayah. Kami tak ingin kehilanganmu, aku tidak tahu apa yang telah dilewati olehmu, tapi bolehkah untuk tetap bersama kami? Andai Tuhan mengizinkanku memutar waktu aku tak akan membiarkan ayah dan ibu mati, aku akan mencegah ayah dan ibu pergi. Aku akan bilang kepada mereka, aku mencintai mereka. Biar kita pergi kemanapun, asal keluarga kita bahagia" Ilyas berkata cepat-cepat. Raut wajahnya gelisah, aku menatap sendu.
"Jangan mengatakan hal yang tidak mungkin, kamu tidak mungkin bisa meninggalkan rumah ini. Berhentilah membual, jangan memberikan harapan yang tidak bisa kamu wujudkan. Kalau aku meminta pergi hari ini, apa kamu bisa melakukannya? Bawa aku dan Lili kemana saja, kamu bisa?" Ilyas membatu, kebingungan.
"Lihatlah, kamu tidak bisa melakukannya. Sudahlah Ilyas, istirahatlah, nenek tidak akan suka kamu berada disini, aku juga ingin istirahat. Pergilah, aku yakin nenek menunggumu, masih merindukanmu" Aku beranjak mendorong tubuh Ilyas keluar pelan-pelan. Setelah itu menutup pintu. Ilyas terdiam beberapa menit, lalu melangkah menuruni tangga, duduk disamping nenek. Nenek tersenyum, membelai rambut pendek Ilyas lalu Mengecup keningnya.
"Istirahatlah nak, aku yakin kamu lelah. Meski aku masih merindukanmu, tapi aku tak tega melihatmu. Istirahatlah, rebahkan badanmu. Nanti-nanti kita akan berbincang lagi. Hari ini sungguh indah, melihatmu didepan mataku, sungguh kerindukanku masih membuncah, tapi aku tahu kamu lelah. Aku juga akan istirahat" Nenek lembut mengusap telapak tangan Ilyas, lalu beranjak ke kamar. Setelah nenek sempurna hilang dari pandangan, Lili melirik Ilyas. Mendekat, sekilas melirik kamarku, lalu kembali melirik Ilyas lagi.
"Kamu kenapa?" Lili membuka suara, Ilyas menggeleng.
"Bagaimana Fatih? Apa yang kamu bicarakan dengannya?" Lili penasaran.
"Entahlah, masih perlu banyak waktu untuk berbicara dengannya. Untuk sekarang dia tak ingin bicara denganku. Biarlah, biarlah dia sendiri dulu" Ilyas redup. Lihatlah meski Ilyas sudah ada dirumah ini, rumah masih sepi. Lengang. Ilyas menatap langit-langit ruangan. Lili berdehem.
"Aku mengerti kenapa Fatih demikian. Nenek selalu membencinya, dia sudah dikurung dirumah ini sejak kejadian kamu terjun membunuh dirimu. Fatih selalu disalahkan atas kejadian beberapa tahun silam. Bahkan dia tak dibolehkan keluar rumah. Paling keluar kamar pun sekedar mengambil makanan dan minuman. Sudah lama sekali Fatih tak berbincang dengan nenek. Karena menurut nenek apa yang menimpamu adalah kesalahan Fatih. Jujur sebenarnya aku mendengar perbincanganmu dan Fatih di rooftop kampus. Mendengar bagaimana kamu saat itu begitu letih, lelah. Aku mendengarnya. Saat kamu memilih terjun, aku juga ada disana, dibalik dinding. Ilyas hari itu juga aku ingin mencegahmu melakukan bunuh diri, tapi kamu terlanjur melakukannya. Dan Fatih, sungguh terkejut, dia bergetar, ketakutan. Entahlah seperti apa perasaannya saat itu. Tapi aku tahu semenjak itu dia lebih tertutup, tidak berbicara kepadaku. Banyak diam dikamar, bahkan nenek membencinya sejak kejadian itu. Jadi aku sedikit mengerti perasaan Fatih saat ini" Lili menerangkan, tatapannya lemah. Ilyas memasang wajah tak percaya, pandangannya beralih ke kamarku, menatap prihatin. Ilyas menghela nafas.
Waktu cepat berlalu, sudah malam lagi. Aku melangkah menuruni tangga, mengambil makanan dan minum. Ilyas menatap kearahku. Aku mengabaikannya. Berjalan lagi kekamar, tapi baru saja setengah anak tangga, Ilyas sudah menghentikan langkahku.
"Bisakah kita bicara?" Kali ini Ilyas menatap serius. Aku menoleh.
"Tidak bisa, aku lelah" jawabku sekenanya.
"Aku mohon padamu, bicaralah denganku diluar. Kalau disini aku tahu kamu tidak akan suka, ada nenek" Lanjut Ilyas meyakinkan. Aku tak bergeming. Sepi.
"Aku ingin bicara denganmu, kita keluar. Sekalian jalan-jalan menghirup udara. Kamu suka keluar kan? Sudah lama juga aku tak berjalan-jalan. Kalau nenek marah, aku yang akan bertanggung jawab" Ilyas memohon. Aku hanya melangkah keluar, tidak memberi jawaban. Ilyas mengikutiku dari belakang. Tersenyum tenang, layaknya seorang kakak yang berhasil membujuk adiknya.
Malam terasa dingin, anginnya menusuk kulit. Aku dan Ilyas berjalan bersisian. Lihatlah waktu-waktu ini adalah jam tidur, amat lengang. Meski lampu-lampu kota menyala indah, tapi sepi. Tidak seperti kemarin-kemarin saat aku bersama Lili sangat ramai. Meski hari ini pun mobil melintas satu sama lain di jalanan meramaikan jalan, tapi tidak ada orang-orang yang berjalan kaki, tidak ada orang-orang yang berbincang, tidak ada orang-orang yang bertegur sapa, mengumbar senyum. Tidak ada sama sekali. Hari ini sunyi. Tapi ada yang sama, bintang-gemintang menghiasi langit bersama purnama yang tegak, amat memesona. Lampu-lampu gedung menyala, kerlap-kerlipnya memanjakan mata. Malam ini aku dan Ilyas berada diatas jembatan. Sangat sepi, hanya ada kami berdua. Angin mengibas-ngibas rambut hitam pendek kami.
"Maaf Fatih, aku benar-benar minta maaf. Aku sudah mendengar semua kisahmu dari Lili. Kamu mengalami kesulitan selama ini, sungguh Fatih aku tidak bermaksud menyulitkanmu. Aku membunuh diriku saat itu, agar semuanya berakhir. Siapa sangka, nenek akan membencimu begitu dalam, mengurungmu dirumah. Kukira dengan aku terjun, semua telah usai seperti ayah dan ibu" Ilyas redup. Aku diam, meski menyakitkan mengingat itu. Tapi aku sudah lelah.
"Fatih, aku dan Lili mencintaimu. Sungguh mencintaimu, kamu adalah hal berharga yang kami miliki. Meski aku tahu kamu sudah membenci keluarga ini, tapi aku dan Lili akan selalu mencintaimu, menyayangimu" suaranya getir.
"Kamu membawaku kesini hanya untuk membahas ini? Memperlihatkan betapa kamu begitu menyedihkan? Agar aku merasa empati kepadamu, dan akhirnya aku luluh? Wahh... lihatlah, kamu sudah pandai menggunakan wajahmu, pandai menggunakan tubuhmu agar aku merasa bersalah dan kasihan kepadamu" Aku tertawa getir, menyeringai terluka. Entah bagaimana kejadian-kejadian menyakitkan itu kembali hadir dibenakku. Aku memegang dada, mencengkram kuat-kuat.
"Tidak Ilyas, kalian sangat mengerikan. Cinta keluarga itu tidak ada bagiku. Itu hanya berlaku padamu dan Lili, tidak kepadaku. Menyesakkan sekali ketika aku disalahkan atas hal yang tidak pernah aku lakukan. Semua yang kamu katakan itu bohong, kalau aku adalah hal berharga seperti yang kamu katakan, seharusnya ketika aku mencegahmu melakukan bunuh diri, kamu menurutinya. Tapi kamu tidak melakukannya, karena kamu lebih peduli dirimu sendiri. Tidak kepadaku yang katanya adalah hal berharga" Lihatlah mataku akan berair lagi. Berkaca-kaca. Ilyas menatap prihatin. Aku lemas. Ilyas menggeleng-geleng, berkaca-kaca.
"Sudahlah Ilyas, jangan membuatku semakin membencimu. Cinta keluarga ini tidak akan pernah tumbuh dihatiku lagi. Kita pulang, nenek akan mencarimu" Malam ini pembicaraan kami hanya itu. Menyisakan sesak. Tidak ada akhir yang membahagiakan diantara perbincangan akhir kami. Kami memutuskan pulang. Ilyas menatap punggungku dari belakang, memerhatikan gerak-gerikku. Sungguh hari ini kami diselimuti kesenduan. Daun-daun meliuk-liuk diantara pohon-pohon rindang. Kami melangkah masuk rumah. Ilyas masih memerhatikanku yang melanjutkan langkah ke ruang makan mengambil makanan dan minuman, lalu aku berjalan lagi ke kamarku sempurna menutup pintu. Tidak ada kata-kata mutiara, tidak ada kata-kata penenang. Malam yang sepi.
****
Pagi menyambut indah, tidak seperti biasanya, kali ini pagi-pagi sekali Ilyas sudah mengetuk pintuku. Tuk....tuk...tuk....Aku yang masih terlelap tentu saja merasa terganggu. Merekatkan bantal ke kedua telingaku. Sial, aku tak bisa tenang. Ilyas dengan wajah ceria antusias membangunkanku, Lili hanya tersenyum. Kepala mendongak melihat Ilyas. Nenek? Seperti biasa dia tidak suka. Terlihat dari raut wajah. Kepalaku membolak-balik ke kiri ke kanan, berharap suara berisik itu hilang. Sampai akhirnya aku menyerah, melangkah gontai, membuka pintu. Lihatlah, Ilyas sudah tersenyum riang, aku memasang wajah suntuk.
"Ayo sarapan, kita makan bersama" Ilyas begitu riang, aku menolak, menggeleng malas. Tapi tanganku sudah ditarik menuruni anak tangga, melangkah ke ruang makan, duduk disamping Ilyas. Muka nenek musam, tapi Ilyas tidak peduli. Aku? Entahlah, menunduk, melihat piring dan sendok. Lili menuangkan nasi dan lauk-pauk ke piringku, sama riangnya dengan Ilyas. Aku membiarkannya. Ini kali pertamanya lagi aku duduk bersama keluarga ini, setelah beberapa tahun. Meski Susana terlihat kikuk. Senyap. Yang akhirnya nenek memaksakan senyum, berpura-pura tidak terjadi apa-apa, tidak peduli padaku. Nenek beranjak, tangannya cekatan melakukan apa yang seperti Lili lakukan kepadaku. Menyendok nasi dan lauk-pauk ke Lili, ke Ilyas. Nenek amat pandai menyembunyikan kemarahan, lihatlah wajahnya amat tenang, tersenyum merekah kearah Lili dan Ilyas bergantian. Aku? Tertunduk datar. Nenek, Lili, Ilyas berbincang, menceritakan tentang keadaan kakak pertamaku ini, membicarakan bagaimana waktu Lili dan nenek tak henti menjenguk, menceritakan betapa amat sedih melihat Ilyas terkapar dirumah sakit. Menjelaskan bagaimana wajah pias nenek, kekhawatiran Lili. Aku? Diam saja, makan tenang, datar-datar saja. Biarlah mereka puas dengan obrolan paginya, membuncahkan cinta mereka yang terbenam selama beberapa tahun ini.
"Sungguh Ilyas, kamu adalah keajaiban bagi kami. Kamu adalah tanda kebaikan Tuhan kepada kami bahwa memang rahmatNya tak pernah putus, selalu mengiringi kami. Teramat baik" Nenek akan berair lagi. Satu denting airmata akan tumpah lagi. Pagi yang cerah, meski terlihat kaku, terlihat ganjil. Lili melirikku. Makananku separuh habis, bahkan aku hampir menyelesaikan makananku. Lili memerhatikanku, Ilyas? Matanya fokus kepada nenek, memberikan senyum terbaiknya, menunjukkan bahwa tidak ada masalah di dirinya, menunjukkan ia adalah kebanggaan nenek. Aku membencinya, dia berpura-pura lagi. Makananku kali ini sudah habis, beranjak ke pencucian piring, menyimpannya. Melangkah ke tangga, ke kamarku. Ilyas menoleh kearahku, memerhatikan.
"Sudah selesai?" Ilyas basa-basi.
"Sudah selesai" Aku sinis, melangkah tanpa berbalik badan. Ilyas mendesah, lalu menatap wajah nenek tersenyum tenang, meski dipaksakan. Nenek mengacak-acak rambut Ilyas pelan, tersenyum. Aku terduduk diranjang, mengedar ke langit-langit kamar, lalu menatap lurus lagi. Sepi ini mengajakku berkelana ke beberapa tahun silam, mengukir lagi kejadian mengerikan itu. Itu hal yang paling menakutkan. Lihatlah tubuhku bereaksi ketakutan, aku tegang. Mulai tersengal, tak terkendali. Aku menepuk-nepuk dada, berusaha mengusir sesak nafas. Sial, terjadi lagi. Bayangan Ilyas terjun, suara berisik orang-orang, suara jeritan, bagaimana cara nenek memandangku saat itu sempurna menghantam jantung. Semakin tersengal, terjadi selama beberapa menit. Aku kembali tenang.
Seperti biasa, malam selalu memberikan nuansa yang berbeda. Kali ini aku memberanikan diri keluar. Aku melangkah keluar kamar, melewati ruang keluarga. Ada Lili dan Ilyas diruang keluarga. Nenek? Dia sudah tidur di jam-jam seperti ini. Aku tak pedulikan mereka, berjalan melewati halaman. Aku sudah di luar. Malam ini mencekam, suara-suara mobil beradu. Cahayanya menyatu, menyeruak, mempercantik jalan. Lampu bundar di sisi aspal berdiri tegak, formasi lampu-lampu gedung, mol, lampu-lampu jalan berpadu menyinari kota. Lihatlah bumi ini indah. Tapi tak cukup membaluri ketenangan dihatiku, tak mampu mengusir sendu dalam batin. Aku redup, mata mengedar memerhatikan sekitar. Sepi membalut hatiku. Aku datang ke jembatan kemarin bersama Ilyas. Tapi kali ini aku sendiri, menatap lenskep kota diketinggian, sungguh indah. Memesona. Siapa yang tidak terhipnotis, melihat kerlap-kerlip lampu, rumah-rumah penduduk berjajar rapih, bangunan-bangunan kota tinggi dan pendek memadati diantaranya. Sungguh menawan. Aku tersenyum. Entahlah, bagaimana perasaan ku hari ini. Tapi yang aku tahu, aku selalu sendiri, selalu kesepian. Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya, tidak ada yang berubah. Aku memejam mata, merasakan angin menerpa wajah. Mengibas-ngibas rambut hitamku. Meneteskan airmata lagi, sesenggukan terdengar. Biarlah aku menangis lagi, biarlah aku merasa lapang. Semesta membawaku ke kejadian beberapa tahun silam, membawa sulaman kesedihan, membuatku redup. Memori-memori yang ingin aku lupakan, mengikatku. Aku membuka mata, lalu kakiku naik keatas penyangga jembatan, menatap kebawah jembatan beberapa detik, lalu kedua tangan direntangkan, menatap lurus. Biarlah aku mengabulkan keinginan nenek, biarlah aku menghilang dari bumi. Aku ingin tenang. Semesta berbisik lewat angin yang berhembus amat menenangkan. Mengaliri hatiku ketenangan. Aku memejam mata. Dalam beberapa detik tubuhku sudah melayang bersama angin.
"Fatih!!!!!" Lili dan Ilyas berteriak histeris, berlari kearahku yang sudah terhempas. Tanpa kuketahui ilyas dan Lili ternyata mengikutiku dari belakang. Lihatlah, wajah mereka cemas, memerhatikan bawah jembatan.
****
Aku membuka mata, tubuhku sakit semua. Terbaring lemah dirumah sakit. Lihatlah aku tak berdaya, mata, remang-remang tapi lama-lama terlihat jelas. Lili, Ilyas dan nenek tepat disampingku. Menatap penuh khawatir. Mata mengedar ke seluruh ruangan. Ruangan serba putih, dulu Ilyas yang berada disini dengan berbagai ketegangan. Dengan berbagai alat rumah sakit yang berada ditubuhnya. Sekarang giliranku, aku mendesah. Aku tidak tahu bahwa kejadian malam itu, Ilyas bertengkar hebat dengan nenek. Telah menuntaskan segala kesalahpahaman yang terjadi antara kami sekeluarga, meski tidak tahu apa persisnya. Aku menatap ketiganya bergantian, lalu melihat tubuhku, melihat tanganku. Ternyata aku belum mati. Tapi ada yang berbeda dari tatapan nenek, ia redup tapi bukan seperti yang selama ini kulihat, ada yang berbeda. Entahlah apa ini hanya perasaanku atau memang nenek sudah berubah? Tidak mungkin, nenek lebih mencintai Ilyas dan Lili. Aku siapa? Berani mengharapkan cinta.
"Syukurlah kamu baik-baik saja" Celoteh Lili. Disusul Ilyas memberi ekspresi khawatir, nenek hanya melihatku. aku menatap nenek, memerhatikan lamat-lamat. Meski ada yang berbeda dari tatapan biasanya, kesimpulanku adalah apa yang kulihat dari gerak-gerik nenek hanya perasaanku saja. Tidak mungkin rasa sayang itu tumbuh dihati nenek. Aku tidak mungkin bisa menembusnya, aku adalah manusia yang paling dibenci nenek.
"Keluarlah, aku ingin sendiri" Aku berkata pelan, menatap lurus. Tanpa perlu panjang lebar Ilyas mengerti maksudku. Mereka beranjak keluar. Nenek menatapku sebentar. Sungguh ada apa dengan nenek hari ini? Mereka bertiga meninggalkan ruangan, aku menatap kepergian mereka, mataku berkaca-kaca. Setelah benar hilang, aku menatap langit-langit kamar.
"Maafkan nenek Fatih" Suara nenek pelan. Nenek terduduk dikursi tunggu, mengingat pertengkarannya dengan Ilyas. Terpekur.
Flash back.
"Nek, Fatih dirumah sakit nek, aku dan Lili sudah dirumah sakit" Ilyas panik. Wajahnya resah. Lili juga sama cemasnya. Mondar-mandir di depan ruangan berwarna putih itu. Dokter-dokter sedang menanganiku. Setelah menerima telpon Ilyas, nenek bergegas kerumah sakit. Mobil yang ditumpangi nenek menjejak jalan, menyalip beberapa mobil didepan. Tak peduli omongan kesal orang-orang karena diserobot, mobil nenek melaju cepat, tak peduli bunyi klakson yang seolah memprotes. Setelah sampai ditempat tujuan, mobil terparkir di pelataran parkir, nenek melangkah cepat-cepat melewati beberapa orang yang sama sibuk mondar-mandir, sama cemasnya, sama khawatirnya. Lihatlah begitu melihat Lili dan Ilyas, nenek langsung menghambur memeluk mereka berdua, lalu menatap pintu ruanganku yang tertutup.
"Bagaimana keadaannya? Apa yang sebenarnya terjadi?" Nenek bertanya pelan, setelah memeluk beberapa menit.
"Kami tidak tahu" Lili tersungkur. Ilyas menatap pintu ruangan, harap-harap cemas.
"Aku sungguh takut akan seperti ayah dan ibu. Bagaimana kalau dia mati?" Ilyas menatap nenek linglung. Mata bergetar. Nenek terdiam
"Bukankah ini dejavu? Kita pernah mengalami ini, aku pun pernah mengalami ini" Suara Lili patah-patah, tersedu-sedu menatap nenek. Nenek bergetar.
"Lihatlah, kita mengulang lagi hal serupa. Nenek, aku tahu kamu membenci Fatih, menyalahkan Fatih atas apa yang terjadi kepadaku. Tapi sungguh itu bukan kesalahannya" Ilyas menjelaskan dengan sedu-sedan.
"Sungguh nenek, semua bukan kesalahan Fatih. Aku yang memilih membunuh diriku, aku mencelakai diriku, karena aku merasa tertekan, tak bisa memenuhi keinginan nenek, tak memenuhi syarat kebanggaan nenek. Setiap hari dipenuhi keresahan, kekhawatiran. Takut Kalau semua yang kulakukan bukan standar keinginan nenek. Aku membunuh diriku, karena aku sudah lelah, kalau ingin menyalahkan, salahkan aku, karena aku begitu pengecut, tidak berani. Jujur aku terbebani, makanya waktu itu aku memutuskan membunuh diriku. Setiap hari mengeluh, setiap hari pula aku ketakutan" Ilyas penuh resah, nenek hanya menangis.
"Sungguh nenek, kami mencintaimu. Ayah, ibu, aku, Fatih, Lili mencintaimu, teramat mencintaimu, tapi kesalahanku adalah tidak mengungkap keinginanku yang sebenarnya. Aku membohongimu" Ilyas semakin tak tertahan. Nenek diam, terisak. Lili menunduk.
"Fatih teramat mencintaimu, mungkin cintanya lebih besar dariku dan Lili. Tapi kamu membencinya begitu dalam, karena kesalah-pahaman yang terjadi. Aku mohon nek, biarkan kami bebas, biarkan kami memilih apa yang kami mau. Aku tak ingin kejadian yang menimpa ayah dan ibu terulang kembali" Suara Ilyas lemah.
Nenek menangis kecil mengingat itu, mengingat kejadian beberapa tahun silam yang menimpa Ilyas, juga yang menimpa ayah dan ibu. Sedu-sedan nenek terdengar diantara riuhnya orang-orang yang berada dirumah sakit. Beranjak, mendekati pintu ruanganku. Melihatku yang terpekur. Kali ini nenek benar-benar menyesal.
End.
@menyapamakna1
5 notes · View notes
retorikagatra · 2 months ago
Text
Tumblr media Tumblr media
Kala Karma Menyapa : Karl Madhàve
Pagi yang perlahan membuka selimutnya di kota Bandung, dengan embun yang masih bergantung di dedaunan, seolah-olah menyimpan rahasia alam semesta, meneduhkan hati ribuan orang yang sedang bergejolak. Dingin yang merambat perlahan mengingatkan bahwa hari ini, setiap hari sebelumnya, adalah langkah menuju sesuatu yang belum dimengerti. Namaku, Karl Madhàve—sepintas terdengar janggal dan berat di mulut. Ada sesuatu yang kontras antara bunyi nama itu dengan realitas yang kujalani. Karl Madhàve, nama yang seolah tersesat di antara deretan nama-nama yang lebih akrab di telinga nusantara, tak seperti nama-nama lokal Jawa lain yang menggema dengan filosofi dan sejarah panjang.
Namun, di balik nama yang tampak eksentrik itu, mengalir darah Jawa yang kental dalam nadi-nadiku; tak ada campuran lain. Hanya saja, ayahku, seorang pengagum aristokrasi dan sejarah dunia, terlampau terpesona oleh negeri-negeri Eropa, khususnya Prancis, memberi nama itu dengan penuh kebanggaan. Karl, katanya, diambil dari tokoh-tokoh agung yang ia kagumi—pemikir besar, raja-raja di Eropa yang seolah hidup hanya dalam kepala ayahku. Madhàve, nama yang ia dengar dari kisah Hindu kuno, ia kaitkan dengan seorang pejuang suci dalam kitab Sansekerta, meskipun aku tak pernah menemukan riwayat yang sama. Kombinasi itu, meski terdengar eksotis, tak pernah terasa seperti milikku sendiri. Sudah berkali-kali aku mencari maknanya, di buku tua dan di sudut-sudut internet, namun nama itu tetap sunyi, tanpa pesan yang bisa kupegang.
Tapi apa sebenarnya arti dari sebuah nama? Bagiku, itu tak lebih dari rangkaian suara yang menghiasi identitas. Tak ada yang lebih penting dari kenyataan yang kini terbentang di depanku—Bandung, dengan segala pesonanya. Paris van Java, kota dengan kabut tipis yang membelai lembut di pagi hari, dan senja yang seolah-olah menari di langitnya yang jingga. Aku tiba di sini bukan untuk mencari nafkah sebagai pegawai kantoran, bukan pula sebagai akademisi yang sibuk dengan buku-buku tebal. Aku datang sebagai pengembara, seorang penulis cerita tanpa kata—seorang fotografer. Pekerjaan formal mungkin tak menunggu di ujung jalan, tapi aku percaya lensa kameraku bisa menghidupiku, setidaknya cukup untuk makan dan secangkir kopi hitam di pagi hari. Dan di sinilah aku, berjalan di antara gang-gang sempit dan jalan-jalan penuh sejarah, ditemani oleh lensa kameraku yang tak pernah lelah menyapu pemandangan, mencari sepotong kehidupan yang tersembunyi di balik bisingnya kota ini.
Dalam dunia fotografi, aku bukanlah Karl yang biasa dikenal orang sekelilingku. Di antara komunitas seniman visual Bandung, aku dikenal dengan nama lain—Karma— singkatan dari Karl Madhàve. Sebuah nama yang kupilih sendiri, lahir dari filosofi bahwa apa yang kita tangkap melalui lensa hanyalah pantulan dari apa yang kita bawa dalam diri. Karma, bagiku, bukan hanya nama samaran, tapi juga simbol dari caraku memandang dunia. Setiap jepretan kamera adalah sebuah takdir kecil, yang kuabadikan dalam bingkai, dan kuhadirkan kembali pada dunia dengan perspektif yang telah kuwarnai dengan perasaanku. Nama itu, Karma, terasa lebih cocok—seolah-olah ia mengalir alami, tanpa beban sejarah atau ekspektasi, hanya suara yang sederhana namun sarat makna.
Bandung adalah kanvasku, dan Karma adalah penanya. Setiap sudut jalan Braga yang kulewati menyimpan cerita; bangunan tua yang berdiri kokoh di tengah arus modernisasi ini seakan berbisik padaku. Di antara riuh rendah pejalan kaki yang berlalu-lalang, sibuk dengan dunia mereka. Sama sekali tak peduli pada kehadiranku, namun aku melihat mereka semua— peduli kepada setiap detail yang mereka tinggalkan— tatapan kosong diantara langkah tergesa, tawa kecil dari mereka, atau cahaya yang memantul dari kaca-kaca jendela tua. Aku ingin menangkap mereka semua, bukan hanya sebagai objek visual, tetapi sebagai cerita yang bernafas, yang hidup di setiap celah retak dinding dan di setiap gemuruh redam angin antara persimpangan jalan.
Orang tuaku, meski merestui jalanku, sering bertanya dalam diam di meja makan: kapan anak mereka akan menemukan "pekerjaan sungguhan"? Tapi mereka tak pernah mengerti bahwa bagi seorang seperti aku, seni bukan sekadar pekerjaan. Ini adalah kehidupan itu sendiri—ini adalah caraku membaca dunia, memahami dan berbicara dengannya. Melalui Karma, aku tak hanya menangkap momen, tapi juga menulis ulang sejarah-sejarah kecil yang mungkin terlupakan. Di jalanan yang ramai ini, aku merasa tak hanya hidup, tapi hadir—seperti halnya embun di pagi hari, tenang namun tak bisa diabaikan.
cr. do not repost or copy paste my ideas.
4 notes · View notes
jeonvie · 1 year ago
Text
Tumblr media
2 tahun sudah berlalu sejak Batara dan Fadhlan berpisah, menjalani kehidupan masing-masing dengan terpisah, meski terkadang tak sengaja bertemu kala keduanya tengah menjalani aktivitas masing-masing dan hanya saling melempar senyum, tidak ada sapaan akrab atau rencana keluar bersama seperti dahulu.
Keduanya memang masih terlihat bersama dikala BEM mengadakan acara atau keduanya tampil dalam sebuah festival musik.
Kini, angkatan mereka tengah mengadakan acara After Graduation Party di area kampus. Tentu saja tidak hanya Fakultas Hukum, tetapi Fakultas lain pun ada di sana.
Sayangnya, Batara dan Fadhlan terpisahkan oleh lautan manusia yang belum tentu membawa mereka kembali berpapasan dan mengobrol panjang. Batara ingin sekali menanyakan banyak hal kepada sang mantan kekasih serta tekad nya untuk meluruskan apa yang seharusnya ia luruskan sejak lama tidak pernah padam sedikitpun.
"Fadhlan lagi kosong tuh, samperin," titah Greta kala ia berdiri di samping Batara.
"Serius? You giving me chance?" ujar si lebih muda dengan mata berbinar.
Greta mengangguk, "Sebelum gua berubah pikiran," katanya.
Batara berusaha semaksimal mungkin untuk mengendalikan dirinya agar tidak terlalu senang, serta mencoba mengendalikan mulutnya yang ingin tersenyum dengan lebar itu.
"Thank you, gua traktir nanti!" balasnya lalu berjalan menuju sang mantan kekasih.
Lelaki kelahiran 1 September itu tentu saja tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah lama ia tunggu selama 2 tahun belakangan ini, benaknya mulai menyusun setiap pertanyaan dan ucapan yang akan ia lontarkan kala berhadapan dengan sang mantan kekasih.
Entah ini di sebut sebagai kesialan atau sebuah keberuntungan, Batara mematung bagaikan ia habis menatap mahkluk mitologi Yunani yang dapat mengubah manusia menjadi batu kala mereka menatap mata sang mahluk, Medusa, lantas di sana lah Fadhlan berdiri bagaikan sebuah patung Yunani yang tengah di pertontonkan.
Batara terpesona akan betapa menawannya sang pujaan hati, pupil nya membesar, ia jatuh cinta lagi pada jiwa yang sama untuk kesekian kalinya. Waktu pun bagaikan melambat, Fadhlan berpijar dekat counter bar sembari menyeruput cocktail dengan penuh pesona.
At this point, Batara's world returns to its eternal owner, Fadhlan Januar.
"At this rate, your stare feels like your undressing me and it's gonna make me catch a cold," tegur Fadhlan membuat sang mantan ketua BEM itu gelagapan.
"Oh! Ya! Em... Gimana kabar... kamu?" ucap gugup lelaki dengan nama belakang Putra itu sembari mendekati Fadhlan.
Fadhlan terkekeh, "Baik, kamu sendiri gimana?" tanya nya lembut.
Suara lembut itu seakan membuat Batara ingin sekali memeluk lelaki dihadapan nya dengan erat, serta membisikkan tentang bagaimana ia merindukan sosok itu beribu kali sampai Fadhlan muak.
"Same here, aku cuman maㅡ"
"Batara," potongnya sambil menyentuh lengan lelaki itu, "Lupain aja, semua nya udah terjadi, jalanin yang ada ya? Aku tau kamu bisa," paparnya dengan sebuah senyuman.
"Tapㅡ"
"Batara?" panggil seseorang membuat kedua insan itu menoleh.
Senyuman Fadhlan memudar, kengerian muncul dalam dirinya dalam sekejap, nafasnya dengan cepat menggebu, di cengkram nya erat lengan Batara bagaikan satu kalimat lagi keluar dari mulut sosok dihadapan mereka akan membuat Fadhlan meneteskan air matanya.
"Leo," lirih Batara cukup terkejut, ia melirik kepada Fadhlan yang seakan baru saja melihat hantu dengan mata telanjangnya itu.
"Bisa ngobrol sebentar?" pinta Leo.
"Sorry, bisa lo liat sendiri, gue lagi sibuk. Kapan-kapan aja ya?" tolaknya.
"Tapi ini penting, can we talk for a second? Just a second, please?" harap Leo.
"Le, seperti yang gue bilㅡ"
"Gapapa, kamu bisa ngobrol sama dia," potong Fadhlan membuat Batara menatapnya tak habis pikir.
"Batara, please?" mohon lelaki itu.
"No means no, Leo. Ayo Fad," ajaknya sembari menarik sang mantan kekasih menjauh dari kerumunan.
•••
"Kenapa kamu ga ngobrol sama dia!?" tanya Fadhlan ketika kedua nya cukup jauh dari area acara.
"Aku gakan buang kesempatan yang udah aku tunggu 2 taun belakangan ini hanya karena dia mau ngobrol sebentar sama aku," balasnya, "Dan lagi, what the fuck is he doing here? No one wanted him here!" gerutunya.
"I thought you invited him!" seru Fadhlan.
"Ha?! Kenapa aku harus? Everything mess up because of him!" gerutunya lagi.
"Lo gila!" hardik Fadhlan.
"Ngapain kita teriak-teriak!?" seru Batara.
"Lo yang teriak duluan!" kesal Fadhlan sambil memukul lelaki itu.
Batara terkekeh, hati nya terasa lega akhirnya ia bisa kembali bercanda dengan pujaan hatinya itu. Dua tahun tentu merupakan waktu yang lama, Batara selalu memutar memori lama dari keduanya dimana mereka tertawa dengan puas, saling menjahili, saling menyalurkan afeksi lewat ucapan, dia rindu masa-masa itu.
"Jadi, abis ini mau ngapain?" tanya Batara membuka percakapan.
Fadhlan menatap Batara dengan tatapan yang sulit diartikan sang empu, keheningan terjadi di antara keduanya, hanya terdengar suara samar-samar dari musik yang di mainkan di belakang mereka.
"Kamu sendiri, mau ngapain?" Fadhlan balik bertanya.
Batara mendengus, "Jawab, bukan malahan balik nanya," tekannya.
Fadhlan membisu, di tatapnya binar sang mantan kekasih sekali lagi dan berucap, "Kamu tau kan aku selalu pengen ke Swiss karena aku ngerasa punya koneksi sama negara itu?"
Batara mengangguk, "Jadi?" bingungnya.
"I'm going there, Tar. Aku bakal tinggal di sana, aku juga udah daftar buat lanjut studi aku di sana," ungkapnya membuat Batara merasa di serang petir siang bolong.
"Jadi, karena ini kak Greta ngizinin aku buat ngobrol sama kamu?" cicit Batara.
Fadhlan mengangguk, "Sebenernya, aku gamau kasih tau kamu dengan cara kayak gini," ungkapnya lagi.
"Gimana? Kapan flight berangkatnya? Udah prepare semuanya? Paspor? Visa? Udah?" cecar Batara penuh intonasi cemas, tak luput dari suaranya yang bergetar.
Fadhlan memeluk sosok dihadapan nya dengan erat, di balas dengan pelukan yang tak kalah eratnya oleh Batara.
Kedua insan itu saling mendekap setelah sekian lama menjauh dan saling menahan diri, tentu keduanya saling menyalurkan rasa rindu yang terbendung selama ini, rasa rindu yang akan kembali membunuh kedua jiwa tersebut secara perlahan seiring berjalannya waktu setelah mereka berpisah.
"Besok pagi, aku berangkat besok pagi, Tar. Semua nya udah siap," jawab Fadhlan membuat Batara kembali mengeratkan pelukannya, seolah tak ingin lelaki itu pergi.
"Can Iㅡ"
"Of course, you always can," pungkas Fadhlan.
Batara melepas pelukan tersebut, ia menarik lengan Fadhlan agar semakin menjauh dari kerumunan dan apapun itu yang akan berpotensi mengganggu kebersamaan mereka.
Dia butuh waktu sendiri bersama Fadhlan nya itu sebelum sang terkasih pergi mengarungi kehidupan nya sendiri tanpa ada kehadiran dari sosok Batara.
"Kenapa lo bawa gue ke wc ini, anjing!? Takut ah," hardik Fadhlan.
"Tau kenapa?" bisik Batara, "Because here is where all the naughty things happened," godanya lantas mengecup pipi sosok disampingnya.
"Kok loㅡ"
"Aku kabem nya, lupa? I know everything babe," pungkas Batara, "It's your choice, either you go back there and join some freaks or you can justㅡ"
Fadhlan menarik dasi yang digunakan sang mantan kekasih, di ciumnya bongkahan kenyal itu dengan tergesa bagaikan itu lah satu-satunya cara ia tetap hidup. Batara di sisi lain pun tak mau kalah, di tariknya pinggang ramping itu sembari mendorong tubuh tersebut supaya mereka masuk ke bilik paling ujung, ia berharap bahwa semoga saja tidak aja yang datang dan mengganggu.
Satu tangan Batara ia pergunakan untuk tetap berada pada pinggang sang mantan sekretaris nya itu, sedangkan tangannya yang lain sibuk mengunci pintu bilik tersebut untuk berjaga-jaga, serta bibirnya yang masih sibuk meladeni permainan Fadhlan yang rupanya semakin intens.
Jemari lentik kepunyaan Fadhlan dengan telaten mengusap tengkuk milik Batara, tak lupa memberikan sedikit cengkraman pada surai belakang si mantan kabem itu.
Sudah jelas suara kecipak yang mereka hasilkan memenuhi seisi ruangan kosong itu, ciuman itu tidak hanya di dasari oleh rasa rindu, tetapi juga nafsu dan hasrat yang telah terpenjara selama ini. Batara terus menciumi bibir milik Fadhlan hingga sampai dimana keduanya menyertakan benda tak bertulang itu untuk bertemu.
Batara kini memimpin permainan mereka, di angkatnya Fadhlan ke gendongannya sembari terus memberikan ciuman panas itu. Di putarnya ke kanan dan kiri kepalanya itu dengan Fadhlan yang menangkup rahangnya sembari mengelusnya dengan perlahan.
Ciuman itu berakhir akibat si mantan sekretaris kehabisan nafasnya, tetapi si mantan kabem masih terus melanjutkan agendanya. Ciuman itu turun pada leher jenjang milik Fadhlan, tak hanya ia ciumi, tetapi ia meninggalkan beberapa bekas memar pada leher itu.
"Batara..." lirih Fadhlan membuat sang empu berhedam di leher jenjangnya, "Gimana kalo suatu hari nanti aku ngerasa semua orang jauhin aku? Aku takut semisal the whole world will turning their back on me someday," ungkapnya membuat Batara berhenti melakukan aktivitasnya.
"No matter what happens, aku bakal selalu ada di samping kamu dan jadi satu-satunya yang tetap berhadapan sama kamu. You can always comeback here, aku masih di sini," balas Batara.
"Aku gatau harus percaya atau gimana, people come and go," ujar Fadhlan, ekspresi tampak sedih.
"I know, I'll go, tapi kadang aku bakal balik. Remember that I'm always right here, right at your heart, forever and ever," tutur Batara dengan sebuah senyuman.
"Kayaknya aku bakal nangis deh," ungkap Fadhlan membuat Batara tertawa.
Ya... Seperti yang semua orang bilang, masa muda memanglah masa yang paling indah dan bisa dibilang oleh sebagian orang sebagai masa paling buruk, masa yang tidak akan pernah kembali terulang. Masa dimana kita semua mencari jati diri kita masing-masing, penuh akan tantangan, kegelisahan, pertanyaan, serta rasa penasaran yang terus meningkat.
Masa muda penuh akan potongan puzzle yang harus kita kumpulkan agar menjadi satu potret sempurna untuk masa yang akan datang.
Masa dimana kita merasa kita sudah menemukan cinta sejati dalam hidup kita, cinta yang akan selalu berlaku selamanya hingga kematian memisahkan, cinta yang hanya diperuntukkan agar kita bisa menjadikannya sebagai pelajaran saja. Kini, dua dari sekian banyak jiwa muda di dunia telah berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing.
Mereka harus mengarungi samudera dan benua hanya untuk bisa bertemu dan mengobrol layaknya dahulu kala.
Batara menatap ke arah langit seraya ia keluar dari Bandar Udara Soekarno-Hatta, sejauh rinai coklatnya memandang birunya langit, kebebasan terpancar dengan jelasnya. Suara bising mobil serta orang-orang berbincang membuat Batara sedikit merasa kesal.
Meskipun kini ia dan sang terkasih hati terpaut beribu-ribu jarak, tetapi perasaan yang ia miliki layaknya seluas langit dan sedalam samudera di dunia ini tidak akan pernah bisa memudar begitu saja. Tinta yang digoreskan oleh Fadhlan pada kanvas hatinya merupakan tinta permanen yang tidak pernah bisa memudar hingga kapanpun.
•••
"Tar," panggil Fadhlan ketika Batara masih memakai dasi yang tadi di tarik oleh dirinya.
"Ya?" sahut Batara.
"What if, aku bilang kalo semua cinta aku habis di kamu?" ujar Fadhlan.
"Kalo gitu, aku bakalan bilang. Cinta ku di dunia ini juga udah abis aku pake buat kamu, gada yang tersisa buat orang lain," paparnya sembari melemparkan sebuah senyuman yang mempesona.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅡ Fin.
7 notes · View notes
lilanathania · 4 months ago
Text
Rasa dalam Kata
Saya selalu terpesona dengan kata. Rangkaian huruf yang perlu dirangkai dengan sedemikian rupa agar menjadi sebuah pesan. Kemudian perlu juga dimaknai seperti sedang memecah sandi.
Tumblr media
Pernahkah Anda berpikir seperti ini: kata-kata sebetulnya adalah deretan kode rahasia. Beruntunglah kita yang sejak kecil diajari untuk memahami pola-pola sandi tersebut. Kita yang bisa membaca sebetulnya merupakan encoder dan decoder pesan-pesan rahasia. Apa yang kita baca dalam keseharian sebetulnya merupakan kesepakatan sekelompok manusia dalam memahami lambang-lambang acak. Keren, kan?
Mempelajari bahasa lain sama saja dengan mengetahui lebih banyak sandi rahasia. Pemahaman ini membuat kita memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengerti informasi mendalam tentang hal-hal lain di dunia. Tentu pengetahuan terdalam tentang budaya lain hanya bisa kita dapatkan melalui sandi yang digunakan oleh masyarakat tersebut. Jika direnungkan seperti ini, bukankah kemampuan literasi terlihat sungguh berharga?
Hidup di dunia serba teknologi seperti sekarang membuat kita sering terlena. Merasa segala sesuatu bisa digantikan oleh pesan visual dan audiovisual. Padahal, salah satu dasar yang penting adalah bagaimana kita harus menjadi pemecah sandi literasi.
Ah, mungkin saya terlampau tradisional. Mungkin kaum muda akan berpikir, untuk apa memahami sesuatu yang usang? Tapi saya masih yakin bahwa sesuatu yang lambat dan membutuhkan proses akan menempa dengan lebih baik ketimbang sesuatu yang disodorkan secara instan di depan hidung kita.
Tahukah Anda mengapa menulis itu hal yang sulit? Karena sejatinya menulis adalah memampatkan konsep yang begitu luas, liar, dan tak terbatas ke dalam kata-kata, kalimat, paragraf. Ribuan hal yang ingin kita sampaikan harus diterjemahkan dalam pilihan kata. Tak heran, orang bilang kata adalah senjata. Jika senjata kita tak lengkap, bagaimana bisa kita berperang melalui tulisan?
Sebagai pembaca, kita juga merupakan orang-orang hebat. Kita adalah orang yang mau berusaha untuk mendapatkan kesenangan. Kok bisa? Foto dan video bisa secara langsung menunjukkan suatu hal. Tulisan? Kita yang harus menerjemahkan dan mengimajinasikan sendiri. Apalagi kalian yang membaca tulisan fiksi, benak selalu dilatih untuk berkelana dengan berbagai perspektif. Terkadang bahkan sudut pandang dari benda mati atau makhluk aneh dari dunia fantasi. Hebat, bukan? Percayalah, Anda sudah cukup langka di dunia :)
Orang boleh bilang, manusia berbeda dengan spesies lain karena punya hati nurani atau kecerdasan tinggi. Tidak juga. Menurut saya, makhluk hidup lain juga punya kasih sayang dan intelektualitas yang luar biasa. Namun, siapa yang menulis syair tentang patahnya hati? Siapa yang berkisah tentang petualangan musafir di padang gurun? Siapa yang mencatat ajaran agama dalam kitab-kitab? Saya belum pernah tahu ada tikus, gurita, sapi, atau elang menulis. Hanya manusia saja yang memiliki budaya literasi.
Sepenting itulah budaya menulis. Budaya yang memampukan manusia mewariskan hal-hal terpenting di seluruh dunia. Pengetahuan, teknologi, budaya, bahasa, apapun itu. Semua tersimpan rapi dalam sandi literasi.
Terlebih dari fakta yang bersifat eksak, saya percaya dalam kata juga tersimpan rasa yang tak bisa ditakar. Kadang, jumlahnya tak terhingga. Apalagi bila diutarakan oleh mereka yang hemat bicara.
"Jangan pulang malam-malam."
"Jangan lupa istirahat cukup."
"Mau dimasakkan apa?"
Sesuatu yang begitu sederhana, tetapi menyingkap isi hati terdalam. Saya yakin Anda juga bisa merasakan cinta yang terselip di balik kata-kata itu.
Perkataan adalah wujud buah pikiran, ide, emosi, dan segala hal yang ada. Kata-kata menyimpan beribu makna mendalam. Memang tak selalu diterima dan dipahami dengan baik. Namun, akan selamanya ada; menunggu pemecah sandi yang cakap dan cermat untuk mengungkap rahasianya.
6 notes · View notes
nailassirri · 5 months ago
Text
Tumblr media
Here is a letter that i write for you ✨
Semoga saja tulisan ini berkenan untuk diterima.
Teruntuk Ka Musliha, hai ka muse! Bagaimana perasaannya setelah beberapa menikah? Semoga menyenangkan ya hihi. Gak kerasa ya ka, kita udah kenal dari tahun 2018. Lama juga ya. Ternyata, sudah selama ini kita saling kenal. Nail tau, kakak in syaa Allah adalah perempuan sholehah yang keyakinannya atas kuasa Allah tuh tidak perlu diragukan lagi. Terima kasih ya ka, selama ini sudah menjadi panutan Nail dari segala macam sisi; keimanan, keislaman, kehidupan, bahkan pendidikan. Jujur, banyak hal yang pengen Nail tulisin tentang kakak, tapi kata-kata aja gak mampu menggambarkan betapa beruntungnya Nail bertemu, kenal, bahkan dekat dengan kakak. Makasih ya ka, selama ini sudah menjadi figur kakak perempuan yang Nail dambakan :”
Di hari akhirnya kakak menggenap ini, Nail cuman mau bilang, barakallah ka Muse. You finnaliy find your new home. You finally found him. Nail harap, pernikahan kakak menjadikan kakak semakin dekat dengan Allah, semakin menjadikan kakak sebagai muslimah yang berdaya baik sebagai istri dan kelak sebagai ibu (aamiin). Semoga Allah merahmati permikahan kalian ya ka. Serta, apa apayang kalian impikan bersama, bisa terwujud. Aamiin.
Teruntuk Ka Mualim!
Hai mas bro! Selamat ya, anda sudah menemukan berliannya Handil Bakti. Kamu keren lho, bisa memenangkan hatinya Ka Muse yang sulit ditembus ini. Ka Mualim sangat beruntung bisa jadi partner menuju Syurga-Nya Ka Muse, meskipun beliau ini cengeng, tapi masakkannya ENAK BANGET wkwkwkk. Btw, udah denger bacaan Qur’annya Ka Muse kah? Gimana? Makin terpesona kah? Hahahaa. Nail yakin, akan selalu ada hal yang membuat kakak bersyukur menikahi Ka Musliha setiap harinya.
Di tulisan kali ini, Nail mau berpesan aja, jangan galak galak ya sama Ka Muse, hatinya terlalu lembut. Kalau ada hal hal yang kurang disukai, tolong sampaikan secara halus, biar Ka Muse gak nangis mulu :(. Jaga kakakku baik baik ya ka, bimbing dia, kalau mau ngajarin satu ilmu, jangan dikarasi dulu, kena patah; hatinya, harapannya, tulang rusuknya. Paham ai lo pian apa jar ulun nih huhu. Intinya, jaga akan Ka Muse lah. Ulah sidin bahagia dan bersyukur bisi pian sebagai laki sidin :D. Titip ka Muse lah ka. Maap nah, timbul bahasa banjar hahaha.
Pesan terakhir untuk kalian berdua:
Semoga, bersatunya Ka Mualim dan Ka Musliha menjadikan kalian semakin dekat dengan Allah, makin dekat dengan syurga-Nya Allah, semakin membari manfaat, besar, dan bestari tuk sekitar.
Semoga, kelak Allah berikan kalian keturunan yang sholeh dan sholehah, keturunan yang membawa kebahaiaan, ketentraman, kenyamanan, kegembiraan dunia dan akhirat.
Terakhir, selamat bertumbuh, menua, dan mendekati-Nya bersama ya ka…..
With luv
Ading pian nang paling bungas hihihi
5 notes · View notes
juliarpratiwi · 1 year ago
Text
Dua hari yang lalu Ica ke rumah, temu kangen. Terus VC sama Uni. Cerita dari A sampai Z. Aku cuma nyimak, sesekali nimbrung. Ku pikir ini saatnya Ica mengeluarkan ceritanya yang disimpan bertahun-tahun. Entah awalnya ngobrolin apa, terus celetuk nanya ke Uni:
"Uni, menerima seseorang karena orang itu yang berani datang ke wali kita. Setimpal gak?"
Ini jawaban Uni
"Jangan terpesona sama hal-hal yang harusnya gak jadi ukuran. Sama hal nya shalat wajib 5 waktu itu sudah menjadi kewajiban. Gak ada yang wah. Begitu juga laki-laki berani datang ke rumah, memang sudah seharusnya kaya gitu kali namanya laki-laki kalau mau mengenal perempuan ya lewat pintu depan. Jangan gampang tersentuh hati kita sama hal-hal yang memang normatifnya kaya gitu. Terus malah lupa mempertimbangkan hal-hal yang penting dalam pernikahan. Laki-laki yang berani datang itu memang bagus, cuma jangan hanya diukur dari situ."
Pas denger Uni bilang gt, oh iya juga ya. Kita tuh sering banget terpesona sama wadah, terus saking terpesonanya jadi lupa ngukur isinya. Boleh memberikan poin plus karena keberaniannya. Cuma jangan cuma itu ukurannya.
Oke Uni, Noted.
21 notes · View notes