#sinisme
Explore tagged Tumblr posts
nonaabuabu · 6 months ago
Text
Tumblr media
Aku menulis ini di tengah putaran lagu yang pernah kudaulat sebagai hymne patah hati, dan memanggil semua ingatan bagaimana luka dan duka menghabisiku di masa lalu. Yang terjadi kemudia hatiku meronta sekaligus menertawakan ingatan bajingan yang mampir dalam kepala. Sekuat apapun aku membawa semua romantika dalam dada, aku hanya berakhir menjadikannya sinisme dari rasa yang seharusnya menyenangkan. Aku, pada akhirnya menjadi penulis pemarah yang menolak kegilaan atas cinta.
Namun berbohongkah aku, jika sebenarnya kepalaku bisa membayangkan adegan paling menyakitkan hingga paling panas dari dua tokoh yang saling melukai dengan cinta. Aku masih tergila-gila dengan adegan berkucuran darah, dengan wajah bengis penuh dendam. Berbohongkah aku, jika di saat yang sama aku juga bisa membayangkan kekalahan ego manusia karena cinta yang begitu dahsyat.
Namun aku tak pernah berhasil menuliskannya. Aku selalu mati di adegan cinta yang baru tumbuh. Gejolak yang menyambangi tokoh-tokoh yang kureka padam di pertemuan ketiga.
Aku tahu kenapa, sebab aku tak pernah membiarkan diriku tunduk dan bodoh untuk cinta. Aku selalu mencari titik waras, titik yang tak pernah dipakai oleh pencinta. Titik yang mampu dilalui semua penyair dan novelis romansa, titik yang tak pernah kurasakan seumur hidup.
40 notes · View notes
herricahyadi · 1 month ago
Note
Maaf curhat mas, ketika saya menyelesaikan Magister saya langsung melanjutkan ke program Doktor mas. Tapu seiring berjalannya waktu teman-teman ada yang sinis dan ada juga menjauh gara-gara mengetahui saya melanjutkan S3. Mohon pencerahannya mas 🙏
Hah, gimana konsepnya kamu lanjut program doktoral lalu ada teman yang sinis dan menjauhi? Apakah pendidikanmu merupakan beban baginya? Apakah dia yang membiayai atau bagaimana?
Jika ada hubungan antara pendidikanmu dengan sinisme mereka atau menjauhnya mereka, maka biarkan mereka tenggelam dalam kubangan kebusukan yang mereka ciptakan sendiri. Saya kira justru bagus karena kamu bisa ternetralisasi dari orang-orang toksik macam begitu. Teman, apalagi sahabat, seharusnya mereka ikut bahagia jika kamu mencapai satu level tertentu. Entah pendidikanmu, pekerjaanmu, kehidupanmu, atau apapun yang membahagiakanmu.
Hanya musuhmu yang berduka atas kemenanganmu; berbahagia atas kehancuranmu.
13 notes · View notes
salmonmentai · 2 years ago
Text
The Loser’s Shoes
Orang baik, orang jahat, rasa senang, dan rasa sedih adalah rona awal yang kita dapatkan dari permukaan. Kesan. Nuansa. Bukan berarti salah, namun butuh investigasi lanjutan mengenai baik seperti apa? Sedih seperti apa? Investigasi itu jadi penting untuk membuat diri puas, menerima, dan selesai dengan rasa-rasa itu, karena hidup semestinya berlanjut....
Malas dan malu. Baru-baru ini, saya sedih karena menemui kekalahan berupa tidak lolos seleksi beasiswa negara. Ternyata, rasanya malas dan malu.
Tumblr media
Malas
Malas karena saya mau mencoba lagi dan mencoba lagi artinya bercapek-capek lagi. Walau sebenarnya saya sudah tahu bahwa saya harus mengetuk banyak pintu untuk voyage yang saya idam-idamkan, gagal lolos seleksi ini jadi pil pahit untuk pengingat saja. Toh, sepanjang hidup ini semuanya capek, kalau tidak mau capek tidak usah ikut kompetisi atau seleksi, tidak usah bikin karya untuk dinilai (sebelum dinikmati) oleh orang banyak, tidak usah bersosialisasi dengan keluarga, dan tidak usah hidup saja sekalian. Selain itu, mengutip kata Farhad di suatu hari di Kebon ketika saya minta tips anti malas (mau mengentaskan diri dari kemalasan saja maunya instan), “kalau kita malas mungkin artinya kita tidak benar-benar menginginkannya.” Sejak hari itu saya tidak pernah tanya tips lagi karena the level of realistic is that high. Kita semua percaya bahwa konsekuen itu penting, ‘kan?
Kalau sudah memilih hidup artinya memilih capek. Tapi, kalau sudah memilih hidup juga harus merawat hidup itu supaya kalau capek tidak langsung terminate hidup dan lari ke alam baka. Cara saya merawat hidup adalah dengan “tee-hee mentality”.
Tumblr media
Malu
Seandainya saya sedemikian diam-diamnya dalam hidup ini tidak ada satu pun orang yang tahu kekurangan saya bahkan ibu bapak saya sendiri, alangkah damainya! Awalnya saya berpikir demikian, untuk berproses saja dalam isolasi yang rapat. Namun ternyata, melibatkan orang lain membantu saya menemukan bentuk. Dengan sumbangan kasih sayang, sinisme, atau apa pun itu, saya mewujud.
Betapa tenangnya punya teman-teman yang mengingatkan kalau saya salah.
Saya mewujud. Singkatnya, sebelum saya bertemu orang-orang, saya tahu saya punya kekurangan yang tidak bisa saya pinpoint. Nah, orang-orang ini bisa menunjuk codet saya. Ditunjuk codetnya rasanya malu sekali sampai saya ingin membenamkan muka ke bantal, sampai menembus ke kasur, ke dipan, ke lantai, ke tanah, pokoknya kalau bisa terbenamlah muka saya sedalam mungkin. Yang bisa membuat saya mengangkat muka dan melihat mata orang-orang adalah dengan “tee-hee mentality”.
Tumblr media
Tee-hee Mentality
Saya menawarkan solusi yang simple tapi bukan past tense buat sobat-sobat yang mengalami kekalahan, yaitu “tee-hee mentality”. Sejak menggunakan mentalitas ini, setiap kekalahan dan kegagalan menjadu lebih mudah untuk saya lewati. Tee-hee adalah suara yang dikeluarkan perempuan jepang untuk mengaksentuasikan innocence mereka. Ungkapan dalam bahasa indonesianya adalah “Ups!” yang memberi kesan tidak sengaja. Nah, semangat itulah yang membuat saya bisa menatap mata teman-teman semua sejauh ini kendati kekurangan-kekurangan saya yang kalau ditunjuk bisa bikin kalian semua lelah. Apa boleh buat, kalau kata Tami dan Ima.
Dalam series The Bear (2022), seorang pembuat kudapan di sebuah restoran di Chicago membuat kesalahan yang mengakibatkan restoran tersebut mati listrik seharian. Setelah ia mengakui kesalahannya, ia berjanji kepada bosnya bahwa tidak akan diulanginya kesalahan tersebut. Bosnya, dalam level realistis yang tinggi, berkata, “You will... Because, shit happens.”
Tumblr media
3 notes · View notes
beritahangat7788 · 16 days ago
Text
Naturalisasi, trauma kolonialisasi, dan jalan rekonsiliasi
Tumblr media
Pemain timnas Indonesia Ragnar Oratmangoen berpose usai wawancara Media Day di Jakarta, Selasa (19/3/2024). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/tom.
Hari ini, pemain-pemain ‘berdarah penjajah’ ini ternyata sama dicintainya layaknya pemain sepak bola yang lahir dan besar di tanah kita
Jakarta (ANTARA) - Proyek PSSI untuk naturalisasi pemain keturunan masih berlanjut. Setidaknya sampai saat ini ada 15 pemain keturunan yang ada di dalam tubuh timnas. Jumlah ini masih akan bertambah andai dua pemain keturunan berikutnya, Mees Hilgers dan Eliano Reijnders, resmi berganti kewarganegaraan.
Sejauh ini, meski tidak luput dari serangkaian kritik dan sinisme, program naturalisasi dianggap sebagai gebrakan yang menguntungkan sepak bola Indonesia. Premis ini berangkat dari pencapaian timnas sepak bola Indonesia di lingkup Piala Asia, kualifikasi Piala Dunia, hingga perbaikan rangking FIFA di posisi 129 dunia.
Rangkaian prestasi ini tentu saja memberi rasa kebanggaan bagi penikmat sepak bola di Indonesia. Kita tahu bahwa tingkat fanatisme terhadap sepakbola di negara kita sangat tinggi. Hal-hal yang berkaitan dengan sepak bola akan memberikan dampak yang tinggi terhadap atensi dan minat publik. Dengan pengaruh inilah, sepak bola bukan hanya tentang permainan di atas lapangan karena geliatnya bahkan akan menjangkau ranah sosio-historis dan politik.
Dari pemahaman itulah, proyek naturalisasi memiliki dampak yang besar dalam memahami faktor-faktor psikologis bangsa. Jika kita amati, sebagian besar pemain keturunan ini sebelum disumpah memiliki latar belakang kewarganegaraan Belanda.
Fakta ini memberi kesan menarik sebab secara psikis, ternyata masyarakat Indonesia menerima darah Belanda dari pemain naturalisasi. Hal ini menjadi langkah kecil untuk melepaskan trauma masa lalu yang puluhan tahun menjadi bayang-bayang kelam dalam sejarah kemerdekaan.
Trauma kolonialisme
Kolonialisme di Indonesia secara de jure memang dianggap berakhir sejalan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, namun bagi masyarakat kolektif, penderitaan warisan kolonialisme tidak pernah berakhir. Di antara bayang-bayang kepedihan masa lalu, melalui cultuurstelsel, kerja rodi, hingga devide et impera, kesadaran yang dimaksud turut menciptakan rasa benci dan dendam pada segala hal yang berkaitan dengan Belanda.
Reaksi traumatis inilah, sebagaimana penjabaran Marianne Hirsch dalam The Generation of Postmemory (2012), kemudian ditransmisikan turun-temurun kepada setiap generasi. Melalui konsep familial memory, traumatik kolonialisme menjadi penderitaan lintas generasi sehingga membentuk common sense dalam memandang dan menyikapi posisi Barat (Belanda) melalui kacamata Timur yang traumatis.
Lebih jauh, konsep traumatik tersebut ternyata bersifat paradoksal. Sebab sebagai suatu kebencian, sepanjang ingatan penderitaan masa kolonialisme dipertahankan, inferioritas terhadap kekuatan Barat turut terjaga dan tetap hidup dalam perspektif masyarakat lokal. Padahal sikap demikian hanya akan mengecilkan Timur (Indonesia) di hadapan Barat.
Masyarakat Indonesia terbiasa menarasikan ingatan melalui story telling untuk terhubung dengan keturunan mereka. Karakteristik tradisi lisan yang menjadi satu bagian dalam kultur masyarakat, menjadi bagian yang ikut menguatkan wacana traumatis tersebut. Dengan demikian, post-generation tersebut turut menyimpan problematika yang serupa.
Untuk itulah penerimaan masyarakat Indonesia terhadap pemain naturalisasi, yang secara kolektif berasal dari Belanda, menjadi angin segar. Sebab hanya dengan meruntuhkan posisi biner penjajah dan terjajah, masyarakat dunia ketiga mampu menyadari keberadaannya sebagai subjek yang independen, bebas, dan memiliki kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya.
Jalan kecil dari sepak bola
Tanpa banyak orang sadari, proyek naturalisasi ini menjadi penetrasi bagi rekonsiliasi yang selama ini mendapat berbagai tantangan. Salah satu wacana yang mengintegrasi cara pandang demikian terepresentasikan pada tulisan Petrik Matanasi berjudul Raja Belanda Datang Minta Maaf, Pemerintah RI Berak di Muka Sendiri (Tirto.id, 2020) yang membuka kembali peristiwa penjajahan Belanda ketika menguasai Hindia Belanda. Menurutnya, mekanisme kekuasaan Belanda bergerak pada serangkaian kejahatan yang kompleks dan menyeluruh, dari peristiwa marsose kepada rakyat Aceh, kekejaman Westerling kepada rakyat desa di Sulawesi Selatan, dan seterusnya.
Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa subjek Belanda menempatkan diri di atas masyarakat pribumi dan rakyat jelata secara khusus. Mereka memaksa pribumi untuk tunduk dan melihat secara tengadah. Dengan kata lain mereka mengonstruksi pola inferiority complex yang dalam terhadap negara kolonial.
Hal ini menjadi salah satu bentuk konstruksi traumatik affillial memory yang ditransmisikan kepada generasi sezaman. Tulisan Matanasi tersebut hanya salah satu dari sekian banyak wacana yang diproduksi melalui media-media di Indonesia.
Wacana mengenai konflik warisan kolonial juga dibahas seperti dalam tulisan berjudul Rindu Dendam di Balik Keris Naga Siluman (Indonesia.go.id, 2020), tulisan Jaya Suprana berjudul Indonesia Harus Minta Maaf karena Dijajah Belanda (Kompas.com, 2022), dan tulisan Pandasurya Wijaya dalam judul Sudah Dua Kali Belanda Minta Maaf kepada Indonesia, Beri Ganti Rugi Rp270 Juta (Merdeka.com, 2020). Secara umum, tulisan-tulisan tersebut menyoroti peristiwa terkini mengenai wacana permintaan maaf Belanda kepada Indonesia atas kejahatan masa lalu dalam bingkai kolonialisme. Sikap reaksioner berbagai kalangan dalam merespons peristiwa demikian menunjukkan bahwa konflik penjajah terjajah masih menjadi perhatian penuh sebagian pelaku media.
Dengan adanya proses naturalisasi terhadap keturunan Belanda-Indonesia, setidaknya dalam ruang ‘tak sadar’ kita telah memulai perspektif baru.
Pertama, naturalisasi memberi anasir implisit bahwa subjek (dengan darah Belanda) ternyata tidak selalu ‘jahat’ layaknya kisah masa lalu. Inilah poin rekonsiliasi yang dimaksud. Tujuannya jelas, melakukan displacing of meaning terhadap paradigma berpikir masyarakat Indonesia agar terlepas dari hantu masa lalu, Belanda. Dengan melepaskan beban tersebut, secara otomatis masyarakat Indonesia juga menguraikan binerisme, stereotipe, dan dominasi yang sebelumnya selalu hidup sejalan dengan ingatan kelam tersebut.
Masalah kedua, fakta bahwa ternyata ‘darah Belanda’ ini telah memilih Indonesia dengan berbagai alasan, menunjukkan tidak selamanya Belanda (Barat) menjadi pilihan utama. Dalam konteks ini, karakteristik kita yang dianggap ‘bodoh, tertinggal, dan biadab’ ternyata menjadi pilihan bagi subjek-subjek keturunan Barat ini.
Ambiguitas dalam naturalisasi ini perlu kita akui telah memberikan dampak-dampak tertentu dalam psikis publik sepak bola dan secara luas masyarakat Indonesia. Hari ini, pemain-pemain ‘berdarah penjajah’ ini ternyata sama dicintainya layaknya pemain sepak bola yang lahir dan besar di tanah kita.
*) Angga T. Sanjaya, Dosen Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, UAD. Bergiat di Komunitas Jejak Imaji ‘Lawang Abang’, pendamping komunitas Luar Ruang dan Serawung Filsafat.
Editor: Achmad Zaenal M
0 notes
sederhanaaku · 2 months ago
Text
Dunia orang dewasa penuh dengan sinisme, asumsi dan penghakiman.
0 notes
klobt · 7 months ago
Text
Hasto dan Anak Ranting
Hasto: Ya sebenarnya lebaran kan memang merupakan momentum untuk melakukan silaturahim dan halal bihalal, tapi dalam konteks terkait dengan Pak Jokowi, banyak anak ranting justru mengatakan sebentar dulu, biar bertemu dengan anak ranting dulu, karena mereka juga jadi benteng bagi Ibu Megawati Soekarnoputri. Noel: Sinisme Hasto ke Presiden Jokowi menunjukkan karakter asli Hasto yang memang bukan sebagai politisi atau sebagai kader partai besar. Hasto: Bukan persoalan karena PDI Perjuangan-nya tetapi lebih karena bagaimana pemilu 2024 khususnya Pilpres yang didambakan menjadi legacy dari Presiden Jokowi, tapi ternyata justru merupakan puncak dari abuse of power dari Presiden. Noel: Sepertinya Hasto harus dikader ulang agar pemahaman politiknya makin berkualitas dan tidak membuat PDIP sebagai partai besar malah menjadi seperti partai kecil dan sikap sinis Hasto sangat merugikan Ibu Megawati sebagai Ketua Umum PDIP.
0 notes
boliboliku · 7 months ago
Text
MANUSIA SEBAGAI ARENA KONFLIK
Jika kita menonton film bergenre laga atau drama yang mengangkat kepribadian manusia, maka seringkali manusia digambarkan sebagai makhluk yang pada dasarnya jahat. Bahkan ketika mengupas manusia dari sisi ambisinya akan uang, manusia selalu dinilai seperti serigala yang haus uang dan kekuasaan. Makanya manusia dinilai sebagai hewan buas dalam berbagai ambisinya, khususnya ambisinya di dunia politik. Thomas Hobbes, seorang filsuf politik Inggris, memandang manusia sebagai materialistis dan pesimistis, dimana motivasi manusia hanya demi kepentingan pribadinya. Pernyataannya yang terkenal berbunyi, “Manusia adalah serigala bagi manusia lain”.
Hobbes menolak pondasi-pondasi pasti etika dan memilih jalan sinisme dan menerima relativisme etika. Karenanya, stabilitas suatu negara hanya dapat dijamin melalui otoritas berdaulat yang kepadanya para warga negara menyerahkan hak-hak mereka; mengingat manusia adalah serigala pemangsa sesama, dan manusia secara fitrah adalah berdosa dan asalnya tidak suci. Ia menjadi antidemokrasi dan menjadi pendukung kuat sistem monarki absolut.
Berbeda dan bertentangan secara diametris dengan Thomas Hobbes, Jean-Jacques Rousseau memandang manusia sebagai makhluk merdeka, namun ia hidup dalam perbudakan di mana-mana. Manusia juga dipandang sama dalam hak-hak. Menurut Rousseau, manusia secara fitrah tidaklah berdosa, melainkan sebagai manusia yang sopan, berperilaku baik, berpikiran merdeka, dan mencintai perdamaian, tetapi masyarakatlah yang merusaknya. Makanya manusia menjadi turun derajatnya ketika ia menjadi anggota masyarakat sipil dan melepaskan kemerdekaan sendiri. Seorang manusia mandiri tidak akan pernah memilih untuk menyerang orang lain dan melancarkan peperangan terhadap siapapun. Juga cenderung menjauh dari bahaya dan pada dasarnya ramah dan pemalu. Kebiasaan dan pengalaman yang diperoleh dari masyarakatlah, yang membuat manusia menjadi jahat.
Jadi menurut Rousseau, manusia memiliki fitrah suci dan menganggap masyarakat sipil sebagai perusaknya. Bahkan menganggap bahwa fitrah suci manusia kebal dari jenis cacat dan pelatihan serta pendidikan sebagai perusak fitrah. Masyarakat dan pemerintah inilah yang menodai fitrah manusia. Sebaliknya Hobbes memandang fitrah manusia dengan begitu pesimistis dan menganggap perlunya sebuah pemerintahan yang sangat kuat untuk menghalangi umat manusia dari saling menyerang.
Jika Hobbes dan Rousseau hanya menyimpulkan satu sisi manusia yang saling bertolak belakang, maka Al-Qur’an menyampaikan kepada kita sebuah riwayat, (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30). Dalam keberatan malaikat terdapat indikasi bahwa manusia adalah makhluk yang etikanya buruk. Dan Sang Maha Sempurna tidak menampik keberatan ini, namun disaat yang sama berfirman bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.
Artinya manusia secara jasmaniah memiliki bawaan yang cenderung bersifat hewani dan berperilaku berdasarkan kepentingan egois. Namun pernyataan umum yang disampaikan kepada malaikat itu merupakan fakta bahwa Sang Maha Sempurna juga mengetahui sisi lain dari koin eksistensi manusia. Sisi inilah yang tersembunyi dari pandangan malaikat, dan merupakah fitrah kemanusiaan manusia. Karenanya, manusia adalah kedua-duanya. Satu makhluk yang memiliki dua sisi. Dan disaat yang sama, manusia bukanlah semata-mata hanya satu sisi saja, baik sisi “ini”maupun sisi “itu”.
Pandangan Al-Qur’an ini bersifat realistis dan optimistis. Dan ini diaminkan oleh neurosains bahwa manusia memiliki kecenderungan emosional yang bersifat egoistis, namun juga memiliki otak besar yang tahu benar dan salah. Walaupun memiliki kesamaan dengan hewan yang memiliki atribut-atribut cinta diri, butuh makan-minum, menjauhkan diri dari bahaya, dan reproduksi, akan tetapi manusia tidak berhenti sampai di situ. Karena kita memiliki kapasitas untuk melampaui sisi hewani dan mencapai kesempurnaan-kesempurnaan spiritual.
Dua sisi manusia ini tergambarkan dalam Al-Qur’an, (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang dibentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)-nya dan telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS 15:28-29). Yakni manusia memiliki dua unsur pembentuk dirinya: langit dan bumi. Manusia memiliki asalnya di bumi dan tangannya terentang menuju langit. Manusia merupakan garis penghubung antara hewan dan malaikat. Dan sekaligus membedakan manusia dari malaikat maupun hewan.
Karena kondisi manusia yang memiliki dikotomi eksistensial, maka akibatnya, manusia selalu mengalami peperangan terbesar pada dirinya. Seluruh peperangan terbesar dalam sejarah sesungguhnya merupakan gaung-gaung dari peperangan batiniah tersebut. Hewan hanya membunuh ketika harus makan, dan tidak pernah membunuh hanya untuk kepentingan atau bersenang-senang. Namun manusia bisa lebih rendah daripada hewan. Dalam neurosains, kondisi ini terjadi ketika dorongan emosional telah menguasai otak berpikir.
Prefrontal korteks adalah bagian otak yang bisa memutuskan apa yang harus dilakukan dengan pertimbangan benar atau salah. Bagian otak ini juga membantu kita untuk menyadari keadaan diri kita sendiri. Bahwa ada pertempuran melawan diri sendiri, dimana yang dimaksud “diri sendiri” adalah hasrat dan insting hewani. Pertempuran ini bermakna menempatkan dan menundukkan semua hasrat dan insting hawa nafsu di bawah akal sehat dan menggunakannya untuk mengabdi kepada Sang Maha Sempurna dan menyempurnakan diri ke arah kesempurnaan transendental. Inilah tugas kita sebagai manusia dalam menjalani kehidupan di dunia dengan berbagai peran, baik sebagai anak, orang tua, suami, istri, teman, pekerja, atasan, bawahan, hingga kehidupan sosial. Semuanya dalam rangka menundukkan “diri” agar mengabdi kepada-Nya.
0 notes
iwan-fadila · 1 year ago
Text
Menampik Sinisme Akhirnya AHM Beri Garansi Rangka 5 Tahun
motogkil.com – Assalamu’alaikum wa rchmatullohi wa barokatuh, semoga kita semua selamat di perjalanan sampai ke tujuan. Ada hal yang sangat menarik saat AHM merilis New Honda Scoopy, yaitu AHM menambah masa garansi rangka baru dari semula 1 tahun menjadi 5 tahun tanpa batas jarak tempuh (kilometer). Garansi 5 tahun untuk semua model ini untuk memberikan jaminan kualitas produk dan kenyamanan…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
idpurwanto · 1 year ago
Text
Perasaan Ditolak, dan Agape
Quote ikonik dari film Eternal Sunshine (salah satu film favorit saya) yang berbunyi, “Blessed are the forgetful, for they get the better even of their blunders.” Quote ini diambil dari perkataan Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf asal Jerman yang terkenal dengan pandangannya yang sinis dalam kehidupan, terutama tentang cinta.
Jika kamu mengatakan fase tragis dalam mencintai adalah “Falling in love with people we can’t have”, maka Nietzsche sedang menertawakanmu di alamnya. Si filsuf yang penuh sinisme ini mungkin tidak percaya akan cinta sejati, selama hidupnya saja ia tidak pernah merasakan manisnya pernikahan. Pernah, sih, ia merasakan cinta ketika Nietzsche bertemu dengan seorang wanita bernama Lou Andreas-Salomé. Salomé merupakan novelis sekaligus ahli psikoanalisis yang menjadi primadona di antara para pemikir dan akademisi pada saat itu. Hingga suatu ketika Nietzsche menyatakan rasa cintanya pada Salomé, namun perasaannya tak disambut baik oleh Salome. Salome tidak memiliki perasaan spesial ke Nietzsche. Penolakan terakhir Salome pada Nietzsche bahkan lebih tragis, Salome mau menerima lamaran Nietzsche namun dengan syarat Nietzsche mengizinkan dirinya untuk menikah dengan Paul Ree, sahabat Nietzsche. Tentu si filsuf pencuriga yang pernah berucap "The demand to be loved is the greatest of all arrogant presumptions,” ini kecewa pada Salome, tetapi berusaha untuk tetap tidak menjadi egois sesuai dengan ucapannya.
Kekecewaannya ia luapkan dalam karya-karya bukunya. Ia memaki-maki Tuhan, menuliskan rasa ketidakadilan, kesepian, kepedihan, dan kegetiran. Sampai akhirnya Nietzsche meninggal dalam perasaan kesepian.  
Cinta kadang memang sepelik itu. Jika cintanya tak terbalas, perasaan seakan menemui jalan buntu. Namun tidak bagi filsuf Yunani Kuno yang bernama Plato. Menurut Plato, cinta sejati seharusnya memang tidak perlu diungkapkan, cinta sejati itu tak terbahasakan, mungkin bahasa mudahnya adalah mencintai dalam diam, itulah cinta sejati. Baginya, kalau perasaan cinta itu sudah diungkapkan maka itu sudah tidak murni lagi. Andai Plato hidup di jaman sekarang dan muncul di thread akun menfess Twitter, lalu berani beropini seperti itu, sudah pasti ia diserang oleh kelompok pendukung confess yang progresif.  
Tidak perlu memperdebatkan opini jelek Plato tadi, toh Plato semasa hidupnya hingga akhir hayatnya ia belum pernah menikah. Namun, jika opini Plato dilanjut lebih dalam lagi, ada benarnya juga. Cinta itu soal perspektif bagaimana orang memandang, baginya konsep cinta itu ada dua, yaitu: eros dan agape. 
Menurut Plato, eros adalah bentuk cinta yang bersifat fisikal. Eros cenderung mengacu pada cinta fisik, seksual, dan status merasa memiliki yang tinggi. Dengan didorong rasa emosional itu, eros dapat dianggap sebagai bentuk cinta yang individualistik dan egois karena fokusnya pada kepuasan pribadi dan pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Cinta jenisi ini biasanya sangat mengharapkan timbal balik. Jika kasusnya adalah cinta ditolak, maka seseorang yang di fase eros ini akan menghilang dari kehidupan orang yang menolak cintanya. Sebab cinta jenis ini mengacu pada fisik, seksual, dan rasa memiliki yang tinggi, maka dapat dikatakan orang seperti ini hanya memuaskan nafsu sesaat daripada mencintai secara utuh.
Sementara itu, Agape adalah bentuk cinta yang paling tinggi dan lebih suci menurut Plato, karena bentuk cinta ini mempromosikan kebahagiaan dan keadilan bagi semua orang (tidak, Plato bukan sosialis). Agape adalah bentuk cinta yang tak terbatas, paling murni, dan tanpa syarat. Dalam fase ini, ia tidak peduli dengan kualitas atau kekurangan yang ada di dalam pribadi orang lain (cakep-jelek, baik-buruk, kaya-miskin, pengertian-atau tidak, dll). Berbeda dengan eros yang cenderung berharap timbal balik dari yang dicintainya, agape tidak pernah mengharapkan timbal balik, tidak pernah merasakan kekecewaan pada orang yang dicintainya. Ia benar-benar bentuk cinta yang otentik dan tulus. Ia mampu keluar dari ego pribadinya, sebab yang terpenting baginya adalah kebahagiaan untuk orang tersayang. 
Orang yang berada di fase agape tidak akan marah, dendam, apalagi memaksa apabila cintanya ditolak. Jangankan cintanya ditolak, individu yang memiliki cinta agape lebih memandang cinta itu tak perlu diungkapkan; tak terbahasakan; mencintai dalam diam, persis seperti arti cinta sejati yang dimaksud oleh Plato. Sebab mengungkapkan cinta itu artinya ia sudah memberi beban kepada orang lain untuk membalas perasaannya.
Kalau ingin mengetahui bagaimana rasanya mencintai dalam fase agape, dengarkanlah lagu berjudul “Bukan Cinta Manusia Biasa” milik Dewa 19. Cobalah, setelah ini dengarkan liriknya dengan khidmat dan renungkan apakah kamu mencintai dengan jenis cinta yang tulus dan tak bersyarat seperti agape atau hanya sebatas cinta fisik dan seksual seperti eros. Bila tak suka lagu lokal, saya sudah menyiapkan lagu versi barat yang merepresentasikan cinta tak terbalas; hanya bertepuk sebelah tangan. Judul lagunya “Love Stinks” dari The J. Geils Band.  Pada kutipan liriknya: 
"You love her, But she loves him, And he loves somebody else.."
Sebentar … kok rasanya lagu ini lebih mewakili perasaan si filsuf pencuriga, Nietzsche, karena liriknya yang menggambarkan seseorang yang mencintai dengan wanita yang disukainya, tapi wanita itu memilih orang lain (Paul Ree), dan berakhir kecewa, seperti lanjutan keseluruhan liriknya. Yes, persis yang dialami Nietzsche: cinta tak terbalas; kesepian; mengharapkan timbal balik. Timbang agape, lagu ini malah contoh dari cinta sebatas eros.
Merasakan cinta memanglah menyenangkan, menantang, kadang-kadang berbahaya, dan memacu adrenalin. Meskipun demikian, orang akan tetap menikmati jatuh cinta, sebagaiamana liminal time. Liminal time adalah periode transisi ketika kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya setelah menyatakan perasaan cinta. Kita harus siap menerima apapun keputusan yang diambil oleh orang yang kita cintai. Namun, yang terpenting adalah kita harus belajar untuk tidak menjadi seperti Nietzsche dalam memahami cinta, dengan merasa kesepian, kecewa yang berlebihan, dan selalu mengharapkan timbal balik.
0 notes
fikramlolahi15 · 1 year ago
Text
𝗦 𝗔 𝗝 𝗔 𝗞_𝟭𝟮𝟲 ✍️
Sekeping jiwa yang terluka, menyelimuti sisi hati yang berdarah.
Keagungan setia yang ia puja, pupus jua terbakar gelak dusta,
Ceria dunia juga canda bumi, tak menghibur dirinya yang kecewa, ia larut dalam derita, melebur bersama bilur-bilur duka,
Lalu belajar mencipta jejaring kehancuran diri, meraya akbar, nestapa dan badai melanda diri, mengecami takdir hidup, memaki mencoba tuk mengencingi bibir realitas, menampar wajah lesu penuh tabu, menguak digengaman awan kelabu, diseretnya tungku harapan di perapian hati, dibangunnya sebuah monument penuh galau.
Inilah akhir episode diri yang latah itu, mewujud dalam bingkai narasi.
FiKT!F nan KAKU. Tak berucap. Seperti laron yang mengitari bias cahaya redup, dia pun berkelana, menerobos ruang penuh maya, tanpa harap apalagi senyuman.
Selendang kasih yang dulu membaluti hatinya, sobek tersayat belati dusta, diratapi kebahagiaan penuh sinisme, dibiarkan pemberontakan diri dihelat sesak, namun keakuannya adalah keakuan semesta, siklusnya tetap menuju awal ☯
#Coretantetelawas
#Motivasi #Inspirasi #Quotes #Katabijak #Nasihat #kehidupan #sajak #puisi
Picture by Google
Tumblr media
0 notes
rausule · 1 year ago
Text
Diògene Laerzio
Afrkaans skrywer wie se naam, oorsprong (dalk van Laertes in Silicië) en tydperk (maar waarskynlik rondom die middel van die 3de eeu nC) onseker is. Van hom het ons 'n versameling van die lewens van die mees roemryke filosowe ontvang, wie se titel onseker is. Sy werk is saamgestel uit 'n voorwoord, waarin die geskiedenis van die oorsprong van die filosofie onder die oudste volke gemaak is, en uit tien boeke met biografieë, van die antieke wyses tot Epicurus. Die werk, 'n versameling staaltjies en nuus, dikwels morsig en onaangenaam, is egter van groot nut vir die hoeveelheid materiaal wat dit beskikbaar stel. Die waarde van die nuus moet van tyd tot tyd vasgestel word op grond van die bronne waaruit dit geneem is. Dit is egter seker dat die werk van D. L. die eeue-oue werk van dossiere, biograwe en skrywers van "opvolgings" verenig. Om terug te keer na vorige klassifikasies, onderskei D. L. twee hoof filosofiese strominge: Ionies en kursief. Die Ioniese een begin by Anaximander (Talete is ingesluit onder die Sewe Sages) en bereik Sokrates deur Anaximenes, Anaxagoras en Archelaus; hier verdeel dit in drie takke, waarvan die eerste, vanaf Plato, deur die geskiedenis van die Akademie, Clithomachus bereik; die tweede, vanaf Antisthenes, deur sinisme en stoïsisme, bereik Chrysippus; die derde, vanaf Plato, deur Aristoteles, bereik Theophrastus. Die Italiaanse stroom, daarenteen, begin by Pythagoras, en bereik deur Eleates, atomiste en skeptici Epicurus, aan wie die tiende boek opgedra is en van wie D. L. drie bekende briewe bewaar het.
Dr De Beer
0 notes
wehaveeverythinggreat · 2 years ago
Text
On Waymond Wang
Hari ini (Senin, 13/03/2023) seorang aktor bernama Ke Huy Quan mendapatkan piala Oscar pertamanya untuk kategori Best Supporting Actor dalam perannya sebagai Waymond Wang di film Everything Everywhere All At Once (selanjutnya akan disingkat EEAAO).
EEAAO memang sudah banyak menuai pujian dari penonton hingga kritikus kawakan. Maklum saja, film berbudget rendah ini memang mampu menghadirkan sesuatu yang remeh sekaligus intens dari segi tema, visual hingga pemilihan karakternya. Di luar kualitas akting dan ide cerita yang segar,  dalam tulisan kali ini saya akan spesifik membahas tentang kehadiran karater Waymond Wang dan kenapa kemenangan-nya dalam Oscar patut dirayakan.
Hal pertama yang mindblowing dari karakter Waymond Wang adalah bagaimana dia bisa menjadi simbol maskulin sekaligus subversif dalam plot cerita. Ketika kita bertemu dengan Waymond, kita akan disuguhkan dengan karakter pria yang kekanak-kanakan, lembut dan naif. Bapak-bapak minderan yang sedang di ambang perceraian dengan istrinya, Evelyn. Sifat seperti ini sering diasosiasikan sebagai penggambaran karakter pria lemah dalam layar Hollywood. Sang sutradara memang berniat menjadikan Waymond sebagai karakter “beta male” yang bertransformasi menjadi protagonis utama. Sangatlah tidak lazim kita dengan transformasi karakter seperti itu. Kebanyakan plot protagonis utama adalah bagaimana seseorang dengan keterbatasan kemampuan kemudian menjelma menjadi kuat/agresif seiring konflik yang ada. 
Yang membuat Waymond berbeda adalah bagaimana sang penulis membuat Waymond menjadi protagonis tanpa membuat arc di dalam transformasinya atau bahkan dia tidak bertransformasi sama sekali. Waymond tidak latihan keras seperti Rocky Balboa, disengat laba-laba radioaktif seperti Peter Parker atau mampu mendominasi sepert Marty McFly dengan Delorean-nya. Yang dilakukan Waymond adalah dia tetap menjadi karakternya dari awal hingga akhir film. Secara penulisan plot, hal tersebut sangatlah tidak mungkin. Bagaimana kita bisa menulis sebuah cerita dengan karakter yang tidak bertransformasi sepanjang film? Jawabannya adalah dengan menjadikan cerita di dalam penulisannya beradaptasi dengan Waymond yang “baru”, seperti apakah itu?
Sebelum membahas lebih jauh bagaimana itu terjadi, mari kita rekap bahas dulu bagaimana Hollywood kerap menggambarkan beta dan alpha male secara gamblang. Beta male atau laki-laki yang tersingkirkan digambarkan sebagai laki-laki lemah yang cenderung pengecut, pasif dan menghindari konflik. Ketika memasukan kritera beta male dalam relasi suami-istri, si beta male ini juga tidak jarang digambarkan sebagai figur komedi yang dijadikan bulan-bulanan.
Walaupun di pertengahan film kita disughi transformasi Waymond dari universe lainnya, dimana Waymond yang ini sangat bertipe alpha-male tapi kita tahu pada akhirnya EEAAO bukanlah film dengan arc yang biasa-bisa aja. Alih-alih mengubah Waymond menjadi alpha-male sepenuhnya, penonton malah diberi perspektif lain soal Waymond. Sepanjang film akhirnya kita sadar bahwa Waymond bukanlah lelaki pasif yang menghindari konflik, tapi dia justru menyelesaikan konflik dengan caranya. Apa yang berubah? Cara pandang penonton yang ditempatkan dalam PoV Evelyn membuat kita melihat Waymond dalam sosok yang baru. 
Dari bagaimana dia membujuk petugas pajak, sampai dialog heartbreakingnya soal perceraian dengan Evelyn. Dia tahu apa yang dia mau dan melakukannya sepanjang film, hanya saja dia tidak melakukan dengan cara alpha-male pada umumnya. 
Pesan Waymond soal “be kind” betul-betul termanifestasi dalam setiap adegan, dialog dan empati yang ditunjukan sepanjang film yang mana menuntun kita menuju Business Waymond. Tokoh Business Waymond ini berbicara kepada penonton seperti dia berbicara kepada Evelyn. Dalam third act ini pula kita mendapatkan kalimat gombalan memorable (sekaligus overused) tentang laundry dan tax. 
Tumblr media
Waymond adalah representasi anti-sinisme dimana dunianya penuh dengan keoptimisan dan harapan yang digambarkan dengan googly eyes dalam film. Ketika akhirnya Evelyn berhasil mengadopsi perspektif Waymond, tone film berubah 180 derajat. Dari yang tadinya standard film action dimana masalah akan selesai dengan kekerasan menjadi ada cara yang lebih baik untuk menyelesaikan konflik, kekerasan bukan salah satunya. Sehingga di akhir film kita bisa melihat bahwa bukan Waymond yang yang bertransformasi menjadi jagoan, tapi kita para penonton yang akhirnya mengerti sudut pandang dari seorang Waymond.
What results is a complete reconception of the modern male lead: Waymond, or any character, doesn’t have to be reduced to any one thing—just like white male leads never have to be limited to one specific characteristic. He can be anything and everything all at once.
1 note · View note
tumbletumula · 2 years ago
Text
Anthony Eden en Guy Mollet 1. die aggressie teen Egipte.
Tumblr media
Anthony Eden en Guy Mollet 1. die aggressie teen Egipte na Egipte, met die instemming van die Israeliese regering End 1 Koloniale Republiek van Afrika IV Franse Republiek was die voorganger Liberté, Égalité, Fraternité. In sy invloedsgebied het die Verenigde State natuurlik sy reg om in te gryp as onbetwis beskou. Net twee jaar voor die Hongaarse rewolusie, in Junie 1954, het die nuwe president Eisenhower die "bevryders" (huursoldate) van Castillo Armas Guatemala laat inval en die wettige regering van president Arbenz Guzmàn verdryf wat skuldig is aan die belange van United Fruit Company. Maar, met betrekking tot Oos-Europa, was nie-ingryping die enigste moontlike keuse, die alternatief was 'n nuwe oorlog in Europa. Die sinisme van ’n propaganda wat eerder net ernstig opgeneem kon word aan die ander kant van die heining wat Europa verdeel het, staan ​​uit. Hoe die streng reëls van Realpolitik al die stappe bepaal het wat deur die protagoniste van daardie onvergeetlike verhaal geneem is, is selfs meer duidelik as mens in ag neem dat daar inteendeel 'n vinnige en harde reaksie van die Verenigde State van Amerika was, en dit was deurslaggewend, teen die Anglo-Franse landing by Port Said, geneem op dieselfde dag as die Sowjet-inval in Hongarye. Die VSA kon nie bekostig om die Midde-Ooste te “verloor” om die ou kolonialisme van sy bondgenote te verlustig nie. Anthony Eden en Guy Mollet, onderskeidelik Britse eerste minister en Franse regeringshoof, konserwatief die eerste, sosialisties die tweede - wat al maande lank die aggressie teen Egipte voorberei het, in ooreenstemming met die Israeliese regering, en toe die grootste fout gemaak het van die nie 'n maklike storie - hulle moes hul hoofde buig en roemloos onttrek. Vir Engeland was dit die einde van alle imperiale ambisies; vir Frankryk was dit die voorganger van die einde van die IV Republiek. Die USSR was in plaas daarvan in staat om die oorlog in Hongarye voort te sit en dit te wen, na weke se gevegte, wat 'n politieke elite wat as betroubaar beskou word, weer aan bewind gebring het.
0 notes
shofwankarim2 · 2 years ago
Link
0 notes
nithhaiahh · 2 years ago
Text
With her legs in the air, lying on the floor that was slowly being covered in water, Nith raised a hand and in a very calm manner greeted the little girl:
"Hello Annie, hello Tibbers!" -is what she managed to say before the fabric of her dress fell over her face, although even so the witch was so comfortable that she preferred not to lift a finger.
"We had a little accident but don't worry, nothing serious happened." She really meant it in a good way, although it sounded more like sinism to pull Agoros into the accident that was only Nith's fault. And that statue was important to her, but well, she was partly responsible for bringing the money to the mansion thanks to her potions, so, it was partly the witch who bought the ice or paid for the water.
From here @nithhaiahh
"Fright Night/Bewitching au"
Agoros wiped the sweat off her brow as she took a step back from the crafting table. The sculpture was finally completed!
The creature felt proud of the progress she had made both in her art and to herself. When she first came here, at the Monster House, she was as anxious as a bird learning to fly for the first time, but with the help of Mother Glasc, she got back in her own footing.
Speaking of Glasc, this sculpture was of her. An ice statue of great detail, meant as a present. It was-
Suddenly, a rattling could be heard, shaking the floorboards. It took a moment to reach Agoros, who upon realisation jumped forward to hold the ice sculpture, so it wouldn't fall from its place.
The culprit rose from the ground from a misty cloud of opal smoke, and the construct lightly frowned at the witch.
"Miss Nith, you almost ruined another art piece!"
18 notes · View notes
nikoprioni · 5 years ago
Text
#RamadhanInspirasi “Mengharap Semua Suka”
Pernah mendengar kisah klasik tentang seorang lelaki beserta anak lelaki dan keledai barunya? Ya, kisah mahsyur dari jazirah Arab ini melegenda untuk menjelaskan kepada kita perihal memandang sinisme dari orang lain.
Syahdan, seorang lelaki tua beserta anak lelakinya membeli keledai baru di pasar. Dalam perjalanan pulang, mereka melewati beberapa kampung.
Usai membeli keledai baru itu, lelaki tua ini meminta anaknya untuk menaiki keledai baru tersebut. Saat melewati kampung pertama, mereka mendengar orang-orang mencibir,
“Sungguh anak yang kurang ajar, Ayahnya dibiarkan menuntun keledai sedangkan ia dengan nyamannya duduk di atas keledai tersebut.”
Si anak pun jengah. Ia meminta Ayahnya untuk menurunkannya. Dan memohon agar gantian, ia yang menuntun dan Ayahnya yang duduk.
Di kampung kedua, mereka mendengar orang-orang berkata,
“Wah Ayah yang tak tahu belas kasihan. Anak lelakinya ia biarkan menuntun, sedang ia dengan nyaman duduk di atas keledai.”
Merasa tidak nyaman, si Ayah pun turun. Walhasil mereka berjalan di kampung ketiga dengan menuntun keledai yang tidak dinaiki tersebut. Di kampung ini, orang-orang berkata,
“Dasar bodoh. Sudah membeli keledai baru kok tidak dinaiki.”
Kuping mereka pun panas mendengar cibiran orang-orang. Si lelaki tua meminta anaknya naik ke atas keledai, dan ia pun segera menaiki juga. Walhasil dua orang tersebut naik ke atas keledai. Melewati kampung keempat, mereka mendengar orang-orang berkata,
“Sungguh tak tahu diri. Keledai kecil seperti ini dinaiki berdua. Tidak berperikehewanan!”
Merasa frustasi dengan omongan orang-orang, lelaki tua itu turun dan meminta anaknya turun. Mereka berdua kemudian membopong keledainya dan melewati kampung kelima. Orang-orang berteriak,
“Dasar orang gila, keledai bukannya dinaiki malah dibopong!”
Lelaki tua itupun menurunkan keledai tersebut dan berkata pada anak lelakinya. Kalimat ini adalah mutiara berbahasa Arab yang sangat terkenal,
“Inna ridhonnass ghoyatun laa tudrok.”
Bahwa sesungguhnya berusaha membuat semua orang ridho atau suka sama kita itu adalah sebuah ghoyatun laa tudrok. Harapan, cita-cita yang mustahil kita capai.
Tidak mungkin kalau kita mengharap semua orang suka sama kita. Pasti akan ada yang mencibir, membenci, dan mencaci. Ada orang-orang yang suka dan ada juga yang tidak. Sunnatullah yang tak perlu dirisaukan.
“Selama kau dipuji dan dicinta Yang Di Langit, jangan takut dibenci yang di bumi.”
Selama kita dibenci karena kita kita melakukan kebaikan dan membela kebenaran, tenang saja. Khawatirlah kalau kita dibenci karena sifat buruk dan perilaku jelek kita. Tapi kalau kita baik-baik saja, dan ada yang tidak suka, woles saja.
Manusia paling mulia pun dicaci, diejek, bahkan dianggap gila. Rasulullah, manusia paling mulia itu, dicaci, dilempari batu, diusir, dan diteriaki gila.
Kita siapa, minta semua orang suka?
Selama berpuasa, Sahabat. Jangan tumbang dengan cacian, dan jangan terbang karena pujian! Haters gonna hate.
1 note · View note