#psbb personal
Explore tagged Tumblr posts
Text
whenever i post anything personal on here i completely forget it's coming from an account named after an everything everything cricket pun with a nat sciver-brunt and alice capsey profile pic. what a life.
9 notes
·
View notes
Text
i love this small dog. she would be miffy's friend i think.
#oversharing in the tags#psbb personal#i remember being like 11 and “realising” i was going to have to diet for the rest of my life and feeling so overwhelmingly tired and sad#anyway now i'm hot and transgender and i eat what i want#thank you This Nice Dog for reminding me of this
2K notes
·
View notes
Text
Menjelang dua puluh lima
Dulu, saat masih di tahun terakhir bangku sma, aku pernah menuliskan target capaian hidupku dari masuk kuliah hingga 20-30 tahun kedepan. Kenapa aku masih ingat dengan hal tersebut? Karena aku memotretnya, dan tidak sengaja aku melihat foto tersebut, kubaca ulang beberapa bulan ini. Tentu saja aku tertawa geli melihat roadmap hidupku yang dirancang oleh gadis belia umur 18 tahun itu.. sisi lain, aku salut dengannya karena dia sangat berani bermimpi, walau pengetahuannya tentang dunia pasca kampus sangat terbatas.
Berikut target yang ditulis gadis lugu itu saat usia 18 tahun: Lulus kuliah 3,5 tahun IPK di atas 3,5 cumlaude Skripsi A Setelah S1 langsung S2 di UI atau UGM dan lulus cumlaude Di umur 24 menikah
Bagaimana? Mbanyol bukan? Wkwkwkw Tentu saja yang terjadi kenyataan hidupku tidak semulus demikian. Banyak sekali ketakutan, kegagalan, dan plot twist kehidupan yang terjadi.
Kenyataannya aku justru mengalami: -aku lulus 4 tahun 3 bulan -lulus dengan IPK ngepres 3,5 wkwkw -skripsi tetap A tapi ini dengan penuh perjuangan, karena harus wawancara berbagai stakeholder saat karantina wilayah (PSBB) pandemi covid19 yang sedang tinggi. -ada beberapa kali sesi patah hati yang menguras energi wkwkkw, tapi juga membuatku bangkit dan sadar bahwa aku bisa membahagiakan diriku sendiri. Aku tetap bisa bersinar dengan atau tanpa orang lain. -sebelum lulus sempat merasa hampa dan hilang arah apakah ingin menjadi pekerja sektor publik, bekerja di bidang swasta, menjadi peneliti kebijakan publik, atau bekerja di bidang lembaga swadaya masyarakat/yayasan. -setelah lulus aku sempat merasa hopeless karena NGO atau perusahaan incaranku menolakku berkali-kali, mentok hanya sampai sesi wawancara. selama mengalami masa penolakan pekerjaan inilah sebenarnya mentalku sedang di posisi terendah.
Aku berusaha keras membangun rasa berharga diriku bukan dari pekerjaan dan gajiku, tapi apa yang bisa kulakukan untuk sekitarku dan bagaimana diriku bisa tetap memaksimalkan potensi. Saat itulah aku mengisi waktuku dengan mengajar les, mengikuti berbagai kelas online dan offline, aktif di berbagai komunitas, semata agar aku bisa menemukan rasa cukup dalam diri, perasaan bahwa aku berharga dan layak untuk menggapai mimpi-mimpiku meski jalanku terjal sekalipun.
Sekarang usiaku mendekati 25, belum menikah, belum S2, sedang menjalankan tugas sebagai relawan guru Indonesia Mengajar (biasa disebut Pengajar Muda) di ujung Kalimantan Barat selama satu tahun. Dann, di tengah penugasan ini ternyata aku mengalami kecelakaan, yang membuatku harus meninggalkan kabupaten penempatanku beberapa saat dan kembali ke kota asalku untuk operasi dan pemulihan…
Bagaimana rasanya? Tanyaku pada diri sendiri… Bagaimana memperjuangkan mimpi yang ternyata banyak likunya, banyak nangisnya. Berkali-kali merasa insecure dan ga berharga karena merasa banyak banget menghadapi kegagalan dan penolakan.
Bukan, bukan maksudku mendramatisir merasa jadi manusia paling berjuang, yang ingin kubagikan adalah, perjalanan hidup seseorang itu sangat personal, bisa jadi lintasanku tidak seterjal lintasanmu, begitupun sebaliknya. Namun tidak menjadikan apa-apa yang telah kita perjuangkan tidak berharga, tidak layak untuk dihargai. Kita bisa berbagi cerita satu sama lain atas apa yang telah kita lalui, bukan untuk dinilai siapa yang lebih berjuang. Melainkan agar kita bisa saling menguatkan, saling memberi petunjuk dengan empati.
Hal berharga yang kupelajari setelah 7 tahun lulus dari SMA; dunia ga harus berjalan sesuai dengan apa yang ada di kepalaku, dan itu bukanlah hal yang buruk. Aku belajar memberikan ruang penerimaan untuk mengalami kegagalan dan kesedihan atas apa-apa yang tidak berjalan sesuai harapan, meski aku sudah memberikan yang terbaik atas usahaku.
Perlahan rasa cukup itu mulai menghampiri, aku ga harus buru-buru untuk mengejar pencapaian. Karena definisi kesuksesanku sekarang tidak hanya pencapaian, melainkan perjalanan belajar itu sendiri. Bagaimana perjalanan ini membentuk diriku yang lebih tangguh, lebih tenang, lebih mawas diri, dan fokus pada memberikan dampak sekecil apapun itu..
25 notes
·
View notes
Text
PSBB Gerugambakkam Admissions Unveiled: Fees and Process
Padma Seshadri Bala Bhavan (PSBB) schools are renowned for their commitment to academic excellence and holistic education. Among the various branches, PSBB Gerugambakkam stands out for its state-of-the-art facilities and innovative teaching methods. This article delves into the details of PSBB Gerugambakkam admissions, including fees and the admission process, to provide prospective parents and students with a comprehensive understanding.
PSBB Millennium School Gerugambakkam: An Overview
PSBB Millennium School Gerugambakkam is part of the esteemed PSBB Group of Schools, known for its legacy of providing quality education. Located in a serene and expansive campus in Gerugambakkam, Chennai, the school offers a conducive environment for learning and development. With a focus on nurturing well-rounded individuals, the school incorporates modern educational practices while preserving traditional values.
PSBB Gerugambakkam Admissions
Admission Process:
The admission process at PSBB Gerugambakkam is designed to be transparent and straightforward. Here is a step-by-step guide to the process:
Application Form: Interested parents can obtain the application form from the school office or download it from the official website.
The form must be filled out accurately and submitted within the stipulated time frame.
Eligibility Criteria:
Admissions are open for various grades, from Pre-KG to higher classes.
Age criteria must be met as per the guidelines specified by the school for each grade.
Submission of Documents:
Along with the application form, parents need to submit necessary documents such as birth certificate, proof of residence, and previous academic records (if applicable).
Interaction and Assessment:
For younger children, there is usually an informal interaction with the parents and child.
For higher grades, an entrance test may be conducted to assess the student’s academic abilities.
Selection and Intimation:
Based on the interaction or test results, selected candidates will be intimated via email or phone.
Parents are required to confirm the admission by paying the necessary fees within the given deadline.
PSBB School Fees
Fee Structure:
The PSBB school fees are structured to reflect the high-quality education and facilities provided. Here is a general overview of the fee components:
Admission Fee: A one-time fee payable at the time of admission.
Tuition Fee: Payable annually or term-wise, covering the cost of academic instruction and basic facilities.
Other Fees: This includes charges for extracurricular activities, laboratory fees, library fees, and other miscellaneous expenses.
PSBB Millennium School Fees
The PSBB Millennium School fees are in line with the quality of education and the extensive resources available to students. While exact figures can vary year to year, it is advisable to contact the school directly or visit their official website for the most accurate and up-to-date fee structure. Scholarships and financial aid may be available for meritorious students or those in need of financial assistance.
Facilities and Curriculum
PSBB Millennium School Gerugambakkam offers a well-rounded curriculum that includes academics, sports, arts, and various extracurricular activities. The school is equipped with modern classrooms, science and computer labs, a well-stocked library, sports facilities, and more. The emphasis is on fostering critical thinking, creativity, and overall personality development.
Conclusion
Choosing the right school for your child is a crucial decision, and PSBB Gerugambakkam offers an excellent environment for nurturing young minds. The transparent admission process, reasonable PSBB school fees, and comprehensive educational approach make it a sought-after institution for parents seeking quality education for their children. For detailed information on the PSBB Millennium School fees and the latest updates on admissions, it is recommended to visit the school’s official website or contact the admissions office directly.
#Psbb Gerugambakkam#Psbb Millennium School#Padma Shesadri Bal Bhavan Admisssion#Psbb School in Chennai#Psbb Millennium CBSE School#Best CBSE School in Gerugambakkam
0 notes
Text
PSBB Gerugambakkam: Unveiling Excellence
PSBB Gerugambakkam stands as a beacon of educational excellence, embodying a rich legacy of nurturing young minds and fostering holistic development. Situated in the serene locality of Gerugambakkam in Chennai, this institution has earned a stellar reputation for its unwavering commitment to providing a transformative learning experience.
At the heart of psbb millennium school gerugambakkam philosophy is a belief in nurturing not just academic prowess but also character, values, and life skills essential for success in the modern world. The school’s vision is to create well-rounded individuals who are not only academically proficient but also compassionate, creative, and socially responsible.
One of the key aspects that sets padma seshadri school admission apart is its comprehensive curriculum that integrates academic rigor with experiential learning. The curriculum is designed to stimulate critical thinking, problem-solving abilities, and creativity among students. It encompasses a wide range of subjects, including languages, sciences, mathematics, humanities, arts, and physical education, providing students with a well-rounded education that prepares them for diverse career paths.
The faculty members at PSBB school in chennai are not just educators but mentors and facilitators who inspire and guide students on their educational journey. With their expertise, dedication, and passion for teaching, they create a nurturing and stimulating learning environment where students can thrive and reach their full potential.
Beyond academics, PSBB Gerugambakkam places great emphasis on co-curricular and extracurricular activities. Students have opportunities to participate in sports, arts, music, dance, drama, debates, quizzes, community service initiatives, and more. These activities play a vital role in fostering creativity, teamwork, leadership skills, and overall personality development.
The infrastructure and facilities at PSBB Gerugambakkam are designed to enhance the learning experience and cater to the diverse needs of students. State-of-the-art classrooms, well-equipped science and computer labs, a library stocked with a vast collection of books and resources, sports facilities, auditoriums for cultural events, and dedicated spaces for art and music contribute to a vibrant and conducive learning environment.
PSBB Gerugambakkam’s commitment to excellence extends beyond the classroom walls. The school encourages parental involvement, collaboration with the community, and partnerships with industry experts to enrich the educational experience and provide students with real-world exposure and learning opportunities.
In essence, PSBB Gerugambakkam is not just a school but a nurturing ground where excellence thrives, values are instilled, and futures are shaped. It continues to inspire generations of students to dream big, explore their potential, and contribute meaningfully to society, truly unveiling excellence in education.
#psbb gerugambakkam#psbb millennium school gerugambakkam#psbb school in chennai#best public school in Amritsar
0 notes
Text
Unraveling the Top 10 CBSE Schools in Chennai: A Guide for Aspiring Parents
Choosing the right school for your child is a momentous decision, and navigating the landscape of educational options can be overwhelming. If you're seeking a top-tier CBSE education in Chennai, look no further! This curated list showcases the top 10 CBSE schools in Chennai, each distinguished by its academic excellence, holistic approach, and vibrant learning environment.
1. Chettinad Vidyashram: Renowned for its rigorous academics and emphasis on Indian values, Chettinad Vidyashram consistently ranks among the best CBSE schools in Chennai. Its spacious campus fosters a nurturing environment, while its diverse curriculum caters to individual learning styles.
2. Chinmaya Vidyalaya: Steeped in the Chinmaya philosophy, this school prioritizes holistic development alongside academic excellence. Its dedicated faculty and strong extracurricular program equip students with valuable life skills and a global perspective.
3. Padma Seshadri Bala Bhavan Senior Secondary School (PSBB KK Nagar): PSBB KK Nagar boasts a rich legacy of academic excellence and a commitment to social responsibility. Its state-of-the-art infrastructure and emphasis on innovation create a dynamic learning space for students.
4. Kendriya Vidyalaya, Ashok Nagar: Known for its affordable, high-quality education, Kendriya Vidyalaya provides a structured learning environment with a strong focus on national integration. Its diverse student body fosters a sense of inclusivity and cultural understanding.
5. St. Britto's Academy: This co-educational school offers a comprehensive CBSE curriculum alongside a strong emphasis on personality development. Its international exposure programs and focus on ethical values prepare students for global citizenship.
6. The Schram Academy: Renowned for its personalized learning approach and focus on critical thinking, The Schram Academy fosters a love for learning in its students. Its experiential learning methods and collaborative environment nurture creativity and problem-solving skills.
7. D.A.V. Public School, Velachery: Dedicated to the ideals of Swami Dayanand Saraswati, D.A.V. Public School fosters academic excellence alongside spiritual and cultural development. Its spacious campus and strong alumni network provide students with ample opportunities for growth.
8. Devi Academy Senior Secondary School: This co-educational school offers a holistic education with a focus on academic rigor and extracurricular activities. Its dedicated faculty and strong student support system create a supportive learning environment.
9. Maharishi Vidya Mandir: Guided by the principles of Maharishi Mahesh Yogi, this school promotes holistic development through meditation, yoga, and academic excellence. Its peaceful campus and focus on inner well-being create a unique learning experience.
10. B.V.M. Global: This co-educational school offers a world-class CBSE education with a focus on global citizenship. Its diverse student body, international collaborations, and emphasis on innovation prepare students for success in a globalized world.
Your Partner in Choosing the Best School for Your Child
Navigating this list is just the first step. To make the most informed decision for your child's future, visit School My Kids, your one-stop platform for school search and comparison. With detailed school profiles, parent reviews, and expert guidance, School My Kids empowers you to choose the perfect school that aligns with your child's unique needs and aspirations.
Start your journey towards finding the best CBSE school for your child today, and unlock their full potential with the resources and support available at School My Kids.
0 notes
Text
nanowrimo update: 22 049/50 000
#personal#ryan does wrimo#text#camp nano july 2020#man today was so much better#i was less intoxicated and i felt so much less anxious#but man writing this is giving me mad impostor syndrome#what do u mean#im in the psbb and im around all these incredible writers??? what do u mean#dadkfjk getting over myself
2 notes
·
View notes
Text
Kekerasan Terhadap Perempuan 2020
Ringkasan Catahu 2021 : Kekerasan Terhadap Perempuan 2020
Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima oleh berbagai lembaga masyarakat maupun institusi pemerintah yang tersebar di hampir semua Provinsi di Indonesia. Tahun 2020 Komnas perempuan mengirimkan 757 lembar formulir kepada Lembaga- lembaga mitranya (Komnas Perempuan) di seluruh Indonesia dengan tingkat respon pengembalian 16%. Tingkat respon pengembalian kuesioner tahun ini turun sekitar 50% dikarenakan kondisi pandemik COVID-19. Namun demikian, turunnya jumlah kasus tidak dapat dikatakan sebagai berkurangnya kasus kekerasan terhadap perempuan.
Sejalan dengan hasil survei Komnas Perempuan tentang dinamika KtP di masa pandemik, penurunan jumlah kasus dikarenakan korban tidak berani melapor karena dekat dengan pelaku selama masa pandemik (PSBB); korban cenderung mengadu pada keluarga atau diam; persoalan literasi teknologi; dan model layanan pengaduan yang belum siap dengan kondisi pandemi (belum beradaptasi merubah pengaduan menjadi online). Sehingga lembaga layanan non pemerintah atau Lembaga layanan dari masyarakat sipil pada masa pandemi ini lebih banyak didatangi daripada lembaga layanan pemerintah. Hal ini disinyalir karena lembaga layanan non pemerintah selama masa pandemi lebih bisa menyesuaikan diri.
sumber gambar : CATAHU 2021 Komnas Perempuan dan HAM
Berdasarkan data-data yang terkumpul dari Lembaga layanan/formulir pendataan Komnas Perempuan sebanyak 8.234 kasus tersebut, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah di ranah pribadi atau privat, yaitu KDRT dan Relasi Personal. KtP berikutnya adalah di ranah komunitas/publik sebesar 21 % (1.731 kasus) dengan kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55%). Berikutnya ktp dengan pelaku negara, kasus-kasus yang dilaporkan sejumlah 23 kasus (0.1 %), antara lain kasus perempuan berhadapan dengan hukum (6 kasus), kasus kekerasan terkait penggusuran 2 kasus, kasus kebijakan diskriminatif 2 kasus, kasus dalam konteks tahanan dan serupa tahanan 10 kasus serta 1 kasus dengan pelaku pejabat publik.
CATAHU 2021 menggambarkan beragam spektrum kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2020 dan terdapat kasus-kasus tertinggi dalam pola baru yang cukup ekstrim, diantaranya, meningkatnya angka dispensasi pernikahan (perkawinan anak) sebesar 3 kali lipat yang tidak terpengaruh oleh situasi pandemi.
Namun, ada hal yang berbeda dengan kasus inses. Meskipun jauh menurun di tahun 2020 yaitu sebesar 215 kasus. Kasus inses adalah kekerasan seksual yang berat, di mana korban akan mengalami ketidakberdayaan karena harus berhadapan keluarga sendiri, kekhawatiran menyebabkan perpecahan perkawinan/konflik, sehingga umumnya baru diketahui setelah inses berlangsung lama atau terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki. Kerentanan perempuan menjadi korban inses, akan semakin berlapis ketika mereka berusia anak atau penyandang disabilitas yang memiliki hambatan untuk mengkomunikasikan apa yang telah terjadi terhadapnya. Demikian pula dengan marital rape sebesar 57 kasus yang menurun. Kondisi ini disebabkan oleh pandemik Corona, dimana korban dalam lingkungan keluarga sulit melaporkan.
Dalam hal sistem rujukan yang diterapkan Komnas Perempuan, permintaan terbanyak dari korban adalah pentingnya bantuan hukum, bantuan psikis, medis dan rumah aman. Selain itu, sumberdaya terendah di lembaga layanan adalah psikolog, dan tenaga medis serta polisi perempuan. Sementara dalam hal fasilitas, paling minim adalah ruang khusus pemeriksaan serta rumah aman yang sangat dibutuhkan korban yang membutuhkan privasi dan penyelamatan diri. Tahun 2020 meskipun tercatat terjadi penurunan pengaduan korban ke berbagai Lembaga Layanan di masa pandemi dengan sejumlah kendala sistem dan pembatasan sosial, Komnas Perempuan justru menerima kenaikan pengaduan langsung, sehingga dapat dikatakan terdapat peningkatan pengaduan 970 kasus di tahun 2020. Hal ini menjadi catatan karena Komnas Perempuan bukan Lembaga yang memiliki kewenangan menangani kasus, tetapi menjadi ekspektasi masyarakat sebagai Lembaga yang dipercaya untuk mengadukan kekerasan yang dialaminya. Padahal, format pengaduan di Komnas Perempuan telah diganti dalam bentuk aplikasi form online, yang justru disisi lain mempermudah korban yang melek teknologi langsung mengadu tanpa harus datang ke kantor.
Firdayati_2043500236_KI
https://budiluhur.ac.id
1 note
·
View note
Text
i have been known to look like this…
tagging @pizzawendell @shallowtboy and @heyjudelaw again ^^
was tagged by @rosetintedgreyspaces in this picrew chain. thanks lovely :)
(here is the link to the picrew by baby_carrot_art)
i made two versions :•)
this one is so cute, i love all the options
no pressure tags; @michameinmicha @is-this-taken-too-questionmark @capitaen @sillygooseness @lalalenii @padmedala
43 notes
·
View notes
Text
9 people you want to know better (tag game)
graciously tagged by @wateryblasts and @blueberry-beanie
Last song?
Here Comes The Hotstepper - Ini Kamoze. One of those songs you remember exists every 6 months because it gets mega stuck in your head. It will also always remind me of cricket because of john oliver and andy zaltzman singing it on an episode of the bugle probably a decade ago now.
Currently watching?
Rare for me to have an answer for this cos I suck at sticking to long form content, but i do! Mobile Suit Gundam: The Witch From Mercury (or G-Witch if you’re in a hurry). This show has reminded me a) how much i love mechs, b) how dangerous 23 minute episodes are, they are EXACTLY the length that i can binge for Hours (and c) how embarrassing it is to watch anime without headphones, especially one with a teen girl protag)
Currently reading?
Technically still Hot Milk which i posted about the other day but it sucks so bad that i haven’t picked it up in a few days and i don’t know if i can be arsed to finish it. As soon as I post this, though, I’m going to start The Last Blade Priest by W P Wiles which looks, as C put it, so fucking genre.
Current obsession?
Given that two weeks ago I couldn’t have named anyone other than sophie ecclestone and nat sciver (didn’t know she was married and would’ve pronounced it Sy-ver), and now i’d die for amy jones and alice capsey, amongst others, let’s say (English) women’s cricket. honourable mention to alison rumfitt and her writing.
In my traditional role bridging the world between band weirdos and sports weirdos, let’s hear from @tiredgayloser @musingsofadisastergay @knockmeforsix @airbrushfather @shallowtboy @saintsnlancs and @stroyent
7 notes
·
View notes
Text
Dalam Kepungan Pandemi: Meditasi Bersama Buku dan Indonesia yang Lebih Baik
Lebih dari seratus tahun lalu, pandemi gigantis pernah memporak-porandakan masyarakat dunia. Akibatnya, jutaan orang di Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Australia menggelepar dengan meregang nyawa. Pagebluk itu dalam sejarah dikenal sebagai wabah Flu Spanyol.
Sejarah itu berulang, kata Karl Marx seorang filsuf penganjur Marxisme. Mula-mula tragedi, selanjutnya menjadi banyolan. Nyatanya, seratus tahun setelah itu, wabah semacam flu kembali menerjang dunia hari-hari belakangan ini. Bukan sebagai banyolan, malah tragedi yang amat mematikan. Pergerakan manusia dibatasi, ekonomi tersendat, kerumunan dilarang di ruang-ruang publik. Keriuhan yang biasa terjadi tampak hening, bahkan sempat mencekam. Manusia dibuat tak berdaya menghadapi makhluk renik berukuran 125 nanometer itu.
Ya, pandemi Covid-19 atau lebih dikenal Korona belum juga usai setelah bercokol lebih dari setahun. Berawal dari Wuhan, dan sejak Maret 2020 resmi terindikasi masuk ke Indonesia. Lalu datanglah ketakutan, kecemasan, dan kesunyian. Demi memutus penyebaran virus, semua orang "dipaksa" mengurung diri di rumah. Pemerintah datang dengan beragam istilah: Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM), mungkin semacam eufemisme dari karantina.
Korona datang mengendap lalu menerkam secara membabi buta, membuat kita tak pernah siap. Bahkan terkadang-seperti ditengarai oleh Slavoj Zizek-pernah di awal-awal menghadapi Korona, kita melakukan penyangkalan, lalu kemudian tersadar, dan akhirnya mau tak mau memaksa kita mesti beradaptasi bersama Pandemi. Tatanan hidup memang belum normal seperti sebelum wabah Korona datang, atau memang jangan-jangan tak akan pernah kembali normal. Presieden Joko Widodo mengatakan, "Kita harus hidup berdamai dengan Covid-19".
Sebagai Homo Sapiens alias makhluk berfikir, manusia tak kurang akalnya. Sebagaimana mengutip ucapan seorang ahli biologi kenamaan Charles Darwin, yang berujar bahwa bukanlah yang terkuat yang bisa bertahan, melainkan yang bisa beradaptasilah yang sanggup bertahan. Beradaptasi dalam setiap keadaan adalah prosedur tetap manusia agar ia bisa terus estafet melanjutkan kehidupannya. Dan itu telah menjadi kenyataan sejarah.
Sejak terjadi penyebaran Korona secara domestik, protokol kesehatan memaksa kita agar menjauhi kerumunan, menjaga jarak, dan memakai masker jika bepergian untuk kepentingan amat mendesak. Di awal barangkali kita agak jengkel dengan segala keterbatasan yang dibuat, namun hikmah yang bisa diambil tak kurang besarnya.
Perpustakaan kecil di rumah yang kurang terjamah saat sebelum pandemi, memaksa saya kembali mencumbunya di masa adaptasi pandemi ini. Buku-buku yang telah menghuni rak berdebu itu saya sortir, saya jejerkan, dan terus saya rapikan. Buku-buku yang saya kumpulkan sejak masih kuliah ternyata ampuh untuk mengusir kesunyian akibat pembatasan sosial. Ia menjadi penawar bagi diri yang dicengkeram kesepian yang dipaksakan.
Ada sejumlah buku terbitan Gramedia Pustaka Utama (GPU) yang saya incar untuk dibaca ulang. Ada semacam rasa kangen yang menyeruak bermanja-manja dengan buku. Beberapa buku lama dan sebagian lagi buku yang terbilang baru. Buku-buku itu pernah dibaca acak. Ada yang selesai. Tak jarang juga terhenti di pertengahan dengan bermacam-macam sebab. Terdistraksi karena rutinitas atau kemalasan untuk membuka helai-helai halaman buku.
Selain motivasi personal, alasan buku-buku pilihan terbitan GPU itu dibaca ulang, juga dikarenakan temanya asyik dan konteks tulisannya tak lekang dimakan zaman.
Selama pandemi, di tengah rutinitas keseharian, meditasi bersama buku-buku sering saya lakukan. Buku-buku itu antara lain: Kata-Kata. Ditulis oleh filsuf eksistensialis asal Prancis, Jean Paul Sartre. Judul aslinya Les Mots. Diterjemahkan oleh Jean Couteau. Penerbit Gramedia menerbitkannya tahun 2000. Saya membelinya 17 Februari 2004. Buku lawas namun tetap pantas dibaca kapanpun. Isinya hanya dua bab. Bab pertama berjudul "Membaca". Bab kedua bertajuk "Menulis". Walaupun begitu, isinya "daging" semua.
Memang benar, Sarte dikenal sebagai salah seorang filsuf eksistensialis. Namun, ia juga seorang sastrawan besar. Roman dan naskah dramanya tak luput dari pemikiran filsafat yang diselipkan pada karya-karyanya.
Dalam Kata-Kata ia mengisahkan dirinya. Sartre merupakan cucu seorang pendeta. Dalam pengasuhan kakek dan neneknya, Sartre menjalani kehidupan tertutup di sebuah keluarga borjuis yang sangat terlindungi. Di tengah kesunyian itu, Sartre menikmati kemewahan yang tak bisa semua orang cicipi. Ia merasakan kebahagiaan karena dikelilingi oleh buku-buku.
Ia menulis, "Telah kuawali kehidupanku, pasti seperti aku akan menutupnya: di tengah buku-buku. Dalam kantor kakek, buku ada di mana-mana; tidak boleh dibereskan kecuali setahun sekali, menjelang dimulainya ajaran baru sekolah di bulan Oktober. Meski belum bisa membaca, aku sudah memuja buku-buku yang nampak seperti tegaknya monumen batu: entah berdiri atau miring, sesak seperti bata di rak-rak perpustakaan atau berserakan di sana sini seolah barisan menhir...Buku-buku itu kusentuh dengan sembunyi-sembunyi agar memberkati tangan-tanganku dengan debunya"
Sartre girang bukan kepalang ketika ia membaca karya-karya Fontenelle, Aristoteles, dan juga Rabelais. Di lain waktu, lewat buku-buku yang dibacanya itu Sartre "menemui" La Perouse, Magellan dan Vasco de Gama. Bahkan saking asyiknya dengan aktivitas membaca, Sartre bahkan pernah membaca ulang sebanyak dua puluh kali halaman-halaman terakhir dari novel Madame Bovary yang ditulis oleh Flaubert, pengarang Prancis abad ke-19. Sartre seperti lupa pada dunia ketika ia tenggelam berasyik masyuk dengan buku-buku di perpustakaan kakeknya.
Kecintaan Sartre pada membaca berbanding lurus dengan keinginannya buat menulis. Sartre mengarang novel pertama yang diberi judul "Pour un Papillon" 'Demi Kupu-Kupu', yang menurut sepengakuan Sartre, tema, tokoh, dan detail petualangannya, dan bahkan judulnya pun ia pinjam dari dari sebuah cerita bergambar yang sudah terbit tiga bulan sebelumnya. Sartre menulis, " Plagiat yang memang disengaja itu membebaskan sisa kegelisahan yang masih ada pada diriku: semuanya pasti benar, sebab aku tidak menciptakan apa-apa".
Sartre yang hidup dalam jejaring ekosistem ilmu pengetahuan yang bagus di Prancis, membuatnya menjadi salah seorang figur eksistensialis terkemuka. Dalam bidang sastra, ia pernah dianugerahi penghargaan prestisius Nobel Sastra tahun 1964, namun ia menolaknya.
Bagi kita, walaupun tak mesti seperti Sartre, membaca dan menulis harusnya menjadi kebiasaan rutin dan tak boleh ditinggalkan. Membaca dan menulis adalah tradisi peradaban yang harus terus digaungkan. Ia menjadi penanda dari kemajuan sebuah bangsa. Keduanya adalah pengingat agar kelampauan dan kemasadepanan mesti berjalan seimbang, supaya bangsa ini tak lupa pada asal usulnya. Sebuah bangsa yang lupa pada sejarah dan asal-usul bangsanya sendiri, niscaya akan tergagap-gagap melangkah ke masa depan.
Apalagi sampai saat ini kita sedang berjuang melawan musuh bernama korupsi yang terus mengintai sepanjang waktu. Dari yang jumlahnya trilyunan hingga recehan. Keduanya sama saja dikategorikan berperilaku korup.
Novelis keren asal Banyumas, Ahmad Tohari, pernah menulis Orang-Orang Proyek. Gramedia menerbitkannya tahun 2007. Saya beruntung membelinya pada 21 Agustus 2014 di sebuah bazar buku dengan harga miring. Buku-buku Ahmad Tohari menempati rak khusus di perpustakaan rumah kami.
Novel Orang-Orang Proyek akan selalu kontekstual karena temanya menjadi gambaran dari sepotong kehidupan keseharian. Dalam realitanya, media cetak dan elektronik hampir setiap hari memberitakan perihal korupsi beragam proyek. Sejumlah orang kemudian dicokok komisi anti rasuah. Memakai rompi oranye, dan kemudian mengaku menyesal kala diwawancara. Berulang dan terulang lagi. Tak pernah kapok dan terus seperti itu, mungkin sampai menunggu ikan bisa terbang.
Orang-Orang Proyek menempatkan Kabul sebagai tokoh utama. Ia seorang insinyur muda idealis, mantan aktivis, yang baru saja lulus dari perguruan tinggi. Saat ditempatkan di sebuah proyek, Kabul sering uring-uringan karena proyek yang dikerjakan belum mencapai target. Kabul menyadari seandainya saja kebocoran dana proyek ini bisa dihindari kalau pemerintah sebagai pemilik proyek dan para politikus tidak terlalu banyak campur tangan pada tingkat pelaksanaan. Namun sebagai pekerja biasa, Insinyur Kabul bisa apa?
Menghadap kejengkelan itu Kabul mesti berhadapan dengan atasannya sendiri bernama Insinyur Dalkijo. Dalkijo menganggap lumrah kebocoran-kebocoran sebuah proyek. Karena dengan itu ia bisa bermain dan mendapat keuntungan. "Saya tahu, dalam perhitungan yang wajar, keuntungan kita dari proyek-proyek yang kita kerjakan adalah nol atau malah minus. Tapi, ya itu tadi, kalau kita bisa bermain, nyatanya perusahaan kita masih jalan. Bisa menggaji karyawan termasuk Dik Kabul sendiri. Dan saya, he-he, bisa ganti Harley Davidson model terbaru setiap selesai mengerjakan satu proyek. Rekening pun bertambah. Jadi, apa lagi?"
Mendengar pernyataan itu Kabul pun masygul. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Sebagai insinyur, Kabul tahu betul dampak dari semua permainan dan kebocoran itu. Kualitas bangunan menjadi taruhannya, bila mutu bangunan dipermainkan maka masyarakatlah yang menjadi korban. Bangunan proyek yang tak sesuai spesifikasi dikhawatirkan akan cepat ambruk sehingga muncul banyak korban yang tak perlu.
Bagi Kabul, hal seperti ini adalah pengkhianatan terhadap derajat keinsinyurannya. Ini seperti menampar pengetahuannya belajar teknik dengan sungguh-sungguh di perguruan tinggi. "Aku insinyur. Aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan proyek ini dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin. Apakah pertama merupakan manifestasi yang kedua? Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus diplih karena keduanya merupakan hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama?"
Terdengar familiar bukan dilema semacam itu? Perilaku korup nampaknya bukan hanya milik para elit, melainkan juga penguasa-penguasa kecil yang kebetulan mendapat mandat. Ketika di luar "pagar", secara gagah berani berucap tak akan sedikit pun memakai uang rakyat, saat di dalam semua yang dikatakannya itu mendadak lupa, entah amnesia atau disengaja.
Bung Hatta telah mewanti-wanti pada tahun 1961 ketika beliau mengatakan, "Jangan biarkan korupsi menjadi kebudayaan Indonesia". Bung Hatta merupakan contoh nyata tokoh bangsa yang sesuai antara kata dan perbuatan. Hidupnya penuh disiplin dan keteladanan. Sebagai pensiunan wakil presiden sekaligus proklamator, tak ada cela saat berurusan dengan uang. Malahan sampai akhir hayatnya ia hanya bisa menyimpan foto iklan sepatu bermerk "Bally".
Ihwal korupsi, penerbit Gramedia pernah menerbitkan buku bagus. Judulnya Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi. Terbit pada tahun 2018. Karena harganya cukup lumayan, saya mesti menabung dulu untuk memilikinya. Buku itu baru saya beli di Januari 2019. Ditulis ditulis oleh B. Herry Priyono, seorang dosen di STF Driyarkara Jakarta. Beliau baru saja meninggal beberapa bulan lalu.
Sebagai karya akademis, buku ini cukup berat. Secara rinci penulisnya menelisik perilaku korupsi sejak zaman kuno, modern, hingga kontemporer. Dalam buku ini kita bisa melihat bagaimana akar-akar korupsi yang dilakukan dari masa silam hingga saat ini. Ia adalah penyakit akut yang merusak tatanan moral dan peradaban.
Barangkali keserakahan merupakan pintu pertama berperilaku korup. Pelaku korupsi tak menyadari bahwa dibalik itu tersimpan kejahatan yang merugikan masyarakat. Mahatma Gandhi suatu ketika pernah berkata, "Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhah kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir orang yang serakah"
Bagaimanapun tak ada sisi positif dari perilaku korup karena sejatinya ia merugikan hak-hak publik. Sebagaimana definisi moral dari korupsi yang diajukan kepada Oxford English Dictionary oleh Arnold Heidenheimer dan Michael Johnshon, dua otoritas dalam studi korupsi, yaitu "Penyelewengan atau penghancuran integritas dalam pelaksanaan kewajiban publik melalui suap dan hadiah; keberadaan dan pemakaian praktik-praktik curang, terutama dalam suatu negara, badan/usaha publik dan semacamnya; proses menjadi busuk secara moral; fakta atau kondisi busuk; kemerosotan atau kebusukan moral; kebejatan.
Mereka yang tega berbuat korup nampaknya telah hilang rasa cinta pada sesamanya. Erich Fromm dalam The Art of Loving: Memaknai Hakikat Cinta, yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia tahun 2005, menulis bahwa cinta paling fundamental yang mendasari semua jenis cinta adalah cinta pada sesama. Inilah jenis cinta yang dikatakan dalam kitab suci: cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri. Cinta sesama adalah cinta pada seluruh umat manusia. Dalam cinta sesama, terdapat pengalaman penyatuan dengan semua manusia, solidaritas manusia, keutuhan manusia. Cinta sesama didasarkan pada pengalaman bahwa kita semua adalah satu.
Apabila cinta yang tulus pada sesama telah merasuk dalam diri, maka ia akan menghindarkan diri dari perbuatan mengeksploitasi manusia atas manusia (exploitation de l'homme par l homme) dalam bentuk apapun.
Bukankah ini yang menjadi salah satu tujuan berbangsa dan bernegara saat pertama kali kita merdeka dulu?
4 notes
·
View notes
Link
'Usually I can earn between Rp.300,000 and Rp.800,000 (A$31 to $83) a night, just for one performance. Nowadays, since I live with my sister and have no wages, I help in her warung to show my gratitude,’ says Singgih via Whatsapp. In addition to assisting at the roadside warung in Parung, West Java, Singgih also uses his Instagram account to help his sister sell her homemade rengginang, a kind of traditional cracker. The government’s restrictions on movement and activities in response to COVID-19 have been in place since April. Fortunately, Singgih’s sister’s warung has remained open, but for musicians and other arts industry workers like him, the story is one of uncertainty and a daily struggle to survive.
Singgih, 29, is originally from Grobogan in Central Java. After graduating from the prestigious Indonesian Institute of the Arts (Institut Seni Indonesia, ISI) in Surakarta, Singgih has worked as a pengrawit or gamelan musician in Jakarta. He says before COVID-19 art performances were held in Jakarta each Saturday and Sunday, day and night. But now, ‘during social restrictions, all my job offers have been canceled or postponed. Until when, I don’t know.’
The art of playing gamelan instruments is called karawitan. The term comes from the Javanese word rawit which means intricate or finely worked. According to scholars, the music also matches this description. It is argued that the gamelan orchestra uses a more complex system than western music. The music produced by the gamelan orchestra is built from elaborate components, including both loud and soft instruments. One of the soft instruments, which adds melodic layers, is the singers’ voices. Karawitan divide the singing parts into the male singing, called gerongan, and the female singing, called sindenan.
Prior to COVID-19, the Javanese arts, especially karawitan, were flourishing in Jakarta, where the majority of residents are Javanese, and there was high demand for traditional musical performance to accompany slametan (blessing events). For Javanese, slametan are held to celebrate weddings, birthdays, circumcisions, the inauguration of a new house or building and commemoration days, among other events. Those who can afford to will rent a full gamelan orchestra and karawitan group to play. At the top end of the price scale, hosts may hold a wayangan: a performance of Javanese shadow puppets accompanied by a large karawitan group.
Who are the musicians making up Jakarta’s gamelan ensembles? Most pengrawit and pesinden (female singers) come from Yogyakarta, Central Java and East Java. Some graduated from an SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, vocational high schools for traditional arts), others from ISI like Singgih. However, the majority of pengrawit and pesinden in Jakarta are in fact self-taught. ‘Graduating from ISI doesn’t guarantee that a person can play gamelan properly,’ says Warsiah, a 50-year-old pesinden who lives in Kramat Jati, East Jakarta. ‘It takes a lifetime of learning and commitment to be a skilled artist.’
Warsiah came to Jakarta from Wonogiri in Central Java when she was just 16. She first worked selling jamu (a traditional herbal beverage) and did not begin to learn karawitan until she was in her thirties. ‘The pengrawit who heard me singing for the first time told me that my voice matched with the sound of gamelan. I felt encouraged. That’s when I began to learn properly,’ said Warsiah. She regularly attended karawitan rehearsals in Tanjung Duren, Ciledug, and Bekasi. Five years after her first encounter with gamelan, she took her first job as a pesinden.
Warsinah explained that becoming a pesinden meant she was able to leave her job as jamu seller. ‘I remember – it was the 2000s and I was booked as a pesinden every Saturday and Sunday. Imagine this! In the morning I would sing in a slametan event. Then I would go to a wedding ceremony. At night I was hired to accompany wayangan performances. I no longer had time for my business,’ says Warsiah, laughing with joy.
Pesinden are paid more than pengrawit. In recent years, for one karawitan performance in Jakarta, Warsiah is paid between Rp.700,000 and Rp.1 million. When accompanying an all-night wayangan performance, Warsiah earns Rp.1 million. This is different in her hometown. ‘Ten years ago, in my village in Wonogiri, a pesinden could be paid Rp.150,000 even for accompanying a wayangan performance from dusk till dawn.’
Singgih also thinks that his earnings in Jakarta are comparatively good. ‘Imagine this,’ he says. ‘For accompanying an all-night wayangan performance in Central Java, I get Rp.250,000 – if the event is big and the puppeteers are well known. In Jakarta, for the same effort, I can get Rp.500,000 – that’s the minimum fee for pengrawit accompanying a wayangan in Jakarta! So, I just worked on weekends and I could rest on weekdays.’ PSBB
On 10 April, the Jakarta governor Anies Baswedan issued social distancing regulations for an initial period of two weeks. The large-scale social restrictions, or PSBB, were then extended into June. Violations of PSBB carry penalties, including for not wearing face masks in public spaces.
With restrictions on social and cultural activities, the possibility of being paid to perform on stage disappeared overnight. Even before the regulation was introduced, Singgih and Warsinah were already seeing many social and cultural events being canceled or postponed. In addition to performing, both also teach karawitan, earning an additional monthly salary, but during PSBB art studios and universities where they normally teach have also been closed. Soft instruments in the gamelan ensemble / Rahmadi Fajar Himawan
‘I am kind of grateful that all of this [PSBB] happened during Ramadan,’ Singgih reflected. Ramadan ran from 23 April to 23 May this year, and karawitan and wayangan performances are not usually held during this time. Some slametan, such as weddings, are never held during Ramadan out of respect for those who fast. ‘It’s like a coincidence, right?’ Making a living
In April, Joko Widodo announced that the annual mass exodus (mudik) during Ramadan was banned. This meant Warsiah and Singgih, like millions of other Jakartans not native to the city, were unable to celebrate Eid in their hometown. Normally at this time, with performances not allowed during Ramadan, they would return home and gather with family, and after Eid, go back immediately to Jakarta to take up opportunities for work. This year, unable to perform or return to their hometowns, musicians like Warsiah and Singgih have stayed in Jakarta where they are doing whatever they can do to survive.
Warsiah started making jamu again. She charges Rp.10,000 per bottle and promotes it through social media. ‘It’s not bad – it supports me,’ she says. Warsinah has a mushroom farm near her house in Kramat Jati and also an egg farm at her family home in Wonogiri. Though her farms are not large, she feels lucky to be able to support herself during PSBB. ‘But I can’t go to my hometown to celebrate Eid,’ she says.
Some, like Warsiah, make food or beverages or do sewing to make a living and they use social media such as Facebook or Whatsapp to promote their goods. Others like Singgih, rely on the support of their family and work in the family business.
In April, the Ministry of Education and Culture launched a program called Pendataan Pekerja Seni Terdampak COVID-19 (Register of Arts Workers Impacted by COVID-19). The ministry’s stated aim was to make an inventory of arts workers financially impacted by the pandemic. With the data collected, they would aim to distribute donations to those who had lost income. No specific amount of compensation was announced. A similar program was also launched by the City of Jakarta’s Department of Culture, called Pendataan Pekerja Seni di Jakarta yang Terdampak Secara Ekonomi Akibat COVID-19 (Register of Arts Workers in Jakarta Economically Impacted by COVID-19).
There are currently three options for government assistance for musicians like Warsinah and Singgih. Besides the compensation payments, the ministry aims to include musicians in existing social programs, namely Program Keluarga Harapan (Family Hope Program) or Kartu Prakerja (Pre-Employment Card). The ministry is also encouraging any arts workers ineligible for both those programs to perform through online platforms, including its own newly established Budayasaya. Although it is still early days, it does appear that artists who already have a high profile are making good use of online platforms like this. However, it is less clear if they will benefit performers and musicians like Warsinah and Singgih who are less well-known.
The Ministry of Culture and Education created the Budayasaya platform on Youtube, Facebook, Instagram and Twitter, to broadcast arts performances.
As their incomes are less than the limit of Rp.10 million per month, Warsiah and Singgih hope they will be eligible for inclusion in these existing social safety net programs. However, there is another potential hurdle: to be classified as an arts worker, you must not have received income from non-arts-related work. Ironically, this may yet prevent musicians from receiving government assistance as they have needed to use their non-arts skills to survive this far.
On 26 May, the Ministry of Education and Culture finally distributed payments, called PL2B, to those arts workers deemed eligible who had registered back in April. Each successful applicant received Rp.1 million as a one-off payment upon completion of documents required by the ministry. The City of Jakarta’s Department of Culture distributed similar payments in early May.
Like more than 40,000 other arts workers who registered with the ministry by the deadline, Singgih put a great deal of hope in the government programs. I contacted him again in late May via WhatsApp to ask how his application went. He was not one of the lucky ones. His application for compensation was rejected. ‘But PSBB will end soon, right?’ he asked me hopefully. I asked him what he would do if PSBB was extended further. ‘Actually, I have no idea,’ he told me. ‘For now, I hope all of this is stopped immediately.’
27 notes
·
View notes
Text
ty based grandma for me not having to do what i like to call the Reverse 2019 - convincing tumblr user PizzaWendell to leave a situation that’s obviously making them very unhappy despite its surface level benefits and the medium amount of emotional effort required to make the leap
There's a records management position open with the council like fifteen minutes away from me and my teaching experience means I meet all of the requirements and the pay is good and I could totally do it and never see any teens ever again
12 notes
·
View notes
Text
The more you ignore me, the closer I get.
Sayangnya sekarang bukan mau ngomongin britpop atau pun Morrissey, tapi title-nya kebetulan sesuai buat bridging ke topik yang pasti akan saya bahas cepat atau lambat.
Jadiiiii (tarik nafas dulu sebelum mulai topik ini), it took a while buat saya pelan-pelan pindah side dari orang yang sebel banget Korea-korean dan akhirnya kecanduan beberapa stuff-nya. Percayalah kualat itu tinggal tunggu waktu yorobun.
Sebelumnya, terima kasih dulu pada teman-teman dekat yang berjasa tanpa lelah ngenalin per-korean dengan beragam cara di akhir tahun 2019 (you know who you are guys!). Tapi kalem, sekarang kita bahas sebatas drakornya dulu yang awalnya beneran saya cuekin, eh tapi malah makin in your face dijejelin Netflix.
Jujur alasannya kenapa drakor? Kalau menurut saya, Korean series itu jalan ceritanya fresh dan gak berasa dibuat-buat, malah kadang issue yang diambil deket banget sama masalah keseharian kita. Tepuk tangan yang kenceng buat para screenwriter-nya, salut sayatu.
Maka itulah saya dedikasiin post kali ini buat ngebahas Korean series for beginner, reko from yours truly buat nemenin sisa-sisa PSBB (emang, emang kemarin berasa ada PSBB?? Meh!)
Tenang ini cuma kisi-kisinya doang, insyallah gak terlalu spoiler (yakin pun banyak yang udah nonton pastinya). Btw ini urutannya gak berpengaruh sama tingkat ke-favoritan ya.
1. Hospital Playlist
Kalau saya ngepost ini pasti banyak yang nanya, ini kayak Grey’s Anatomy gak sih? Jawabannya even sama-sama drama kedokteran, tapi jalan ceritanya tidaak!! Salah satu good wholesome drama! Slice of life para dokter di sini lebih mendekati realita, kalau becanda udah gak ada intelek-inteleknya. Bonding antara pemainnya kuat banget, jadi kayak ingin ngomong “hey aku join di geng kalian bole tida?”.
Tapi hebatnya gak cuma meng-highlight cast utama aja, pemeran pendukung juga dapet porsi yang pas di sini. Screenwriter sama director-nya memang terbaik sih! Mereka ini yang bikin anthology Reply sama Prison Playbook juga. Kocak, karena beberapa cameo di series itu dan lagunya juga muncul di sini, orang tua Choi Taek gak ganti peran sih pecaah!
2. Sky Castle
Saya sampai bingung, bisa-bisanya screenwriter-nya kepikiran milih cerita dari ambi-nya orang tua masukin anak-anaknya ke universitas bagus dengan berbagai macam cara. Wah plot twist ceritanya, semua akting pemainnya beneran pingin saya kasih semua jempol yang ada di dunia. Tapi memang orang tua di Korea konon doyan banget banggain anak-anaknya (lebih parah dari kita yang suka dipamerin pas lebaran). Series ini bisa jadi pelajaran manis buat para tiger mom biar anaknya gak tertekan, atau kalau kamu punya orang tua yang model begini, sok atuh ajakin nonton drakor ini bareng.
3. Extracurricular
Pas nonton kayak butuh pegang stress ball terus. Series-nya lumayan rusuh, inget Breaking Bad tapi diaduk manis sama Parasite. Cerita si school boy baik-baik, tapi side job-nya didedikasikan untuk nambahin dosa biar seimbang, semua demi cita-cita dia jadi salary man doang. Twisted banget, sangat intense. Tapi tenang, untungnya episodenya tak panjang, plus saya suka sekali tipikal ending yang begini (hahaha pasti banyak yang kesel). Btw mixed reviews sih soal series ini, tapi saya suka (ya kalau tidak, ngapain dimasukin list).
4. Reply 1988
Personally saya paling suka anthology Reply yang ini. Ibarat makan di restoran Padang, ceritanya komplit super lengkap dari hubungan orang tua ke anak, hubungan sesama tetangga, hubungan sesama cingu dari kecil, hubungan kakak-adik, ada juga cinta-cintaan sotoy anak SMA tapi gak bikin gumoh. Dibungkus hangat sama kehidupan tahun 1988 yang teknologi masih seadanya, jadi hiburannya ya hidup bertetangga. Di sini pun mendadak saya ingin join jadi warga.
Ini adalah awal mulanya saya kecanduan nonton drakor. Pokoknya kalau duo screenwriter sama director ini yang buat, siap aja nangis sama humor receh dan ikrib dengerin suara embek! Sekali lagi semua karakter dapet porsi cerita yang sama, kayak gak ada yang ke left out dan di sia-siain ada di situ.
5. I’ll Find You When the Weather is Nice
Hmm, tak yakin semua bisa nonton series dengan pace yang lambatnya kayak kura-kura lewat, tapi sangat hangat. Kayaknya saya cocok jualan sama orang yang memang terdidik dengan dorama Jepang sedari kecil. Sangat one of a kind sih buat serial Korea, plot dan masalahnya simpel aja, tapi kenapa ya feelingnya kayak nonton film yang di direct Kore-eda (pahamkan?). Oh satu lagi, grading-nya aesthetically pleasing sekali buat mata.
6. Itaewon Class
Sebenarnya bingung mau masukin ini gak ya sekarang? Tapi jujur waktu nonton, saya termasuk yang bela-belain nungguin update episode barunya. Beda sama Joker yang jadi jahat karena disakiti, si Park Saeroyi ini disakiti terus malah jadi pengusaha kaya tapi tetap lurus hidupnya. Kadang sebel karena terlalu nge-glorify karakter yang lagi di highlight di episode tertentu (contoh: pas lagi kejuaraan masak, bisa-bisanya si Hyeon-yi speech ajaa dulu), tapi secara cerita keseluruhan tetap kasih jempol, jempol, jempol!
Ya sudah bagi yang belum nonton silahkan dicoba sendiri, soalnya nonton series itu cocok-cocokan ibarat milih skincare, beda-beda reaksinya. Oh satu alasan lagi kalau ditanya kenapa sekarang nonton drakor? Soalnya bikin cerita buat series aja risetnya luar biasa! Dicoba dulu gih, kalau nagih jangan gengsi bilang suka.
Bonusnya saya kasih lagu ini ya biar senyam-senyum gitu inget chemistry geng Hospital Playlist yang gemas ini, sambil ikutan nyanyi biar berasa segenk aja.
#drama korea#hospital playlist#reply 1988#sky castle#extracurricular#itaewon class#drakor#south korea
14 notes
·
View notes
Text
Ternyata, satu sisi, media sosial tidak cukup baik bagi beberapa orang yang ingin mencoba keluar dari sebuah keresahan dan ketidakpastian.
Seperti halnya kita, dahulu. Saling tap love, memberanikan diri untuk meninggalkan cuitan dikolom komentar, mempersiapkan diri untuk tak direspon dengan baik di direct message, menjadi seolah diterima dengan baik ketika beralih ke personal chat whatsapp, ngobrol sejauh yang aku bisa, terkadang satu arah, jarang diperlakukan layaknya memperlakukan diri sendiri dengan baik, sepekan berlalu situasi tak berubah, dua atau bahkan delapan pekan menguras pikiran memikirkan bagaimana caranya diterima dengan layak, terlalu berharap, keluar dari ekspektasi, dipekan kesembilan mencoba memberanikan diri untuk mundur secara perlahan, dan berantakan. Begitu menyebalkan, karena bukan kau yang berantakan.
Setelah kebiasaan baru tercipta dari sembilan pekan yang mengkhawatirkan, harus kembali dikeadaan sebenarnya sebelum kau singgah, dan sangat menguras pikiran. Andai saja, seseorang bisa mengatur sendiri, bagaimana terjadinya amnesia dalam keadaan yang kita inginkan, sila kan saja hancurkan aku secara berulang.
Atau bahkan, kita mampu mengatur sendiri ingatan mana yang akan kita lupakan dan hancurkan, mungkin aku akan selamat lebih cepat dan tak akan sekacau ini.
Terkadang malah, aku melakukan hal bodoh diluar nalar, seperti hal–nya berhenti sejenak menggunakan media sosial, sembari berusaha untuk tampak baik-baik saja. Toh, kau pun jauh lebih baik, kan?
Di warung kopi, seseorang menceritakan hal ini kepadaku, tanpa sedikitpun aku memulai dengan pertanyaan. Sembari tersenyum kecil, aku pun melihat bagaimana ia berusaha mencoba baik-baik saja. Dan aku mencoba menenangkan apa yang ia khawatirkan; tanpa hal ini terjadi, kau tak akan jadi lebih baik nantinya, bersyukurlah dengan baik.
Sebuah pengingat diri-11pm, warung kopi saat psbb.
6 notes
·
View notes
Text
PSBB Millennium School Fees and Padma Seshadri School Admission
Choosing the right school for your child is a critical decision that involves careful consideration of various factors, including the quality of education, facilities, and cost. Two of the most sought-after schools in India are the PSBB Millennium School and Padma Seshadri Bala Bhavan (PSBB) Group of Schools. This guide provides a comprehensive overview of the fees and admission processes for these esteemed institutions, including PSBB Millennium School fees and Padma Seshadri School admission details.
PSBB Millennium School Fees
The PSBB Millennium School is known for its commitment to holistic education and the development of leadership skills in students. As part of the larger PSBB Group, it maintains high standards in academic and extracurricular activities. The fees at PSBB Millennium School vary based on the grade level and specific campus.
Primary Section: The fees for the primary section typically range from INR 50,000 to INR 70,000 per year.
Middle School: For middle school, the fees can go up to INR 80,000 to INR 100,000 per year.
High School: High school fees are generally higher, ranging from INR 1,00,000 to INR 1,50,000 per year.
These fees are subject to change and may include additional costs for extracurricular activities, transport, and other facilities. It is advisable to check with the specific PSBB Millennium School campus for the most accurate and up-to-date fee structure.
Padma Seshadri School Admission
Padma Seshadri School, often referred to as PSBB, is one of the most prestigious educational institutions in India. With campuses in Chennai and Bangalore, PSBB is renowned for its rigorous academic curriculum and emphasis on cultural values.
PSBB School in Chennai
The admission process for PSBB School in Chennai is highly competitive. Here are the key steps involved:
Application Form: Interested parents must fill out the application form, which is usually available online on the school’s official website.
Entrance Test: Students may be required to take an entrance test that assesses their academic abilities.
Interview: Shortlisted candidates and their parents may be called for an interview with the school administration.
Documentation: Submission of necessary documents such as birth certificate, transfer certificate, and previous academic records is required.
PSBB Bangalore
The admission process for PSBB Bangalore is similar to that of the Chennai campus. It involves filling out an application form, attending an entrance test, and participating in an interview process. The demand for admission is high, so early application is recommended.
PSBB Learning Leadership Academy
The PSBB Learning Leadership Academy is another branch of the PSBB Group that focuses on nurturing leadership qualities in students. This academy emphasizes innovative teaching methods and comprehensive development programs. The admission process here also involves an application form, entrance test, and interview. Fees at the PSBB Learning Leadership Academy are in a similar range to other PSBB schools, reflecting the quality and breadth of education provided.
Conclusion
Understanding the fee structure and admission process for schools like PSBB Millennium School and Padma Seshadri School is essential for parents looking to provide their children with a top-tier education. Both institutions are committed to fostering academic excellence and personal growth, making them highly desirable choices for many families. By preparing well in advance and staying informed about the latest updates from the schools, parents can navigate the admission process smoothly and secure a place for their child in these prestigious institutions.
#Psbb Bengaluru#Psbb Gerugambakkam#Psbb OMR#Psbb Millennium School#Psbb Millennium School Gerugambakkam#Psbb School Admission
0 notes