#po PO Bus warga baru
Explore tagged Tumblr posts
Text
Setiap malam, aku mendengar tetanggaku menjerit-jerit. Lalu tak berselang lama, dia tertawa. Setelah ku selidiki, ternyata dia...
________
Bab 1
"Ronda lagi, Mas?" Tanyaku pada Mas Zul. Keningku berkerut menunggu jawabannya. Dan saat dia mengangguk, aku pun menghembuskan nafas berat.
"Kenapa harus setiap malam sih? Memangnya tidak ada jadwal, ya? Masa setiap malam kamu terus yang ronda? Harusnya kan gantian sama bapak-bapak warga yang lain," protes ku.
"Ya mau bagaimana lagi, Rin. Aku juga suka di paksa sama yang lain supaya aku ikut, kalau aku gak ikut, mereka pasti ledekin aku. Aku ini suami takut istri lah, suami Cemen lah, suami yang malas gabung lah. Kesal kan kalau di gituin?" Dia malah mengeluh, harusnya aku di sini yang mengeluh. Setiap malam dia selalu pergi dan pulang menjelang pagi.
Siang dia habiskan di tempat kerja, lalu malamnya dia habiskan di pos ronda.
"Sekali-kali jangan di dengar lah, Mas. Kamu tahu sendiri kan aku takut berdua doang sama Zea?"
Zea adalah putri kami satu-satunya, usianya baru menginjak Dua tahun. Setiap malam, hanya Zea lah yang menjadi temanku.
"Takut apa sih? Disini kan rumahnya dempet-dempetan Rin," Mas Zul masih keukeuh. Dia tampak menyisir rambutnya dengan rapi lalu mengambil sarung dari lemari.
"Ya karena itu, Mas. Aku..."
"Kamu takut suara jeritan di tetangga sebelah? Yang sering kamu ceritakan itu?" Tanyanya.
Aku mengangguk, karena memang itu alasannya. Setiap malam tetanggaku itu selalu menjerit-jerit, entah apa yang sedang dia lakukan.
Atau mungkin dia tengah di pu ku li suaminya? Aku bahkan tidak tahu suaminya yang mana. Mereka memang sangat tertutup, tak berbaur dengan tetangga.
"Karin, Mas yakin kamu itu hanya mimpi atau mungkin halusinasi," ucapnya dengan enteng. Membuat aku kesal dan menatapnya tak suka.
"Halusinasi? Kamu pikir aku ini tidak waras, Mas? Jelas-jelas Bu Rika juga sering mendengarnya. Kamu tanya saja padanya. Kamu bisa bicara seperti itu karena kamu memang tidak pernah ada di rumah setiap malam, mana mungkin kamu ikut dengar."
Aku mengomel, enak saja dia bilang halusinasi. Tetanggaku yang ada di sebelah kiri rumah itu juga sering mendengarnya.
"Ya ya bisa saja kan, Rin? Karena kamu takut, jadi pikiran kamu ikut tersugesti pada hal-hal seram. Mas cuma.."
"Ah, sudahlah. Bilang ke bapak-bapak ronda yang lain, coba sekali-kali keliling ke sini di jam Dua malam, supaya kalian juga bisa dengar. Lagi pula kenapa aneh banget yah? Kalian itu ronda tiap malam, tapi tidak pernah tahu tentang jeritan itu."
Mas Zul berdehem, lalu mengangguk, "Iya, nanti aku bilang ke bapak-bapak yang lain. Ya sudah, aku pergi dulu yah."
Aku enggan menjawab, mengangguk pun tidak. Namun saat dia menyodorkan tangan, aku pun tak menolak. Aku menyalaminya seperti biasa.
"Zea, ayah pergi dulu yah. Jangan rewel, baik-baik di rumah sama bunda," ucapnya seraya mengusap puncak kepala Zea yang sudah tertidur sejak satu jam yang lalu.
Ku antar dia sampai ke depan pintu, lalu ku kunci pintu cepat-cepat. Aku tinggal di sebuah perumahan subsidi, selayaknya rumah subsidi lainnya, satu dinding di pakai untuk pembatas rumah yang lain. Kasarnya, satu dinding untuk dua rumah.
Karena itu suara dari tetangga sebelah kadang kerap terdengar oleh ku. Apalagi tetangga sebelah ku itu aneh, setiap malam menjerit-jerit, seperti jerit kesakitan, tapi selepas itu dia terdengar tertawa.
Apa dia gila? Tapi jika kebetulan aku berpapasan dengannya, dia seperti orang normal lainnya. Selalu tersenyum dan menyapa. Hanya saja, kami tidak pernah bicara lama atau panjang lebar. Hanya sekedar menyapa saja.
"Apa aku pakai headset saja yah?" Gumamku, tapi jika aku memakai headset, bagaimana kalau Zea bangun dan menangis? Aku pasti tidak akan mendengarnya.
Ya Tuhan, sejak tetanggaku itu pindah ke sini Dua Bulan yang lalu, malam-malam ku seperti tak pernah tenang. Tidur pun tidak nyenyak, kadang mataku terus terbuka sampai mas Zul pulang ronda.
Kenapa pula Mas Zul jadi rajin ronda? Padahal dulu dia tidak pernah mau meski pun jadwalnya. Dia lebih memilih bayar denda atau menyumbang untuk membeli kopi.
Dia juga tidak pernah risih dengan omongan bapak-bapak seperti yang dia ceritakan tadi. Jika di ingat-ingat lagi, Mas Zul rajin ronda hampir bersamaan dengan pindahnya tetangga sebelah ke perumahan ini.
1 note
·
View note
Text
KTI Perikanan
-BARISAN BANGKU BELAKANG (BBB) SQUAD
Plis ini pengalamanku yang SUPER NEKAT selama di bangku SMA wkwkw. Aneh tapi terjadi, bisa-bisanya kami ikut lomba KTI tingkat provinsi dalam waktu 3 hari. Anggotanya pun geng bangku belakang, yaitu aku, nessa, dan habib.
Ngerjainnya bukan karena sengaja mepet deadline lho ya, hanya saja informasi lombanya yang lambat sampai di SMA kami. Kami baru dapat info lombanya 4/3 hari sebelum deadline pengumpulan.
Mungkin kebanyakan orang, tidak akan mau ikut lomba dengan waktu tak seberapa itu, tapi jelas berbeda dengan aku yang ditawarin bu Yeni langsung kesetujuin dan malah merasa semakin tertantang wkkww.. Tanpa babibu aku ajak Nessa dan kami pun ajak Habib. Alasannya simple karena habib menurut kami memiliki hoki yang banyak :'D
Dengan sok pede-nya kami menentukan jadwal, hari pertama riset dan nentuin judul, hari kedua kumpulin data-data online dan offline di perpus kota, hari ketiga menyelesaikan kti, print-print, dan ngumpul KTI-nya di kantor pos.
Makin dramatis, dalam tiga hari itu, aku juga sedang sibuk-sibuknya syuting jadi polisi di project film Mafia wkwkw.. Jadilah Nessa dan Habib ikut syuting jadi pemeran pendukung di film kami hahahaaa... Sibuk sekali ye ceritanye..
Aku ingat betul, di hari pertama, ada banyak opsi judul yang kami buat, berhubung kti ini yang ngadain dinas perikanan dan kelautan, jadi tema-temanya kami pikir nggak jauh dari sungai perairan gitu lho.
Aku dan Nessa ingin ambil watervang, tapi habib tidak setuju. Katanya enak sungai kelingi dekat rumahnya saja, karena di sana banyak sekali sampah, dan warga masih banyak yang mandi dan buang air di sungai tersebut. Oke kami pun setuju. karena sekali lagi, kami percaya dengan hokinya habib.
Di hari kedua, kami ke perpustakaan kota. Cari referensi ceunah🤣 Kami juga menyiapkan daftar pertanyaan apa saja yang ingin ditanyakan di lokasi penelitian sungai yang direkomendasikan Habib. Setelah itu, kami langsung mengunjungi lokasi penelitian.
Sesampainya di sungai, agak terkaget-kaget ya. Ternyata air sungainya lagi naik dan deras, sehingga sampahnya sudah terbawa arus sungai. Siapa juga yang mau mandi apalagi buang air di tengah derasnya arus sungai tersebut.
Mencoba menenangi, Habib mengajukan lokasi sungai di tempat yang lain lagi. Katanya di sungai itu terkenal ramai orang mandi disana. Aku dan Nessa senang mendengarnya dan membayangkan betapa ramai dan kotornya sungai itu..
Ehhhhh, sesampainya di sungai tersebut yang kami temui kedamaian.. Sepi dengan sungai yang bersih tiada sampah satu pun karena arus sungai yang cukup deras dan hari masih panas, siapa juga orang yang mau mandi?
Tapi karena kami tidak mau menyerah, akhirnya kami tetap turun ke tepian sungai.. Ternyata ada dua anak kecil yang lagi mandi tanpa pengawasan orang dewasa.
Bagaikan wartawan yang haus akan data yang bisa mendukung penelitian, kami langsung mendekati subjek penelitian kami... Narasumber kami ☺
Dari gelagat mereka, aku tahu sih apa yang ada dipikiran adik-adik itu. Kayak "Kakak ini mau ngapain sih?! ganggu orang mau mandi aja"😂
kami tetap mendekati adik-adik itu, dan mewawancarinya seperti apakah mereka mandi setiap hari disini? apakah tidak ditemani orang tuanya? dan sebagainya. Lalu terakhir kami pun berdokumentasi bersama.
Lalu, kami mencari lagi siapa yang bisa kami wawancarai. Dari balik batu besar kami melihat ada seseorang yang sedang duduk. Kami mau menghampirinya, namun saat mulai dekat, kami merasa aneh, sepertinya ibu-ibu itu lagi BAB😭.
Meski haus akan data, kami tidak se-kalap itu jugaa wkwkw... Kami bertiga pun menjauhi batu sungai tersebut dan mencari tempat duduk untuk beristirahat sejenak.
1 note
·
View note
Text
Cina, Huana, Manusia.
Di otak kalian, Cina itu ya jaga toko di pasar, pake kaos singlet, kacamata, sama ngerokok pake pipa. Cina itu mesti kaya, rumah tingkat dua, paling gak ada mobilnya sedan satu pickup satu. Cina itu biasa pamer, sombong banget. Cina itu apatis, cuek, ga mau bergaul. Cina itu gagah, mapan, Korea KW, dan sebagian fantasi ukhti-ukhti ganjen yang cari om-om sugar daddy. Cina itu putih, mulus, wangi, dan segepuk fetish abang-abang mesum yang kalo mbokep pake JAV. Cina itu licik, pemeras, penipu, penjajah. Cina dimatamu yang picik.
Di otak kalian, tenglang itu setia kawan, persaudaraannya erat dan bondingnya kuat. Tenglang mesti cengli, tahu aturan, sopan, dan menghargai. ‘Cungkwokren’ ya mesti rajin, survive dan ga akan pernah susah karena kerjanya keras. 'Cungkwokren’ hao, huana dekil, miskin, suka e ngeciak koncone. Huana culas, suka nipu, mbathi, dan seneng njebak kita para tenglang. Huana beda level sama kita tenglang ini karena mereka dapat perlakuan khusus sama pemerintah Inni. Beda sama kita ditindas mesti kerja sendiri, sukses. Ga ada tenglang yang gagal, semua mesti enak hidupnya. Tenglang cungkwokren muatamu picek.
Sini, ikut aku seharian keliling survei Cina miskin di pelosok pinggiran kota yang kusam, bau, jelek, dan menyedihkan. Biar tahu, kalau Cina juga manusia, yang penuh segala intrik busuk dan kenali juga tai-tainya. Biar paham, Cina juga manusia, penuh kisah kasih, canda tawa, dan kesaksian nyata. Manusia semua punya sisi masing-masing yang kadang gak masuk di stereotipe kalian.
-###-
Kupacu pelan motorku di jalan berbatu-batu. Sambil sesekali melakukan akrobatik berbahaya, kulirik panah pentolan biru di layar LCD ponsel yang menyala. Sudah dekat rupanya, nomor 18 di depan sana. Kuhentikan mesin dan kulirik jarum penunjuk bensin. “Ah, untung masih cukup.” gumamku. Penuh konsentrasi, kumencari bel pintu di depan teralis besi ini. Sekian menit dan berpuluh-puluh ketukan kontak sepeda motor ke jeruji pagar, si empunya rumah pun keluar.
“Selamat malam, suk! Saya dari Forum Komunikasi Warga Tionghoa. Ini saya mau lakukan survei ulang dari data yang dikumpulkan oleh kawan relawan tahun-tahun lalu.” sambil kutunjukkan deretan nama dan alamat–persis tukang debt collector yang mau nagihin utang orang. “Oh ya, sek sek enteni dilut. Lebokno ae motormu koh. (Tunggu sebentar, masukin aja motornya)” “Oke. Permisi ya suk!” Kudorong motor masuk ke halaman rumahnya. Rumput liar semburat mencuat dimana-mana. Depan rumahnya ini mirip sarang ular saja.
Seharian ini aku berkeliling ke seluruh pelosok Malang melakukan survei untuk acara nanti Rabu depan. Forum Komunikasi Warga Tionghoa (FKWT) Malang Raya memang memiliki acara tahunan bagi angpao di sekretariat untuk teman-teman 'Cina’ yang miskin, tua, dan sakit-sakitan. Ya kan, ga semua Cina itu tajir melintir seperti yang kau lihat seperti di akun instagram Crazy Rich Surabayan. Ada juga mereka-mereka yang sejenis dengan kaum marjinal. Ada yang rumahnya di perumahan rakyat, masih masuk gang-nya gang (gang kuadrat), jalannya cuma makadam, bau pesing pula. Bahkan ada juga nih Cina yang rumahnya gedheg (anyaman buluh) pinggir rel kereta yang udah separo mau rubuh. Kerjanya? mandiin anjing orang kampung situ. Untungnya tuh dia masih bisa kerja. Ada juga yang udah tua, buta, dan lumpuh, tiga-tiganya. Ya Tuhanku dan Allahku. Dimana letak ridha dan keadilanmu.
“Ini nyonyaku masih ke gereja. Ada apa? Sapa namamu tadi?” “Saya Albert. Gini, beberapa tahun yang lalu kami dari FKWT ada acara bagi-bagi angpao untuk teman-teman tenglang yang punya kesulitan. Jadi disini namanya suksuk masuk ke daftar. Saya mau tanya-tanya dulu, kabar suksuk bagaimana, sehat?” “Oh yang biasa itu ya? Yang di Kayutangan?” “Ho-oh. Tapi tahun ini saya harus datang ke rumah satu-satu untuk survei ulang.” “Aku biasane entuk loro (dapat dua). Ambek bojoku pisan (sama istri juga).” “Keterangan dua tahun lalu, suksuk sakit pinggang gabisa jalan. Gimana kabarnya sekarang?” “Ya gitu wes. Isa mlaku kok (bisa jalan), mek luoro puol nek mlaku (sakit sekali). Yaapa koh, wes tuwek.” “Iya, saya kasih satu saja dulu ya. Kuotanya terbatas. Minta fotokopi KTP dua lembar ya suk. Satu buat tak bawa jadi arsip, satu nanti dijepretno di kupon undangan.”
Wah, kulihat sekeliling, rumahnya cukup bagus. Ada banyak foto-foto lawas dan dekor-dekor kecina-cinaan macam piring keramik, guci raksasa, lukisan kuda lari, dan ornamen ikan koi. Tapi memang agak berantakan sih, kertas koran berbahasa mandarin berserakan dimana-mana. Kenapa orang ini bisa masuk daftar ya? Kelihatannya hidupnya enak. Diam-diam aku mencoretkan beberapa catatan kaki di kertas 'hitlist’ yang kubawa tadi. “叔叔的孩子做什麼? (Anaknya paman kerja apa?)” aku tanya dia yang sedang bongkar-bongkar dokumen buat cari fotokopi KTP. “di 泗水 (Surabaya), 做 (kerja) ndek pabrik dee iku.” jawabnya sambil menyodorkan dua lembar fotokopian. Aku mencocokkan datanya dan memberikan kupon undangannya.
“Ini besok rabu depan, jam 10 pagi di sekretariat. Kupon undangannya dibawa sama fotokopi KTP yang ini ya.” “Oke. Bojoku gak entuk yo? Cekno dee hepi. (istriku ga dapat? biar seneng)” “Satu aja suk. Kami memang diberi kuota dan tahun ini dibatasi.” Weleh, serakah juga bapak tua ini. Tapi saya bisa paham, memang tahun-tahun sebelumnya dia dapat dua. Meski aku rasa dia cukup mampu dibandingkan janda tiga anak dengan Down Syndrome yang kudatangi sebelumnya, tapi melihat keadaannya yang sudah tua dan susah jalan, aku tetap memberinya satu tahun ini. Meski begitu, tetap saja sudah kutambahkan tanda seru di data untuk evaluasi penerima buat tahun depan. Nanti biar disurvei ulang.
“Saya permisi dulu suk. Masih banyak tempat yang harus saya datangi. Ini untuk mendata yang sudah tidak perlu bantuan, sudah meninggal, atau pindah alamat. Biar bantuannya bisa dialihkan ke teman-teman yang benar-benar kesusahan, biar tepat sasaran.” kataku sambil menyeret standar motor. “Oke, terima kasih ya koh. Kamu belum 喝水 (minum) lho.” “Ah enggak apa suk. Habis ini saya 吃飯 (makan siang) di warung dulu kok.” “Kamu sudah punya 愛人 (pacar) apa belum?” “Belum hehehe. Nanti aja wes gampang itu. Mari ya suk. Jalan dulu.” “Oke, terima kasih ya, hati-hati!”
-###-
Kususuri gang lembab nan sempit itu. Sepeda motor kutinggal di bibir gang, sebelah pos satpam yang isinya malah botol miras dan majalah berkover cewek seksi. Wah, bahan coli. Hehehehehe. Aku menolehkan kepalaku ke kanan kiri memindai nomor rumah yang sesuai dengan alamat di daftar korbanku. Nihil. “Gang dua, nomor empat. Gang dua, nomor empat.” gumamku sampai di pojokan gang. Jalannya menurun ke WC umum a la helikopter (itu, WC yang berupa platform diatas sungai yang dikelilingi bilik tipis dari seng atau triplek). Lho, kok udah nomor enam belas? Padahal tadi kulihat barusan nomor enam. Dan nomor empatnya ga ada.
Seekor kecoak terbang dan hinggap di tepi selokan. Aku merinding. “Golek sopo mas? (cari siapa mas)” kudengar suara lirih seorang anak kecil dari sela-sela anak gang. “Jan!” Aku terkejut ketika sebuah kepala botak mencungul dari balik tembok. Seorang wanita dari dalam rumah nomor dua belas tampil keluar untuk menyuapi anak tadi. “Malam bu, mohon maaf saya mau tanya, saya cari yang namanya Ritawati. Alamatnya disini.” kataku sambil menunjukkan kertas kumal yang agak basah kena gerimis barusan. “Oalah mas, iki sampean alamat e keliru! Iki nyang mriko lho (ini kesana), sampean arah kidul kuenceng wae (lurus ke selatan). Gang Kedawung. Mriki Gang Glintung!” suara khas medok Jawa Timuran meluncur deras dari mulut si ibu. “Turnuwun buk. Hayo dek ojo metu bengi-bengi kowe. Diculik genderuwo lho ngkok!” kataku sambil menguyel-uyel kepala plontos anak tadi. Dia meringis dan kembali masuk ke rumah sambil mengunyah ikan asin dan bubur.
Mengenaskan sekali keadaanku malam ini. Udah bau kecut lusuh belum mandi, gosong kepanasan dari siang, lubang hidung menghitam kena asap kendaraan, dan dari sepuluh tempat yang udah kudatangi, hanya tiga yang ketemu orangnya. Padahal, hasil rapat kemarin para donatur dan pengurus bilang kalau hari Senin mesti sudah tersebar habis semua seratus kupon undangan untuk pengambilan angpao. Kulirik lagi deretan nama dan alamat serta coretan-coretan yang kutorehkan. “Ah, apa benar begini rasanya jadi pak pos atau tukang ekspedisi kirim-kirim barang ke rumah-rumah kosong yang alamatnya saja penulisannya ga lengkap?” Aku pancal motorku ke bibir jalan raya sambil merenung dalam hati. Gila juga jadi abang ojol cari alamat ga nemu-nemu.
Setelah berputar agak jauh, sampailah aku ke gang sempit lainnya lagi. Kali ini tidak ada bel, tidak ada gembok yang bisa dipukulkan ke pagar untuk tek-tek-tek, aku berteriak sambil membuka pintu rumah. Iya, pintu rumahnya langsung terbuka ke jalan gang itu. Benar-benar sempit. Kulihat lantai gang itu pun memiliki tekstur tekel rumah kuno zaman Belanda. Aku curiga kampung itu sebenarnya dulu sebuah rumah mandor Indo besar yang dibagi-bagi per kamar menjadi rumah kecil-kecil oleh para ahli warisnya. Tak lama, seorang wanita berambut putih berdaster putih melongok dari balik pintu.
“Masuk koh. Saya panggilkan dulu ya, sebelah ini ada tetangga yang butuh juga. Maaf ya berantakan. Ai ga sempat bersih-bersih, badan udah gak kuat ini.” Aku mencium aroma khas kertas-kertas lawas dan suara cicitan tikus di belakang. Pantat kudaratkan ke bangku beralaskan tumpukan koran dan aku duduk sambil meluruskan kaki. Serasa kembali tersedot ke tahun 70an. Rumah kecil kuno yang berantakan dan kurang terurus. Obat-obatan dan kopi resep dokter berserakan di meja. Tumpukan baju yang tentunya tidak baru menggunung di depan kamar. Di daun pintu, tergantung kalender dari gereja di seberang jalan.
“Saya baru ini surveinya. Tahun lalu yang survei Mas Evan, teman wihara. Dia sedang sibuk tahun ini. Ada tiga orang yang tinggal di sini, semua saudaranya ai ya?” tanyaku sambil menyiapkan tiga lembar kupon undangan. “Iya saya udah nungguin emang. Biasanya dekat-dekat sincia (festival tahun baru) mesti ada ini. Buat saya beli beras. Sekarang tiap hari makannya bubur, gigi udah habis, hehehehe. Untung bisa jadi banyak. Sudah gak kuat kerja. Ini di sebelah tonggoku. Tak panggilno sek ya.” Ibu ini pun menyodorkan dua lembar fotokopi KTP, tampaknya dia sudah hafal SOP kami dari Forum. Dia beranjak memicik-micik ponsel Nokia candybar-nya yang kuno itu. “Sek ya koh, saya panggilkan dulu. Cekno dia siap-siap. Ya biar tetangga dibilang dulur ya masih, saudara jauh.” “Oh ya. Enak kalau dekat bisa saling mendukung. Ini saya ambil fotonya dulu ya. Ai pegang kuponnya. Buat laporan ke panitia nanti. Memang harus saya survei ulang karena kemarin ketemu sindikat. Dititipkan ke tetangganya tapi nggak dikasihkan. Diambil sendiri. Kan kasihan, nggak nyampe bantuannya.”
-###-
Cahaya redup menyinari jidat mereka. Saya menuliskan identitas Suk Bang ke kupon undangan dan menjepretkan fotokopian KTP di sebelah belakang. “Ini ya suk. Jangan lupa nanti hari Rabu. Titipkan ke Ai saja. Ai, nanti tolong ambilkan ya.” aku menepuk pundaknya. Tangannya meraih-raih kesana kemari. Aku pegang tangannya dan kutempelkan kertas kupon ke jemari lemahnya. “Buta total atau masih bisa lihat cahaya-cahaya?” tanyaku sambil membereskan dokumen-dokumenku. “Ya, buta dari beberapa tahun lalu. Kena glaukoma ini nyo.” jawabnya sambil terkekeh.
Aku jadi cegek (nggak enak). Aku kan juga pernah dapat diagnosis gejala glaukoma oleh dokter mata dua tahun lalu, akibat keracunan metanol. Waktu itu, aku habis minum cukrik oplosan sama teman-teman anarko di Surabaya. Nasibku karena goblokku. Tapi aku ga berani tanya kenapa glaukoma si bapak ini. Aku melihat pola yang familiar dengan namanya saat aku meneliti fotokopi KTPnya. “Oh, ini Bangyoren dari 中文名字 (nama cina) toh suk. Saya baru nyadar, hehehehe.” “Iya, nama 國語 (mandarin)-ku Phan Youren.” Aku tentu saja harus update data lagi. Kubuka daftar tadi dan aku menuliskan nama mandarinnya di kolom khusus.
-###-
Kembali kupacu pelan motorku dibawah temaram. Setelah mampir ke beberapa rumah kosong dan rumah besar nan mencurigakan, kembali aku mengingat-ingat beberapa alamat rumah bagus yang masuk daftar tadi. Ada mobilnya, ada tamannya, ada kolam ikannya, bersih rapi, dan terawat. Mesti lapor ke panitia dan kawan-kawan relawan nanti. Bisa jadi, orangnya memang kaya, tapi ikut-ikutan daftar untuk bantuan sosial beberapa tahun lalu. “Kurang ajar,” gumamku, “banyak yang lebih soro uripe cak. (susah hidupnya)”
Tujuan terakhir malam ini adalah sebuah ruko di tepi jalan raya kecil di sebelah pasar rakyat. Bentuknya seperti rumah Belanda kecil tanggung yang garasinya dibikin toko dengan rolling door. Seorang bapak-bapak berjenggot menyapaku. “Assalamualaikum. Mas, mau cari apa?” kulihat ratusan macam alat-alat listrik bekas disusun tak rapi di etalase. Aku lepas helmku dan duduk di bangku depan meja kasir. “Saya mau cari Go Meifang pak.” kataku sambil menyiapkan dokumen interview.
“Lhoalah. Tacik e wes mati itu mas. Anaknya yang laki ada satu di Papua kerjanya. Satu lagi sing wedok jadi TKI di Malaysia.” kata si bapak sambil benerin kacamata. “Lho. Ini benar rumahnya Mbah Go?” kulihat tahun kelahirannya sebelum Jepang mulai menduduki Hindia. “Iya bener, saya nyewa. Ini rumah ya dikunci rapet setelah beliau mangkat. Saya cuma pake garasi sama kamar mandi aja buat toko saya ini. Dulu dia bikin keset, taplak, sama seprei dari potongan-potongan kain sisa pabrik setelah suaminya meninggal. Sekarang rumahnya kosong ini.” Aku coret namanya dari daftar dan memberi keterangan 'meninggal’ di samping namanya. “Lha anaknya ga pernah pulang pak?” tanyaku lagi. “Ya gak pernah. Sejak bapaknya pergi, mereka kerja merantau. Mbah Go ya sendirian di rumah. Tetangganya ya pernah bantu ngerawat. Pernah jualan roti juga kok.”
“Baiklah pak, saya ini sebenernya sedang survei ulang, ngikuti data ini. Kalo dulu di kelenteng tiap mau Imlekan ada bagi-bagi sembako buat teman-teman Tionghoa yang miskin. Sekarang tahun ini cuma dikasih angpao saja, berat kalau ngurus sembako. Saya disuruh data ulang sama para donatur. Saya ga bisa kasih uang, saya bisanya bantu tenaga saja.” “Oh iya inget, dulu saya pernah ngantar dia mbecak beberapa tahun lalu. Cuma ini udah 2 tahun matinya.” “Baiklah pak. Terima kasih infonya. Nanti saya alihkan buat orang lain yang masih butuh bantuan. Assalamualaikum!”
Setelah permisi, aku lihat jam yang bertengger di lenganku. Jam 10 malam. Masih ada 30 orang lagi yang harus aku survei. Tapi aku sedang dalam masa pengobatan. Mata udah sisa beberapa watt aja akibat codeine yang kuhirup tadi sore. Perut juga sudah mengamuk, keasyikan keliling-keliling dari pagi sampai lupa makan siang dan malam. Bodohnya manusia, merusak diri pakai alkohol, rokok, dan kalau aku, telat makan. Kuteguk prazole dari dokter untuk meredakan geliat-geliat lambungku dan aku ngebut menuju nasi goreng duk-duk pinggir jalan favoritku, di mulut kampung dekat rumahku. Dah, sisanya besok saja. Aku sendiri mesti kerja besok pagi biar hidupku gak susah. Balada guru les, weekdays kayak pengangguran, weekend malah kerja rodi keliling rumah murid untuk ngajarin mereka menerima kalo guru sekolahnya nggak becus ngajar.
Jadi ingat Ai Lily, guru lesku pas zaman SD. Hidupnya juga sederhana, makan bubur untuk hemat beras, naik mikrolet ke tempat ngetem depan kampung, kadang sambil bawa jas hujan dan sandal jepit kalo lagi musim hujan. Gila sih, kenapa aku mau jadi guru ya? Aku lingkari tujuanku besok di kepala sambil melahap angin menuju arah pulang. Ada satu mantan 老師 (guru) Cor Jesu yang kemarin kata mama tinggal sebatang kara dan sudah sakit-sakitan. Kata mama beliau nggak kawin, dirawat pembantu seorang mantan muridnya yang datang seminggu sekali. Yak, besok ketemu kaum saya. Sama Cina, pejuang pendidik, pengabdi anak muda.
Minggu, 19 Januari 2020 6.54 AM pagi yang cerah berteman roti panggang, bersiap sedia menyongsong hari survei kedua yang akan lebih melelahkan.
2 notes
·
View notes
Text
Jalanlah sedikit
Dalam rangka memulai proses matrikulasi yang dibebankan pada pembimbing on job training kami, Pak Slamet Rianto selaku kepala seksi Pengolahan Data dan Informasi, saya dan rekan OJT pergi mengunjungi Sekolah Luar Biasa ABCD, yang berlokasi di kecamatan Babakan Ciparay, kota Bandung. Kami berangkat pada Jumat, 31 Januari 2020, dengan berjalan kaki sejauh ±1,6 kilometer dari kantor sampai tujuan.
Sepanjang perjalanan kami melewati beragam fenomena hirup pikuk masyarakat kota Bandung. Kami memulai perjalanan dengan menyusuri trotoar jalan raya Soekarno-Hatta, jalan tersebut merupakan jalan utama yang tergolong besar, penuh dengan debu, asap kendaraan, dan lapak pejalan kaki yang misused. Kami harus melindungi saluran pernafasan dan berhati-hati saat berjalan memperhitungkan banyaknya kendaraan yang parkir sembarangan, pengendara yang melawan arus, belum lagi memang trotoarnya yang tidak bisa dipakai untuk berjalan dengan aman. Jalan Soekarno-Hatta mencerminkan sejumput suasana perbatasan kota Bandung dan kesibukan masyarakatnya.
Setelah melewati panasnya berjalan di jalan protokol, kami melanjutkan perjalanan dengan memasuki gang yang menghantarkan kami menuju pemukiman sempit dan padat akan penduduk. Tempat tersebut dipenuhi dengan deretan rumah warga dari satu sampai dua lantai, menempel satu sama lain dan minim akan titik resapan mengingat jalannya dipenuhi oleh jalan yang sudah dilapisi semen, melewatinya akan mengingatkan penciuman anda dengan aroma pasar tradisional ketika hujan, hal ini saya temukan aneh mengingat lokasi pasar caringin yang terpisah jauh dengan pemukiman tersebut. Namun daripada semua hal yang saya sebutkan diatas, tempat ini dipenuhi oleh warga yang saling bertegur sapa satu sama lain, anak sekolah yang jajan dan hendak pulang bersama, warung kelontong yang dijadikan ibu-ibu tempat mengobrol, pula sekedar duduk diam depan teras rumah meskipun tidak ada pagarnya. Kebanyakan warga yang saya temui di lingkungan tersebut ramah dan menanggapi ketika saya sapa atau ketika saya ucapkan permisi. Kumuh tapi hidup.
Kemudian, saya dan rekan-rekan keluar dari pemukiman tersebut dan memasuki pemukiman baru yang lebih besar dan berjarak. Setiap rumah berukuran setidaknya berkali lipat pemukiman yang sebelumnya, pula ukuran jalan yang bisa kami lewati, kami tak perlu lagi bergiliran dengan kendaraan atau rombongan anak sekolah dasar untuk meneruskan perjalanan. Tak lupa tanda kehidupan yang bisa kami temukan pada siang hari itu hanya dari pos satpam dan tempat sampah setiap rumahnya. Saat kami akan meninggalkan komplek tersebut dan melanjutkan perjalanan, kami harus melewati jembatan yang dapat dikatakan tidak cukup layak mengingat kami harus melewatinya dengan melihat kebawah dan kami tidak bisa menaikinya bersama sekaligus. Jembatan ala kadarnya tersebut menghantarkan kami ke pemukiman yang hampir mirip dengan pemukiman yang pertama kami lewati, Pak Slamet bilang, “Kita hampir sampai.”
Sesampainya di tujuan, kami langsung disambut oleh Pak Tatang selaku pendiri SLB ABCD, beliau merupakan tunanetra yang mengaku kalau dirinya honorer tetap karena kehilangan kesempatannya untuk menjadi pegawai negeri sipil. Pak Tatang ditemani oleh Bu Kartini yang merupakan penyandang tunanetra juga, Bu Tati, dan Bu Iis. Pak Tatang merupakan sosok yang tangguh, setelah berbincang selama sekitar 45 menit, banyak yang dapat saya pelajari dari beliau, mulai dari bagaimana beliau menanggapi sebuah masalah, keberanian beliau untuk melakukan sesuatu, keikhlasan beliau untuk mendirikan sebuah yayasan yang jauh dari kata profit 2003 lalu, beliau telah menyerahkan tenaganya, seluruh dedikasinya, dan mungkin harta lainnya untuk mendanai SLB ABCD ini, ada kebahagiaan dari dalam yang entah kenapa saya rasakan saat mendengar bahwa banyak dermawan yang mau ikut mendanai jalannya yayasan ini, sampai akhirnya Pak Tatang dapat membangun asrama dan membangun 3 lantai yang lantai atasnya dapat dipergunakan untuk para siswa/I untuk berolahraga, mengingat dahulu mereka pernah sempat diusir dari tempat ke tempat karena mereka tidak punya tempat sendiri untuk berolahraga. Hal tersebut merupakan satu dari sekian penolakan yang diberikan terhadap pihak luar terhadap SLB ini, diantaranya perubuhan jembatan yang dulunya dibangun oleh Pak Tatang dengan dananya sendiri, jembatan tersebut ternyata jembatan yang tadi saya dan rekan lewati, Pak Tatang juga menyebutkan jembatan tersebut dirubuhkan dengan alasan membuka pintu kriminalitas menuju komplek besar yang tadi kami lewati dan penghuni komplek tersebut merasa jadi tidak aman, padahal akses menuju komplek tersebut dari pemukiman yang lain juga banyak, tetapi hanya dari kawasan pemukiman Pak Tatang saja yang ditolak. Selain Pak Tatang, para karyawan, seperti guru, yang ada di SLB ABCD ini juga memiliki cerita perjalanan hidup dalam mengabdi yang berbeda-beda, semuanya berjuang pada jalannya dan saya tidak bisa tak terharu mendengar cerita mereka. Banyak dari mereka diangkat menjadi PNS setelah puluhan tahun menjadi honorer dengan gaji yang jauh dari kata layak.
Setelah berbincang, kami pergi ke lantai atas untuk melihat proses pembangunan asrama dan lain-lainnya, setelah itu, kami pergi ke bangunan SLB ABCD untuk menemui siswa/I di sekolah tersebut. SLB ABCD terdiri atas 43 siswa/I yang memiliki rentang dari siswa sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas. Peserta didik SLB ini terdiri diantaranya penyandang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, dan tuna grahita. Mereka bertempat tinggal di Kecamatan Babakan Ciparay, mengingat SLB kini sudah tersedia di hampir tiap kecamatan, minimal satu. Saat saya memasuki ruangan yang berisi siswa/I tersebut, hati saya terenyuh, yang saya lihat hanya kebahagiaan yang terpancar dari tiap-tiap anak yang tiap orangnya seragamnya berbeda sesuai tingkatannya. Karena hari Jumat adalah hari keagamaan, beberapa diantara mereka berdiri dengan judul ujian hafalan doa, beberapa lagi menunduk belajar mengaji, beberapa duduk tersenyum dan tertawa melihat temannya. Mereka terlihat tidak punya masalah atau hal yang mereka khawatirkan pada saat itu.
Kunjungan kami ditutup dengan sesi foto-foto bersama siswa/I, juga dengan Pak Tatang, setelah itu kami kembali menyusuri jalan yang kami tempuh sebelumnya dengan pengetahuan lebih atas jembatan yang kami lalui untuk kedua kalinya. Sepanjang jalan Pak Slamet memberi kami materi tentang organisasi, perbandingan Direktorat Jenderal Pajak dahulu dan sekarang, dan stigma yang menempel pada instansi ini. Lalu kami sampai kembali di kantor pada pukul 11.30. Perjalanan kami ditutup.
Perjalanan ini membuat saya benar-benar ingin belajar bagaimana caranya saya mengubah apapun menjadi sebuah kebahagiaan apapun keaadaan saya, berbuat baik bagaimanapun keadaan saya, dan berguna apapun atau bagaimanapun diri saya. Seperti apa yang Pak Tatang ucapkan, “Kita harus yakin mampu untuk berbuat baik, meskipun tidak, yakinkan diri kalau kita mampu, kita mampu.”
Saya tidak menyesal berjalan.
1 note
·
View note
Text
Anak Tropis bertemu Salju di Bursa ~
(Perjalanan Turki 5~Bursa)
Selasa, 19 Februari 2019
Pukul 07.00 est di hari selasa, 19 Februari 2019. Adzan subuh berkumandang. Kubuka gorden jendela di sampingku. Langit masih gelap, suhu menunjukkan 1° celsius dari layar ponselku. Saat itu kami benar-benar masih kelelahan. Rencana kami untuk berangkat setelah subuh, mundur beberapa jam untuk mengisi tenaga.
Selesai berkemas pukul 10.00 est kami berangkat, menuju kota pertama tujuan kami, Kota bursa. Kota yang ditempuh dengan lama kisaran 3 sampai 4 jam dari kota Istanbul.
Dari rumah esra, kami angkat koper menuruni 5 lantai. Naik otobüsü (busway) menuju halte metro şirinevler. Pagi itu otobüsü penuh dengan para penumpang. Aku sendiri pun juga harus menjaga keseimbangan. Di samping itu ada koper yang harus kujaga juga keseimbangannya agar tidak terjatuh. Ah, di tikungan fly over hampir saja aku terjatuh.
Setelah beberapa menit dan sedikit kemacetan, kami sampai di halte şirinevler. kami ingin mengisi saldo istanbulkart. Karena uang yang kami bawa masih terbilang cukup besar nominalnya. Akhirnya bella berinisiatif untuk menukar uang di bread shop samping pintu masuk metro. Ternyata tidak bisa, karena sistem pembayarannya memakai mesin. Wah.. tidak akan keliru dalam menghitung donk.
Akhirnya bella membeli 2 buah roti simit dan satu kotak kecil susu. Ya.. sekalian mengganjal perut. Agak lapar saat itu, meski sudah sarapan roti dan telur. Tentu masih lapar donk, kurang afdhol kalau tidak makan nasi.
Saat menunggu metro aku melihat kucing berbaring di kursi tunggu. Tidak hanya aku yang memperhatikannya. Bapak-bapak di sekitarnya juga mendekatinya. Aku mencoba mendekatinya, tapi dia bangun, sontak aku langsung terkejut. Bapak yang duduk disamping kucing tadi tertawa dan berkata padaku dalam bahasa turki. Entahlah aku tidak tahu artinya. Aku hanya membalasnya dengan senyum.
Metro yang mengantar kami menuju stasiun otogar sudah datang. Kutarik koper menuju dalam metro. Berdiri di pojok sambil memegangi koper. Beberapa menit sampai di stasiun otogar tujuan kami.
Keluar pintu, biah sudah berjalan duluan memandu jalan kami. Di otogar sudah banyak counter perusahaan bus berjejer. Segala macam tujuan antar kota ada. Kami memilih "Metro Bus". Aku dan bella duduk di kursi, biah yang bertransaksi dengan petugas diantara meja panjang yang memisahkan mereka.
Beberapa menit setelah itu biah berjalan menuju kami yang sedang duduk dengan membawa tiket. 1 orang dikenai biaya 50 tl (Turkish Lira) dengan keberangkatan pukul 10.30 est.
Oia semua bus antar kota di Turki berfasilitas seperti pesawat. Di tiap kursinya ada Lcd tv layar sentuh. Ada Pramugara mengantar makanan ringan dan aneka minuman yang tersedia di rak. Serta fasilitas wi-fi yang membantuku berkomunikasi. Karena kami belum membeli sim card telepon genggam.
Di tengah perjalanan aku menonton film "between us". Sesekali tanganku mengetik beberapa pesan pada Mr.Ibrahim. dia orang asli Turki istrinya asli Indonesia yang kukenal lewat sosial media. Dialah yang akan menemani kami selama 1 hari di Bursa.
1 jam berlalu, Mr. Ibrahim menanyakan di mana posisi kami. Kukirimkan lokasi tepat kami melalui google map. Dia memberi tahu bahwa kami masih di istanbul. Aku sedikit terkejut.
"Sudah selama ini kenapa masih di istanbul?", fikirku.
Setelah kulihat, ternyata bus ini menjemput penumpang lain dulu di beberapa titik terminal di istanbul. Setelah 1 jam selesai, barulah bus ini keluar kota menuju bursa. Jadi kesimpulan dari prediksiku adalah, perjalanan 3 jam ketika sudah keluar dari kota istanbul. Jadi kemungkinan total perjalanan 4 jam dan kami sampai Bursa sore hari.
Sepanjang perjalanan aku sedikit merasa gelisah.
"Padahal kami ingin puas bermain salju, kalau kesorean begini bagaimana ya?",Gumamku.
Bagaimanapun semua sudah terjadi, ini diluar prediksi manusia. Segala apapun yang terjadi sudah kupikir bahwa semua ini atas KuasaNya. Lagipula juga wajar kami terlalu capek karena baru sampai Turki semalam.
Sampai terminal atau dalam istilah turkinya "otogar" pukul 15.00 est. Otogar di bursa bagus tempatnya tertutup, jadi tak perlu kedinginan menunggu di musim dingin. Lalu banyak counter bus dan beraneka macam kedai makanan. Ada juga mini market yang menjual souvenir maupun camilan.
Sampai sana kami ke toilet umum, jangan dibayangkan toilet umum pada umumnya ya. Toilet umum di sini super-super bersih. Pintu masuknya pun seperti di supermarket, tidak akan bisa masuk sebelum membayar. Tiap orang dikenai biaya 1,5 tl. Setelah itu kami melaksanakan sholat di musholla, masih di dalam otogar.
Di dalam otogar kami mencari-cari money changer, sudah tanya sana-sini dan melihat papan petunjuk tapi hasilnya nihil. Bingung sudah kami, uang lira yang kami bawa menipis, hanya ada 30 lira di saku bella.
Ya sudah, kami memutuskan menuju terminal bus yang akan membawa kami ke gunung salju Uludağ. Sebenarnya Mr. Ibrahim sudah memberi petunjuk naik bus apa untuk sampai sana. Tapi kami bertanya lagi ke petugas yang berjaga di pusat informasi dekat pintu keluar. Setelah bertanya dengan bahasa Inggris eh di jawab dengan bahasa Turki.
Warga lokal di sini memang jarang berbahasa Inggris, karena bahasa Inggris bukan mata pelajaran wajib di sekolah.
Aku dan biah hanya mengangguk-angguk sambil memperhatikan isyarat tangan dan mimik wajah dari petugas itu. Ya kali aja kan, ada ilham tersirat, kami jadi faham maksudnya.
Meski tidak begitu mengerti apa maksud petugas, kami mengambil kertas berisi rute yang ditulis oleh petugas tadi, kami keluar otogar menuju terminal otobüsü. Alhamdulillah kami bertemu warga lokal yang bisa berbahasa inggris, dia juga pernah berkuliah di jerman terangnya. Kami dibantu membeli tiket transportasi otobüsü (Bursa Card) dengan harga tiap orang sekitar 8 tl untuk sekali pakai pulang pergi. Dia juga menjelaskan bagaimana kami bisa sampai di tempat tujuan kami "teleferik".
Aku memandangi bangunan di luar jendela. Swayalan besar, deretan rumah pemukiman. Rintik hujan sesekali menetes membasahi jalan dan mengalir di jendela tempat kami menatap keluar.
Kami menaiki bus nomor 94 dengan koper kami tentunya. Kupikir meletakkan koper tanpa memeganginya aman-aman saja. Ternyata perkiraanku salah. Aku menyasikkan koper kami jatuh beberapa kali, saat bus miring mengikuti jalan yang berbelok. Akhirnya kuubah posisi koper dengan tertidur.
Beberapa menit berlalu, kami agak bingung dimana kami harus turun. Aku bertanya pada sopir, dia hanya mengangguk tanpa berbicara. Pikirku dia tak berkomunikasi dengan bahasa inggris. Aku melihat jam di tanganku, "sepertinya untuk sampai ke tempat tujuan membutuhkan waktu sampai 1 jam".
Tentu saja benar, entah tahu darimana biah mengkomando kami agar kami turun. Setelah kutanyakan, dia tetap menjawab dengan yakin bahwa kami harus turun. Kami turun dan sedikit berjalan. Kami belum mempunyai nomor sim card lokal alhasil, kami agak bingung bagaimana caranya menghubungi Mr. Ibrahim.
Kami menghentikan laki-laki yang lewat untuk meminjam telepon genggamnya. Tapi nihil, dia tak mengerti maksud kami. Dia hanya menunjuk pangkalan taksi yang tak jauh dari kami. Ya sudah kami mencoba berjalan menuju pintu masuk dan menanyakan hal yang sama pada polisi perempuan ini. Dia juga tak faham maksud kami. Tapi untunglah dia memanggil teman sesama polisi yang bisa berbahasa inggris.
Bapak polisi ini menanyakan apa yang kami butuhkan. Kami menjelaskan kepada beliau, syukurlah beliau menelepon Mr.Ibrahim. setelah itu beliau menjelaskan pada kami bahwa kami harus turun di pos akhir cable car menuju gunung uludağ untuk bertemu Mr.Ibrahim di sana.
Dari bapak polisi ini juga memberitahu kami bisa menukar uang di loket tiket. Akhirnya... setelah mencari money changer dari tadi. Untuk ratenya jangan tanya deh, tahu sendirilah kawasan wisata.
Kami mendapatkan 3 tiket cable car (teleferik) pulang pergi dengan harga 80 tl tiap orangnya. Untuk orang yang bekerja di sini bisa mendapatkan harga 40 tl. Jadi kalau kamu punya kenalan yang bekerja di sini bisa titip mungkin hehehe.
Di sana tidak ada penitipan koper, jadi kami tetap membawa koper memasuki cable car. Karena kami juga menuruti komando Mr.Ibrahim yang katanya akan menyimpan koper kami. Jadi untuk kalian yang ingin menitipkan koper silahkan titipkan di otogar bursa tadi.
Langit sore tak begitu tampak tertutupi putih salju di sekeliling kami. Teleferik yang kami naiki perlahan naik menuju gunung uludağ. Teleferik ini berbentuk seperti kubus, semuanya kaca tembus pandang. Jadi pemandangan luar tampak jelas. Dibawah kami pohon-pohon hutan cemara berdiri dengan gagah. Ada rasa sedikit takut dan was-was tapi rasa bahagiaku mengalahkan itu semua.
Di pos 2 kami berganti teleferik, sambil mengangkat koper kami harus adu cepat keluar dengan teleferik yang masih terus berjalan. Perjalanan makin menanjak gunung uludağ tampak terlihat jelas dari tempat kami duduk. Aku membayangkan betapa lembutnya salju yang menutupinya.
Pukul 6 sore kami sampai di pos 3 kami hanya punya waktu bermain di sini selama 2 jam. Karena teleferik tutup pukul 8 malam. Agak sedih sih batinku, tapi bagaimana lagi tak ada yang harus disesali. Turun dari teleferik kami langsung bertemu Mr. Ibrahim yang telah menunggu kami.
Kami diajak ke kafe tempat beliau bekerja. Beliau memberikan kami menu makanan. Maklum harganya lebih mahal dua kali lipat Setelah makanan sampai kami tak boleh berlama-lama makan katanya. Beliau ingin menunjukkan kami tempat bermain ski. Kami langsung bersemangat untuk segera menyelesaikan makan kami. Ketika kami akan membayar Mr.Ibrahim mengatakan bahwa semuanya gratis dari manajer beliau. Sungguh baik sekali mereka semua.
Barang-barang kami dititipkan di cafe. Kami diajak keluar oleh Mr. Ibrahim berjalan-jalan di sekitar kafe. Wah.. tak kusangka aku melihat dan memegang salju dan Langit saat itu cantik berwarna orange kemerahan, kami segera buru-buru berfoto sebelum gelap datang. Kami ditawari untuk menyewa motor ski, ternyata mahal. Ya sudah kami hanya naik ski modelnya seperti mobil-mobilan anak balita hahahaha.
Kami harus berjalan sedikit menanjak dengan menarik mobil-mobilan itu. Setelah sampai di permukaan yang landai Mr. Ibrahim menjelaskan bagaimana cara kerjanya. Kami hanya meluncur saja, stir yang di depan kami sebagai kemudi dan dengan menariknya otomatis akan mengerem. Aku agak takut, lumayan tinggi dan tentu saja licin. Aku meluncur dengan berteriak kencang hahaha, untung saja saat itu sepi sekali.
Setelah puas bermain dan langit sudah gelap kami kembali ke kafe. Beberapa kali aku terjatuh karena licin. Maklum aku hanya memakai sepatu sport, di track batu es aku bisa terjatuh. Jangan ditiru ya hehehe jadi pakailah sepatu boot yang benar-benar boot.
Kami menghangatkan diri di dekat perapian dan meneguk teh panas. Sambil berbincang bersama Mr. Ibrahim menanyakan berbagai hal.
Ternyata waktu cepat berlalu, jika diizinkan aku ingin menginap di sini. Sayangnya kami harus tetap melanjutkan perjalanan. Hampir pukul 8 malam kami segera turun menaiki teleferik. Ternyata suasananya berbeda saat berangkat tadi. Mungkin karena malam hari dan gelap. Kami pun hanya bisa melihat kerlipan lampu dari kejauhan. Kaca teleferik juga tertutup embun air.
Sampai di bawah kami mencari sim card sebelum kembali ke otogar menaiki bus. Mr. Ibrahim ikut mengantar kami juga. Tiba-tiba saja ada laki-laki menghampiri kami saat kami mengobrol. Awalnya aku bersikap biasa saja, tapi ternyata ada firasat aneh di pikiranku. Aku dan lainnya hanya diam, Mr. Ibrahim saja yang meladeni laki-laki itu.
Sesampainya di otogar Bursa kami memesan tiket bus Metro menuju Izmir dengan harga 35 Tl tiap orang. Setelah itu kami berencana berpamitan dan berpisah di situ. Ternyata Mr mengatakan akan menemani kami sampai naik bus. Karena kata Mr. Ibrahim laki-laki su**ah yang kami temui di bus tadi mengikuti kami sampai otogar.
Menuju Izmir...
(To be continue...)
~ Bersama Mr. Ibrahim ~
3 notes
·
View notes
Text
Resign
6 bulan silam, fresh graduate. Tidak betah mengganggur dirumah, memaksakan untuk bekerja yg waktu itu menurut saya tidak sesuai passion. Berangkat dari rumah menuju polindes (pos bersalin desa) dengan berat hati, sepanjang jalan muter musiknya float-sementara. Entah tak terasa akhirnya tiba waktu resign. Bukan kehendak pribadi, bukan juga kehendak orang lain. Datang dengan berat hati, pulang pun juga. 6 bulan waktu singkat dengan banyak pengalaman. Hal-hal yang tak pernah diajarkan oleh teori selama masa kuliah. Tetiba muncul rasa cinta terhadap profesi, kecuali ketemu ibu bersalin yaa hehe. Beberapa hal teringat dan terkenang selama bekerja, digedor pintu jam 12 malam kunjungan rumah ditemani rintik hujan. Pengetahuan masih nol, ya notabene teori murni kebidanan. Tapi nyatanya dilapangan ternyata kompleks. Bakal kangen dengan gedoran pintu, celetukan "bu ibu ada orang pingsan, ada orang meninggal, ada kecelakaan dll". Entah kenapa setelah dewasa ini memang lebih suka dipanggil ibu-ibu. Belum lagi kebaikan warga sekitar suka berbagi susu segar berliter-liter secara cuma-cuma, hasil ladang berupa rempah dan sayur-sayuran, digratiskan ketika tau bahwa saya salah satu bidan yang ditugaskan di desa ini. Dari sini saya berpikir bukan materi yang buat bahagia hati, tapi kebaikan-kebaikan orang lain yg membawa berkah dalam hidup ini. Mungkin awal-awal sempat di-nyinyir, karna saya orang baru tapi lama-lama seperti keluarga sendiri, bukan desa saya lahir tapi ada rasa memiliki. Terimakasih pujonkidul untuk 6 bulan yg memberi hidup banyak arti.
5 notes
·
View notes
Text
Yuk ke Turki !
Part 1
Kairo
04.00 18 Februari 2019
Subuh ini ga kayak biasa. Ada yang bikin semangat untuk bangun. Padahal baru 2 jam lalu tidur.
Hp ku bergetar. Ada notifikasi dari kalender. Berangkat ke Turki, tulisannya.
Waw. Akhirnya hari yang ditunggu tiba. Setahun lalu kayaknya cuma asal bilang "Februari 2019 aku mau ke Turki." Dan hari ini Allah kabulkan itu. Awalnya cuma rencana iseng antara aku dan 2 temanku. Bella dan mbak Fikr.
Pagi ini setelah rutinitas sholat subuh dan bersih-bersih semua, aku dan Bella berangkat dengan Uber kemudian jemput mba Fikr dan langsung menuju bandara.
Jalanan pagi itu macet parah disatu titik. Ada perbaikan jalan,katanya. Penerbangan kami pukul 10.30 clt. Dan pukul 08.30 kami masih di jalan macet itu.
Alhamdulillah setelah galau takut ketinggalan pesawat, pukul 09.15 kami tiba di bandara.
Check in dan urus semuanya.
Beres.
Naik pesawat. 2 jam menuju Athena. Ada transit dulu 6 jam sebelum lanjut ke Istanbul. Oke gapapa. Namanya juga cari tiket murah.
Ngomong-ngomong tiket murah, aku dapat harga lumayan murah. 235 USD return. Tips dari aku biar dapat tiket murah, pesan tiketnya dari jauh-jauh bulan. Bukan jauh-jauh hari loh ya. Aku pesan tiket dari bulan Desember. Itupun udah naik dari bulan November. Jadi semakin jauh kalian pesan tiket, kemungkinan dapat harga murahnya semakin tinggi. Dan satu lagi.
Di pesawat ya kayak biasalah. Tidur. Makan. Ga kerasa udah nyampe aja di Athena. Kebiasaan naik pesawat ke indo yang berjam-jam.
Di bandara Athena ga ada mesjid atau mushola gaes. Ya ga kaget sih karena udah dibilangin sama temen yang pernah ke sini sebelumnya. Oke gapapa. Tapi ternyata wudhu pun ga bersahabat pemirsa. Ya namanya juga orang barat kan ya toiletnya kering. Lah kita wudhu masa ga basah (?) Tayamum itu mah namanya. Pas kami wudhu, ada mbak-mbak warga lokal yang melihat dengan tatapan aneh. Mungkin pikirnya itu ngapain kali ya becek-becek. Maybe
Setelah 6 jam lumayan bosen, akhirnya kita take off lagi menuju Istanbul.
Pukul 22.30 tiba di Attaturk international Air port. Ada kawan yang akan jemput. Namanya Esra. Malam itu kami dijemput dan tidur di rumahnya.
Istanbul ke Bursa
10.00
Selasa, 19 Februari 2019
Hari pertama di Turki agenda kami menuju Bursa. Salahsatu kota di Turki yang berjarak 3 jam berkendara dari Istanbul. Berhubung pagi itu kami semua kesiangan karena semalam sangat lelah, akhirnya berangkatnya pun telat.
Dari rumah Esra menuju otogar (terminal) Kami menggunakan bus ke arah metro Şirinevler. Setelah itu naik metro arah Otogar. Di Otogar kamu bertanya kepada petugas bagaimana kami bisa membeli tiket bus ke Bursa.
Keluar dari otogar, kalian akan melihat banyak sekali konter bus ke berbagai daerah. Petugas bilang kami harus ke konter Metro tourism bus. Salah satu perusahaan bus antar kota di Turki. Harga tiket 50tl (Turkish lira)per orang. Keberangkatan pkl 10.30. Oh ya, disini ga semua orang bisa bahasa Inggris. Sampe petugas pun jarang yang bisa. Jadi kalau kalian ga bisa bahasa Turki dan cuma mengandalkan bahasa Inggris, mending coba kuasai juga bahasa isyarat. Karena itu sangat membantu. Juga bisa download aplikasi terjemahan bahasa. Itu juga membantu.
Oke lanjut ke perjalanan menuju Bursa.
Tiba di Otogar Bursa pukul 15.00. Ga tau kenapa perjalanan jadi lama banget. Padahal normalnya cuma 3 jam. Jadilah kami kesorean. Tujuan kami di bursa adalah gunung Uludağ. Gunung salju di Turki. Sebelum lanjut ke gunung Uludağ, ada sedikit drama. Kami kehabisan uang lira dan di Otogar Bursa ga ada money changer. Uang disaku cuma ada 30 TL. Sedangkan kami harus beli tiket bus ke atas dan tiket masuk ke teleferik (cable car).
Ga mau dong liburannya jadi rusak gara-gara panik. Bawa santai. Tiba di Otogar Bursa, cari hamam (toilet), sholat dan cari petugas yang bisa bahasa Inggris untuk nanya rute perjalanan kita. Tanya sana sini ke beberapa petugas. Mereka ngejelasin pake bahasa Turki. Hayoloh...bingung lah haha.
Sampe ada yang nulisin rute. Dikasih rute sama si bapak. Disuruh keluar dari terminal. Dikasih nomor bus. Oke nurut.
Diluar ada terminal bus umum. Beli tiket untuk pulang-pergi. Nah di loket itu Alhamdulillah ketemu warga lokal yang bisa bahasa Inggris. Dia pernah kuliah di Jerman, katanya. Dijelasin kita harus kemana dan naik apa.
Tujuan kita teleferik. Naik gunungnya pake cable car. Bus nomor 94. Sambil bawa koper, kita naik bus itu. Jadi pusat perhatian dong. Tapi seru. .
Perjalanan ke teleferik lumayan lama. Satu jam kayaknya. Kami punya kenalan yang akan jemput di teleferik. Orang Turki yang nikah dengan orang Indonesia.
Sampai di teleferik -sempat hampir kelewat sih- kami hubungi Mr. Ibrahim, kenalan kami. Ohya di Bursa ini kami belum punya SIM card lokal. Tau dong gimana caranya ngehubungi si mister ini (?) Kami berheniin orang lewat, coba pinjem hp. Percobaan pertama gagal. Si Abang ini ga ngerti maksud kami. Malah disuruhnya kami ke pos taksi. Lah (?)
Yaudah lanjut jalan ke atas cari petugas. Ada Ibu-ibu gitu. Kami ajak ngobrol. Beliau ga paham. Tapi beliau manggil kawannya yang bisa bahasa Inggris. Bapak-bapak. Ditanyanya kami mau kemana dan butuh apa. Kami bilang butuh telpon untuk ngehubungi kawan. Alhamdulillah si bapak ini mau nelponin Mr Ibrahim. Dijelasin panjang lebar. Kami disuruh naik ke atas pake teleferik sampe ke pos terakhir. Mr Ibrahim nunggu disana.
Di loket tiket teleferik bisa tukar uang. Ya rate-nya kecil sih. Tapi mau gimana lagi(?) Butuh. Yaudah tukar sekaligus beli tiket. 80TL perorang. Lumanyun gaes.
Yuhuu kami naik gunung dengan teleferik yang tembus pandang. Bisa lihat dong pemandangan di bawah. Hutan. Asli sih ini agak horor. Tapi seru. Oh ya di kapsul teleferik ini kami cuma bertiga. Ditambah 3 koper, 3 ransel, 2 tas kamera. Ya penuh sih haha. Namanya juga ga sewa hotel jadi barangnya harus ikut.
Alhamdulillah sampai di pos 3 dengan selamat. Udah jam 6 sore sih. Dan teleferik ini tutup Jam 8. Ada waktu 2 jam.
Turun dari kapsul langsung disambut Mr Ibrahim. Ternyata beliau kerja di salah satu kafe di atas gunung Uludağ ini gaes. Kami diajak ke kafenya. Ohya itu udah saljuan ya. Tau dong reaksi aku pertama kali liat salju? Iya agak norak sih. Maaf ya haha.
Udaranya dingin banget. Tapi cerah. Alhamdulillah. Di kafenya kami pesan teh panas dan makanan yang harganya terjangkau. Ya namanya kafe diatas gunung. Harganya dua kali lipat. Mr Ibrahim bilang makannya jangan lama-lama karena mau ditunjukan tempat main ski. Oke. Selesai makan, diajak keluar. Barang kita semua dititip di kafe. Dan yang amazingnya lagi, makanan kami semua free. Gretongan booo. Tau gitu pesen yang enak sekalian kan. Haha. Yaudalah ya gaes.
Kami diajak jalan-jalan sekitar kafenya. Ada tempat penyewaan motorski. Tapi mahal. Kami mau jalan-jalan aja. Ternyata salju licin. Dasar Biah ndeso. Padahal aku udah persiapan sepatu boot yang lumayan kuat loh. Tapi masih aja jatuh. Disana kami foto-foto aja. Ya udah gelap juga. Lumayan puas, balik lagi ke kafenya. Minum teh lagi.
Jam 8 kurang sedikit kami turun dan naik teleferik lagi. Jadi akses naik ke gunung Uludağ ini bisa naik teleferik bisa juga minibus atau taksi. Mr Ibrahim ngantar kami sampai ke Otogar. Awalnya cuma diantar aja. Tapi di bus kami ketemu orang yang agak 'usil' dan orang itu ngikutin kami sampe masuk ke Otogar. Akhirnya si mister nungguin kami sampe bus menuju Izmir datang.
Bursa ke Izmir
Bersambung...
1 note
·
View note
Text
Dedicated post to myself 🧚♀️
Throwback, beberapa bulan kemarin. Maret 2021.
Perkenalkan kembali, aku adalah seseorang yang berambisi cukup tinggi jika menginginkan sesuatu. Ditambah lagi di sisa-sisa tahun terakhirku berada di kota 5-6 tahun terakhir, Yogyakarta. Dan juga di sisa batas akhir usiaku yang tak lagi muda untuk ikut suatu ajang pemilihan, sebut saja sejenis Duta Wisata. Tahun ini, pemilihan Dimas Diajeng Kota Jogja dibuka. Sudah cukup lama menantikan pembukaan pendaftarannya, karena pemilihan Dimjeng tsb berlangsung tiap 2 tahun sekali dan berselingan dengan pemilihan Kab. Sleman. Faktanya, tahun lalu dan 2 tahun lalu aku juga sudah mencoba ikut pemilihan Dimas Diajeng tsb untuk Kab. Sleman. Dan tahun ini adalah kali pertamanya aku mengikuti seleksi untuk Kota Yogyakarta.
Rekam jejak ningrum finally bisa in frame dan masuk ke IG nya pas lagi tes tertulis Dimjeng Sleman Februari, 2020 lalu. Bersama teman kenalan pas tes, Dimas Fadli yang ternyata doi juga anak kesehatan, anestesi kalo gasalah. Dan doi lolos sampe final dong warbiasa kenalanku pada lolos kabeh. Seneng akutu.
instagram
Berawal dari ketertarikanku untuk mencoba segala hal baru, menambah pengalaman, relasi, dan keinginan sedari kecil untuk mengikuti pemilihan sejenis. Dari SD juga udah suka ikut Bujang Dara untuk di Riau namanya, tapi baru sekali masuk Finalis dan karena masih tingkat SD jadi untuk sesi tanya jawab gitu gapake. Yakali, anak SD ditanyain kontribusi untuk daerah kamu gimana dalam memajukan budaya dan pariwisata? Targetku sedari dulu, tidak harus jadi pemenang karena ya tidak semudah itu. Kutanamkan bahwa suatu kemenangan adalah bonus, dan merupakan hasil yang sebanding dengan usaha, serta jalan hidup yang sudah ditakdirkan untuk jadi pemenang. Karena yang terpenting dari mengikuti suatu kompetisi adalah proses atau pengalamannya. Keinginanku kala itu, di tahun terakhir percobaan ini setidaknya pengen sampai ditahap wawancara atau tanya jawab dengan juri. Karena disana aku ingin berlatih bagaimana caranya menghadapi pertanyaan & berusaha menjawab dengan cepat tepat. Pengen tau rasa degdegannya yang pastinya ga main-main.
Sepik sedikit tentang timeline pemilihan Dimas Diajeng Kota Jogja kemarin 👇
instagram
Emang kebiasaan juga, tipekal anak deadliners. Jadi, dia sambil main yes or no challenging diri gitu. Kalo semisal ini pendaftarannya diperpanjang, berarti emang jalannya dikasih kesempatan untuk ikut. Kalo engga yaudah berarti emang disuruh istirahat. Jeng jeng, dapet lah timeline barunya itu. Karena proses daftarnya emang lumayan effort ga effort HEHEHE apalagi dikerjain semuanya sendiri. Wadaw, rasanya mantab bosss.
Sebenarnya ga ribet-ribet juga, apalagi daftarnya gratis kan. Cuma modal foto sesuai ketentuan, dicetak ukuran sesuai syarat, upload video perkenalan di youtube, dan ada surat keterangan domisili nih. Alhamdulillah untuk perfotoan minta bantuan sama kak sintia makasi banyak kak, udah mau jadi fotografer super dadakan di kosan aja dengan properti alakadarnya (background kain putih sama ring light). Kemudian untuk take video youtube kebetulan record sendiri, mulai dari bikin naskah isi video perkenalannya gimana sama pendapat tentang pariwisata era pandemi dan unjuk bakat. Ngakak kikuk sih bagian unjuk bakat ini. Beneran sampe sekarang gatau dia bakatnya apa. Tapi, yasudahlah tampilkan saja apa yang dipunya yakan. Setelah itu, dengan bermodalkan keahlian editing foto dan video abal-abal mandirinya juga dia selesaikan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Flashback video profil calon peserta Dimjeng kala itu di youtube 👇
youtube
Kayanya, waktu itu dalam sehari dia berhasil nyetak foto dan udah prepare berkas lain cv, printout pendaftaran dari gform, dan dimasukin ke map merah muda atau merah gitu untuk diajeng. Lalu, dianter ke dinas pariwisata kota Jogja. Tanyain lah, sama siapa dia ngerjain itu semua? Siapa lagi, kalo bukan dirinya sendiri. Alhamdulillah, dituntut mandiri dan setrong sekali bund. Untungnya, dinas pariwisata Kota Jogja ternyata deket sama circle main seputar kampusnya, di area Kotabaru deketnya Gramedia & Toga Mas juga.
Oh iya, satu lagi. Ada cerita tak terlupakan tentang prasyarat yang super effort untuk dilampirkan satu ini, yaitu surat domisili Jogja. Jujur, kalo gaada syarat begini gabakal tau dan peduli sama ketua RT tempat ngekos dimana. Trus, pas cari tau lokasi ketua RT untuk minta surat domisili ke mba kos, pak satpam, dan alhasil ketemu deh rumahnya. Terimakasih nida yg berhasil diculik saat itu untuk nemenin mintain surat ke pak RT. Kemudian disambut bu RT yang kaget karena suratnya dimintain jadi kalo bisa hari itu juga. Karena deadlinenya besok HEHE monmaap buk pak. Alhasil dengan lobi yahud, ibunya pun menyetujui untuk jadi sore hari sepulang beliau arisan. Alhamdulillah, baik ibu. Sore harinya, aku ambil surat tsb sendiri karena ga mikir macem-macem, toh tinggal ngambil doang kan. Yaudah gapapa sendiri aja. Eh taunya, pas dikasih surat lampiran dari Pak RT melalui Bu RT, beliau suruh aku untuk ditebus minta ttd ke RW lalu baru ke kelurahan gitu. MasyaAllah kan saya kaget, kok jadi panjang jalurnya. Ah udah ah cerita surat domisili skip di sini aja kali ya. Hehehe.
Singkat cerita dengan polosnya, sembari mengumpat & melempar tanya dalam hati, kok jadi ribet gini ya? Emang gini po alurnya? Trus dia carilah rumah Pak RW, berkali-kali bolak-balik muter sana sini, ketemu pak satpam ga ketemu-ketemu. Karena ancer-ancernya kureng jelas gitu dan gaada aba-aba atau plang Ketua RW dsb atau emang saat itu mata saya tidak jelas karena emang ga pake kacamata. Udah itu, dah mau magrib trus mulai sendu merah jambu gitu. YaAllah sedih, dia kebingungan sendiri, mondar-mandir kaya orang linglung. Baterai hape sekarat. Trus akhirnya menyerah dengan nelfon ortu (langsung bapak) tanya tentang emang gini prosedurnya. Entah darimana dapat wangsit, kenapa ga coba tanya panitia kalo surat domisilinya begini aja apakah bisa? Dan ternyata bisa bosss!! Sujud syukur kenapa otaknya ga mikir nanya panitia langsung sedari awal. Tapi, alhamdulillah semua ada hikmahnya.
"Ibu, bapak mohon maaf saya warga yang tidak melanjutkan prosedurnya sampe ke RW, lurah, dst. Mohon dimaklumi."
Sudah selesai tentang persyaratan administrasinya. Tinggal menunggu hasil apakah lolos ke tahap selanjutnya, wawancara online. Alhamdulillah dikasih kesempatan untuk merasakan wawancara online. Selamat, kamu lolos tahap awal!
20 Maret 2021 (Tes wawancara online)
Ketentuan outiftnya pake baju batik, sopan, dan zoom meeting. Di email sudah sangat jelas ketentuan dan lampiran terkait proses wawancara onlinenya. Hanya saja, apa yang akan ditanyakan atau dibahas dalam rangkaian seleksi tersebut tentu masih menjadi tanda tanya. Kembali lagi, sebelum hari-H mungkin H-1 atau H-2 aku bertanya dan cari tau kira-kira di wawancara online tahap awal gini yang dibahas nanti seputar apa ya. Udah semacam kaya materi tentang wisata budaya dll atau malah diajak bahasa jawa gitu ga ya? Alhasil, dapat insight dari Ratih terimakasih teman pimnasku yang ketemu unpredictable pas pemilihan Dimjeng Sleman lalu. Dan berhasil jadi finalis so proud of you, Diajeng Ratih yg sejak saat itu selalu support info terkini ttg perbeauty-pageant-an.Dah mulai was-was karena belum prepare belajar, soalnya sedang degdegan juga sama ujian koasnya yang saat itu masih ditunggu-tunggu infonya. Dan ternyata, hari itu juga dapat info untuk kelengkapan berkas ujian dan ujian diadakan H+6 & 7 hari dari pengumuman tersebut. Btw ujiannya ada 3 jenis dan dilaksanakan 2 hari.
Sudah selesai wawancara online, isinya seputar :
Menanyakan tentang dirimu, siapa kamu, bagaimana kamu, ngapain aja kamu, dan kenapa kamu mau ikut kompetisi ini.
And it's done. Gaada yang nanyain tentang teori Kota Jogja ada berapa kemantren, walikotanya siapa, dsb.
Lagi-lagi ada yang menarik juga dari proses wawancara ini. Satu pertanyaan yang awalnya juga sudah sempet aku pikirkan sebelumnya. Tentang hijab yang di momen tertentu karena harus berpakaian ala Jawa, apakah berkenan untuk tidak menggunakannya. Dan saat itu juga, dengan mantapnya aku menjawab.
"Iya, Dimas. Tidak apa-apa, saya bersedia."
Pokoknya entah kesambet apa, kala itu proses wawancara onlinenya terjawab dengan santai dan mantap banget nih anak mikirnya. Literally, seperti tidak ada beban. Malah kebanyakan cerita, di sini adalah momen untuk jual diri dalam suatu ajang. Menceritakan segala kesibukan saat ini, mengikuti komunitas apa saja, pernah menjadi apa dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan apa, dsb. Seusai itu, tidak lain dan tidak bukan satu satunya yang ia ceritakan adalah kepada orang rumah. Tentang testimoninya bagaimana proses wawancara online tadi. Dan lagi-lagi terlintas untuk dipertanyakan kepada mereka.
"Tadi ada pertanyaan tentang kalau untuk acara tertentu yang mengharuskan gapake jilbab, gapapa?"
"Loh, kok gitu? Ya ga bolehlah. Harusnya masih bisa pake jilbab, kan sekarang ada banyak caranya. Kayak orang nikahan yang sanggulan gitu kan dia dikasih tutupan kepalanya dulu, ...."
Aku sempat terdiam. Lalu, sudah siap atas tanggapan seperti itu. Untungnya, bukan keduanya yang menyanggah jawaban yang sudah mantap kulontarkan kala wawancara berlangsung. Sekali lagi aku beruntung juga, karena mereka memahami kondisi yang ada. Dan sudah begitu konsekuensinya.
"Tadi kakak jawabnya mantap pula, kakak iyain gapapa. Bersedia".
Krik. Krik. Ya gataulah, terserah aja. Oke, lanjut ...
Selang tiga hari setelahnya, dengan tidak sengaja ngecek email. Duar, terkaget-kaget alhamdulillah ternyata si anak satu ini lolos ke tahap selanjutnya (wawancara on site & tes psikotest). Satu hal yang buat dia tersadar dan semakin dagdigdug adalah waktu tes psikotestnya tabrakan sama salah satu ujian di hari itu. Menangis ga tu 🥲 yang tadinya habis melayang naik ke langit ke-7 trus tiba-tiba jatoh seketika nginjak bumi.
Dan, betapa pentingnya ujian ini di periodeku merupakan ujian departemen kedua terakhir yang jadi tiket untuk bisa ikut ujian komprehensif atau tidak. Kemudian, kalo udah lulus kompre barulah bisa ikut ke ujian profesi yang gong dari segala gong (UKMP2DG). Jadi dengan kata lain, ibarat kalau gagal di ujian ini aku akan memiliki kesempatan gagal juga untuk bisa ikut ujian kompre. Eitss, tunggu dulu. Alhamdulillah, ternyata ujian ini ada kesempatan remedialnya 1x. Dan emang ada kesempatan juga untuk memilih, apakah kamu ikut yg periode 1 ujian atau periode 2. Which is, kalo kamu ikut periode 1 trus amit-amit nilai kamu jelek/ gagal, ya kamu bisa remedial ikut periode 2. Tapi, kalo akhirnya kamu memutuskan untuk ikut langsung yang ujian ke-2 kamu wajib lulus! Kalo engga, yasudah wassalam ikut ukmp periode selanjutnya. Hmm, ujian terakhir super deg-deganku adalah di bagian yang aku masih kerjain pasien juga.
Selain itu, di situasi genting ini aku juga masih struggle sama ngerjain kasus endo (perawatan saluran akar) di pasien anak. Setiap minggu kerja terus kejar-kejaran waktu, dari daftar pasien online, war booking dental unit, janjian waktu sama orang tua pasien. Belum lagi, drama haru membiru pasiennya yang super sangat kooperatif sekali. Sudah barang tentu, 1 hari kunjungannya bisa saja tidak membuahkan hasil apa-apa. Hehehe. Lobby, rayu, lobby, rayu supaya mau buka mulut. Ingin rasanya membaca shalawat selalu agar hati tenteram & damai saat kerja. Sampai membuatku jadi eneng roti sobek yang dengan keisengan awal kubuat bekal roti sobek+ceres+susu kental manis untuk si pasien anak. Dan ternyata, doi suka dan tiap kunjungan perawatan berikutnya doi request dibawain itu. Kalo engga, gamau dirawat, gamau datang ke RSGM eaaa 🙃
Sedikit flashback, aku lupa kalo H-1 wawancara online Dimjeng ternyata aku habis ujian salah satu departemen koasku juga. Pake webex, ujian OSCE era pandemi. Yak, tanggal 19 Maret ternyata aku ujian gais. Sepanjang jalan cerita pendaftaran ini emang lagi diselingi dengan ujian-ujian beberapa departemen koasku demi mengejar pendaftaran UKMP2DG periode terdekat saat itu yang katanya April. Tapi alhamdulillah, ternyata diadakan Juni kemarin. Tetapi, untuk maksimal daftar dan setoran nilai semua sudah harus keluar ya tetep di April atau Mei gitu. MasyaAllah Tabarakallah, maka Nikmat Tuhan Manakah yang Kamu Dustakan.
Nothing impossible, when u trust yourself to make it be possible!
Duh masih panjang cerita pas tes psikotest yang bentrok sama ujian golden ticket itu, hmm ceritanya bersambung di Part II aja ga yaa,
Jikalau semangat menulis datang kembali, semoga bisa sharing the pieces of super epic moment in my life ini yaa.
Terimakasih sudah membaca.
1 note
·
View note
Text
Pra-OTFA 2019
Postingan ini Khusus saya buat karena saya kangen OTFA.
Semoga bisa menghibur sesama warga SAI yang juga merindu.
#edisinostalgia
Pertama kalinya, saya dapat amanah mendampingi anak-anak di kelas kecil. Selama ini saya kebanyakan bertapa di Saung Ujung, nempel terus sama anak-anak saya di SD6. Jadi, kali ini saya ganti mode lebih haluuus karena yg akan saya temani adalah sekumpulan anak kelewat imut, saya gak boleh ngegas layaknya kalo lagi sama SD6 hahaha.
Kelompok kami namanya "Kelompok Jeruk". Ada Alifia, Naura, Rumaysa (murid SD1) dan Wulan (murid SD2, pindahan).
"Tenang aja Bu, ini kalem2 semua kok, aman" begitu pesan Fasilitator SD1 ketika mengantarkan ke-4 anak ini bertemu dengan saya. Benar saja, mereka ini memang sebegitu sweet-nya. Rumaysa sangat murah senyum, Naura dan Alifia pemalu tapi nempel terus, dan Wulan gak sedikitpun canggung meski dia murid baru dan harus merasakan pra OTFA bareng adek kelas.
Sejuk hati ini lihat mereka #sholawatinshaaay
------------------------------------------------------------------------------
Tiba saatnya kami main di lahan tetangga, Studio Alam (Studal) TVRI. Kalau sekolah kami dibilang seperti hutan, maka Studal TVRI adalah rimba, lengkap dengan perbukitan yang cocok untuk trekking. Anak-anak sengaja dikenalkan dengan medan untuk trekking di sini sebelum terjun ke gunung yang sesungguhnya saat OTFA nanti.
Yang kami lakukan di sini adalah "bermain", dengan menyelesaikan games di tiap Pos. Nah, Pos 1 dan Pos 2 itu posisinya masih "di bawah", kami hanya perlu jalan dan medannya masih datar. Tapi, untuk bisa sampai ke Pos 3, anak-anak harus mulai mendaki.
Panitia sudah menyiapkan tali yang bisa dipakai untuk berpegangan, sebab untuk ukuran anak-anal ini mestilah pegang tali karena medannya cukup curam untuk tubuh mungil mereka. Di sinilah mulutku dipaksa mengeluarkan kumpulan kata motivasi, sok iya banget macem Mario Teguh hahaha. Gimana engga, 2 dari 4 anakku auto mau nangis pas lihat medannya. Lalu keluarlah kata itu...
"aku takuuut" disusul mata yang siap turun hujan.
------------------------------------------------------------------------------
Setelah melakukan khotbah no jutsu beberapa menit, akhirnya kubiarkan dulu 2 anak ini (Rumaysa dan Naura) mengatur emosi dan mengumpulkan keberanian. Kalo Wulan sih aman, dia dari awal memang paling ngebet pengen ngerasain yang beginian. Saya justru takut nih anak bablas saking semangatnya.
Melihat Wulan bisa naik tanpa kesulitan, Alifia diam-diam memperhatikan dan berhasil menyusul naik. Dari atas, Wulan seketika berubah jadi Naruto, yang doyan semangatin temannya biar gak nyerah "Ayooo Rumaysa, Naura, pegang aja talinya, jangan liat ke bawah" takjub juga saya, dalam hati bersyukur ada asisten buat koar2 wkwkwk.
Alifia yang gak banyak bicara pun ikutan semangatin teman-temannya, naiklah Rumaysa dan Naura pelan-pelan. Di tengah jalan Naura sempat sedikit terpeleset, tapi tangannya masih memegang tali dan posisinya aman. Rumaysa beberapa kali berhenti, tapi tetap naik walau pelan. "Kakinya jangan injek itu, liciin" dari atas Wulan teriak, live report. Sebenarnya, di kanan-kiri jalur itu ada Fasilitator yang siap jaga. Ketika akhirnya sampai di atas, mereka kami sambut dengan tepuk tangan dan air minum. Lalu Naura nyengir dan Rumaysa loncat kegirangan karena sudah berani naik. Semuanya high five. Ini sempat kurekam tapi entah di mana videonya sekarang wkwkwkwk. Wulan gak sabar untuk lanjut jalan, jadi dia mimpin di depan. Anak ini semangatnya memang luar biasa. Ketiga adik kelasnya manut di belakangnya.
------------------------------------------------------------------------------
Pos selanjutnya cukup jauh dari posisi kami saat ini. Kami harus "turun" untuk bisa lanjut, kali ini tidak ada tali. Untuk ukuran bocah, tentu saja jalanan menurun ini bukan medan yang biasa. Rumaysa dan Naura menolak untuk lanjut dan mulai menangis. Di tengah-tengah membujuk mereka, Wulan tetiba berlari turun ke bawah. Aduh, jantungan aku lihatnya.
"Tunggu di situ Nak, jangan ke mana-mana!" Aku teriak dari atas.
Alifia menatapku, seolah meminta izin mau nyusul Wulan ke bawah. Setelah mendapat oke, Alifia turun pelan-pelan, dengah perlahan mengikuti bekas injakan kaki supaya tidak terpeleset.
Setelah memastikan Alifia mendarat dengan aman, aku kembali fokus ke Rumaysa dan Naura. Belum ada tanda-tanda tangisnya akan reda. Khotbah no jutsu sudah kebal, gak masuk ke telinga mereka. Dua anak ini harus bisa kubujuk untuk turun, sebab opsi lain (menggendong) tentu mustahil. Aku gak sekuat itu ... yang ada malah kami jatoh berjamaah. Duh gimanaa ini. Belum kelar otak ini diajak mikir, dari bawah Wulan teriak "Ibu, aku mau pipis"
Jederrrr..
Yassalamualaikum . . . Subhanallah . . .
Toilet terdekat dari posisi kami tidak bisa dibilang dekat. Belum sempat aku meresponnya, Wulan agaknya bisa baca pikiranku.
"Nanti aja deh bu, aku masih bisa tahan"
Dengan mengucap hamdalah, aku beri dia senyuman lega. Oke, nambah PR. Kelar bujuk Rumaysa-Naura, harus cepat cari toilet.
Aku gak terpikir cara lain. Set, tangan dua anak itu kugenggam dan jepit, lalu kami duduk nempel bertiga.
Syuuur~ kami meluncur begitu saja seperti lagi turunin perosotan.
------------------------------------------------------------------------------
Rumaysa dan Naura samar-samar cekikikan, itu muka masih basah tapi sedihnya alhamdulillah musnah. Bisa ditebak sekotor apa bagian belakang rok celana kami. Hari itu, aku merelakan rok jeans-ku berbekas noda coklat tak sedap dipandang mata, di bagian bokong #susaaahilangnyaaaa #ikhlas
Kami berhasil sampai di sekolah lagi dengan ngebut ke toilet karena kebeletnya Wulan nular ke kami semua.
Time skip, malam harinya...
Kami menginap di sekolah, tepatnya pakai tenda di lapangan parkiran mobil. Ini sudah waktunya untuk tidur. Setelah toiletting, sikat gigi dan wudhu, kami mengatur tata letak di dalam tenda agar bisa tidur senyaman mungkin meski ukuran tendanya ngepas. Dari kiri ke kanan ada Wulan, Naura, Alifia dan Rumaysa.
Tepat di sebelah Rumaysa, berjejer carrier mereka. Wulan, Naura dan Alifia sudah sibuk memasang sleeping bag masing-masing.
"Sleeping bag-ku ada di paling bawah, susah ngambilnya" keluh Rumaysa.
Naura yang sudah selesai memasang sleeping bag-nya, langsung mengambil inisiatif, ia keluarkan semua isi tas Rumaysa hingga sleeping bag-nya bisa diambil.
Rumaysa nyengir dan mengucap terima kasih, Naura masuk ke dalam sleeping bag dan Rumaysa merapikan kembali barangnya yang berceceran. Wulan belum juga selesai dengan persiapan tidurnya. Anak ini membuatku takjub karena yang dibawanya adalah kain seprei, bukan sleeping bag. Duh gusti, cem mana ni..
------------------------------------------------------------------------------
"Sebenernya aku punya sleeping bag yang kayak gini (kata Wulan sambil menunjuk sleeping bag Naura), tapi aku bawa ini aja buat alas, soalnya aku kepanasan. Ini sleeping bag versi tipis" jelasnya.
Aku lalu berdeham menahan tawa, tak tahan dengan kepolosannya.
"Wulan, ini namanya seprei. Bukan sleeping bag. Seprei dipasang di kasur, kalau sleeping bag itu kantung tidur" (kutahan mulutku, hanya kuucap dalam hati, takut Wulan tersinggung dan kami perang mulut wkwkwkwk)
Alifia baru saja akan masuk ke dalam sleeping bag nya ketika Rumaysa kembali minta tolong. "Yaudah kamu masuk, nanti aku restleting-in". Akhirnya, Rumaysa masuk ke dalam sleeping bag-nya lebih dulu dengan bantuan Alifia. Alifia jadi yang terakhir masuk ke dalam sleeping bag.
Setelah memastikan posisi tidur mereka sudah oke, serta tiap anak sudah kubaluri minyak kayu putih, kami melantunkan do'a pengantar tidur.
Menyadari sudah tidak lagi ada tempat untukku, Rumaysa bertanya "Ibu nanti tidur di mana?"
"Ibu gak tidur. Jagain kalian" jawabku pelan.
Faktanya, aku ketiduran juga nantinya wakakak #maafyaNakk
------------------------------------------------------------------------------
"Ibu jagainnya di luar tenda?" Tanya wulan
Aku mengangguk.
"Bu, aku baru pertama kali tidur gak bareng Mama" kata Naura
Belum kurespon, Naura berkata lagi "Gapapa deh, belajar tidur sendiri"
"Kan kita ber-4" kata Wulan polos
Lalu kami ketawa cantik, hihihihi
Untungnya, gak lama setelah itu mereka betul-betul langsung terlelap.
Terdengar suara dari luar, "Dalam 5 menit, semua PAK harap berkumpul di Masjid"
Jadi aku keluar dan menuju Masjid untuk briefing PAK. Setelah briefing, aku mampir ke tenda kami dan posisi mereka masih sama. MaasyaaAllah, anak-anak boboknya pulas sekali. Pasti kecapekan mereka.
------------------------------------------------------------------------------
Pukul 2 pagi, Naura bangun karena mau ke toilet, aku jadi khawatir anak ini nanti jadi susah tidur lagi, apalagi baru pertama kali gak tidur sama Mamanya. Tapi Alhamdulillah, dia bisa langsung terlelap lagi setelah buang hajat.
Selanjutnya, aku yang harusnya masih berjaga, nyatanya tepar dan masuk alam mimpi, aku bangun karena mimpi jatoh, terus "DEG" seketika mata kebuka
wkwkwk #TAMAT
0 notes
Text
Story 2: Abdi Negara
Hari pertama pembatasan lalu lintas, ibukota masih ramai. Pasalnya, banyak perkantoran yang belum mengizinkan karyawannya untuk bekerja dari rumah. Tarik menarik antara keselamatan nyawa dan perputaran roda ekonomi kapitalis memang tak bisa dihindarkan.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, pihak kepolisian terutama polantas terpaksa melakukan pemeriksaan kendaraan di setiap pintu tol dan jalan antarkota. Pemeriksaan dilakukan oleh tenaga medis dan pihak kepolisian secara bersama-sama. Setiap kendaraan yang lewat harus diperiksa jumlah penumpangnya, kemudian setiap pengguna kendaraan akan diperiksa suhu tubuh dan denyut jantungnya. Bila ada pengguna kendaraan yang menunjukkan gejala ringan, maka akan diminta pulang dan melakukan karantina mandiri. Bila ada gejala yang cukup jelas, maka akan dievakuasi ke pusat kesehatan. Bila ada yang menunjukkan gejala genting maka akan dilakukan prosedur B3.
Debby menyeka keringat di pelipisnya. Polwan bermasker dan berambut pendek itu sibuk membantu rekan-rekannya mengatur laju lalu lintas di pos pemeriksaan pintu gerbang tol. Sesekali ia akan menghela napas. Hari ini sangat melelahkan bagi gadis itu. Sejak Subuh, ia dan para polisi lainnya sudah berjaga di pos. Kakinya mulai terasa agak sakit dan punggungnya pegal. Untunglah, kondisi jalanan lumayan kondusif. Sejauh ini, baru ada dua orang yang terpaksa diminta pulang karena gejala ringan. Selebihnya terpantau aman.
"Selamat pagi, Pak? Boleh lihat SIM dan STNK-nya?" tanya Debby kepada seorang pengemudi mobil yang ia berhentikan.
"Boleh, Bu," jawab si pengemudi sambil membuka-buka dompetnya.
"Bapak, pagi ini mau ke mana?" tanya Debby ramah sembari tersenyum. Sayang senyum manisnya itu terhalang masker. Biasanya, senyum itu adalah senjata rahasianya. Siapa pun, mulai dari pimpinannya hingga pelanggar lalu lintas akan luluh bila ia lemparkan senyuman.
"Berangkat kerja, Bu," jawabnya sambil menyerahkan surat-surat lengkap.
"Perusahaannya belum memberlakukan WFH, Pak?" tanya Debby sambil memeriksa surat-surat tersebut.
"Sudah, Bu. Tapi saya dapat giliran masuk hari ini. Ini surat tugas dari kantor saya." Pria itu mengambil sebuah map berwarna putih.
Sambil menyerahkan surat, pria itu mencoba mengamati wajah Debby. Meski wajah sang gadis tertutup masker, tapi ia tahu bahwa polwan itu punya paras yang cantik. Tidak salah, sebab foto-foto Debby memang sudah tersebar di berbagai akun Instagram "koleksi polwan cantik" dan banyak mendapat komentar positif.
"Baik, surat-suratnya lengkap. Silakan melanjutkan perjalanan. Tetap ikuti protokol physical distancing ya, Pak. Pakai masker, cuci tangan dengan sabun, dan bila libido memuncak mohon segera dituntaskan. Selamat siang, selamat jalan," ucap Debby, mengulangi kalimat formalitas yang sudah diajarkan kepadanya. Entah sudah berapa ratus kali ia mengucapkan kalimat itu sejak ikut pelatihan hingga turun ke jalan.
"Siap, Bu Polwan!" jawab si pengemudi.
Mobil itu segera melanjutkan perjalanan. Debby menghela napas. Antrean mobil di belakangnya masih panjang. Rekan-rekannya yang lain pun sama sibuknya.
Ia memang kesal dengan wabah Sexflu ini. Selain membahayakan nyawa manusia dan mengganggu perekonomian, wabah ini juga telah merusak rencana pribadinya. Ia ingat pada tunangannya di luar kota, seorang pengusaha mapan yang sejak lama sudah menyatakan siap untuk meminangnya, tapi tak juga terealisasi.
Debby sebenarnya sudah meminta izin kepada atasannya untuk melangsungkan pernikahan. Tanpa banyak tanya, atasannya sudah memberikan izin. Namun prosedur adalah prosedur. Debby harus mengikuti sidang resmi terlebih dulu sebelum dinyatakan mendapat izin melangsungkan pernikahan. Sialnya, sebelum hal itu sempat dilaksanakan, wabah Sexflu muncul. Mau tak mau, ia terpaksa menunda lagi rencana pernikahannya.
Tiba-tiba Debby mendengar seorang polisi memanggil namanya. Ia menoleh. Ada sebuah mobil minibus yang berhenti di bahu jalan dengan kondisi pintu terbuka. Tiga orang polisi tampak sibuk di depan mobil itu, seperti sedang memeriksa sesuatu. Debby segera berlari mendekat.
"Ada apa?" tanyanya.
"Ada kondisi darurat!" ucap seorang polisi.
Debby melongok ke dalam mobil. Di atas kursi kemudi, tampak seorang pria berumur sekitar 40 tahun sedang mendesah sambil mengeluarkan penisnya dari dalam celana. Pria itu tak mengenakan masker. Mulutnya terbuka, matanya sayu, napasnya tersengal-sengal.
"Ini pasti Sexflu!" ucap salah seorang polisi.
"Panggil tenaga medis!" ujar Debby.
"Medis sedang menangani kasus lain di ruas seberang!" ucap rekannya.
Benar saja, di ruas seberang memang ada mobil lain yang diberhentikan. Debby tidak menyadari hal itu tadi. Di seberang sana, tim medis tampak sibuk menangani seorang pengguna jalan. Apa yang harus ia lakukan?
"Deb!"
Debby menahan napas. Ia baru sadar bahwa ia adalah satu-satunya polwan yang bertugas di pos ini. Berdasarkan prosedur, setiap aparat negara, termasuk anggota kepolisian, harus siap menjalankan protokol B3 bila tak ada tenaga medis di sekitarnya.
Ia menoleh kepada rekan-rekannya, semuanya laki-laki. Mereka mengangguk. Debby ikut mengangguk, meski hatinya terasa berat. Ini adalah tugas negara. Ini adalah pengabdian.
Rekan-rekannya segera mundur dan menjaga jarak. Debby masuk ke dalam mobil, duduk di samping si pengemudi yang sedang berusaha mengocok penisnya sendiri.
"Tenang, Pak. Biar saya bantu," ucap Debby seramah mungkin meski suaranya terdengar agak bergetar.
Perlahan, tangannya menyentuh penis pria itu. Besar dan berurat. Ia menahan napas, sedikit merasa ngeri. Ini memang bukan pertama kalinya dia menyentuh kelamin pria, tapi penis tunangannya terlihat jauh lebih indah dan bersahabat baginya.
Pria itu memasrahkan penisnya kepada Debby, kemudian bersandar ke kursi sambil memejamkan mata. "Tolong … Mbak … Polwan…" lenguhnya.
"Iya, Pak. Tarik napas dalam ya, biar tenang."
Debby mulai menggerakkan tangannya naik turun. Tubuhnya terasa merinding, tapi ia berusaha menguatkan diri. Ia teringat saat-saat ia diterima di kepolisian. Ia bercita-cita menjadi polisi yang jujur, penuh dedikasi, dan setia pada negara---seperti almarhum ayahnnya. Ia sudah muak dengan citra polisi yang dikenal korup dan inkompeten. Ia ingin mengubah dari dalam dengan pengabdiannya, dan ini adalah bagian dari pengabdian.
"Aaaaah…. Oooh…." Desahan pria itu semakin keras. Ia tampak menikmati kocokan tangan Debby di penisnya.
Dalam hatinya, pria itu tidak menyangka bahwa tangan polwan itu terasa sangat halus dan lembut. Ketika tangan lembut Debby menggenggam dan meremas batang penisnya, ia merasakan jepitan yang nikmat. Apalagi ketika kulit telapak tangan yang halus itu terus bergesekan dengan tonjolan urat penisnya yang semakin keras, ia tak bisa menahan erangannya.
Sambil menikmati sensasi itu, sang pria pun menggerakkan tangannya perlahan, berusaha meraih payudara Debby yang tertutup oleh rompi hijau dan seragam polisi.
Debby menyadari hal itu. Sebenarnya ia tidak suka digerayangi oleh orang yang tidak ia kenal, tapi ia juga memahami bahwa pria malang di hadapannya itu sedang sangat membutuhkan stimulus untuk mempercepat proses ejakulasinya. Meremas dan memainkan payudara perempuan adalah salah satu stimulus terbaik bagi pria. Ia tidak bisa menolak permintaan itu.
"Sebentar ya Pak. Susah kalau ada rompinya," kata Debby.
Debby kemudian melepaskan rompi hijaunya, membuat seragam polisinya yang berwarna coklat dapat terlihat lebih jelas. Di bagian dada, terdapat sepasang tonjolan yang terbungkus seragam lumayan ketat. Tangan pria itu berusaha meremas payudara kanan Debby dari luar seragam. Ia agak terkejut merasakan betapa padat dan kencangnya gumpalan daging itu, meskipun masih terhalang bra dan seragam.
Remasan di payudaranya itu membuat Debby merasa agak geli, tapi tidak begitu nyaman. Ia pun membuka kancing kemejanya satu persatu, sehingga terlihatlah belahan dadanya yang mulus dan sempit. Diambilnya tangan pria itu, kemudian dimasukkan lewat bagian bawah cup branya, sehingga tangan itu kini dapat bebas meremas dan memijat buah dadanya secara langsung, bahkan memainkan puting susunya dengan dua jari. Debby berusaha menahan diri agar tidak meringis menahan geli yang ia rasakan di putingnya yang semakin menonjol.
Meski berusaha bersikap seramah mungkin, Debby tetap tak sanggup menatap wajah pria itu. Pertama, pria itu tidak begitu tampan dan bukan seleranya. Kedua, ia masih merasa gugup. Ia berharap agar pria itu segera memuncratkan spermanya sehingga tugasnya bisa cepat selesai. Dengan tujuan itu, ia pun mempercepat irama kocokannya. Sementara itu, tangan kirinya ia gunakan untuk meremas dan memijat biji testis sang pria.
"Sudah mau keluar, Pak?" tanya Debby.
"Belum… terus …" Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Tangannya masih aktif memijat payudara Debby.
Tampaknya gejala virus itu memang tak mudah diredam. Tangan Debby mulai pegal mengocok, tapi pria itu tak juga mengalami ejakulasi. Sementara itu, di belakang sana, antrian mobil semakin panjang. Meski sudah dibawa ke bahu jalan, tampaknya keberadaan mereka tetap menghambat laju lalu lintas.
Klakson mobil mulai berbunyi sahut-menyahut. Sebagian orang tampaknya mulai kehabisan kesabaran. Debby merasa khawatir, ia tidak ingin sampai ada bentrok atau keributan dengan warga.
Akhirnya ia memutuskan untuk mendobrak rasa malu dan gugupnya. Ia tahu bahwa virus Sexflu tidak dapat menular lewat cairan kelamin. Debby pun melepas maskernya. Saat itu juga, wajah cantiknya dapat terlihat dan membuat sang pria terpesona. Ereksinya semakin kerasa. Ia tidak menyangka bahwa polwan yang sejak tadi mengocok penisnya ternyata secantik itu.
Dengan sigap, Debby segera memasukkan batang itu ke mulutnya. Ia sempat menahan napas, tapi kemudian berhasil membiasakan dirinya. Rasanya tidak jauh beda dengan penis tunangannya, pikirnya.
Sang pria mendesah semakin keras. Merasakan batangya dibalut, dijepit, dan dilumat bibir merah muda yang indah itu membuatnya melayang hingga ke surga. Apalagi ketika hisapan Debby terasa semakin kuat, ia merasa seolah seluruh tulang di tubuhnya menjadi lumer.
"Mmmggmna pa?" suara Debby tidak terdengar jelas. Mulutnya penuh tersumpal batang penis pria itu.
"Iya... iya... aaaah... ahh"
Debby semakin cepat menggerakkan kepalanya. Kepalanya naik turun, bibirnya terus menjepit, mulutnya terus menghisap. Finalnya adalah ketika pada akhirnya Debby memberanikan diri menatap wajah sang pria.
Ditatap oleh perempuan cantik berambut pendek berseragam polisi, pria itu nyaris meledak. Apalagi perempuan itu kini sedang menyedot dan mengeyot kelaminnya. Debby berusaha tersenyum, berusaha sebaik mungkin untuk tampil menggoda. Pada saat itulah sebuah hentakan dahsyat terjadi pada pinggul dan batang penis sang pria.
Sperma menyemprot deras, masuk ke dalam mulut Debby, memenuhi langit-langit mulutnya, lalu lumer di lidahnya. Pria itu merasakan pelepasan yang luar biasa. Rohnya seperti terlepas dari tubuhnya. Setelah ledakan itu, ia biarkan penisnya masih bersarang di mulut Debby. Yang tersisa adalah kenikmatan yang mengalir dan rasa hangat di seluruh batang penisnya yang kemudian menjalar ke sekujur tubuh.
Tak lama kemudian, batang keras itu mulai berangsur-angsur menjadi lunak kembali, napasnya mulai kembali stabil, wajahnya mulai kembali cerah. Melihat sang pria sudah mulai pulih, Debby perlahan-lahan melepaskan penis itu dari mulutnya.
"Sudah ya, Pak," ujar Debby sambil mengelap sisa-sisa sperma yang sempat menetes dari sudut bibirnya. Setelah itu ia langsung kembali memasang maskernya dan merapikan baju seragamnya.
Pria itu hanya mengangguk lemah. Kesadarannya entah sudah terbang ke mana.
Debby segera keluar dari mobil, lalu memberikan laporan bahwa protokol B3 telah selesai dilaksanakan dan suspek dalam kondisi stabil. Langkah selanjutnya adalah menunggu suspek tersebut dibawa ke tempat karantina dan mendapatkan penanganan lebih lanjut oleh petugas medis.
Ia dapat merasakan kakinya yang lemas. Ia ingin minta izin untuk istirahat sebentar. Lagipula, bukankah ia harus membersihkan diri? Pria yang ia blowjob tadi tidak mengenakan masker, sehingga ada kemungkinan pakaiannya telah terpapar virus. Ia harus mandi dan berganti pakaian.
Namun harapannya sirna ketika ia membalikkan badan, ia melihat banyak mobil-mobil lainnya yang dihentikan di bahu jalan. Ia melihat seorang rekannya sedang melakukan fingering kepada seorang perempuan di pintu mobil, sementara rekannya yang satu lagi malah sedang menggenjot penumpang perempuan dengan posisi doggy style di depan kap mobil.
Debby menahan napas dan menelan ludah. Kondisi ini ternyata lebih buruk dari yang ia bayangkan.
===
DISCLAIMER:
Kisah ini adalah fiksi belaka. Semua nama tokoh, tempat, atau institusi adalah bersifat fiktif. Apabila terdapat kesamaan nama tokoh, tempat, atau institusi maka tidak bermaksud merujuk pada entitas yang ada di dunia nyata;
Fiksi ini dibuat tanpa mengurangi rasa hormat dan simpati kepada para penderita Covid-19, keluarga penderita, serta para tenaga medis dan relawan yang saat ini sedang berjuang.
0 notes
Text
Kisah Bus Hantu Dari Jawa Timur Banyuwangi-Surabaya Hanya 5 Menit Doang
7Meter - Ngomongin soal hantu entah dari jaman batu sampai jaman modern tuh gak ada habisnya. Mereka para hantu itu seperti gak abis ide.
Kok gak habis ide? Ya dari zaman ke zama ada aja hantu yang menyesuaikan, dari hantu terbang sampai hantu naik kendaraaan.
Bicara soal hantu dengan kendaraan jadi ingat kisah bus hantu yang katanya melaju hanya 5 menit saja dari Banyuwangi ke Surabaya. OMG! Gimana kisahnya?
Ilustrasi (Otosia.com)
Jadi ceritanya begini gengs, ada kisah tentang seorang karyawan di sebuah pabrik roti di daerah Waru, Sidoarjo. Kebetulan dia baru saja mendapat pekerjaan disana, dia kos di sebelah timur Terminal Bungurasih. Setiap beberapa minggu sekali dia menyempatkan pulang ke kampung halamannya di Banyuwangi guna mengambil beberapa barang untuk dibawa ke Sidoarjo.
Untuk kembali ke Sidoarjo, ia biasanya menaiki bus dari Banyuwangi. Kebetulan ia seorang wanita, tidak disebutkan siapa namanya, tapi sebut saja namanya Winarti. Waktu itu Winarti sedang menunggu bus pada malam hari ditemani gerimis, Winarti menunggu bus arah Surabaya tepat dipinggir jalan raya yang jauh dari rumahnya.
Sebenarnya pihak keluarga sempat memberitahu Winarti agar jangan berangkat dulu. Kebetulan waktu Winarti berangkat adalah hari Jumat Legi, menurut beberapa kepercayaan masyarakat Jawa zaman dulu. Ketika malam Jumat Legi, seseorang dilarang untuk bepergian. Termasuk hari keramat selain Jumat Kliwon.
Setelah beberapa jam menunggu akhirnya muncul sebuah bus. Setelah bus berhenti, ia lantas naik ke dalam bus sambil membawa barang bawaannya, ternyata penumpangnya sudah lumayan banyak. Ia pun kemudian memilih duduk di bangku tengah yang kebetulan kosong, pukul 21.00 bus berangkat menuju Surabaya.
Awalnya dia tidak curiga saat naik bus tersebut, namun saat ia coba memperhatikan para penumpang yang lain. Ternyata mereka semua memakai baju berwarna putih, selain itu kepala mereka juga tertutup kain berwarna putih juga.
Meski sempat dibuat heran, Winarti tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Ia pikir para penumpang mungkin sedang kelelahan dan mencoba untuk beristirahat. Tak lama kemudian kondektur bus medekatinya untuk menarik ongkos, namun anehnya sang kondektur tak mau melihat ke arah Winarti.
Ilustrasi (Otosia.com)
Winarti memberikan uang Rp 3.000 ribu untuk ongkos bus waktu itu. Tidak ada keanehan lain selama perjalanan, dan selama perjalanan suasana pun terasa cukup hening. Tak lama berselang bus ternyata sudah sampai di depan pintu terminal Purabaya (Bungurasih). Anehnya bus tidak masuk ke tempat pemberhentian penumpang yang ada di dalam terminal, bus tersebut hanya berhenti di luar terminal.
Winarti pun bergegas turun dan membawa barang bawaannya, sesaat setelah turun dari bus, tiba-tiba ia dihampiri satpam terminal. Satpam itu berkata begini "Mbak itu penumpang busnya kok pocongan semua ?" Tanya si satpam.
Winarti pun mencoba menoleh ke arah bus yang baru dinaikinya, ternyata benar apa kata si satpam. Saat ia melihat ke arah bus yang baru dinaikinya, Winarti sontak dibuat terkejut karena penumpang bus tersebut semuanya sudah terbungkus kain kafan.
Ia cuma diam terpaku melihat hal tersebut, kemudian Winarti coba melihat jam tangannya. Dan betapa terkejutnya dia, ternyata jam baru menunjukkan pukul 21.05, kemudian ia merasa sekujur tubuhnya lemas dan kemudian pingsan.
Saat sadar ia sudah berada di sebuah ruangam di terminal, lantas ia diberondong berbagai pertanyaan dari orang-orang. Kemudian ia menceritakan semua yang dialaminya mulai dari naik bus di Banyuwangi sampai turun di Bungurasih.
Ia pun masih tak percaya bisa sampai Bungurasih pukul 21.05, padahal dia berangkat dari Banyuwangi pukul 21.00. Ia pun menunjukan karcis yang ia dapat dari bus tersebut, betapa terkejutnya orang-orang yang mengetahui karcis tersebut. Karcis tersebut menunjukan tahun 1965.
Menurut beberapa orang waktu itu, karcis tersebut adalah milik sebuah bus yang dulu sempat mengalami kecelakaan di tahun 1965, bus tersebut melaju dari arah Banyuwangi menuju Surabaya. Namun bus tersebut mengalami kecelakaan, lebih tepatnya bus tersebut masuk jurang, seluruh penumpang dan kru bus tewas di tempat kejadian.
Sayangnya tidak diketahui PO bus apa yang mengalamai kecelakaan di tahun 1965 tersebut, namun bus tersebut diketahui memiliki warna dasar putih.
Menurut pandangan anak Indigo
Dikutip dari planet.merdeka.com (12/07/2019), seseorang yang bisa melihat mereka yang tak kasat mata (biasa disebut indigo), ia bernama Nano. Mencoba memberi penjelasan soal hal tersebut, menurutnya hal seperti itu memang ada.
Menurutnya para arwah korban belum tenang, maka mereka coba membantu para warga Banyuwangi yang hendak pergi ke Surabaya. Dengan cara mengoperasikan bus secara gaib, namun bus tersebut hanya bisa sampai depan terminal, tak sampai masuk ke dalam. Entah mengapa alasannya, tidak dijelaskan secara rinci.
Masih menurut Nano, terdapat dua arwah dalam bus tersebut. Arwah baik, ia yang akan membantu warga sekitar. Serta arwah jahat yang justru menganggu pengendara yang lewat daerah sekitar bus agar mengalami kecelakaan yang sama seperti yang pernah mereka alami. Bus ini menurut Nano muncul di malam tertentu saja, seperti Jumat Kliwon atau Jumat Legi.
Ilustrasi (Otosia.com)
arak Banyuwangi-Surabaya yang mencapai 300 km normalnya dengan kecepatan konstan 60 km/jam dapat ditempuh sekitar 5 jam. Namun jika berbicara soal hal gaib, waktu 5 jam hanya bisa dilalui dalam tempo 5 menit saja. Memang kalau membahas soal 'mereka' akan selalu ada misteri yang tak terpecahkan gan sist.
Kisah ini dulu juga sempat dibagikan lewat akun twitter @askmenfess, dimana ia mendapat cerita tersebut dari orang tuanya. Kisah ini viral kembali di pertengahan tahun 2019 (cmiiw), bersamaan dengan kisah viral bus hantu Jakarta-Bandung waktu itu.
Nah jadi itulah secuil kisah misteri bus hantu di Jawa Timur gengs. Gimana nih kalau kalian yang mengalami hal seperti itu?
0 notes
Text
Makanan Khas Semarang & Lokasi Untuk Mencobanya
Makanan Khas Semarang - Inspirasi Berlibur Tidak lengkap rasanya kalau berwisata ke Jawa Tengah tanpa berkunjung ke Kota Semarang. Kota yang diberi julukan Venetie van Java (Venesia di Pulau Jawa) ini tidak cuma menawarkan keragaman destinasi wisata yang menarik, tetapi termasuk makanan khas yang dapat membuatmu gagal diet. Tidak heran terkecuali terhadap tahun 2015, Semarang dinobatkan sebagai salah satu destinasi wisata kuliner unggulan oleh Kementrian Pariwisata.
Berbagai macam makanan olahan ayam, sapi, dan ikan bersama dengan cita rasa yang khas bisa bersama dengan ringan anda temui setiap sudut kota Semarang. Beberapa diantaranya merupakan kuliner legendaris yang udah berdiri sejak tahun 1940an. Penasaran bersama dengan makanan khas apa saja yang kudu anda coba selagi berkunjung ke Semarang? Berikut ini daftarnya!
1. Olahan Babat yang Lezat – Nasi Goreng Babat dan Babat Gongso
Babat merupakan salah satu bagian dari jeroan sapi yang dijadikan banyak olahan makanan di Indonesia, salah satunya adalah nasi goreng babat dan babat gongso khas Semarang ini. Warung Pak Sukarmin merupakan salah satu yang tertua di Semarang. Dibuka sejak tahun 1971, warung simple Pak Karmin ini selalu laris diserbu pengunjung. Di sini, babat diolah bersama dengan tehnik spesifik sehingga tidak lagi berbau dikala disajikan. Babat Pak Karmin termasuk kondang empuk dan gurih berkat bumbu rahasia yang diwariskan dari orang tuanya.
Lokasi: Jl Pemuda (dekat Jembatan Berok), Semarang (cabang Telaga Mas dan Jl Gadjah Mada) Harga: Mulai dari 20,000 IDR per porsi
2. Kuliner Ayam Kampung Maknyus – Nasi Ayam
Jika di Jogja tersedia nasi gudeg, di Solo tersedia nasi liwet maka di Semarang tersedia nasi ayam. Nasi bersama dengan kuah kuning opor ini disempurnakan sayur labu yang manis, suwiran ayam kampung dan juga telur, jelas dan krecek berbumbu khas. Kamu pun bisa menentukan tambahan lauk layaknya sate telur, sate usus, dan bagian lain dari ayam layaknya dada, paha dan sayap. Bumbu santan dan rempahnya menyebabkan nasi ayam ini jadi gurih dan tak terelakkan kelezatannya.
Untuk menikmati hidangan istimewa ini, segera saja menuju ke depot makan Nasi Ayam Bu Wido yang buka terasa pukul 17.00 hingga 23.00 WIB setiap harinya.
Lokasi: Jl Melati Selatan, Brumbungan,Semarang Harga: Mulai 10,000 IDR per porsi (tanpa tambahan lauk)
3. Gurihnya Kuliner Bumbu Petis – Tahu Gimbal
Mengingat posisi Semarang yang terdapat di pesisir utara Jawa, tidak lengkap rasanya terkecuali tidak mencicipi makanan berbumbu petis layaknya di Surabaya, Lamongan dan Tuban. Di Semarang, makanan bersama dengan bumbu petis yang kondang adalah jelas gimbal.
Tahu gimbal berisi potongan lontong, bakwan udang (gimbal), irisan kol dan tauge yang disiram bersama dengan saus kacang berbumbu petis. Rasanya merupakan perpaduan pada manis, gurih dan asin yang nikmat. Tahu Gimbal Pak Edi merupakan salah satu daerah panduan untuk coba kuliner khas Semarang ini.
Lokasi: Jl Mentri Supeno, Mugassari, Semarang (samping kantor Gubernur) Harga: 14,000 IDR per porsi
4. Nikmatnya Hidangan Olahan Burung – Burung Belibis
Olahan bebek dan ayam goreng udah jadi hal yang lumrah ditemui di wisata kuliner kota-kota di Indonesia. Namun pernahkah anda mendengan berkenaan hidangan olahan burung? Di Warung Pak No ini anda bisa mendapatkan beraneka macam olahan burung, salah satunya adalah burung belibis.
Secara tekstur tidak jauh beda bersama dengan ayam, tetapi lebih empuk gara-gara dimasak bersama dengan api kecil di dalam selagi yang lama. Bumbunya pun beragam bisa dipilih cocok selera yang anda inginkan.
Lokasi: Jl Sawojajar I no.44 Semarang Harga: Mulai dari 25,000 IDR per porsi/ per ekor
5. Kuliner Kuah Sedap dan Segar – Nasi Pindang
Pindang di sebagian daerah merupakan nama sejenis ikan. Berbeda bersama dengan di Semarang, nasi pindang merupakan olahan daging sapi yang dikombinasikan bersama dengan kuah rempah kluwek dan daun melinjo. Secara penampilan, nasi pindang nyaris mirip layaknya rawon di Jawa Timur, tetapi tidak amat pekat dan lebih terasa segar.
Warung Pak Ndut yang menyajikan hidangan khas Semarang ini termasuk termasuk yang melegenda gara-gara udah berdiri sejak tahun 1973 dan udah turun temurun diwariskan hingga generasi keempat. Dibuka setiap hari terasa pukul 07.00 hingga 15.00 WIB, nasi pindang Pak Ndut selalu ludes diserbu pembeli. Jadi terkecuali berkenan cobain, jangan berkunjung amat telat ya!
Lokasi: Jl Stadion Selatan (depan Badan Kepegawaian Daerah), Karangkidul, Semarang Harga: 11,000 IDR per porsi
6. Kuliner Olahan Kambing Istimewa – Sate Buntel dan Pepes Opor
Para fans kambing kudu berkunjung ke tempat tinggal makan olahan kambing yang udah berdiri sejak tahun 1945 Sate dan Gule Kambing 29. Banyak menu variatif yang ditawarkan oleh tempat tinggal makan spesialis kambing ini, layaknya sate buntel dan pepes olor. Sate buntel merupakan sajian daging kambing cacah berbumbu yang dibalut bersama dengan gajih tidak tebal lalu dibakar layaknya sate. Kalau dibayangkan saja udah bikin ngiler ya. Sedangkan pepes olor terbuat dari sumsum tulang belakang (olor) yang dimasak layaknya pepes. Lezat dan tentunya lebih sehat.
Lokasi: Jl Letnan Jend. Suprapto no.29,Purwodinatan, Semarang Harga: Gule terasa dari 30,000 IDR per porsi, Sate terasa 50,000 IDR per porsi
7. Berburu Kuliner Hangat – Wedang Tahu
Kuliner unik ini amat tepat untuk anda yang tengah berburu minuman hangat dan menyegarkan. Wedang jelas terbuat dari campuran gula jawa, jahe dan kembang jelas yang berasal dari sari kedelai. Rasa dari wedang jelas ini cenderung manis dan berbentuk menghangatkan.
Selain itu, wedang jelas dipercaya berfungsi untuk kesehatan layaknya melancarkan ASI, turunkan tekanan darah tinggi, memperbaiki metabolisme, dan turunkan kolesterol dan juga tidak bikin kantong bolong gara-gara harganya amat terjangkau! Cus segera menuju Wedang Tahu Pak Pardi untuk menikmatinya.
Lokasi: Depan Swiss House Ngaliyan Semarang Harga: 6,000 IDR
8. Sedapnya Makanan Khas Semarang – Nasi Gandul
Meski sejatinya kuliner ini berasal dari kota Pati, tetapi rasanya yang luar biasa udah menyebabkan hidangan nasi gandul menyebar ke kota-kota lain termasuk Semarang. Secara penampilan, nasi gandul ini mirip bersama dengan nasi yang diberi kuah gulai sapi. Namun bersama dengan rasa yang berbeda.
Kuah gulai yang disebut kuah gandul ini disiramkan ke nasi panas dan di sajikan bersama dengan lauk pilihan yang di sajikan layaknya babat, ati, paru dan lidah. Rasakan sendiri perbedaannya di tempat tinggal makan Nasi Gandul Pak Memed selagi berkunjung ke Semarang.
Lokasi: Jl Dr Cipto nomer 12, Kebonagung, Semarang Harga: 15,000 IDR per porsi (lauk daging)
9. Menikmati Kuliner Pedas Semarang – Mangut Welut
Belut merupakan hewan air tawar yang mempunyai kandungan protein memadai tinggi. Selain itu, belut termasuk kondang bersama dengan rasanya yang gurih bahkan terkecuali digoreng hingga kering. Mangut ikan air tawar barangkali udah kerap kita jumpai, tetapi mangut welut jadi makanan khas semarang tidak bisa kita jumpai di sembarang tempat.
WM Welut Bu Nasimah ini udah menghadirkan menu mangut welut sejak tahun 1985 dan jadi primadona tersendiri bagi pelangganya. Rasa gurih belut dipadu bersama dengan kuah mangut yang segar dan pedas menciptakan kombinasi kuliner yang unik dan tentu membuatmu ketagihan.
Lokasi: Jl Kyai Saleh no.10 Semarang Harga: Mulai dari 10,000 IDR (per porsi mangut welut)
10. Kuliner Baru Semarang – Sate Kalak
Kuliner ini merupakan kuliner khas Semarang yang relatif baru. Sate Kalak berbahan dasar ayam meski tentunya bukan layaknya sate ayam biasa. Sate Kalak mempunyai rasa rempah yang unik dan bisa jadi variasi kuliner tersendiri untuk anda yang kerap berkunjung ke Semarang.
Hanya tersedia satu tempat tinggal makan yang menyajikan sate kalak, yaitu Grill On Semarang. Grill On sekaligus meracik bumbu spesifik sate kalak yang cuma tersedia satu di Indonesia.
Lokasi: Jl Sisingamangaraja no.27, Semarang Harga: Mulai dari 24,000 IDR (per porsi)
11. Kuliner Vegetarian – Mie Kopyok
Tampilan mie kopyok sekilas dapat mengingatkan kita terhadap mie kocok Bandung. Namun, mie kopyok ini dibuat tanpa mirip sekali pakai olahan daging. Kuah mie terbuat dari kaldu rempah rempah. Sedangkan isiannya berbentuk potongan lontong, irisan jelas pong, daun seledri, tauge dan kerupuk remah dari kerak (gendar).
Sajian simple inilah yang jadi ciri khas mie kopyok, seratus prosen nabati, cocok bikin anda yang menentukan pola hidup vegan. Meskipun sederhana, tetapi mie kopyok selalu lezat di lidah bahkan mie nya amat lembut tetapi kenyal. Untuk anda para vegetarian, segera saja menuju ke Mie Kopyok Pak Dhuwur untuk mencobanya ya!
Lokasi: Jl Tanjung, Jl Kyai Saleh, Jl Perintis Kemerdekaan Banyumanik, Semarang Harga: Mulai dari 10,000 IDR
12. Berburu Makanan Segar Berkuah – Soto Dan Ayam Goreng Bangkong
Bangkong sebenarnya merupakan nama lain dari katak (swike), tetapi jangan salah, di sini anda tidak dapat mendapatkan katak di dalamnya. Soto Bangkong dinamakan demikianlah gara-gara lokasinya yang berdekatan bersama dengan kantor pos Bangkong.
Sajian utama Warung Soto dan Ayam Goreng Bangkong ini adalah soto ayam bersama dengan kuah kecoklaktan yang khas atau yang familiar disebut soto bangkong. Di sini, soto di sajikan bersama dengan lauk pelengkap layaknya perkedel, sate telur burung puyuh, tempe dan sate kerang. Kuahnya yang segar dan panas menyebabkan selera makan jadi jadi tak tertahankan.
Lokasi: Jl Bridgen Katamso no.1 (Kantor Pos Bangkong) Harga: Mulai dari 13,000 IDR (per porsi tanpa lauk tambahan)
BONUS: Dessert Nostalgia – Es Puter
Kenyang menyantap makanan berat dan berkuah, kini saatnya memanjakan lidah bersama dengan yang manis dan segar. Datang saja ke Es Puter Cong Lik yang legendaris. Tidak kalah bersama dengan cafe-cafe es krim kekinian, es puter Cong Lik selalu ramai diserbu pengunjung baik warga lokal maupun para wisatawan.
Seperti es puter tradisional terhadap umumnya, es puter Cong Lik termasuk pakai tehnik manual di dalam pembuatannya. Hanya saja, terkandung resep spesifik yang menyebabkan es puter Cong Lik jadi istimewa tanpa pakai pemanis buatan dan pengawet. Terdapat empat pilihan variasi rasa yang bisa anda coba; di antaranya coklat, alpukat, kelapa dan durian.
Lokasi: Jl KH A Dahlan no.11, Semarang Harga: Mulai dari 12,000 IDR
0 notes
Photo
TERMINAL MENGWI SEPI, . Semua sepi, kondisi seperti sekarang, warga diharapkan tak pulang kampung. Terminal Mengwi Badung yang kerap ramai sejak.pagi sekarang sepi, perusahan PO Bus jurusan Jawa pun merugi. . Kondisi ini harus disikapi dengan baik agar semua baik jalannya, pilih sehat dulu baru bepergian lagi. Tetap semangat .... (2/4) Via @adrian.suwanto #karangasemnow_official #infodenpasar #infobadung #terminal #mengwi #badung #bali #virus #fotografi #fotografer #terminalmengwi https://www.instagram.com/p/B-dUSzGhOXZ/?igshid=174k4x21kyktn
#karangasemnow_official#infodenpasar#infobadung#terminal#mengwi#badung#bali#virus#fotografi#fotografer#terminalmengwi
0 notes
Text
Catper: Suwanting.
8 Agustus 2017, hari itu bukanlah hari yang cerah, mendung menutupi cahaya matahari bahkan sejak sebelum ia terbit. Hari itu juga merupakan hari dimana saya dan teman-teman saya akan melakukan pendakian di salah satu gunung paling indah di Pulau Jawa, Merbabu. Saya bersama 3 teman saya: Hanif, Sandi dan Hilmi berangkat menggunakan bus ukuran sedang dengan tujuan akhir Terminal Magelang. Dengan Rp. 7.000,- kami tiba di Kopeng, dan untuk menuju basecamp kami menumpang truck pasir yang menuju lereng merapi melalui Ketep.
Gunung Merbabu sendiri mempunya banyak jalur pendakian, yang resmi sudah ada 6 basecamp, dan Suwanting adalah salah satu basecamp baru yang aksesnya masih sulit ditempuh bagi para penikmat trasportasi umum karena berada di jalur Ketep yang tidak dilalui bus Salatiga-Kopeng. Setelah turun dari truck yang kami tumpangi, kami masih harus berjalan ±2 kilo meter dengan berjalan kaki.
Setelah sholat Ashar dan membayar retribusi sebesar Rp. 10.000,- per orang, pada pukul 17.00 WIB kami berangkat ke jalur yang ditunjuk warga, jalur itu merupakan jalan utama desa yang berakhir di area perkebunan warga. Ujung jalan berbatu tersebut merupakan sebuah warung yang merangkap fungsi sebagai pos ojek bagi para pendaki yang kelelahan untuk menuju basecamp setelah mendaki, karena memang jarak tempuh dari desa ke warug tersebut lumayan jauh.
Medan jalur Suwanting merupakan jalur kecil dipunggung bukit, sehingga kanan dan kirinya merupakan jurang, karena itulah di jalur ini hanya tersedia beberapa tanah lapang untuk mendirikan tenda sebelum pos 3. Di pos 1 terdapat tanah lapang yang cukup luas dan bisa dimanfaatkan untuk berkemah, lalu satu setengah jam kemudian di pos 2 juga terdapat tanah lapang yang muat untuk 5 tenda dengan memanjang sepanjang jalur.
Pendakian kami ditemani hujan sejak kami meninggalkan pos 1, dan dengan medan menanjak tanpa jeda, kami melewati pos 2 pukul 19.00 WIB, setelah itu kami melewati jarak antar pos terjauh antara pos 2 dan pos 3. Karena lelah dan kondisi cuaca yang hujan dan berkabut kami berniat mendirikan tenda kemudian berhasil menemukan spot untuk berkemah sekita pukul 01.00 WIB.
Setelah sarapan dan berbenah, sekitar pukul 09.00 WIB kami melanjutkan perjalanan ke pos 3, dan perjalanan sedikit terhambat karena Hanif mengalami sakit gigi yang menyebabkan perjalanan tertunda dan akhirnya kami sampai di pos 3 pukul 13.00 WIB. Di pos 3 pemandangan berubah dari jalur dipunggung bukit menjadi jalur diantara bukit, hamparan rumput dengan kontur naik turun dengan background puncak-puncak Merbabu adalah pemandangan yang menyambut kami.
Sayangnya, pukul 14.00 WIB mendung mulai turun dan gerimis, sehingga kami memutuskan untuk turun gunung. Perjalanan turun gunung kami tempuh selama 5 jam dengan jalur turunan tanah basah yang licin dan ditengah jalan kami bertemu kelurga kecil yang juga hendak turun gunung. Mereka adalah pasangan muda yang mengajak putri kecil mereka yang berumur sekitar 8 tahun. Karena dingin dan capek Si Adek (saya lupa namanya) terus menangis dan merengek minta digendong ayahnya. Hari mulai gelap dan kami bertuju masih menempuh jalur yang licin dengan hanya 2 senter yang berfungsi maksimal. Kami sampai di basecamp pukul 20.00 WIB dengan keadaan menyerupai manusia lumpur.
Dari jalur pendakian Gunung Merbabu yang lain, menurut saya jalur Suwanting adalah jalur yang paling berat dengan kurangnya ketersediaan spot untuk mendirikan tenda dan tidak adanya sumber mata air yang membuat jalur ini semakin berat, walaupun begitu saya merasa berhutang pada jalur ini karena belum mendaki sampai puncaknya, dan hutang harus dibayar, entah kapan tapi yang pasti saya akan kembali.
4 notes
·
View notes
Text
Lotre
Pagi hari di tanggal 27 Juni begitu cerah dan terang, dengan kehangatan nan menyegarkan di hari musim panas; Bunga-bunga bermekaran di mana-mana dan rumput tumbuh subur lagi hijau. Para warga desa mulai berkumpul di alun-alun, yang berlokasi di antara kantor pos dan bank, sekitar pukul sepuluh; di beberapa daerah lain yang jumlah penduduknya lebih banyak, lotre memakan waktu dua hari dan prosesnya telah dimulai sejak tanggal 2 Juni. Tapi di desa ini, yang hanya berpenduduk sekitar tiga ratus orang, keseluruhan lotre hanya membutuhkan waktu kurang dari dua jam, dimulai sejak pukul sepuluh pagi dan warga desa masih sempat pulang sebelum waktu makan siang tiba.
Anak-anak yang paling pertama berkumpul, tentu saja. Kegiatan di sekolah baru berakhir untuk liburan musim panas, dan perasaan penuh kebebasan pun bergejolak dengan riuh pada hampir semua anak-anak; Awalnya, masing-masing mereka cenderung datang berkumpul dengan tenang, namun ini hanya untuk sesaat sebelum akhirnya mereka pecah ke dalam permainan yang gaduh. Pembicaraan mereka masih seputar sekolah dan guru, tentang buku pelajaran dan juga penyetrapan. Bobby Martin telah memenuhi sakunya penuh dengan batu, kemudian anak laki-laki lain pun mengikutinya, memilih batu yang paling pipih dan juga bundar; Bobby dan Harry Jones serta Dickie delacroix – penduduk desa menyebut nama ini “Dellacroy” – akhirnya berhasil membuat sebuah tumpukan batu besar di salah satu sudut alun-alun dan melindunginya dari serangan bocah lain. Para anak-anak gadis berdiri bersama, saling berbicara di antara mereka saja, berjaga-jaga terhadap debu yang beterbangan sambil bergelantung di tangan kakak mereka.
Segera, bapak-bapak juga ikut berkumpul, memastikan keberadaan anak-anaknya, saling bertukar cerita tentang tanaman dan hujan, traktor dan masalah pajak. Mereka berdiri bersama, jauh dari tumpukan batu di pojokan sana, dan candaan mereka hening, lebih terkesan mesem-mesem ketimbang tertawa. Para ibu, yang mengenakan daster yang tampak kepam dan terbalut sweter, datang segera menyusul lakinya. Mereka menyapa satu sama lain dan bertukar sedikit gosip sembari terus mengikuti para suami. Segera mak-mak ini telah berdiri di samping suami masing-masing, mulai memanggil anak-anak mereka, dan anak-anak pun datang menyusul dengan ogah-ogahan, setelah dipanggil empat sampai lima kali. Bobby Martin merunduk dibawah cekauan tangan mamanya, lalu melarikan diri, tertawa bahagia, kembali menuju tumpukan batu tadi. Papanya menyeru dengan galak, membuat Bobby segera kembali dan mengambil tempat di antara papa dan kakak laki-lakinya.
Lotre diselenggarakan – termasuk dansa square, pesta anak muda, juga malam Halloween – oleh Mister Summers, yang selalu memiliki waktu dan tenaga untuk dicurahkan pada kegiatan sosial. Dia berwajah bundar, seorang pria periang, dan dia menjalankan bisnis pertambangan, dan orang-orang bersimpati kepadanya karena tidak mempunyai anak serta memiliki istri yang cerewet. Saat dia tiba di alun-alun, sambil membawa kotak kayu hitam, terdengar gumaman percakapan di antara penduduk desa lalu dia melambai dan menyapa, “Maaf agak telat hari ini, saudara-saudara.” Kepala kantor pos, Tuan Graves, mengikutinya sambil membawa sebuah bangku kaki tiga, dan bangku itu diletakkan di tengah alun-alun kemudian Mister Summers meletakkan sebuah kotak hitam di atasnya. Warga desa menjaga jarak dengan menyisakan ruang di antara mereka dan bangku. Dan saat Mister Summers bertanya, “Di antara kalian ada yang bersedia memberikan bantuan?”, tampak keragu-raguan pada dua orang, Pak Martin dan anak tertuanya, Baxter, yang akhirnya maju juga untuk membantu memegangkan kotak hitam tadi agar tetap mantap di atas bangku selagi Mister Summers mengocok kertas di dalamnya.
Peralatan asli yang digunakan untuk proses lotre telah hilang sejak lama, dan kotak hitam yang kini terletak di atas bangku telah digunakan sejak masa sebelum Warner tua, orang tertua di kota, lahir. Mister Summers sering berbicara terkait niatnya membuat sebuah kotak yang baru, tapi tak ada satupun warga yang ingin merusak tradisi yang sudah dibawa oleh kotak hitam tersebut. Ada sebuah cerita bahwa kotak yang sekarang dipakai ini, telah dibuat dengan menggunakan sisa-sisa dari kotak di era sebelumnya, yang diciptakan para sesepuh saat pertama kali memutuskan untuk membangun desa di sini. Setiap tahun, setelah kegiatan lotre, Mister Summers mulai berbicara lagi mengenai kotak baru, tapi setiap tahun pula wacana itu berlalu tanpa ada tindakan apapun. Kotak hitam itu menjadi makin kumal setiap tahunnya: bahkan kini tidak tampak benar-benar hitam, namun agak berbelang secara acak di satu sisi, memunculkan warna asli kayu, dan dibeberapa titik tampak pudar dan bernoda.
Pak Martin dan anak tertuanya, Baxter, masih memegang kotak hitam di atas bangku itu dengan sigap hingga Mister Summers telah selesai mengaduk kertas sepenuhnya menggunakan tangannya. Karena sudah banyak ritual yang terlupakan atau diabaikan, Mister Summers lebih memilih memakai carikan kertas untuk menggantikan kepingan kayu yang sebelumnya telah dipakai lintas generasi. Keping kayu, menurut Mister Summers, sangat cocok untuk desa yang kecil, namun kini populasi telah berlipat hingga mencapai angka tiga ratus bahkan akan terus bertambah, sehingga dibutuhkan sesuatu yang lebih pas untuk dimasukan ke kotak hitam. Setiap malam sebelum lotre, Mister Summers dan Tuan Graves menyiapkan carikan kertas yang cukup dan menyimpannya ke dalam kotak, lalu diamankan ke brankas milik perusahaan tambang Mister Summers dan dikunci hingga Mister Summers siap membawanya ke alun-alun keesokan paginya. Selama setahun saat tidak terpakai, kotak tersebut disembunyikan, sesekali di suatu tempat, terkadang di tempat lain; kotak itu telah menghabiskan setahun di lumbung gandum milik Tuan Graves dan tahun yang lain bersembunyi di bawah lantai kantor pos, dan kadang tersimpan rapi di atas rak di dalam toserba keluarga Martin dan dibiarkan begitu saja.
Ada berbagai acara yang perlu diselesaikan sebelum Mister Summers membuka secara resmi kegiatan lotre. Terdapat daftar yang perlu dilengkapi terlebih dahulu – berisi nama setiap kepala keluarga, nama kepala rumah tangga dari setiap keluarga, serta nama anggota di dalam rumah tangga dari setiap keluarga. Ada juga kegiatan pengucapan sumpah secara resmi yang dilakukan Mister Summers kepada Kepala Kantor Pos, sebagai penyelenggara resmi dari acara lotre; suatu kali di masa lampau, sebagian warga ingat, pernah ada festival yang berisi banyak kegiatan, yang diadakan oleh penyelenggara lotre, secara asal-asalan. Salah satunya nyanyian pemujaan bernada sumbang yang secara wajar selalu diulang-ulang setiap tahun; beberapa warga percaya bahwa pihak penyelenggara lotre akan berdiri sendiri saat mengucapkan atau menyanyikan lagu-lagu ini, sebagian warga yang lain yakin bahwa dia akan berjalan di antara orang-orang, tapi setelah tahun demi tahun berlalu bagian ritual ini telah dibiarkan lenyap begitu saja. Pernah pula ada sebuah ritual penghormatan, yang dilakukan penyelenggara setiap kali memanggil nama setiap warga yang maju untuk mengambil undian dalam kotak, tapi ini pun telah berubah bersama waktu, hingga sekarang dianggap cukup oleh penyelenggara dengan berbicara kepada setiap warga yang datang mendekat. Kebetulan Mister Summers sangat ahli dalam hal ini; dengan dibalut kemeja putih yang bersih dan jin birunya, dan satu tangan diletakkan begitu saja di atas kotak hitam. Dia tampak sangat sopan dan seperti orang penting saja saat dia terus menerus berbicara kepada Tuan Graves serta pejantan dari keluarga Martin tadi.
Tepat setelah Mister Summers berhenti mengoceh dan menyuruh warga desa untuk lebih mendekat, Bu Hutchinson datang dengan tergesa-gesa sepanjang jalan menuju alun-alun, sweternya disampirkan ke atas bahunya, dan menyelusur ke bagian belakang kerumunan. “Aku tadi benar-benar lupa tentang hari ini,” dia berkata kepada Nyonya Delacroix, yang berdiri tepat di sebelahnya, dan mereka berdua tertawa kecil. “Aku pikir lelaki tuaku keluar ke belakang menyusun kayu,” Bu Hutchinson melanjutkan, “lalu aku lihat keluar jendela, kok anak-anak semua enggak ada, baru deh aku ingat ternyata ini tanggal dua puluh tujuh, ya sudah aku langsung lari ke sini.” Dia mengeringkan tangannya pada celemeknya, dan Nyonya Delacroix berkata, “Ibu tepat waktu, kok. Mereka masih mengoceh di depan sana.”
Bu Hutchinson menjulurkan lehernya untuk melihat ke tengah kerumunan dan menemukan suami dan anak-anaknya berdiri di bagian depan. Dia menepuk Nyonya Delacroix pada lengan sebagai tanda untuk berpisah dan mulai menelusur ke dalam kerumunan. Para warga memberikan ruang untuk membiarkannya lewat: dua atau tiga orang berkata, dengan suara yang cukup keras untuk di dengar seluruh kerumunan, “Ini dia telah tiba, nyonya, Hutchinson,” ada juga, “Bill, nih akhirnya datang juga.” Bu Hutchinson mendapati suaminya, dan Mister Summers, yang telah menunggu, berkata dengan girang. “Saya pikir kita akan melalui acara ini tanpa dirimu, Tessie.” Bu Hutchinson mengernyih, “Sudikah anda biarkan saya kembali ke piring-piring kotorku sekarang, Joe?”, dan terdengar gelak kecil dari seluruh kerumunan yang telah kembali pada posisi semula.
“Oke, sekarang,” Mister Summers berkata dengan tenang, “kita sudah bisa memulai, biar kita bisa segera kembali bekerja. Ada yang masih belum di sini?”
“Dunbar.” Beberapa orang berkata. “Dunbar! Dunbar!”
Mister Summers memeriksa daftarnya, “Clyde Dunbar,” dia berkata, “Ya, betul. Dia patah kaki. Benar, kan? Siapa yang akan mengambil undian untuk dia?”
“Sepertinya saya, Mister,” seorang wanita menyeletuk. Mister Summers menengok padanya. “Seorang istri mengambil untuk suaminya,” Mister Summers berkata, “Bukankah anda mempunyai seorang jejaka agar melakukannya untukmu, Janey?” Meskipun Mister Summers dan semua orang di desa sudah tahu dengan pasti jawabannya, itu hanya prosedur bagi penyelenggara lotre untuk tetap menanyakan pertanyaan sejenis untuk formalitas semata. Mister Summers menunggu dengan ekspresi yang sangat sopan kemudian Ibu Dunbar menjawab,
“Horace belum juga berumur enam belas tahun, Mister.” Ibu Dunbar berkata penuh penyesalan, “Mungkin saya yang akan mengisi posisi pria tuaku itu untuk tahun ini.”
“Baiklah.” Mister Summers menerima. Dia lalu membuat sebuah catatan pada daftar yang dipegangnya. Lalu dia bertanya, “Putra Watson mengambil undian tahun ini?”
Seorang jejaka jangkung dalam kerumunan mengangkat tangannya. “Hadir,” dia menyeru, “Aku akan mengambil undian untuk ibuku juga.” Matanya berkedip-kedip tanda gugup dan menundukan kepalanya saat beberapa suara di kerumunan berkata seperti: “Bagus, nak,” dan “Senang melihat ibumu punya seorang pria untuk melakukannya.”
“Baiklah,” Mister Summers berkata, “Sepertinya sudah semua. Warner tua ikutan?”
“Di sini,” sebuah suara bergema. Lalu Mister Summers mengangguk.
Keheningan tiba-tiba menyelimuti kerumunan saat Mister Summers berdeham dan memerhatikan pada daftarnya. “Semua siap?” dia berteriak. “Sekarang, saya akan membacakan nama-nama kalian –pertama-tama untuk setiap kepala keluarga– dan setiap pria yang dipanggil harap maju dan mengambil secarik kertas dari dalam kotak. Mohon untuk tetap menutupnya dalam genggaman kalian tanpa mengintip isinya hingga semua orang sudah dapat bagiannya. Semua jelas?”
Para warga sudah melakukannya bertahun-tahun sehingga hanya sebagian saja yang mendengar instruksi: sebagian dari mereka hanya diam. Membasahi bibir. Tanpa memerhatikan sekitar. Kemudian Mister Summers mengangkat satu tangannya tinggi-tinggi dan berteriak, “Adams.” Seorang pria keluar dari kerumunan dan maju mendekat. “Hai, Steve.” Mister Summers menyapa. Lalu Pak Adam menuju kotak hitam dan menarik secarik kertas. Dia memegangnya rapat-rapat saat berbalik lalu berjalan terburu-buru menuju posisinya semula, berdiri agak berjarak dari keluarganya tanpa menunduk untuk melihat ke arah tangannya.
“Allen.” Mister Summers memanggil. “Anderson … Bentham.”
“Seperti tidak ada lagi jeda antara setiap lotre.” Nyonya Delacroix berkata kepada Nyonya Graves di barisan belakang.
“Rasanya baru minggu kemarin kita melakukan ini.”
“Waktu bergerak cepat, ya.” Nyonya Graves berkata.
“Clark … Delacroix.”
“Itu dia lakiku.” Nyonya Delacroix berseru. Dia menarik napas saat suaminya maju.
“Dunbar,” Mister Summers memanggil, lalu Ibu Dunbar berjalan dengan mantap kearah kotak disertai teriakan seorang wanita. “Ayo, Janey,” dan yang lain menyeru, “Nah, ini dia.”
“Kami selanjutnya.” Nyonya Graves berkata. Dia memerhatikan saat Tuan Graves datang dari samping kotak, menyalami Mister Summers dengan sigap lalu memilih seselip kertas dari dalam kotak. Saat ini, di dalam kerumunan telah banyak bapak-bapak yang menggenggam gulungan kertas di tangan mereka yang besar-besar, membuat mereka bertambah gugup. Ibu Dunbar dan dua putranya berdiri bersama, sambil memegang carikan kertas.
“Harburt … Hutchinson.”
“Ayo maju, Bill,” Bu Hutchinson berseru. Orang-orang di dekatnya tertawa.
“Jones.”
“Katanya,” Pak Adams menjelaskan kepada Werner Tua, yang berdiri di sampingnya, “di utara sana ada desa yang ingin berhenti main lotre.”
Werner Tua mendengus. “Dasar orang-orang gila,” dia merespon. “Jangan dengar kata-kata para pemuda, tak ada satupun yang benar. Satu hal yang pasti, mereka ingin hidup kembali di gua, tak ada yang bekerja, hidup berpindah-pindah setiap saat. Kita semua tahu ini, ‘Lotre di bulan Juni, maka jagung akan melimpah.’ Satu hal yang pasti setelah itu, kita semua akan makan ayam rebus dan biji pohon ek. Makanya, lotre harus tetap ada,” dia menjelaskan dengan geram. “Sungguh tidak pantas rasanya melihat Joe Summers di depan sana bercanda dengan semua orang.”
“Bahkan di beberapa tempat ada yang sudah tidak main lotre, loh.” Bu Adams menambahkan.
“Buruk sekali,” Werner Tua menyeru dengan keras. “Dasar anak-anak muda bodoh.”
“Martin.” Bobby Martin melihat ayahnya maju. “Overdyke … Percy.”
“Ibu harap mereka cepat,” Ibu Dunbar berkata kepada kedua putranya. “Ibu mau mereka lebih cepat.”
“Sudah mau selesai, bu,” anaknya menjawab.
“Kamu siap-siap panggil bapak,” Ibu Dunbar memerintah.
Mister Summers memanggil namanya sendiri lalu melangkah yakin dan memilih segulung kertas dari dalam kotak. Kemudian melanjutkan, “Warner.”
“Sudah tujuh puluh tujuh tahun saya ikut lotre,” Warner Tua mengoceh saat dia menembus kerumunan. “Tujuh puluh tujuh tahun.”
“Watson.” Jejaka jangkung itu maju dengan malu-malu melewati kerumunan. Seseorang berteriak, “Jangan ragu, Jack,” dan Mister Summers menyapa, “Ambil waktumu, nak.”
“Zanini.”
Setelah itu, muncul kesunyian panjang, jeda disertai para warga yang menahan napas, hingga Mister Summers, sambil memegang carikan kertasnya ke atas, berkata, “Bersiaplah, kawan-kawan.” Selama beberapa saat, tidak ada satupun yang bergerak, kemudian semua gulungan kertas dibuka. Tiba-tiba, seluruh ibu-ibu mulai bercakap satu sama lain, bertanya, “Siapa, ya?”, “Siapa yang dapat?”, “Apa itu keluarga Dunbar?”, “Mungkin Watson?” Kemudian muncul suara yang mengatakan, “Wah, Hutchinson. Bill yang dapat,”, “Bill Hutchinson yang dapat.”
“Pergi panggil bapakmu, nak,” Ibu Dunbar menyruh anak tertuanya.
Orang-orang mulai melihat sekeliling mencari keluarga Hutchinson. Bill Hutchinson berdiri dalam diam, menunduk ke bawah ke arah tangannya. Tiba-tiba, Tessie Hutchinson berteriak ke arah Mister Summers. “Anda tidak memberi dia waktu yang cukup untuk mengambil kertas yang dia inginkan. Aku lihat itu. Ini tidak adil!”
“Ayolah sportif, Tessie.” Nyonya Delacroix menyeru, dan Nyonya Graves menyambar, “Kita semua mengambil kesempatan kita dengan semestinya, kok.”
“Diamlah, Tessie,” Bill Hutchinson menenangkan.
“Baik, semuanya,” Mister Summers memanggil, “terasa cepat, ya. Sekarang kita perlu sedikit waktu lagi untuk menyelesaikan ini.” Dia membuka daftar lainnya. “Bill,” dia bertanya, “kau mewakili keluarga Hutchinson. Ada rumah tangga lain di dalam keluarga Hutchinson?”
“Ada Don dan Eva,” Bu Hutchinson yang menjawab dengan berteriak. “Mereka harus mengambil undian juga!”
“Anak perempuan akan ikut dengan keluarga suaminya, Tessie,” Mister Summers menjelaskan dengan lembut. “Anda tahu aturan itu seperti juga yang lain.”
“Itu tidak adil,” Tessie menolak.
“Saya juga pikir begitu, Joe.” Bill Hutchinson berkata dengan menyesal. “Anak perempuanku ikut dengan keluarga suaminya; itu adil. Saya tidak punya lagi keluarga lain selain bocah-bocah ini.”
“Baiklah, berhubung kau yang mewakili keluargamu,” Mister Summer menjelaskan perlahan, “dan kau juga mewakili rumah tanggamu. Betul begitu?”
“Betul, Mister,” Bill Hutchinson menjawab.
“Berapa orang anak kecilmu, Bill?” Mister Summers bertanya untuk formalitas.
“Tiga orang,” Bill Hutchinson menjawab lagi.
“Ada Bill Junior, dan Nancy, juga Dave cilik. Lalu Tessie dan aku.”
“Oke kalau begitu,” Mister Summers berkata. “Harry, kau sudah mengambil kembali kertas undian mereka?”
Tuan Graves mengangguk dan memegang beberapa carik kertas. “Masukkan ke kotak,” Mister Summers mengarahkan. “Ambil punya Bill dan taruh juga ke dalam.”
“Sepertinya kita harus menyelesaikan ini segera,” Bu Hutchinson berseru, sepelan mungkin yang dia bisa lakukan. “Aku sudah bilang. Anda tidak memberikan dia waktu yang cukup untuk memilih. Semua orang melihat itu.”
Tuan Graves telah mengambil lima kertas dan memasukkannya ke kotak. Dia membuang seluruh kertas lain, kecuali yang lima tadi, ke tanah, di mana angin dingin berhembus menarik kaki mereka, para warga, dan membuat mereka terdiam.
“Dengarkan aku, hei!” Bu Hutchinson menyeru ke orang di sekitarnya.
“Siap, Bill?” Mister Summers bertanya, dan Bill Hutchinson, dengan satu pandangan sekilas ke arah istri dan anak-anaknya, mengangguk.
“Ingat,” Mister Summers berujar, “ambil secarik kertas lalu tutupi hingga semua orang telah mengambil kertasnya masing-masing. Harry, kau bantu Dave cilik.” Tuan Graves memegang tangan dari bayi mungil itu, yang menyambut dengan antusias kemudian mengarahkannya ke dalam kotak. “Tarik kertasnya keluar, Davy.” Mister Summers meminta. Davy memasukkan tangannya ke kotak dan tertawa. “Ambil satu saja, sayang.” Mister Summers mengingatkan. “Harry, tolong pegangkan kertas miliknya.” Mister Graves memegang tangan bocah itu dan melepas gulungan kertas dari genggaman eratnya dan membantu memegangkan kertas undian itu sementara Dave cilik berdiri di sampingnya dan memandangnya dengan penasaran.
“Selanjutnya Nancy,” Mister Summers melanjutkan. Nancy masih berumur dua belas tahun dan teman-teman sekolahnya menarik nafas saat dia maju sambil menepuk-nepuk bajunya, kemudian mengambil secarik kesialan dari dalam kotak. “Bill Junior,” Mister Summers kembali melanjutkan, dan Billy, yang wajahnya merah dan kakinya tampak kebesaran, mendekati kotak lalu mengetuk kotak itu saat dia mengeluarkan kertas. “Tessie,” Mister Summers memanggil. Yang dipanggil ragu-ragu sebentar, melihat sekeliling dengan menantang, lalu mengatur mulutnya dan maju ke arah kotak. Dia menyambar keluar secarik kertas dan langsung menyimpan di belakangnya.
“Bill,” Mister Summers menyeru, dan Bill Hutchinson meraih isi kotak dan meraba-raba, mengeluarkan tangannya dengan secarik kertas telah di dalam pegangannya.
Kerumunan hening. Seorang gadis berbisik, “Aku harap itu bukan Nancy,” dan suara bisikan itu menggapai hingga ujung kerumunan.
“Bukan begini seharusnya.” Warner Tua menyeru dengan melak-melak. “Orang-orang tidak harusnya seperti ini.”
“Baiklah,” Mister Summer berkata. “Silahkan dibuka. Harry, tolong buka kertas Dave cilik.”
Tuan Graves membuka carik kertas tersebut yang langsung membuat seluruh kerumunan mendesah saat dia mengangkatnya dan ternyata kertas itu kosong. Nancy dan Bill Junior membuka kertas mereka di waktu bersamaan dan keduanya langsung kegirangan dan tertawa, kembali ke arah kerumunan dan menunjukan carik kertas mereka di atas kepalanya.
“Tessie,” Mister Summers menunjuk. Timbul jeda sesaat, kemudian Mister Summers menatap ke arah Bill Hutchinson, lalu Bill membuka gulungan kertasnya dan menunjukan ke orang-orang. Ternyata kosong.
“Ternyata Tessie,” Mister Summers berseru, suaranya tenang. “Tolong buka kertas istrimu, Bill.”
Bill Hutchinson menyamperi istrinya dan merebut carik kertas dari tangannya. Kertas itu mendapat tanda titik hitam di atasnya, tanda tersebut telah dibuat Mister Summers semalam sebelumnya dengan pensil besar dari kantor perusahaan tambang. Bill Hutchinson mengangkatnya dan muncul gejolak dari kerumunan warga.
“Baiklah, kawan-kawan.” Mister Summers berseru. “Ayo selesaikan secepatnya.”
Meskipun seluruh warga desa sudah melupakan ritual-ritual dan kotak leluhur yang asli, mereka masih ingat penggunaan batu. Tumpukan batu yang sebelumnya disusun oleh anak-anak sejak awal berkumpul telah siap; ada juga bebatuan di tanah yang berserakan, bercampur dengan potongan kertas yang bertebaran di alun-alun. Nyonya Delacroix memilih batu-batu yang cukup besar sehingga harus memegangnya dengan dua tangan dan menawarkan pada Ibu Dunbar. “Ayo,” dia mengajak. “Cepat!”
Pak Dunbar telah memegang batu-batu kecil dengan kedua tangannya, lalu dia berkata dengan terengah-engah kepada istrinya. “Aku tidak bisa berlari. Kau duluan saja kedepan, nanti aku susul.”
Semua anak-anak telah memegang batunya masing-masing. Seseorang bahkan telah memberikan Davy Hutchinson beberapa kerikil.
Tessie Hutchinson di tengah kerumunan dengan agak berjarak dari orang-orang, dan dia hanya bisa memegang tangannya sendiri dengan perasaan putus asa saat warga mulai mengurungnya. “Ini tidak adil,” Katanya. Sebuah batu membentur sisi kepalanya. Warner Tua berteriak-teriak, “Ayo, ayo semua!” Steve Adams berada di kerumunan warga paling depan, dengan Nyonya Graves di sampingnya.
“Ini tidak adil, ini tidak benar,” Bu Hutchinson melaung, warga desa pun terus mengerumuninya.
Cerpen karya Shirley Jackson berjudul The Lottery.
Diterjemahkan oleh : Lutfi Arifin
23 Oktober 2017
Pondok Cina
4 notes
·
View notes
Text
Perjalanan pendakian Gunung Prau.
Astagaaaa, udah sebulan lebih nggak nulis 😱 Tulisan tentang perjalanan Prau ini juga terabaikan sebulanan, lupa ngeposting. Hahaha Hhm emang nulis itu butuh mood sih 😣 * * So, let me tell you a story about my journey to Mt. Prau! Jumat, 6 Okt 17. Akhirnya semua siap berangkat, yewww!! Errr, nggak juga sih. Temenku, si Monyet, bilang gak jadi ikut karna masih sakit. Duh, aku udah males kalo ada yg batalin lagi di hari H gini. Sebodo teuing lah kalo gak ikut juga mah. Awalnya kita janjian jam 6 di stasiun bangil, buat naik bis ke terminal bungurasih. Dan...hasilnya, baru kumpul semua jam 19.30, karna mas Wachid masih rempong packing di rumahnya 😐 Akhirnya 19.30 kita baru naik bis otw bungurasih. Di waktu yg bersamaan, si Monyet yg tadi sore pulang ke rumahnya di purwosari, akhirnya memutuskan buat berangkat juga, dia naik bis dari purwosari ke bungurasih. Hahaha crack! Pengen ta jotos bocah itu! Finally, jam 21.30 kita ketemu semua di bungurasih. Kita stand by di peron bus jurusan Magelang. Dan sekitar jam 22.30, kita semua udah duduk manis di bus Eka, berkat skill ku yg tinggi untuk nerobos masuk bis duluan dan cari 5 kursi kosong 😅 And here we are... Me, Monyet, Baguspan, Amin dan mas Wachid goes to Prauuuu 👊 Btw ya, fyi, karna aku itu nggak seneng naik bis, sangat parno, dan kalo gak kepaksa banget gak bakalan mau naik bis, jadi...begitu duduk di bis, langsung nutup puser pake handsaplast dan minum antimo. Hahahaha safety first for myself yak!💃 (dan bis Eka ini nggak ada toiletnya dong. Gimana nggak makin parno! 😮) Oh ya, harga naik bis Eka Sby-Magelang kalo gak salah itu 118.000. Sabtu, 7 Okt 17. Ditengah-tengah obat bius antimo, sesekali aku kebangun dan menyadari bahwa supir bus ini ugal banget. Seingetku 2x mau tabrakan sama truk tronton disebelah dan keneknya ngomel2 di jalan marahin supir tronton itu. Hhm, welcome to night bus! Sekitar jam 2.30 pagi, berhenti di Ngawi buat makan. Aku yg masih kebius ngantuk sama antimo, maksain diri buat turun, ke toilet, dan makan. Kemudian lanjut cuss.. (dan tidur lagi 😪) Sekitar jam 7 pagi, alhamdulillah kita sampe di terminal Magelang! 🙌 Kita mandi-mandi, sholat, dan aku cuma cuci muka sama sikat gigi aja sih hahaha. Trus sarapan dulu di warung dalem terminal. Sekitar jam 8, baru naik bis kecil tujuan Wonosobo, yewww! Bis ini kalo di Pasuruan, kayak 'bis kuning' haha. Naik bus Magelang-Wonosobo ini 25.000. Selama perjalanan, enak banget liat pemandangan sekitar, apalagi pas nyampe Wonosobo. Duh, langsung disambut udara dingin dan pemandangan gunung Sindoro disebelah kanan kita 😁 Sekitar jam 10 pagi, kita sampe di terminal Wonosobo. Baguspan sama Monyet langsung cari indomaret buat beli gas. Karna kita bawa 2 kompor, tapi gak bawa gas. Hahaha. Eh ya, btw kita dapet 1 temen baru yg gabung sama kita sejak sampe di Magelang tadi. Nama panggilannya sih mas Kalap. Jadi dia anak Gresik, trus mau ke Prau juga, sendirian. Ternyata udah kenalan sama Amin dari di bungurasih kemaren, trus diajakin bareng sama Amin. So, rombongan kita jadi ber-6 😀 Nah, pas kita lagi nunggu bis ke Dieng, datenglah nih si calo (yg akhirnya nantinya kita tau kalo dia brengsek) yg nawarin kita nyariin bis ke Dieng. Yaudah ya kita mau aja waktu itu. Kita naik bis kecil jurusan Dieng, bareng sama rombongan 9 anak dari Jakarta. Kita bayar 20.000. Nah trus pas didalem bis, si calo tadi nawarin rombonganku sama rombongan anak Jakarta tadi, untuk pulangnya besok ikut dia aja. Btw, akhirnya kita mutusin pulangnya dari Dieng besok, kita ke Jogja dulu, dan mas Kalap juga dadakan beli tiket kereta dari Jogja bareng sama kita. Nah, karna rombongan anak Jakarta tadi juga mau ke Jogja, akhirnya kita deal besok ke Jogja barengan mereka lagi, dan dikasih harga 60.000/anak Dieng-Jogja (wah, murah bgt, batinku). Dan mas Kalap yg pegang cp-nya si calo itu, aku sih gak minat ngurusin awalnya, ngikut aja.. Jam 12 siang, alhamdulillah kita sampe di Dieng! 🙌 wah bener-bener senengku gak kekira! Finally, dataran tinggi Dieng, Dieng Pleteau! 😍 Kita langsung minta turun didepan indomaret, karna deket juga sama gangnya basecamp. Istirahat dan sholat bentar, kita lanjut jalan ke basecamp. And... Welcome to basecamp Patak Banteng pendakian Gunung Prau!���� Wah disini rame bangetttt! Waktu itu loket registrasinya masih tutup, baru buka jam 1 siang, jadi kita istirahat disana sebentar, sambil nyemil-nyemil isi tenaga buat trekking. Dan yg gak boleh kita lewatkan kalo udah di Dieng adalah, nyobain Tempe Kemulnya! Haha asik nih makan gorengan, sukaanku 😜 dan aku habis banyak, banget 😂 ya doyan, ya laper. Setelah registrasi (aku lupa, sepertinya registrasi prau cuma 7 atau 8 ribu gitu..), jam 13.30 kita doa bareng dan mulai trekking.. #trekking..... Pertama jalan, kita ngelewatin perkampungan warga dan menapaki beberapa (banyak.red) anak tangga yg dicat warna-warni. Hhm agak shock langsung dihajar naikin anak-anak tangga itu, haha. Trus ketemu perkebunan warga, jalannya lumayan sempit. Keluar perkebunan, kita ketemu di jalan nanjak berbatu sampai di pos 1. Pas banget mau istirahat bentar di pos 1, eh hujan. Hhm, kita nerusin jalan.. Tapi lama-lama hujan makin deres, akhirnya kita neduh di warung kecil sambil nunggu kali aja hujannya reda. Btw, di pendakian prau ini bakal banyak kita temui warung-warung kecil disepanjang kanan dan kiri perjalanan sampai sebelum pos 2. Hahaha bener-bener pendakian yg dimanjakan ini mah. Rata-rata warung-warung itu jual cemilan, minuman, jas hujan, dan sudah jelas semangka! Hahaha. Jangan tanya aku beli apa gak, jelas lah aku nyemil semangka tiap berhenti di warung, dan langsung nyeletuk "Nyet, aku semangka 2" (haha maksudnya minta bayarin si monyet). Singkat cerita, kita memutuskan jalan lagi dan pake jas hujan semua. Trek prau di musim hujan bener-bener aduhayyy! Karna tanahnya jadi licin banget, jalannya banyak bercabang (mengingatkanku sama treknya gunung panderman). Melewati tengah hutan, sesekali kita ketemu tanah terbuka, dan melihat seputar kota dieng dari atas, ah indah banget! Mendekati puncak, aku ketemu taman bunga daisy. Cantiiikkkk banget! 🌼🌼 Dan akhirnya sekitar jam 17.00, kita sampai di camping ground nya prau. Yeyyy!! Alhamdulillah.. #Camping ground..... Sampai di camping ground, hujan sudah berhenti. Kita disambut kabut yg cukup tebal dengan jarak pandang kita bener-bener terbatas. Bahkan aku gak bisa lihat tenda-tenda pendaki di kejauhan, gak bisa lihat pemandangan gunung 3S (Sindoro, Sumbing, Slamet), dan jelas gak ketemu sunset 😐. Prau dingin bangettt, entah karena habis hujan atau memang sudah mau malam, haha. Tapi menurutku lebih dingin ranukumbolo sama ijen 😄 Kita cari tanah lapang buat diriin 2 tenda hadap-hadapan. Aku masuk tenda duluan dan nata matras-matras kita, tas-tas, sama ngeluarin semua logistic yg kita bawa. Lalu sebagai cewek satu-satunya, jelas aku langsung nyiapin makanan minuman buat kita. Dibantuin yg lain siapin kompor dan gas, aku siapin kopi, susu, dan jahe hangat trus masak makanan. Malam itu si Amin kebagian masak nasi (berasnya ga pake dicuci dulu, langsung dimasak. Hemat air! 😂) Aku bikinin bakso sama goreng nugget, dibantuin Monyet sama Baguspan. Kalo mas Wachid sama mas Kalap gak kebagian ngapa-ngapain, karna mereka anteng didalem tenda aja 😑 Btw, aku ber-4, 1 tenda sama Amin, Monyet, sama Baguspan. Dan mas Wachid sama mas Kalap ber-2, 1 tenda. Mas Kalap disini btw pendiam banget. Bahkan dia gak makan masakanku blas, cuma minum kopi haha 😏 Dan malam itu kita makan kenyang banget. Ada nasi yg berhasil punel banget Amin bikinnya👍, trus makanan pembuka bakso hangat (yg sebagian kuahnya didalem nesting ditumpahin sama Monyet 😰 trus kena kakinya Baguspan 😅), kita makan nasi + nugget bareng-bareng, dan itu nikmaaaat banget rasanya 😊 Malam semakin larut, mas Wachid sama mas Kalap udah terdengar ngorok didalem tendanya. Akhirnya aku ber4 sama Amin, Monyet, Baguspan masuk tenda juga, dan...memutuskan main kartu! 😄 Sesekali aku ngeliatin langit, nyari bintang-bintang, tapi emang karna abis hujan, jadi gak begitu terlihat banyak. Kita kedatangan tetangga baru juga, si Amin sampe bantuin diriin tendanya mereka. Mereka juga pinjam lampu sama kompor+gas kita. Dikejauhan langit sempat ada semacam fenomena alam aneh kayak kilatan cahaya dalam durasi waktu yg cukup singkat tapi sering. Si Amin meyakini itu kilatan Gunung Agung di Bali yg meletus (haha. Emang saat itu aktivitas Gunung Agung lagi 'awas'). Dan ketika malem itu aku kebelet pipis, akhirnya si Amin yg nganterin jalan keluar cari semak-semak dan nungguin aku pipis, haha 😂 Camping ground prau cukup ramai sekali malam itu. Tenda-tenda berjejer dengan aktivitas mereka masing-masing. Malem itu kita ngobrol banyak didalem tenda sambil main kartu, sampai satu persatu dari kami lelah dan memutuskan tidur. Berjejer dari Amin - aku - Monyet - Baguspan. Dan mereka langsung berpesan aku harus bangunin mereka besok pagi, biar gak ketinggalan sunrise. Haha 😑 Minggu, 8 Okt 17. Aku bangun sekitar jam 04.30 pagi. 3 manusia lain didalem tendaku ini masih tertidur pulas. Aku buka tenda, langit masih agak gelap, dan sunrise belum muncul, tapi pendaki-pendaki lain sudah ramai. Kemudian aku bangunkan teman-temanku, dan jelas saja, mereka tetep molor. Haha! Akhirnya aku siapkan minuman hangat sambil nunggu mereka siuman. Oh ya, btw, aku parno mau nyalain kompor ini, jadi tiap mau masak, aku selalu dibantuin kalo buat nyalain gas ini 😅 Singkat cerita, pagi itu kabut cukup tebal. Golden sunrise Gunung Prau yg fenomenal itu malu-malu menunjukkan keindahannya. Background Gunung Sindoro Sumbing ala ala lambang di botol aqua pun juga samar-samar aja terlihat di kejauhan. Hhm.. Lumayan nggak sukses juga sih ini sunrise-an nya 😅 Karna kita hanya bisa menikmati pemandangan pagi itu sekitar 30 menitan, sebelum kabut tebal menutupi puncak prau. Dan jelas semua pemandangan menjadi warna putih kabut semua 😩 Selesai foto-fotoan, jalan-jalan di sekitar puncak prau, kita bikin sarapan. Sarapan pagi itu aku kembali goreng nugget, bikin mie, dan spaghetti. Kita sarapan lahap banget pagi itu, ngabisin stok logistic juga sih 😅 Sekitar jam 9 pagi kita udah bersiap turun, setelah beberes tenda dan barang-barang. Perjalanan turun cukup melelahkan. Kenapa? Karena baru kali ini, yg namanya turun gunung itu harus ngantri! Haha beneran ngantri! Karna banyak juga pendaki yg turun bareng-bareng kita. Ditambah lagi trek licin abis hujan kemarin. Aku pun 2x jatuh terpeleset 😅😅 Sekitar jam 11.30-an gitu, alhamdulillah kita sampai di basecamp prau, sebelumnya ada acara si Baguspan kakinya kena kram, hhm. Kita mandi dan bersih-bersih, sebelum....kemudian hujan turun begitu derasnya 😣 Padahal kita udah siap-siap mau balik ke wonosobo. Then, kita terjebak di basecamp prau sampe sekitar jam 3 sore. Tentunya aku menghabiskan waktu dengan ngobrol dan makan tempe kemul lagi 😅 Singkat cerita, kita udah janjian sama si calo terminal wonosobo kemaren itu untuk jemput kita jam 5 di basecamp prau, untuk kemudian mengantar kita ke jogja, bareng dengan rombongan asal jakarta kemaren. Setelah hujan cukup reda, aku ngajak anak-anak jalan buat cari mie ongklok dulu (makanan mie khas wonosobo), yg ternyata setelah kita jalan cukup jauh, gak kita temukan di dieng sini (susah nyarinya). Kemudian kita mampir ke tempat jual oleh-oleh dieng, dan kita semua memborong carica (sejenis manisan asli dieng). Ibu penjualnya baik banget, kita dikasih tester, di diskon, sama dibawain carica buat di jalan (tentunya berkat sepikan mautku😁). Btw, carica itu enak loh! Sore itu hujan turun lagi, dan kita berteduh didepan indomaret lagi, sampai akhirnya jam 5 datang bus mini yg jemput kita untuk menuju wonosobo. Perjalanan dieng-wonosobo kali ini cukup lama, karna supirnya rese', muter-muter gak jelas dulu di wonosobo. Udah se-bis isinya penuh pendaki lain dan tas carier yg jadinya sumpek, mana hujan deres banget lagi hhm. Kita nyampe terminal wonosobo sekitar jam 7 malem. Dan akhirnya ketemu lagi sama si bapak calo kemaren itu. Dan disinilah keruwetan dimulai... Si bapak calo tiba-tiba ngasih tau kalo rombongan anak jakarta kemaren membatalkan ke jogja, jadi si bapak calo itu gak bisa menyediakan akomodasi buat kita ke jogja. Hell! Aku langsung pasang badan paling depan kalo udah diruwet orang gini. Intinya, aku minta kejelasan dari janji dia kemaren. Mana ini udah makin malem dan kita harus ke jogja malam ini gimanapun caranya (secara tiket kereta kita itu besok pagi). Aku minta pertanggungjawaban si calo itu, sampai akhirnya dia nyariin mobil carteran buat kita, dengan harga yg jatuhnya lebih mahal dari kesepakatan kita kemaren (sebenernya cuma selisih 10rb per-anak sih, gak mahal-mahal banget 😅). Jadi awalnya kita dikasih harga 60.000 per-anak naik bus mini ke jogja bareng rombongan anak jakarta (total 15 orang). Nah sekarang dapet mobil luxio dengan harga 70.000 per-anak. Aku sempet diremehkan sama si calo itu, katanya "kalo keberatan harga segitu ya gpp bilang aja, nanti saya yg nambahin", hwanjiiirr yakali aku diremehkan! Langsung aku potong omongannya, kalo aku sama sekali gak keberatan, dan aku udah deal dengan harga 70.000 pokoknya bisa ke jogja malam ini, jadi fix aku tinggal nunggu mana mobilnya dateng, tapi emang dia yg ngomongnya mencla-mencle. Ih mentolo!😬 Nah, pas kita nunggu mobil luxio datang ditengah hujan itu, eh si calo nagih aku uang bayar bus dieng-wonosobo 20.000 per-anak. Gilaaa, jelas nolak aku! Karna awalnya yg dia ngasih aku harga 60.000 itu, udah harga dari dieng-jogja. Lah ini kok jadi ongkos dieng-wonosobo 20.000 sendiri, trus wonosobo-jogja 70.000. Ckck. Aku bilang aku gak mau bayar yg 20.000 itu, karna udah gak sesuai sama perjanjian diawal. Tapi akhirnya setelah rundingan sama anak-anak, yaudalah kita bayar aja 10.000-an. Dan akhirnya diterima aja duitnya sama dia. Dih! Singkat cerita, kita berangkat dari Wonosobo ke Jogja malem itu pake luxio. Di mobil aku banyak tidur, karna capek berantem #eh 😅 Kita semua nyampek Jogja dengan selamat sekitar jam 10 malem. Hellooo again, Jogja! 💛 Jogja lagi gerimis manja malem itu. Kita minta turun didepan stasiun tugu, dan jalan cari angkringan. Kita istirahat sejenak di angkringan sambil mengisi perut (kita belum makan seharian. Terakhir makan ya di atas puncak prau tadi pagi. Karna niat mau cari mie ongklok pun gagal kan. 😞) Kita sungguh kelaparan malam itu, dan akhirnya makan banyak hahaha. Abis kenyang, kita jalan-jalan ke tugu jogja, meninggalkan si Baguspan di angkringan yg katanya males jalan dan milih buat main game dan jagain tas-tas kita. Aku ber-5 sama Monyet, Amin, mas Kalap sama mas Wachid jalan bareng dan foto-fotoan di tugu jogja 😄 Senin, 9 Okt 17. Singkat cerita, malem itu sekitar jam 1 malem, kita udah ada di kawasan malioboro, depan tulisan Jl.Malioboro, dan pesen grab buat ke stasiun lempuyangan. Aku pesenin 2 grab buat kita. Sekitar jam 01.30 pagi, kita semua udah sampe di stasiun lempuyangan, dan kita bener-bener nggembel! Haha. Yakali ya, masa kita keluarin lagi matras dan sleeping bag kita, kita jajar, dan istirahat disitu. Malah si Amin sama mas Kalap ngeluarin kompor sama gas, dan mereka bikin kopi 😅 Trus kita lanjut main kartu sambil ngopi di stasiun (untung gak diusir 😂) Kita juga jadi tontonan orang-orang yg berlalu-lalang di stasiun, haha. Sampe akhirnya sekitar jam 3'an, satu-persatu dari kita tidur dengan nyenyaknya. Tinggal aku sama Amin yg masih melek. Aku sih emang belom ngantuk (karna udah tidur selama di mobil tadi), trus Amin bilang, "wes turu o mbak, aku ta jogo, aku gak turu kok. Aku nyeleh power bank e ae". Akhirnya aku naruh badan dan merem sebentar. Gak lama kemudian aku bangun lagi, noleh, dan Amin udah tertidur pulas 😰😕 Dan aku lanjut tidur juga, kita semua tidur, haha. Sekitar jam 5 pagi kita semua udah bangun, dan mulai cari toilet buat mandi sama bersih-bersih (secara juga stasiun udah ramai, itu kan hari senin pagi, haha. Hari dimana semua orang sibuk memulai kerja, dan kami sibuk menikmati cuti 😂) Aku gak mandi pagi itu, cuma cuci muka sama gosok gigi di toilet dalem stasiun. Trus bergantian sama yg lain buat cari makan di warung-warung depan stasiun lempuyangan. Aku sarapan bareng mas Wachid sama mas Kalap. Singkat cerita, jam 9 pagi itu kita udah duduk anteng di dalem gerbong kereta Logawa yg siap mengantar kita menuju Bangil.. Oh ya, mas Kalap turun di stasiun gubeng, untuk lanjut naik bis pulang ke Gresik. Dan alhamdulillah kita sampai di Bangil sekitar jam setengah 16.30 sore 😀 Kemudian kita berpisah dan kembali ke peradaban masing-masing (kos.red) Well, it's done! ~~~~~ Hwaaaahhhh, sungguh cerita yg panjang 😂 Aku bersyukur sekali bisa berangkat dan pulang dengan selamat. Bersyukur bisa naik gunung lagi. Bersyukur bisa menikmati pendakian dan indahnya Gunung Prau, bisa menginjakkan kali di dataran tinggi Dieng, kota Wonosobo yg dingin, dan sejenak mampir ke Jogja. Bersyukur diberi teman-teman seperjalanan yg menyenangkan dan baik, nambah temen baru lagi juga. Terima kasih, ya Allah. Engkau Maha Baik 😊 Semoga aku masih punya kesempatan ke Gunung Prau lagi, karna aku pengen nyobain kesana kalo musim kemarau (pas jalannya gak becek, tapi trek debu 😅).. Amiin. Aku juga mau cobain mie ongklok yg kemaren belom sempet ketemu, huhu. Aku juga mau makan dan beli lagi carica yg enak ituuu 😄 Dan, aku juga masih pengen explore kawasan Dieng lebih banyak lagi 😍 sampai jumpa di cerita pendakian selanjutnya 😜 Salam Lestari! ✌ cln, 081117.
2 notes
·
View notes