aksararindu10
Untitled
2 posts
Kumpulan cerbung
Don't wanna be here? Send us removal request.
aksararindu10 · 4 months ago
Text
Tumblr media
Bab 2
Nafas ku terengah ketika aku terbangun tiba-tiba. Aku mendengar suara jeritan itu lagi.
Aku benar-benar takut, ku lihat Zea menggeliat, mungkin tidurnya terusik oleh suara jeritan itu. Lekas aku memeluknya, agar dia kembali tertidur.
Ingin rasanya menghubungi Mas Zul, agar dia pulang atau berkeliling ke sekitar rumah kami. Tapi ponselku tengah aku charger di meja rias.
Aku tidak bisa bangun meninggalkan Zea, lagi pula, aku sangat takut meski hanya beranjak sedikit dari ranjang.
"Mas, tolong pulanglah," batinku. Berharap suara hati ku ini sampai pada suamiku.
"Aaaaaaaaakh..."
Suara jeritan itu semakin jelas terdengar, membuat aku memejamkan mata dengan erat. Aku penasaran, apa yang sebenarnya terjadi pada tetanggaku itu?
Tapi rasa takut ku lebih besar, aku memilih diam dari pada mencari tahu.
Ini sangat menganggu, aku ingin melapor Pak RT, tapi aku tidak mempunyai bukti apapun. Jika hanya melapor tanpa bukti, pak RT pasti tidak akan percaya.
Besok, akan ku tanyakan pada Bu Rika, pasti Bu Rika juga mendengarnya.
Semakin lama, suara jeritan itu menghilang. Dan kini terdengar suara tawa lalu sesekali terdengar suara seperti dua orang yang sedang berbincang-bincang.
Apa yang sebenarnya sedang tetanggaku itu lakukan? Kenapa suara jeritannya terdengar sangat kencang dan menakutkan. Lalu sekarang justru terdengar suara tawanya.
"Jangan-jangan dia gila," ucapku tanpa sadar. Aku bergidik, jika benar dia gila, itu lebih menakutkan lagi. Bagaimana jika nanti dia mengamuk atau menyerang ku dan Zea?
Ya Tuhan, lindungi kami. Dengan perasaan tak menentu, aku terus berdoa, sampai aku tenang kembali dan Zea juga tertidur pulas.
Tapi tetap saja, mataku tidak mau tertidur lagi. Ku ambil buku diary yang ku simpan di bawah bantal, buku yang selalu menjadi temanku selain Zea.
Di buku ini, selain untuk mencurahkan isi hati, aku gunakan juga untuk menyalurkan hobi. Hobi ku menulis, aku sering menuangkan beberapa rangkaian cerita di buku itu.
Sampai akhirnya, tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 4 pagi. Biasanya Mas Zul akan pulang pukul Tiga, tapi kali ini sampai pukul Empat dia belum juga pulang.
Kuat sekali tubuhnya, padahal pekerjaannya di kantor juga berat, tapi dia masih bisa begadang lalu di lanjutkan bekerja di pagi harinya.
Sembari menunggu Mas Zul, ku putuskan untuk menyiapkan bahan-bahan masakan untuk ku masak sarapan nanti.
***
"Kok tumben pulangnya jam segini?' tanyaku pada Mas Zul seraya membuka pintu lebar-lebar. Ini sudah pupuk Lima lagi, dan dia baru muncul.
"Iya, keasikan main gap leh tadi, gak kerasa udah subuh aja," jawabnya.
Aku manggut-manggut lalu mengikutinya pergi ke kamar. Pintu ku kunci kembali meski ini sudah pagi, berjaga-jaga jika ada seseorang yang berniat jahat. Karena kejahatan terjadi bukan karena ada niat saja, tapi juga karena ada kesempatan.
"Oiya, Rin. Hari ini aku ada kerjaan," katanya lagi saat kami tiba di kamar. Mas Zul menghampiri Zea yang masih terlelap, meng*cup keningnya sekilas lalu menatapku, "Kerjaan mendadak," ucapnya.
"Katanya hari ini libur, Mas?" Protesku setengah merajuk. Aku merasa akhir-akhir ini kami jarang sekali menghabiskan waktu bersama.
"Iya, tadinya memang libur. Tapi tadi Produser menghubungi, Mas. Katanya Mas harus masuk karena ada anggaran tidak terduga yang harus Mas data ulang," terangnya.
Aku menghela nafas panjang, bahkan di hari Minggu pun dia harus bekerja. Tapi aku juga tak boleh egois, jika menyangkut pekerjaan, aku harus legowo dan menjadi istri yang pengertian. Lagi pula, dia bekerja juga untuk aku dan Zea.
"Jangan cemberut, Mas janji Minggu depan Mas ajak kamu dan Zea ke gala premiere film terbaru. Pasti banyak artis-artis, kamu akan senang Rin," ucapnya menghiburku.
Seketika aku tersenyum, "Mas janji?"
Mas Zul mengangguk, "Iya, Mas janji. Jadi jangan cemberut lagi."
Aku mengangguk senang, hanya seperti itu saja aku sudah sangat bahagia.
"Tapi kamu harus tampil menarik, jangan malu-maluin. Pakai baju bagus dan berdandan lah sedikit," ucapnya. Ia mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi.
Tanpa dia tahu, kata-katanya sangat menusuk hatiku. Selalu saja seperti itu, bahkan terkadang dia tak jadi mengajak ku pergi hanya karena menurut dia aku tak menarik dan berpenampilan biasa saja.
Apa dia tak sadar, setelah menikah dengannya apalagi mempunyai anak, Dia dan Zea yang menjadi prioritas utamaku. Hingga aku lupa bagaimana caranya memanjakan diri, merawat diri dan mempercantik diri.
JERITAN TETANGGA DI MALAM HARI - Savana Alifa
Setiap malam tetangga ku menjerit-jerit.
Ternyata dia ...
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:
https://read.kbm.id/book/detail/16e05488-19c2-4119-ab8c-8cb38056ef48
0 notes
aksararindu10 · 4 months ago
Text
Tumblr media
Setiap malam, aku mendengar tetanggaku menjerit-jerit. Lalu tak berselang lama, dia tertawa. Setelah ku selidiki, ternyata dia...
________
Bab 1
"Ronda lagi, Mas?" Tanyaku pada Mas Zul. Keningku berkerut menunggu jawabannya. Dan saat dia mengangguk, aku pun menghembuskan nafas berat.
"Kenapa harus setiap malam sih? Memangnya tidak ada jadwal, ya? Masa setiap malam kamu terus yang ronda? Harusnya kan gantian sama bapak-bapak warga yang lain," protes ku.
"Ya mau bagaimana lagi, Rin. Aku juga suka di paksa sama yang lain supaya aku ikut, kalau aku gak ikut, mereka pasti ledekin aku. Aku ini suami takut istri lah, suami Cemen lah, suami yang malas gabung lah. Kesal kan kalau di gituin?" Dia malah mengeluh, harusnya aku di sini yang mengeluh. Setiap malam dia selalu pergi dan pulang menjelang pagi.
Siang dia habiskan di tempat kerja, lalu malamnya dia habiskan di pos ronda.
"Sekali-kali jangan di dengar lah, Mas. Kamu tahu sendiri kan aku takut berdua doang sama Zea?"
Zea adalah putri kami satu-satunya, usianya baru menginjak Dua tahun. Setiap malam, hanya Zea lah yang menjadi temanku.
"Takut apa sih? Disini kan rumahnya dempet-dempetan Rin," Mas Zul masih keukeuh. Dia tampak menyisir rambutnya dengan rapi lalu mengambil sarung dari lemari.
"Ya karena itu, Mas. Aku..."
"Kamu takut suara jeritan di tetangga sebelah? Yang sering kamu ceritakan itu?" Tanyanya.
Aku mengangguk, karena memang itu alasannya. Setiap malam tetanggaku itu selalu menjerit-jerit, entah apa yang sedang dia lakukan.
Atau mungkin dia tengah di pu ku li suaminya? Aku bahkan tidak tahu suaminya yang mana. Mereka memang sangat tertutup, tak berbaur dengan tetangga.
"Karin, Mas yakin kamu itu hanya mimpi atau mungkin halusinasi," ucapnya dengan enteng. Membuat aku kesal dan menatapnya tak suka.
"Halusinasi? Kamu pikir aku ini tidak waras, Mas? Jelas-jelas Bu Rika juga sering mendengarnya. Kamu tanya saja padanya. Kamu bisa bicara seperti itu karena kamu memang tidak pernah ada di rumah setiap malam, mana mungkin kamu ikut dengar."
Aku mengomel, enak saja dia bilang halusinasi. Tetanggaku yang ada di sebelah kiri rumah itu juga sering mendengarnya.
"Ya ya bisa saja kan, Rin? Karena kamu takut, jadi pikiran kamu ikut tersugesti pada hal-hal seram. Mas cuma.."
"Ah, sudahlah. Bilang ke bapak-bapak ronda yang lain, coba sekali-kali keliling ke sini di jam Dua malam, supaya kalian juga bisa dengar. Lagi pula kenapa aneh banget yah? Kalian itu ronda tiap malam, tapi tidak pernah tahu tentang jeritan itu."
Mas Zul berdehem, lalu mengangguk, "Iya, nanti aku bilang ke bapak-bapak yang lain. Ya sudah, aku pergi dulu yah."
Aku enggan menjawab, mengangguk pun tidak. Namun saat dia menyodorkan tangan, aku pun tak menolak. Aku menyalaminya seperti biasa.
"Zea, ayah pergi dulu yah. Jangan rewel, baik-baik di rumah sama bunda," ucapnya seraya mengusap puncak kepala Zea yang sudah tertidur sejak satu jam yang lalu.
Ku antar dia sampai ke depan pintu, lalu ku kunci pintu cepat-cepat. Aku tinggal di sebuah perumahan subsidi, selayaknya rumah subsidi lainnya, satu dinding di pakai untuk pembatas rumah yang lain. Kasarnya, satu dinding untuk dua rumah.
Karena itu suara dari tetangga sebelah kadang kerap terdengar oleh ku. Apalagi tetangga sebelah ku itu aneh, setiap malam menjerit-jerit, seperti jerit kesakitan, tapi selepas itu dia terdengar tertawa.
Apa dia gila? Tapi jika kebetulan aku berpapasan dengannya, dia seperti orang normal lainnya. Selalu tersenyum dan menyapa. Hanya saja, kami tidak pernah bicara lama atau panjang lebar. Hanya sekedar menyapa saja.
"Apa aku pakai headset saja yah?" Gumamku, tapi jika aku memakai headset, bagaimana kalau Zea bangun dan menangis? Aku pasti tidak akan mendengarnya.
Ya Tuhan, sejak tetanggaku itu pindah ke sini Dua Bulan yang lalu, malam-malam ku seperti tak pernah tenang. Tidur pun tidak nyenyak, kadang mataku terus terbuka sampai mas Zul pulang ronda.
Kenapa pula Mas Zul jadi rajin ronda? Padahal dulu dia tidak pernah mau meski pun jadwalnya. Dia lebih memilih bayar denda atau menyumbang untuk membeli kopi.
Dia juga tidak pernah risih dengan omongan bapak-bapak seperti yang dia ceritakan tadi. Jika di ingat-ingat lagi, Mas Zul rajin ronda hampir bersamaan dengan pindahnya tetangga sebelah ke perumahan ini.
1 note · View note