#pembicaraan
Explore tagged Tumblr posts
milaalkhansah · 5 months ago
Text
Pertemanan di Usia Dewasa
Pertemanan di usia dewasa adalah pertemanan yang tidak lagi banyak menuntut dan lebih saling mengerti satu sama lain. Saling berbalas pesan seperlunya, juga tidak mudah marah jika pesan yang dikirimkan tidak terbalas atau butuh waktu untuk terbalaskan.
Pertemanan di usia dewasa adalah pertemanan di mana ego kita menjadi lebih melunak. Tak lagi mudah berkonflik hanya karena urusan sepele, sekaligus menjadi lebih lapang dalam memaafkan karena yang dicari saat dewasa adalah pertemanan tanpa banyak drama.
Pertemanan di usia dewasa adalah pertemanan di mana intensitas pertemuan semakin berkurang. Namun saat bertemu kembali setelah waktu yang cukup lama, tak akan ada rasa canggung apalagi perubahan. Sebab kualitas sebuah pertemanan tidak ditentukan dari seberapa sering sebuah pertemuan dilakukan, tetapi dari seberapa dalam pengertian yang diberikan atas kesibukan masing-masing.
Pertemanan di usia dewasa adalah pertemanan yang semakin mudah membicarakan hal-hal yang tak mudah dibicarakan sewaktu masih remaja dulu. Lebih open minded. Perbincangan lebih banyak terisi dengan saling memberikan nasihat, dan pembicaraan penuh kebaikan.
Pertemanan di usia dewasa, adalah pertemanan yang selalu mengedepankan prasangka baik, dan juga sigap memberikan bantuan bahkan tanpa perlu dimintai terlebih dahulu.
Pertemanan di usia dewasa tak akan terbentuk begitu saja jika orang-orang di dalamnya tidak ikut bertambah dewasa pula.
Maka bersyukurlah jika memiliki pertemanan yang dewasa itu, karena dengan keberadaan teman-teman yang dewasa ini juga lah, kehidupan dewasa kita menjadi tidak seberat itu...
367 notes · View notes
mbeeer · 5 months ago
Text
Andai saja kau tahu, aku hampir berulang kali menyapamu kembali, mencari tahu kabarmu, melihat foto-fotomu, menggali topik-topik pembicaraan agar kita kembali berbicara. Percayalah, aku hampir; meski untungnya tidak jadi kulakukan.
217 notes · View notes
andromedanisa · 1 year ago
Text
Melewatkan orang baik..
Tidak ada yang akan kusesali nantinya melewatkanmu ataupun menunggumu. Diantara keduanya ada konsekuensi yang akan memintaku saat aku memilih. Namun satu hal yang aku syukuri, setidaknya aku pernah diperjuangkan dengan sebagaimana mestinya. Meski pada akhirnya masing-masing dari kita memilih diam dan pergi untuk saling menjauh.
Tidak semua perjumpaan akan berujung pada kesepakatan. Tidak semua yang bertemu akan selalu bersama. Demikian, bukan?
Melewatkan orang baik itu nyata adanya. Edisi nemenin ibu jalan-jalan pagi. Pagi ini bertemu dengan salah satu teman pengajian ibu.
Ibu Y: ".... mba dandelion (nama disamarkan) qadarullaah nggak bisa lanjut proses kemarin, Bu."
Keluarga kami cukup dekat sehingga ibu Y seringkali bercerita banyak hal dengan ibuku.
Ibu Y: "Saya sedikit kepikiran, Bu. mba Dandelion setelah proses ta'aruf dengan Ikhwan tersebut, akhir-akhir ini lebih sering menangis, lebih menutup diri dari biasanya. Tapi setiap kali ditanya, jawabannya selalu diam dan memilih menghindar. Barangkali mba Nisa bisa ajak mba Dandelion ngobrol-ngobrol ya. Dari kemarin pengen ngobrol sama Nisa katanya. Tapi takut ganggu mba Nisa."
aku: "nggeh, Bu. Nanti saya coba chat mba Dandelion lebih dulu. Bertanya kabar, semoga bisa sedikit terbuka dengan saya."
Ibu Y: "ikhwan ini datang kerumah menegaskan bahwa tidak bisa melanjutkan proses ta'aruf. Mas F (inisial Ikhwan yg sedang proses) datang dengan kakaknya untuk menegaskan.
Awalnya mba Dandelion mengabarkan kalau akan ada seorang laki-laki yang Alhamdulillaah sudah ngaji dan Insya Allaah baik pemahaman agamanya. Suami saya menyambut dengan senang perihal kabar baik itu. Dan atas izin Allaah keduanya bertemu dan memutuskan untuk proses ta'aruf. keduanya ini saling tertarik dan merasa cocok satu sama lain. Delapan kali datang kerumah dan saling terlibat pembicaraan bersama.
Mas F bilang kalau belum bisa datang bersama bapak ibunya untuk meminta mba Dandelion dikarenakan ibunya sedang dalam kondisi sakit.
Kamipun paham kondisi mas F, dan kami mencoba memberikan garis ketegasan untuk anak perempuan kami satu-satunya ini. Bapaknya (suami saya) tidak ingin putri kesayangannya ini tidak ada kejelasan status. Bapaknya meminta agar ada kejelasan bagaimana kelanjutan dari proses ta'aruf ini. Akhirnya mas F mengatakan akan segera mengkhitbah mba Dandelion dengan cincin pemberian dari Ibunya.
Ketika waktu yang sudah dijanjikan akan datang untuk mengkhitbah, qadarullaah Ibu mas F Allaah panggil lebih dulu (meninggal dunia). Sehingga ini butuh waktu tiga minggu untuk melanjutkan kembali. Dalam waktu tiga minggu, mas F mengabarkan bahwa setelah ibunya meninggal dunia. Ayahnya jatuh sakit. Satu minggu setelah mendapat kabar sakitnya, kami mendapat kabar bahwa ayah mas F tersebut meninggal dunia.
Setelah dua minggu sepeninggal ayahnya, mas F tersebut datang kembali kerumah dengan saudaranya untuk menegaskan kembali bahwa ia akan tetap maju untuk meminang mba Dandelion. Namun butuh waktu untuk membicarakan hal tersebut dengan keluarga besar seperti saudara dari Ayah dan Ibunya sebagai perwakilan yang dituakan. Kamipun menyepakati, karena kami mencoba memahami tentang ujian demi ujian yang mas F lalui.
Dua Minggu berlalu, mas F ini mengabarkan via chat. Yang intinya masih butuh waktu untuk meyakinkan keluarga besarnya untuk melangkahi kakak perempuannya yang belum menikah dan belum memiliki calon. Kata keluarga besarnya, kasihan jika dalam suasana duka seperti ini, kakak perempuannya harus ditinggal apalagi dilangkahi oleh adik laki-lakinya untuk menikah.
Dalam adat jawa, tabu jika ada seorang adik melangkahi kakaknya untuk lebih dulu menikah. Apalagi jika itu adalah adik laki-laki melangkahi kakak perempuannya. Meski mas F ini sudah paham tidak ada demikian dalam agama, namun keluarga besarnya masih kekeh memegang adat demikian.
Sampai satu titik, mba Dandelion meminta kejelasan bagaimana ujung dari proses ini. Akhirnya mas F datang dengan saudaranya lagi untuk menjelaskan situasi yang sedang terjadi. Bahwasanya ia meminta diberi waktu untuk mencarikan calon untuk kakak perempuannya ini sampai akhir tahun ini agar bisa menikah. Harapannya agar ada yang menjaga kakak perempuannya. Setelah kakak perempuannya mendapat jodoh barulah ia bisa dengan lapang menikah.
Mendengar hal itu mba Dandelion memberikan tanggapannya, bahwasanya ia tidak bisa lagi memberikan waktu.
"Lebih baik dicukupkan sampai disini saja. Tidak usah melanjutkan. Saya tidak ingin terus-terusan dalam kondisi status berproses dengan seorang Ikhwan yang belum terlihat kejelasannya untuk sebuah komitmen. kita cukupkan sampai disini saja, jika memang berjodoh maka kita akan bertemu lagi dengan cara baik dan waktu yang terbaik menurut Allaah. Saya tidak ingin menunggu sesuatu yang semu. Saya tidak ingin membatasi diri saya dengan menunggu seseorang yang belum tentu akan menjadi jodoh saya. Saya tidak mau membuka pintu-pintu syaithan dengan mengatasnamakan ta'aruf. Ta'aruf kita sudah berjalan kurang lebih 7 bulan dengan delapan kali pertemuan ini. Saya tidak ingin menutup banyak kemungkinan yang akan terjadi nantinya. Iya, kalau sampai akhir tahun kakak perempuan mas bertemu dengan jodohnya. Kalau masih belum menemukan, bgaimana dengan saya? apakah masih harus menunggu lagi? Saya tidak ingin demikian, ini akan membuka pintu fitnah untuk kita dan keluarga masing-masing. Saya mohon maaf selama proses kata-kata dan sikap saya menyakiti hati mas dan keluarga mas. Semoga setelah ini Allaah beri kita kelapangan hati dan ganti yang lebih baik lagi." Jawaban mba Dandelion saat itu didepan kami semua.
Jelas Bu, saya menangis saat itu juga. Saya kaget anak perempuan saya langsung memutuskan demikian. Suami saya mencoba memahami kondisi anak perempuannya. Dan memutuskan untuk tidak melanjutkan proses ta'aruf ini dengan berat hati.
"semoga kita masih tetap menjadi saudara muslim yang baik ya mas, entah nanti kalian berjodoh atau tidak. Semoga ini adalah keputusan yang terbaik untuk kalian berdua." Ucap Bapaknya mba Dandelion.
"baik, pak. Ngapunten sanget jika saya membuat mba Dandelion dan keluarga kecewa atas sikap saya. Saya bisa memahami keputusan MB Dandelion. Insya Allaah, jika nantinya kakak perempuan saya sudah menemukan jodohnya tahun ini. Dan mba Dandelion masih belum menikah atau masih belum proses ta'aruf dengan siapa-siapa. Semoga masih diizinkan untuk menyambung silaturahmi nantinya ya. Saya meminta maaf untuk segala ucap, tindakan dan hal-hal lain yang kurang berkenan. Semoga Allaah berikan yang terbaik setelah ini." Jawaban mas F saat itu.
Dia Ikhwan yang baik, saya bisa melihat sikap dan kesungguhannya dalam mengupayakan, bu. Selama proses, saya dan suami menyelidiki latar belakang dan keseharian mas F. Bertanya beberapa hal pada tetangganya, dan suami saya juga pernah bertemu dengan mas F dalam barisan sholat subuh berjamaah. Masya Allaah, sekali memang.
Saat mas F berpamitan dan merangkul suami saya, saya melihat mas F menangis dan mengucapkan salam dengan suara yang gemetar. Sementara mba Dandelion langsung masuk kamarnya dan terdengar suara tangisannya.
Saya menangis, suami saya terlihat begitu sedih. Beberapa kali gagal ta'aruf baru kali ini mba Dandelion saya mendengar suara tangisannya. Kami mencoba lapang untuk terus menguatkan satu sama lain. Untuk tetap berbaik sangka kepada Allaah. Tahun ini mba Dandelion berumur 36 tahun, Bu. Hati saya ikut remuk setiap kali harus melihat kegagalan demi kegagalan proses ta'aruf mba Dandelion." Ungkap ibu Y dengan suaranya yang lirih dan menangis.
aku dan ibu hanya bisa saling menatap dan membisu. Ibu menangis seraya memeluk ibu Y untuk menguatkan.
~*
Barangkali kita pernah..
Merasa begitu beruntung ketika diingini oleh seseorang yang begitu baik, didoakan dalam banyak kebaikan, diberi hadiah tanpa melewati batas syariat, saling tak bersua namun saling mengupayakan.
Barangkali kita pernah..
Menjadi begitu istimewa ketika diperjuangkan, begitu bahagia saat kita mengetahui kita adalah seseorang yang diperjuangkan diantara orang-orang baik yang mengupayakannya.
Barangkali kita pernah..
Menjadi satu diantara pilihannya, menjadi tujuan perjalanannya. Meski pada akhirnya ketetapan Allah yang menjadi pemenangnya..
Barangkali kita pernah..
Melepas seseorang yang baik itu, menabahkan diri atas keputusan yang kita pilih. Sebab memaksa berjalan pada tujuan yang sama tidak menemukan titik temunya.
Barangkali kita pernah..
Dibuat takjub atas perjalanan yang Allaah kehendaki. Sesuatu yang kita tangisi dengan begitu, justru memberi lebih banyak arti atas serangkaian hidup yang kita jalani.
Barangkali benar, tidak semua kebaikan-kebaikan itu bertemu dan cocok. Cinta tahu kemana harus pulang, jodoh tahu kemana harus memupuk keshalihan. Menjadi baik adalah tugas kita, mencari jodoh yang baik adalah upaya kita. Pada akhirnya kita akan paham bahwa kita adalah ujian bagi satu sama lain.
*saya sudah izin kepada ibu Y dan mba Dandelion untuk menuliskan kisah ini dimedia sosial saya. Semoga Allaah tolong dan memberikan kelapangan serta ganti yang lebih baik.
353 notes · View notes
herricahyadi · 10 months ago
Text
APA-APA “NIKAH"
Sering tidak ketemu orang yang selalu ngomongin nikah? Terutama kalau bicara dengan kita-kita yang masih memilih untuk menyendiri. Di hampir tiap topik pembicaraan, dia selalu bawa-bawa nikah. Sampai kita sebal dan enggan untuk meresponnya lagi.
Bagi dia, nampaknya, pernikahan adalah tujuan hidup. Puncak dari dunianya mungkin dengan menikah. Sampai-sampai dia menganggap remeh orang yang belum menikah dan selalu mendorong dengan berbagai cara agar orang lain juga menikah. Biasanya sampai menggunakan dalil “sunnah Rasul”.
Padahal, manusia itu punya opsi-opsinya sendiri. Apalagi manusia-manusia dewasa yang sudah dianggap bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil. Tujuan hidup mereka bisa saja berbeda. Dus, cara pandang terhadap sesuatu, misalnya pernikahan, juga bisa jadi berbeda. Ada saja yang tidak menganggapnya sebagai opsi yang mendesak; sekadar pelengkap; atau bahkan tidak memikirkannya sama sekali. Bisa jadi mereka punya tujuan hidup yang dianggap jauh lebih penting untuk digapai dan di situ dia menemukan kebahagiaan.
Lagipula, jika bicara “sunnah Rasul”, itu terlalu banyak dan bahkan bisa jadi lebih prioritas. Belajar dan bekerja itu sunnah Rasul, berbakti kepada kedua orang tua itu sunnah Rasul, mendalami ilmu agama dan mengamalkannya sunnah Rasul, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah ﷻ juga sunnah Rasul. Dari sekian banyak sunnah Rasul yang bisa jadi kita lalai, mengapa harus menikah yang diutamakan? Iya, kita semua tahu bahwa naturalnya memang kita diciptakan berpasang-pasangan dan anjuran untuk menikah itu dari Rasulullah ﷺ sendiri. Tapi tidak dengan paksaan. Orang yang belum menikah, sementara dia sedang mengejar pendidikan tinggi juga sedang melaksanakan sunnah Rasul. Apalagi sampai keilmuan yang dia miliki bermanfaat untuk kemaslahatan umat.
Kita bisa mengajak orang dalam kebaikan tanpa meremehkan kebaikan lain yang sedang ia kerjakan. Sebab husnuzan itu juga bagian lain dari sunnah Rasul yang sering kita lewatkan.
298 notes · View notes
hellopersimmonpie · 4 months ago
Text
bias
belasan tahun berproses mengenali diri sendiri juga berarti harus bertarung melawan banyak sekali bias. Di blog ini, gue sering bercerita tentang betapa psikolog dan psikiater banyak membantu kehidupan gue.
Tapi di sisi lain, gue juga merasa perlu berbagi pandangan realistis bahwa di antara psikolog-psikolog yang pernah gue temui tuh ada juga yang judgemental dan terjebak bias. Gue berbagi kayak gini karena berharap kalau ada yang sampai dapet psikolog yang judgemental, kita bisa banget nyari second opinion atau pause dulu kemudian bercermin:
"Di sebelah mana biasnya?"
Contoh paling sederhana adalah lebih dari satu psikolog yang nge-asses gue menuliskan bahwa gue minder dengan fisik gue sehingga gue menarik diri dari lingkungan.
Pada sesi wawancara, gue tuh udah menjelaskan dengan gamblang bahwa gue sama sekali tidak punya masalah dengan fisik gue. Nggak ada minder sedikitpun. Yang jadi permasalahan gue di masa kecil sehingga gue merasa terasing adalah karena gue kerapkali dijudge sebagai anak nakal yang tidak tahu sopan santun. Karena di kelas tuh gue sering nggak fokus, gue nggak bisa menyimak penjelasan guru dengan baik dan sangat terdistraksi, gue juga sering dinilai tidak sopan karena sering memotong pembicaraan orang.
Ini sebenarnya gejala khas ADHD namun beberapa psikolog terjebak biasnya sendiri sehingga diagnosa tentang potensi psikopatologis yang dikeluarkan ya sebatas:
,,,,, punya kecenderungan mengasingkan diri untuk melindungi diri sendiri akibat fisik yang berbeda.
Pernah juga gue tuh cerita bahwa dalam kerja ternyata gue lebih nyaman berkomunikasi dengan gen Z. Karena gen Z relatif lebih jujur dengan perasaan mereka sehingga banyak uncomfortable conversation yang bisa gue lakuin justeru dengan orang-orang yang lebih muda dari gue.
Sementara orang-orang yang lebih senior dari gue tidak terbiasa memproses emosinya dengan baik. Sehingga saat ada masalah, mereka cenderung menghindari pembicaraan yang tidak nyaman dan langsung menggunakan kartu jabatan.
Tentu gue sendiri menyadari bahwa sangat mungkin gue punya bias dalam menilai gen Z dan orang di atas gue. Sementara yang muncul di laporan diagnosa adalah:
......cenderung menyelesaikan permasalahan secara parsial sehingga tidak mampu berempati.
Gue mendapatkan diagnosa semacam itu setelah 8 tahun bekerja. Tentunya selama 8 tahun bekerja, gue udah mengamati banyak hal. Selama sesi wawancara, psikolog tidak menggali lebih jauh kenapa gue mengambil kesimpulan seperti itu. Nggak pernah menggali juga berapa kali gue harus dealing dengan awkward situation menghadapi orang-orang yang lebih tua dari gue tantrum dan nggak mau diajak berdialog.
Ada banyak pengalaman-pengalaman semacam ini yang nggak bisa gue bagi semua. Gue memilih tetap ke psikolog karena pertanyaan dan diagnosa mereka membantu gue mengenali diri sendiri. Tapi menyuruh orang sakit langsung ke psikolog tanpa cautions bahwa ada psikolog yang judgemental tuh ngebuat gue khawatir. Khawatir kalo temen gue ketemu yang kayak gini, bukan malah sembuh tapi trauma.
Instrumen-instrumen assesment yang digunakan oleh psikolog sangat membantu kita mengecek kesehatan mental kita. Tapi balik lagi, jiwa manusia itu seperti lautan luas. Assesment-assesment tersebut tidak menggambarkan kondisi kita keseluruhan karena assesment itu bersifat parsial. Butuh kejelian psikolog untuk mencari instrumen assesment yang bisa menyentuh inti masalah.
Maka kalau kamu merasa deskripsi yang dituliskan oleh psikolog kurang tepat, kamu bisa banget bertanya lebih jauh detailnya. Tapi kalau kamu merasa semakin terhakimi, kamu boleh banget nyari psikolog yang lain.
Semoga kita semua bisa mendapatkan kehidupan yang baik dengan jiwa yang lebih sehat :)
56 notes · View notes
palupiyuliyani · 6 months ago
Text
Dia bercerita tentang hidupnya, menceritakan betapa berat masalah yang dihadapi, sesekali sambil menangis. Berharap orang lain (termasuk aku) menyimak, memahami, berempati, menyemangatinya.
Tetapi kala aku merasakan kesedihan yang serupa, dia tidak mendengar, mengalihkan pembicaraan, memotong atau bahkan membandingkan dengan hidupnya.
Sejak saat itulah, pilihan hidupku menjadi berbeda.
Aku memilih menyimpan sedih dan bahagiaku untukku sendiri. Lalu, orang-orang akan mulai mengira hidupku tak pernah ada masalah. Ah, Indahnya hidup dalam prasangka baik :)
Alhamdulillah, mungkin memang begitulah cara Allah menjaga lisanku agar tak mengeluh, mengumbar masalah hidup.
83 notes · View notes
sazzadiyatan · 9 months ago
Text
Aku usahakan nanti
Aku usahakan nanti, menjadi keteduhan bagi matamu, meski saat ini sosok diriku belum secantik dan selembut wanita wanita di media sosial dan di sekitarmu
Aku usahakan nanti, memasak makanan favoritmu meski saat ini aku hanya mampu memasak seblak, sayur sop, dan ayam geprek
Aku usahakan nanti, menyambutmu dengan senyuman saat kamu pulang dari berjuang mencari rizki, meski saat ini kata anak didikku aku jarang sekali menyunggingkan senyum
Aku usahakan nanti, menjadi alarm pribadimu untuk kita sholat tahajud bersama, meski saat ini aku masih terseok seok untuk menjalankannya setiap hari
Aku usahakan nanti menjadi teman berbincangmu tentang banyak hal, meski saat ini aku selalu takut untuk memulai pembicaraan dengan orang baru
Aku usahakan nanti menjadi ibu yang baik bagi anak anak kita, meski saat ini aku masih mengumpulkan bekal ilmu parenting untuk nantinya Allah pantaskan kita untuk menjadi orangtua
Akan banyak hal yang saat ini masih aku usahakan untuk bertemu denganmu, jika Dia meridhoinya, semoga nantinya saat kita dipertemukan masing masing dari kita sudah bersiap untuk menjadi sosok terbaik untuk keluarga kecil kita
Walam akun biduakika rabbi syaqiyya
Gresik, 12 Februari 2024
Sazzadiyatan
88 notes · View notes
kurniawangunadi · 2 months ago
Text
Tumblr media
Mau bilang "tidak terasa", tapi nyatanya sangat terasa. Sejak 2019 kolaborasi sama Alia buat membangun dan mengembangkan komunitas ini hingga tak terasa udah sampai di tahun 2024. Ada banyak sekali dinamika yang terjadi, banyak kesalahan yang terjadi, banyak sekali uji coba ini dan itu, naik turunnya semangat, bongkar pasang tim, dsb. Dengan segala dinamika itu, bisa bertahan hingga saat ini adalah sebuah milestone yang luar biasa bagiku secara pribadi. Apalagi kalau ketemu sama teman-teman secara offline seperti ini, terasa sekali nular energi baiknya, valuenya, dan segala hal yang bertahun-tahun ini coba kami sisipkan melalui beragam bentuk kelas, program, dsb.
Rasanya bahagia saat bertemu dengan orang-orang yang selama ini hanya kukenal secara daring. Bisa ketemu, bisa melihat raut wajahnya yang penuh keyakinan. Mungkin nanti akan ada masanya kita semua kembali sibuk berkarya di tempat masing-masing, tak mengapa. Kapanpun nanti kita bertemu lagi, kita akan mengingat hal-hal baik yang pernah kita lalui. Dan itu adalah penali yang membuat kita nanti, kapanpun bertemu, akan mudah untuk saling mengenali dan memulai pembicaraan.
Apakah ada di antara teman-teman di sini yang menjadi bagian dari kisah ini? :)
51 notes · View notes
kayyishwr · 1 year ago
Text
Sebagai manusia yang mengaku-dan semoga Allah mengakui juga-sebagai penyeru kebaikan (Da'i) kita seharusnya siap dengan banyak bahasan dan pembicaraan
Kita sedang menuju jalan perbaikan
Kita sedang menuju perubahan peradaban
Kita sedang menuju Allah
Dan banyak jalan menuju itu semua, tidak hanya terbatas pada kemenangan capres-cawapres, tidak hanya sebatas banyaknya hadirin yang hadir, tidak hanya sebatas pada ketertarikan orang
Memang, kita diminta punya spesialisasi, tapi jangan alergi dengan banyak bahasan. Memang, kita diminta untuk produktif, tapi jangan meremehkan yang lain; itulah tugas kita, selalu menghadirkan makna walau kecil, walau terbatas, walau sempit; agar semua merasa pantas dalam jalan perbaikan ini
Dan, mari kita terus mengingat bagaimana Shalahuddin Al Ayyubi, lahir dari kegelisahan generasi, bukan satu dua orang; lahir dari kesadaran kolektif, tidak peduli apa latar belakangnya; semua sepakat, perbaikan diri kemudian perbaikan institusi keluarga, hingga perbaikan lingkungan akan menghadirkan perbaikan peradaban
Tapi, itu jalan panjang, dan dimanakah kita?🇮🇩🇵🇸
93 notes · View notes
alizetia · 2 years ago
Text
Bagaimana doa dapat menyembuhkan jiwamu
Suatu hari, Ibnu Qoyyim pernah mendapatkan pertanyaan tentang apa nasihat para ulama kepada seseorang yang tengah ditimpa suatu cobaan, dan orang itu menyadari apabila cobaan itu terus berlangsung, maka ia merusak dunia dan akhiratnya. Orang ini sungguh telah berusaha sekuat tenaga dengan daya upayanya untuk menanggulangi segala cobaan yang datang padanya namun cobaan tersebut justru bertambah parah dan kian menjadi jadi. 
Ibnu Qoyyim menuliskan secara lengkap dalam satu kitab mengenai penyakit dan obatnya. Di antara obat yang disebutkan salah satunya adalah Do’a.
Telah payah rasanya jasad dan jiwamu menghadapi banyak hal yang terjadi di hidupmu. Telah kamu coba segala hal yang dirasa mampu menyembuhkanmu, namun kadang hasilnya nihil kadang terobati namun tak lama sakit itu kembali lagi. Jiwa terasa resah, sering pula hampa, sudah sekuat tenaga kamu berusaha, sering pula saking sakitnya ia, dirimu tak ingin diajak melakukan apa apa atau beranjak kemana mana.
Maka berdoalah, “sudah sudah kulakukan” katamu. 
Sudahkah kamu berdoa sebagaimana para kekasih Allah berdoa kepadaNya? Mereka menghadapkan wajahnya ke arah dimana kiblatNya berada, mereka sucikan dirinya, memastikan jasadnya telah bersih membiarkan air mengaliri kulit hingga sejuknya merasuk mengobati keringnya hati. Kemudian mereka memulai pembicaraan hamba kepada penciptanya dengan mengucap hamdalah, bersyukur atas segala nikmat yang diberikan kala dirinya tak layak sama sekali. Mereka memuji Tuhannya, mereka mengucapkan salam , shalawat kepada Nabinya, mereka mendahulukan taubatnya sebab tahu segala kesulitan hidupnya sering kali disebabkan karena lalai dirinya. Mereka beristighfar, meminta ampunan sebelum menyebutkan hajatnya, lalu menghadirkan dirinya di hadapan Allah, bersikap memelas, mengucapkan memanggil namaNya dengan lembut selayaknya memanggil kekasih yang paling dicintainya. Mereka memohon dengan menyebutkan nama namaNya yang indah, sifat sifatNya yang agung, serta kekuasaanNya dan keesaanNya. 
Tahukah kamu? sungguh doa semisal itu tidak pernah tertolak. Bagaimana hati bisa gelisah, bila menyadari ia senantiasa berbicara dengan kekasihnya yang memiliki alam semesta, yang menjamin kehidupannya, yang mampu memberikan bahagia padanya, itupun sering kali tanpa diminta. 
Begitulah, bagaimana doa mampu menyembuhkan luka di hatimu, sakit di jiwamu. Doa yang dihaturkan tanpa lelah, terus menerus, sungguh Allah menyukai doa yang semisal itu. Doa yang diucap tanpa tergesa gesa untuk segera terwujud. Sebab doa bukan sekedar memo permintaan, melainkan pembicaraan pada yang terkasih yang Maha Pengasih.
339 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 6 months ago
Text
Oh, Teman Baru.
Satu jam sebelum pukul tujuh belas tiga puluh sore, hari Jumat.
Aku sengaja datang sejam lebih awal dari jadwal ketibaannya di bandara. Tidak apa kok, aku tidak keberatan harus menunggu sedikit lebih lama dari balik pagar pembatas itu sembari memperhatikan orang-orang di sekeliling.
Mereka semua terlihat begitu biasa.
Ada segerombolan bule yang menggendong tas backpack segera menuju konter selular. Ada sepasang orang Korea yang bergandengan tangan buru-buru mengarah ke pemberhentian taksi. Ada ibu-ibu sosialita yang sedikit heboh berfoto-foto untuk mengabadikan momen tiba mereka. Dan orang-orang lainnya yang melenggang keluar dari terminal kedatangan internasional menuju tujuannya masing-masing.
Dan aku juga pasti terlihat biasa bagi mereka semua.
Tumblr media
Tapi, hari ini aku akan bertemu seseorang—yang tidak biasa bagiku.
Aku mencoba menghilangkan rasa gugupku dengan mondar-mandir. Jujur, jantungku berdegup tak menentu. Setiap ada orang yang muncul, aku selalu menerka-nerka, apa itu dia? Lalu pikiranku maju jauh, membayangkan dia datang melalui pintu itu, keren dan atraktif.
“Sebentar ya, masih nungguin koper,” katanya di DM Instagram. “Okay. Take your time,” balasku.
Semakin deg-degan, hingga aku memutuskan untuk mencari tempat duduk yang kosong demi menurunkan rasa gelisahku. Lalu tiba-tiba, “Haaai Cindy!” terdengar. Aku mendongakkan kepala dan menemukan dia berjalan dengan riang ke arahku.
And, he planted roses on my cheeks. Suddenly, shyly, nervously.
Aku segera menyodorkan Matcha Latte yang kubelikan untuknya. Dia pasti cukup haus setelah penerbangan yang memakan waktu lebih dari 7 jam itu. Tapi, dia tidak mengeluh. Kami mencari taksi untuk segera menuju pemberhetian selanjutnya. Dan di dalam mobil itu, aku, baru tahu, bahwa satu obrolan santai dari dua orang asing yang baru bertemu itu bisa membuat senyum tak berhenti mekar seharian.
Sebelumnya, kami sudah janjian untuk sebuah meet up yang proper. Dia selalu tahu, aku ingin makan di salah satu restoran bintang 5. Jadi, kami random saja memilih di daerah terdekat. Restorannya cukup romantis dengan konsep taman eksotis yang menawarkan menu Asian-fusion yang nikmat. Perhatianku tertuju pada menu dessert-nya yang berbentuk seperti jamur. Dia yang menyadari aku menyukai segala hal yang berbau coklat segera memesannya.
Tumblr media Tumblr media
Sambil menunggu makanannya disajikan, kami memulai pembicaraan dengan basa-basi singkat. Dan, kalian tahu, cara paling mudah untuk tahu apakah kita cocok dengan seseorang atau tidak adalah ketika kita lupa waktu. Di sanalah, aku tidak sadar telah mendamparkan diri pada caranya bercerita. Untuk kesekian detik, aku berusaha untuk menggenggam erat kewarasanku agar tidak gila bayang pada orang asing di hadapanku.
Ayolah, Cindy, dia hanya orang asing, kok.
Tapi, seberapa keras pun aku berusaha untuk mengenyahkan perasaan itu, aku tahu aku akan tetap memilih satu momen bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu. Betapa aku rela menukarkan apa pun untuk kembali dipertemukan dengan dia dengan cara yang sama.
Tidak terasa 2,5 jam berlalu begitu saja, dan hanya dalam sejauh spasi pendek itu, aku tidak tahu apa yang membuatku ingin terus berbicara. Aku sudah terbiasa dengan stereotype introvert yang kagok ketika berkomunikasi. Tapi, waktu dengannya, aku menemukan diriku bebas berdiskusi, berargumen, berkisah, tentang apa saja. Dan ternyata untuk dia yang bisa menerima celotehanku dan tidak berekspektasi aku untuk menjadi seseorang yang agung, itu sudah cukup…bagiku.
Sebelum bertemu dengannya, aku telah bertemu banyak orang. Beberapa melewatkanku, beberapa kulewatkan. Beberapa menarik perhatianku, beberapa kutarik perhatiannya. Beberapa tiada, beberapa masih ada dalam hidupku. Beberapa nama masih tersimpan dalam kontak, beberapa terhapus tanpa pikir panjang. Dan, dia, seseorang yang siluetnya langsung membentuk mimpi di saat jumpa pertama, membangkitkan kembali perasaan yang sudah lama terkubur dalam hatiku, membuatku sadar bahwa selama ini aku hanya sedang menunggu.
Malam itu, aku ingin kembali mengalami…perasaan jatuh hati di antara begitu banyak omong kosong tentang cinta pada pertemuan pertama.
Setelah menyadari gerak-gerik pelayan yang mulai beberes piring-piring yang sudah tidak menyisakan makanan, dia bertanya, “Jadi, kita mau ke mana lagi?”
“Kita jalan ke mall seberang, mau?” pintaku.
Dia mengangguk, dan bilang, “Let’s go!”
Tadinya, kukira pertemuan ini hanya akan sesingkat makan malam lalu pulang ke tempat masing-masing lalu melupakan nama satu sama lain, tapi tampaknya, semesta telah mengabulkan desakan doaku kalau: I want more time with him.
Ternyata menyebrang di jalanan yang padat kendaraan tidak semudah yang dibayangkan. Tidak ada mobil yang mau mengalah untuk kedua pejalan kaki yang terlihat takut ini. Tapi, cara dia berdiri di arah kendaraan melaju kembali membuat hatiku berdetak dua kali lebih cepat. “Kamu di sebelah sini aja, kita pelan-pelan saja." Sesaat ada kesempatan untuk menyebrang, dia memegang canggung pergelangan tanganku lalu mengarahkanku untuk berjalan dengan cepat. Tanpa kata-kata, aku sejujurnya ingin mengisyaratkan bahwa detik itu juga, aku sudah jatuh kepada dia.
“Wanna have some ice cream again?” tanya dia, sejujurnya, malam itu aku sudah kenyang dari makan di restoran sebelumnya. But, we all broke our rules for someone, right?—hanya demi agar aku punya alasan untuk memiliki kegiatan lain dengannya. So, yes was an answer.
Jam menunjukkan hampir pukul 10.30 malam. Toko-toko di mall itu sudah banyak yang tutup. Sinar lampu perlahan-lahan meredup, tapi matanya memercikkan kilatan kesima di sana. Lucu ya, bagaimana kita bisa bertemu dengan seseorang. Satu hari, kita hanya saling mengagumi dari balik gaduhnya dunia maya, kemudian di hari lainnya lagi, kita bisa berdiri di sampingnya, merasakan kehadirannya nyata.
Aku percaya, itu bukan kebetulan. Masing-masing dari kita, jika diizinkan semesta, pasti akan saling bersinggungan, entah dengan cara apa pun, di mana pun, dan kapan pun.
And that’s how I met him.
Malam itu, aku pulang lebih larut dari biasanya. Aku menimbang-nimbang, apakah setelah malam ini dia akan menghubungiku lagi? Karena, jujur, aku ingin dia datang lagi.
Aku punya berbagai jenis ketakutan, seperti film horor, reptil, barongsai…; dan kehilangan seseorang yang baru kutemui semalam.
Pagi setelah pertemuan malam itu, kembali seperti pagi-pagi biasanya. Tidak ada satu pun pesan darinya. Sesingkat apa pun itu. Aku hanya bisa memandangi layar ponsel yang tidak memunculkan notifikasi apa-apa.
9 jam. Aku tidak bisa berhenti menghitung waktu yang bergulir tanpa kabar apa-apa darinya. Entah kenapa, aku merasakan hatiku pelan-pelan tergerus. Tidak, aku tidak bermaksud untuk melekat padanya. Alasan utamanya; siapa lah aku untuk boleh mendapat kabar darinya? Tapi, ketika melihat dia aktif di media sosialnya tanpa meninggalkan sepotong pesan untukku, membuatku sedikit merasa jauh darinya dan…terabaikan. Sungguh, aku ingin mengonfirmasi bahwa tidak ada yang istimewa dari dia.
Tapi, untuk kali pertama, dalam waktu sesingkat itu, aku mau tak mau harus mengakui perasaan itu. Cemburu.
Beberapa waktu berlalu, mungkin dia tidak menyadarinya bahwa aku tidak suka terlihat rapuh. Aku bukan siapa-siapa baginya. Aku tidak ingin mengambilnya dari keluarganya, dunianya, hobinya, pekerjaannya, sirkel-sirkelnya… Tapi, bolehkah dia sisihkan saja sedikit ruang untukku yang tidak terjamah siapa-siapa untuk letakkan aku di situ? Aku tahu, aku mulai egois ingin memilikinya.
Apakah dia mengerti perasaan semacam itu?
Namun, sebelum malam jatuh seluruhnya, aku mempertaruhkan diri untuk menyapanya di kesepian itu. Dan beruntunglah aku ketika… “Aku boleh ke rumahmu, sekarang? Kita makan nasi goreng kalau kamu belum makan,” muncul pada kotak notifikasi. Dia menjelaskan kalau dia kesusahan mencari jaringan wifi hingga tidak bisa mengabariku.
Secepat kilat, tanpa pertimbangan, hanya 3 kata yang tertulis sebagai balasan: “Oke, aku tunggu.”
“Menurutmu, aneh nggak, ngobrol apa aja dengan orang yang baru kamu temui 2 hari lalu?” tanyaku setelah diam menggigit sejenak. “Enggak, malahan kita jadi lebih banyak tahu tentang satu sama lain dibanding orang lain. Hubungan kita jadi eksklusif karena itu,” jawabnya ringan sambil menatap mataku.
Tidak pernah terbesit dalam pikiranku untuk merasakan lebih daripada itu. Ketika berhadapan dengan dia, aku tidak yakin apa yang harus kulakukan. Mungkin, dia hanya butuh seseorang untuk menghangatkan bayang kosong di sampingnya. Mungkin, aku juga hanya sedang butuh ditemani saja. Tapi, why not? Mungkin, yang kami butuhkan hanyalah; suasana, teman bicara, selera makan yang sama.
And, maybe, we should try.
Biasanya, aku tidak pernah membiarkan orang lain membaca buku bucket list-ku secara langsung. Namun, dia yang begitu penasaran terus meminta untuk membacanya. “Aku ingin tahu semua keinginanmu,” mintanya. Tidak pernah ada orang yang se-excited itu untuk bertanya tentang keinginanku. Aku melihatnya menggenggam buku kecil itu lalu membacanya kalimat demi kalimat, dan dia… benar-benar ingin tahu dan terlibat. Sungguh, aku sangat menyukai binar di matanya malam itu.
Begitu saja—ya, begitu saja, se-simple itu bahagia tercipta. And I miss the comfort of being loved…
Saat sedang sama-sama membaca, tak sadar poni rambutku terjatuh menyapu dahi dan menghalangi mataku. Reflek, dia mengulurkan jari-jarinya untuk menyelipkan rambut yang terjatuh itu di balik telingaku. Dan pada saat kulit kami bersentuhan, aku merasakan hatiku berdesir. Ini kontak fisik pertama kami. Tapi, sentuhan ringan itu terasa jauh lebih privat dari semua yang telah kami bagi selama ini. Aku telah merasakan berbagai jenis sentuhan. tapi kenapa ya, kali ini, aku tidak mampu menguraikan makna dari sentuhannya?
Dia tidak segera menarik tangannya, tetapi membiarkan jari-jarinya sedikit lebih lama mengelus lembut rambutku. Dia tidak gugup, tidak juga melakukan lebih dari itu. Dia terlihat sedikit menginterpretasi. Sampai pada dia kembali ke posisi semula, aku baru sadar, selama itu aku menahan nafas dan dentuman jantung yang tak karuan. Entah tersipu atau gelisah.
"Why don't you kiss me?" Aku sedikit gemetaran mengirimkan pertanyaan ini. Sejujurnya, aku tidak ingin menanyakannya, karena aku tidak berhak merasakan memiliki dia; aku hanya boleh merasa ragu.
Setelah drama mengelus rambut itu, kukira akan terjadi skenario seperti di film-film roman yang kutonton. Mungkin akan ada sebuah kecupan kecil mendarat di pipiku, tapi dia tidak. Hingga dia berlalu pulang, hatiku tetap mengganjal sesuatu.
Dan, di batas malam itu, sungguh aku menunggu jawabannya.
Lama dia mengetik—menghapus; mengetik lagi—menghapus lagi. Entah narasi apa yang sedang dia siapkan untuk menjawab pertanyaan tidak berdasarku itu. Atau, ucapan itu terlalu blak-blakan untuk dipertanyakan?
"Actually, I want to kiss you so badly—it's killing me, but I'm just afraid to make the first move (?). Aku mau sayang kamu dan kiss you at the right time."
Semburat merah jambu muncul pada pipiku setelah membaca jawabannya. Baiklah, aku mengakui aku kalah, pada dia. Aku merindukan aroma woody blend pada tubuhnya. Aku mencari-cari pertanda demam pada tubuhku sendiri, sebab mendadak tubuhku menghangat di hari berhujan ini. Tapi, justru di saat itulah, aku merasa lebih sadar dan sehat dari sebelumnya.
"I have a bad news," tulisnya via DM Instagram pagi berikutnya. "Ada apa?" tanyaku panik.
Kepulangannya ke negaranya ternyata harus dipercepat dari yang sebelumnya bisa sebulan menjadi 2 minggu saja di sini. Aku terdiam, tidak dapat mendefinisikan gemuruh di dadaku yang kini bercampur dengan emosi dan kesedihan yang tidak mampu aku utarakan. Ada jeda yang menggigit hingga aku sadar aku harus memberikan respons.
"Wah, terpaksa mesti balik ya?" Hanya itu respons paling biasa yang bisa aku berikan—meski sejujurnya, dalam hatiku betapa aku tidak ingin dia kembali lagi ke sana; ke tempat di mana seharusnya dia berada. Betapa jika aku punya tombol tunda, lorong waktu, atau apa pun itu lah alatnya untuk menahannya pergi,��maka akan aku bayar mahal deminya.
Mendadak, ini menjadi perpisahan paling sepi yang pernah kualami seumur hidupku. Dan waktu tiba-tiba terasa lebih cepat larut dari sebelumnya.
Kenapa, waktu kami, tidak pernah tepat, ya?
Oh ya, aku belum menceritakan dengan jelas sosok dia yang sedari tadi aku sebut-sebut, ya. Kenalkan, seorang laki-laki kelahiran bulan Maret, berzodiak Pisces, pecinta warna oranye, penyuka makanan Korea, smart, terpelajar, mampu membawa diri, komunikatif, percaya diri, tipe kesukaan mertua, loyal, senang mengobservasi, sweet, loveable, caranya bercerita, caranya meraih respek sungguh tidak ada tandingannya.
Dia menyapaku dari balik Instagram pada suatu malam yang sudah telat. Hey Cindy, nice to know you—begitu isi pesannya. Waktu itu, aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah perlu aku membalasnya atau tidak. Pikiranku terbelah antara mengabaikan saja atau murni memulai pertemanan. Dan aku memilih yang kedua.
Atau, sesungguhnya, sempat aku merasa, kalau hari itu aku melepaskannya, mungkin aku akan menyesal…
Dia bilang dia akan pulang ke Indonesia bulan depan. Perkenalan kami memang baru sebulan lewat media sosial, tapi mengapa kehadirannya memberikan isyarat optimisme, aku juga tidak paham. Aku menganggapnya sebagai tawaran untuk menginterupsi waktu. Dan, tanpa sadar, aku mulai menghitung hari.
"Kamu itu unik, gimana jelasinnya, ya? Aku hanya perlu lihat sekilas dari profilmu, lalu ya muncul aja koneksi emosional itu. Aku mau ketemu kamu. Aku mau tau apa makanan favoritmu. Aku mau kenal kamu lebih dekat, lebih jauh, lebih akrab. Aku suka caramu menulis jurnal, caramu merencanakan segala hal, caramu meromantisasi hidupmu. Aku…belum pernah ketemu orang seperti itu dalam hidupku."
Berikut jawabannya ketika aku bertanya kenapa aku yang dia pilih, di saat ada banyak perempuan lainnya yang lebih baik untuk dikenalinya—pertanyaan semacam itu membuatku sedikit resah. Tapi, sering kali aku merasa skeptis, mungkinkah perasaan semacam ini hanya ilusi yang akan luntur suatu saat nanti, hanya seperti dopping yang memabukkan sesaat. Seperti memesan kue cantik dari balik etalase, lalu menemukan rasanya tidak seenak yang dipikirkan. Dan, dia akan kecewa. Bukankah, pada satu titik, rasa penasaran itu akan berhenti dan menghilang, menyatu kembali dengan oksigen, dan membuatnya merasa utang moral, investasi tenaga, waktu, dan perasaannya selama ini jadi sia-sia?
Aku takut.
Tidak ada yang istimewa dari dia, pada awalnya, sekali lagi aku ingin mengonfirmasi. Tapi, setelah sedikit mengenalnya, ada sebagian hati kecilku yang ingin menyusulnya ke alam abstrak tempat di mana hanya nafas kami yang bisa bertemu. Mari kita piknik, melihat bintang, pergi ke aquarium, main ski, melipat origami, naik kuda… Namun, jika boleh aku memilih satu: aku ingin menyentuh spasi di antara kedua alis tebalnya, atau mencuri waktunya, atau menyita perhatiannya, atau memilinnya masuk ke sel-sel tubuhku agar terjamin keberadaannya selalu.
Dan, satu balasan "Hey, nice to know you as well!" dariku itu kemudian menjadi gerbang untuk sebuah perjalanan baru yang panjang.
"Menurutmu, kita bisa berteman saja, nggak?" tanyanya sedikit ragu. "Kurasa, kita nggak bisa cuma berteman. Kita sudah berpandangan penuh makna. Kita telah meyakini adanya potensi untuk bersama. Lalu, kalau kita cuma temenan, kita pasti akan berhenti ketemu sering-sering dan aku nggak akan bisa tau kabarmu lagi, aku nggak bisa melihatmu seperti dulu lagi," selagi menjawab ini, aku tiba-tiba merasa sedih. "Aku pasti sedih kalau kita pada akhirnya nggak jadi," gumamnya pelan. Mataku bersaput air. "Ya, aku juga."
Kami menghabiskan sisa malam berpelukan. Saling mendekatkan kepala masing-masing seolah ingin mentransfer segala yang tengah dipikirkan. Deru napasnya bergerak lembut dan terasa hangat. Aku tidak ingin menyia-nyiakan hari ini, biarkan aku memeluknya lebih erat, karena setelah ini, sebentar lagi, semua tidak akan lagi bersisa.
Berapa jam lagi, hari akan berganti? Aku tidak ingin menghitungnya.
Aku tidak pernah merasa memilikinya.
Aku sudah memiliki kenangan mengenai pertemuan pertama di bandara, sebuah malam di tepi sungai sambil menyantap jajanan hangat, dua tiket film horor yang membuatku bergidik namun di dekapannya aku merasa lebih aman dari kepompong mana pun, atau percakapan dan hening yang terbagi pada setiap kedai kopi yang kami kunjungi. Itu saja telah cukup—
aku belajar untuk tidak mengharapkan lebih.
I will miss you. See you there. Let's meet again for the first time. I'll be waiting for you—kalimat pendek itu terdengar samar namun tertangkap jelas di pendengaranku, bagaimana satu laki-laki akan meninggalkanku lagi, seperti yang sudah-sudah.
Hanya saja, kali ini, tolong Tuhan, dia berbeda.
Jangan pergi—dua kata itu tertahan di lidahku. Dan, aku hanya sanggup menangis, hingga dia kebingungan, namun dia tetap memberiku ruang untuk mengumbar semua kesedihan.
Besok, dia akan kembali, menjalani perannya seperti sedia kala, karena itu adalah hal yang paling tepat. "Andai saja, aku ketemu kamu dari lama," gumamnya sambil menenangkanku. Maka semakin menjadi-jadilah tangisanku, sebab bentuk cinta yang boleh kumiliki saat ini hanyalah melepaskan dia.
"Kalau…kamu pergi…itu tandanya…aku kehilangan…kamu…iya kan? Terus…kenapa kamu harus…datang…kalau pada akhirnya…kamu pergi…juga?" Dengan sekuat tenaga, aku mengatakan kalimat ini meski harus sesunggukan. Pelukannya yang sedari tadi melingkupi sekujur tubuhku mengendur seketika. Maka bangkitlah ia, meraih wajahku yang kusut dengan air mata dan keringat, menatapku lama, menghapus sedikit demi sedikit air terjun dari mataku.
Pikiranku kembali ke perkataannya waktu itu—aku mau sayang kamu dan aku akan melakukannya di waktu yang tepat. Then, the "right time" was right now.
Dan, di bawah hujan malam itu, di balik tirai yang menyemburatkan lampu jalanan itu, dengan lagu Hati-hati di Jalan yang diputar di belakang itu,
…we kissed.
Semua berlalu seperti biasa.
Dia sudah kembali ke negaranya. Sementara, aku, kembali melanjutkan hidup seperti sebelum ada dia. Ah, aku pasti hanya butuh sedikit lebih banyak waktu untuk terbiasa saja.
Namun, seandainya, dia tahu—dia berutang padaku satu hal; satu kepastian bahwa dia akan tetap baik-baik saja di sana. Dan, aku—meskipun dia ragu untuk memintaku menunggunya—berani menjamin akan tetap ada di sini, menunggunya kembali dengan perasaan yang sama dan sebuah senyuman.
Begitu saja.
Malam itu, malam dimana aku menangis untuk pertama kalinya di hadapan dia, sesungguhnya aku ingin bertanya—yang mana yang lebih baik baginya; pernah bertemu lalu berpisah atau tidak pernah bertemu sama sekali? Karena, aku, tak pernah tahu apa jawabannya.
28 notes · View notes
gadisbiru · 5 months ago
Text
Tentang mu (2)
Malam itu, dia mematikan kameranya saat kami sedang video call. Memang saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 00:35. Artinya dia bersiap untuk tertidur. Tapi sebenarnya bukan karena itu, melainkan karena dia menangis. Ya, aku tahu dia sedang menangis karena terdengar suara isakan tangisnya yang begitu kecil. Saat kutanya, “Mengapa kameranya dimatikan?”, “Sudah mengantuk” katanya berdalih. Padahal aku tahu kalau dia tidak ingin memperlihatkan air matanya itu. Bukankah sedih itu sesuatu yang wajar, karena itu emosi dasar yang ada pada manusia. Aku hanya terdiam cukup lama, membiarkan dia meluapkan emosinya dengan menangis. “Gapapa bang kalau mau nangis, jangan ditahan.” Ucapku,  “Nggak kok, ini mah ngantuk aja tadi habis nguap. Hoooaaammm" katamu sambil berpura-pura menguap. "Iiih gapapa lagi kalo mau nangis mah. Nggak usah malu. Pasti sangat berat untuk menerima semuanya kan, Bang?", "Laki-laki nggak boleh menangis, harus kuat” lanjutnya. Hufffttt…
Aku penasaran, siapa sih yang pertama kali mempopulerkan pernyataan tersebut. Mengapa harus bersembunyi ketika sedang sedih? apakah karena takut dicap lelaki cengeng? Apakah bagimu menangis memiliki makna yang negatif, meski tidak selalu begitu? Semua pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di pikiran hanya membuatku tambah bingung.  Bingung harus melakukan apa disaat dia tidak ingin menunjukkan kesedihannya. Akhirnya aku mencoba untuk mencari topik pembicaraan, agar perasaannya sedikit teralihkan, meski aku tidak tahu apakah cara ini akan berhasil.
Aku bercerita tentang murid-murid yang ada di sekolah. Menceritakan bagaimana anak-anak jaman sekarang memperlakukannya tidak sama seperti dahulu saat kami masih sekolah dasar. Dimana ketegasan dan kedisiplinan dianggap sebagai guru yang galak, dan ditakuti murid-murid. Dia pun menanggapinya dengan serius 😆 meskipun sepertinya perasaan sedih itu masih melekat di hatinya, tapi setidaknya aku berhasil membuatnya tidak bersedih lagi.
20 notes · View notes
sastrasa · 11 months ago
Text
Karena kamu, dan cuma sama kamu, aku gak mau berusaha lebih keras, aku rela menahan rindu daripada harus nahan malu ngehubungin kamu duluan. Bukan karena aku enggak punya topik pembicaraan, bukan juga karena aku sungkan. Kadang aku juga bingung, apa ya sebenarnya yang aku rindukan dari kamu? Belum juga tercipta temu. Tapi sudah rindu-rindu-rindu.
Dan semoga kamu juga rindu aku.
- Sastrasa
43 notes · View notes
langitawaan · 1 year ago
Text
172.
Buk, Pak. Ingat tidak pertemuan pertama kita? Ah, sungguh sejujurnya hari itu aku gugup luar biasa. Tanganku dingin bukan main. Aku mematut wajah berkali-kali di cermin, begitu inginnya aku terlihat sempurna di hadapan Bapak dan Ibuk.
Sepanjang perjalanan aku terus mengatur nafas, kepalaku terus berpikir harus dari mana aku membuka obrolan di hadapan kalian? Bagaimana aku menjawab pertanyaan kalian nanti? Akankah aku terlihat pantas untuk menemani anak sulung kalian?
Buk, Pak. Ingat tidak, bagaimana kehangatan yang kalian tunjukkan kali pertama aku mencium tangan Ibuk? Betapa teduhnya wajah Ibuk hari itu, serupa Mamah. Betapa tulus senyuman Bapak kala itu. Aku yang tadinya ketakutan menjadi sedikit tenang. Aku yang tidak tahu harus bagaimana memulai obrolan menjadi terharu karena kalian lebih dahulu membuka topik pembicaraan sehingga aku tidak merasa asing berada di antara kalian.
Buk, Pak. Terima kasih sudah menerima kehadiranku dengan begitu ramah dan menghilangkan segala trauma dalam benak. Ternyata ada orangtua selain orangtuaku yang begitu bahagia menyambut kehadiranku. Selama ini aku saja yang terlalu ketakutan karena luka di masa lalu. Terima kasih juga sudah melahirkan anak lelaki sebaik ia dan membuatku menemukan rumah selain rumah Papa.
Ibuk-Bapak, sehat-sehat, ya karena masih banyak momen-momen baik yang ingin aku lewati bersama kalian berdua. InsyaAllaah.
Belitung, 15.55 | 12 September 2023.
74 notes · View notes
hellopersimmonpie · 5 months ago
Text
Setelah didiagnosa ADHD dan dijelaskan sama psikiater bahwa penyandang ADHD bisa saja tidak mampu melakukan multitasking dan kesulitan untuk switching pekerjaan dengan cepat, gue lega banget.
Selama ini, gue sering banget ter-gaslight dari lingkungan. Bahwa dosen harus bisa multitasking karena kerjaannya banyak. Bahwa cewek harus multitasking karena harus mengurus keluarga. Maka orang-orang di sekitar gue tuh sering banget bilang:
"Kamu jangan mental block kayak gitu. Harus dicoba"
Udah gue coba. Dan saat kerjaan banyak banget, gue stress. Stressnya itu sampai di level haid berantakan banget.
Setelah gue menerima bahwa gue ga multitasking, gue mulai pelan-pelan memanage hidup gue dengan lebih baik. Gue mulai hafal kapan gue punya energi buat deep work. Kapan gue kelelahan dan harus tegas untuk berhenti.
Neurodiversity adalah sesuatu yang nyata banget tapi terasa tidak nyata karena nggak semua orang mengalami. Jadi nggak banyak orang yang bisa berempati.
Betapa gue dengan desperate terapi ke psikolog karena gue nggak mampu dateng ke suatu kegiatan secara on time. Bahkan ngajar pun gue selalu telat sampai sejam. Kalo gue ga paham tentang neurodiversity, gue pasti bakal menganggap diri sendiri sebagai orang yang jahat.
Beberapa penyandang ADHD itu punya persepsi yang berbeda terhadap waktu dibandingkan Neurotypical. Di level yang sangat parah, hidupnya harus selalu dibantu dengan alarm. Karena saat mengalami time blindness, 5 menit sama sejam itu seperti tidak ada bedanya.
Beberapa penyandang ADHD juga memiliki kemampuan yang buruk untuk estimasi menggunakan angka. Selama ini nilai matematika gue tinggi tapi gue ga mampu hitung cepat. Gue kesulitan berurusan dengan angka. Jadi pembelajaran matematika gue emang beda dengan yang lain. Gue melihat matematika sebagai konsep dan gue pelajari dengan otodidak. Nilai matematika gue pas SD jelek banget. Baru naik signifikan pas SMP karena di SMP tuh ada pelajaran Fisika yang surprisingly bisa membantu gue berimajinasi tentang banyak hal dan memperkuat konsep matematis gue. Sementara matematika pas SD kebanyakan harus berurusan dengan pembagian dan perkalian secara manual.
Tipe ADHD gue tuh gabungan antara hiperaktif - inatentif. Tapi tidak impulsif.
Jadinya pas d kelas tuh gue nggak mampu keep up sama guru karena gue tenggelam dengan ramainya pikiran gue sendiri. Jadi guru tuh tahunya gue tuh cuma anak nakal dan nggak sopan. Kalo diajak ngobrol sering memotong pembicaran. Meanwhile gue jadinya memotong pembicaraan tuh lebih karena ga sadar aja. Orang ADHD tuh otaknya kan berpikirnya cepet banget. Jadi kadang satu topik belum selesai tuh udah pindah lagi.
Sekarang gue tahu alasan di balik itu. Kenapa logika gue bagus banget sementara gue ga mampu menjumlahkan angka secara manual. Psikiater bilang ini tuh namanya Diskalkulia. Kadang diskalkulia tuh jadi penyertanya ADHD.
So ketidakmampuan gue mengestimasi sesuatu dengan angka tuh ya pure karena otaknya berbeda dengan neurotypical. Tapi meskipun demikian, gue nggak kehilangan kemampuan untuk memanage sesuatu. Pendekatannya aja yang sedikit berbeda.
Gue sekarang udah mulai embrace banget hidup sebagai penyandang ADHD. Udah jarang mempertanyakan:
"Kenapa mereka bisa dan gue enggak?"
Pun dalam hal penjadwalan, ADHD itu harus dilatih dengan rutinitas. Dengan ritme yang kalo bisa tiap hari tuh sama. Nggak banyak berubah. Maka gue disiplin untuk tidak membuat acara dengan mendadak. Tidak mengizinkan orang lain menggeser-geser jadwal seenaknya. Karena begitu rutinitas berubah, gue stress.
Jadinya emang nggak fleksibel. Tapi itu less stressfull buat gue.
Gue pun pelan-pelan membangun sistem kerja gue sendiri biar sustain.
Saat memasuki usia 30, gue takut banget karena nggak bisa mengejar mimpi. Tapi pas jalan umur 34, gue menyadari bahwa di usia segini tuh segala pertimbangan gue lebih matang dan tidak fomo.
45 notes · View notes
gadiskaktus · 1 month ago
Text
Tumblr media
Aku tau kita punya pendapat berbeda. Tapi aku pengen memahami pendapat kamu.
Kabarin kalau kamu udah siap buat ngobrol ya."
@masbaper
Kabarin kalau mau mendaki bareng sambil ngobrol, tapi jangan obrolan yang basa basi yang sudah basi ya, untuk umur segini capek kalau cuman obrolan nya sudah makan apa belum, jangan lupa makan ya dsb. Yang lebih bernilai dan berfaedah gitu ya, yang obrolan nya ga cuman dunia tapi akherat juga kalau bisa.
Kita nanjak sambil ngobrol gini misalnya :
Mas A, "Dek nanti kalo sudah punya anak kita mendaki bareng kayak gini lagi ya, nanti kita bangun rumah di surga bareng juga, kita berjuang dulu ciptain surga kecil di rumah kita"
Aku," Kalau aku mau banget besok anak-anak kita kenal alam biar kenal juga Penciptanya, trus bangun surga di rumah kita itu bagaimana mas caranya?"
Mas A," Ya ... kita berusaha ciptain 3 pondasi dalam rumah tangga kita, sakinah, mawaddah, warohmah itu dek."
Aku," Benar itu sih pondasinya, tapi maksud aku gimana itu mas caranya?"
Mas A,"Gini dek..., Sakinah kan itu ketenangan atau tenang dek, jadi nanti kalau ada apa-apa, masalah apapun kita tenang dulu hadapinya. Misal nanti kalau kamu ngobrol sama mas kayak gini, jangan motong pembicaraan mas dulu, kamu yang tenang, dengarin, hargai dulu mas bicara. Begitupun kalau nanti adek juga ngomong sama mas, mas juga ga akan motong, tapi mas dengerin dulu sampai adek selesai, kita ga boleh nyolot apalagi emosi,"
Aku," oh gitu, terus apalagi mas?"
Mas A," Nanti kalau ada masalah, atau kita sedang capek-capek nya, kita jangan mengungkit-ungkit ini dan itu, atau kerjaan masing-masing, adek udah ini itu, trus mas juga malah nyolot jadi kita usahakan jangan seperti ini, paham ga dek sampai sini? ayo mas bantu naik dulu sambil ngobrol lagi nanti." ( sambil megang tangan)
Aku," Oh gitu, iya mas ayo masih jauh puncaknya, makasih mas sudah dibantuin,"
Mas A," lanjut lagi ya dek, selain yang mas sebutkan tadi, selanjutanya mawaddah atau cinta dek, ini point penting juga dek. Jadi nanti adek jangan nyela-nyela mas, ngomel-ngomel terus kalau di rumah, jangan sampai juga adek bicarain kejelekan mas atau sebaliknya. Mas juga harus jaga adek, ga nyela adek, ga ngomel atau marahin adek, jadi nanti kita dapat itu saling nya, kita tumbuhkan cinta itu dengan saling tadi dek. Jika Cinta itu hilang atau naik turun, kuncinya kita kembalikan lagi di sakinah tadi . Cinta jaminan dari Allah, jadi minta sama Allah terus untuk diberikan rasa cinta itu pada kita.
Aku," Oh iya ya mas paham, kalau misal nanti aku ngomel-ngomel gimana?"
Mas A," ya palingan ntar mas cuman dengerin saja, mau gimana lagi, habis itu mas baru nasehatin adek, jangan ngomel-ngomel lagi ya dek."
Hahahaha ( Ketawa bareng)
Aku," Lalu yang warahmah gimana itu mas?"
Mas. A," warahmah, Rahmah atau kasih sayang, nanti kita saling memaafkan, saling menerima, selalu bersabar dalam segala ujian, yang paling penting juga jangan selalu membesar-besarkan masalah, saling jujur dan terbuka, jika dari kita ya dek, ada salah ya meminta maaf jangan merasa benar atau tinggi satu sama lain."
Aku," paham mas, tapi prakteknya kalau ga sesuai yang mas sampaikan gimana?"
Mas A," Kembali lagi, kita saling mengingatkan, tidak untuk lebih benar atau lebih tinggi, sebisa mungkin nanti kita ciptakan di rumah tangga kita itu tentram, cinta, dan maaf gitu ya dek."
Mereka mengobrol sampai puncak.
Ayo mas A kapan kita muncak bareng?
Aku dengan alam, kalau dengan mas A Wallahu a'lam (hahaha)
Mas A ( my Imagination )
Obrolan terinspirasi dari kajian pra nikah ustadzah Aisyah Farid, BSA
yang dirangkum oleh ummu lely / Ibu lely by ig.
18 notes · View notes