#muhammad abdul-hai
Explore tagged Tumblr posts
Quote
With the Names, we recall the world from its chaos: The sea. The desert. The stone. The wind. The water. The trees. The fire. The female. Darkness and light.
Muhammad Abdul-Hai, tr. & ed. Adil Babikir, Modern Sudanese Poetry: An Anthology; “The Signs Ode”
#literature#poetry#muhammad abdul-hai#modern sudanese poetry: an anthology#holy is the name for which you are known#soil we walk upon#sudanese lit#m#x
26 notes
·
View notes
Text
Mantan Petinggi HTS Minta Jaulani Memeriksa Kondisi Tahanan di Penjara
IDLIB (Arrahmah.id) — Mantan petinggi kelompok perlawanan Suriah Hai’ah Tahrir asy Syam (HTS), Abdul Razzaq al-Mahdi, meminta dalam suratnya pada pemimpin HTS, Abu Muhammad al Jaulani, agar Jaulani membentuk tim independen dan dirinya dibolehkan untuk mengunjungi penjara dan memeriksa kondisi para tahanan di dalamnya. Dilansir Al Mayadeen (25/6/2024), Al-Mahdi mengatakan tim independen yang nanti…
View On WordPress
#Abdul Razzaq al Mahdi#abu muhammad al-jaulani#Hai&039;ah Tahrir asy-Syam#HTS#penjara#tahanan#tawanan
0 notes
Video
youtube
*** ENABLE CC FOR ENGLISH SUBTITLES ***
New Video: Murshid Ki Iteba Hi Iteba e Rasool Hai | Ghaus e Azam (rh) | ALRA TV
https://www.youtube.com/watch?v=Jny_PicbFwA
Sheikh Abdul Qadir Jilani (rh) declares, 'To follow the spiritual guide is equal to following Prophet Muhammad (s)'. Sufi Master Younus AlGohar elucidates this statement in light of the Holy Qur'an and explains how following the Prophet (s) is still possible today despite their physical absence.
-----------
✅ Get the latest updates from ALRA TV on Telegram Messenger. Download Telegram Messenger from the AppStore or Google PlayStore and subscribe to: https://t.me/official_alratv
❓ Question Sufi Master Younus AlGohar directly! Text your questions to us on WhatsApp: +447472540642 or Facebook messenger: http://m.me/alratv
Watch the live recordings of these lectures every day at 22:00 GMT at: http://www.younusalgohar.com
For Izn e Zikr-e-Qalb (Permission for Awakening of the Spiritual Heart) call Shaykh Amjad Gohar on this number +44 (0) 740 1855 568 via WhatsApp.
---
📱Social Media Instagram: http://instagram.com/alratv https://www.instagram.com/younus_algohar
Twitter: https://twitter.com/AlRa_TV https://twitter.com/mehdifoundation https://twitter.com/MessiahFdn https://twitter.com/younusalgohar
Facebook: https://www.facebook.com/alratv/ https://www.facebook.com/HHYounusAlGo...
Websites: http://www.goharshahi.us/ http://www.theawaitedone.com/ http://thereligionofgod.com http://www.younusalgohar.org/
*NEW URDU LANGUAGE WEBSITE* http://www.mehdifoundation.com/
#Imam Mehdi#Gohar Shahi#Younus AlGohar#Sufism#Gauspak#Murshid#Muhammadﷺ#Motivation#Enlighten Heart#Spirituality#Divine Love#Inner Peace
3 notes
·
View notes
Text
📝#PosterAFN
.
🍂 *JADIKANLAH AKHIRAT SEBAGAI NIATMU !*
.
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas رحمه الله تعالى
.
Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
.
Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/ 183); Ibnu Mâjah (no. 4105); Imam Ibnu Hibbân (no. 72–Mawâriduzh Zham’ân); al-Baihaqi (VII/288) dari Sahabat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu.
Lafazh hadits ini milik Ibnu Mâjah rahimahullah. Dishahihkan juga oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 950).
KOSA-KATA HADITS
هَمٌّ : mashdar dari هّمَّ – يَهُمُّ yaitu kemauan yang kuat, keinginan, niat, dan tujuan. Al-hammu juga berarti kesedihan. Jamaknya adalah هُمُوْمٌ (humuum).[1]
فَرَّقَ اللهُ : yaitu Allâh mencerai-beraikannya.
وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ : yaitu dia hanya mendapat apa yang telah ditetapkan baginya.[2]
رَاغِمَةٌ : ذّلِيْلَةٌ تَابِعَةٌ لَهُ (hina dan mengikutinya), yaitu dunia tersebut mengikutinya dengan sukarela dan terpaksa.[3]
SYARAH HADITS
Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela sikap tamak kepada dunia. Bahkan, Allâh Azza wa Jalla sangat merendahkan kedudukan dunia dalam banyak ayat-ayat al-Qur-an. Allâh Azza wa Jalla berfirman bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan yang menipu :
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” [Ali ‘Imrân/3:185]
.
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allâh serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Al-Hadîd/57:20]
.
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal. [Ghâfir/40:39]
.
Apabila seorang hamba menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya dan mengesampingkan urusan akhiratnya, maka Allâh Azza wa Jalla akan menjadikan urusan dunianya tercerai-berai, berantakan, serba sulit, serta menjadikan hidupnya selalu diliputi kegelisahan. Allâh Azza wa Jalla juga menjadikan kefakiran di depan matanya, selalu takut miskin, atau hatinya selalu tidak merasa cukup dengan rizki yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan kepadanya.
.
Dunia yang dapat hanya seukuran ketentuan yang telah ditetapkan baginya, tidak lebih, meskipun ia bekerja keras dari pagi hingga malam, bahkan hingga pagi lagi dengan mengorbankan kewajibannya beribadah kepada Allâh, mengorbankan hak-hak isteri, anak-anak, keluarga, orang tua, dan lainnya.
.
Cinta kepada dunia adalah pokok semua kejelekan, oleh karenanya tidak boleh menjadikan dunia sebagai tujuan hidup. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
.
Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan. [Hûd/11:15-16]
0 notes
Text
Hazrat Ammar Razi Allahu Anhu Ko Baagi Giroh qatal karega, wo unhe Jannat ki taraf dawat degen, jabki wo aag ki taraf , Kya Iski Nisbat Muawiyah Razi Allahu Anhu aur unke giroh par hai ? Ek Eitraaz Ka Ilmi Jawab
Article :- Shaikh Gulam Mustafa Zaheer Amanpuri Hafizahullah
Roman Script :- Abdul Adil Ansari
Musalmano ko chahiye ki woh Sahaba Razi Allahu Anhu ki Fazilat bayan kare, unke mutalliq hushn-e-jan rakhe, unke beech jo kuch ladaiyyan, huyin ya ikhtelaaf hua usme khamoshi ikhtiyar kare. Ahle Sunnat ka yahih mauquf hai ki wo Mushaajarat Sahaba Razi Allahu Anhu ke bare me apni zaban band rakhi jaye . woh behtareen hastiyaa thi jinhone Rasoolullah ﷺ ki Sohbat ikhtiyar ki, Deen e Islam ka har tarah se difaa kiya. chahe maali aitebar se, yaa jaan ke aitebar se. yeh wahi hastiyaan hain jinke mutalliq Quran mein kaha gaya ki Sabeelil Momineen hai. Unki raah se majmooyi taur par inheraaf karna jahannum ki taraf jana hai. woh behtareen shakhshiyat thi jinhone khush-haali, dukh, sukh waghairah mein Imam Ul Ambiya ka sath diya aur apne Imaan par sabit qadam rahe.
Abdullah Ibne Masood Razi Allahu Anhu ne kaha 👇
إن الله عز وجل نظر في قلوب العباد فوجد قلب محمد صلى الله عليه وسلم خير قلوب العباد فاصطفاه لنفسه وبعثه برسالته ثم نظر في قلوب العباد بعد قلب محمد صلى الله عليه وسلم فوجد قلوب أصحابه خير قلوب العباد – يعني من غير الأنبياء والمرسلين كماهو معلوم – فجعلهم وزراء نبيه صلى الله عليه وسلم يقاتلون عن دين.
Beshak Allah Ta'ala ne logon ke dilon ko dekha to Muhammad ﷺ ke dil ko tamam logon ke dilon se behtar paaya, chunache use apne liye chun liyaa aur aapko apni risalat ke sath Mab'oos kiya, phir logon ke dilon ko dekha to Muhammad ﷺ ke dil ke baad, Allah Ta'ala ne Aap ﷺ ke Sahaba ke dilon ko baqiyaa logon ke dilon se behtar paaya, lihaaza unhe apne Nabi ﷺ ke wajrah bana diyaa, wo qitaal karte hai uske deen ke liyeh.
{Musnad Ahmad 1/379}
Un azeem hastiyon ki kirdar-e-kashi karna , unki tanqees karna,unki takfeer karna,unko bura bhala kahna khud ke imaan ko gawane ke mutaradif hai. isi liye is Ummat ke behtareen log , Aimmah huda, Aimmah Muhaddiseen ne unke mutalliq farmaya
1] Imam Awwam Bin Hawshab Rahimahullah Farmate hai
قَالَ : ” اذْكُرُوا مَحَاسِنَ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ السَّلامُ تَأْتَلِفُ عَلَيْهِ الْقُلُوبُ ، وَلا تَذْكُرُوا مَسَاوِيَهُمْ ، فَتُحَرِّشُوا النَّاسَ عَلَيْهِمْ “
Rasoolullah ﷺ ke Sahaba Razi Allahu Anhu ki Khoobiyan bayaan karo taaki (logon ke) dilon main unki muhabbat hi muhabbat ho, aur unki khaamiyaan bayaan naa karo taaki logon (ke dilon) mein unke khilaaf nafraat paidah naa ho jaye
(السنة لأبي بكر بن الخلال 828)
2] Imam Ahmad Bin Hambal Rahimahullah Farmate Hai
قال الإمام أحمد بن حنبل: من تنقص أحدا من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم، فلا ينطوي إلا على بلية، وله خبيئة سوء إذ قصد إلى خير الناس، وهم أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم
Jo shaksh Rasoolullah ﷺ ke Sahaba mein se kisi ek ki tanqees kare to woh apne andar musibat chupaye huwe hai, uske dil mein buraayi hai jiski wajah se Rasoolullah ﷺ ke Sahaba Razi Allahu Anhu par hamlaa karta hai halaakin woh (Ambiyaa ke baad) logon mein sabse behtareen the.
(السنة لأبي بكر بن الخلال حدیث نمبر 757)
In Sha Allah ek kalima padhne wale ko yahih daleel kaafi hai ki wo Rasoolullah ﷺ ki sohbat mein rahe .
Is Mukhtasar tasurat ke baad arz hai, ki baaz log ye riwayat pesh karte 👇
Hazrat Abu Sayeed Khudri Razi Allahu Anhu bayan karte hain ki Rasoolullah ﷺ ne Sayyadna Ammar Bin Yasir Razi Allahu Anhu se farmaya
وَيْحَ عَمَّارٍ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ، يَدْعُوهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ، وَيَدْعُونَهُ إِلَى النَّارِ
Ammar kya baat hai , use baaghi ghiroh qatal kar dega, wo unhe jannat ki taraf bulayenge , jabki doosra ghiroh unhe Aag ki taraf bulayenga
{Sahih Bukhari Hadees Number 447 & 2812 , Sahih Muslim Hadees Number 2915}
Is hadees ko pesh karke Shiya, Naam nihad sunni yaa chupe huwe rafzi Muawiyah Razi Allahu Anhu aur unke ghiroh par fit karte hai. aur unke mutalliq yeh kahte hain ki woh baaghi (yaani kaafir nauzobillah) aur jahannum ki taraf dawat de rahe hai. aaiyeh Aimmah e Muhaddisin aur Aimmah e Huda aur is ummat ke behtareen log yaani salaf ne is riwayat se kya istimbat aur istidlal kiya aur is riwayat se kya matlab liya hai .
kisi ek muhaddis ne bhi is riwayat ko pesh kar ke Muawiyah Razi Allahu Anhu aur unke ghiroh par tanqees, takfeer, kirdar-kashi nahih ki balki wo is riwayat ka saheeh sareeh mafhum awaam ke samne aagah kiya kyu ki ek Musalman ke dil mai Sahaba Razi Allahu Anhu ke liye bughz keena paida na ho. aur un naam nihad rafziyon ka behtareen aur mudallal jawab diyaa. Mutaqaddimeen se lekar mutakhireen tak kissi ek muhaddis ne is riwayat ko pesh kar karke Sayyadana Muawiyah Razi Allahu Anhu aur unke ghiroh ki tanqees nahih ki aur naa hi kirdarkashi ki. balki jab rafziyon ne is riwayat ko pesh kar ke Muawiyah Razi Allahu Anhu aur unkay ghiroh par takfeer ki to Aimmah Muhaddisin aur Shariyeh hadees ne is riwayat ka mudalldal jawab diya aur rafziyon ke shub’haat par kalam uthayaa.
In rafziyon aur chupe huye rafziyon se adaban guzarish hai ki wo mutaqaddimeen mein se yaa mutakhireen mein se kisi ek muhaddis ka hawala pesh kare ba-sanad saheeh ke sath jis mein unhowne yeh riwayat pesh karke Muawiyah Razi Allahu Anhu aur unke ghiroh par tanqees, takfeer, kirdarkashi ki.
In sha Allah Subah Qayamat tak ka waqt diya jayega . Aur Inhe Nooh Alaihissalam ki umar bhi lag jaye tab bhi wo kisi ek muhaddis ka name pesh nahih kar sakenge.
Aaiyeh dekhte hai is riwayat ke mutalliq Aimmah E Muhaddisin kya likhte hai.
1] Hafiz Ibne Hajar Rahimahullah Likhte hai
فَإِنْ قِيلَ : كَانَ قَتْلُهُ بِصِفِّينَ ، وَهُوَ مَعَ عَلِيٍّ ، وَالَّذِينَ قَتَلُوهُ مَعَ مُعَاوِيَةَ ، وَكَانَ مَعَهُ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ : فَكَيْفَ يَجُوزُ عَلَيْهِمُ الدُّعَاءُ إِلَى النَّارِ ؟
فَالْجَوَابُ : أَنَّهُمْ كَانُوا ظَانِّينَ أَنَّهُمْ يَدْعُونَ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَهُمْ مُجْتَهِدُونَ لَا لَوْمَ عَلَيْهِمْ فِي اتِّبَاعِ ظُنُونِهِمْ ، فَالْمُرَادُ بِالدُّعَاءِ إِلَى الْجَنَّةِ : الدُّعَاءُ إِلَى سَبَبِهَا وَهُوَ طَاعَةُ الْإِمَامِ ، وَكَذَلِكَ كَانَ عَمَّارٌ يَدْعُوهُمْ إِلَى طَاعَةِ عَلِيٍّ ، وَهُوَ الْإِمَامُ الْوَاجِبُ الطَّاعَةُ إِذْ ذَاكَ ، وَكَانُوا هُمْ يَدْعُونَ إِلَى خِلَافِ ذَلِكَ ، لَكِنَّهُمْ معذورون للتأويل الَّذِي ظهر لَهُم ” .
Agar aap kahenge ki Ammar Razi Allahu Anhu ka qatal jung siffin mein huwa, aur wo Hazrat Ali Razi Allahu Anhu ke sathi the aur qatal karne walay Muawiyah Razi Allahu Anhu ke sathi the. Aap ke sath Sahaba ki jamaat thi, to unke mutalliq yeh kahna kaise jaiz hoga ki woh use jahannum ki taraf bulayenge ?
Jawab yeh hai ki woh unhe apne ghuman ke mutabik jannat ki taraf bula rahe hai, wo mujtahid hai. unhe apne ghuman ki itteba mein koyi malamat nahih ki jaa sakti. lihaaza jannat ki taraf bulane se muraad yeh hai ki jannat ke sabab ki taraf bulaana, joh ki imam e haq ki ita’aat wa farmabadari hai.
Isi tarah Ammar Razi Allahu Anhu unhe Ali Razi Allahu Anhu ki ita’aat ki taraf bulathe the , jo ki imam e waqt aur wajibul ita’aat the. Jabki Muawiyah Razi Allahu Anhu aur aapke sathi unhe doosri taraf bulathe the, lekin wo aapne ijtihad mein maazur hai, kyunki unke peshe nazar koyi taweel thi.
(فتح الباري” 1/ 542)
Hafiz Ibne Hajar Rahimahullah Mazeed Likhte hai
وذهب جمهور أهل السنة إلى تصويب من قاتل مع علي لامتثال قوله تعالى وان طائفتان من المؤمنين اقتتلوا الآية ففيها الأمر بقتال الفئة الباغية وقد ثبت ان من قاتل عليا كانوا بغاة وهؤلاء مع هذا التصويب متفقون على انه لا يذم واحد من هؤلاء بل يقولون اجتهدوا فأخطئو
Jamhoor ahle sunnat is baat ke qayel hai ki Allah Ta'ala ka farmaan
وان طائفتان من المؤمنين اقتتلوا
mein joh baaghi jamaat se qitaal ka huqm hai uske mutabiq Hazrat Ali Razi Allahu Anhu ke hum-nawa haq par the aur jinhone unse ladayi ki wo baagi the . Iske bawajud jamhoor ispar muttafiq hai ki un mein se kisi ki mazammat na ki jayeh balki yeh kaha jayeh ki unhone ijtihad kiya magar us mein khata ke murtakib huwe.
(FATH UL BAARI 13/67)
Hafiz Ibne Hajar Rahimahullah Aur Mazeed Likhte hai
واتفق أهل السنة على وجوب منع الطعن على أحد من الصحابة بسبب ما وقع لهم من ذلك ولو عرف المحق منهم لأنهم لم يقاتلوا في تلك الحروب الا عن اجتهاد وقد عفا الله تعالى عن المخطئ في الاجتهاد بل ثبت أنه يؤجر أجرا واحدا وان المصيب يؤجر أجرين
Ahle sunnat is baat par muttafiq hai ki Sahaba Razi Allahu Anhu ke maa-bayn waqeyah hone wale hawadis ke bina par un mein se kisi ek Sahabi par taan wa tashneeh se ijtinab wajib hai. agarchay yeh maloom ho jaye ki unka mauquf batil par tha kyunki unhonne un ladayiyon mai sirf ijtihad ki beena par hissa liyaa aur Allah Ta'ala ne mujtahid mukhti ko maaf farma diya hai balki yeh sabit hai ki uske ijtihad mai khata ho jayeh tab bhi ussay ek ajr milega aur jiska ijtihad durust hoga use do ajr milega.
(FATH UL BAARI 13/34)
2] Allama Nawawi Rahimahullah likhte hai
قال العلماء : هذا الحديث حجة ظاهرة في أن عليا رضي الله عنه كان محقا مصيبا ، والطائفة الأخرى بغاة ، لكنهم مجتهدون ، فلا إثم عليهم لذلك ، كما قدمناه في مواضع منها هذا الباب
Ulema kahtay hai is hadees mein yeh zaahir daleel hai ki Hazrat Ali Razi Allahu Anhu haq aur sawaab par the, aur doosri jamaat baaghi thi, lekin woh mujtahid the isliye yeh gunehghar nahih hai, is hadees mein Rasoolullah ﷺ ka kayi mozaze hai.
(SHARAH SAHEEH MUSLIM 1/359)
3] Hafiz Ibne Kasheer Rahimahullah Likhte hai
وَقَدْ كَانَ عَلِيٌّ أَحَقَّ بِالْأَمْرِ مِنْ مُعَاوِيَةَ .
وَلَا يَلْزَمُ مِنْ تَسْمِيَةِ أَصْحَابِ مُعَاوِيَةَ بُغَاةً : تَكْفِيرُهُمْ ، كَمَا يُحَاوِلُهُ جَهَلَةُ الْفِرْقَةِ الضَّالَّةِ مِنَ الشِّيعَةِ وَغَيْرِهِمْ ; لِأَنَّهُمْ ، وَإِنْ كَانُوا بُغَاةً فِي نَفْسِ الْأَمْرِ، فَإِنَّهُمْ كَانُوا مُجْتَهِدِينَ فِيمَا تَعَاطَوْهُ مِنَ الْقِتَالِ، وَلَيْسَ كُلُّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبًا، بَلِ الْمُصِيبُ لَهُ أَجْرَانِ، وَالْمُخْطِئُ لَهُ أَجْرٌ
Sayyadna Muawiyah Razi Allahu Anhu ki baa nisbat Sayyadana Ali Razi Allahu Anhu khilafat ke zyada haqdar the. Ashaab e Muawiyah Razi Allahu Anhu par baaghi ka lafz bolne se unka kaafir hona laazim nahih aata, jaisa ki baaz gumrah jahil shiya waghairah ne kaha hai. kyunki agarchay woh baaghi the, lekin woh aapni ladayee mein mujtahid thay. har mujtahid durust nahih hota, balki durust ko dohraa aur ghalti karne wale ko ek ajar milta hai.
(AL BIDAYAH WAN NAHAYA 3/217)
——————————————————
BAAGHI GHIROH
BAAGHI GHIROH DO TARHA KE HOTE HAI
1) Imam e haq ki khilaf khurooj karne wala aur uski khilafat wa mulukiyat ka munkir.
2) Ijtihadi khata ke bina par imam e haq ke khilaf kisi masle mein ladne wala,
Aisa shaksh Naa islam se kharij hoga, Naa lanat wa malamat ka mustahiq, woh zaalim wa faasiq bhi nahih. balkay woh maw’ul wa mazur hai. use baaghi bhi kaha gaya hai jaisa ki Allah Ta'ala ka farman hai
Momino ke do ghiroh baa-hum jagadh padhe , to unki sulah karwa de, ek ghiroh doosre par baghawat kare ,to baagi se us waqt thak qitaal kare jab thak woh Allah ke faislay ki taraf mayeel nahih hota, jabki mayeel ho jayeh to adl ke sath unki sulah karwaye aur insaaf kare, kyunki Allah Ta'ala munsifeen ko mehboob rakhta hai.
(SURAH HUJIRAT AYAT 9)
Quran ne bawajud baghawat ke dono ghiroh ko momin kaha hai.
1] Hazrat Abu bakra Razi Allahu Anhu bayan karte hai ki Nabi ﷺ ne Sayyadna Hasan Razi Allahu Anhu se farmayaa
ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Mera yeh beta Sayyad hai aur ummeed hai ki Allah Ta'ala iske zariye musalmano ki do jamato mein milaap kara dega.
(SAHEEH BUKHARI HADEES 3629)
________________________
Ijafa :-
2] Hazrat Ammar Bin Yasir Razi Allahu Anhu bhi Hazrat Muawiyah Razi Allahu Anhu ko baagi giroh mein nahi samjhte the
حدثنا مكي بن إبراهيم ، ثنا عبيد الله بن أبي زياد ، حدثني عبد الكريم بن أبي المخارق ، حدثني سعيد بن عامر القرظي ، قال : حدثتني أم عمارة ، حاضنة لعمار ، قالت : اشتكى عمار ، قال : لا أموت في مرضي حدثني حبيبي رسول اللہ ﷺ : أني لا أموت إلا قتلا فئتين بین مؤمنين .
Hazrat Ammar Bin Yasir Razi Allahu Anhu ki Hazanat Aur Nigahdaast karne wali kahtoon kahti hai ki Ek Baar Hazrat Ammar Bin Yasir Razi Allahu Anhu shakth bimar ho gaye to Hazrat Ammar Bin Yasir Razi Allahu Anhu kahne lage is bimari me meri maut nahi ayegi wajah ye hai ki mere Haq me Mere Habeeb Janab E Muhammadur Rasoolullah ﷺ ka irshad ye hai ki Mominon ke do jamaton ke darmiyan main qatal ho jauga aur is soorat meri maut waqey hogi
{Tareekh Al Shageer Jild-1 Safa Number - 104}
Yahan par Hazrat Ammar Bin Yasir Razi Allahu Anhu ne dono giroh ko momin kaha hai
________________________
3] Imam Ibne Hazam Rahimahullah Farmate hai
المجتهد المخطئ إذا قاتل على ما يرى أنه الحق قاصدا إلى الله تعالى نيته، غير عالم بأنه مخطئ، فهو فئة باغية، وإن كان مأجور أو لا حد عليه إذا ترك القاتل ولا قود، وأما إذا قاتل وهو يدري أنه مخطئ فهذا محارب تلزمه حدود المحاربة والقود، وهذا يفسق ويخرج، لا المجتهد المخطئ، وبيان ذلك قول الله تعالى: (وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما فإن بغت إحداهما على الأخرى فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله ـ إلى قوله ـ إنما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم) فهذا نص قولنا دون تكلف تأويل ولا زوال عن موجب ظاهر الآية، وقد سماهم الله عز و جل مؤمنين باغين بعضهم إخوة بعض في حين تقاتلهم، وأهل العدل المبغي عليهم والمأمورين بالإصلاح بينهم وبينهم ولم يصفهم عز وجل بفسق من أجل ذلك التقاتل ولا بنقص إيمان، وإنما هم مخطئون باغون، ولا يريد واحد منهم قتل الآخر
Mujtahid khatakar jab ladhe aur woh khud ko haq par samajtha hoo apni niyat Allah Ta'ala ke supurd karta hoo aur use yeh ilm naa ho ki woh khatakar hai. to woh maajur aur qisaas se mamoon hoga. Uspar koyi dayt nahih hogi , agar qitaal chodh de. Agar apni galti jante boojhte qitaal karey , to aisa shaksh harbi hoga aur usse qitaal karna aur qisaas laazim ayega. aisa shaksh faazir wa faasiq hai, mujtahid khatakar nahih hai.
uski wajahat yeh farman Baari E Ta'ala karta hai
Momino ke do ghiroh baahum jagadh pade , to unki sulah kara de, ek ghiroh doosre par bhagawat kare, to baaghi se ladayee karey, taaki Allah Ta'ala ke faishle ki taraf maeel ho jayeh. aage farmayaa bila-shubah momin apas mai bhai bhai hai. unme sulah safayee karwa diyaa karey.
Yeh daleel baghair kisi taqeel wa tabdeel ke hamare mawquf par daleel hai aur usse zaahiri maani se pherne wala koyi qareena bhi mauzood nahih. ALLAH Ta'ala ne halaat qitaal mein unhe momin baaghi kaha hai aur sath sath ek dusre ka bhai bhi qaraar diya hai. Nez in baaghiyoo ko adil aur saleh kaha hai. Allah Ta'ala ne unhe apas ki is ladayee ke beena par fasiq wa fazir nahih kaha aur naa hi unke imaan mein kami waqayeh huwi. yeh to khatakar hai, joh bhagawat par utar ayeh, unmein kisi ka bhi doosre ko qitaal karne ka qat’an iradaa na tha..
(الفصل في الملل 4/125)
4] Shaikh Ul Islam Ibne Taimiyah Rahimahulla Likhte hai
أما إذا كان الباغي مجتهدا ومتأولا ، ولم يتبين له أنه باغ ، بل اعتقد أنه على الحق وإن كان مخطئا في اعتقاده : لم تكن تسميته ” باغيا ” موجبة لإثمه ، فضلا عن أن توجب فسقه . والذين يقولون بقتال البغاة المتأولين ; يقولون : مع الأمر بقتالهم قتالنا لهم لدفع ضرر بغيهم ; لا عقوبة لهم ; بل للمنع من العدوان . ويقولون : إنهم باقون على العدالة ; لا يفسقون . ويقولون هم كغير المكلف ، كما يمنع الصبي والمجنون والناسي والمغمى عليه والنائم من العدوان أن لا يصدر منهم ; بل تمنع البهائم من العدوان . ويجب على من قتل مؤمنا خطأ الدية بنص القرآن مع أنه لا إثم عليه في ذلك
Jab baaghi mujtahid aur mutawil hoo, use yeh bhi maloom na hoo ki woh galti par hai. balki woh khud ko haq par samjhe, woh ghalti aitiqaadi hi kyu na hoo, use baaghi naam dene se uska gunahghar hona laazim nahih aata, jhay chahiyeh use fasiq kaha jayeh. jin Hazraat ne baaghi mutawalin se qitaal karne ka kaha hai, unhone qitaal ka huqm dene ke sath sath yeh bhi kaha hai ki hamara unsay qitaal unki baghawat ke nuqsan ko door karne ke liye hai. Naa ki bataur e sazaa, balki dushman se difaa karte huwe aur bas.
Muhadissin kahte hai ki unki adalat baaqi hai. unhe faasiq nahih tahraaya jayega. yeh ghair mukallaf ki tarah hai, jaisa ki bacche , pagal , diwaane , behosh aur soye huwe ko sarkashi se roka jaata hai. balki janwaron ko bhi sarkashi say roka jaata hai. Qurani nas ke mutabik kisi momin ko galti se qatal kar dene walay par dayt laazim hoti hai, lekin uske bawazood us par koi gunah nahih.
( مجموع فتاوى page 76)
Shaikh Ul Islam Ibne Taimiyah Rahimahulla Mazeed Likhte hai
الباغي قد يكون ��تأولا معتقدا أنه على حق ، وقد يكون متعمدا يعلم أنه باغ ، وقد يكون بغيه مركبا . من شبهة وشهوة ، وهو الغالب . وعلى كل تقدير فهذا لا يقدح فيما عليه أهل السنة ; فإنهم لا ينزهون معاوية ولا من هو أفضل منه من الذنوب ، فضلا عن تنزيههم عن الخطأ في الاجتهاد ، بل يقولون : إن الذنوب لها أسباب تدفع عقوبتها من التوبة والاستغفار
Baaghi kabhi kabar taweel karta hai aur khudko haq par samajhtaa hai aur kabhi jante boojhte baghawat ka murtakib hota hai, aqsar aisa hota hai ki uski baghawat shub’ah aur shawbat ka majmuaa hoti hai. Jaisa bhi samaj liya jaye , usse ahle sunnat ke mawquf par aanch nahih aati, kyuki ahle sunnat Muawiya Razi Allahu Anhu ho Ya unse bhi afzal Sahabi, kisi ko gunahon se munzarah nahih samajthe , chahe ijtihadi khata se munzarah samajthe ho, balki ahle sunnat to kahte hai un gunaho ki tawbah, istagfar, gunahon ko mitha dene wali nekiyon aur gunaho ko maaf kar dene wali museebaton waghairah ki surat mein aise asbaab hai, joh unki sazaa ko khatam kar deti hai.
(منهاج السنة النبوية 4/375)
5] Imam Zahbi Rahimahulla Likhte hai
ولا نذكر أحدا من الصحابة إلا بخير ، ونترضى عنهم ، ونقول : هم طائفة من المؤمنين بغت على الإمام علي ، وذلك بنص قول المصطفى – صلوات الله عليه – لعمار : تقتلك الفئة الباغية
فنسأل الله أن يرضى عن الجميع ، وألا يجعلنا ممن في قلبه غل للمؤمنين . ولا نرتاب أن عليا أفضل ممن حاربه ، وأنه أولى بالحق – رضي الله عنه .
Hum har Sahabi ka zikr khair hi se karte hai aur unse raazi hai aur hum kahtay hai (shay’aan Muawiyah) momino ka hi ghiroh hai, jisne Imam E waqt Hazrat Ali Razi Allahu Anhu par baghawat ki. uski daleel Nabi ﷺ ka Sayyadana Ammar Razi Allahu Anhu se yeh farman hai.
Aapko baaghi ghiroh qatal karega.
Ham Allah Ta'ala se iltijaa karte hai ki un sab se raazi ho aur hame unme se na banaye, jinke dilon mein momino ke liye keena hai. hamara yaqeen hai ki Hazrat Ali Razi Allahu Anhu bahar kayf unse afzal hai, jinhone apse ladayee ki aur aap haq ke zyada qareeb the.
(سير أعلام النبلاء 209/210)
BAAZ MUHADDISIN NAY YEH JUMLA “WOH UNHAY JANNAT KI TARAF BULAYENGAY, JABKAY DUSRA GHIROW UNHAY AAG KI TARAF BULAYENGAY KE MUTALLIQ YEH KAHTAY HAI KI WOH GHIROH KHAWARIJ THA. SHARIYEH SAHEEH BUKHARI
6] Imam Ibne Battal Rahimahullah Likhte Hai
قال ابن بطال رحمه الله :
” قوله: (يدعوهم إلى الجنة ويدعونه إلى النار) ، إنما يصح ذلك في الخوارج الذين بعث إليهم علىّ عمارًا ليدعوهم إلى الجماعة ، وليس يصح في أحد من الصحابة؛ لأنه لا يجوز لأحد من المسلمين أن يتأول عليهم إلا أفضل التأويل ؛ لأنهم أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم الذين أثنى الله عليهم وشهد لهم بالفضل ، فقال تعالى: (كنتم خير أمةٍ أخرجت للناس) آل عمران/ 110 .
Ye baat "Wo unhe Jannat ki taraf bulata hai aur wo use jahannam ki taraf bulate hain” bilkul khawarijon par boli jaasakti hai jinki taraf Hazrat Ali Razi Allahu Anhu ne Hazrat Ammar Razi Allahu Anhu ko bheja taako wo un khawarijon ko jamaat ki taraf dawat de.
Ye baat kisi bhi Sahabi e Rasool ke liye zaiba nahi deti ki unki taraf ye baat mansoob ki jaye aur unke liye siwaye achi baat ke kuch aur kaha jaye.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala ne Quran mai khud unki tareef aur tasdeeq karte huye farmaya” Tum behtareen ummat ho jo insaaniyat ke liye nikaale gaye ho”
( Surah Al Imran : 110)
( “شرح صحيح البخاري” 2/ 98-99) .
AL KALAM HASIL.
Saayadna Muawiyah Razi Allahu Anhu ki Sayyadna Ali Razi Allahu Anhu se jung ijtihadi khata ke wajah se thi. Aap ka khayal tha ke Sayyadna Usman Razi Allahu Anhu se hamari qurbat hai. lihaaza hum hi qisaas Usman Razi Allahu Anhu ke zyada haqdar hai. Lekin mamla tay paane ke bajaye qitaal ki shakal ikhtiyar kar liyaa. Isse pehle bhi Sayyada Ayesha Razi Allahu Anha aur Sayyadana Ali Razi Allahu Anhu ke darmiyan ladayi ka sabab bhi qisaas Usman Razi Allahu Anhu tha. Is waqt bhi mamla uljhaa aur ladayi ki surat ikhtiyar kar gaya. Sayyada Ayesha Razi Allahu Anha aur Sayyadana Muawiyah Razi Allahu Anhu ka mamla bi’aynihi ek tha. Raha unke ghiroh ko baaghi kahne se koi malamat nahih aati. Muhaddisin ki in tasrihaat ke baad bhi agar koyi jahil, chupa huwa rafzi bawar karta fire aur unki tanqees wa tashneeh kare to hum aise logon ke liyeh duaa goo hai Allah Ta'ala unhe SAHEEH aql e saleem de aur unse majzubana guzarish hai ki woh kisi ek muhaddis chahe woh mutaqaddimeen main se hoo yaa muthakireen mai se basanad saheeh hawala pesh karey unse ki unhone is riwayat ko lekar ye istimbat yaa istidlal akhaz kiya ho ki Muawiyah Razi Allahu Anhu ke ghirow par takfeer, tanqees, kirdarkashi ki jaye.
In Sha Allah unhe Subah qayamat tak ka waqt diya jayega aur hamare is article ke mutalliq qalam uthaye aur hame mudallal jawab de. fahem e salaf se inhiraf hokar apne tasurat pesh na karey.
Allah Ta'ala hamare dilon mei. Sahaba Razi Allahu Anhu ke mutalliq muhabbat paida kare.
Aameen Ya Rabbul Alameen
0 notes
Text
PERTUMBUHAN FATIMAH
Pada masa awal kenabian, Rasulullah senantiasa melaksanakan sholat di dalam rumahnya. Melihat hal tersebut, Khadijah dan beberapa pemudi tertarik untuk belajar, termasuk Fatimah yang saat itu masih sangat belia. Mereka belajar kepada Rasulullah tata cara beribadah, menghadap Allah, berdzikir, dan belajar mengenai makna berinteraksi dengan Allah. Sejak kecil, Fatimah tumbuh dengan keadaan tersebut.
Sampai ketika umurnya mencapai tujuh tahun, Allah memerintahkan kekasihnya, Rasulullah, untuk mulai mengajak orang-orang mengenal dan menerima Islam: “Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang yang musyrik.” [Al-Hijr: 94], juga memerintahkannya untuk memberikan peringatan kepada keluarganya: “Berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.” [As-Syuara: 214]. Mendapat perintah tersebut, Rasulullah langsung melaksanakannya.
Fatimah yang pada masa itu masih usia belia menjadi saksi atas perjalanan hidup Rasulullah dan senantiasa membantu perjuangannya dalam berdakwah. Sampai, suatu ketika, Rasulullah menyeru orang–orang quraisy dengan berkata: “Hai orang-orang Quraisy, belilah diri kalian dari Allah, saya tidak mampu menolong kalian sedikitpun dari Allah, wahai Bani Abd Manaf, saya tidak mampu menolong kalian sedikitpun dari Allah, wahai Abbas bin Abdul Muththalib, saya tidak mampu menolong kamu sedikitpun dari Allah, wahai Shafiyah bibi Rasulullah, saya tidak mampu menolong kamu sedikitpun dari Allah, wahai Fathimah binti Muhammad mintalah kepadaku apa yang engkau inginkan dari hartaku, saya tidak mampu menolong kamu sedikitpun dari Allah."
Sebagian orang disana merasa kaget, bagaimana bisa Rasulullah mengarahkan pembicaraan untuk Quraisy kemudian mengkhususkannya kepada paman dan bibinya, kemudian secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraan kepada Fatimah padahal umurnya saja baru berusia tujuh tahun. Tidaklah hal demikian terjadi kecuali karena Rasulullah mengetahui kekhususannya, kedudukannya, pengetahuannya, dan kebaikannya di sisi Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam.
Apa yang Rasulullah tanamkan ke dalam hati Fatimah Az-Zahra yang masih belia tersebut, tentu menimbulkan benak yang aneh dalam diri Fatimah. Seakan-akan Rasulullah memberikannya sebuah amanah yang besar, oleh karena itu Rasulullah memberikan perhatiannya yang khusus.
Sejak kecil, Fatimah selalu mengikuti Rasulullah ke manapun Ia pergi. Fatimah berjalan di belakang Rasulullah menyisiri jalan-jalan Mekkah. Dan karena orang Quraisy sudah menyatakan permusuhan dan melakukan pengintaian kepada Rasulullah, Fatimah merasa khawatir atas keselamatan Ayahnya tersebut. Seringkali ia melihat pemandangan yang tidak layak disaksikan oleh anak-anak seusianya.
Bayangkan, bagaimana mungkin Fatimah melihat pemandangan tersebut di usianya yang masih kecil kemudian memendam perasaan itu di dalam dirinya?
0 notes
Text
Sedikit cerita tentang hari ini..
Lagi liat2 reels ig, muncul video animasi tentang perang Badar, lalu saya klik profil ig itu, & saya tonton lagi beberapa video tentang perang Badar tersebut (karena dibagi beberapa part) sampai saya menemukan video tentang meninggalnya Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah S.A.W), sebenernya udah pernah nonton juga kisah nya, tapi tetep aja nangis tp yg ini lebih sesenggukan. Saya yg belum pernah bertemu saja merasa sakit, sedih yg amat sangat apalagi Rasulullah yg pada saat itu melihat langsung jenazah paman nya tersebut, yg secara sadis dibunuh & dicabik2 oleh musuh (sampai ada organ yg dimakan oleh seorang wanita yg bernama Hindun karena pembalasan dendam nya terhadap Hamzah).
Singkat cerita, disitu orang Anshar berkata,’lain kesempatan kita akan tunjukan kepada mereka bahwa kita pun dapat mencabik-cabik mayat mereka.’ Lalu Allah S.W.T menurunkan Q.S An-Nahl ayat 126
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ ۖ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar."
Dilanjutkan ayat 127-128
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ
127. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
128. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.
Yaa Allah..makin nangis lah aku, meleleh sekaligus merasa tertampar oleh ayat itu.
Silahkan balas, tp ternyata tetep, "SABAR" itu lebih baik. Disitu saya renungkan, sesakit & sesedih apapun sampai nangis sesenggukan, semarah apapun sama perlakuan orang yg udah jahat sama kita sampai2 pengen balas dendam, tapi Allah nyuruh kita untuk SABAR, klo memang itu lebih baik & terbaik di hadapan Allah, & klo memang itu yg Allah inginkan & perintahkan pada kita, mau ga mau kita mesti nurut, ikhlas menerima kenyataan bahwa kita harus SABAR..
Pelajaran berharga lagi tentang sabar, disaat kesabaran sedang setipis tisu..MasyaAllaah :)
Sabar yaa.. tapi sampai kapan kita harus terus sabar? Sampai kita menjumpai Rasulullah S.A.W kelak di Telaga Al-Kautsar.. (MasyaAllaah)
0 notes
Text
Alhamdulillah Hanya Alloh Maha Disembah Ajak Umat Untuk Dzikir Tiap Pagi Dan Sore #Dakwah #Islam
Surat Al Kafirun (الكافرون) adalah surat ke-109 dalam Al Quran. Berikut ini terjemahan, asbabun nuzul, dan tafsir Surat Al Kafirun. Surat ini terdiri dari enam ayat dan merupakan Surat Makkiyah. Dinamakan surat Al Kafirun yang berarti “orang-orang kafir” karena surat ini memerintahkan Rasulullah untuk berbicara kepada orang-orang kafir bahwa beliau takkan menyembah berhala yang mereka sembah. Alhamdulillah Hanya Alloh Maha Disembah Ajak Umat Untuk Dzikir Tiap Pagi Dan Sore Ia dinamakan juga Surat Al ‘Ibadah. Karena surat ini memproklamirkan ibadah hanya kepada Allah dan takkan beribadah kepada berhala yang disembah orang kafir. Dinamakan pula Surat Ad Din sebagaimana ayat terakhir. Nama lainnya adalah surat Al Munabadzah dan Muqasyqasyah. Dinamakan Muqasyqasyah atau Muqasyqisyah (penyembuh) karena kandungannya menyembuhkan dan menghilangkan penyakit kemusyrikan. Surat Al Kafirun beserta Artinya Berikut ini Surat Al Kafirun dalam tulisan Arab, tulisan latin dan artinya dalam bahasa Indonesia: قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ . لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ . وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ . وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (Qul yaa ayyuhal kaafiruun, laa a’budu maa ta’buduun. Walaa antum ‘aabiduuna maa a’bud. Wa laa ana ‘aabidum maa ‘abadtum. Wa laa antum ‘aabiduuna maa a’bud. Lakum diinukum waliya diin) Artinya: Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. Asbabun Nuzul Ibnu Katsir menjelaskan asbabun nuzul Surat Al Kafirun dalam tafsirnya. Bahwa orang-orang kafir Quraisy pernah mengajak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyembah berhala-berhala mereka selama satu tahun, lalu mereka akan menyembah Allah selama satu tahun. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan surat ini. Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas terkait asbabun nuzul Surat Al Kafirun ini. Bahwa Walid bin Mughirah, Ash bin Wail, Aswad bin Abdul Muthalib dan Umayyah bin Khalaf menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengatakan, “Wahai Muhammad, marilah kami menyembah Tuhan yang kamu sembah dan kamu menyembah Tuhan yang kami sembah. Kita bersama-sama ikut serta dalam perkara ini. Jika ternyata agamamu lebih baik dari agama kami, kami telah ikut serta dan mengambil keuntungan kami dalam agamamu. Jika ternyata agama kami lebih baik dari agamamu, kamu telah ikut serta dan mengambil keuntunganmu dalam agama kami.” Penawaran seperti itu adalah penawaran yang bodoh dan konyol. Maka Allah pun menurunkan Surat Al Kafirun sebagai jawaban tegas bahwa Rasulullah berlepas diri dari agama mereka. Sayyis Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Quran menjelaskan, bangsa Arab tidak mengingkari adanya Allah. Akan tetapi, mereka tidak mengerti hakikat-Nya sehingga mempersekutukan-Nya. Mereka beribadah kepada berhala yang mereka buat untuk menggambarkan orang shalih atau malaikat yang menjadi perantara mendekatkan diri kepada Allah. Mereka sendiri menganggap malaikat adalah anak perempuan Allah. Mereka merasa heran ketika Rasulullah mendakwahkan tauhid, untuk beribadah hanya kepada Allah. Mereka pun menentang dakwah itu dengan berbagai cara. Setelah gagal menghentikan Rasulullah dengan menyakiti beliau, mereka menawarkan harta dan jabatan. Ketika upaya itu juga gagal, mereka mengambil jalan kompromi. Menawarkan kerjasama dengan bersama-sama menyembah Tuhan mereka selama satu tahun, lalu tahun berikutnya menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah pun menurunkan Surat Al Kafirun sebagai jawabannya. Tafsir Surat Al Kafirun Tafsir surat Al Kafirun ini bukanlah tafsir baru. Kami berusaha mensarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar, Tafsir Al Munir da
n Tafsir Al Misbah. Agar ringkas dan mudah dipahami. Surat Al Kafirun ayat 1 قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Kata qul (قل) yang berarti “katakanlah” merupakan firman Allah dan perintah-Nya agar Rasulullah menyampaikan ayat ini kepada orang-orang kafir, secara khusus kafir Quraisy. Yakni sebagai jawaban atas tawaran mereka. Kata ini membuktikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan segala sesuatu yang diterimanya dari ayat-ayat Al Quran yang disampaikan oleh malaikat Jibril. Seandainya ada sesuatu yang disembunyikan, yang paling wajar adalah menghilangkan kata qul ini. Kata al kaafiruun (الكافرون) berasal dari kata kafara (كفر) yang berarti menutup. Disebut kafir karena hatinya tertutup, belum menerima hidayah Islam. Siapapun yang tidak menerima Islam, maka ia adalah kafir. Baik itu orang-orang musyrik maupun ahli kitab. Sebagaimana firman-Nya: إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS. Al Bayyinah: 6) Namun secara spesifik, al kaarifuun yang diajak bicara di Surat Al Kafirun ini adalah orang-orang kafir Quraisy yang mengajak kerjasama menyembah Tuhan secara bergantian. Sebagai penegasan bahwa tidak mungkin Rasulullah menyembah tuhan mereka dan tidak ada titik temu antara kemusyrikan dengan tauhid. Surat Al Kafirun ayat 2 لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Kata a’budu (أعبد) merupakan bentuk kata kerja masa kini dan akan datang (fi’il mudhari’). Ini merupakan penegasan bahwa Rasulullah tidak akan menyembah tuhan mereka baik di masa kini maupun masa depan. Menurut Ibnu Katsir, makna maa ta’buduun adalah berhala-berhala dan sekutu-sekutu yang mereka ada-adakan. Rasulullah tidak akan menyembah mereka dan tidak akan memenuhi ajakan orang kafir dalam sisa usianya. Surat Al Kafirun ayat 3 وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir itu juga tidak akan menyembah Tuhan yang disembah Rasulullah di masa kini dan masa datang. Meskipun nantinya penduduk Makkah berbondong-bondong masuk Islam, namun orang-orang yang mendatangi Rasulullah untuk mengajak menyembah tuhan mereka, semuanya tidak masuk Islam bahkan mati terbunuh dalam kondisi kafir. Ibnu Katsir menjelaskan, maa a’bud (ما أعبد) adalah Allah semata. Lafazh maa bermakna man. Surat Al Kafirun ayat 4 وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah Ada sebagian mufassir yang menyamakan makna ayat 4 ini dengan ayat 2. Dan menyamakan makna ayat 5 dengan ayat 3. Padahal jika diperhatikan kata yang digunakan, akan didapati makna yang terkandung di dalamnya. Kata ‘abadtum (عبدتم) merupakan bentuk kata kerja masa lampau (fi’il madhi). Berbeda dengan kata ta’budun (تعبدون) pada ayat 2 yang merupakan fi’il mudhari’. Perbedaan maa ta’buduun dan maa ‘abadtum ini menunjukkan bahwa apa yang mereka sembah di masa kini dan esok bisa berbeda dengan apa yang mereka sembah di masa kemarin. Sedangkan untuk Allah yang diibadahi Rasulullah, digunakan kata yang sama yakni maa a’bud. Menunjukkan konsistensi ibadah dan ketaatan hanya kepada Allah. Tidak akan berubah. Surat Al Kafirun ayat 5 وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Perhatikan redaksi ayat 3 dan ayat 5 ini. Sama-sama digunakan kata maa a’bud (ما أعبد) yang merupakan bentuk kata kerja masa kini dan masa datang (fi’il mudhari’). Menegaskan bahwa apa yang beliau sembah tidak berubah. Sayyid Qutb mengatakan bahwa ayat ini meru
pakan penegasan terhadap ayat sebelumnya agar tidak ada lagi salah sangka dan kesamaran. Supaya tidak ada lagi prasangka dan syubhat. Syaikh Muhammad Abduh mengatakan, ayat 2 dan ayat 3 menjelaskan perbedaan yang disembah. Sedangkan ayat 4 dan 5 menjelaskan perbedaan cara beribadah. Tegasnya, yang disembah lain, cara menyembah juga lain. Surat Al Kafirun ayat 6 لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. Kata diin (دين) artinya adalah agama, balasan, kepatuhan dan ketaatan. Sebagian ulama memilih makna balasan karena menurut mereka orang kafir Quraisy tidak memiliki agama. Sedangkan yang mengartikan din sebagai agama, bukan berarti Rasulullah mengakui kebenaran agama mereka namun mempersilakan menganut apa yang mereka yakini. Didahulukannya kata lakum (لكم) dan liya (لي) menggambarkan kekhususan karena masing-masing agama berdiri sendiri dan tidak perlu dicampurbaurkan. Ibnu Katsir mengutip Imam Bukhari bahwa lakum diinukum yakni kekafiran, sedangkan waliya diin yakni Islam. Sayyid Qutb menegaskan, “Aku di sini dan kamu di sana! Tidak ada penyeberangan, tidak ada jembatan dan tidak ada jalan kompromi antara aku dan kamu!” “Sesungguhnya jahiliyah adalah jahiliyah dan Islam adalah Islam. Perbedaan antara keduanya sangat jauh.” Sedangkan Buya Hamka menegaskan dalam Tafsir Al Azhar, “Soal aqidah, di antara tauhid mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampuradukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya adalah kemenangan syirik.” Penutup Tafsir Surat Al Kafirun Surat Al Kafirun adalah jawaban tegas bahwa dalam aqidah tidak ada kompromi. Dalam ibadah tidak boleh ada pencampurbauran. Tidak mungkin Rasulullah dan orang-orang beriman menyembah berhala dan sesembahan orang kafir meskipun hanya setahun, sehari bahkan sedetik. Karena itu adalah kemusyrikan dan kekafiran. Surat ini juga menunjukkan manhaj yang jelas dalam dakwah Islam bahwa ia tidak boleh menerima tawaran apapun yang bertentangan dengan tauhid. Dan demikianlah hendaknya seluruh dai mengambil jalan sebagai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil jalan. Demikian Surat Al Kafirun mulai dari terjemahan, asbabun nuzul, hingga tafsir. Semoga semakin menguatkan tauhid dan keimanan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah] Sumber : https://bersamadakwah.net/surat-al-kafirun/ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alhamdulillah Hanya Alloh Maha Disembah Ajak Umat Untuk Dzikir Tiap Pagi Dan Sore
#15DzikirPagiSore#agama#alkafirun#alquran#doa#dzikir#dzikirpagi#dzikirsore#surat#tauhid#blogAlloh#pagi#sore
0 notes
Quote
a language in the wind made of green flames on trees,
Muhammad Abdul-Hai, tr. & ed. Adil Babikir, Modern Sudanese Poetry: An Anthology; “The Signs Ode”
#literature#poetry#muhammad abdul-hai#modern sudanese poetry: an anthology#the tongue is a soft weapon#sudanese lit#m#x
10 notes
·
View notes
Link
চারটি নতুন শপথে পথ চলব অবিরাম।।
সাইফুল্লাহ।
#Abdul Hi Muhammad Saifullah#New Year 2020#থার্টি ফাষ্ট নাইট#আব্দুল হাই মুহাম্মাদ সাইফুল্লাহ#Abdul Hai Muhammad Saifullah
0 notes
Text
Adam dan Hawa hidup damai di surga. Di dalamnya, mereka dibolehkan menikmati makanan apa saja, kecuali buah Khuldi. Iblis yang sebelumnya diusir dari surga, iri dengan Adam dan menggodanya untuk memakan ‘buah haram’ itu. Usaha Iblis berhasil. Adam dan Hawa pun diusir dari surga.
Begitu selesai menciptakan Nabi Adam as, Allah segera memerintahkan malaikat dan Iblis untuk bersujud kepadanya sebagai bentuk penghormatan. Namun Iblis terlalu angkuh tidak mau melakukannya, karena merasa dirinya lebih mulia dari Adam. Kesombongan dan pengingkaran itu menyebabkannya menjadi kafir. (As-Syaukani, Fathul Qadîr , [Beirut: Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah: 2007], juz I, halaman 57).
“Memang siapa Adam? Sampai-sampai saya harus sujud kepadanya?” pikir Iblis jumawa.
Sikap Iblis ini membuat dirinya terusir dari surga. Tempat mewah yang penuh kenikmatan. Beginilah akibat kesombongan.
Nabi saw bersabda:
مَنْ تَوَاضَعَ لِلهِ رَفَعَهُ اللهُ وَمَنْ تَكَبَّرَ وَضَعَهُ اللهُ (رواه أبو نعيم)
Artinya: “Siapa berendah hati karena Allah maka Allah angkat derajatnya; dan siapa yang sombong maka akan Allah hinakan dirinya.” (HR Abu Nu’aim)
Setelah Iblis diusir dari surga, Nabi Adam as dan istrinya, Sayyidah Hawa, hidup tenteram di surga. Mereka menikmati segala fasilitasnya. Allah bolehkan kepada keduanya untuk makan makanan surga apa saja yang mereka mau, kecuali buah khuldi.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
وَقُلۡنَا يَا آدم ٱسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ ٱلۡجَنَّةَ وَكُلَا مِنۡهَا رَغَدًا حَيۡثُ شِئۡتُمَا وَلَا تَقۡرَبَا هٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ
Artinya: “Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah: 35)
Ayat ini menunjukkan, yang dilarang adalah mendekati pohon Khuldi, bukah memakan buahnya. Padahal jelas, bahwa Adam dan Hawa dihukum karena memakan buah Khuldi, bukan karena mendekati pohonnya. Mengapa demikian?
Syekh Ahmad bin Musthafa al-Maraghi (w. 1952 M) dalam tafsirnya menjelaskan, larangan untuk mendekati sesuatu itu lebih efektif daripada langsung melarang pada sesuatu itu sendiri atau to the point. Larangan demikian akan membuat orang lebih menjauhi potensi-potensi yang membuatnya terjerumus dalam suatu kesalahan. (Al-Maraghi, Tafsîrul Marâghi, [Kairo: Musthafal Babi al-Halabi: 1946], juz VIII, halaman 119).
Dengan redaksi larangan demikian, harapannya lebih memberi pengaruh kepada Adam dan Hawa untuk tidak sekali-kali memakan buah Khuldi. Ini warning bagi keduanya akan menghadapi godaan berat Iblis, meskipun pada akhirnya mereka melanggar larangan Allah tersebut.
Penuh kelicikan Iblis menggoda Adam dan Hawa untuk memakan buah Khuldi. Tujuan Iblis adalah agar kedua aurat vital Adam dan Hawa terbuka. Selama di surga, keduanya belum pernah melihat aurat vital itu satu sama lain. Terbukanya aurat tersebut dianggap sebagai aib yang sangat buruk.
Kisah ini juga menunjukkan bahwa membuka aurat merupakan tindakan yang paling buruk dalam Islam.
Trik yang digunakan Iblis untuk menggoda Adam dan Hawa adalah dengan memberi janji palsu. Iblis berjanji, jika memakan buah Khuldi keduanya akan naik jabatan menjadi malaikat, atau menjadi kekal selamanya di surga; tidak akan mati sampai kapan pun. Bualan Iblis berhasil, siapa yang tidak ingin naik jabatan dan keabadian? Adam dan Hawa memakan buah haram yang dilarang Tuhan-nya. (At-Tanthawi, Tafsîrul Washît, juz V, halaman 257).
Menurut Ibnu ‘Abbas, alasan Adam dan Hawa bersedia memakan buah Khuldi adalah karena Iblis berjanji dengan menyebut nama Allah. Mereka meyakini, janji dengan menyebut nama Allah tidak mungkin merupakan kebohongan. Namun dugaannya salah, Iblis terlalu licik. (Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, [Beirut; Mu’assasah ar-Risâlah: 2006], juz I, halaman 178).
Setelah Memakan Buah Khuldi
Setelah Adam dan Hawa memakan buah Khuldi, kedua pakaian yang selama ini mereka kenakan terlepas. Ada yang mengatakan, pakaian itu terbuat dari cahaya yang menutup rapat aurat. Ada pula yang mengatakan, pakaian tersebut berupa perhiasan surga. (Abdul Karim Zaidan, al-Mustafâd min Qasâshil Qur’ânî, [Beirut: ar-Risâlah: 1998], juz I, halaman 22).
Allah menegur Adam dan Hawa, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: ‘Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?’" (QS al-A’raf: 22).
Setelah mendengar teguran Allah itu, keduanya merasa sangat malu dan bersalah. Mereka pun lekas mengakui kesalahan dan bertaubat. Taubat Adam dan Hawa memang diterima oleh Allah swt. Akan tetapi, keduanya tetap diusir dari surga.
Ini merupakan sunnatullâh, konsekuensi logis atas dosa yang telah diperbuat mereka. Hal ini bukan berarti Allah tidak mengampuninya. Allah tetap mengampuni. Di akhirat kelak Adam dan Hawa tidak mendapat balasan atas kesalahan memakan buah Khuldi yang pernah diperbuatnya. (Muhammad al-Harari, Tafsir Hadzâ’ihur Rûh war Raihân, [Beirut: Dâr Thauq an-Najah: 2001], juz IX, halaman 258)
Hikmah
Pertama, berbuat salah adalah tabiat manusia. Terjerumusnya Adam dan Hawa dalam menerjang larangan Allah dengan memakan buah Khuldi adalah bukti bahwa kesalahan sudah menjadi tabiat manusia. Kesalahan itu tidak lepas dari godaan setan sebagaimana Adam dan Hawa dijerumuskan Iblis.
Kedua, sifat manusia menyukai jabatan dan keabadian. Kesalahan yang diberbuat Adam dan Hawa adalah karena godaan Iblis dengan iming-iming jabatan menjadi malaikat dan keabadian di surga. Jangan heran, jika sampai hari ini perebutan kursi jabatan menjadi hal lumrah. Selain itu, manusia juga menyukai keabadian. Buktinya, banyak manusia yang lebih memilih berumur panjang daripada umur pendek.
Ketiga, kesalahan Adam dan Hawa mendorong manusia untuk selalu bertawakal kepada Allah swt. Setelah tahu bahwa manusia tidak bisa lepas dari godaan setan untuk terjerumus dalam lembah maksiat, maka jalan satu-satunya adalah tetap bertawakal kepada Allah swt dan meminta perlindungan-Nya.
Keempat, menyegerakan diri untuk bertaubat. Begitu Adam dan Hawa sadar bahwa dirinya berdosa, segera mereka mengakui kesalahan dan meminta ampunan kepada Allah swt.
Ini menjadi pelajaran bahwa ketika seseorang telah melalukan kesalahan, hendaknya ia segera bertaubat, meminta ampunan kepada Allah swt. Karena itu, Rasulullah saw pernah bersabda, bahwa setiap manusia berpotensi salah, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.
Wallahu a'lam.
📚 Ustadz Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, Alumnus Pesantren KHAS Kempek, dan Mahasantri Mahad Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta
#quotes#indonesia#positif#motivasi#cinta#muslim#islam#life#nabi adam#siti hawa#eve#iblis#dajjal#allah#rasulullah#nabi muhammad#hijab#muslimah#sombong#malaikat#surga#neraka#al quran#hadist#sejarah#buah quldi#ilmu pengetahuan#aurat#iptek#kafir
8 notes
·
View notes
Text
Quality over Quantity.
Dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah bahwa, “Mengusahakan amalan agar sesuai sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu lebih utama dari memperbanyak amalan.”
Sebagaimana dalam QS. Al-Mulk: 2, “Untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”
Allah Subhanahu Wata’ala tidak memfirmankan, “Yang paling banyak amalannya.” (Sifatush Shalah, 170)
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa, “Jadilah orang-orang yang lebih semangat dan fokus pada diterimanya amalan.”
Sebagaimana dikisahkan dalam QS. Al-Ma’idah: 27 tentang kedua putra Nabi Adam ‘alaihis salam yang mempersembahkan kurban, namun hanya satu yang diterima (Habil) sedang (Qabil) tidak diterima. Qabil berkurban dengan hasil pertaniannya dan yang diberikan bermutu rendah, sedang Habil berkurban dengan kambing pilihannya yang baik.
“Dia (Habil) berkata, ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa’.”
Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu pun mengatakan bahwa, “Andaikan aku yakin bahwa Allah Subhanahu Wata’ala menerima satu saja dari salatku, itu lebih aku cintai daripada seluruh dunia dan seisinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/166)
“Dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah), dengan hati penuh rasa takut.” (QS. Al-Mu’minun: 60)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi hatim rahimahullah oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha,
“Siti Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ayat ini, ‘Apakah yang dimaksud dengan ayat ini ialah orang yang berzina, dan meminum khamar atau mencuri?, dan karena itu ia takut kepada Tuhan dan siksa-Nya?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, ‘Bukan demikian maksudnya, hai putri Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengerjakan salat, berpuasa dan menafkahkan hartanya, namun dia merasa takut kalau-kalau amalnya itu termasuk amal yang tidak diterima’.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
Hal yang patut diperhatikan juga dikoreksi oleh setiap individu.
Mereka yang melakukan amalan saleh perhatiannya akan terpusat pada dua hal ini sebagai syarat diterimanya sebuah amalan yaitu,
Ikhlas mengharapkan Wajah Allah Subhanahu Wata’ala dan ittiba yaitu mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ikhlas mencakup: merawat niat, meninggalkan syirik, ihsan (beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak bisa melihat-Nya, (ketahuilah bahwa) sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala melihatmu), senantiasa khusyuk serta menyembunyikan amalan, dsb.
Ittiba mencakup: mempelajari fikih ibadah sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggalkan bidah, memperbaiki tata caranya, berusaha mengerjakan yang paling utama dari beberapa pilihan, dsb.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang beramal tanpa dasar dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Diriwayatkan pula oleh Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
Dikatakan oleh Syaikh Ibnu Qasim rahimahullah bahwa, “Perkataan dan amalan manusia tidaklah benar sampai ia mendasarinya dengan ilmu.”
Dikatakan pula oleh Syaikhul Islam, Ahmad bin Abdul Halim al-Harrani rahimahullah bahwa, “Ilmu adalah kesimpulan yang ada dalilnya, sedangkan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, Syamilah, jilid 6, hal. 388)
Untuk itu, dahulukan ilmu sebelum amal.
Doa yang senantiasa dibaca setelah salat Subuh,
“Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’a wa rizqon thoyyibaa wa ‘amalan mutaqobbalaa.”
”Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang halal dan amal yang diterima.” (HR. Ibnu Majah no. 925, sahih)
Wallahu waliyyut taufiq.
203 notes
·
View notes
Text
Kisah Hamzah Bin Abdul Muthalib
Pada suatu hari Hamzah bin Abdul Muthalib keluar dari rumahnya sambil membawa busur dan anak panah untuk berburu. Sejak muda, paman Rasulullah ini memang hobi dan gemar berburu binatang. Setelah hampir seharian menghabiskan waktunya di tempat perburuan tanpa mendapatkan hasil, ia pun beranjak pulang. Sebelum kembali ke rumahnya, ia lebih dulu mampir di Ka'bah untuk melakukan thawaf. Sebelum sampai di Ka'bah, seorang budak perempuan milik Abdullah bin Jud'an At-Taimi menghampirinya seraya berkata,"Hai Abu Umarah, andai saja tadi pagi kau melihat apa yang dialami oleh keponakanmu, Muhammad bin Abdullah, niscaya kamu tidak akan membiarkannya. Ketahuilah, bahwa Abu Jahal bin Hisyam telah memaki dan menyakiti keponakanmu itu, hingga akhirnya ia mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya." Usai mendengarkan panjang lebar peristiwa yang dialami oleh keponakannya, Hamzah terdiam sambil menundukkan kepalanya sejenak. Ia kemudian membawa busur dan anak panahnya, kemudian bergegas menuju Ka'bah dan berharap dapat bertemu Abu Jahal di sana. Sampai di Ka'bah ia melihat Abu Jahal dan beberapa pembesar Quraisy sedang berbincang-bincang. Dengan tenang Hamzah mendekati Abu Jahal. Lalu dengan gerakan yang cepat ia lepaskan busur panahnya dan dihantamkan ke kepala Abu Jahal berkali-kali hingga jatuh tersungkur. Darah segar mengucur deras dari dahinya. "Mengapa kamu memaki dan mencederai Muhammad, padahal aku telah menganut agamanya dan meyakini apa yang dikatakannya? Sekarang, coba ulangi kembali makian dan cercaanmu itu kepadaku jika kamu berani!" bentak Hamzah kepada Abu Jahal. Dalam beberapa saat, orang-orang yang berada di sekitar Ka'bah lupa akan penghinaan yang baru saja menimpa pemimpin mereka. Mereka begitu terpesona oleh kata-kata yang keluar dari mulut Hamzah yang menyatakan bahwa ia telah menganut dan menjadi pengikut Muhammad. Tiba-tiba beberapa orang dari Bani Makhzum bangkit untuk melawan Hamzah dan menolong Abu Jahal. Tetapi Abu Jahal melarang dan mencegahnya seraya berkata,"Biarkanlah Abu Umarah melampiaskan amarahnya kepadaku. Karena tadi pagi, aku telah memaki dan mencerca keponakannya dengan kata-kata yang tidak pantas." Hamzah bin Abdul Muthalib adalah seorang yang mempunyai otak yang cerdas dan pendirian yang kuat. Ia adalah paman Nabi dan saudara sepersusuannya. Dia memeluk Islam pada tahun kedua kenabian. Ia juga hijrah bersama Rasulullah SAW dan ikut dalam perang Badar. Pada Perang Uhud syahid dan Rasulullah menjulukinya dengan "Asadullah" (Singa Allah) dan menyebutnya "Sayidus Syuhada" (Penghulu atau Pemimpin Para Syuhada). Ketika sampai di rumah, ia duduk terbaring sambil menghilangkan rasa lelahnya dan membawanya berpikir serta merenungkan peristiwa yang baru saja dialaminya. Sementara itu, Abu Jahal yang telah mengetahui bahwa Hamzah telah berdiri dalam barisan kaum Muslimin berpendapat, perang antara kaum kafir Quraisy dengan kaum Muslimin sudah tidak dapat dielakkan lagi. Oleh sebab itu, ia mulai menghasut dan memprovokasi orang-orang Quraisy untuk melakukan tindak kekerasan terhadap Rasulullah dan pengikutnya. Bagaimanapun Hamzah tidak dapat membendung kekerasan yang dilakukan kaum Quraisy terhadap para sahabat yang lemah. Akan tetapi harus diakui, bahwa keislamannya telah menjadi perisai dan benteng pelindung bagi kaum Muslimin lainnya. Lebih dari itu menjadi daya tarik tersendiri bagi kabilah-kabilah Arab yang ada di sekitar Jazirah Arab untuk lebih mengetahui agama Islam lebih mendalam. Sejak memeluk islam, Hamzah telah berniat untuk membaktikan segala keperwiraan, keperkasaan, dan juga jiwa raganya untuk kepentingan dakwah Islam. Pada Perang Badar, Rasulullah menunjuk Hamzah sebagai salah seorang komandan perang. Ia dan Ali bin Abi Thalib menunjukkan keberanian dan keperkasaannya yang luar biasa dalam mempertahankan kemuliaan agama Islam. Akhirnya, kaum Muslimin berhasil memenangkan perang tersebut secara gilang gemilang. Kaum kafir Quraisy tidak mau menelan kekalahan begitu saja, maka mereka mulai mempersiapkan diri dan menghimpun segala kekuatan untuk menuntut balas. Akhirnya, tibalah saatnya Perang Uhud di mana kaum kafir Quraisy disertai beberapa kafilah Arab lainnya bersekutu untuk menghancurkan kaum Muslimin. Sasaran utama perang itu adalah Rasulullah dan Hamzah bin Abdul Muthalib. Seorang budak bernama Washyi bin Harb diperintahkan oleh Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan bin Harb, untuk membunuh Hamzah. Wahsyi dijanjikan akan dimerdekakan dan mendapat imbalan yang besar pula jika berhasil menunaikan tugasnya. Akhirnya, setelah terus-menerus mengintai Hamzah, Wahsyi melempar tombaknya dari belakang yang akhirnya mengenai pinggang bagian bawah Hamzah hingga tembus ke bagian muka di antara dua pahanya. Tak lama kemudian, Hamzah wafat sebai syahid. Usai sudah peperangan, Rasulullah dan para sahabatnya bersama-sama memeriksa jasad dan tubuh para syuhada yang gugur. Sejenak beliau berhenti, menyaksikan dan membisu seraya air mata menetes di kedua belah pipinya. Tidak sedikitpun terlintas di benak beliau bahwa moral bangsa arab telah merosot sedemikian rupa, hingga dengan teganya berbuat keji dan kejam terhadap jasad Hamzah. Dengan keji mereka telah merusak jasad dan merobek dada Hamzah dan mengambil hatinya. Kemudian Rasulullah mendekati jasad Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib, Singa Allah, Seraya berkata,"Tak pernah aku menderita sebagaimana yang kurasakan saat ini. Dan tidak ada suasana apa pun yang lebih menyakitkan diriku daripada suasana sekarang ini." Setelah itu, Rasulullah dan kaum Muslimin menyalatkan jenazah Hamzah dan para syuhada lainnya satu per satu. Ibnu Atsir dalam kitab Usud Al-Ghabah, mengatakan dalam Perang Uhud, Hamzah berhasil membunuh 31 orang kafir Quraisy. Sampai pada suatu saat ia tergelincir sehingga terjatuh kebelakang dan tersingkaplah baju besinya, dan pada saat itu ia langsung ditombak dan dirobek perutnya. Lalu hatinya dikeluarkan oleh Hindun kemudian dikunyahnya. Namun Hindun memuntahkannya kembali karena bisa menelannya. Ketika Rasulullah melihat keadaan tubuh pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib, Beliau sangat marah dan Allah menurunkan firmannya: "Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar." (QS An-Nahl: 126) Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq Sirah-nya, bahwa Ummayyah bin Khalaf bertanya pada Abdurahman bin Auf, "Siapakah salah seorang pasukan kalian yang dadanya dihias dengan bulu bulu itu?" "Dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib," jawab Abdurrahman bin Auf. "Dialah yang membuat kekalahan kepada kami," ujar Khalaf. Abdurahman bin Auf menyebutkan bahwa ketika perang Badar, Hamzah berperang disamping Rasulullah dengan memegang dua bilah pedang. Diriwayatkan dari Jabir bahwa ketika Rasulullah SAW melihat Hamzah terbunuh, maka beliau menagis.
5 notes
·
View notes
Text
7. Mengingatkan Mati Dan Pertemuan Dengan Allah Azza Wa Jalla [Kitab Tazkiyatun Nufus – 10 Kiat Menyucikan Jiwa]
Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat);”
(QS. Al-Hasyr: 18)
Dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda,
“Perbanyak mengingat penghancur kenikmatan.” Yakni kematian.[31]
Kematian merupakan pemisah antara kehidupan di dunia dan akhirat, pembatas antara waktu beramal dan menerima balasan, sekat yang membedakan antara waktu mengumpulkan pahala dan menerima balasannya. Maka tidak ada waktu lagi setelahnya atas segala dosa, tidak pula ada kesempatan untuk memperbanyak kebaikan. Sebagaimana Dia Ta’ala berfirman,
“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang,’...”
(QS. An-Nisa’: 18)
Kematian juga akan menghampiri semua manusia tak terkecuali, dan tidak diragukan lagi akan menemui mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kalian,’...”
(QS. Al-Jumu’ah: 8)
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Di mana saja kalian berada, kematian akan mendapati kalian, kendatipun kalian berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh ...”
(QS. An-Nisa’: 78)
Kematian juga mendatangi manusia secara tiba-tiba, sebagaimana yang tertera dalam firman-Nya Ta’ala,
“Setiap umat mempunyai ajal, apabila ajal mereka telah datang, (maka) mereka tidak dapat mengundurkannya walaupun hanya sesaat dan tidak dapat (pula) memajukannya.”
(QS. Al-A’raf: 34)
Betapa banyak orang yang keluar dari rumahnya mengendarai mobil, lantas tiba-tiba pulang telah terbalut kain kafan, dan betapa banyak orang yang berkata kepada keluarganya “Siapkan makanan untukku,” namun ia mati sebelum sempat menyantapnya. Betapa banyak orang yanag baru saja mengenakan pakaian dan memasukan kancing bajunya, namun ternyata yang melepaskan kancing bajunya adalah orang yang memandikan (jenazah)nya.
Mengingat kematian memberikan manfaat yang sangat besar bagi seorang muslim; dengan begitu ia akan bangkit dari kelalaiannya selama ini, hatinya yang mati akan hidup kembali, ibadahnya kepada Allah Ta’ala akan semakin baik, perilakunya yang lalai dan sikapnya yang berpaling dari ketaatan kepada Allah Ta’ala pun akan sirna.
Said bin Jubair Rahimahullah menuturkan, “Seandainya hatiku tidak mengingat kematian, aku khawatir hati ini akan rusak.” [32]
Seorang hamba akan senantiasa dalam keadaan baik, selama ia selalu memikirkan bagaimana keadaan dirinya kelak di hadapan Allah Ta’ala pada hari kiamat, dan tempat kembalinya setelah mati.
Sufyan bin ‘Uyainah Rahimahullah berkata, bahwa Ibrahim at-Taimi Rahimahullah mengatakan, “Aku membayangkan sedang berada di dalam surga; memakan buah-buahan di sana dan minum air dari sungai-sungainya, bercengkrama dengan para bidadari. Kemudian aku membayangkan sedang berada di neraka; memakan buah zaqum, meminum nanahnya, tengah berusaha melepas rantai dan belenggu dari tubuh, lantas aku pun berkata kepada diri sendiri, ‘Wahai jiwa! Manakah di antara keduanya yang kamu inginkan?,’ ia berkata, “Aku ingin dikembalikan ke dunia sehingga aku dapat beramal shalih.’ Lalu kukatakan pada jiawaku, ‘Kamu sekarang sedang berada dalam anganmu itu, maka beramallah.’” [33]
Hendaknya anda sang pembaca juga mengatakan kepada nurani anda, “Wahai jiwa! Jika aku mati, maka siapakah yang akan menyalatiku setelah wafat, mengganti puasaku yang tertinggal, siapakah yang akan memohon ampunan untukku atas segala dosa dan kelalaianku?!”
Keterangan:
[31] HR. Ibnu Majah (no.4258) dan dihasankan oleh al-Albani di dalam kitab al-Irwa’ (3/145)
[32] Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad di dalam az-Zuhd (no. 2210)
[33] Diriwayatkan oleh Ibnu Abu ad-Dunya di dalam Muhasabah an Nafs (Hal.26).
Sumber:
Kitab Tazkiyatun Nufus – 10 Kiat Menyucikan Jiwa
Kiat Tujuh Mengingatkan Mati Dan Pertemuan Dengan Allah Azza Wa Jalla
Karya: Syaikh Prof. Dr. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr
Ditulis ulang :
Diatri Mika Putra
Jatinegara Baru, 11 April 2021
2 notes
·
View notes
Text
Project 1
FA222
Kuwaiti Plastic Art Exhibition in Cairo
The Kuwaiti plastic art exhibition was inaugurated in the “Nahdet Misr” hall in the “Mahmoud Mukhtar” museum, within the framework of activating the cultural exchange agreement between the State of Kuwait and the Arab Republic of Egypt, and the Kuwaiti plastic artist, Qassem Yassin, said: The next exhibition comes within the framework of activating the cultural exchange agreement between Kuwait And Egypt, expressing hope that cooperation and mutual cultural exchange between the two sides will continue, and stressing the importance of exhibitions and artistic activities in strengthening relations and experiences between the artists of the two brotherly countries and said in this regard: “We have worked to present contemporary Kuwaiti art in Egypt, the state of art and civilization, to give an image of the activity. Kuwaiti Artistic Society of the Brotherly Egyptian Society »The Kuwaiti delegation participating in the exhibition is headed by the Director of the Fine Arts Department of the National Council for Culture, Arts and Literature Faisal Al-Darwish, and includes artists Qassem Yassin, Muhammad Al-Shaibani, Muhammad Al-Sheikh Al-Farsi, Adel Al-Khalaf, Khadija Bhawaid, Amber Walid, Naji Al-Hai, Adel Al-Mishaal, Abdul-Aziz Arti, Suzan Bushnaq and Hadar The opening ceremony of the third secretary at the Kuwaiti embassy in Cairo, Ahmed Al-Enezi.
@mnwrzmn
@uob-funoon
1 note
·
View note
Text
Mengenal Tingkatkan Mufti Fiqih
Dalam ranah ilmu fiqih akan didapati dalam pembahasannya dengan istilah mufti. Yaitu, ulama yang memiliki wewenang dalam menginterpretasikan nash Al Qur'an dan Sunnah. Dan juga memberikan fatwa kepada umat.
Semua itu dilandasi dari kecakapan mereka dalam mengambil kesimpulan suatu hukum. Baik menguasai dari sisi ushul, bahasa, dan mantik.
Salah satu mufti yang dikenal adalah Imam asy-Syafi'i, sebagai salah satu contoh imam yang diikuti oleh mayoritas Muslim di Indonesia. Keahlian Imam Syafi'i dalam kedisiplinan ilmu-ilmu alat, lahirlah interpretasi dan fatwanya. Atau dikenal dengan Madzhab Syafi'i.
Mengenai Madzhab Syafi'i, Imam Jalaluddin al-,Mahalli menjelaskan dalam syarh beliau terhadap al-Minhaj ath-Thalibin bahwa Madzhab Syafi'i adalah
ما ذهب إليه الشافعي وأصحابه من الأحكام في المسائل
"Apa-apa yang ditempuh oleh Imam asy-Syafi'i dan para pengikutnya terhadap hukum dalam permasalahan." (Kanz ar-Raghibin,1/69)
Beranjak dari penjelasan Imam al-Mahalli, definisi disana memberikan arti bahwa secara otomatis Madzhab Syafi'i tidak hanya sebatas pendapat imam saja, namun juga ada pendapat para pengikutnya.
Lantas, siapa saja yang pantas dikatakan dan dapat diperhitungkan dalam madzhab-madzhab fiqih untuk diambil pendapatnya dan dijadikan rujukan oleh umat ? Oleh sebab itu, para ulama membagi mufti menjadi beberapa tingkatan sesuai kadar kemampuan yang dimilikinya, yaitu:
Pertama, Mufti Mustaqil (independen).
Hal ini dijelaskan dalam pemaparan para ulama bahwa mufti yang berada dalam tingkat ini termasuk dalam peringkat tertinggi dalam madzhab. Atau dengan sebutan lain mujtahid muthlaq. Artinya, keahlian mereka dalam berhukum dan tidak terikat dengan madzhab, bahkan tidak taqlid. (Lihat: al-Majmu' fi Syarh al-Muhadzdzab, 1/75).
Bisa dikatakan dalam Madzhab Syafi'i, mufti mustaqilnya adalah Imam asy-Syafi'i. Sebagaimana juga yang dimiliki para imam madzhab lainnya seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad. Karena diantara keistimewaan mereka adalah terdapat pada kemampuan dalam melahirkan metode apa yang dianut oleh madzhabnya. (Lihat: Nihayah az-Zain, Nawawi al-Jawi al-Bantani, 1/9,10).
Kedua, Mujtahid Madzhab.
Seorang mufti yang tidak taqlid kepada imamnya, baik dalam madzhabnya (pendapat) atau dalilnya. Akan tetapi ia tetap menisbatkan kepada imam karena masih mengikuti metode imamnya dalam berijtihad. (Lihat: al-Majmu' fi Syarh al-Muhadzdzab, 1/76). Atau kemampuannya dalam beristinbat dengan kaidah-kaidah imamnya. (Lihat: Nihayah az-Zain, 1/9).
Diantara ulama syafi'iyah yang sampai pada derajat mujtahid madzhab adalah Imam al-Muzani dan Imam al-Buwaithi. (Lihat: Nihayah az-Zain, 1/9). Dan juga Ibnu Suraij al-Baghdadi. (Lihat: Nailul-ibtihaj, Ahmad Baba al-Tanbakti, hal 441,442).
Adapun dalam Madzhab Hanafi, ulama yang sampai pada tingkatan ini ialah Imam Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, dan Zufar bin Hudzail. (Lihat: Syarh al-Jami' ash-Shaghir, Abdul Hay al-Laknawi, 1/8).
Sedangkan ulama kalangan Madzhab Maliki yang sampai pada derajat ini adalah Ibnu al-Qosim dan Asyhab. (Lihat: Nailul-ibtihaj, hal 441,442).
Mufti golongan ini adalah yang bertaqlid pada ushul imamnya akan tetapi berbeda dalam furu'nya disebagian saja. (Lihat: Syarh al-Jami' ash-Shaghir, 1/8).
Bahkan Imam an-Nawawi mengatakan bahwa golongan ini yang berhak mengoreksi pendapat imamnya. Karena ada beberapa hadits yang di mana imam sengaja meninggalkannya seperti Imam asy-Syafi'i, dikarenakan sudah manshukh, di-takhsis, atau di-takwil. Hal ini tidak bisa diketahui kecuali mujtahid yang sampai pada derajat ini dan orang yang telah menelaah semua karya imam asy-Syafi'i dan pengikutnya. Bahkan ini merupakan syarat yang amat sulit menurut penilaian Imam an-Nawawi, sekaliber ia betul-betul paham fiqih di dalam madzhabnya, ushulnya, dan mampu menyimpulkan atau meng-qiyas-kan dari pendapatan imam dengan baik. (Lihat: al-Majmu' fi syarh al-Muhadzdzab, 1/105).
Ketiga, Ashab al-Wujuh.
Tingkatkan ini mereka yang relevansinya masih bertaqlid dengan imam yang berbeda dengan tingkatan sebelumnya. Baik di dalam ushul dan dalil, akan tetapi masih mampu menentukan hukum yang belum disebutkan oleh imam. Hal ini karena kemampuan mereka dalam menyimpulkan dan meng-qiyas-kan (amalan mereka disebut dengan takhrij) pendapat imam, hanya saja mereka mencukupkan diri dengan dalil imam. (Lihat: Penjelasan Imam an-Nawawi, al-Majmu' fi syarh al-Muhadzdzab, 1/76).
Adapun dikalangan ulama Madzhab Syafi'i yang sampai pada derajat ini adalah al-Qoffal (w 365 H) dan Abu Hamid (w 362 H). (Lihat: Mukhtashar al-Fawaid al-Makiyyah, hal 53).
Sedangkan dikalangan ulama Madzhab Hanafi diantaranya ialah ar-Razi. (Lihat: Syarh al-Jami' ash-Shaghir, 1/10).
Keempat, Mujtahid Fatwa.
Pada derajat ini tidak sampai pada ashab al-wujuh, akan tetapi menguasai madzhab imam. Baik dalam pendalilan artinya menguasai dengan baik, dan bahkan golongan ini mampu mentarjih pada pendapat-pendapat dalam madzhab. Karena dilihat dari kecakapan mereka dalam mengurai suatu masalah, keluasan mereka dalam mengetahui ushul, dan mampu ber-istinbath dengan baik. (Lihat: al-Majmu' fi syarh al-Muhadzdzab, 1/77).
Dalam Madzhab Syafi'i, ulama yang sampai pada tingkat ini adalah Imam ar-Rafi' dan Imam an-Nawawi. (Lihat: Mukhtashar al-Fawaid al-Makkiyah, hal 54 dan Nihayah az-Zain, hal 1/9).
Adapun dikalangan Madzhab Hanafi diantaranya ada Abu al-Husain al-Quduri dan Burhan al-Marghinani. (Syarh al-Jami' ash-Shaghir, 1/10,11).
Dengan adanya Mujtahid Fatwa dipermudah dalam mengetahui pendapat-pendapat madzhab. Karena di atas tingkatkan ini sudah terjadi perbedaan kesimpulan antara ashab al-wujuh dengan imam. Maka ulama pada tingkatan ini berperan untuk men-tarjih (memilih dalil-dalil yang kuat) terhadap pendapat-pendapat madzhab.
Kelima, Mufti Muqallid.
Pada tingkatan akhir ini mereka dikatakan mufti muqallid karena masih menguasai madzhab, baik dalam masalah yang gamblang dan masalah rumit. Dan pendapat mereka tetap bisa diambil dan dijadikan pijakan untuk menukil pendapat imam madzhab dan beserta cabang-cabangnya. (al-Majmu' fi syarh al-Muadzdzab, 1/77).
Seperti Imam al-Isnawi (w 772 H) ulama fiqih dari kalangan madzhab syafi'i, namun terkadang melakukan tarjih dalam perbedaan pendapat antara Imam ar-Rafi' dan Imam an-Nawawi. (Lihat: Mukhtashar al-Fawaid al-Makkiyah, hal 54).
Dan pada tingkat ini perlu diberi perhatian bahwa jika mufti muqallid tidak menemukan nukilan madzhab, maka ia tidak boleh mengeluarkan fatwa, kata Imam an-Nawawi
يجب امساكه عن الفتوى فيه
"Wajib baginya menahannya ketika hendak memfatwakannya."
Akan tetapi jika ia menemukan atau memandang bahwa tidak ada perbedaan diantara keduanya, maksudnya permasalahan sama dengan apa yang di-nash-kan dalam madzhab, maka ia boleh menyamakannya dengan meng-qiyas-kannya dan berfatwa di dalamnya.
(al-Majmu' fi syarh al-Muadzdzab, 1/77).
Itulah lima tingkatan para mufti fiqih, insyaallah (penulis-pen) mufti muqallid adalah rujukan terakhir dalam merujuk pendapat madzhab sebagaimana Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitabnya "al-Majmu'.
Semoga dengan ini lebih mengenal diri di mana posisi kita dengan mereka atau bisa memposisikan para ulama sesuai kadarnya masing-masing.
Oleh sebab itu posisikan Imam an-Nawawi dengan Imam ar-Rafi' bukan dengan Imam al-Muzani. Dan begitulah seterusnya jika hendak memposisikan para ulama. Wallahu'alam.
2 notes
·
View notes