#monochrometale1
Explore tagged Tumblr posts
Text
Kamu tahu? Terkadang aku lelah atas sikap tak acuhmu. Segala usahaku tak kau indahkan. Terkadang aku jengah atas segala ketidakpastian yang tak pernah ada akhir. Tidak ada satu pun penjelasan yang kau berikan. Terkadang aku bosan menunggu yang tak ada habis. Hanya untukmu, yang menoleh ke arahku pun tidak. Hanya untukmu, yang mendengarku pun tidak.
Pernahkah kau menghargai segala jerih payahku meski hanya sebuah ucapan terima kasih? Aku pun manusia yang juga bisa merasa letih atas segala hal yang tak pernah kunjung pasti. Aku pun manusia yang lambat laun bisa merasa kecewa karena tak pernah dihargai.
Aku tak pernah menuntutmu apapun. Aku hanya memintamu untuk ada. Sebegitu sulitkah hingga aku harus bersusah payah menahan segala rasa yang berkecamuk dalam dada juga kepala bahwa kau tak pernah ada?
Aku hanya butuh kamu.
Bukan butuh yang lain.
Itu saja.
Jika abaimu membuat seseorang yang datang menjadi lebih berarti, jangan salahkan aku apabila aku berpaling.
Tapi lihatlah ke dalam dirimu sendiri.
Bekasi, 4 September 2017 23:39
Sumber gambar: aksarannyta
161 notes
·
View notes
Text
Mempercayakan Jeda
Pada gerimis yang tiba di awal petang yang mulai remang, memoar tentangmu masih saja mengulik genangan di sudut mataku. Rasanya rindu begitu tempias, ketika dalam satu kedipan saja ia mampu menerjemahkan peristiwa-peristiwa yang telah berlalu.
Di bawah monokrom kelabu, dalam keterasingan masing-masing, kita sedang menatap langit lekat-lekat. Baik kamu ataupun aku sama-sama penyuka hujan, bukan? Ah, tidak sebenarnya aku menyukainya karena kamu suka. Kamu ingat? Mengapa kita harus melepaskan genggaman tangan terlebih dahulu? Sebab, untuk memperoleh restu semesta kita harus saling mengikat diri lewat jeda.
Terjerembap dalam kenangan membuatku menyalakan api unggun di tengah rintik hujan yang berlagu. Maka, akan terus kujaga hangatnya baik-baik dalam ingatan. Aku tak sedikitpun menyalahkan jeda. Sebab, kita mengerti bahwa berjuang tak harus saling menyeiramakan langkah kaki. Ada saatnya nanti.
Sabarlah sejenak. Bukan berarti aku melepas penuh ikhlas tanpa acuh. Tapi, aku melepas penuh pasrah berserah kepada-Nya. Aku tetap memperjuangkanmu dengan caraku dan melibatkan-Nya di berbagai waktu. Sebelum terikat dan sepakat menyimpul, ada kesempatan bagi kita merayakan ruang sendiri. Sebelum akhirnya menjadi satu.
Tiba-tiba resah menyusup dari balik jendela; menghidupkan tanya yang terdengar sumbang. Lalu gemercik prasangka satu per satu jatuh; mematahkan percayaku pada jeda, “Apakah rasamu akan pudar suatu hari nanti? Karena kita yang saling menjauh sementara waktu. Sedangkan rasaku sampai kapanpun akan tetap sama, aku bisa buktikan.”
Tanpa terburu aku berusaha menegakkan tanggungjawab atas diriku sebelum kamu. Tapi, “bagaimana jika ada yang mendahuluiku? Apakah kau akan menerimanya?”
Percayalah pada jeda dan Sang Maha Kuasa bahwa Dia akan tetap menjaga kita. Sebab, serangkaian ujian pasti mampir tanpa permisi. Maka, selalu mendoakanmu menjadi bingkisan paling istimewa yang bisa kuberi; sebagai pereda denyut prasangka yang berdebar.
Hingga selepas sujud tanpa melewatkannya aku jadi banyak meminta; menengadah semoga dimana-mana.
Aku percaya pada doa dan Aamiin yang terus berlanjut tanpa jeda.
05/09′17
Pict source : @aksarannyta
142 notes
·
View notes
Photo
#MonochoromeTale1
Selamat pagi! Semangat lagi!
Ayooo, Seninnya jangan dipakai loyo-loyo. Masih awal minggu, buat lebih menyenangkan dengan syukur-syukur yang luput diucapkan. Atau buat lebih menyenangkan dengan mengikuti Writing Project Monochome-tale saja :)
Well, here we go...
Ini dia gambar untuk #MonochromeTale1. Teman-teman boleh menuliskan apa saja, mau gambar ini dijadikan tema, pendukung cerita, atau lain sebagainya. Mau menuliskan puisi, prosa, cerpen, fiksi, atau apa saja yang teman-teman inginkan. Batas waktunya sampai dengan pelemparan gambar #MoochromeTale2 lusa ya :D
Jangan lupa sertakan gambar dan source gambar pada tulisan teman-teman yaaa.
Pict Source: aksarannyta
Selamat berimajinasi! Semangat berlatih berkarya!
cc: @karenapuisiituindah @hujanmimpi
145 notes
·
View notes
Text
MonochromeTale-01
"Mengingatmu menghidupkan ingatanku. Kenangan demi kenangan, sekelebat muncul tanpa izinku." - Kau adalah kenangan. Yang kucoba hindari. Namun selalu muncul tanpa permisi. Berkali-kali aku mengusirmu pergi. Namun percuma saja. Kau datang lagi, lagi, dan lagi. Sayangnya itu bukan karena rintik hujan, sunyi, atau secangkir kopi, yang menjadi teman setia setelah kau pergi. Kau adalah candu. Yang membuat rindu menjadi biru dan cinta menjadi api yang menggebu. Wajarkah bila aku terbakar sendiri, sedangkan kau asik memungut abu? Kau adalah hujan. Meski saat bersentuhan denganmu aku akan kebasahan, ragaku akan senantiasa kuyup dan bagiku itu masih belum cukup. : Kau adalah segalanya, yang tak pernah kulupa. --- © Tia Setiawati | Palembang, 6 September 2017
117 notes
·
View notes
Text
MonochromeTale-1
Di sebuah pelataran sunyi namun bising karena rinai hujan yang tengah ramai memainkan melodinya, pernah ada yang bertanya padaku, “Seperti apakah rupa harapan?” Aku terdiam, lama, mengayunkan kakiku hingga kemudian kembali merenung. Ia masih menungguku memberi jawaban, tapi aku hanya menggerakkan telunjukku sambil berujar, “Hujan,” aku tersenyum kemudian. “Ada apa dengan hujan? Apakah harapan rupanya demikian?” ia berkali-kali memalingkan wajah ke arahku dan kepada hujan yang kumaksud. “Hujan itu wujud nyata dari setiap harapan manusia. Tak percaya?” lagi aku tersenyum usai bertanya. Hanya gelengan lemah yang kemudian kudapatkan darinya. Aku kembali bersuara, “Seluruh harapan yang kau punya, kau panjatkan melalui doa agar bisa mencapai langit. Dan satu-satunya cara untuk bisa mencapai langit adalah dengan menjadi hujan. Kenapa? Karena hanya airlah yang berevaporasi hingga ke langit. Lalu kemudian kembali lagi ke bumi sebagai hujan yang memenuhi beberapa harapan. Oleh karenanya, hujan yang jatuh adalah rupa harapan itu sendiri. Harapan yang sedang kau bangun dan harapan yang baru saja kau raih.”
pict source: @aksarannyta
107 notes
·
View notes
Photo
Pisahilang
Mengakar telah Kisah yang takkan pernah sudah Merambat Melumat apa yang lalu ia pijak
Pergi berlarian Melompat berjingkrak Tergambar sudah Sebahagia apa ia
Tapi sayang Sayang teramat sayang Belum rampung bersuka Hilang ia menyatu ilalang
Terperangkap tanpa Sedikitpun sorak menyeruak Entah kemana ia Hilang
pict source : @aksarannyta
113 notes
·
View notes
Text
Hujan dan bukan tentang kenangan.
Saya suka melihat bulir air di jendela. Yang tersisa saat hujan mulai reda. Saat suara hujan di luar rumah hanya tersisa gemercik saja. Tahukah kamu cerita tentang mereka?
Saya merasa mereka adalah air penerjun dari langit, dengan tanah pekarangan rumah tujuannya. Mereka mengemban misi untuk membasahi rumput, atau menjadi pelepas dahaga untuk mahluk mahluk Tuhan di luar sana yang tak punya kuasa untuk mencari sendiri minummya seperti manusia.
Tak semua air penerjun itu jatuh mulus langsung menghadap tanah. Ada yang jatuh di pohon lalu turun melalui dahan, ada yang jatuh di atap rumah lalu melewati saluran. Sebagiannya lagi terdampar di jendela rumah, dan mereka tertahan di sana. Sebagai buliran hujan yang berserakan, mereka harus kembali menyatu agar cukup berat untuk bisa meluncur ke bawah. Apa daya, mereka tak punya kuasa untuk berjalan ke atas, ke kiri, atau ke kanan tak peduli jarak antara bulir satu dengan bulir lainnya mau sedekat apa. Oleh Tuhan mereka hanya diperintahkan untuk terus ke bawah, mencari permukaan yang lebih rendah dari posisinya semula.
Dan sekarang, bulir-bulir hujan itu, tidak ada harapan selain sedikit keajaiban. Entah dengan bantuan angin, entah dengan bantuan apa. Untuk bulir yang cukup besar, ia masih punya sedikit kekuatan tersisa. Berjalan perlahan, mengalir dan bersatu dengan bulir-bulir kecil lain yang ada bawahnya hingga kemudian membentuk menjadi butiran yang lebih besar, lebih kuat dan akhirnya bisa terjun bebas melewati jendela.
Untuk bulir-bulir kecil lainnya, bagaimana? yang sudah tak punya kekuatan sama sekali dalam berusaha?. Mereka tidak akan pasrah, tentunya. Mereka punya tugas dari Tuhan, untuk menyerah, bagaimana bisa? Mereka akan menanti suasana cerah. Sabar menanti, hingga matahari kembali menjatuhkan sinarnya. Saat panas sinar matahari cukup untuk meleburkan mereka, mereka akan menguap, menjadi partikel, menyatu dengan udara, menjadi cukup ringan untuk bisa diangkat kembali ke atas awan sana. Berkumpul lagi, menanti waktu yang pas untuk turun lagi, sebagai hujan, mencoba lagi, dan seterusnya.. dan seterusnya.
Begitulah ceritaku. Entah kalian mau memaknainya apa, terserah. Toh aku sekedar berkhayal sembari menghabiskan waktu suatu sore selepas hujan. Daripada membiarkan ingatan memantik kenangan tentang seseorang dari masa lalu.
Pict source : @aksarannyta
101 notes
·
View notes
Photo
Aku mencintaimu, namun tak dapat kusentuh. Layaknya seorang penikmat hujan yang ingin menyentuh tetesan kesejukan dibalik kaca. Kudapatkan dinginnya namun tak terasa basahnya. -Searegar Pict source : @aksarannyta
82 notes
·
View notes
Text
Sunyi dan sepi kala itu, beraroma nuansa sendu saat hujan mulai berirama. Kenangan perlahan membumi bersama rintik kecilnya yang melibatkan romansa rindu yang masih tetap menunggu akan sebuah temu. Hati masih terlalu dini untuk mengarungi lautan asmara dalam satu bahtera. Akan kah diri ini kelak bisa menjadi nahkodamu, yang menuntunmu berlayar kesini kesitu tanpa jemu, yang mengajakmu menari-nari diatas ayunan ombak menembus luasnya samudra cinta?
Sungguh, akan tampak suatu kehangatan jika nanti kau ada disampingku, bersebelahan denganku, tertawa melemparkan canda yang selama ini hanya menjadi sebuah khayalan bisu. Apakah kau disana berharap sama sepertiku?
Dalam sebuah hati yang tegar, hanya kau yang ada di dalamnya. Kau yang terus merangsak sampai ke dasar sanubariku. Kau yang terus mengurung semua ruang cintaku. Kau yang terus mengepung rasa kerinduanku. Dalam kata yang tak mampu terdengar oleh telinga, hati ini terus meronta memanggil namamu, mengajakmu pulang ke dalam pelukanku. Raga ini masih akan tetap menantimu sebagai tanda besarnya harapan dan kesetiaanku kepadamu.
Bandung, 4 September 2017
Dari aku, yang rindu akan kehadiranmu.
Pict Source: @aksarannyta
66 notes
·
View notes
Photo
Jauh di sana, apa kau merasakan hal yang sama?
Merindukan kebersamaan kita ketika menanti hujan reda Menyesap secangkir kopi di selingi beberapa tawa Meleburkan rindu pada temu yang bahagia
“Apa kabarmu?” Dua kata yang selalu ingin aku tanyakan tapi tak pernah tersampaikan. Sejak saat itu, semua tanya tentangmu hanya tersimpan dalam hati dan beberapa tulisan yang tak pernah kau baca.
Kepergianmu tak seperti hujan yang kemudian memberikan ketenangan atau kebahagiaan karena munculnya pelangi. Kepergianmu pun tak seperti senja yang pasti akan kembali di esok hari.
Kepergianmu memaksaku untuk berhenti berharap tentang kita, kepergianmu membuatku merasakan rindu seorang diri, kepergianmu yang hingga kini masih aku tangisi.
Dulu, kuharap pada temu untuk menuntaskan rindu. Kini, mengetahui kabarmu yang juga merindukanku sudah cukup bagiku.
Maaf jika harapku terlalu.
Pict source: @aksarannyta
36 notes
·
View notes
Text
Apa yang kau lihat saat rintik-rintik itu jatuh membasahi bumi?
Aku melihat senyum Bapak, yang terharu melepas kepergian puterinya pergi merantau.
Apa yang kau bayangkan saat rintik-rintik itu membasahi jendela?
Aku membayangkan tawa Mamak, yang menertawakan hal yang diceritakannya sendiri, meskipun puterinya hanya tersenyum simpul, tidak merasakan lucu yang sama.
Apa yang kau rasakan saat hujan deras jatuh membasahi tubuhmu?
Aku mengenang kita, yang berjalan beriringan, berlari mencari tempat berteduh, sambil dengan bergegas kau menarik tanganku, menghindari basah, di mata juga di hati.
Pict Source: @aksarannyta
31 notes
·
View notes
Photo
Hujan kali ini berbeda dengan hujan-hujan yang lalu. Ia mengiringi kepergianku untuk meninggalkan semua kenangan tentang kita.
Aku akan pergi. Meninggalkan kota yang penuh romansa denganmu. Bukan karena aku tak suka, bukan karena aku benci. Namun jika aku masih berada di sini, aku takut terpuruk lebih dalam lagi.
Sejak kepergianmu, hujan adalah sesuatu yang amat sangat kutakuti. Aku takut menangis karena teringat akan dirimu yang berlalu pergi. Tanpa sepatah kata, tanpa lambaian tangan, bahkan tanpa senyummu yang begitu menenangkan hati.
Perjalananku begitu sunyi. Aku pun tak mengharap kau berada di sisiku menemani. Karena aku mengerti, kau lebih bahagia di sana; di kehidupan yang abadi. Entah apa yang kurasakan saat ini. Aku hanya ingin tetap melangkahkan kaki, meski tanpamu lagi. Tenang saja, pergiku bukan untuk melupakanmu. Suatu saat nanti, aku akan mengunjungimu kembali. Walau sekedar mendoakanmu atau menebar bunga di tempat peristirahatanmu kini.
Pict Source: @aksarannyta
31 notes
·
View notes
Text
Hampir genap tiga puluh tahun usiaku. Teman-teman sebaya sudah banyak yang menemukan muara cintanya, sedangkan aku masih begini saja; terbelenggu masa lalu.
Tak usah dikasihani, begini-begini aku memiliki teman kencan yang sabarnya seluas samudera; memaklumi kondisiku dengan lapangnya. Seperti sepasang muda-mudi, bisa dikatakan akupun berpacaran. Malam minggu saatnya wakuncar terbaik, tahu apa wakuncar? Waktu kunjung pacar, istilah lagu dangdut yang tersohor pada masanya. Terkadang hanya bertandang di teras rumah, sesekali menonton ke bioskop, acapkali makan malam di luar sambil mendengar live music biar asyik.
Oh ya, belum kuberitahu ya , enaknya pacarku ini, kapan saja mau kupeluk. Seperti bertemu ganja, aku candu. Tahun depan akan kupersunting saja nampaknya, biar kumiliki seutuhnya. Seru juga membayangkan berdiri di pelaminan kemudian menyalami tamu-tamu sambil memperkenalkannya, “Ini istriku, namanya Kesepian”.
102 notes
·
View notes
Text
Hujan di Persimpangan Kota
Kepada hujan yang jatuh ke bumi Aku bercerita dan bersenandung Tentang seorang Puan yang merindu Tuan Tentang seorang Puan yang mencinta Tuan Tentang seorang Puan yang tak ingin jauh dari Tuan Kepada hujan yang jatuh ke bumi. Basahnya menyejukkan jiwa. Rerintiknya membelai lembut wajah kecil milik Tuan yang tengah berdiam diri di bawah lampu jalan persimpangan kota. Ia berdiri lunglai di sana. Dari balik jendela, aku melihat wajahnya basah. Rambutnya kusut tak beraturan. Tatap matanya kosong menerawang. Entah apa yang ada dalam pikirannya, mungkin masa lalunya. Aku menatapnya dari balik jendela. Mencoba mengamati setiap inci gerak gerik dirinya, bak menjadikannya objek observasi. Kulihat bahunya terguncang. Mungkin ia tengah menangis, atau bisa jadi sedang tertawa. Entahlah, tapi, jika memang itu tawa, tak kulihat binar dimatanya, pun tak ada lengkungan kecil di kedua pipinya. Namun, jika itu sebuah tangis, tak kulihat air mata disana. Mungkin, air hujan yang membasahinya menyamarkan setiap bulir air matanya. Kupikir, akan lebih tepat bahwa ia sedang menangis di depan sana. Namun, apakah tak ada tempat lain tuk menjatuhkan air mata? Mengapa ia memilih tuk berdiam diri dan menenggelamkan diri dalam kesedihan di bawah rinai hujan yang menjatuhi persimpangan jalan ini? Aku melirik sekilas ke arah lampu lalu lintas. Kemacatan kota membuat laju kendaraan umum yang kutumpangi berdiam diri lebih lama. Entah mengapa, seperti ada aliran yang merasuki tubuhku. Sontak saja aku bangkit dari kursi yang kududuki. Ku dekati sang kondektur tuk membuka pintu kendaraan. Sang kondektur membuka pintu dan menatapku heran. Mungkin ia bergumam dalam hati, penumpang macam apa yang sengaja turun di sembarang tempat kala hujan deras seperti ini. Dengan langkah gontai aku menuruni anak tangga bus. Kemudian berganti menjadi langkah derap, aku menghampiri lampu jalan, tempat Tuan itu berada. Derapku berhenti tepat tiga langkah dari samping kirinya. Perlahan basah menyeluruhi tubuhku, sebenarnya aku membawa payung lipat yang bertengger manis di dalam ranselku. Payung kesayanganku pemberian dari seseorang yang istimewa. Namun, kesukaanku akan hujan, membuatku enggan tuk mengeluarkannya. Kupikir, aku tidak sedang membutuhkan payung tuk melindungiku. Aku menoleh ke arah Tuan berbaju hitam polos di sebelahku. Menatap wajahnya lamat-lamat. Kini ia tengah terpejam. Sembari memegangi dada. Mungkin ia sedang merasakan sesak yang teramat. Sesaat kemudian, ia membuka matanya perlahan, kemudian menoleh ke arahku. Aku melemparkan seulas senyum kepadanya. Namun, hanya tatapan dingin dan kosong yang ia balas. "Kau..." Ia terbata. Aku mengangguk. "Ti...tidak jadi?" Ia bertanya. Aku menggeleng. "Kenapa?" Ia kembali bertanya. "Karena ada sebagian hatiku yang masih tertinggal disini." Aku tersenyum membalasnya. Kemudian ia mendekat kepadaku, kemudian merengkuh tubuhku, erat. Seakan tak ingin berpisah jauh. "Tolong, tetap tinggal. Setidaknya, beri aku kabar, jika kau ingin pergi dan kembali." lirihnya. "Aku kan tetap disini, bersamamu," balasku. Tetap menenggelamkan diri dalam dekapannya, di bawah rinai hujan yang membasahi persimpangan kota.
Pict sources: @aksarannyta
27 notes
·
View notes
Text
Bagiku hujan bukan saja tentang air yang turun ke bumi. Bukan pula tentang bau tanah yang tersisa setelahnya. Lebih dari itu. Bagiku hujan bukan hanya tentang basah. Menyelimuti sepenggal kisah yang tak sengaja terbawa bersama bulir-bulir air yang turun. Bagiku hujan adalah tentang syukur. Telah ada sejuk ditengah terik. Ada harap ditengah putusnya asa. Terselip senyum di sela duka. Bagiku hujan adalah masih tentangmu. Tentang rasa yang tak terselesaikan. Tentang rasa yang harus diselesaikan.
Pict : aksarannyta
16 notes
·
View notes
Photo
Bias Kenang
Kala hujan menyapa Ada rindu yang meronta Mengira ia seorang raja Yang akan selalu bertahta
Dengan segala pinta Ia merajuk membujuk luka Menggerakkan jendela kaca Merayu agar kembali menganga
Terpaksa aku merana Sementara rasa kian membara Membakar segala asa Dibalik jendela kaca Aku menyeka air mata duka
Picture source : @aksarannyta
16 notes
·
View notes