#merunduk
Explore tagged Tumblr posts
nilayoshi · 1 year ago
Text
"Adab dulu sebelum ilmu"
Ketika menuntut ilmu kedepankan adab dan akhlak yg terpuji maka ilmu akan dengan senang hati masuk kedalam hati dan mudah kita pahami.
Lalu mengamalkannya dlm keseharian bersama detak jantung nafas kita.
Walaupun kita sdh tahu jangan merasa sok tahu, hormati gurumu, sayangi teman, itulah tandanya kau murid budiman 🎵✳️🎶
Tumblr media
0 notes
nonaabuabu · 5 months ago
Text
Aku memilihmu, lagi dan lagi.
Jika kau bisa melihat bagaimana aku nyaris tersedak menahan diri, mungkin kau akan tertawa, terbahak-bahak. Atau kau akan berduka, bagaimana mungkin aku menjadi seseorang yang tidak masuk akal. Tapi masih penting kah semua itu? Kau tetap menang, bagaimana pun aku merunduk dari semua amunisi.
76 notes · View notes
absurdismee · 10 months ago
Text
Puan..
Kau lestari dalam anganku, terpatri dalam seluk beluk urat nadiku, menggerutu merdu dalam pusara logikaku, menyeruak indah pada titian frasa intuisiku, tertawa syahdu diambang batas niscayaku. Kubiarkan kau berbaring tenang disana, kuabadikan tentangmu sebagai pijar bintang berpangku sukma.
Puan..
Jika cinta ini lautan hina, akankah kau bumi dengan samuderanya?. Jika kau biru segara, apakah bagimu cintaku ini merupa bencana?. Sejauh gurat yang kubaca, tintamu tetaplah gemercak rancu yang menghujamiku dengan rangkaian tanya tanpa susunan aksara. Sejauh hati ini merasa, megamu merundung angkasa bercampur mendung dan badai. Sedang aku langit dengan pasak rapuh yang dengan lancangnya mencoba mendekapmu penuh.
Kau terluka, dan aku lumpuh..
Sebab itulah aku pergi, tapi lubuk hati terdalamku tak pernah sedikitpun membencimu. Kau tetaplah rangkaian bunga yang melingkari pergelangan lenganku. Namun kini ia merupa ungkapan kasih yang sudah tak mampu kuemban lagi hanya dengan sebatas sabar. Ia merupa sajak-sajak kecemburuan, senandung bait-bait keikhlasan, deburan ombak tanpa teguran yang kelak kan menghantam. Ia bara api yang takut kedinginan tuk membakar, dan larik puisi yang dengan pengilhaman tidak untuk diprosakan.
Puan..
Aku mencintaimu dengan penuh ketakutan dan sadar. Namun jika mencintaimu dalam kediamanku membuatmu merasakan arti kedamaian, maka biarkan aku mewakilkan angin untuk membelai wajahmu dari kejauhan. Jika setulus juangku kau anggap tak lebih dari debu jalanan, biarkan aku menjadi hamparan angan yang bahkan tak tampak dalam harapan, hingga kemudian hilang.
Orang-orang kan berlalu lalang, tapi kau akan tetap terpatri dalam ingatan, mengalun indah pada tiap melodi memori yang terlinimasakan. Sebab cinta itu rumit, karenanya kepala ini merunduk kikuk. Maka puan, jika kepergianku ialah senja yang mampu untuk kau nikmati jingganya, biarkan aku terbenam dalam sore yang menunggu malam memadam. Bahkan bila mencintaimu bermaknakan untuk mengajariku penyesalan, maka biarkan aku menyesal dalam keabadian.
Puan...
Sebab aku merasa, menjadi mentarimu terlalu lancang bagiku. Siapalah aku ini. Sungguh tak layak bagiku menggerutu, memintamu mengorbit bintang katai merah tua renta yang tak tahu malu. Cahayaku terlalu redup untuk sekedar menghangatkan dinginmu. Gemerlap keberanianku telah terhisap kegelapan lubang hitam yang kau ramu.
Sejauh kata terucap, nafasmu pun masihlah hembusan keyakinan yang kuanggap tabu. Sepelik inikah berdamai dengan masa lalu?. Rasanya ingin kuingkari saja kenyataan bahwa kau disana, terbakar lalu lebur mengabu. Sesulit inikah mengubur sajak-sajak cinta yang pernah tumbuh sepenuh untukmu?. Rasanya ingin kubungkam saja seluruh pujangga dengan segala omong kosongnya perihal cinta dan rindu.
Puan...
Kini larik puisi kehidupanku telah runtuh. Bagai reremahan pecahan kaca yang basah menggunung, sedang kau di dalamnya, diam termangu tanpa ada sedikitpun keinginan mencipta lagi percikan getaran hati yang telah terbunuh.
Larik itu sudah tak indah lagi, bahkan sejak dari dulu kau tahu itu kan?. Ia telah gugur, bak dedaunan yang kalah dengan musim, kesusahan mempertahankan asupan klorofil yang tersalur. Selepas pergimu, kini ia mulai menguning, dan waktu kan menghukumnya hingga kering.
Meski aku kembali, binar matamu pun telah berbeda, sebab kini bagimu ada-ku hanyalah pupuk kompos yang menyuburkan kelopak bunga egomu. Namun bagaimanapun juga aku telah puas, sebab telah mengerti bahwa aku bukanlah lebah yang kau mau.
Untukmu yang takkan kembali,
kututup kisah ini dengan bab keikhlasan
dengan berat hati kuucapkan; Selamat jalan...
Kudoakan segala tentangmu selalu berpayungkan kebahagiaan.
V N B
55 notes · View notes
herricahyadi · 10 days ago
Note
Mas Herri, kalau teknik berkomunikasi dengan orang yang lebih tinggi dari kita dari segi status sosial, pendidikan, itu bagaimana Mas? karena seringkali mereka lebih senang menjadi pendengar saja, kitanya yang inisiatif ngajak ngobrol, padahal kita pengen menggali banyak hal dari mereka, tapi kembali lagi, takut dianya gak nyaman, gak nyambung wkwk
Nah, betul, biasanya orang yang berpendidikan tinggi justru lebih senang untuk mendengar. Vibe ini sepertinya sudah jadi hal yang lumrah sampai-sampai ada ungkapan padi makin berisi makin merunduk. Kalau ketemu orang yang kayak gini justru jangan paksa dia untuk menyampaikan sesuatu yang tidak pada momennya. Kebanyakan mereka tidak ada yang suka. Misalnya, lagi momen santai, lalu ditanya persoalan kompleks. Bukannya dia tidak bisa atau tidak mau, kebanyakan orang begini justru karena tahu konteks dan situasi tidak mau menjawabnya. Kitalah yang tak tahu diri malah bertanya di sembarang tempat.
Jadi, kalau saya lebih mengikuti suasana ketika bertemu dengan orang-orang itu. Apakah momennya pas atau tidak? Kalau tidak, jangan dipaksakan. Sebab kita akan terlihat seperti orang yang menyebalkan.
11 notes · View notes
arwasimiya · 2 months ago
Text
"mudah-mudahan sukses, ya" 🥺💖🌻
kemarin siang menunggu antrian ujian di zoom yang ternyata lama sekali, aku batalkan. beranjak menuju mayapada untuk fisioterapi. sebelum hujan turun seperti selasa lalu.
perjalanan dengan gocar sambil membuka buku menyiapkan ujian esok hari. tapi entah, pikiran melayang tak tentu arah demi mengurai ruwetnya yang sudah parah.
sampai mayapada, ambil antrian lalu menunggu panggilan. seperti biasa. hanya seperti biasa. di tengah menanti panggilan, aku turun ke musala basement untuk salat asar. ternyata semudah itu meluangkan waktu. kembali lagi berteman dengan kursi tunggu yang tak biasanya penuh seperti ini.
C109. akhirnya sampai juga di nomorku. yah, tapi betapa kita hanyalah manusia. setelah semua usaha, tetap bukan kita penentunya. padahal sudah berangkat lebih awal, padahal sudah bawa buku karena besok ujian, padahal sudah pesan gocar demi berangkat lebih nyaman. dan padahal-padahal lainnya seolah kita berhak mengungkap semua kemarahan tak merunduk pada iman.
iman ke-6. iman kepada qadha dan qadar.
tidak bisa mendaftar karena bpjs-nya nonaktif. loh? bukannya aku sudah mengurus? umurku bertambah awal bulan lalu bukan awal bulan ini, tapi bulan lalu pun tak bermasalah? aku tau. ini bukan lagi hal yang bisa diusahakan. untuk tetap fisioterapi hari ini.
aku tak mau merasa lebih sia-sia sudah sampai di sini. saat dikatakan tak bisa mendaftar, saat menjelaskan dengan perlahan, air mataku masih tertahan. aku sudah biasa. kuulang dalam hati, aku sudah terbiasa. tak apa, wa.
duduk sebentar di depan taman untuk melepaskan perasaan. kenapa harus kualami lagi? memutuskan segera menuju musala basement tower A untuk menjaga air mata ini turun menghadap Dia.
sampai musala aku hanya entahlah berusaha sebaiknya. mau menangis sedu ternyata tak bisa. seperti sudah mati rasa. sudah biasa. akhirnya membuka buku saja, berusaha memusatkan pikiran padanya.
di depanku ada dua orang ibu selesai slaat dan sedang melipat mukena. salah satunya menengok padaku, tersenyum dan bertanya, "sekolah, ya? kuliah?"
"iyaa, bu" "dokter?" "eh? bukan, bu, hehe" sedikit kaget ya buka buku tulisan arab semua dikira kuliah kedokteran hiks. tapi aku ingin, bu. setelah semua ini aku punya ingin menjadi dokter. atau ya seperti itu lah.
berselang beberapa waktu beliau dan temannya hendak pulang. sambil tersenyum dan lembut menepuk pundakku beliau lewat dan berkata,
"mudah-mudahan sukses, ya" 🥺💖🌻
buuu, cerita seindah apa yang Allah tuliskan untukku? terima kasih sudah mendoakanku. aku melihat nyala seorang ibu pada sorot matamu. yang selalu dan selalu mengharapkan kesuksesan untuk anakmu. yang terus berbangga atas sedikit pencapaiannya meski orang lain tak pernah tau. bu, mulia sekali menjadi seorang ibu.
aku jadi berpikir, bu. kelak saat aku adalah seorang ibu, akan kudoakan semua anak dengan sebaik-baik doaku. bukan hanya anakku. semua anak-anak yang akan menjadi tonggak peradaban kita, bu.
aku merasakannya, bu. kekuatan doa seorang ibu. tak ada yang bisa mengalahkan rasa itu.
semoga Allah berkahi usiamu, bu. yang setengah hidupnya kau baktikan pada keluargamu. semoga Allah tetapkan surga tertinggi untukmu, bu. setelah semua cinta yang kau limpahkan untuk suami dan anak-anakmu.
( 07.38 // Jakarta, 10 November 2024 ) emang ada orang lagi nginep di kosan temen tapi ditinggal tuan rumah nginep di kosan temennya??
————————————————————
ternyata pusing-pusing terakhiran ini, obatnya hanya menulis?!?!
gawat!! menulis sudah benar-benar menjadi kebutuhan seperti makan, yang berakibat pusing jika kita tinggalkan. menangis tak lebih menenangkan daripada menulis.
ah tapi ini baru satu, masih ada bertumpuk cerita.
tulisan ini sempat mangkrak di draft sejak kamis lalu (7/11), jadi penyebutan hari ini, kemarin, yang merujuk pada waktu memang sedikit kacau karena ditulis di hari-hari yang kacau pula isi kepala :)
7 notes · View notes
terusberanjak · 2 years ago
Text
Terlalu banyak berlomba untuk mengalahkan orang lain sehingga sering lupa bahwa diri sendiri saja belum bisa dikalahkan.
Amarah, iri, keras kepala, buruk sangka, apa kabar diri yang tanpa sadar barangkali sering merasa lebih baik dari orang lain? Sudahkah ia mencoba merunduk? Sudahkah ia paham bahwa ia hanya seonggok manusia yang tak bisa apa-apa tanpa Allah? Sudahkah ia tau akhir dari perbuatannya akan bermuara kemana?
Apa yang kamu cari dari dunia yang sementara ini, sayang?
@terusberanjak
163 notes · View notes
kiai-cosmos · 5 months ago
Text
Sebuah Titik Balik
Semakin tinggi pendidikan yang telah ditempuh, dikenal khalayak cendekiawan, berjejer rapi gelar akademiknya, dan seorang professor juga, maka disitulah ia mengalami kontemplasi tentang sejatinya dia bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa.
Seorang rektor UII mencontohkannya tentang bahwa, "semakin berisi semakin merunduk". Kepandaian sejatinya tidak disematkan kepada selain daripada Dia. Oleh karenanya tak mudah bahwa mengategorikan orang sebagai ahlinya ahli sehingga dipanggilnya sebutan prof.
Tumblr media
2 notes · View notes
pukultigapagi · 6 months ago
Text
Tumblr media
Satu jam berlalu dan rasanya masih kayak... hah...
Semacam star stuck syndrome; terperangah, lidah yang kelu, denyut jantung yang bertalu-talu, dan ternyata ini erat kaitannya dengan masa lalu..
Sedikit pengantar, status quo yang menyatakan saya jadi pengangguran selama enam bulan, menjadikan separuh jiwa yang hobinya gedabrukan ini jadi meradang. Saya pikir salah satu faktor risikonya adalah karena kekurangan nutrisi dan zat gizi, yaitu berupa hal-hal yang menyenangkan untuk dilakoni. Karena ya, aktivitas pengangguran ini sangat terbatas dan sepertinya banyak yang nirfaedah /astaghfirullah/
Lantas, salah satu hal yang sangat saya syukuri malam ini diantara kemelut diri sebulan ini((atau hampir 2 bulan?)) adalah keputusan buat ikut kelas pembahasan materi fiqh syafi'i.
Awal mula mendaftar kelas ini hanyalah niatan untuk mengisi hari, sembari me-recall materi-materi yang sepertinya sudah pernah diajarkan oleh gurunda-gurunda kami. Namun, ternyata kenyataannya jauh melebihi ekspektasi.
Sepanjang kelas saya mewek. Nyatet sambil merenung, sambil nostalgia dan sambil mewek lagi. Lantas yaAllah yaAllah yaAllah dan astaghfirullah, sambil menekuri dosa-dosa yang menyelimuti diri.
Kayaknya memang saya udah terlalu jauh sama diin ini; adalah kesimpulan akhir yang harus saya akui dan saya telan dalam hati. Karena, ada perasaan saat durante dan post kelas, saya tiba-tiba ternutrisi. Gelas-gelas yang berdebu nan kosong itu bak tiba-tiba terisi. Tak ubahnya tanaman yang layu, lantas merekah lagi. Seperti menemukan oase di tengah kering kerontangnya sanubari.
Tetapi ini bukan hanya tentang substansi dari kelasnya. Baru pertemuan pertama sebetulnya, bahkan kelasnya belum berisi matan-matan yang hendak dipelajari. Namun ini juga tentang perasaan yang amboi susah sekali saya menyusun kata-kata untuk mendeskripsikannya. Seperti perasaan.. "ah, ternyata ini yang saya cari-cari!" Seperti ada hal-hal yang menelusup dan mengisi relung-relung nurani.
Dan ternyata, setelah saya kurasi dan resapi, perasaan itu namanya rindu.
Ternyata selama ini saya ngga sadar kalau saya itu rindu duduk di majelis ilmu. Rindu buat merunduk tidak tahu dan mengais ilmu dari pepara guru. Selama ini saya terlalu sok sibuk dengan urusan-urusan yang sebenarnya ya ngga tabrakan juga, bisa banget berjalan beriringan, tapi kayaknya saya yang terlalu banyak alesan dan ini itu.
Rindu ternyata ngga cuma terbatas pada manusia, tapi rindu juga adalah tentang perasaan ingin kembali ke setting waktu tertentu, dan dalam konteks keadaan saya ini adalah saya rindu pada salah satu majelis ilmu yang pernah saya singgahi selama enam tahun dulu.
Ya, malam ini judulnya rindu itu namanya Ibnu Abbas.
Sebuah tempat yang saya juga heran tapi kenapa ya, bisa bikin saya jatuh cinta berkali-kali, dan alhamdulillahnya ngga pernah merugi. Sebenarnya malu sih kalau tulisan ini dibaca teman-teman seperjuangan dulu ((pede)), "kok kayaknya hiperbolis sekali?", tetapi ngga papa. Perasaan rindu dan jatuh cinta saya insyaAllah tetap valid wkwkwk.
Kelas malam ini jadi pengantar tidur yang manis sekali. Karena selain membuat terang dan gamblang perasaan tersesat-dan-ditemukan saya, di satu sisi juga membuat saya untuk mengkerdilkan diri lagi. Perihal ilmu Allah sangatlah luas, dan sudah sepantasnya kita sebagai hamba ngga boleh punya perasaan cukup dan puas untuk belajar dan mendalaminya lagi, lagi, dan lagi.
Dan malam ini, saya juga ingin melangitkan doa-doa serta salam takzim saya untuk para asatidz hafizhahumullah, semoga keberkahan dan rahmahNya selalu mengiringi langkah-langkah beliau sekalian.
Terakhir, barangkali ada juga yang hilang dan alpa dari saya saat belajar ilmu-ilmu duniawi. Sehingga dengan bodohnya menjalani hari-hari sebagai penuntut ilmu, namun seperti tidak mendapatkan keberkahan jugaj perasaan 'ternutrisi'. Semoga Allah ampuni kealpaan demi kealpaan kita semua, dan terus menunjukkan dan membimbing kita ke shirat-al-mustaqim. Aamiin
Wallahu-l-musta'aan
3 notes · View notes
coretanly · 6 months ago
Text
Jangan pernah berkata, "Mereka bergelar sementara aku tidak, apalah aku dibandingkan dengan mereka. "
Apalah arti sebuah gelar, jika hanya sekedar menjadikan nama bertambah panjang. Jika hanya sekedar huruf di atas kertas. Jika hanya digunakan sebagai pajangan.
Baik bergelar atau tidak nya tugas kita sebagai manusia tetaplah sama, yaitu beribadah kepada Allah yang Esa, hanya taqwa yang membuatnya berbeda.
Baik bergelar atau tidaknya, tidak membuat rezeki itu kan tertukar. Apa yang sudah menjadi jatahmu hari itu, tak kan pernah menjadi milik orang lain. Jadi buat apa insecure 🧐
Banyak orang-orang besar yang lahir tanpa menyandang gelar. Gelar bukan lah standar kecerdasan. Gelar bukanlah standar ilmu. Gelar bukanlah standar kebermanfaatan. Gelar bukanlah standar kemuliaan. Gelar bukanlah standar kehebatan, melainkan amalan yang membuat seseorang itu hebat.
Banyak yang bergelar malah merugikan negara dan rakyat karena harta dan kedudukan yang salah digunakan. Banyak gelar yang membuat mata silap dan akhirnya menjerumuskan ke dalam lubang dosa yang membuatnya hina. Banyak yang bergelar bersifat melangit, hingga lupa bahwa di langit masih ada langit. Padahal hakikat seorang yang berilmu, semakin beisi semakin merunduk.
2 notes · View notes
aufhanaja · 10 months ago
Text
Dear diri
Di sela sela hidup, kadang termenung " why life is so difficult? " rasanya sudah berusaha berfikiran positif, sudah berjuang sebisa mungkin, tapi kadang hasil masih belum menyesuaikan angan kita. Keluhan demi keluhan terlontar tanpa diminta.
Stop sampai disini ya, keluhan keluhannya. Stop sampai disini bilang cape nya, kita semua merasakan cape dengan kadar masing masing, kadang memang diri ini perlu ditampar lagi, kadang society yang terus menyuarakan kapitalisme dan hedonisme perlu kita bungkam sejadi jadinya. Dengan perlawanan kita yang mungkin sedikit mundur kebelakang.
Dear diri, pelankan langkahmu sedikit.
Larimu mungkin terlalu tergesa
Merunduk yuk, kita lihat teman teman kita dengan tawanya, meski tak tahu besok masih hidup atau engga
Merunduk yuk, kita inget temen temen palestina dengan syukurnya, saat sudah tak lagi ada makanan disimpan mereka keciil sekali keluhannya
Dan saat dijatuhkan gandum dari udara, syukur mereka tak terhingga.
Mereka inget betul, pertolongan Allah itu dekat. Kemenangan pasti nyata.
Kita juga akan gitu kan? Meski belum sehebat mereka, kita juga belajar yakin semua yang sakit ini akan Allah bantu, semua yang berat ini akan ada pahalanya, semua yang cape akan ada keindahan setelah nya. Dan terakhir, makasih ya udah berjuang dan bertahan sejauh ini :) 🦋🤍
Afn~ 🌸
5 notes · View notes
ameliazahara · 1 year ago
Text
Jangan menurunkan standar hanya agar diterima. Menjadi ramah tidak harus sampai merunduk begitu jauh.
Jika telah membayar, biarkan mereka memberi pelayanan-nya sesuai layaknya. Jangan mengambil kemudi atas pekerjaan orang lain, sebab itu tanggungjawabnya. Bagian hak-mu adalah tetap hak-mu. Jangan terlalu cepat marah jika tidak mendapat pelayanan dengan baik. Pemakluman tetap dengan mempertimbangkan diri sendiri.
Be nice, tanpa berlebihan. Jika diajak berterima kasih. Jika ingin mengajak tanpa atau perlu memaksa.
Dirimu sudah cukup baik dengan segala utuh: lebih dan kurangnya. Jangan minder, jangan menyalahkan diri sendiri atas sesuatu yang tidak seharusnya terjadi.
Temukan kedaiaman dan berbahagialah.
15 notes · View notes
makherat · 2 years ago
Text
Tumblr media
Kita hampir singgah di sini.
Dalam petak-petak tanah ini, ada angan yang telah berpulang, ada mimpi yang telah terenggut, dan asa yang telah terpenggal.
Dalam petak-petak tanah ini, dahulunya hampir menjadi lembaran baru. Hampir ia hidup berkat kasih yang telah kita tautkan dalam janji—cinta kita, bersemi selamanya.
Hari ini, aku sengaja datang kemari untuk merayakan rindu yang gelabah dalam fuad.
Kita hampir singgah di sini.
Taman yang hendak kita tanam kesuma nan indah kini berubah menjadi ladang gersang. Rerumputan liar telah tumbuh dan menguasai taman kita, seluruhnya merunduk-runduk. Kupu-kupu biru yang kita idamkan menemani taman nampaknya tak sudi bertandang kemari, namun capung-capung terlihat bahagia mengepakkan sayapnya kesana kemari menyusuri taman ini.
Lalu, bangunan yang tepat berada di tengah petak-petak tanah ini..
Ia nampak terlihat kukuh berdiri, walaupun di antara bata-bata itu telah ditumbuhi tanaman liar. Serdadu semut terlihat jelas tengah berarak-arakan entah pergi kemana. Dan setiap kamarnya, telah dipenuhi oleh debu dan kelam.
Di antara perkamen-perkamen usang yang telah kita ramu dahulu, inilah yang berhasil membuat hatiku kembali melebur-hancur. Ada sesak yang kembali merayap, menjegal leherku, hingga napasku terasa di ujung tanduk. Ada air mata yang siap bermuara pada bucu mataku. Ada rindu yang memuakkan.. tidak, mencumbu tiap-tiap mindaku, mengoyak pilu fuadku. Namun di akhir hari, yang keluar dari bibirku adalah kekehan kecil disertai sebuah lengkungan sabit.
Mustahil, aku menarik semuanya, bukan?
Mustahil, aku melihat bahagia bersamamu, bukan?
Mustahil, bila janji-janji kita hidup kembali, bukan?
Mustahil.. untuk kita singgah di sini, bukan?
Melihatmu yang kini telah menemui bahagia, menemukan senyummu, dan bertemu damaimu. Melihatmu yang kini hidup dalam dunia tanpa aku di sana. Aku semakin yakin, ini memang keputusan yang paling baik.
Sementara, aku sibuk berlomba-lomba dengan sendu. Aku sibuk menjegal pilu yang meraung-raung. Aku sibuk berperang dengan rindu. Setiap malam, kidung tidurku ialah sebuah sumpah: aku ingin hidup dengan hati baru, mengusaikan perang-perang yang telah berlangsung lama, dan menemukan damaiku sendiri.
Sumpahku laiknya angan-angan kita yang menyatu dengan debu waktu. Tidak akan terwujud maupun terkabul. Maka, kutelan bulat-bulat dan mentah-mentah sumpah dan anganku. Kutelan seluruhnya; seluruh rasa, asa dan frasa rinduku kepadamu. Membiarkan aku hidup sendirian dengannya.
Dahulu, kita hampir singgah di sini, bukan?
Aku harap kelak kamu singgah di rumah penuh kasih dan bahagia, ditemani senyuman manis milik ia—pemilik hatimu.
10 notes · View notes
kayuhansepeda · 1 year ago
Text
Have a good summer without me
Hai, Ra di Eropa. Aku kembali lagi di sudut ruang ini, entah sekarang kamu sempat membacanya atau tidak, tapi kenyataan bahwa aku bisa kembali, aku bersyukur sekali. Ini pertanda bahwa, jelas, aku baik-baik saja.
Musim Panas 2018~
“Jadi sekarang sukanya nasi padang?” Satu pesan masuk di saat matahari berada di puncak langit, diiringi rasa lapar yang menggerogoti perut. Aku yang sedang mengaduk-ngaduk kuah tomyam ramen, berhenti sejenak beberapa detik. Maksudnya?
“Dari dulu kali eh..” balasku singkat.
“Oh”
“?”
“??”
Setelah terpaku pada obrolannya, aku kembali melanjutkan makan siangku. Tapi, sebuah foto meluncur di layar.
“…SENDING PHOTO GUDEG…” Tapi, ini lebih enak kan?
“Kemanisan.”
“Ok, aku bakal cari nasi padang juga.”
“Haha.”
Butuh enam tahun untukku si polos ini, entahlah, rasanya seperti bukan itu, atau mungkin lebih tepatnya, bahwa si bodoh ini benar-benar tidak memahami isi dari percakapan tersebut. Nasi Padang? Ternyata yang dimaksud adalah seseorang. Tapi pertanyaannya, sejak kapan aku begitu lambat dalam menyadari hal ini?
***
Musim Panas 2023~
Setelah berlalu waktu yang begitu panjang sejak pertemuan terakhir, kita bertemu lagi di sudut danau tempat biasa bertemu. Perjumpaan ini membawa pulang semua kenangan. Waktu telah mengalir begitu cepat sejak saat itu, dan melihatmu lagi membuatku menyadari betapa berharganya setiap momen yang pernah kita alami.
Dan siapa yang tahu bahwa hari ini akan menjadi kali terakhir kami bertemu.
“Ra, ini untuk kamu.” Setelah berpikir panjang, kupertimbangkan untuk memilih bunga chrysanthemum putih sebagai hadiah terakhir untuknya.
Ra langsung menerimanya,��“engga bisabanget buat datang ya?”
Aku merunduk, mengendapkan kesedihan.
Jadi bagaimana rasanya 10 tahun memendam perasaan pada sahabat sendiri?
Tanganku kuat-kuat kugenggam, berusaha menahan gelombang air mata yang mengancam tumpah dengan deras.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan detak jantung yang tak beraturan. “Sayang sekali ya Ra, masa cutiku habis dan hari Seninnya aku harus menggantikan orang.” Ucapku dengan suara yang gemetar, sambil berusaha menyembunyikan kekecewaanku di balik senyuman.
Ra hanya mengangguk dengan ekspresi hampa. “Are you happy?” tanyanya pelan, seolah ingin melihat lebih dalam ke dalam mataku.
Menurutmu saja Ra, menurutmu saja.. Tolong katakan padaku dan beri tahu dengan jelas, bagaimana rasanya memendam perasaan pada sahabat sendiri?
Aku tak mampu memberikan jawaban yang pasti. Air mata tiba-tiba meluncur turun tanpa bisa kuhentikan, seperti hujan lebat yang tak terbendung. Pada saat itu, Ra tidak tahu bahwa air mata ini bukan tanda kebahagiaan melainkan bingkisan kesedihan yang tak terucapkan.
Ra, ini sudah benar-benar berakhir, di musim panas 2023, di bulan milikku.
Kini sapaan “selamat pagi, siang, malam, bahkan selamat istirahat” itu bukan untukku lagi.
Champagne, summer 2023.
14 notes · View notes
delicatedusk · 1 year ago
Text
Tumblr media
Aku ingat itu adalah hari Sabtu. Kebanyakan orang mungkin tengah bersiap memanaskan kendaraannya untuk perjalanan akhir pekan bersama keluarga. Beberapa mungkin tengah mengirimi pesan untuk yang terkasih tentang kencan nanti malam. Aku menatap langit biru berhias awan tipis serta semburat mentari yang baru saja bangun, seolah menyapa umat manusia pagi itu. Pohon milik tetangga baru saja mekar, bunganya merunduk melewati tembok hingga menjulur ke halaman kantorku. Lebah-lebah kecil beterbangan dari satu kuncup ke kuncup lainnya. Mungkin, pergi bekerja di akhir pekan tak seburuk yang kupikirkan.
September 3, 2022.
5 notes · View notes
yonarida · 1 year ago
Text
Tidak semua hal yang kita tau harus kita ungkapkan. Tidak semua yang kita punya harus kita tunjukkan. Terkadang kita hanya perlu diam. Perlu merunduk. Karna seringkali yang kita perlukan adalah menjawab dengan tepat apa yang dibutuhkan...
6 notes · View notes
choifa · 1 year ago
Text
Choi Han x Leyfa — Homey
Sudah cukup satu kali Leyfa kehilangan tempatnya berpulang, ketika anak-anak rubahnya semua dibunuh sedangkan dia dirundung menjadi kelinci eksperimen. Sudah cukup tempatnya berpulang yang kedua terbabat habis oleh bajingan-bajingan yang membakar gunung dengan tawa sombong penuh kekejian.
Leyfa lelah. Perbaikan mental baginya yang kehilangan rumah untuk kali keduanya memakan waktu lama. Sudah cukup. Dia bahkan sudah tidak tahu lagi— ke mana lagi dia bisa bersinggah?
Bertemu Choi Han membawa nuansa hidup yang baru bagi Leyfa. Mungkin karena senasib, sama-sama kehilangan rumah untuk yang kedua kalinya. Mungkin, sama-sama saling mengasihani karena tidak ada lagi keluarga yang tersisa di antara keduanya.
Mungkin. Mungkin karena itulah keduanya bertahap merasa saling nyaman sampai-sampai di dalam hati, keduanya saling menyebut satu sama lain sebagai rumah keempat untuk bisa mereka singgahi bersama.
"Agak lucu, kalau kuingat lagi." Suatu waktu keduanya menghabiskan waktu bersama dengan bergandeng tangan, menatap langit berjingga bekas matahari yang lewat berganti bulan. Leyfa mengutarakan isi benaknya, terkekeh hampa saat manik heterokromianya yang kosong menatap Choi Han.
"Perihal apa?"
"Waktu pertama kali kita bertemu. Kamu menyeramkan. Wajahmu tegas, terpampang galak. Atmosfer di sekitarmu seperti mengusir seluruh orang, tidak ada yang berani mendekatimu kecuali orang-orang kenalanmu. Saat itu, aku menganggap kamu seperti kekuatanmu itu, yong hitam."
Manik Choi Han memandang Leyfa, ekspresinya kaku, seolah tersandung. "Rupanya begitu impresimu padaku."
Wajah tampan itu merunduk, mulutnya manyun. Terlihat telinga anjing imajinernya menunduk layu, seperti butuh disirami agar mekar kembali.
Leyfa tertawa. Genggaman tangannya yang kecil semakin mengerat kala itu. Kepalanya, yang tidak bisa menyembunyikan telinga rubahnya bersandar pada pundak tegap dan lebar itu, dia menyamankan posisinya di bawah langit yang kini telah bertabur bintang.
"Tentu saja, sekarang berubah."
"..." Choi Han tidak percaya. "Seperti apa?"
"Seperti ... segala sesuatu yang aku lewati, jika itu kulakukan bersamamu, rasanya seperti rumah."
2 notes · View notes