#katahatiproduction
Explore tagged Tumblr posts
Text
Repetisi dalam Puisi: Sama yang Tidak Bersama
(Sebuah ulasan singkat puisi “Dia yang Memunggungimu” karya Khrisna Pabichara)
Puisi Dia yang Memunggungimu ini menyampaikan kepada pembaca suasana hati aku yang hanyut dalam harapan sendiri; bertepuk sebelah tangan. Harapan itu tampak pada awal kalimat pada setiap bait:
Kita berada di pelukan yang sama;
Kita berdiam di rumah yang sama;
Kita tegak di jalan yang sama.
Aku masih berpikir positif bahwa mereka masih berada di pelukan, rumah, dan jalan yang sama. Namun, itu hanya fiktif belaka sebab kesamaan yang dimaksud ternyata berada pada kotak yang berbeda, bahkan terpisah:
Aku memeluk lututku, kamu memeluk bayangnya;
Aku di masa entahmu; kamu di masa lalunya;
Aku memandangi punggungmu, kamu menangisi punggungnya.
Larik selanjutnya masih mengungkapkan situasi yang bertepuk sebelah tangan, untuk menjelaskan larik sebelumnya.
Dalam puisi ini, Khrisna Pabichara melakukan pengulangan kata, bentuk imbuhan, dan bunyi atau yang disebut dengan repetisi. Repetisi dalam puisi ini membantu penulis untuk menyampaikan makna sama yang tidak bersama kepada pembaca. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penulis penggunakan kata sama pada setiap bait dalam kalimat pertama untuk menggambarkan bahwa aku dan kamu sedang melakukan hal yang sama, tetapi… melakukan hal yang sama ternyata tidak selalu bersama.
Kita berada di pelukan yang sama. Aku memeluk lututku, kamu memeluk bayangnya. Kamu akan tenang meninggalkanku, aku pasti senang menunggalkanmu.
Pada bait ini terdapat pengulangan kata memeluk; pengulangan bunyi pada tenang dan senang; pengulangan bunyi dan bentuk imbuhan pada meninggalkan dan menunggalkan. Karena itu, untuk menyampaikan makna bertolak belakang, penulis juga menggunakan repetisi dan memilih diksi yang memiliki kemiripan bunyi untuk memunculkan keindahan.
Repetisi dan kemiripan bunyi tersebut juga terdapat pada bait kedua dan ketiga.
Kita berdiam di rumah yang sama. Aku di masa entahmu, kamu di masa lalunya. Kamu berbahagia dengan melupakanku, aku berbahagia dengan mengingatmu.
Kita tegak di jalan yang sama. Aku memandangi punggungmu, kamu menangisi punggungnya. Kamu mengandalkannya, aku mengandaikanmu.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa penulis pun melakukan repetisi pola setiap baitnya. Repetisi inilah yang membuat makna puisi dapat disampaikan dengan tepat sebab dalam repetisi terdapat penekanan yang diciptakan oleh penulis.
puisi: Dia yang Memunggungimu-Khrisna Pabichara (https://www.kompasiana.com/1bichara/57866427f0927366089b5f32/dia-yang-memunggungimu)
6 notes
·
View notes
Photo
Tak terasa sudah tantangan ke tujuh. Tantangan kali ini cukup membuat orang awam puisi seperti saya memutar otak untuk menemukan resensi yang tepat. Kak @amelwidyaa kalau resensinya salah, berarti saya khilaf. Ehehe Di dalam puisi "Dia yang Memunggungimu" karya Kak @khrisnapabichara ini menggunakan bahasa yang sangat ringan, sehingga sangat mudah dipahami oleh pemula. ·Dalam puisi ini penulis menceritakan hati yang sama dan keadaan yang berbeda dari ke dua belah pihak. Mencintai seseorang yang bertepuk sebelah tangan. Sedang, orang yang dicintai juga mencintai seseorang dan bertepuk sebelah tangan. ·Keadaan yang biasa terjadi pada orang-orang yang mencinta, selalu ingin mengenang orang-orang yang dicintainya. Bahkan sering kali dia tidak merasa bahwa disekitarnya ada banyak orang yang sangat mencintainya. ·Orang-orang yang mencintai biasanya memiliki ego yang tinggi. Terkadang melupakan akal sehatnya untuk berfikir logis, apa adanya, dan bersyukur dengan keadaan. Kesimpulannya, jangan terlalu berharap dan berlebihan dalam mencintai seseorang. #katahatichallege #katahatiproduction https://www.instagram.com/p/BtZ6TSYgYq-/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=sblxlnh0umg1
3 notes
·
View notes
Photo
Mengenai Puisi "Ekor Matanya Sebatang Pensil Warna" karya kak @amelwidyaa Dari segi bahasa memeng terdengar sangat prontal, akibat amarah dan kekesalan yang diungkapkan penukis. Penulis berkisah tentang seorang lelaki yabg tidak perduli kepada sesiapapun bahkan pada istrinya sendiri. Saat banyak rakyat yang mengaduh dan berkeluh kesah pada pemerintah, hingga ia hampir mendobrak bangku pemerintah. Lalu mencaci maki, hingga berusaha untuk menurunkan tahta. Lelaki itu takpeduli, hanya peduli pada kepuasaan nafsunya. Ketika dolar melambung tinggi dan rakyat hendak mengadu pada pemerintah, ia tetap diam. Ia hanya menikmati hidupnya pada kenikmatan nafsu sesaat. Dan bahkan ia takpeduli akan kesakitan yang dihadapi wanitnya. Bukan hanya itu, penulis juga merasa sangat jengah ketika merasakan sang istri bahkan tidak mendapatkan apapun dari sang lelaki. Walau hanya sepeser rupiah, sedang ia hanya mampu meluapkan amarah dan emosi. Kemudian melarikan diri. Hingga berpaling kepada wanita-wanita lain. Ketika banyak masalah yang terjadi di meja pemerintah, ia justru tertidur pulas. Takmau tahu pada keadaan, dan takingin tahu dengan semua yang terjadi. Yang saya tangkap dari puisi di atas adalah bentuk kritik sosial dalam sudut pandang penulis. Mungkin hanya itu yang saya fahami dari puisi di atas, selebihnya hanya penulis yang bisa menerjemahkan maksud yang sesungguhnya. #katahatiproduction #katahatichallenge @_katahatikita @amelwidyaa https://www.instagram.com/p/BtZ-pS8FdeT/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=dktwjgvyf02
1 note
·
View note
Photo
Manusia Plastik Dari semua jenis limbah yang dihasilkan, mungkin kantong plastiklah yang bisa dijadikan simbol atas masyarakat kita yang terbuang. Mereka digunakan, kemudian dilupakan. Kepala-kapala mereka basah oleh banyak aturan. Konon, demi kemakmuran mereka juga.Tetapi sayang, aturan-aturan itu mencekik diri sendiri hingga nyaris mati. Harapan atas persamaan hak sebagai makhluk Tuhan menjadi satu-satunya kunci bagi mereka untuk membuka pintu masa depan yang lebih baik. Tetapi, kunci itupun dirampas dari genggaman mereka. Limbah pelastik itu bernasib baik, sebab bertemu tangan-tangan dingin yang mengolah mereka menjadi karya seni. Sementara manusia nyaris gagal mendaur ulang pikiran mereka. Separuh dari kita bahkan berlalu, meninggalkan warisan yang mengerikan. #fragment #katahati #katahatiproduction #katahatichallengge #writingchallenge #writingproject #travelersnotebook #travelers #writing #instawriting #instawriters #instagram (at Indonesia) https://www.instagram.com/p/BtUhsP5FsPP/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=118eb5ygnhy0i
#fragment#katahati#katahatiproduction#katahatichallengge#writingchallenge#writingproject#travelersnotebook#travelers#writing#instawriting#instawriters#instagram
0 notes
Text
My Unpopular Opinion
“Eh, buat apa sih sekolah tinggi tinggi, toh prempuan ujung-ujungnya juga di dapur”
“Nggak usahlah, ketinggian kalau sekolah, yang ada cowok pada minder, trus susah dapet jodoh”
Masih sering saya mendengar kalimat seperti itu dalam lingkungan pergaulan saya, baik di rumah ataupun di lingkungan kuliah. Ternyata, di era revolusi industri 4.0 –yang notabene sudah zamannya internet of things, masih banyak yang setuju dengan anggapan abad lampau tersebut. Perjuangan R.A. Kartini artinya belum selesai jika anggapan ini masih ada, yang notabene di era sekarang perempuan tidak dihalang-halangi untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya, namun hanya karena percaya pada anggapan tersebut justru menjadi penghalang untuk menuntut ilmu.
Saya mempunyai unpopular opinion tentang kalimat yang menjadi kalimat pembuka dalam tulisan ini. Bahwa menurut saya, tidak masalah wanita menuntut ilmu setinggi mungkin, karena ilmu tidak akan pernah sia-sia. Ilmu akan berguna dalam hidup yang penuh ketidakpastian. I’ll drop this picture here.
Saya sangat setuju dengan Henry Manampiring dalam bukunya The Alpha Girl’s Guide, bahwa anggapan itu terlalu “Princess Mentality”¸ seolah menganggap bahwa setelah menikah yakin akan mendapatkan “dapur” dan terus menerus memiliki “dapur” dengan “dapur” yang “ngebul”. Hanya kisah di negeri dongeng they lived happily ever after, seolah-olah setelah menikah semua masalah hidup selesai. Jadi di sinilah ilmu sebagai bekal untuk mandiri dalam situasi apapun.
Untuk kalimat “nanti nggak ada cowok yang mau kalo sekolah ketinggian”, it means that we don’t deserve someone who has low self-esteem. Keuntungan bagi kita untuk memiliki seleksi alam. Sebuah unpopular opinion yang lain dari saya adalah, jangan menurunkan kualitas diri kita hanya untuk mendapatkan pasangan.
So, I think that’s all about my unpopular opinion.
1 note
·
View note
Photo
Perjalanan. . Kau tahu apa yang menyenangkan dari instagram saat ini, Tuan? Bagaimana aku dapat bercengkrama jauh dengan beberapa orang yang tak ku kenal dan temui. Hanya bertegur sapa lewat cerita dan puisi atau sekadar obrolan kecil di malam hari. . Iya, semua berkat @_katahatikita yang kembali mengisi padatnya hari. Sebuah tantangan dari merka coba ku ikuti untuk pertama kali. Meski sebelumnya, aku mencoba memainkan jemariku demi menuntaskan tantangan @30haribercerita hari demi hari. . Kalau bukan karena si Maria, @vmwidjaja yang tiba-tiba mengirimkan tautan dari Kata Hati, mungkin tak banyak teman ku dapati lagi dari ranah gurat-menggurat. Ah, bukan itu saja. Di'sukai' seorang penulis terkenal saja, pipiku sudah merah dibuatnya. Apalagi jika aku terus menulis, ya? Hmm... . Sebenarnya, aku mencoba menulis masihlah untuk menentramkan hati sendiri. Meski yang benar-benar ingin ku tulis hanya mampir dalam hitungan tiga hari sekali, tetap saja jemariku menerjemahkan otak dan hati ini setiap hari. Apa lagi kalau bukan soal pekerjaan. Ya setidaknya, jemari ini tetap gemulai menari. . Ah, banyak sekali perjumpaan tetapi tibalah perpisahan. Tujuh tantangan sudah, biar nanti silaturahmi-nya yang kan tetap merekah. Mari simpan nomor ponsel mereka agar pertemanan ini tidak ada yang berubah. . Terima kasih Kata Hati. Setidaknya, hati ini dapat kembali mengucapkan kata-kata pamungkasnya. Aku sayang padamu. . #katahati #katahatichallenge #katahatiproduction #writingchallenge #menulis #sastra #kata #friendship #pertemanan
#katahatiproduction#sastra#kata#katahati#menulis#friendship#katahatichallenge#pertemanan#writingchallenge
0 notes
Text
Kembalilah: Rumah Telah Sepi
Kota menjadi dingin sejak perapian padam Kehangatan hilang dari pintu yang jejakku tertinggal di sana Ibu berdoa; ayah berkata Pergilah segera!
Setelah tersesat dalam denah ketakutanku sendiri dan legam perjalananku menangkis tangis dalam diri aku berjanji pada mereka untuk memulai jalan kembali
Doa telah panjang di tengah putus asa yang tak putus-putus banyak pundi yang kumakan sebagai bekal perjalanan Namun, aku telah berjanji
Tak lagi menampung rinai aku mengurung dalam persegi sempit dan memohon di sana Masih jauhkah jarak menuju rumah?
Ibu berdoa; ayah berkata Kemarilah segera!
Malang, 27 Januari 2019
5 notes
·
View notes
Text
Tentang Dia dan Kenangan yang Tak Pernah Pindah
Kupotret setiap sudut kota lantas kutanyakan sendiri, masihkah ia ingat?
Di sini ada jejak kakinya yang berjalan di depanku sesekali bersisian Punggungnya adalah sampai jumpa yang selalu kuiringi saat ia pergi
Di sini ada suaranya yang selalu bercerita sesekali aku tertawa rencana-rencananya adalah selamat datang yang selalu kuaminkan
Di wajahnya aku selalu mendengar irama lagu yang ternyata menyenandung dari dalam pikiranku sendiri …semua itu karena dia.
Sekarang tempat ini telah banyak berubah namun gaung kenangan takkan pernah pindah
Malang, 24 Januari 2019
***
Puisi ini ditulis saat mendengarkan lagu Dia– Anji untuk #Tantangan3 @_katahatikita
4 notes
·
View notes
Text
PRASANGKA DI BALIK RUU PERMUSIKAN
Belakangan ini industri musik di Indonesia sedang hangat membicarakan naskah akademik RUU Permusikan yang sudah tersebar di internet. Hal ini disebabkan banyak pasal dari RUU Permusikan ini dinilai tidak menguntungkan bagi beberapa musisi yang merupakan pelaku utama dari RUU ini. Adapun pasal yang bermasalah berdasarkan petisi Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan tersebut ada 19 yaitu pasal 4, 5, 7, 10, 11, 12, 13, 15, 18, 19, 20, 21, 31, 32, 33, 42, 49, 50, 51 (Wartakotalive, 2019). Pasal-pasal ini bermasalah karena membatasi kreativitas seorang musisi dan juga mendiskriminasi para musisi yang tidak mampu mendapatkan sertifikasi musik. Padahal sertifikasi musik ini seharusnya bersifat ‘optional’ dan dikhususkan bagi musisi yang ingin berkecimpung di dunia permusikan luar negeri.
Anggota komisi X DPR RI yang juga merupakan seorang musisi, Anang Hermansyah adalah salah satu orang yang mengusulkan agar RUU Permusikan ini dibentuk walaupun Anang sendiri tidak termasuk dalam perumusan draf RUU tersebut. Pada kesempatan wawancara dengan detikcom, ia berkomentar bahwa RUU ini masih perlu diperbaiki dan dirunding lagi. Alasannya di balik pengusulan RUU ini adalah untuk melindungi hak-hak musisi serta menghadapi era digitalisasi dalam dunia permusikan. Tentunya, RUU Permusikan ini dihadapi dengan pandangan yang pro dan kontra terhadap isi daripada RUU ini.
Alasan musisi menolak RUU permusikan ini adalah karena adanya pasal-pasal yang tidak sesuai dengan permusikan Indonesia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Kesalahannya adalah mengapa sampai keluar penolakan RUU? Mengapa tidak “perevisian RUU”? Anang Hermansyah sendiri menjelaskan niat baiknya bahwa RUU akan menaikkan permusikan Indonesia dan mensejajarkan musisi sebagai layaknya profesi. Ini juga akan membantu musisi mendapatkan penghasilan dari kemusisiannya secara layak.
Di Inggris, Korea Selatan, dan Amerika Serikat RUU permusikan melindungi karya musisi di sana. Misalnya, UU permusikan di Amerika Serikat mengubah Bagian 115 Undang-Undang Hak Cipta AS dan mempercepat hukum hak cipta di era streaming. Sementara itu, karya musisi Inggris diproteksi oleh UU dengan adanya rolayti terhadap lagu-lagu mereka. UU ini memperluas hak cipta pada rekaman musik atau lagu yang awalnya hanya berlaku selama 50 tahun menjadi 70 tahun. Korea Selatan memiliki Korea Music Copyright Association atau KOMCA, yaitu organisasi manajemen kolektif hak cipta nirlaba Korea Selatan untuk karya-karya musik. Oragnisasu ini berfungsi sebagai pengelola kinerja publik dan hak siar, dan hak rekaman mekanik dan reproduksi (kumparan.com).
Berkaca pada negara lain seharusnya musisi Indonesia mendukung penuh pengajuan RUU permusikan ini. Hanya saja, perlu ada revisi dan penghapusan pasal-pasal yang akan membungkam kreativitas musisi. Jika musisi Indoesia yang sudah ternama mempermasalahkan uji kompetensi untuk musisi, Anang Hermansyah sudah menjelaskan bahwa musisi yang sudah diakui namanya secara nasional tidak perlu melewati uji kompetensi ini. Uji kompetensi diperutukkan bagi musisi baru sehingga lulusnya musisi tersebut dalam uji kompetensinya, maka penghargaan terhadap karyanya akan semakin tinggi.
Sumber:
http://wartakota.tribunnews.com/2019/02/06/ini-daftar-lengkap-19-pasal-bermasalah-di-ruu-permusikan-sudah-dicatat-professor-musik-amerika
https://www.youtube.com/watch?v=f7g78w8l02M
https://kumparan.com/@kumparanhits/melihat-uu-permusikan-di-amerika-korea-dan-inggris-1549530344543007094
Disusun oleh: Amelia Lita Dewi Syafrina Febriani
2 notes
·
View notes
Text
Aku Adalah...
Aku adalah perenang ulung. Aku bisa berlama-lama menyelam hingga ke dasar untuk menyapa hewan laut. Mereka senang kepadaku—mungkin karena mereka tidak tahu siapa aku. Saking seringnya aku bertemu dengan mereka, kami bisa seperti teman dekat. Terkadang aku mengikuti ke mana ikan-ikan pergi.
Sialnya, karena terlalu asyik menyelam, aku tidak bisa naik ke permukaan. Aku terjebak di lautan! Aku bahkan tidak tahu pagi telah berganti malam. Bagaimana ini? Apa aku masih bisa bertahan? Aku jadi rindu daratan. Aku teringat teman-temanku yang suka berjemur di tepi pantai. Sering aku mengajak mereka menyelam, mereka tidak mau. Mungkin mereka tidak ingin tubuh mereka basah. Sekarang, aku kena getahnya. Aku tidak bisa kembali ke darat. Namun, akhirnya aku menikmati perjalanan ini. Berpetualang adalah kunci.
Saat aku bermain dengan ikan-ikan kecil, seekor ikan bertubuh sangat besar mendekat. Aku cemas bukan main. Apa aku beraroma seperti makanannya? Aku pun berenang secepat kubisa, tetapi ikan itu terus mengejarku. Aku kelelahan. Aku tidak ingin perjalananku berhenti di sini. Ingin aku teriak, “Aku bukan makananmu!” Namun, aku terlalu fokus untuk berenang hingga tidak bisa melakukan apa-apa selain itu. Sekejap kemudian aku mengalami hal aneh. Aku merasakan tubuhku tidak lagi bisa berenang bebas. Aku merasa pengap dan gelap. Kini aku dan ikan bertubuh besar itu menjadi satu. Aku terjebak dalam tubuhnya. Aku menangis. Ia tidak tahu, aku plastik yang bisa membuat mereka mati.
2 notes
·
View notes
Text
Tentang Uda dan Uni: Masih Adakah?
Di rantau, aku acapkali mendapat pertanyaan, “Panggilan untuk laki-laki dan perempuan di Minang apa, Mbak?”
Aku selalu menjawab, “Uda untuk laki-laki yang lebih tua dan uni untuk perempuan yang lebih tua.” Mereka mengangguk-angguk lantas memanggilku dengan sebutan uni sekalipun aku lebih muda dari mereka. Di Minangkabau, panggilan uda/uni benar-benar diperuntukkan bagi orang yang lebih tua. Berbeda dengan fenomena di Jawa yang sempat kuamati bahwa seorang guru bahkan menyematkan mas/mbak sebelum nama siswanya. Ini menarik. Oh, namun bukan itu yang ingin kubicarakan. Aku ingin membahas, “Benarkah panggilan uda/uni masih digunakan di Minangkabau?”
Jika ingin tahu jawabannya, marilah kujelaskan sedikit.
Bagaimana sebenarnya panggilan di Minangkabau untuk kakak laki-laki dan perempuan? Dalam bahasa Minangkabau, kakak laki-laki dipanggil uda dan kakak perempuan dipanggil uni. Namun nyatanya, memang sudah jarang sekali panggilan Uda dan Uni digunakan secara refleks oleh anak-anak zaman sekarang (kalau zaman orang tua sepertinya sudah terbiasa menggunakan uda dan uni).
Nah, jika Tuan dan Puan hendak ke ranah Minang, Tuan dan Puan akan mendapati anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa memanggil pemuda yang lebih tua darinya dengan panggilan kakak (untuk perempuan) dan abang (untuk laki-laki). Tidak salah memang, panggilan ini diterima pula di masyarakat sebab abang berasal dari bahasa Melayu. Sementara itu, bahasa Minangkabau dikatakan masih berkerabat dengan bahasa Melayu. Hanya saja, penyebutan uda/uni semakin langka dan jika diterapkan seperti layaknya menggunakan abang/kakak jadi terasa aneh untuk situasi biasa.
Fenomena ini juga terjadi padaku. Jika bertemu dengan kakak tingkat, aku refleks memanggil abang/kakak. Jika berkenalan dengan orang pun dan mengetahui ia lebih tua, aku juga refleks memanggilnya abang/kakak, tidak pernah uda/uni. Namun, bukan berarti uda/uni tidak digunakan sama sekali. Berikut empat situasi orang menggunakan panggilan uda/uni sekarang ini.
1. Situasi pertama: Menggunakan panggilan Uda/Uni untuk orang yang benar-benar tidak dikenal, biasanya para pekerja/penawar jasa, misalnya pada sopir angkot dan pedagang.
Contohnya, saat penumpang ingin turun dan meminta angkot berhenti, kalimat yang muncul adalah, “Kiri, Da.” (Da adalah penyingkatan bunyi dari uda) Jarang sekali terdengar “Kiri, Bang.”
Atau saat jual-beli, “Bara ko ciek, Ni?” (Ini (harganya) berapa, Kak?)
Kami refleks—atau lebih sering—menggunakan panggilan uda/uni dalam situasi ini. Namun kembali lagi, mengapa tidak bisa refleks pada orang yang kita kenal (yang bukan anggota keluarga)?
2. Situasi kedua: Menggunakan uda/uni bukan sebagai panggilan, tetapi sebagai gelar dalam ajang pemilihan pemuda/i berprestasi yang kemudian dinobatkan sebagai duta wisata di Sumatra Barat. Sama halnya dengan Kakang Mbakyu di Jawa Timur.
3. Situasi ketiga: Menggunakan panggilan uda/uni untuk kakak laki-laki/kakak perempuan di dalam keluarga (jika sudah dibiasakan dari kecil). Tidak semua keluarga Minangkabau yang memberlakukan panggilan uda/uni untuk saudara yang lebih tua di rumahnya. Ini terjadi dengan alasan tertentu dari keluarga masing-masing. Jadi, jika ada seorang adik memanggil kakak laki-laki dengan panggilan uda atau kakak perempuan dengan panggilan uni itu karena memang sudah dibiasakan, bukan karena kesadaran dengan panggilan dalam bahasa Minangkabau. Mengapa bukan karena kesadaran? Sebab di luar rumah, misalnya saat bertemu dengan tetangga, laki-laki, lebih tua darinya, anak itu memanggilnya abang, bukan uda. Ini fenomena yang sering terjadi karena mayoritas orang di lingkungannya menggunakan panggilan abang/kakak sehingga muncullah stereotip (terutama bagi saya) bahwa uda/uni digunakan hanya untuk panggilan keluarga inti, bukan untuk orang yang baru sana dikenal.
4. Situasi keempat: Menggunakan panggilan uda/uni untuk orang dekat/spesial.
Pertama, untuk panggilan uda. Ini tidak mutlak terjadi, tetapi saya mendapati ini saat mendengar ibu saya memanggil ayah dengan panggilan uda. Jadi, saya berasumsi bahwa uda digunakan untuk panggilan kesayangan. Maka, saking sempitnya makna uda yang lahir dari situasi ini, saat ada perempuan muda yang belum menikah memanggil uda kepada seorang lelaki di depan teman-temannya, siap-siap disahuti “ciee…”. Aku rasa, stereotip yang muncul di situasi keempat inilah yang membuat orang-orang enggan menggunakan uda untuk memanggil orang yang sudah ia kenal dalam pertemanan sebab uda sudah mengalami menyempitan makna dari makna aslinya.
Kedua, untuk panggilan uni. Saya pribadi menggunakan panggilan uni untuk teman dekat perempuan yang sudah saya anggap seperti kakak sendiri atau teman-teman yang memperlakukanku sebagai adik. Biasanya panggilan ini muncul saat bercanda. Oleh karena itu, panggilan uni dalam situasi ini tidak permanen sebab pada kenyataannya saat kami bertemu secara langsung, saya tetap memanggil namanya karena kami sebaya.
Empat situasi di atas bukan sebuah peraturan ya. Itu hanya gambaran fenomena di ranah Minang yang kuamati saat ini yang juga terjadi pada diriku sendiri. Aku sendiri tidak pernah bisa memanggil uni kepada seorang perempuan yang lebih tua–kecuali kakak kandungku–karena sudah terbiasa menggunakan kata kakak. Apalagi jika berkenalan dengan laki-laki yang lebih tua. Aku tidak memanggilnya uda karena maknanya yang sudah menyempit tadi. Namun, jangan khawatir untuk pelancong yang datang ke ranah Minang, kami sangat senang jika dipanggil uda/uni.
Lalu, jika teman di rantau bertanya, “Jadi kamu mau dipanggil uni atau kakak?”
Aku akan jawab, “Panggil aku uni karena aku tidak pernah dipanggil uni selama ini.”
“Tidak pernah dipanggil uni sekalipun? Bahkan oleh adik kandungmu sendiri?” mungkin temanku bertanya seperti itu.
“Aku tidak punya adik.” ‘Kan kujawab seperti itu.
***
Malang, 23 Januari 2019
2 notes
·
View notes
Text
Tentang Mata Angin
Kota di luar Sumatra yang menjadi tempat tinggalku 3,5 tahun belakangan ini adalah Malang. Kejanggalan yang kudapati di sini yang acapkali membuatku bingung adalah saat orang-orang di sini menggunakan mata angin untuk menentukan arah. Bagi orang Sumatra, ini sangat mengherankan, “Kok bisa orang Jawa membaca arah mata angin?”. Sama bingungnya dengan teman-teman Jawa-ku yang bertanya, “Kok kamu tidak bisa baca mata angin?”
Pertama kali aku menyadari bahwa masyarakat di sini menggunakan mata angin adalah saat temanku—aku ingat waktu itu adalah Mas Hasan—menjelaskan letak gedung fakultas.
Aku: “Gedung H itu di mana ya?” Mas Hasan: “Di utaranya gedung pascasarjana.” Aku: *melongo*
Di kejadian lain via pesan WA—bersama Liana…
Aku: “Kamu di mana?” Liana: “Aku di timurnya tangga setelah gerbang ya.” Aku: *Nangeeesss* Timur itu di manaaa? Jangan pakai mata angiiin Liana: hahahahah
Di grup WA kosan…
Teman1: “Rek, ada yang punya obat maag nggak?” Teman2: “Aku punya, tapi aku lagi nggak di kos. Cuma ada temanku di kamar. Ambil aja, obat maagnya ada di timurnya TV.” Aku (dalam hati): *Astagaaaah, menjelaskan posisi benda pun pakai mata angin?* *Nangeess darah*
Pernah kujelaskan kepada Mas Hasan bahwa kami, orang Sumatra, tidak terbiasa baca mata angin. Lalu ia bertanya, “Lalu di sana kalian gimana untuk menjelaskan arah?”.
“Biasanya yang paling umum, kanan-kiri, depan-belakang, atas-bawah. Misalnya aku tunggu di gedung A ya. Kiri jalan.”
“Lha? Kan ribet, Dew. Arah kiri dan kanan dan relatif, tergantung dari arah mana orang itu datang.” Temanku protes.
“Hehehe.. iya juga sih. Tapi kami tidak pernah kerepotan menjelaskannya karena tinggal bilang aku tunggu di gedung A. Kiri jalan kalau kamu dari arah pasar. Hehehehe…”
Tapi selama 3,5 tahun aku di sini aku rasa menjelaskan arah dengan mata angin itu memang tepat dan akurat karena memang kanan-kiri, muka-belakang, itu relatif penentuan arahnya. Kebermanfaatan ini aku sadari saat berkomunikasi dengan mas-mas gojek. Awalnya memang kagok karena takut salah dan takut mas gojek tambah tersesat.
Gojek: “Mba, nanti ditunggunya di sebelah mananya perpustakaan?” Aku: “Hm… Barat, Mas…. Eh, timur, mas, timur.”
Aku sebenarnya tidak yakin posisiku di mana. Jadi, aku mengetes saja. Jika mas gojeknya datang di tempatku berdiri, berarti benar aku sedang di timur.
Nah, pada suatu sore yang membanggakan di Alun-Alun Malang, aku sudah bisa menentukan arah mata angin. Kuncinya adalah masjid. Temanku—Mas Campin—pernah menjelaskan bahwa setiap alun-alun di daerah mana pun pasti ada masjid rayanya dan masjid itu selalu berada di baratnya alun-alun. Aku sangat ingat dan menyimpan informasi itu.
Nah, jika aku tidak berada di alun-alun, maka untuk membaca mata angin kuncinya adalah aku harus berada di sekitar masjid, terutama masjid yang pernah kumasuki sehingga aku tahu arah kiblatnya, seperti di dekat kos dan kampus. Mengapa begitu? Sebab, kiblat mengarah ke barat. Cukup tahu satu arah mata angin, maka aman semuanya.
Maka saat di Alun-Alun Malang…
Gojek: “Mba, posisi Mba di alun-alun di mananya?” Aku: “Di timurnya alun-alun, Mas.” *Eaaak bangga kali* Gojek: “Hm.. Mba, bisa jalan ke selatan sedikit nggak? Soalnya ini jalan satu arah, saya nggak bisa muter.” Aku: “Oh, oke…saya ke selatan ya..” *Gilaak kereen*
Coba bayangkan jika aku tidak menggunakan mata angin….
Gojek: “Mba, posisi Mba di alun-alun di mananya?” Aku: “Di… di kanannya alun-alun, Mas.” Gojek: “Kanan? Alun-Alun kan tanah lapang berbentuk persegi, Mba, dan tidak ada depan-belakangnya. Tau kanan kirinya dari manaaaa?” *stres*
Bagaimana? Memang praktis ya. Hanya saja aku masih kebingungan menentukan arah jika berada di tempat yang tidak kukenali, apalagi yang tidak ada masjid di sekitarnya. Suatu hari nanti cara-menjelaskan-arah-dengan-mata-angin adalah salah satu yang aku rindukan jika sudah pulang ke Padang kembali. Atau, mungkin sebaiknya orang Sumatra juga belajar menggunakan mata angin? Usulku begitu. Hehe.
1 note
·
View note
Text
Tentang Seseorang yang (Merasa) Lelah Belajar
Di Malang, pada 25 Oktober 2018…
Malang saat itu panas terik. Aku membayangkan jika duduk manis di kamar sambil makan es krim pasti sangat menyenangkan. Malang kadang begitu. Saat panas, betul-betul panas. Saat dingin, betul-betul dingin.
Aku terus menyusuri trotoar setelah keluar melewati gerbang kampus. Di tengah keluhanku tentang teriknya Malang siang itu, aku melihat seorang bapak duduk bersila di trotoar. Di depannya tampak dua tumpuk keset kaki. Tumpukan keset itu dialasi karung goni yang disambungkan dengan tali. Di dekatnya juga ada kayu untuk pemikul beban. Sepertinya itu dagangannya. Pikirku.
Aku berjalan dan semakin dekat dengan posisi bapak itu. Kulitnya telah legam mengkilat. Tua dan raut letihnya padu. Ya ampun… duduk di bawah terik matahari seperti ini.
Aku berhenti tepat di depannya dan langsung jongkok, “Ini berapa, Pak?” tanyaku menunjuk keset yang dibuat dari jalinan kain.
Ia tersenyum melihatku mendekati dagangannya. “Ini lima ribu,” jawab beliau. Lima ribu? Murah sekali. Kulihat lagi tumpukan keset yang masih banyak itu. Sungguh berat jika harus membawa dagangan ini yang dipikulkan bahunya.
“Kalau yang ini sepuluh ribu,” tunjuknya pada keset kaki dari untaian benang dan sepertinya lebih tebal.
“Oh.. ini buat sendiri, Pak?” tanyaku.
“Ndak, ini orang lain yang bikin,” jawabnya. Duh, menatap raut wajah letihnya aku tidak sampai hati.
“Oh, bapak menjualkan saja ya, Pak?” tanyaku basa-basi. Itu tentu pertanyaan yang tidak perlu dijawab.
“Iya.. Sampean dari dalam ya?” tanyanya sambil menunjuk ke arah kampus. Mungkin beliau bertanya apakah aku dari kampus?
“Iya, Pak,” jawabku.
Kemudian beliau berkata, “Sekolah itu kuuesel yo, tapi lek kerjo ngene yo kuuesel… (Sekolah itu capek ya, tapi kerja seperti ini ya juga capek).
“Hehe.. iya, Pak.. Sama-sama capek. Seperti tidak ada yang enak ya, Pak,” kataku sambil tertawa miris. Miris pada diriku sendiri yang tidak bersyukur. Kubilang begitu sambil mengambil keset kaki yang ada di depanku. “Saya beli dua ya, Pak.” Aku mengambil dua keset kaki yang seharga lima ribu tadi dan menyerahkan uang sepuluh ribu.
“Makasih ya…”
“Iya, Pak. Semoga larisnya ya, Pak.” Aku berdiri dan meninggalkan beliau yang masih setia duduk di bawah matahari.
Kejadian seperti ini membuatku menerawang. Begitu tidak bersyukurnya aku. Belakangan ini aku mengeluh lelah mengerjakan tugas kuliah. Lelah memahami artikel yang harus dibaca. Lelah menyelesaikan proposal penelitian. Jika saja di sini aku ibuku, pasti beliau sudah sibuk menceramahiku, “Lihat itu! Betapa susahnya mencari uang, berpanas-panasan di bawah matahari. Berlelah-lelah menjajakan dagangan, berat, tetapi harganya malah sangat murah. Kamu, tinggal kuliah saja tanpa memikirkan hal lain, masih malas?” Aku sudah sangat hafal petuah itu dan selalu aku ucapkan berkali-kali pada diriku sendiri.
Kemudian aku menyeberang jalan karena aku ingin membeli sesuatu. Ketika akan kembali ke kampus, aku mengarahkan pandangan ke tempat aku membeli keset tadi. Si bapak sudah tidak ada. Apa sudah pergi menjajakan dagangannya di tempat lain?
NB: beberapa minggu setelah itu, di linimasa facebook seseorang yang tidak kukenal membagikan kiriman tentang seorang bapak penjual keset kaki. Aku terenyuh. Itu bapak yang kulihat di depan kampus beberapa waktu lalu. Dalam kiriman itu ia mengimbau untuk membeli dagangan bapak tersebut. Berikut tautannya: https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=726828721018419&id=100010738925075
1 note
·
View note
Photo
Kesepian adalah rumah sunyi yang indah Pintunya selalu tertutup dari kedatangan Dan jendelanya selalu buram dari cahaya rindu Tetapi dinding-dindingnya tersusun dari batu harapan Rumah itu tak pernah kosong Selalu ada seorang kekasih yang menghuninya; Kekasih yang sedang meniti pada garis waktu yang paling rapuh Dan setiap langkahnya selalu tiba pada kebenaran yang berkabut Sekali waktu, Ia ingin meninggalkan rumah sunyi yang indah itu Berlari menuju impian-impiannya sendiri Tetapi ia tahu Bahwa ia adalah bayangan kelembutan dari kekasihnya yang pergi Sementara setiap kekasih yang pergi Hanya untuk kembali Kesepian adalah rumah sunyi yang indah Tempat rindu menuju Dari perjalanan panjang; Tempat menyimpan segala ingatan agar tak tergerus waktu Makassar, 28 Januari 2019 02.08 AM #fragment #katahati #katahatiproduction #katahatichallengge #writingproject #writingchallenge #writerscommunity #travelersnotebook #poems #poetry #poet #instawriting #instagram https://www.instagram.com/p/BtKNgvVl0AT/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=wq7iny9lddzi
#fragment#katahati#katahatiproduction#katahatichallengge#writingproject#writingchallenge#writerscommunity#travelersnotebook#poems#poetry#poet#instawriting#instagram
0 notes
Photo
Masuklah, ini rumahku Tak berjendela dan berdaun pintu Tak perlu cat warna dan hiasan lainnya Dindingnya terbuat dari lembaran-lembaran cinta Tidakkah kau merasakannya? Masuklah, ini rumahku Kau tak perlu ragu, apalagi termangu Buang-buanglah kecurigaanmu itu Tengoklah ke dalamnya Tak ada rahasia apa apa Rumahku, juga rumah kita Tempat tinggal anak cucu adam dan hawa Masuklah, ini rumahku Pintu dan jendelanya selalu terbuka Rumahku sederhana saja Tidak seperti rumah orang kota Berdinding seratus dosa Beratap seribu dosa Berkubah sejuta dosa Masuklah, ini rumahku Biarkan pintunya tetap terbuka Menatap ramah bianglala senja Menatap hangatnya cinta Menjawab tantangan keempat ... @arcotransep #katahatiproduction #katahatichallege (di Salatiga) https://www.instagram.com/p/BtImHfkhScc/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=b5yad1jocq2k
0 notes
Photo
Bagimu hubungan ini sangat spesial. Sangat. Hingga banyak kenangan indah yang kamu ukir bersamanya. Ada banyak hal yang kamu ciptakan. Mulai dari sapaan singkat, obrolan ringan, atau sekadar basa-basi yang tak pernah terasa basi. Kenyamanan membuatmu betah berlama-lama di dekatnya. Sama ceritanya dengan dia yang juga nyaman bersamamu. Tak peduli apa yang akan terjadi, tak peduli rintangan apa yang menanti. Kamu tetap kamu yang akan terus berusaha berada di dekatnya. Kamu tahu tentang takdir? Ketetapan Tuhan yang tak dapat kamu ganggu gugat. Ketetapan Tuhan yang harus kamu terima, jalani dengan ikhlas, apa adanya. Hari itu, tanpa kata dia pergi. Entah untuk sementara atau selamanya. Ada sayatan luka yang tertinggal begitu saja. Kecewa? Entahlah. Bukankah kamu juga percaya tentang takdir yang telah Tuhan gariskan? Tangismu tenggelam dalam diam, ada banyak hal yang kamu putar dalam ingatan. Tentang kenangan, semua hal yang kamu mulai bersamanya. Suaranya, tawanya, atau ucapan terakhir sebelum dia pergi mendengung keras dalam batinmu. Atmosfer di hidupmu seolah berubah. Namun sejatinya, tak ada yang berubah. Semua berjalan seperti biasa. Siang malam tetap berganti, angin berembus, awan berarak, jam berdetak, semua aktifitas berjalan seperti biasa. Kamu kehilangannya, tapi tidak dengan semesta. *Angin Malam Broery Marantika #katahatiproduction #katahatichallege #memoar (di Salatiga) https://www.instagram.com/p/BtDyxUZBd-z/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=50zhlze4tkwz
0 notes