#kalimatbaik
Explore tagged Tumblr posts
Text
Kurma, 3. Alasan Se-bucin Apapun..
Saya kira, Saya ini termasuk makhluk teramat bucin. Menye-menye. Bagaimana tidak, saya mulai menyukai (teman) lelaki di umur 7 tahun. Kelas 2 SD. Entah teramat polos atau justru mendewasa sebelum waktunya. Bisa jadi, ini dampak kebanyakan nonton sinetron berjam-jam dalam sehari. Terkhusus, sinetron di stasiun televisi yang berlogo ikan terbang—dulu.
Tidak hanya itu. Ketika banyak orang ditanya bagaimana dia mulai menulis, banyak alasan yang teramat mulia dan indah yang diutarakan. Sedangkan diriku, memulai tulisan dengan alasan-alasan menye dan bucin.
Selain dari pelajaran Bahasa Indonesia tentunya, lalu kumpulan puisi Bapak dan bermacam koran serta cerpen yg disuguhkan padaku sejak kecil, saya mengenal kalimat nyastra juga dari pacar.. Iya. Dulu sekali, si pacar setiap pagi—atau subuh—mengirim SMS berisi ucapan selamat pagi yang begitu puitis. Rentetan kalimatnya bahkan masih kuingat hingga sekarang. Meski sesederhana;
“..semoga hari ini indah, semanis senyum dan tawamu.”
Beuh. Untuk anak bau kencur, kalimat itu sudah amat menye romantis dan nyastra. Selain buat senyam-senyum, tanpa disadari saya belajar beragam diksi. Sampai akhirnya ketika udahan, saya pun menulis berlembar-lembar curahan hati sambil menangis sesenggukan. Ah, banyak juga mungkin yang seperti itu. Tetapi setahun kemudian, ketika kubaca ulang ocehan patah hati itu, ternyata cukup membuat pede untuk bilang; bisa nulis nih kayaknya haha.
Lalu, menulis bergenre puisi-puisi-an dieksekusi dengan sedikit serius waktu patah hati zaman Esemka. Beragam suasana tidak mengenakkan, kejengkelan si dia terhadapku, pun sebaliknya menjadi modal puisi-puisi-an itu. Tulisan yang tersimpan rapi di sub menu ‘konsep’ sebuah ponsel.
Dan lagi. Di bangku perkuliahan. Di suatu pagi ketika sebuah kelas dimulai, saya menulis sederet kalimat sebagai ucapan ulang tahun untuk orang—ehem—istimewa. Ucapan ulang tahun paling favorit saya hingga kini. Iseng-iseng, saya jadikan tulisan pendek itu sebagai unggahan pertama di story WhatsApp. Tidak dinyana, seorang mas-mas yang saya anggap keren—tulisan dan cara mikirnya—mengirim komentar; weh apik no Kaf wkwk.
Meskipun diakhiri dengan ‘wkwk’, saya terlanjur dan tetap senang bukan kepalang. Sepele mungkin. Tapi justru dari selarik respons itu, saya mulai menulis lebih giat. menemukan banyak pola tulisan dan diksi anyar. Setidaknya untuk story WA dan tagihan artikel berita sejak 3 tahun lalu. Kadang singkat, kadang panjang. Kadang rada serius dan bener, kadang menye bukan main. Mendatangkan sedikit kebahagiaan ketika satu dua teman turut senang. Juga tambahan uang jajan. Masih, sampai sekarang. Dan ya gitu.
..
Memulai dengan alasan bucin sekalipun, kesenangan membual dan menulis, saya rasa layak untuk ditekuni. Memang menulis curhatan dan puisi-puisi menye terkesan tidak penting dan buang-buang waktu. Berlebihan. Lebay. Tapi saat itu juga, seorang remaja yang sedang bertumbuh tengah mencoba mengenali dirinya, beragam perasaan yang melingkupinya, mulai menyusun potongan-potongan pikirnya, lalu bercerita lewat diksi yang diingini.
Puthut EA dalam buku Menjadi Penulis mengatakan;
Sebab di dalam menulis kita belajar tentang bagaimana menstrukturkan gagasan, mensolidkan argumen, menyusun logika, merapikan antara apa yang substansi, dan mana yang sampiran atau pemanis. Di dalam proses menulis, kita bergulat bahkan belajar menantang pikiran dan imajinasi kita.
Ya meskipun yang coba dikenali adalah rasa kecewa yang belum semestinya dan pada waktunya; kecewa karena berharap pada manusia. Sebuah perasaan yang harus dikelola dengan tegas sekaligus hati-hati. Tetapi kita tidak pernah tahu, melalui apa perasaan kecewa semacam ini dikelola oleh tiap-tiap orang. Siapa tahu melalui tulisan, seseorang mampu berkontemplasi dan meredakan ke-bucinan. Supaya tidak melampaui batas yang telah dipatok Pemilik Hidup.
Maka, memulai sesuatu dengan alasan sederhana atau bahkan terkesan sepele tidak selalu keliru. Seperti kata Pandji Pragiwaksono, Komika kenamaan Indonesia pada sebuah acara di UNS tahun lalu, “Keberhasilanmu tidak melulu ditentukan oleh bagaimana kamu mengawalinya, tetapi bagaimana kamu menjalani pilihanmu.”
Tentu saja bukan pilihan untuk bucin pada manusia. Kalau ditanya lagi, saya pun tidak mau patah hati teramat apalagi menangis sesenggukan sebagaimana masa-masa sekolah dulu untuk suatu hal yang tidak pasti dan tidak perlu.
Bukan berarti juga abai terhadap pentingnya meluruskan niat saat membuat sebuah pilihan dan melakukan suatu tindakan. Hanya saja saya mengamini bahwa ‘meluruskan niat’ adalah proses terus berulang seumur hidup. Menanyakan lagi dan lagi pada diri, apakah niatku benar? Masihkah lurus? Atau sedikit berbelok tanpa sadar?
..
Selepas beragam alasan cinta-cintaan pada seorang insan, saya hanya berharap kemudian. Bisa terus mencintai pekerjaan tulis-menulis. Iya, ‘cinta’ saja. Cukup. Sebagai bagian pelurusan niat dari diri yang sempat meleng dulu. Semoga juga, menjadi medan untuk lebih mencintai dan dicintai Allah, Pemilik Cinta yang sebenar-benarnya.
4 notes
·
View notes
Text
BERTUMBUH
Shoot for the moon, even if you miss, you will land among the stars.
"Wah, keren!!" sahutku ketika tak sengaja membacanya di postingan teman.
"Wah, aku banget nih kalimatnya."
"Sip sip, semangat deh. Pokoknya gak boleh takut bermimpi tinggi. Kalau gagal pun tak apa-apa, kan jatuhnya diantara para bintang"
Time flies so fast, waktu berlalu. Mimpi-mimpi yang kurancang semakin tinggi. Tak lupa segenap do'a dan kerja kerasku semakin kutingkatkan. Sampai suatu hari, lelah menghampiri.
"Kok kayaknya aku gak dapat apa-apa ya selama ini?"
"Padahal aku udah berjuang keras, tapi kok rasanya gak ada yang tercapai deh."
Aku mulai insecure, sampai akhirnya mencoba menepi, dan aku diberi Tuhan kesempatan merefleksi diri.
Ternyata, manusia memang seperti itu. Seiring bertambah waktu, semakin mimpi kita meninggi. Angan pun semakin tak bertepi. Kita meyakini bahwa Impossible dapat diubah menjadi I'm possible. Ini memang hebat kawan!
Tapi, coba pikirkan lagi...
Setiap perjuangan butuh pengakuan. Setiap perjuangan pada akhirnya ingin dihargai, diakui bahwa perjuangannya bermakna.
Nah, maka cobalah menyelipkan target kecil nan spesifik diantara ribuan target yang mengangkasa. Buatlah target kecil yang mudah dicapai.
Sekadar target menghafal satu ayat al-Qur'an dalam sehari, walaupun kita punya target menghafal 10 juz dalam sebulan.
Sekadar target menulis 50 kata perhari walau kita punya target menerbitkan buku di akhir tahun.
Bukan berarti aku melarang kita bermimpi tinggi. Tapi target kecil ini harus lebih kamu prioritaskan.
Kenapa?
Karena target besar umunya lebih memerlukan durasi waktu yang lebih lama. Kalau begini, kapan hati ini merasa telah 'meraih sesuatu'? Kapan perjuanganmu diakui diri sendiri?
Hati pun butuh pengakuan, kalau perjuangannya berharga.
Ketika target kecil tercapai, bukan tidak mungkin kita malah punya suntikan semangat yang lebih besar untuk mencapai target yang lebih besar.
Namun sebaliknya, saat kita gagal meraih target besar, target kecil pun malah terabaikan.
Ramadhan ini layak dimenangkan, perjuangan ini layak mendapat pengakuan.
Selamat memperjuangkan!
#kalimatbaik#ramadhanchallenge#inspirasi kata#selfimprovement#tetapStudytetapNgaji#tetapNulistetapNgaji
4 notes
·
View notes
Photo
MEMORI HP PENUH DENGAN BUKU Dengan adanya program #BelajarDiRumah karena #Covid19 mampu menjadi sarana meningkatkan ketajaman penglihatan, saat melihat hasil resume ataupun tugas mencatat mereka yang dikirimkan melalui media sosial ataupun job task di e-learning. Dikala melihat tulisan mereka langsung dibuku saja bak balita sedang belajar mengeja. Apalagi sekarang ditambah pake adegan foto hasil tulisan. ya Allah kuatkan mata hamba melihat tulisan seperti rambut kusut itu. Rasanya pengen langsung format hp, tapi nanti bukti pengerjaan mereka gimana ya. Rasanya masih mending tulisan dokter karena bisa dibaca dokter dan petugas obat pada umumnya. kalau tulisan murid-murid sekarang kok ya pada artistik. Apakah mungkin dulu waktu SD tidak ada materi menulis tegak bersambung pake buku garis lima ya? Maaf agak julid, karena para guru yakin bahwa kalian bisa kok menulis agak dibagusin dikit, biar sedaap dipandang. salam, @rosmalina_edelwis @nulisdimanaaja.id #NulisdiManaAja #DimanaAja #Pandemi #covid19 #korona #efekakorona #semogacepatberlalu #dd_pendidikan #baktinusa #baktinusasurabaya #baktinusabogor #bangunkolaborasi #kalimatbaik #tulisanartistik #belajarmenulis #writingchallenge #challengenulis #menulis #screenshot (di Kabupaten Pekalongan) https://www.instagram.com/p/CANZPjKHhzE/?igshid=1wjg6i8xc6wp
#belajardirumah#covid19#nulisdimanaaja#dimanaaja#pandemi#korona#efekakorona#semogacepatberlalu#dd_pendidikan#baktinusa#baktinusasurabaya#baktinusabogor#bangunkolaborasi#kalimatbaik#tulisanartistik#belajarmenulis#writingchallenge#challengenulis#menulis#screenshot
0 notes
Photo
Barangkali yang belum pernah menetap di negara empat musim ataupun pelesirannya cuma sekitaran Indonesia pasti belum bisa merasakan bagaimana suhu di musim dingin. Tapi, kalau pelesirannya e puncak Jaya Wijaya di Papua sih itu beda cerita, ya, sebutannya saja salju abadi. Oke back to topic, ternyata menurut peribahasa Jepang nih, kata-kata baik itu bisa menghangatkan tiga bulan musim dingin. Beuh, padahal kita aja nih ya yang hidup di daerah tropis kayak gini, perlu jaket tebal buat menghangatkan badan pas musim hujan melanda. Lha ini, bisa menghangatkan tiga musim dingin. Betapa dahsyatnya ternyata sebuah kalimat yang baik itu. Makanya nih, Rasulullah pun mewanti-wanti kita sebagai umat muslim untuk berkata baik atau diam. Ya, kalau nggak bisa menyampaikan sesuatu yang baik maka diamlah saja. Bahkan Allah pun membahas tentang pentingnya kalimat yang baik ini di Al-Quran surat Ibrahim ayat 24-25. Allah mengumpamakan kalimat yang baik itu ibarat pohon yang baik, yang akarnya kuat, cabangnya menjulang ke langit, dan menghasilkan buah yang manis. So, berhati-hati lah dengan kata yang keluar dari mulut kita. Jika sampai terdengar oleh telinga akan sangat berpengaruh bagi hati. Okay, sedikit mengutip kalimat dari Ali bin Abi Thalib ”Seseorang mati karena tersandung lidahnya Dan seseorang tidak mati karena tersandung kakinya Tersandung mulutnya akan menambah (pening) kepalanya Sedang tersandung kakinya akan sembuh perlahan.” FP : Etalase Time ☕ secangkir-cokelat☕ #ETALASETIME #secangkircokelat #ighamelysaputri #quotestoliveby #quotestags #quotes #quotesoftheday #quoteoftheday #quotesaboutlifequotesandsayings #quote #kalimatbaik #berkatabaikataudiam #diamitulebihbaik #diamituemas #peribahasjepang #kamut #katamutiara #motivasi #nasihatdiri #nasihat
#quote#diamitulebihbaik#quotesoftheday#quotestoliveby#nasihatdiri#kalimatbaik#peribahasjepang#quotes#quotestags#diamituemas#kamut#motivasi#nasihat#berkatabaikataudiam#katamutiara#quoteoftheday#ighamelysaputri#quotesaboutlifequotesandsayings#etalasetime#secangkircokelat
0 notes
Text
Manajemen Stress
"Apa yang kamu yang lakukan kalo lagi badmood?" sudah lama rasanya tidak membahas topik santai dengan teman dekat. Dengan alasan pemadatan mata kuliah dan tumpukkan deadline, bahasan kami hanya seputar huruf-huruf yang harus dihitung.
Hiks. Dasar.
"Makan coklat" teman kecil yang periang nyeletuk lebih awal.
"Nonton movie lah" sang penggemar film series jadi penjawab kedua.
"Ngerjain proker" si aktivis memang beda gayanya.
"Musahabah diri, baca Al-Qur'an" kawan cantik yang sholehah memang selalu menjawab paling bijak.
"Kalo kamu, gimana enn?"
"Hmm kalo aku.. leave group terus nulis hehe"
__________________________________________
Manajemen stress menjadi hal yang sangat penting. Tidak hanya remaja, orang yang lebih dewasa pun tetap membutuhkan manajemen stress yang baik. Saat tugas atau pekerjaan menumpuk, tiba-tiba kita kehilangan semangat. Dalam kondisi inilah diperlukan manajemen diri yang baik: how to keep your productivity?
Sumber kekuatan setiap orang memang berbeda.
Ada yang mudah mendapat power melalui karakter film yang ditontonnya.
Ada yang mendapat power melalui tulisan tulisan menampar yang menyentuh hatinya.
Ada pula yang mendapat power dari kata-kata bijak temannya.
Ada pula yang mendapat power dari hasil pergulatan dirinya sendiri.
Apapun itu, kenalilah tipe manajemen stressmu sendiri. Setiap diri memiliki kebutuhan fisik dan psikis yang berbeda. Dan hanya kamu sendiri yang tahu kebutuhan dirimu.
Seperti halnya aku. Aku punya kebiasaan untuk menulis apapun saat kehilangan semangat. Rasanya begitu lega saat bisa menuangkan setiap keluh kesah melalui kata.
Karena aku percaya bahwa cara terbaik untuk menyemangati diri sendiri adalah dengan menyemangati orang lain.
Yang terpenting, saat kehilangan semangat, tetap lakukanlah sesuatu.
Setidaknya, doing something dapat mengalihkan pikiranmu sejenak.
Sekadar menghabiskan makanan kesukaan atau mendengarkan musik. Lebih baik jika mau mendengarkan kajian.
Just take a rest. It's time to collect much energy.
3 notes
·
View notes
Quote
Pada mimpi yang telah dan akan kamu catatkan, bilang, jangan tegang-tegang. Asal tidak henti di sini.
fonemida, Kurma-6.
3 notes
·
View notes
Text
Kurma, 2.
-Kepada Corona dan tiap kita yang tengah bergelut dengannya.
..
Hai, makhluk kecil. Dari perjumpaan denganmu, aku belajar;
Menyoal temu tidak melulu perihal menuntaskan rindu. Perjumpaan tidak selalu berdampak kesenangan. Kian menyadarkan, tiap-tiap pertemuan membawa risiko perpisahan.
Sebagaimana kali ini, perjumpaan denganmu menjadi tragedi yang kemudian jutaan manusia sebut pandemi. Banyak kehilangan yg dirayakan; Orang-orang kesayangan, pekerjaan, bahkan mungkin juga sesuap nasi dan seteguk minuman.
Lantas kami, manusia yg tidak kalah kecil ini, mengupayakan akhir pertemuan denganmu. Mengambil jeda dari hilir mudik kehidupan luar rumah. Ah, memang tidak mudah. Kadang lelah. Mengucap sambat yg jumlahnya berapa entah.
Tapi kamipun belajar bahwa; Ada saat, di mana jarak harus dibuat. Untuk kita, saling menguat. ..
Jabat hangat untuk kita yg tengah bergulat dengan penuh tekad. Kuat-kuat!
3 notes
·
View notes
Text
Kurma, 1.
Bertebaran Bukan Berserakan
Kebaikan itu diminta untuk bertebaran, bukan berserakan. Kok gitu?
-
Benar adanya jika Allah akan menguji manusia pada titik (ter)lemahnya. Misal aku suka nulis ini itu di grup pribadi WhatsApp, tapi juga suka kelupaan untuk mencadangkan pesan atau menyalin ke media lain. Ndilalah berkali-kali WA-nya harus diatur ulang dan semua pesannya hilang. Setelah 2 tahun berwacana menata tulisan berserakan yang lebih sering sok puitis nan menye itu, akhirnya mau juga memulai tumblr ini.
Ya, meskipun lebih sering menye dan melankolis, tentu satu manusia ini tetap berharap ada hal baik di dalamnya. Yang kemudian tidak hanya untuk diri pribadi. Hal yang diharap baik tidak berserakan begitu saja di ruang obrolan, tetapi dapat membantu si penulis menunaikan salah satu tugas dasar manusia; menebar kebaikan semampu dan semaksimalnya.
Bagiku, kebaikan itu diminta untuk bertebaran, bukan berserakan? Kok?
-
‘Menebar kebaikan’ menjadi ungkapan yang akrab kita dengar. Berbeda dengan ‘menyerak kebaikan’, asing bukan? Ibarat saudara kembar, kata ‘bertebaran’ dan ‘berserakan’ itu serupa tapi tak sama.
‘Bertebaran’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring (kbbi.kemdikbud.go.id) berarti bertaburan; tersebar. Kata ‘bertebaran’ mengingatkan pada Alquran Surah Al-Jumuah:10. Manusia dipersilakan untuk bertebaran di bumi Allah, melakukan beragam aktivitas kebaikan selepas menunaikan salat Jumat.
“Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Berbeda dengan kata ‘berserakan’ yang diartikan berantakan; porak poranda; terletak tidak beraturan. Seringkali digunakan untuk menggambarkan situasi dan kondisi yang tidak tertata. Misal, muatan truk yang terbalik itu berserakan di lokasi kejadian.
Sederhananya nih, keduanya menggambarkan hal yang terpisah-pisah, tidak jadi satu. Hanya saja, bertebaran terkesan lebih alus. Meski terpisah, tapi lebih tertata. Bahasa agak kerennya, berkonotasi positif dibandingkan dengan ‘berserakan’ yang konotasinya negatif.
Lalu mengapa kebaikan harus bertebaran bukan berserakan? Seperti kata Ali bin Abi Thalib r.a, “Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir dengan baik”. Hal baik yang tidak terorganisir atau berserakan akan kalah dengan kejahatan atau keburukan yang ditebar dengan sangat rapi dan tertata.
Mungkin kita suka terlena dengan kalimat bahwa ‘kebaikan pasti akan menang’. Tetapi lupa bahwa dunia ini memiliki dua sisi. Sekalipun itu dalam diri seorang manusia yang dititipi dua potensi; yakni dapat beramal baik pun berbuat dosa. Maka untuk hal-hal baik yang diyakini, ditata adalah salah satu kunci.
Sesederhana mengumpulkan tulisan yang berserakan di ruang obrolan WhatsApp untuk ‘dirumahkan’ dan ditebar di satu media. Dibuatkan jejak digitalnya yang lebih rapi. Ditambah dari hari ke hari. Syukur jika dg mengumpulkan kepsyen-kepsyen yang biasa hilir mudik di status WA itu, bisa jadi kebaikan bagi teman-teman yg berkenan baca.
Kalaupun belum, setidaknya ada kebaikan untuk diri. Sebagai pengingat kala lagi meleng. Bukankah kita tidak benar-benar tahu kapan sebuah ingatan akan usang?
3 notes
·
View notes
Text
Ambis = Ikhtiar ?
"Kok anak itu ambis banget ya?"
"Sekali-kali santai dikit lah, gak usah terlalu ngambis"
"Santai aja kali, buat apa juga harus ambis? Nikmati aja hidupmu"
Beberapa gurauan teman sesekali terdengar menyakitkan saat kau lelah berjuang. Memang tak nyaman rasanya ketika diri ini di cap berbeda. Saat semua orang bersikap biasa saja, sedangkan kau menggenapkan seluruh usaha. Sempat pula kau berpikir barangkali memang kau yang harus merubah jalan?
Tidak, kawan. Riuhnya ucapan seperti itu hanya untuk melemahkanmu. Mereka hanya belum bisa memahami bahwa "ngambis" yang kau lakukan sesungguhnya hanyalah ikhtiar yang dimaksimalkan.
Maka, jangan ragu ngambis ya!!
Riuhnya ucapan jangan kau jadikan pikiran. Begitu pula ramainya tepuk tangan jangan kau anggap pujian atas ikhtiarmu itu. Jadikan ia pintu mengetuk rahmat Tuhan.
Karena tugas kita Berbagi, bukan Berbangga.
2 notes
·
View notes
Text
Kurma, 4. —Sepotong Jaburan di Pelupuk Mata
Purnama kelima, satu warsa lalu Aku menggantung asa Hendak kembali membuat temu denganmu Pukul tujuh kurang beberapa di rumah teduh milik Sang Pencipta
Asaku menggebu Berebut tempat di sela-sela hati yang banyak keluh dan mau Cemas turut mengadu, lebih dulu kau atau maut yang akan kutemu
Pada tibanya waktu Di tanganku selembar sajadah dengan aroma permen karet menunggu Tengok kanan-kiri-kanan-kiri lagi
"Ah, ini rumah saya. Bukan rumah Sang Pencipta."
Kali ini saja, Kepada tarawih yang-semoga-rajin kutemu; Garis-Nya, mari bercengkerama di rumahku
Kepada sepotong tahu kempong dan sebungkus mie instan yg disedu; Untuk sebuah kemenangan dan kemanusiaan, mampirlah di pelupuk mataku—saja.
2 notes
·
View notes
Text
Saat Rumput Tetangga Lebih Hijau,
"Eh lihat deh si A keren banget enn, kemarin dia ke jepang, dapet bronze medals perlombaan" seorang teman memulai obrolan malam.
"Enn, tahu gak si B? Dia hebat ya, masih muda tapi bisnisnya udah mendunia" sebuah komentar terbaca di direct messenger.
"O iya kamu tahu gak sih kemarin si C kepilih jadi Duta Kampus, duh kok keren banget ya orang-orang" ada lagi kawan dekat yang mengirim pesan telegram.
"Apalah daya aku yang cuma serbuk marimas" tambahnya dengan memasang emoticon memelas.
"Enn aku mau curhat, aku tuh iri sama si D. Dia temenku, besok mau wisuda. Dia juga udah dapet kerjaan katanya. Sedangkan skripsiku aja masih bab 2.." kakak tingkat yang sudah lama tak berkabar tiba-tiba membalas status Whatsappku.
Aku terdiam membisu. Jariku tak tahu harus mengetikkan jawaban untuk siapa.
Untunglah ibu memanggilku untuk membelikan sayuran pada abang sayur langganan yang kebetulan lewat depan rumah sehingga aku punya alasan untuk tidak segera membalas.
Aku bergegas, melesat keluar, memilih kangkung dan teman-temannya untuk bahan makan malam.
Tapi kemudian,
"Pak R kemarin abis beli mobil baru lho, kok orang-orang gampang banget ya cari duit.." seorang ibu sepantaran ibuku berbisik pada temannya.
"O iya bener, kemarin juga katanya anaknya baru dapet jabatan baru di perusahaan gede.." timpal ibu-ibu lainnya. Obrolan berlanjut, menjadi topik hangat yang dalam forum dadakan tersebut.
Aku bertanya-tanya, kenapa setiap lisan mengeluhkan pencapaian orang lain?
Kenapa setiap hati gemar membandingkan keberhasilannya?
Apakah dunia hanya tentang siapa yang jadi pemenang ?
'Rumput Tetangga memang selalu telihat lebih hijau'
Kata istilah sih gitu. Sepertinya kebiasaan manusia membandingkan dirinya dengan orang lain sudah ada sejak zaman dulu. Toh, buktinya istilah itu sudah ada sejak waktu yang lampau. Bahkan nenek ku yang kini hampir 70 tahun usianya, masih mengingat kalimat itu.
Baiklah kawan-kawan dan tetanggaku semua. Aku ingin bertanya, apa gunanya membandingkan pencapaian-pencapaian orang lain? Adakah benefit yang didapat setelah memperbincangkan itu semua?
Saat rumput tetangga terlihat lebih hijau, tidak apa-apa, biarkan saja. Karena kita tidak sedang menanam rumput . Iya, karena yang kita tanam bukan rumput.
Barangkali kita memang sedang menanam jagung yang bijinya bisa jadi bahan pangan.
Bisa jadi kita sedang menanam mangga yang buahnya enak dimakan.
Atau kita sedang menanam mawar yang bunganya indah dipandang.
Atau mungkin kita sedang menanam temulawak yang bisa dibuat obat.
Atau bahkan mungkin kita sedang menanam pohon jati yang kayunya bisa dibuat papan.
Ya begitulah. Rumput tetangga terlihat lebih hijau karena yang kita tanam bukan rumput, melainkan sesuatu yang lebih bermanfaat dari rumput.
Karena yang ditanam berbeda maka hasilnya pun berbeda, waktu berbuahnya pun berbeda.
Ketika seorang teman berhasil menjuarai perlombaan dan bepergian ke mancanegara, mungkin kita memang tidak mengejar itu, mungkin kita sedang berusaha memberdayakan masyarakat desa.
Ketika seorang teman lebih cepat diwisuda, mungkin kita masih ingin mencari sesuatu yang lain, bisa jadi karena kita masih memperjuagkan pendidikan daerah tertinggal.
Ketika seorang teman menjadi Duta Kampus dengan segala popularitasnya, mungkin kita sedang menjadi aktivis isu lingkungan atau relawan kemanusiaan yang jejak langkahnya tak perlu terdokumentasikan media, cukup tercatat oleh Sang Pencatat Amal.
Ketika seorang tetangga memiliki harta yang lebih berlimpah, mungkin kita memang tidak sedang mengumpulkan itu. Bisa jadi karena kita sedang menabung untuk bekal di akhirat dengan memperbanyak bersedekah.
Apapun itu, jangan lupa siram tanaman kita.
Jangan lupa beri pupuk, agar suatu hari tanaman kita bisa berbuah, menghasilkan karya yang bermanfaat bagi semesta.
Selamat memperjuangkan!
2 notes
·
View notes
Text
Kultur Menang-Kalah
Suatu hari, dalam obrolan para ibu-ibu,
"Anakmu pintar sekali bu, bisa jadi juara sana sini. Aduh anak saya mah beda banget, meski aktif bimbel sana sini juga tetep aja gak punya prestasi" celetuk seorang ibu sebaya ibuku.
"Wah piagamnya banyak sekali, andai saja anak saya bisa kayak anak sampeyan, bisa jadi juara banyak lomba" ibuku hanya tersenyum mendengarnya.
"Saya tidak bangga anak saya jadi pemenang" sahut ibu datar.
Deg.
"Saya suruh dia ikut banyak lomba karena saya ingin dia belajar hal lain. Mengajarkan kerja keras, kegigihan, jujur dan tawakkal. Bukan menguji dia jadi pemenang atau pecundang"
Aku terdiam sesaat. Sebelum kemudian bertarung dengan pikiranku sendiri.
____________________________________________
Dua kutipan obrolan itu cukup menggambarkan bagaimana sebuah prestasi dipandang. Di Asia, khususnya di negeri kita tercinta, menang-kalah menjadi sesuatu yang luar biasa. Yang paling unggul, dia yang paling keren. Yang terbaik, dialah yang kemudian menjadi perbincangan.
Berbagai kompetisi, dari mulai sekolah dasar hingga pendidikan lanjut, dari tingkat kecamatan sampai internasional, semuanya bertujuan sama: menyaring yang paling terbaik diantara sekian yang kandidat terbaik.
Yang paling unggul kemudian yang menjadi bahan catatan sejarah. Diberitakan sana-sini dengan tujuan menginspirasi insan lainnya.
Yang kalah? Bisa jadi ia makin frustasi atau kemungkinan terburuknya : tidak memiliki semangat lagi.
Teruntuk para orang tua dan juga calon orang tua di masa depan:
Anakmu memang luar biasa saat mau mengikuti banyak kompetisi. Itu tandanya kalian berhasil memupuk daya saingnya.
Namun, jangan pernah menuntut ia menjadi pemenang. Apalagi membandingkannya ketika ia tak jadi pemenang.
Biarkan ia menikmati perjalanan kompetisinya.
Biarkan ia tumbuh bersama cita-cita sederhananya, tanpa harus menjadi yang paling unggul. Tanamkan padanya bahwa harus ada nilai moral yang ia dapat.
Sehingga setelah dewasa nanti ia tumbuh bukan menjadi kompetitor, tapi menjadi kontributor yang bersedia berjalan bersama-sama.
Tidak hanya sekadar menjadi yang terdepan, tetapi menjadi orang yang mau mengulurkan tangan, memimpin perubahan.
Agar ia tak hanya sibuk mengungguli orang lain, tetapi mau memikirkan bagaimana mengunggulkan orang lain.
#kalimatbaik#inspirasi kata#ramadhanchallenge#selfimprovement#tetapnulistetapngaji#tetapstudytetapngaji
1 note
·
View note
Text
Literasi Rakyat
"Selamat Hari Buruh" kalimat pertama yang muncul di iklan televisi
" hah? Sekarang sudah bulan Mei toh?" aku mengerutkan kening sambil mematikan televisi malang yang tidak ditonton tersebut.
"Happy May Day" tulisan serupa bertebaran di status WhatsApp.
Entah kenapa, jariku iseng membalas sebuah status yang bahkan aku tak sempat membaca siapa namanya.
"Kenapa disebut Hari Buruh?" Dia membalas dengan meneruskan beberapa link berita.
"Oh.." aku hanya ber-oh
_________
Pertanyaan serupa juga terjadi seminggu yang lalu, 23 April 2020 yang diperingati sebagai hari buku. Setiap akun berlomba-lomba mengatakan Happy World Book Day, tak terkecuali aku. Lalu, seorang teman bertanya,
"Kenapa hari ini disebut Hari Buku?" Aku membisu cukup lama. Sungguh, aku tidak tahu sedikit pun alasan kenapa hari itu disebut hari buku. Sebuah upaya penyelamatan adalah dengan menyalin beberapa alamat web, persis seperti temanku hari ini.
_________
Ternyata benar. Kita memang hanya terlarut dalam momentum, tanpa memaknai apa makna momentum itu. Dalam berbagai perayaan hari, kita sering kali ingin terlihat berpartisipasi, setidaknya agar dilihat up to date.
Namun jarang sekali kita punya makna terhadap perayaannya. Jangankan maknanya, latar belakangnya saja kita jarang tahu.
Mengapa?
Mungkin karena terlalu banyak anime yang harus ditamatkan.
Atau mungkin karena kita terlalu tenggelam menyimak gosip selebram.
Atau mungkin juga karena terlalu banyak drama yang mesti dikejar episodenya.
Sampai terlupakan bahwa negara butuh pemuda yang peka terhadap bangsanya.
Literasi tidak hanya membaca buku tebal, tapi juga membaca kondisi rakyat, sehingga kemudian dapat memberikan solusi bagi ummat.
#kalimatbaik#inspirasi kata#ramadhanchallenge#selfimprovement#tetapnulistetapngaji#tetapstudytetapngaji
1 note
·
View note
Text
Setiap do'a memiliki tiga kemungkinan:
1. Dikabulkan
2. Diganti dengan yang lebih baik
3. Disimpan untuk dikabulkan di masa yang akan datang.
1 note
·
View note
Text
METAMORFOSISWA
Sebuah catatan pembuka,
Part 0,5 :
Ada Apa Dengan IP?
Beberapa hari ini aku jadi pendengar setia teman-teman yang mengeluh tentang nilai IP.
Mereka tak lelah memantau siakad tiga kali sehari: pagi sebelum sarapan, siang sebelum makan siang, dan malam sebelum memejamkan mata. Dan bahkan jikalau dalam perjalanan membeli lauk saja mereka ingat IP, mereka tak segan membuka siakad, lalu cemberut sendiri atau tertawa sendiri di depan ibu pedagang sayur.
Dulu, aku pikir nilai IP tak se-krusial ini.
Dalam bayanganku, mahasiswa adalah mereka yang mendalami suatu bidang, menerapkan dalam kehidupan nyata, mencari jawaban dari permasalahan masyarakat, melakukan berbagai riset di laboratorium, observasi sosial, mengabdi di daerah-daerah. Itu saja. It's simple : mengembangkan potensi yang dimiliki dalam suatu bidang.
Mungkin itu hanya bayanganku sebagai anak SMA yang lugu.
Nyatanya, perkuliahan bukan hanya arena seperti itu.
Di sini, dimana setiap mata kuliah dinilai dengan variabel A, B, C dan D, hawa kompetisi mulai terjadi.
Apakah ini salah? Oh, tentu tidak. Toh, hal ini cukup berhasil meminimalisir mahasiswa yang absen ataupun tertidur di kelas. Iya, karena mereka takut jikalau IP mereka tak sesuai harapan, lantas harus mengulang di semester depan.
Tapi, apakah nilai IP saja cukup jadi parameter keberhasilan pendidikan?
Mungkin sebagian iya.
Terlalu naif memang jika kita mengabaikan IP. Toh, ini adalah indeks prestasi yang cukup menggambarkan perkuliahanmu selama ini.
Namun, salah juga jika kita terlalu mengagungkan IP. Kenapa?
Karena tidak setiap yang kita lakukan bisa dituliskan dengan angka.
Lihatlah bagaimana seorang relawan yang mampu menolong korban bencana alam dengan mempertaruhkan jiwa raganya. Apakah itu dinilai dengan IP?
Lihatlah bagaimana seorang aktivis kampus yang berani memperjuangkan keadilan.
Lihatlah mereka yang tak lelah bekerja di laboratorium demi mengembangkan inovasi sains untuk menjawab permasalah masyarakat.
Apakah itu perlu dinilai dengan IP?
Baiklah.
Tidak usah bersedih lagi ya ketika melihat IP.
Berapapun besarnya, kita masih punya kesempatan untuk menjadi manusia bermanfaat.
Karena kita semua punya potensi.
Dan hidup bukan hanya tentang angka.
Surakarta, 30 Januari 2020 || Dibawah lembayung sore dan semerbak harum tanah basah setelah hujan
#kalimatbaik#inspirasi kata#ramadhanchallenge#selfimprovement#ceritakampus#tetapnulistetapngaji#tetapstudytetapngaji
1 note
·
View note
Text
Lima koma tiga
Suatu siang, di pelataran Whatsapp,
"Kawan, nilai ujian sudah diupload" kabar seorang teman dari seberang kota.
Spontan, ruang chat mulai penuh sesak dengan balasan. Kecewa, takut, sedih, marah. Sedangkan anak-anak yang bergembira memang biasanya memilih tak muncul. Beberapa teman akhirnya berbalas stiker, memasang ekspresi paling menyedihkan.
Kalau sudah begini, kami yang hanya jadi silent reader dapat menyimpulkan dengan mudah: rata-rata nilai ujian pasti jelek, paling lumayan mungkin rata-ratanya mentok di angka 5.
Aku mengetik namaku di kotak pencarian daftar nilai, menggeser sedikit ke bawah. Ketemu. Lalu,
"Hah? Kok bisa?" aku terkejut sendiri. Mengucek mata berkali-kali.
..............
Sejak kecil, mungkin sejak sekolah dasar, pikiran kita di doktrin suatu ungkapan:
'Hasil tak akan pernah mengkhianati usaha'
Keren ya? Iya, aku juga sangat percaya pada masanya.
Kata ibu guru, kalo rajin belajar, usaha maksimal, nanti bakal dapat hasil yang maksimal pula.
Setelah duduk di SMA, guru fisika menjelaskan dengan lebih keren,
" W itu simbol usaha, s itu perpindahan. Nah dalam fisika ada persamaan W=F.s. Usaha adalah gaya dikalikan perpindahan" aku mengangguk, pura-pura paham.
" Nah, usaha itu sebanding dengan perpindahan. Kalo usaha kamu besar, perpindahannya juga akan besar. Kalo usahanya kecil, perpindahannya juga kecil" pak guru mencoretkan spidol di papan tulis, menggambar kurva linear.
Aku masih berusaha mencerna.
"Artinya kalo usaha kamu besar, hasilnya juga akan besar. Kalo usaha kamu kecil, hasilnya juga akan kecil" pak guru menjawab kebingungan kami.
Aku semakin percaya persamaan itu. Ditambah mantra man jadda wa jadda yang dibekalkan guru Tsanawiyah ku, aku semakin yakin pada analogi itu.
Memasuki dunia yang lebih luas, bersinggungan dengan lebih banyak keadaan, kadang membuat kita lambat laun kehilangan optimisme.
Dalam dunia perkuliahan contohnya, kadang kenyataannya tidak serealita itu. Ada orang yang kelihatannya tidak berusaha maksimal, tapi ketika nilai ujian dibagikan dia memenangkan pettandingan, nilainya sempurna. Sedangkan si Rajin yang jelas rajin dan sungguh-sungguh belajar, hanya mendapat sembilan koma.
Satu kali, dua kali, tiga kali. Kamu masih berpikir ini hal yang wajar. Katanya tak ada yang bisa melanggar takdir Tuhan, mungkin itu memang sudah takdir-Nya. Semakin sering, keyakinanmu terhadap doktrin itu mulai goyah.
"Katanya hasil gak akan mengkhianati usaha, tapi kok aku...." keyakinanmu hampir goyah.
Sebelum menyalahkan kalimat itu, ada baiknya menengok ulang diri sendiri.
Mungkin ada usaha yang masih bercampur sombong, merasa pintar, merasa paling unggul. Mungkin ada do'a yang masih bercampur dengan hati yang riya'.
Sebelum menyalahkan kalimat "Hasil Tak akan mengkhianati usaha"
Mungkin usaha kita yang sudah lebih dulu mengkhianati hasil.
Saatnya merefleksi diri, memetakan kembali konsep pemikiran.
Daripada menyalahkan, mungkin lebih baik kita meluruskan perbuatan.
Barangkali, kendali laju kita memang sudah oleng. Atau jalan yang kita tuju adalah jalan buntu nan curam. Berbahaya.
Lalu Tuhan membiarkan kita jatuh sebentar, diingatkan agar kita berubah jalan.
1 note
·
View note