#kaki ayam jago
Explore tagged Tumblr posts
Text
Elegi
Rumah ini selalu gegap gempita di pagi hari. Bunyi spatula beradu dengan penggorengan untuk menghasilkan nasi goreng istimewa dilakukan oleh ibu. Disusul dengan riuh tawa hewan peliharaan bapak yang meminta makanan satu persatu, mulai dari kucing, burung dan ayam jago kesayangan Ucok. Tak lupa rebutan kamar mandi ala Bang Adam dan Aku sendiri.
Rasanya kami tidak akan berhenti adu mulut jika ibu tidak mengeluarkan nyanyian menggelegar "Bang Adam duluan yang mandi Din, bang Adam cuma mandi bebek, begancanglah mangko dak telat." Begitulah kami mengisi pagi hari, dengan segala rutinitas dan cerita-ceritanya.
Siapa sangka pagi ini adalah pagi terakhir gegap gempita di rumah itu. Pasalnya, siang ini, tepatnya saat bel jam istirahat berakhir, ibu menelpon. Tidak seperti biasanya, ibu menelpin saat aku masih di sekolah. Hatiku mulai was-was, apa yang terjadi. Ku angkat telpon itu, diseberang sana ibu mengawali dengan tangisan disusul dengan hembusan nafas yang berat.
"Din, bapak kecelakan. Nanti bang Adam yang jemput kamu di sekolah. Kamu sekarang siap-siap dan minta izin ke guru piket untuk pulang lebih awal ya. Nanti bang Adam juga yang bantu ngomong sama wali kelas kamu. Ibu tutup dulu ya." Deg. Aku terdiam beberapa saat. Aku bahkan tidak menjawab salam penutup dari ibu. Kaki ku terasa lemas. Setelah sepersekian menit aku mulai sadar, segera ku kemas buku-buku ku ke dalam tas. Kebetulan bang Adam juga sudah sampai ke kelas untuk meminta izin kepada guruku. Aku bergegas memeluk bang Adam dan ke rumah sakit. Di perjalanan kami saling diam. Sesuatu yang sangat jarang terjadi dalam hidup kami. Kami membiarkan satu sama lain untuk berdialog dan menenangkan diri sendiri.
Sesampainya di rumah sakit, ibu segera memeluk kami. "Ucok, Dina, Abang, bapak sudah berpulang. Bapak mengalami gagal pernapasan karena kecelakaan itu." Ku lihat ibu langsung luruh ke lantai. Ucok kebingungan karena dia masih berumur empat tahun, bang Adam berlari ke ruangan bapak. Lalu bagaimana dengan aku? Aku diam mematung, lima menit kemudian ku peluk ibu dan ku gendong ucok untuk menemui bapak. Kami berempat saling memeluk bapak sebelum jenazah beliau dibawa pulang ke rumah.
Selama ini, aku tidak pernah melihat ibu dan bang Adam menangis sedemikian adanya. Karena itu pula ku putuskan untuk mengambil tas ibu dan mengurus administrasi bapak. Ucok masih kebingungan, aku juga bingung bagaimana menjelaskannya. Ku putuskan untuk mampir ke kantin, membeli susu coklat dan jajanan kesukaan Ucok.
"Nanti, kak Dina akan jelasin ke Ucok tentang bapak. Sekarang Ucok nurut ya sama Kak Dina, Kakak sayang Ucok." Ku peluk erat ucok sambil menahan tangis.
Aku harus menjadi perempuan kuat untuk saat ini dan seterusnya. "Aku harus bisa bantu ibu dan bang Adam. Aku harus kuat." Demikianlah yang ku katakan pada diriku sendiri. Kehilangan bapak sekaligus cinta pertamaku, sesak sekali rasanya hati ini.
Izin tag mas @kurniawangunadi, tim @careerclass dan tim @bentangpustaka-blog
12 notes
·
View notes
Text
The Story of Cico
Part 1
“Mulai sekarang aku akan memanggilmu Nilo,” ucap Pak Mamat seraya mengelus kepala si kucing kecil yang ada di gendongannya. Kucing berwarna coklat dan putih dengan corak seperti harimau. Ekornya lurus panjang dengan bulu yang lebat.
Kemarin sore istri Pak Mamat menemukan seekor kucing di dekat pagar rumah mereka dengan kondisi basah kuyup, kedinginan dan terluka di beberapa bagian tubuhnya Buru-buru beliau bawa masuk ke dalam rumah. Dilap hingga kering, dihangatkan dengan handuk baru, dan diobati luka-lukanya.
Awalnya Pak Mamat tidak terlalu suka dengan kucing, akan tetapi ia mulai jatuh hati ketika melihat kelincahan si kucing yang kini diberi nama Nilo itu. Terkadang Nilo melompat-lompat bak anak kecil yang kegirangan. Nilo juga segera berlari menghampiri Pak Mamat saat ia baru pulang dari sawah. Mengusap-usapkan kepalanya pada kaki Pak Mamat. Manja sekali.
Seekor ayam jago memperhatikan dari pintu belakang dapur Pak Mamat. Pintu yang terbuat dari kayu dan terbagi menjadi 2 bagian. Bagian bawah yang hanya menutup sampai perut orang dewasa, dan bagian atas yang menutup sisanya. Pagi ini hanya bagian bawah yang tertutup. Cico bertengger di atasnya.
Ayam jago itu bernama Cico. Bulunya didominasi warna hitam dengan warna merah di bagian kepala dan punggungnya. Ia dipelihara Pak Mamat dari sejak hari pertamanya menetas. Bahkan dari ia masih didalam cangkang telur. Induknya sudah meninggal menjadi korban tabrak lari. Saudara-saudara Cico pun satu per satu gugur menyusul sang induk. Hanya tinggal Cico seorang diri. Ayam jago kesayangan Pak Mamat.
Cico sangat antusias untuk bertemu teman barunya. Ia menunggu waktu untuk bisa menyapa Nilo. Pagi itu, segera setelah Pak Mamat berangkat menuju ke sawah, Cico terbang turun mendekati Nilo.
“Hei, Nilo, perkenalkan aku Cico,” Cico menyapa Nilo yang sedang duduk di dekat tungku.
Nilo menengok kearah datangnya suara,“hmm-- tahu darimana namaku Nilo?” Nilo bertanya. Bingung.
“Aku memperhatikan dari tadi, disana,” jawab Cico sambil menunjuk kearah pintu.
Nilo hanya mengangguk. Memperhatikan Cico yang tersenyum ramah padanya. Kemudian membalas dengan senyuman canggung.
“Ayo, aku ajak berkeliling. Ini rumah barumu juga sekarang,” ajak Cico.
Mereka berkeliling rumah Pak Mamat. Di bagian depan rumah terdapat taman bunga yang dibatasi dengan pagar kayu yang sudah lapuk. Bunga berwarna-warni menghiasi setiap bagiannya. Hasil jerih payah istri Pak Mamat yang rajin merawat mereka. Di sampingnya terdapat halaman luas yang didominasi dengan rumput jepang. Beberapa bagiannya gundul, yang terlihat hanya tanah.
Cico menjelaskan setiap bagian dengan detail. Sesekali melempar gurauan kepada Nilo. Nilo dibuat tertawa dengan selera humor Cico. Baru beberapa waktu berlalu mereka sudah akrab.
Mereka terus berjalan menuju samping rumah Pak Mamat. Cico menunjuk kotak berukuran 2mx2mx1m. Terbuat dari bambu yang dipasang berjajar. Terdapat pintu dibagian sampingnya.
“Ini rumahku, kamu bisa kemari jika mencariku.” Jelas Cico.
“Wah! Kamu punya rumah sendiri, Cico?” tanya Nilo yang terlihat takjub.
“Tentu saja, Pak Mamat sendiri yang membuatnya untukku,” ucap Cico bangga.
Nilo memperhatikan dengan seksama rumah Cico. Sesekali mengibaskan ekornya.
“Ayo, kita lanjutkan ke bagian belakang,” ajak Cico.
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke bagian belakang rumah Pak Mamat. Di sana terdapat sumur lengkap dengan timbanya. Terjejer pula ember-ember tempat Pak Mamat menampung air. Di bagian dekat tembok disediakan wadah tempat Cico minum.
“Mulai sekarang, kamu boleh minum di sana juga,” jelas Cico.
“Oke!” jawab Nilo semangat. Nilo merasa beruntung bertemu dengan Cico.
***
Matahari sebentar lagi tenggelam. Suara motor Pak Mamat terdengar memasuki halaman. Nilo dan Cico sedang asik bermain di depan bangunan yang masih setengah kayu itu.
Istri Pak Mamat turun terlebih dulu dari motor, disusul dengan Pak Mamat. Nilo yang melihat pemiliknya pulang segera menghampiri mereka. Mengibaskan ekornya tanda kegirangan. Mengusapkan kepalanya manja pada kaki Pak Mamat.
“Lucunya Nilo,” Pak Mamat berjongkok untuk mengusap Nilo. Nilo menutup mata. Merasa nyaman dengan perlakuan Pak Mamat.
Cico juga bergegas menyusul Nilo walaupun kalah cepat. Pak Mamat yang melihat Cico menghampirinya, meninggalkan Nilo dan segera menggendong Cico. Cico tidak heran. Bukahkah aku ayam jago kesayangannya? Pikirnya.
“Sudah hampir gelap, ayo masuk kandang,” ucap Pak Mamat.
Selama perjalan menuju kandang, pandangannya tertuju pada Nilo. Nilo yang juga sedang digendong oleh istri Pak Mamat. Nilo yang kepalanya diusap lembut oleh istri Pak Mamat. Nilo yang dibawa masuk ke dalam rumah. Iya, rumah Pak Mamat.
Pak Mamat memasukkan Cico ke kandang dan menguncinya dari luar. Pak Mamat berjalan meninggalkan kandang dan memasuki rumah.
Kejadian tadi masih terekam di memori Cico. Bagaimana istri Pak Mamat memperlakukan Nilo. Seingatnya, ia tak pernah diperlakukan semacam itu oleh beliau.
Apakah Nilo juga akan tidur di dalam rumah? Dengan Pak Mamat dan istrinya? Sedangkan aku tidur sendirian disini?
Cico segera menepis pikiran-pikiran itu. Bagaimanapun ia punya rumah sendiri. Bahkan Pak Mamat khusus membuatkan untuknya. Itu merupakan hal yang patut disyukuri dan dibanggakan bukan?
***
“Kukuruyuukkk,” alunan merdu Cico menandakan waktu fajar. Alunan ini pula yang membangunkan Pak Mamat setiap pagi. Dan benar saja, seperti biasa, tidak lama setelah Cico berkokok, Pak Mamat keluar dari rumah lewat belakang dan membukakan pintu kandang Cico. Cico segera terbang keluar. Menikmati sejuknya udara dini hari.
Ia menuju tempat favoritnya. Pintu kayu dapur Pak Mamat yang hanya setengah bagian. Disana ia bisa melihat ke dua sisi sekaligus. Sisi dapur yang hangat dan juga sisi luar yang sejuk. Pagi ini ia memutuskan untuk memandangi dapur Pak Mamat.
Lantai dapur Pak Mamat masih berupa tanah. Tembok bata yang hanya setinggi satu meter. Kemudian disusun anyaman bambu diatasnya. Membentuk tembok hingga menjulang ke atas. Gorden biru dijadikan pembatas antara dapur dengan ruang utama keluarga mereka. Rak besi lusuh berdiri di sudut ruangan dengan beberapa piring dan gelas tertata rapi.
Asap mengepul dari tungku di sebelah kanan. Periuk besar diatasnya. Pantatnya menghitam. Setiap hari ditempa panasnya api dari tungku.
Istri Pak Mamat menambahkan kayu yang mulai habis. Rutinitas yang setiap pagi Cico lihat. Namun tetap saja menyenangkan baginya. Membuat senyuman terukir diwajah Cico.
Tetapi hari ini ada yang berbeda. Nilo muncul dari balik gorden. Meregangkan badannya sepanjang yang ia bisa. Mengibaskan ekor panjangnya. Kemudian berjalan pelan mendekati istri Pak Mamat yang berada di depan tungku. Duduk disana. Menghangatkan badan.
“Eh, Nilo sudah bangun,” ucap istri Pak Mamat. Mengusap kepala Nilo. Nilo hanya mengeong.
Pak Mamat tiba-tiba muncul dari balik gorden tempat Nilo muncul tadi. Kantong plastik hitam di tangan kanannya.
“Aku belikan ikan untuk Nilo, Bu,” Pak Mamat memberikan bungkusan itu pada istrinya.
Nilo mencium aroma sedap dari bungkusan yang diterima istri Pak Mamat. Suara ngeongnya semakin lantang. Nilo melompat-lompat berusaha meraih kantong plastik itu. Pak Mamat dan istrinya tertawa melihat kelakuan Nilo. Hal yang lucu dan baru bagi mereka.
Senyuman Cico memudar perlahan.
2 notes
·
View notes
Text
xx. jalan-jalan.
hari jumat waktunya olahraga! hehe. saya seperti biasa, lebih pilih ling tien kung daripada senam aerobik---setelah selesai senam, rasanya lebih capek dari minggu sebelumnya.
sebagaimana yang saya jelaskan minggu lalu, ling tien kung ini senam terapi olah tubuh. jinjit-jinjit tiga ratus kali ... jongkok jalan tiga puluh kali ... angkat tangan ke atas, ke samping, ke depan masing-masing lima puluh kali ... membungkuk, angkat kaki ... BANYAKLAH. PEGEL BANGET. jinjit tiga ratus kali itu melelahkan pol, sampai 100-an itu saya saking capeknya malah memilih ngetawain aja sambil berpikir, HADEH. XD tapi, tetep aja, paling parah buat saya itu jongkok jalan tiga puluh kali. kedua kaki rasanya panaaaaass. tapi alhamdulillah 3x terakhir ini saya selalu bisa 30x APA PUN YANG TERJADI. XD
favorit saya dari ling tien kung adalah ... babak pengendapan emosi. gampangnya, ini adalah pendinginan wkwk. tapi saya lebih suka dengan penyebutan begini: mengendapkan emosi. tarik napas. embuskan. tarik napas. embuskan. dst. saya suka aja sama penyebutannya, ketika dikaitkan dengan binatang: bangau, bebek, kuda, belalang, katak ... dan buat jadi distraksi diri yang udah kecapekan banget, saya nganggapnya lagi menari. :D soalnya pengendapan emosi ini khasnya adalah kedua tangannya nggak boleh putus/patah geraknya, perlu serasi sama lagu---jadi jalan terus gerakannya. kayak menari---terutama pelatihnya sih, yang tentu saja gerakannya lebih bagus. seneng gitu lihatnya.
habis senam, saya main badminton. cuma beberapa menit wkwk capek. sisanya saya nonton aja. pada jago-jago ih. tapi saya diem-diem merasa servis panjang saya membaik---minimal di tahap keberanian deh. dulu saya nggak pernah berani nyoba, dan sekarang setiap kali giliran saya servis, saya selalu servis panjang.
terus kerja. pas istirahat, saya menghabiskan waktu dengan makan mi ayam dan nonton anime. episode kali ini agak menyebalkan & nggak adil menurut saya, walaupun tetep kocak sih, ada adegan ketiga tokohnya main kartu yang bikin saya ketawa.
pulangnya saya jalan sama ibu saya. kami ke gramedia, makan, ke optik ambil kacamata (saya ke optik bawa framing lama saya karena framing yang saya pakai patah D: terus minta ganti lensa aja heuheu), dan terus ke togamas. wkwk dua kali ke toko buku. baca di gramed beli di togamas astagfirullah.
pulang-pulang saya mau mensyukuri hari karena SENIN CUTI BERSAMA! alhamdulillah. saya belum berencana senin mau ngapain saking bingungnya, kapan lagi senin libur. tapi nggak papa disyukuri dulu aja. XD
2 notes
·
View notes
Text
Entah kenapa, aku tengah tengok video orang tanam pokok kat laman rumah. Tanam pokok limau, serai, kunyit.. tiba-tiba teringat wan. Kalau lah kaki wan sekuat dulu aku yakin rumah tu masih penuh dengan tanaman.
Lepas atuk meninggal hampir sebulan wan demam. Semua orang ingat wan akan ikut atuk sekali. Tapi tak, wan beransur baik dan semakin sihat. Masa wan demam pakngah buat keputusan jual semua ayam wan memandangkan dah sebulan tak berjaga dan mungkin dorang taknak wan bela ayam sorang2 sebab selalu ada atuk.
Bila wan dah sihat dia sunyi. Masatu budak2 ni yg duduk dengan dia sekolah lagi. Ada lah wan teman. Takde apa yang dia boleh buat selain kemas keliling rumah. Ada lah pokok2 yg dia tanam.
2016 atuk meninggal 2022 wan jatuh patah tulang pinggul. Sejak jatuh tu wan dah tak boleh jalan. Pergi fisio, pergi urut, minum susu supaya tulang wan cepat baik. Wan tak boleh operate sebab dah tua. Tulang wan dah ok tapi kaki wan tempang. Boleh jalan tapi perlahan. Nak luruskan kaki dah tak boleh. Wan banyak duduk atas katil, tengok tv.
Aku tahu dia bosan. Bila aku balik dia mintak urut. “Kaki wan lali(kebas) lah dik, tolong urut wan” aku memang dah tahu tugas aku kalau balik kampung. Sambil urut kadang dia nangis. “Kalau mak kau balik jaga wan mesti rumah ni ponoh, kalau orang lain jago sunyi yo. Tu yang kadang2 wan mikir yang bukan2”
Entahlah kenapa malam ni teringatkan dia. Mungkin sebab semalam mak cakap minggu lepas dia demam. Pakngah yg jaga dia boleh tak tahu dia demam sampai dia merangkak pergi bilik abang mintak panadol. Sedihlah..
0 notes
Text
you, throughout my years
Tahun 2010. Aku masih mengingat kamu dengan jelas. Umurmu 9 tahun, menggunakan kerudung putih yang telah dijahit dengan emblem stroberi. Waktu itu aku baru aja ditinggal teman yang pindah keluar kota. Kamu menawarkan duduk di sebelah kursiku yang kosong. Sejak saat itu, aku nggak pernah kesepian lagi, dan kamu jadi temanku, ke manapun aku pergi.
Tahun 2011. Umurmu 10 tahun, rambutmu yang sepanjang pinggang selalu digerai. Kita berbagi kesukaan yang sama. Warnet, Facebook, SNSD, Pet Society. Ibuku mengenal kamu sebagai teman terbaikku yang selalu dia percaya.
Tahun 2012. Umurmu 11 tahun, dan sudah lebih tinggi daripada aku. Rumah kamu jadi markas yang rasanya lebih nyaman daripada rumahku sendiri. Aku tahu nama-nama sepupu kamu. Setiap hari, kita selalu tukeran file lagu dan video klip boyband-girlband Korea lewat Bluetooth. Mabar Fire Boy and Watergirl udah jadi rutinitas. Kalau capek mabar, tinggal jalan kaki aja, terus beli ayam Sabana, atau masak mi goreng. Aku yang masakin karena waktu itu kamu belum jago megang kompor. Hehe.
Tahun 2013. Umurmu 12 tahun. Kamu ikut marching band, keliling Eropa, dan nggak bisa ikut perpisahan SD. Setelah itu, kita berpisah jalan karena masuk ke sekolah berbeda.
Tahun 2014. Umurmu 13 tahun. Kita berdua nonton Amazing Spiderman 2 di Plaza. Si Gwen mati. Sedih, ya?
Tahun 2015. Umurmu 14 tahun. Waktu itu film kesukaanku, Mockingjay Part 2, sudah rilis. Aku ajak kamu nonton berdua di Margo City, tanggal 15 November. Aku masih nyimpen tiket bioskopnya sampai sekarang dan tulisannya belum pudar. Film itu seru banget, dan makin seru karena aku bisa nonton filmnya bareng kamu. Setelah itu, kita makan siang bareng di Es Teler 77. Itu restoran masih ada nggak, ya?
Tahun 2016. Umurmu 15 tahun. Aku sempat ngarep kita bisa masuk di SMA yang sama, tapi lagi-lagi nggak kesampaian.
Tahun 2017. Umurmu 16 tahun. Rumah kamu masih ada di alamat yang sama. Kadang-kadang, waktu aku jalan kaki ke sekolah, aku liat kamu lagi dibonceng ojek. Rambut panjangmu masih dikucir sepanjang pinggang, seperti yang selalu kuingat.
Tahun 2018. Umurmu 17 tahun. Aku pernah ngajak kamu ikut reuni SD. Kamu nggak mau. Aku nggak ketemu kamu lagi setelahnya.
Tahun 2019. Umurmu 18 tahun. Kita bukber ber-4 bareng yang lain. Inget, nggak? Makan di Fish Streat, terus lanjut main ke Pesona Square. Aku sempet jemput kamu ke rumah, yang sekarang udah direnovasi dan jadi jauh lebih rapi. Waktu itu kita ngomongin kehidupan pasca SMA dan kamu bilang bakal masuk kampus swasta. Di situ aku sadar, kita udah jadi dua orang berbeda dengan jalan hidup yang jauh berbeda, tapi kamu tetap teman paling nyaman untuk menghabiskan waktu bersama.
Tahun 2020 dan 2021 berlalu dan aku nggak melewatkan dua tahun itu dengan kamu. Usia 19 dan 20 tahunmu berlalu begitu aja. Aku bahkan selalu lupa mengucapkan ulang tahun buat kamu. Pikirku, aku bisa ngucapin lagi di tahun-tahun berikutnya.
Tahun 2022. 12 Januari 2022. Umurmu 20 tahun, 5 bulan. Sore itu, aku dengar kamu pergi, kembali ke Dia yang Maha Pencipta, Maha Mematikan. Hujan badai turun di langit kota Bogor yang kini kutempati, puluhan kilometer jauhnya dari kamu. Duniaku berhenti berputar secara mendadak. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan. Bagaimana pernah aku menyiapkan diri dengan berita kehilangan kamu?
Tahun 2022. 14 Januari 2022. Umurmu 20 tahun, 5 bulan. Akhirnya, aku bertemu lagi dengan kamu. Kamu merebahkan segala rasa sakitmu di tanah, dilindungi bunga-bunga yang akan selalu membuat namamu harum. Aku hanya bisa datang membawa semua penyesalan yang nggak akan bisa tersampaikan.
Aku yang selama ini belum bisa jadi sahabat yang baik. Sering jahat, semena-mena, dan membuat kamu sedih tanpa sadar. Aku yang belum pernah bisa membalas kebaikanmu sedikit pun. Dan aku baru menyadari semua itu setelah kamu pergi.
Di depan kamu, waktu itu, aku berjanji akan melanjutkan hidupku dengan sebaik mungkin. Aku berharap semua kebaikan yang aku buat di dunia ini bisa jadi pahala kebaikan buatmu. Itu janji yang masih ingin aku pegang, sampai sekarang.
Malamnya, di tanggal itu, aku ketemu ibu kamu, setelah sekian lama. Dan yang bisa kuucapkan ke beliau cuma permintaan maaf.
Hari ini. Tahun 2023. 12 Januari 2023. Waktu berlalu begitu cepat--tapi kamu masih 20 tahun. Hari ini menandakan satu tahun aku kehilangan kepingan penting dalam hidupku.
Satu tahun aku belajar cara menghadapi duka. Satu tahun berlalu, kupikir duka yang dulu kubawa karena kehilangan kamu udah gak lagi terasa seberat dulu. Tapi, aku salah. Duka itu masih ada, masih sama gelap dan muramnya. Aku masih selalu membawanya di dalam pundakku dan di antara kedua langkah kakiku. Yang terjadi hanyalah aku tumbuh besar seiring waktu, sehingga duka itu tidak lagi terlalu menyesaki tubuhku seperti dahulu.
Tahun 2024, 2025, dan seterusnya akan berlalu. Di dunia ini, aku akan semakin menua, tapi kamu akan selamanya berusia 20. Selamanya cantik, kuat, dan bersinar. Dan selama itu, aku berharap akan selalu mengenang kamu.
0 notes
Text
0821-2345-5940 (WA), Obat Herbal Kepala Ayam Bengkak Mamuju
Langsung ORDER KLIK WA http://wa.me/6282123455940 , Obat Herbal Kepala Ayam Bengkak Mamuju, Obat Herbal Kepala Ayam Bengkak Mamuju, Obat Tradisional Ayam Flu Burung Serang, Obat Tradisional Ayam Gemetar Tangerang, Obat Tradisional Ayam Goham Cilegon, Obat Tradisional Ayam Jago Ngorok Serang, Obat Tradisional Ayam Jalan Sempoyongan Tangerang, Obat Tradisional Ayam Jatuh Mental Tangerang Selatan, Obat Tradisional Ayam Kaki Lemas Bengkulu Selatan CETA HERBATOP UNGGAS Jamu Ternak Untuk Unggas (Ayam, Bebek, Puyuh). MANFAAT: Meningkatkan nafsu makan dan mempercepat pertumbuhan, Meningkatkan daya tahan tubuh dan mencegah stress, Mengurangi bau kotoran, Meningkatkan produksi telur, Mencegah dan mengobati flu burung, CRD, Snot, dll, Mengurangi residu antibiotik dalam daging dan telur. Untuk info lebih lanjut hubungi Indoternak: 0821-2345-5940. Atau Klik: https://indoternak.id
#ObatHerbalKepalaAyamBengkakMamuju#ObatTradisionalAyamFluBurungSerang#ObatTradisionalAyamGemetarTangerang#ObatTradisionalAyamGohamCilegon#ObatTradisionalAyamJagoNgorokSerang#ObatTradisionalAyamJalanSempoyonganTangerang#ObatTradisionalAyamJatuhMentalTangerangSelatan#ObatTradisionalAyamKakiLemasBengkuluSelatan
0 notes
Text
0821-2345-5940 (WA), Obat Alami Ayam Habis Tarung Jakarta Selatan
Langsung ORDER KLIK WA http://wa.me/6282123455940 , Obat Alami Ayam Habis Tarung Jakarta Selatan, Obat Alami Ayam Habis Tarung Jakarta Selatan, Obat Tradisional Ayam Goham Morowali Utara, Obat Tradisional Ayam Jago Ngorok Parigi Moutong, Obat Tradisional Ayam Jalan Sempoyongan Poso, Obat Tradisional Ayam Jatuh Mental Sigi, Obat Tradisional Ayam Kaki Lemas Tojo Una-Una, Obat Tradisional Ayam Kurus Toli-Toli, Obat Tradisional Ayam Lesu Ngantuk Palu
CETA HERBATOP UNGGAS Jamu Ternak Untuk Unggas (Ayam, Bebek, Puyuh).
MANFAAT: Meningkatkan nafsu makan dan mempercepat pertumbuhan, Meningkatkan daya tahan tubuh dan mencegah stress, Mengurangi bau kotoran, Meningkatkan produksi telur, Mencegah dan mengobati flu burung, CRD, Snot, dll, Mengurangi residu antibiotik dalam daging dan telur.
Untuk info lebih lanjut hubungi Indoternak: 0821-2345-5940. Atau Klik: https://indoternak.id
#ObatAlamiAyamHabisTarungJakartaSelatan#ObatTradisionalAyamGohamMorowaliUtara#ObatTradisionalAyamJagoNgorokParigiMoutong#ObatTradisionalAyamJalanSempoyonganPoso#ObatTradisionalAyamJatuhMentalSigi#ObatTradisionalAyamKakiLemasTojoUna-Una#ObatTradisionalAyamKurusToli-Toli#ObatTradisionalAyamLesuNgantukPalu
0 notes
Text
0821-2345-5940 (WA), Obat Herbal Kepala Ayam Bengkak Magetan
0821-2345-5940 (WA), Obat Herbal Kepala Ayam Bengkak MagetanLangsung ORDER KLIK WA http://wa.me/6282123455940 , Obat Herbal Kepala Ayam Bengkak Magetan, Obat Herbal Kepala Ayam Bengkak Magetan, Obat Tradisional Ayam Flu Burung Cilegon, Obat Tradisional Ayam Gemetar Serang, Obat Tradisional Ayam Goham Tangerang, Obat Tradisional Ayam Jago Ngorok Tangerang Selatan, Obat Tradisional Ayam Jalan Sempoyongan Bengkulu Selatan, Obat Tradisional Ayam Jatuh Mental Bengkulu Tengah, Obat Tradisional Ayam Kaki Lemas Bengkulu UtaraCETA HERBATOP UNGGASJamu Ternak Untuk Unggas (Ayam, Bebek, Puyuh).MANFAAT: Meningkatkan nafsu makan dan mempercepat pertumbuhan, Meningkatkan daya tahan tubuh dan mencegah stress, Mengurangi bau kotoran, Meningkatkan produksi telur, Mencegah dan mengobati flu burung, CRD, Snot, dll, Mengurangi residu antibiotik dalam daging dan telur.Untuk info lebih lanjut hubungi Indoternak: 0821-2345-5940.Atau Klik: https://indoternak.id#
#ObatHerbalKepalaAyamBengkakMagetan#ObatTradisionalAyamFluBurungCilegon#ObatTradisionalAyamGemetarSerang#ObatTradisionalAyamGohamTangerang#ObatTradisionalAyamJagoNgorokTangerangSelatan#ObatTradisionalAyamJalanSempoyonganBengkuluSelatan#ObatTradisionalAyamJatuhMentalBengkuluTengah#ObatTradisionalAyamKakiLemasBengkuluUtara
0 notes
Text
Baca Buku : Na Willa (1)
Na Willa karya Ibu Reda Gaudiamo awalnya tayang di Facebook. Baru di tahun 2012 diterbitkan dengan crowdfunding system. Lima tahun setelahnya, diterbitkan kembali oleh POST Press.
Kisah Na Willa sebetulnya ditulis oleh Ibu Reda untuk bapak-bapak dan ibu-ibu, dengan kata lain untuk teman-teman beliau. Memang sengaja menggunakan tokoh anak-anak supaya bapak ibu yang baca ingat saat dulu kecil seperti apa. Karena tokohnya anak kecil, jadi banyak orang menyebutnya ini buku anak-anak. Sejak itulah buku ini menjadi buku anak-anak.
Informasi di atas aku dapat saat menyaksikan live streaming gelaran Nyanyian Na Willa di Hari-hari Ramai yang diselenggarakan oleh Museum MACAN berkolaborasi dengan POST Press.
Oiya, dari acara tersebut aku juga baru tahu lho, kalau ternyata nama Na Willa itu dari wilayah Indonesia timur, Pulau Sabu, NTT. Di sana ada kebiasaan memberikan nama anak sama dengan orang tua. Nah, nama Na Willa itu adalah nama manis ibunya Ibu Reda. Karena namanya sama Ibu Reda pikir Na Willa itu juga nama manisnya. Eh, ternyata bukan.
Unik ternyata kisah di balik Na Willa ini.
Aku jatuh suka dengan Na Willa sejak pertama kali membacanya. Aku lupa hal apa persisnya yang membawaku membeli serial Na Willa ini. Begitu membacanya aku tidak menyesal sama sekali memiliki buku ini. Bahkan aku hadiahkan untuk sahabat kecilku.
Na Willa kecil yang polos dan banyak bertanya ini membawa kembali memori ke masa kanak-kanak. Satu fase kehidupan yang rasanya ingin kembali lagi ke sana.
Kisah di buku Na Willa jilid pertama ini berupa cerita-cerita pendek. Satu judul cerita bisa hanya satu halaman saja. Betul-betul singkat. Ada tawa, air mata, dan amarah juga.
Kita akan berkenalan dengan Farida, tetangga seberang rumah; Dul, si jago main layangan dan kelereng; Bud, ingusan setiap saat; Ayam Kuning Kecil Sekali, hadiah dari Mak; dan banyak lagi.
Salah satu peristiwa nahas yang harus diketahui Na Willa kecil adalah saat Dul, kawan bermainnya, kehilangan salah satu kakinya. Momen itu sungguh membuat ngilu. Mak dan Na Willa tak bicara apapun juga tidak makan selepas peristiwa itu.
Mak juga termasuk ibu yang keras. Terlihat dari rasa takut Na Willa jikalau alis Mak sudah menyambung. Cubitan di pangkal paha, ahh, itu membacanya saja terasa perihnya. Mungkin di antara kita pun mengalami hal itu, dicubit atau disentil telinganya ketika nakal atau susah diatur.
Ada satu peristiwa mendebarkan yang menunjukkan Mak tegas dan keras, ketika Na Willa diejek oleh Warno, anak yang memiliki cacat kaki, dia balas memukul. Setelahnya Na Willa berdebar-debar, apalagi ketika ibu Warno datang ke rumah. Melabrak. Habislah sudah. Mak marah besar. Na Willa siap-siap menerima ayunan sapu atau cubitan di paha. Mak tidak suka Na Willa memukul orang yang tidak bisa apa-apa atau cacat fisik, meskipun orang itu salah. Kalau membalas justru Na Willa juga salah.
Dari peristiwa itu Mak menekankan agar Na Willa bisa mengendalikan emosi, tidak meluap-luap amarahnya. Diam bukan berarti salah atau kalah. Dan hal ini Mak lakukan supaya tidak lagi terulang di kemudian hari.
Terlepas dari itu, Mak betul-betul mendidik Na Willa menjadi anak yang kritis, banyak bertanya dan menggali rasa penasarannya dengan tepat. Na Willa selain bermain-main dengan boneka, ia juga bermain dengan buku bacaan. Tidak heran jika dia sudah lancar membaca padahal belum sekolah. Ini pun karena Mak dan Pak sejak dini mengenalkan Na Willa dengan buku.
Salah satu momen lucu adalah ketika Na Willa penasaran dengan radio. Apakah di dalam radio ada orang yang bicara-bicara? Bagaimana ya cara masuknya? Radio kan kecil? Saat kita masih anak-anak tentu pertanyaan itu pernah singgah dan bukan sembarang pertanyaan. Sebab orang dewasa akan memutar otak untuk menjelaskan kepada anak kecil yang penasaran ini, tentunya dengan kalimat yang mudah dipahami. Dan sangat wajar sekali muncul pertanyaan seperti itu.
Na Willa kan selalu penasaran. Kalau sudah penasaran, ia akan coba lakukan, sampai terpuaskan rasa penasarannya. Radio Erres menjadi korban pembongkaran oleh Na Willa. Demi menemukan orang yang bicara-bicara. Yang ada dia mendapat tatapan tajam dari Mak. Kan sudah dibilang radio bukan mainan, Na Willa. Selesai menginterogasi Na Willa, Mak mulai memberikan penjelasan sejelas-jelas. Haha. Na Willa... Na Willa....
Gara-gara membongkar radio, Na Willa harus bertanggung jawab mengembalikan seperti semula. Memasang bagian penutup yang ia lepas. Meski kesusahan, Na Willa tidak mau dibantu Mak. Aku yang buka, aku yang harus pasang. Kecil-kecil sudah muncul tanggung jawabnya, hmm ataukah gengsi (?)
Saat Na Willa mulai bersekolah itu merupakan cerita yang menarik. Ia tidak langsung cocok dengan satu sekolah. Di sekolah pertama ia tidak cocok dengan ibu gurunya dan teman-temannya. Dari awal perkenalan saja mereka sudah menertawakan namanya. Memangnya ada yang lucu?
(Aku juga punya nama yang terbilang unik. Sepanjang ingatanku, tidak ada yang tertawa mendengar namaku, yang ada orang-orang kesulitan mengucapkan dengan benar. Hihi.)
Barulah di sekolah kedua, TK Juwita, Na Willa langsung cocok dengan Bu Guru Juwita dan teman-temannya. Tidak satu pun menertawakan namanya. Ah, syukurlah. Bu Guru juga punya koleksi buku satu lemari kaca. Tentunya membuat Na Willa semakin betah di sekolah baru.
Ahh, perjalanan Na Willa menghibur hati. Sudah lama sekali beranjak jauh dari masa-masa itu. Lima tahun, sepuluh tahun, atau bahkan dua puluh lima tahun. Sudah lama sekali, ya. Sekarang rasanya hari-hari ramai menjadi oranh dewasa.
Dulu, saat kecil ingin segera jadi anak gede. Begitu sudah gede, mau kembali jadi anak kecil saja. Hahaha...hidup oh hidup.
Duh, hampir kelupaan. Na Willa meski masih anak kecil, lagu-lagu yang ia dengarkan justru lagu orang gede lho. Soalnya ia dengar lagu yang didengarkan oleh Mak dari radio. Contohnya, Hesti...oh hesti yang dinyanyikan Lilis Suryani. Cobalah dengarkan lagu-lagu lawas itu. Merdu. Syahdu.
Sekian dulu baca buku edisi Na Willa jilid pertama. Nanti aku ceritakan lagi baca buku jilid duanya.
1 note
·
View note
Text
Arti Mimpi Dipatok Ayam, Benarkah Menjadi Tanda Keberuntungan?
Arti Mimpi Dipatok Ayam, Benarkah Menjadi Tanda Keberuntungan?
Arti Mimpi Dipatok Ayam — detiklife.com. Mimpi kali ini datang dari kejadian yang biasanya sering terjadi di kehidupan nyata. Apakah itu, jawabannya ialah mimpi dipatok ayam. Mungkin banyak diantara anda yang pastinya pernah mengalami kejadian dipatok ayam di kehidupan sehari-hari dan menganggap hal tersebut sebagai hal biasa saja tanpa punya maksud tertentu. Namun jika dipatok ayam dalam…
View On WordPress
#arti mimpi dipatok ayam betina#arti mimpi dipatok ayam di kaki#arti mimpi dipatok ayam jago#arti mimpi dipatok ayam jantan#arti mimpi dipatok ayam menurut islam#arti mimpi dipatok ayam sampai berdarah#arti mimpi dipatok banyak ayam
0 notes
Text
The Story of Cico #2
PART 2
Nilo terlihat sangat menikmati sarapan paginya. Ikan segar yang Pak Mamat beli langsung dari pasar. Begitu katanya.
Cico menatapnya dengan perut kosong. Ia juga lapar. Apa Pak Mamat lupa memberinya makan? Apa sekarang Nilo menjadi prioritas utama? Urutan pertama jika menyangkut makanan?
Cico berkokok sekali lagi. Mengingatkan Pak Mamat bahwa ia juga perlu diberi makan. Pak Mamat menoleh ke arah Cico. Seolah bisa mengerti ayam jago kesayangannya belum mendapatkan jatah makannya. Segera beliau mengambil segenggam beras dan menaruhnya di piring plastik berwarna merah. Letaknya di dekat rak reyot yang seharusnya sudah dimuseumkan. Tempat Cico biasa makan.
Biji demi biji ia ambil dengan paruhnya. Menikmati biji padi yang berkualitas dari sawah Pak Mamat.
“Selamat pagi, wahai Cico, si ayam jago,” goda Nilo yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.
Cico yang tengah asyik menghabiskan sarapannya hampir tersedak.
“Astaga! Nilo. Sejak kapan kamu disitu? Bukankah kamu sedang menikmati ikan segar sarapanmu tadi?” tanya Cico setelah menyadari kehadiran Nilo.
“Sudah aku habiskan. Lezat sekali. Semoga besok Pak Mamat membelikan ikan lagi untukku,” Nilo berkata sambil menjilati kaki depannya.
Cico tidak menjawab. Gara-gara ikan itu, Pak Mamat terlambat memberinya makan.
“Cepat habiskan makananmu, setelah itu kita bisa bermain,” ajak Nilo.
Mendengar kata bermain membuatkan Cico lebih bersemangat dan sedikit melupakan kekesalannya.
Embun menetes dari dedaunan tanaman bunga. Menetes di atas rumput jepang yang juga dihiasi titik-titik air. Kabut mulai menipis. Sinar matahari mulai menampakkan silaunya. Udara dingin semalam perlahan menghangat.
Nilo berlarian terlebih di halaman. Sesekali berguling di atas rumput. Memperhatikan ekornya yang berkibas. Kemudian mengejar ekornya sendiri seolah benda itu adalah mangsa yang siap diterkam.
Cico muncul dari belakang rumah Pak Mamat. Dari jauh sudah terlihat Nilo yang asyik berguling-guling di halaman depan. Tak sabar ia untuk bermain bersama. Dipercepat langkah kakinya agar segera sampai pada tempat Nilo berada.
“Nilo, tunggu aku!” Cico berteriak.
“Oke! Cepat kemari!” sahut Nilo.
Pak Mamat mengeluarkan motor bututnya dari rumah. Honda Astrea Grand keluaran tahun 1994 berwarna merah. Ia beli bekas dari tetangganya. Mesin beliau hidupkan. Sambil menunggu sedikit panas, diperhatikan kedua peliharaannya itu. Terkadang si kucing bersiap-siap kemudian lari menubruk si ayam. Terkadang pula si ayam berkokok dan si kucing seperti takut dan lari berbalik arah. Namun memang begitulah cara mereka bermain.
Pak mamat menaiki motornya dan berangkat menuju sawah.
**
“Nilo!” panggil istri Pak Mamat dari pintu depan rumahnya.
0 notes
Photo
INTERBOLA – Sabung ayam, Barbel Ayam Aduan Berguna Untuk Kelincahan Sabung ayam online - Mengetahui Pembuatan Barbel Ayam Aduan dapat menjadi salah satu bahan dalam pelatihan ayam bangkok aduan jawara dalam menjalani arena laga. Source: INTERBOLA - Sabung ayam, Barbel Ayam Aduan Berguna Untuk Kelincahan
#ayam aduan#ayam jago#barbel ayam#barbel ayam aduan#barbel ayam bangkok#barbel ayam jago#barbel kaki ayam
0 notes
Text
Jati diri
Dulu waktu masih di tingkat mahasiswa, saya begitu idealis menjadi seseorang yang memegang prinsip. Pemikiran ini belum terbuka juga hingga lepas status mahasiswa di tahun ke lima perkuliahan. Dunia pasca kampus memang menawarkan berbagai keadaan yang tak ideal dan itu semua akan merubah seseorang menjadi apa nantinya.
Ada kosa kata yang dulu sering dipakai di kampus, yaitu kata “integralistik”. Integralistik disini adalah kata yang mewakilkan harapan agar semua jurusan dapat menjadi satu visi maupun misi untuk membawa nama baik dari Keluarga Mahasiswa Institut.
Pada suatu waktu, ada acara yang mengharuskan seluruh jurusan ikut berpartisipasi. Tentulah momen itu akan diterapkan mengenai konsep integralistik yang sepertinya harus dimaknai seperti ungkapan “NKRI HARGA MATI”.
Penerapannya pada hal-hal yang bersifat dhohiriyah,yaitu harus memakai baju putih hitam, dan tanpa atribut jurusan yang memiliki khas sendiri-sendiri. Hampir semua jurusan mematuhi peraturan tersebut, namun ada satu jurusan yang bandel. Satu kompi maba jurusan mereka memakai atribut dasi warna merah, yang pada peraturannya diharuskan memakai warna hitam.
Mereka cerdik pula, menyanggah dengan dipakainya isolasi warna hitam dengan lebar sejari yang ditempel di dasi mereka. Mereka berkilah tidak ada ketentuan yang spesifik. Ini Dasi mereka warna merah dan hitam, sudah ada warna hitam walaupun itu hanya isolasi selebar jari kelingking.
Dikatakan pada waktu itu, jurusan A itu tidak memiliki nilai-nilai integralistik yang tinggi, mereka arogan dan ego sektoral.
Secara tidak langsung, saya mengamini hal tersebut serta turut serta memandang jurusan tersebut adalah jurusan yang arogan.
Tapi, ketika sudah dewasa ini, saya ingin meminta maaf dan menganulir pemikiran tersebut.
Premis 1: saya mengatakan bahwa jurusan A adalah jurusan yang arogan karena tidak mematuhi peraturan dan tidak membawa nilai integralistik
Premis 2: Jika dipikir-pikir kembali, justru jurusan A adalah jurusan yang memiliki integralistik tinggi. Karena ia tetap pada jati dirinya, dan tetap hadir di acara yang besar tadi. Ia tidak meninggalkan jati dirinya, dan ia mencoba untuk menyatu diantara ketidaksamaan warna jurusan tersebut.
Bagi saya jati diri itu ada dan memang harus diperjuangkan. Jati diri tidak hadir serta merta dan gratisan. Seperti ungkapan di iklan rokok komersil, bakat adalah omong kosong, karena bakat juga perlu diasah, dan diasuh. Tak ada proses perjuangan untuk mencoba menemukan dan mengasah ya akan sama saja membuat pisau menjadi tumpul, tidak semakin tajam.
Hemat saya, mencari jati diri itu bagaikan proses dari seekor anak katak (kecebong) menjadi seekor katak dewasa. Kita tak bisa berpuas diri dengan satu pencapaian dan hasil yang bagus pada suatu fase hidup, karena kehidupan akan terus menawarkan ujian di fase-fase berikutnya
Anak katak itu pada awalnya belum mempunyai kaki untuk melompat, ia hanya memiliki ekor untuk berenang di dalam air. Kemudian ia berubah menjadi kecebong yang memiliki kaki, ia dapat belajar bergerak dan berjalan di tanah lembab pinggir kolam.
Lanjut tahap berikutnya, ia menjadi katak muda yang masih memiliki ekor dari proses kecebong sebelumnya. Lalu fase terakhir adalah menjadi katak dewasa yang sempurna, bisa hidup di air dan di daratan.
Ada beberapa hal yang perlu kita renungkan, semisal anak katak itu telah memiliki kaki dan menjadi katak muda, tapi ia masih berpuas dengan keadaannya yaitu mahir berenang. Apakah hal seperti itu bijak? Padahal ia harusnya sudah bisa move on dan bergerak lebih leluasa. Jangkauannya sudah lebih lebar lagi dari pada hanya sepetak kolam.
Bagi saya, filosofi ini bisa diterapkan untuk kesehatan mental kita. Jadi kita tidak terlalu terfokus akan keadaan diri dari masa lalu.
“Lah kan aku cocoknya kerja di air, kenapa kok aku harus kerja di darat seperti ini?”
Tunggu dulu, jangan menjadi sumbu pendek seperti itu. Keadaan hidup kita akan terus berubah. Seringnya hidup ini berisi hal-hal yang tidak kita sukai dari pada hal yang kita sukai.
Banyak hal yang membuat kita kecewa dari pada bahagia, walaupun kebahagiaan itu adalah hal suatu hasil dari usaha kita. Kita berharap untuk mendapatkan A, namun yang kita dapatkan adalah B. Lalu menjadi kecewa karenanya. Sungguh yang salah disini bukan pencapaian kita, tapi yang salah adalah harapan kita.
Begitu pula dengan kecocokan kita pada suatu hal. Apabila memang kita belum berdamai dengan diri sendiri, maka yang ada hanyalah perang batin. Antara harapan dan kenyataan. Tiada lain kekecewaan adalah jawaban satu-satunya.
Mencari jati diri memang susah, tapi bukan berarti tidak bisa untuk diusahakan secara maksimal.
Lagi-lagi coba saya gambarkan dengan apa yang mudah di sekitar kita.
Semisal kita menjadi seekor ayam, sebaiknya kita juga harus amanah menjadi ayam. Sempurnanya ayam itu bagaimana? Ayam nya jenis apa dulu? JIka memang ayam petelur, ya sempurnanya ayam petelur itu menghasilkan telur dengan kualitas bagus dalam jumlah yang banyak, sedangkan jika menjadi ayam jago pejantan, ya sempurnanya ayam jago adalah berkokok di pagi hari untuk membangunkan dunia beserta seisinya.
Jadilah sesempurnya peran kita seperti apa. Jangan malah menjadi ayam yang iri dengan kemampuan ikan yang bisa berenang, lantas ia kemudian mengadu kepada Allah Yang Maha Esa untuk bisa berenang seperti ikan di sungai itu. Kan namanya itu tidak amanah dengan peran.
Kita manusia sering kali berfikir demikian adanya. Iri dan dengki melekat dengan kita. Normal-normal saja sebenarnya jika kita bisa mengelola perasaan iri dan dengki itu menjadi sebuah energi positif untuk semakin amanah dalam menjalani peran.
Kita adalah keturunan Nabi Adam versi jalur nasabnya Qobil, bukan habil, jadi wajar aja kita memiliki rasa iri dan dengki (bercanda kuy).
Sudah, cukup panjang penjelasannya. Saya sendiri juga masih belum berdamai atas diri saya sendiri. Masih mencoba untuk mejadi manusia ruang yang dapat menampung segala pengetahuan dan menyimpannya di dalam rak-rak pikiran, Jika sewaktu-waktu saya membutuhkan, saya sudah punya bekal untuk mengatasi sebuah permasalahan.
Mencari jati diri memang unik, se-unik itu hingga kita tak dapat memberikan saran kepada kawan ktia yang sedang bersusah payah mencari jati dirinya, hingga kadang mereka mulai menyalahkan Tuhan karena sebuah alasan, mengapa aku harus dilahirkan di dunia yang tak adil ini?
Bintaro, 14 April 2020 | A. FIrmansyah
6 notes
·
View notes
Text
Sv388 Daftar Akun Judi Sabung Ayam
Sv388 adalah situs judi sabung ayam online terbesar dan terpercaya di Asia. Menyajikan permainan big match serta menampilkan pertandingan fair play menjadikan sv388 di percayai sebagai website resmi dari pertaruhan online di Asia.
Nah, untuk sobat yang ing tahu seperti apa persamainan sabung ayam pada situs agen sv388, bisa langsung daftar disini.
Setelah anda mengisi form diatas, kemudian submit maka pihak bandar sv388 langsung menghubungi anda tidak lebih dari 5 menit.
Bagai mana menurut kalian, tekat untuk mencoba bermain sabung ayam secara online di agen sv388 ?. Jika benar, yuk langsung saja lakukan transaksi deposit bersama kita dengan minimal deposit Rp 25.000 ( 25rb ).
AGEN SV388 TERPERCAYA
Agen Sv388 Indosabung yang memiliki situs resminya Indobet303 adalah agen terpercaya yang memberikan seribu kemudahan bagi seluruh pemain, serta keuntungan yang berlimpah dari promo bonus win beruntun sv388 sabung ayam dengan 7 x.
Ada banyak game yang dapat kalian mainkan didalam web site sv388,. Seperti yang telah aku sebutkan terhadap baid ke 2 artikel ini. Dimana game selanjutnya berupa sabung ayam dan live casino. Untuk memperjelas daftar permainanya, selanjutnya ini admin bakal paparkan secara detail.
Sabung ayam merupakan style permainan mengadu ke 2 style ayam jago. Dalam permainan ini satu sama berasal dari unggas selanjutnya mesti dapat merobohkan lawanya. Bekal berasal dari pertarungan ini ialah pisau yang dilekatkan terhadap anggota belakang kaki. Sehingga tidak heran jika kita lihat didalam satu pertandingan terdapat ayam yang mati ditempat bersama dengan luka yang terlalu serius
Live casino adalah style permainan dadu, atau kartu yang tersedia didalam sv388. Adapun daftar permainanya berupa baccarat, sicbo, roulette dan dragon tiger. Didalam permaina, selanjutnya seorang custumer bakal memandu berjalanya permainan lve selanjutnya yang juga dapat kalian tonton secara langsung.
Itulah dia daftar memproduksi game online terhadap provider sv388. Demi memudahkan anda didalam melakukan deposit maupun withdraw, disini kita juga menyediakan sebagian akses bank lokal yang dapat kalian gunakan. Mulai berasal dari bank bca, bni, danamon, bri dan independent dapat kalian jadikan target deposit.
Untuk menaikkan mempermudah kalian didalam melakukan deposit, disini kita juga mengijinkan penggunaan dompet digital. Apa apa saja style nya ?. Oov, danan, sakuku, jenius, link aja gopay dan tetap banyak lagi dapat kalian jadikan sebagai alat melakukan transaksi deposit.
1 note
·
View note
Text
Pangeran Bahagia
Diterjemahkan dari cerita pendek berjudul ‘The Happy Prince” karya Oscar Wilde.
Di atas tiang tinggi yang menjulang di antara bangunan-bangunan kota, berdirilah patung Pangeran Bahagia. Tubuhnya bersepuhkan emas murni, matanya terbuat dari dua batu safir terang, dan sebuah batu delima besar berkilauan pada hulu pedangnya.
Ia memang sangat dikagumi. “Tidak kalah indah dengan baling-baling ayam jago penunjuk arah angin,” komentar salah satu Anggota Dewan Kota yang diam-diam ingin dianggap memiliki selera seni, “Namun sayangnya, dia tidak sebegitu bergunanya,” tambahnya cepat, khawatir orang-orang ini menganggapnya tidak praktis, yang kenyataannya tidak seperti begitu.
“Kenapa kamu tidak bisa seperti Pangeran Bahagia itu?” tanya seorang ibu bijaksana kepada putranya yang merengek-rengek meminta sesuatu yang tidak masuk akal, bagaikan pungguk merindukan bulan. “Pangeran Bahagia tidak pernah bermimpi dan menangisi hal yang tidak-tidak.”
“Aku lega masih ada seseorang di dunia ini yang tampak cukup bahagia,” gumam seorang pria yang dirundung kecewa sambil memandang ke arah patung yang mengagumkan itu.
“Dia terlihat seperti malaikat,” kata gerombolan Anak-anak Derma saat berjalan keluar dari katedral. Mereka mengenakan mantel merah menyala dan rompi putih bersih.
“Kalian tahu dari mana?” sahut Matematikawan, “kalian kan belum pernah melihat malaikat.”
“Ah! Tapi kami pernah melihat malaikat di dalam mimpi,” jawab anak-anak itu membuat sang Matematikawan mengernyitkan dahi dan menekuk wajahnya. Ia memang tidak pernah setuju membiarkan anak-anak itu terlalu banyak bermimpi.
Suatu malam, seekor burung walet kecil terbang melintasi langit kota. Sudah enam minggu berselang sejak kawanannya terbang meninggalkannya ke Mesir. Ia memang memutuskan untuk tetap tinggal sebab kala itu ia tengah jatuh cinta kepada Gelagah tercantik yang pernah ada. Ia bertemu dengan si Gelagah pada awal musim semi saat sedang terbang mengejar ngengat kuning di sungai. Pinggang Gelagah yang begitu ramping seketika membuatnya terpesona. Ia pun memutuskan hinggap sejenak untuk bercakap-cakap.
“Bolehkah aku mencintaimu?” ujar Walet kecil yang lebih suka bicara blakblakan. Gelagah itu membalasnya dengan membungkuk rendah. Maka ia pun terbang mengelilingi burung cantik itu, menggesekkan sayapnya di air sehingga menciptakan riak berwarna perak. Gerak-geriknya itu selalu ia lakukan saat dirinya sedang kasmaran. Dan ritualnya kali ini berlangsung sepanjang musim panas.
“Sungguh cinta yang konyol,” kicau walet-walet yang lain; “Gelagah itu miskin, lagipula kerabatnya banyak sekali.” Memang benar, daerah sungai itu dipenuhi banyak gelagah. Kemudian saat musim gugur tiba para walet terbang pergi.
Setelah burung-burug itu pergi, si Walet kecil merasa kesepian. Ia juga semakin penat dengan kekasih hatinya. “Dia tidak pernah bercakap-cakap,” keluhnya. “Lagi pula aku juga curiga kalau dia penggoda. Dia selalu terlihat bermain mata dengan angin.” Memang benar, setiap kali angin berembus, Gelagah itu tidak pernah lupa menundukkan tubuhnya dengan anggun. “Kuakui dia memang rumahan,” lanjutnya, “padahal aku suka bepergian. Karenanya, sudah sepatutnya istriku juga harus suka bepergian.”
“Maukah kau pergi bersamaku?” Akhirnya si Walet kecil memberanikan diri untuk bertanya. Tapi si Gelagah menggelengkan kepala, ia begitu setia dengan rumahnya.
“Aku sudah membuang-buang waktuku bersamamu,” seru Walet geram. “Aku akan pergi ke gugusan Piramida. Selamat tinggal!” Maka pergilah Walet kecil itu.
Sepanjang hari ia terus terbang sampai akhirnya tiba di kota pada malam hari. “Di mana aku harus bermalam?” ujarnya, “Mudah-mudahan mereka sudah bersiap-siap menyambut kedatanganku.”
Lalu terlihat olehnya patung Pangeran Bahagia di atas tiang yang tinggi itu.
“Aku akan bertengger di sana,” serunya, “posisinya bagus dengan banyak udara segar.” Maka hinggaplah ia di antara kedua kaki Pangeran Bahagia.
“Sekarang aku punya kamar tidur dari emas,” ucapnya lirih kepada dirinya sendiri sambil menatap ke sekeliling. Walet itu pun bersiap tidur. Namun baru saja menyelipkan kepalanya di sela-sela sayap, setetes air jatuh menimpanya. “Aneh!” serunya, “Tidak ada awan sedikit pun di langit, bintang-bintang juga bersinar terang, tapi masih saja hujan. Iklim di utara Eropa benar-benar buruk. Si Gelagah biasanya menyukai hujan, tapi itu semata-mata karena keegoisannya.”
Lalu satu tetes jatuh lagi.
“Apa gunanya ada patung di sini jika tidak bisa melindungiku dari hujan?” keluhnya, “Aku harus mencari cerobong asap yang bagus,” ia pun bertekad untuk terbang kembali.
Namun sebelum ia sempat mengepakkan sayapnya, tetesan ketiga jatuh. Burung itu menengadah dan melihat—Ah! Apa yang ia lihat barusan?
Mata Pangeran Bahagia dibanjiri air mata yang perlahan menetes di pipi emasnya. Wajahnya tampak begitu tampan di bawah sinar rembulan sehingga membuat Walet kecil itu mengasihaninya.
“Kau siapa?” tanya si Walet kecil.
“Aku adalah Pangeran Bahagia.”
“Kalau benar begitu, kenapa kau menangis?” tanya Walet, “kau membuatku basah kuyup.”
“Ketika aku masih hidup dan hati manusiaku masih berdegup,” jawab si patung, “aku tidak tahu apa itu air mata. Aku tinggal di Istana Sans-Souci yang melarang kesedihan untuk bertandang. Siang hari aku bermain dengan teman-temanku di taman dan di malam hari aku memimpin tarian di Aula Besar. Ada tembok yang sangat tinggi mengelilingi taman, tapi aku tidak pernah peduli untuk bertanya apa yang ada di baliknya, sebab semua yang kumiliki sudah begitu indah. Para pengikutku memanggilku Pangeran Bahagia, mereka tidak salah, aku memang bahagia, kalau kesenangan diartikan dengan kebahagiaan. Maka begitulah aku hidup dan begitu pulalah aku mati. Setelah mati mereka menempatkanku di tiang yang tinggi sehingga aku bisa melihat keburukan dan kesedihan di kotaku ini. Meski hatiku terbuat dari timah, aku tidak punya pilihan lain kecuali menangis.”
“Apa! Jadi dia tidak sepenuhnya terbuat dari emas?” kata Walet kecil kepada dirinya sendiri. Burung itu cukup sopan sehingga tidak berani berkomentar keras-keras.
“Jauh di sana,” kata patung itu melanjutkan dengan suara rendahnya yang merdu, “jauh di sana, di sebuah jalan kecil, ada rumah reyot. Salah satu jendelanya terbuka, dan dari situ aku bisa melihat seorang perempuan duduk di mejanya. Wajahnya kurus dan lusuh. Tangannya kasar dan merah-merah akibat tusukan jarum. Perempuan itu adalah seorang penjahit. Ia sedang menyulam bunga passiflora pada sebuah gaun satin untuk dipakai para pengiring Ratu pada Pesta Dansa kerajaan yang akan datang. Di sudut ruangan, anak laki-lakinya terbaring sakit di atas ranjang. Ia sakit demam, dan minta dibelikan buah jeruk. Ibunya tidak memiliki apa-apa lagi selain air putih, maka anak itu pun menangis. Walet, Walet, Walet kecil, tidakkah kau ingin mengantarkan batu delima di hulu pedangku ini untuknya? Kakiku direkatkan kuat pada tumpuan ini sehingga aku tidak bisa bergerak.”
“Aku sudah ditunggu di Mesir,” kata Walet. “Teman-temanku sedang terbang di atas Sungai Nil dan bercakap-cakap dengan bunga teratai besar. Sebentar lagi mereka akan tidur di atas makam Raja agung. Raja itu seorang diri di dalam petinya yang telah dilukis. Ia dibungkus dalam kain linen berwarna kuning dan tubuhnya dioles rempah-rempah. Di lehernya menggantung kalung batu giok berwarna hijau pucat, dan tangannya seperti daun yang sudah layu.”
“Walet, Walet, Walet kecil,” kata Pangeran, “tidakkah kau ingin bermalam di sini, dan menjadi kurirku? Anak laki-laki itu sangat kehausan, dan ibunya sangat malang.”
“Aku tidak suka anak laki-laki,” jawab Walet kecil. “Musim panas tahun lalu, ketika aku sedang singgah di sungai, ada dua anak laki-laki yang kasar, anak para penambang. Mereka selalu melempari batu ke arahku. Tentu saja batunya tidak pernah mengenai tubuhku. Kami, para walet terbang dengan sangat lihai untuk menghadapi situasi seperti itu. Lagi pula, aku juga dilahirkan dari keluarga yang terkenal dengan kelincahannya. Tapi tetap saja, apa yang mereka lakukan itu kurang ajar.”
Namun Pangeran Bahagia terlihat sangat sedih sehingga membuat si Walet kasihan. “Di sini sangat dingin,” katanya, “tapi aku akan bermalam di sini bersamamu, dan menjadi kurirmu.”
“Terima kasih, Walet kecil,” kata Pangeran.
Walet kecil itu kemudian mengambil batu delima besar dari pedang Pangeran dan terbang di atas atap-atap rumah di kota sambil menggapit batu permata itu di paruhnya.
Ia melewati menara katedral, tempat malaikat-malaikat dari batu pualam dipahat. Lalu melewati istana dan mendengar suara tarian. Seorang gadis cantik jelita keluar di balkon bersama dengan kekasihnya. “Betapa indah bintang-bintang malam ini,” kata kekasihnya, “dan betapa indah kekuatan cinta.”
“Semoga gaunku sudah siap untuk Pesta Dansa nanti,” jawab gadis itu. “Aku sudah meminta supaya gaunku disulam dengan bunga passiflora, tapi penjahit itu sangat malas.”
Ia terbang menyusuri sungai dan melihat lentera yang digantung di tiang-tiang kapal. Kemudian ia melewati daerah kumuh, dan melihat orang-orang Yahudi tua saling menawar satu sama lain sambil menimbang uang mereka di timbangan perunggu. Akhirnya ia pun sampai di rumah reyot itu dan melongok ke dalam. Anak laki-laki itu terbaring di kasurnya karena demam dan ibunya sudah tertidur, ia sangat kelelahan. Walet kecil itu melompat masuk dan meletakkan batu delima di atas meja, di samping bidal milik perempuan itu. Kemudian ia terbang perlahan mengelilingi ranjang, mengipasi kening anak laki-laki itu dengan kedua sayapnya. “Sejuknya,” gumam si anak laki-laki, “sepertinya aku akan segera sembuh” dan anak laki-laki itu semakin lelap dalam tidurnya.
Setelah itu si Walet kecil terbang kembali ke tempat Pangeran Bahagia, dan menceritakan kepadanya apa saja yang telah ia lakukan. “Aneh sekali,” seru burung itu, “sekarang aku merasa lebih hangat meskipun udara begitu dingin.”
“Itu karena kau telah melakukan kebajikan,” kata Pangeran. Dan Walet kecil itu pun mulai berpikir, sampai tertidur. Berpikir selalu membuatnya tertidur.
Ketika pagi tiba, Walet itu terbang ke sungai dan mandi. “Sebuah fenomena yang luar biasa,” ucap seorang Profesor Ornithology saat sedang menyeberang jembatan. “Seekor Walet di musim salju!” Kemudian ia segera menulis surat yang panjang, menceritakan tentang pemandangan yang ia jumpai itu dan mengirimkannya ke sebuah kantor surat kabar lokal. Setiap orang mengutip berita tersebut. Isinya penuh dengan kata-kata yang tidak mereka mengerti.
“Malam ini aku akan pergi ke Mesir,” kata si Walet kecil. Ia sangat bersemangat membayangkan kemungkinan itu. Ia mengunjungi semua monumen publik di kota dan bertengger lama di puncak menara gereja. Ke mana pun ia pergi, Burung-burung Gereja berkicauan dan saling berkomentar satu sama lain, “Sungguh burung asing yang berbeda dengan kita!” Itulah sebabnya ia semakin menikmati terbang seorang diri.
Ketika rembulan menampakkan wujudnya, ia kembali terbang ke tempat Pangeran Bahagia. “Kau mau pesan apa saat aku ke Mesir nanti?” serunya. “Aku akan pergi.”
“Walet, Walet, Walet kecil,” kata Pangeran itu, “tidakkah kau ingin bermalam lebih lama lagi?”
“Aku sudah ditunggu di Mesir,” jawab Walet. “Esok hari teman-temanku akan terbang ke Riam Kedua Sungai Nil. Kuda nil berbaring di sana di antara rumput-rumput gajah. Lalu di atas batu granit besar, duduklah Dewa Memnon. Sepanjang malam ia memandangi bintang-bintang. Lalu ketika bintang fajar bersinar, ia mengucapkan satu seruan sukacita, sebelum kembali terdiam. Di siang hari singa-singa berwarna kuning datang ke pinggir sungai untuk minum. Mereka memiliki mata yang menyerupai batu beril hijau dan auman mereka lebih keras dibandingkan dengan deru riam sungai.”
“Walet, Walet, Walet kecil,” kata Pangeran, “jauh di sana, di seberang kota aku melihat seorang pemuda di lotengnya. Ia mencondongkan tubuhnya ke meja yang penuh dengan tumpukan kertas-kertas. Di sampingnya ada seikat bunga violet layu yang diletakkan di dalam gelas. Rambutnya coklat dan kering, bibirnya merah seperti buah delima, dan ia memiliki sepasang mata yang lebar dan selalu melamun. Ia sedang berusaha menyelesaikan naskah drama untuk Sutradara Teater. Tapi kini tubuhnya terlalu menggigil untuk tetap menulis. Tidak ada api di lotengnya, dan rasa lapar telah membuatnya jatuh pingsan.”
“Aku akan menunggu di sini bersamamu semalam lagi,” kata Walet kecil berhati mulia. “Apakah aku harus memberikannya batu delima lagi?”
“Sayang! Aku tidak punya batu delima lagi sekarang,” kata Pangeran, “satu-satunya yang tersisa adalah mataku yang terbuat dari batu safir langka, didatangkan langsung dari India seribu tahun yang lalu. Congkel salah satunya dan berikan kepada pemuda itu. Ia akan menjual batu safir tersebut kepada tukang perhiasan, sehingga bisa membeli makanan dan kayu bakar. Dengan begitu ia bisa merampungkan naskah dramanya.”
“Wahai Pangeran,” kata Walet kecil, “Aku tidak bisa melakukannya.” Kemudian ia mulai menangis.
“Walet, Walet, Walet kecil,” kata Pangeran, “lakukan sebagaimana aku memerintahkanmu.”
Walet kecil itu pun mencongkel satu mata Pangeran dan terbang pergi ke loteng pelajar tersebut. Cukup mudah untuk masuk ke dalam karena ada lubang di atapnya. Lewat lubang itu, ia melesat dan masuk ke dalam ruangan. Pemuda itu menelungkupkan kepalanya di kedua tangan sehingga tidak bisa mendengar suara kepakan sayap Walet kecil. Ketika pemuda itu menengadah, ia menemukan sebuah batu safir yang indah tergeletak di bunga violetnya yang telah layu.
“Sekarang aku mulai dihargai,” seru pemuda itu, “ini pasti dari pengagumku. Sekarang aku bisa menyelesaikan naskah dramaku.” Dan ia pun terlihat senang.
Keesokan harinya, Walet kecil terbang ke pelabuhan. Ia bertengger di tiang kapal besar dan memandangi para pelaut yang membusungkan dada mereka sambil menarik tali. “Heave a-hoy!” teriak mereka satu sama lain sambil terus membusungkan dada. “Aku akan pergi ke Mesir!” seru Walet kecil, tapi tak satu pun dari orang-orang itu mendengarnya. Ketika rembulan muncul, ia kembali terbang ke tempat Pangeran Bahagia.
“Aku kembali untuk mengucapkan selamat tinggal kepadamu,” kicaunya.
“Walet, Walet, Walet kecil,” kata Pangeran, “tidakkah kau ingin bermalam lebih lama lagi?”
“Sekarang musim dingin,” jawab Walet, “salju akan segera datang ke kota ini. Di Mesir, matahari bersinar hangat di atas pohon-pohon palem dan buaya-buaya berbaring di lumpur sambil bermalasan-malasan. Teman-temanku membangun sarang di Kuil Baalbec. Burung-burung merpati putih dan merah jambu memandangi mereka sambil bertukar kicauan satu sama lain. Wahai Pangeran, aku harus meninggalkanmu, tapi aku tidak akan pernah melupakanmu. Di musim semi mendatang aku akan kembali dan membawakanmu dua batu permata cantik untuk menggantikan apa yang sudah kau berikan kepada orang lain. Batu delimanya nanti akan lebih merah dibandingkan bunga mawar, dan batu safirnya akan sebiru samudra.”
“Di alun-alun kota, tepat di bawahku,” kata Pangeran Bahagia, “ada seorang gadis cilik penjual korek api. Semua korek apinya jatuh ke selokan sehingga tidak bisa digunakan lagi. Ayahnya akan memukulinya jika ia pulang tanpa membawa uang. Sekarang gadis cilik itu menangis. Ia tidak mempunyai sepatu ataupun kaus kaki, dan kepalanya dibiarkan kedinginan tanpa tudung. Congkel satu mataku lagi dan berikan kepadanya, maka ayahnya tidak akan memukuli gadis itu.”
“Aku akan bermalam bersamamu lebih lama lagi,” kata Walet kecil, “tapi aku tidak bisa mencongkel matamu lagi. Nanti kau akan buta.”
“Walet, Walet, Walet kecil,” kata Pangeran, “lakukan sebagaimana aku memerintahkanmu.”
Tak ada pilihan lain, burung itu mencongkel mata Pangeran kemudian terbang ke bawah. Ia terbang menukik ke tempat gadis penjual korek api berdiri dan menyelipkan batu permata tersebut ke telapak tangannya. “Betapa indahnya,” seru si gadis cilik dan ia pun berlari pulang sambil tertawa riang.
Kemudian Walet kecil itu kembali mendatangi Pangeran. “Sekarang kau buta,” katanya, “jadi aku akan tinggal bersamamu selamanya.”
“Tidak, Walet kecil,” kata Pangeran yang malang itu, “kau harus pergi ke Mesir.”
“Aku akan selalu tinggal bersamamu,” kata Walet kecil, lalu ia pun tertidur di kaki Pangeran.
Hari-hari selanjutnya, burung itu selalu bertengger di bahu Pangeran sambil menceritakan kisah-kisah yang pernah ia temui di daratan asing. Ia menceritakan kepadanya tentang burung-burung ibis merah yang berbaris panjang di tepi Sungai Nil sambil menangkap ikan emas dengan paruh mereka; tentang Sphinx yang tinggal di gurun, yang berusia sama tuanya dengan usia dunia ini sehingga mengetahui segala hal; tentang saudagar yang berjalan perlahan di samping unta-untanya sambil membawa tasbih kuning di tangan mereka; tentang Raja Gunung Bulan yang kulitnya sehitam kayu eboni dan memuja kristal agung; tentang ular hijau besar yang tidur di pohon palem dan memiliki dua puluh orang imam yang akan memberinya makan berupa kue madu; juga tentang pigmi yang berlayar menyeberangi danau besar di atas daun lebar dan selalu berperang dengan kupu-kupu.
“Wahai Walet kecil,” kata Pangeran, “kau menceritakan kepadaku tentang hal-hal yang luar biasa. Tapi tidak ada yang lebih luar biasa dibandingkan penderitaan manusia-manusia ini. Tidak ada misteri yang lebih hebat daripada penderitaan. Terbanglah di atas kotaku, Walet kecil, lalu ceritakan kepadaku apa yang kau lihat di sana.”
Walet kecil itu pun terbang di atas kota dan menyaksikan orang-orang kaya sedang bersuka ria di rumah mereka yang indah, sementara para pengemis bersimpuh di depan pintu gerbang. Ia terbang menembus lorong-lorong gelap dan melihat wajah putih pucat dari anak-anak yang kelaparan, mengais dengan lesu di jalanan yang gelap. Di bawah gapura jembatan, dua bocah laki-laki sedang berbaring di atas lengan mereka, berusaha saling menghangatkan diri satu sama lain. “Lapar sekali!” kata mereka. “Kalian tidak boleh berbaring di sini,” teriak Penjaga Jembatan sambil mengusir. Akhirnya kedua bocah itu pun berjalan tanpa arah di bawah rintik hujan.
Walet kecil itu lalu kembali terbang dan menceritakan kepada Pangeran apa saja yang telah ia lihat.
“Tubuhku disepuh emas murni,” ucap Pangeran, “kau harus mengambil sekeping demi sekeping, dan berikan kepada orang-orang miskin itu. Mereka selalu percaya bahwa emas bisa membuat mereka bahagia.”
Satu persatu kepingan emas itu ia ambil hingga Pangeran Bahagia terlihat kusam dan kelabu. Lalu kepingan-kepingan emas murni tersebut ia bawa kepada orang-orang miskin. Wajah anak-anak itu merona kemerahan dan mereka kembali bermain di jalanan sambil tertawa. “Sekarang kita punya roti!” seru mereka girang.
Salju pun turun. Setelah itu semua ikut membeku. Jalanan seperti terbuat dari perak, bercahaya dan berkilauan. Di atap-atap rumah untaian es menggantung panjang seperti belati kristal. Semua orang memakai baju berbulu, bocah-bocah kecil memakai topi berwarna merah sambil berseluncur di atas es.
Walet kecil yang malang itu semakin kedinginan, tapi ia tidak pernah pergi dari sisi Pangeran. Ia terlalu mencintainya. Ia memungut remah-remah di luar pintu toko roti ketika tukang roti tidak melihat dan berusaha menghangatkan tubuhnya dengan terus mengepakkan sayap.
Namun pada akhirnya Walet kecil itu tahu bahwa dirinya akan mati. Ia hanya memiliki sedikit kekuatan untuk terbang di atas pundak Pangeran sekali lagi. “Selamat tinggal, wahai Pangeran!” gumamnya, “maukah kau mengizinkan aku untuk mencium tanganmu?”
“Aku bahagia akhirnya kau akan pergi ke Mesir, Walet kecil,” kata Pangeran, “kau telah tinggal telalu lama di sini. Tapi kau harus menciumku di bibir, karena aku mencintaimu.”
“Bukan Mesir yang akan kutuju,” kata Walet kecil. “Aku akan pergi ke Rumah Kematian. Bukankah Tidur dan Kematian itu bersaudara?”
Walet kecil itu pun mencium Pangeran tepat di bibirnya, sebelum jatuh tewas di kakinya.
Pada waktu yang bersamaan, terdengar bunyi retak aneh yang muncul dari dalam tubuh patung, seakan-akan ada sesuatu yang rusak. Ternyata, hati timah di dalam tubuh patung itu terbelah menjadi dua. Keras membeku.
Pagi harinya Walikota berjalan di alun-alun ditemani para Dewan Kota. Saat mereka melewati tiang itu, Walikota mendongakkan kepalanya untuk melihat patung tersebut. “Ya ampun! Pangeran Bahagia benar-benar kelihatan lusuh!” katanya.
“Lusuh sekali memang!” sahut para Dewan Kota yang selalu mengiyakan apa yang diucapkan sang Walikota. Bersama-sama mereka memandangi patung itu.
“Tampaknya batu delima di pedangnya atuh entah kemana, matanya hilang, dan emas di tubuhnya sudah tidak ada lagi,” kata Walikota sesuai dengan kenyataan yang ada, “Lusuh sekali. Tidak jauh berbeda dengan seorang pengemis!”
“Tidak jauh berbeda dengan seorang pengemis,” sahut para Dewan Kota.
“Dan lihat, ada burung mati di kakinya!” lanjut sang Walikota. “Kita harus segera membuat pengumuman bahwa burung-burung tidak diperbolehkan mati di sini.” Usulannya pun segera dicatat oleh Juru Tulis Kota.
Akhirnya mereka menurunkan patung Pangeran Bahagia dari tempatnya. “Karena dia sudah tidak lagi indah, kini dia tidak lagi berguna,” kata Profesor Seni di Universitas Kota.
Mereka pun segera melelehkan patung tersebut di dalam tungku. Sementara itu Walikota mengadakan rapat dengan Staf Pemerintahan Kota untuk memutuskan apa yang harus mereka lakukan dengan lelehan logam tersebut. “Tentunya, kita harus membuat patung yang lain” kata Walikota, “dan patung itu akan berwujud diriku sendiri.”
“Berwujudkan diriku,” ujar masing-masing anggota Dewan Kota, dan mereka pun saling berdebat. Terakhir kali kudengar, mereka masih tetap saja berdebat.
“Aneh sekali!” ujar mandor di tempat pengecoran. “Hati timah yang rusak ini tidak bisa meleleh di dalam tungku. Ah, lebih baik kita buang saja.” Mereka akhirnya membuang hati itu ke atas tumpukan debu, tempat tubuh beku Walet kecil terbaring.
“Bawakan kepadaku dua hal yang paling berharga di kota,” kata Tuhan kepada salah satu Malaikat-Nya. Dan Malaikat itu membawakan sekeping hati yang terbuat dari timah dan tubuh burung yang telah mati.
“Pilihan yang tepat,” kata Tuhan, “di Taman Surga-Ku nanti, burung kecil ini akan terus bernyanyi selama-lamanya, dan di dalam Kota Emas-Ku, Pangeran Bahagia akan terus memuliakan-Ku.”
5 notes
·
View notes
Text
Info Lengkap Si Mistis Ayam Aduan Sisik Hijau Kering
Info Lengkap Si Mistis Ayam Aduan Sisik Hijau Kering – Dalam dunia sabung ayam aduan pasti semua botoh ingin memiliki ayam aduan yang berkualitas serta kuat. Dengan memiliki ayam aduan seperti ini kesempatan untuk meraih kemenangan pertandingan menjadi lebih besar.
Ayam yang berkualitas biasanya dilihat dari sisik kakinya. Sisik kaki seperti kelihatan kaki buaya yang dipadukan dengan hijau…
View On WordPress
#ayam aduan mistis#ayam aduan sisik hijau#ayam sisik hijau#kaki ayam aduan#kaki ayam jago#Kaki Ayam Juara#Panduan Ayam Aduan#sabung ayam aduan#sabung ayam juara#sisik ayam hijau#Sisik Ayam Juara#sisik hijau kering#Sisik Kaki Ayam#tips ayam aduan
0 notes