#5ccday17
Explore tagged Tumblr posts
Text
Ambil atau Lepas (Eps 2)
Mobil sirine berbunyi nyaring menuju tempat kejadian dan segera berbalik arah menuju Rumah Sakit terdekat.
Marlina, Indira, dan pak sopir segera dilarikan ke rumah sakit. Begitu juga pengemudi bus yang terlampaui luka parah. Berita kecelakaan tersebut tak perlu beberapa hari untuk sampai terdengar di seluruh tanah air. Termasuk anaknya Azka.
“Dokter Azakaaa, sudah tau berita ini belum dok?” seorang perawat senior menghampiri Azka dengan terburu-buru sambil menyodorkan berita di handphonenya
“Berita apa Bu Rita?” tanya Azka keheranan sambil menerima handphone dan membaca berita up to date tersebut
“Ini Mama nya dokter kan? Beliau kecelakaan baru baru ini. Dokter langsung pulang saja. Biar nanti saya urus pasien pasien dokter”
“Makasih Bu” jawab Azka singkat dan langsung meninggalkan ners station menuju rumah sakit ya dituju.
Azka sudah menanyakan sejawatnya di rumah sakit tempat Mama nya dirawat. Dia mendapatkan kabar bahwa Mamanya masih dalam proses Tindakan dan masih belum sadarkan diri. Saat perjalanan menuju rumah sakit Azka mendapatkan notifikasi terkait briefing persiapan pemberangkatan ke Turki esok lusa. Saat ini yang dia pikirkan adalah keadaan Mamanya.
Mobil silver yang ditumpanginya seakan mendesit tanda rem yang dipaksa berhenti akibat laju yang kencang di suatu parkiran rumah sakit. Dengan tergesa gesa ia menyusuri lorong menuju ruang operasi. Sesampai disana ia bertemu dengan ners dan menanyakan kronologi kejadian. Terdapat pula polisi yang melakukan tugasnya untuk meneliti bagaimana kecelakaan itu terjadi.
“Bagaimana keadaan Mama saya sus?” tanya Azka pada salah satu ners
“Mama dokter masih belum sadar, ada banyak luka di daerah kepala dan harus dioperasi. Kita tunggu saja hasilnya dulu yad ok” ucap suster tersebut
Azka pun menunggu operasi Mamanya selesai.
[BERSAMBUNG]
3 notes
·
View notes
Text
In My Way - Menuju Kesempurnaan (2)
“Dia sudah punya timeline nya sendiri, yang saat ini cukup hanya dia yang mengetahui.”
Setelah selesai acara seminar di Yogyakarta, Kirana memutuskan untuk langsung Kembali ke Surakarta. Tentu saja dia menyempatkan diri untuk beramah tamah dengan para peserta dan karyawan Bentang lainnya. Dia juga masih sempat untuk berbincang dengan Mba Rara dan Mba Farida terkait pembuatan bukunya yang kedua. Termasuk rencana Kirana kali ini dalam melakukan riset cerita. Dalam perjalanan menggunakan KRL Solo-Jogja yang membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam lamanya, Kirana berusaha membunuh waktu dengan membaca artikel-artikel yang selama ini menyita perhatiannya. Tentu saja masih dalam kepentingan riset buku Kirana selanjutnya. Ketika larut dalam bacaan yang berada dalam genggamannya, handphone Kirana berbunyi menandakan sebuah pesan masuk ke akun whatsapp nya.
Hisyam Amari
Kiran, masih dalam perjalanan pulang dari Yogyakarta? Gimana tadi acara seminar pertama nya?
Kirana Zoeya
Iya syam, ini aku masih di kereta. Alhamdulillah lancar, setiap pertanyaan bisa aku jawab semua.
Hisyam Amari
Wah, ga heran ya.. kamu selalu maksimal dalam bekerja.
Kirana Zoeya
Kan memang sudah seharusnya Hisyaam -_- jangan berlebihan deh ya. Btw, ada apaa?
Hisyam Amari
Ga berlebihan Kiran, aku tuh cuma bangga aja.
Besok Sabtu aku pulang ke Surakarta, kita ketemuan ya? udah lama ga ngobrol berdua.
Kirana Zoeya
Loh kita kan sering ngobrol via whatsapp kalau kamu lupa.
Hisyam Amari
Ya maksudnya ngobrol langsung dong Kiran.. di whatsapp kan pesannya singkat-singkat aja. Apalagi kamu suka bales chatnya lama.
Kirana Zoeya
Hahaha kamu kan tau aku pegang hp seperlunya saja, ga perlu aku jelasin lagi kan yaa..
Baiklah, kabari saja kalau kamu sudah tiba. Nanti kita atur lagi waktu dan tempatnya.
Hisyam Amari
Haha iya deh aku nyerah kalau harus berdebat soal betapa slowres nya seorang Kirana Zoeya.
Oke siap, sampai jumpa!
Kirana tidak lagi membalas pesan itu. Cukup nanti saling berkabar kembali untuk menentukan waktu dan tempat mereka bertemu. Semenjak dua tahun lalu, Kirana dan Hisyam menjadi semakin akrab dan selalu saling meluangkan waktu. Meskipun Hisyam sekarang sudah pindah ke Ibu Kota karena pekerjaannya yang baru.
Ada suatu fakta yang menarik tentang mereka berdua. Kirana tipe perempuan yang cukup cuek dengan lingkungan sekitarnya. Pekerjaannya sebagai penulis membuatnya semakin terbiasa untuk fokus pada dunianya. Namun dia bisa menjadi sosok yang sangat terbuka, bisa berdiskusi akan banyak hal dengan siapa saja, kalau memang dia butuh mencari inspirasi baru dan mengerjakan riset ceritanya. Hisyam yang selalu memulai komunikasi diantara keduanya. Membuka obrolan dengan berbagai topik untuk memancing Kirana. Sejak Hisyam pindah ke Jakarta, sifat cuek dan kebiasaan Kirana yang selalu lama membalas pesannya semakin terasa. Pada akhirnya Hisyam pun memaklumi hal tersebut karena sudah terbiasa.
Kirana sampai di rumah pukul lima sore dan langsung membersihkan dirinya. Setelah itu dia bersiap untuk sholat Maghrib berjamaah bersama Ibu dan adiknya. Keluarga Kirana yang semula beranggotakan 4 orang sekarang hanya tinggal bertiga. Ayahnya sudah meninggal sejak Kirana masih duduk di bangku kelas 10 SMA. Adik Kirana yang bernama Fajar Rabbani saat itu bahkan baru naik kelas dua. Umur mereka memang terpaut cukup jauh karena orang tua mereka sempat kesulitan untuk memiliki anak yang kedua. Kondisi keluarga yang seperti ini yang membuat Kirana berpikir bahwa keputusan untuk bekerja sebagai penulis ada benarnya. Dia bisa bekerja dari rumah saja dan menemani Ibunya. Fajar sudah kelas 11 SMA dan tahun depan dia sudah pasti merantau keluar kota. Adik Kirana itu ingin berkuliah di Bandung karena mengincar jurusan teknik terbaik di Indonesia. Kirana tentu akan mendukung sepenuhnya. Tapi Ibu mereka akan tinggal seorang diri yang jadi konsekuensinya. Tidak terbayang oleh Kirana jika dia tetap bersikeras untuk menetap dan bekerja di Jakarta.
Setelah sholat mereka terbiasa untuk makan bersama. Ibunya memang sengaja membangun kebiasaan ini sebagai momentum untuk bisa berdiskusi bersama anak-anaknya. Dimulai dari pembahasan tentang aktivitas setiap harinya, hal-hal yang bisa disyukuri setiap waktunya, kejadian-kejadian kurang menyenangkan yang bisa jadi pelajaran untuk kedepannya, hingga rencana jangka panjang dan strategi apa saja yang sudah dilakukan oleh Kirana dan Fajar untuk meraih mimpinya.
Kejadian dua tahun lalu yang memberikan banyak luka kepada Kirana, ternyata memberikan pelajaran juga bagi Ibunya. Kirana pernah bercerita bahwa salah satu penyebab dia salah memilih jalan karena dia memang tidak tahu apa yang benar-benar diinginkannya. Selama ini dia hanya mengikuti alur yang ada. Penolakan dari perusahaan Jepang saat itu hingga tawaran bekerja sebagai penulis yang membuat Kirana mulai menelaah kembali tentang kehidupan ideal seperti apa yang ingin diraihnya. Ibu Kirana merasa bertanggung jawab atas perkembangan dan pendidikan kedua anaknya. Sehingga apa yang Kirana alami diharapkan tidak terjadi pada adiknya, bahkan tidak terjadi lagi pada Kirana di fase kehidupan berikutnya.
“Gimana tadi acara seminar pertamamu Rana?”
“Ibu seperti Hisyam saja, menanyakan hal yang persis sama.”
“Loh wajar dong Ibu bertanya, Hisyam itu yang mendahului Ibu bertanya. Lagian dia memang terlalu rajin menanyakan kabar kamu bagaimana.”
“Ya lancar Bu Alhamdulillah. Semua pertanyaan bisa dijawab sama Rana. Penanya nya cukup kritis dan kebanyakan masih anak muda.”
“Wah, berarti Kakak sudah tidak muda ya.” Fajar menimpali dengan unsur menjahili Kirana seperti biasa.
“Heh secara umur ya jelas Kakak sudah lebih dewasa dibandingkan mereka. Tapi Kakak ini kan awet muda. Banyak yang kira Kakak ini masih SMA.”
“Halah sok berlaga muda, padahal secara usia memang sudah tua. Terima saja nasibmu Ka.” Kali ini Fajar mengakhiri perkataannya dengan menjulurkan lidahnya.
“Sudah-sudah kalian ini selalu berdebat saja. Tapi Kirana, ngomong-ngomong soal tua muda, kamu tahun ini sudah umur dua puluh lima.” Ibunya tiba-tiba saja membahas soal usia.
“Iya Bu Rana tau ko, ga perlu Ibu ingatkan juga.” Sambil mendengus pelan Rana menanggapi Ibunya.
“Bukan soal itu Rana, Ibu hanya ingin bertanya, kapan rencana kamu untuk berkeluarga? Ibu bukan bermaksud seperti orang pada umumnya yang mendesak anaknya untuk segera menikah muda. Tapi secara usia kamu sudah matang kan ya, jadi Ibu ingin tahu rencana kamu terkait hal ini bagaimana.”
“Aduh Bu, boleh ga Rana jawab nanti aja. Kirana akan sampaikan ke Ibu kalau udah ada rencananya. Bahkan Ibu sudah tahu dalam 1 tahun ke depan apa yang menjadi agenda Rana.”
Pertanyaan sang Ibu membuat Kirana harus kembali melakukan refleksi. Sejak menjadi penulis dia benar-benar fokus dengan karir dan pengembangan diri. Menikah bukan agenda terdekatnya saat ini. Tentu dia ingin memiliki pasangan dan membangun keluarga suatu saat nanti. Tapi dia sudah punya timeline nya sendiri, yang saat ini cukup hanya dia yang mengetahui.��
“Yasudah, kita bisa membahasnya lagi nanti kalau kamu sudah mau menceritakannya. Lantas, rencana untuk riset buku keduamu bagaimana Rana?”
“Rana masih terus melakukan riset secara online dengan baca artikel-artikel yang ada. Tadi saat acara, Mba Farida juga mengenalkan Rana sama temannya yang jadi perantauan di Jogja. Rana sudah dapat kontaknya. InsyaAllah lebih mudah untuk tanya-tanya soal kampung halamannya. Tapi tetap saja Rana harus turun langsung kelapangan untuk bisa merasakan sendiri suasana disana.”
“Ibu senang kamu bisa totalitas dalam melakukan pekerjaanmu. Tapi kamu harus bisa mengukur segala resiko yang mungkin datang dari keputusanmu itu.”
“Bu, kita sudah membahas ini berkali-kali. Ibu yang paling tahu niat Rana sampai terjun langsung kali ini. Rana hanya ingin mengangkat kisah hidup mereka ke khalayak agar tidak terus dipandang sebagai anomali. Mereka juga bagian dari bangsa ini. Bahkan perjalanan Rana kali ini akan lebih berarti. Selama Rana disana ada banyak hal yang bisa Rana bagi, termasuk meningkatkan kemampuan mereka dalam literasi.”
“Iya, Iya. Ibu dukung semua keputusan Rana. Ibu hanya ingin kamu waspada, itu saja.”
“Kirana tahu Ibu khawatir akan ditinggal oleh Rana. Tapi kan masih ada Fajar anak Ibu yang kedua. Rana pastikan kalau Rana akan kembali kesini menemani Ibu sesaat sebelum Fajar kuliah ke luar kota. Timeline kepulangan Rana tepat seminggu lebih cepat dari jadwal sidang terbuka di kampus impiannya. Ya semoga saja Fajar bisa diterima disana.”
Selesai makan malam Kirana kembali ke kamar untuk melanjutkan risetnya. Sudah sekian puluh artikel yang dia baca, tapi dia tetap sulit mendapatkan rasa dan menghadirkan dirinya masuk ke dalam cerita. Alur yang sudah dia buat terus saja diubahnya.
Kirana pun terperangah saat handphone nya bergetar untuk yang kedua kali, menunjukkan nama yang selalu muncul di layar dua tahun terakhir ini.
Hisyam Amari
Hai Kiran, selamat malam. Aku sudah sampai di rumah tadi jam 7 malam. Besok jadi kan ya kita ketemuan?
Kirana Zoeya
Loh ko cepat sekali. Kamu kereta jam berapa hari ini?
Hisyam Amari
Jam 10 pagi. Hari ini aku ambil cuti.
Kirana Zoeya
Wah pantas saja. Boleh deh besok sekalian olahraga pagi gimana?
Hisyam Amari
Oke, kita ketemu di taman kota seperti biasa ya. Mau jam berapa?
Kirana Zoeya
Jam 06.30 sudah di tempat ya.
Hisyam Amari
Siap grak! Selamat beristirahat 😊
Lagi-lagi, Kirana merasa tidak perlu membalasnya kembali. Waktu dan tempat sudah disepakati. Jadi Kirana rasa tidak ada hal yang perlu dibahas lagi.
Bersambung..
1 note
·
View note
Text
Mari kita bernostalgia sejenak...
Kota M sungguh kota yang punya daya tarik. Bagi siapapun yang pernah mendiami kota ini lebih dari 30x24 jam, akan sulit untuk tidak menjadikannya tempat domisili. Barangkali mencapai 80% mereka yang pernah menjalani kuliah di kota M, lalu menjadikannya sebagai tempat tinggal untuk menjalani kehidupannya selepas kuliah. Bagaimana tidak? Dia dikenal dengan kota yang dingin, banyak pepohonan di sana-sini, bahkan beberapa pohon besar sepertinya tidak akan pernah ditebang oleh pemerintahnya, kecuali ia akan roboh dengan sendirinya. Kota yang memiliki magnet bagi setiap manusia yang pernah mengunjunginya. Termasuk aku.
Semasa SMA, aku tidak pernah sekalipun berniat untuk menjadikan kota M sebagai tempat domisili. Namun, takdir berkata lain. Adanya tragedi Lumpur Lapindo di tahun 2006 membuatku terdampar di kota ini, atas pilihan orangtuaku. Sebuah hal yang tidak masuk ke logikaku waktu itu. Ditambah dengan ketakutan seorang bapak, jika Lumpur Lapindo itu benar-benar menenggelamkan kota dan memutus jalur perjalanan darat antara kampung halamanku dengan ibukota provinsi. Padahal, sekalipun benar-benar terputus, kukira pemerintah tidak akan tinggal diam membiarkan roda perekonomian masyarakan provinsi ini terganggu. Pemerintah akan mencari cara bagaimana tetap berjalan, walau tragedi sedang berlangsung. Jika tidak ada penghalang, kukira pemerintah provinsi ini tidak akan bisa maju secepat ini.
Pendaftaran Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) akan dibuka besok selama tiga hari berturut-turut. Aku sudah membayangkan akan berangkat seorang diri menuju ke kampus U yang telah ditunjuk sebagai pusat pendaftaran di kota M. Naik angkot dari rumah saudara, membawa berkas, panas-panas. Bakal seru nih!
"Assalamu'alaikum," lamunanku buyar ketika mendengar suara yang tak asing lagi di telingaku membuka pintu rumah. Bapakku.
"Eh. Wa'alaikumsalam. Lho, bapak ke sini?" tanyaku sambil membenarkan posisi dudukku di kursi ruang tamu.
"Iya. Bapak mau ngantar kamu." Buyar sudah bayanganku. Diantar bapak? Artinya perjalanan sedikit akan lebih menakutkan. Hufth!
****
"Kamu mau ke kampus mana?" tanya bapak tiba-tiba saat mengajak kami sekeluarga untuk makan malam menu sate kambing kesukaan kami. Beberapa bulan sebelum pendaftaran SPMB dibuka. Di kampung halamanku.
"Kampus I," jawabku pendek sambil mengunyah sate.
"Jurusan apa?"
"Arsitektur."
"Kenapa arsitek? Daripada arsitek, mending ke teknik sipil. Masih saudaraan." Mendengarnya membuatku berhenti makan tiga detik. Kulihat bapakku, datar. Tanpa ekspresi. "Teknik Sipil masih banyak dibutuhkan. Kalau kamu pilih arsitek, ntar kamu lebih banyak di studio, lho!" lanjut bapak tanpa mengindahkan tatapan datarku tanda tidak setuju.
Selalu. Selalu. Dan Selalu. Pilihanku tidak pernah langsung disetujui. Studio? Kenapa dengan lebih banyak di studio? Apakah buruk? Aku juga tidak tahu apa itu studio. Apakah aku akan nyaman atau tidak kan belum dicoba? Lalu teknik sipil? Apapula itu teknik sipil? Saudaraan? Banyak dibutuhkan? Semua pertanyaan-pertanyaan itu hanya menjadi bising dalam pikiran dan hatiku. Aku tidak terlalu banyak bicara. Aku melakukan aksi protes dengan diam. Karena aku takut, takut ketika aku mengucapkannya, akan membuat bapakku tersinggung dan marah.
****
"Kamu jadinya ambil jurusan apa, Ta?" tanya teman sekelasku ketika aku menyempatkan diri main ke rumahnya.
"Entahlah."
"Lho, piye sih? Yang mau kuliah kamu. Kok jawabnya 'entahlah'?"
"Lha... bapakku kemarin mendengar jawabanku, aku langsung disuruh ambil jurusan yang masih saudaraan dengan pilihanku."
"Saudaraan? Emang kamu bilang kamu mau jurusan apa?"
"Arsitektur."
"Trus, saudaranya arsitektur apa?"
"Teknik Sipil."
"Oalah! Terus kamu jawabnya apa?"
"Diem."
"Lha! Piye sih? Kamu harusnya bisa dong memperjuangkan pilihanmu!" Mendengar kata 'memperjuangkan' dari mulut temanku membuatku memaku. "Kalau kamu punya pilihan A, kamu harus perjuangkan. Sampaikan alasan-alasan kamu kenapa pilih A. Biar bapakmu ngerti apa yang kamu inginkan," lanjut temanku.
Memperjuangkan. Kosa kata apa itu? Sangat asing dalam diriku. Aku selalu menuruti apa kata bapak. Saat aku kekeuh masuk SD karena teman-temanku TK sudah masuk SD, aku dimasukkan ke SD di mana mamaku kerja. Memasuki usia SMP, lalu disuruh masuk SMP A, ya aku masuk SMP A. Sewaktu SMA pun begitu, ketika disuruh masuk SMA B, ya aku masuk SMA B. Aku tidak pernah punya alasan kuat mengapa aku harus masuk sekolah-sekolah itu. Kecuali pilihan jurusan Arsitektur ini. Karena aku suka dan merasa tertantang menggambar benda yang diproyeksikan. Sesimpel itu. Tetapi aku belum berani memperjuangkannya. Damn!
****
Kendaraan besi roda empat berwarna biru itu berjalan sangat lambat. Ia berjalan di sebelah kiri jalan, bahkan terlalu kiri mungkin. Pengemudinya selalu menengok kanan lalu kiri, jari telunjuknya tidak berhentik bergerak, barangkali akan ada penumpang lagi. Maklum, kami berangkat di jam-jam anak sekolah sudah memasuki kelasnya masing-masing.
Aku membawa map plastik merah bertali pada dua kancing. Map itu berisikan berkas-berkas penting pendaftaran. Pas foto, fotokopi legalisir NEM, dan lain sebagainya. Aku memakai kemeja coklat dengan bawahan hitam, bersepatu hitam yang biasa kupakai saat bersekolah. Sesekali aku menggoyangkan kakiku dan melihat jam tangan hanya sekadar memastikan bahwa tidak terlambat sampai di tempat tujuan.
"Jadi ambil IPA atau IPC?" tanyak bapakku memecah keheningan di antara kami berdua.
"IPC, Pak. Kemarin bayarnya buat formulir yang IPC."
"Jadinya ambil jurusan apa?"
"Arsitektur, Kimia, dan Akutansi."
"Yakin Arsitektur?" Pertanyaan bapak membuatku menghela nafas panjang. "Bukannya bapak nggak setuju. Bapak hanya takut kamu nggak kuat menjalani sesuatu yang seperti terisolasi di studio. Karena kata om kamu, arsitektur itu banyak sekali menghabiskan waktunya di studio. Bapak hanya takut, relasi sosialmu makin terganggu."
"Bapak cukup dukung aku ya! Insya Allah jika memang rezekiku masuk arsitektur, aku bisa melewatinya dengan enjoy walau berat," jawaban diplomatisku untuk pertama kali keluar (mencoba) memperjuangkan pilihanku. Kulihat bapak tak bereaksi apapun, kecuali kembali menoleh ke arah kendaraan besi melaju yang sekarang berkecepatan lebih tinggi karena tempat duduk penumpang telah terisi penuh.
Kampus U telah penuh dengan calon mahasiswa baru dari berbagai kota di sekitar kota M. Terlihat wajah-wajah yang penuh harap bisa lolos SPMB. Banyak di antara mereka didampingi oleh orangtua masing-masing. Banyak pula yang bergerombol dengan kawan mereka mendaftar SPMB tanpa orangtua.
Aku memasuki loket satu, tempat penukaran bukti pembayaran SPMB dengan formulir. Aku menyerahkan selembar kertas bukti pembayaran dari map plastik merah yang kubawa dengan selembar formulir pendaftaran SPMB. Kubawa lembaran itu menuju ke meja besar yang telah disediakan oleh panitia. Aku keluarkan pensil 2B. Aku mulai menulis satu per satu pada setiap baris pertanyaan. Sampai di bagian foto, aku lupa tidak membawa lem. Kepanikan mulai menjalar ke tubuhku. Aku menoleh kanan kiri mencari bapak. Tapi tidak kutemukan. Aku melihat di depanku ada anak yang membawa lem, tapi aku tidak berani memintanya. Panik dan takut bercampur jadi satu. Sampai tiba-tiba di sebelahku ada seorang anak laki-laki memberikan se-cup lem kepadaku. "Makasih," ujarku.
Satu per satu berkas aku keluarkan. Aku urutkan sesuai permintaan yang ada pada formulir. Semua telah sesuai. Aku masukkan dalam satu map dengan formulir. Aku melangkah menuju antrean loket pengecekan berkas yang ada di dalam gedung. Di antrean depan aku melihat anak lelaki yang telah memberikan se-cup lem pada diriku tadi. Cepat sekali dia! Kecemasanku hadir kembali. Tanganku mulai berkeringat dingin. Lama sekali aku berdiri. Lupa tidak membawa air minum. Hawa dingin kota M kalah dengan panasnya hawa penuh sesak manusia di dalam gedung walau gedung tersebut telah ber-AC.
Kartu peserta tes SPMB telah kupegang. Dengan hati-hati aku masukkan ke dalam map plastik merahku. Alhamdulillah! Satu proses telah terlewati. Aku berjalan menuju pintu keluar gedung itu. Saat aku keluar, aku baru teringat kalau pintu masuk dan pintu keluar adalah pintu yang berbeda. Bapak masih ada di area pintu masuk. Aku menoleh ke kanan, lalu ke kiri. Mencoba mencerna arah mana yang lebih tepat aku pilih. "Hai," anak lelaki yang tadi tiba-tiba datang dari arah kananku, menyapa (lagi).
"Hai," jawabku gugup.
"Mau ke mana?"
"Cari bapak."
"Bapaknya di area loket satu yang tadi?"
"Iya," jawabku sambil nyengir.
"Tau jalan ke sana?"
"Nggak," jawabku polos.
Dia tersenyum. Senyum paling tulus yang pernah kulihat. "Ayo, ikut aku. Aku juga mau ke sana."
Akhirnya, aku mengikuti dia. Berjalan di sampingnya. Tapi entah kenapa dia selalu saja mendahuluiku. Karena telah tiga kali seperti itu, akhirnya aku memilih berjalan di belakangnya. Kami hanya berjalan dalam diam. Tanpa mengobrol. Kami melewati pedestrian di mana kananku adalah jalan berpaving yang banyak dilalui kendaraan, sedangkan sebelah kiriku adalah taman dengan tatanan yang sungguh cantik. Aku melihat sekitar, barangkali bapak telah masuk dalam radar penglihatanku.
Tepat di sebelah pintu masuk menuju loket satu, aku melihat sesosok yang sangat familiar, laki-laki berjaket kulit hitam, bercelana drill hitam, bersepatu-sendal, dan rambut cepak yang mulai memutih, menunggu seseorang sambil sesekali menengok ke arah pintu masuk. Seketika itu, aku langsung berpamitan pada anak laki-laki itu, "Makasih ya. Bapakku udah terlihat." Aku membungkukkan badan ke arahnya dan langsung berlari ke arah bapak, tanpa melihat wajah anak lelaki itu lagi.
"Paaak!!!" aku memanggilnya keras-keras agar ia menoleh, tapi bapak tidak menoleh. Aku semakin mendekat. "DOR!" aku ingin memberikan kejutan dari belakang bapak.
Lelaki itu pun menoleh dan... "Iya, dek?" Yassalam. Aku salah orang. Wajahku mungkin sudah memerah saking malunya. Aku reflek menutupi wajahku, lalu mengucapkan maaf berkali-kali. "Cari bapaknya ya? Barangkali bapak itu yang adek maksud," tunjuk bapak itu menunjuk seorang laki-laki yang sedang duduk dengan tangan bersedekap dan kepala tertunduk. Lelaki itu sedang tidur. Dan dia adalah bapakku.
Bersambung...
0 notes
Text
Aku menangih utang Fugo. Ini kali pertama aku memasuki rumahnya, rumah itu beratap jerami, berdinding bilik, berlantai tanah, sebenarnya ini lebih cocok disebut saung. Aku heran mengapa Fugo tidak membangun rumah ini dengan megah, atau kenapa dia tinggal di tempat seperti ini?
Aku pernah dengar dari tetangga kalau kakak Fugo bekerja di kota. Kerja apa aku juga tak tahu, Fugo tidak pernah cerita, aku juga tidak mau tahu. Kalau kakaknya bekerja Fugo akan tinggal di rumah sendirian dalam kurun waktu yang cukup lama.
Aku duduk di kursi kayu rumah Fugo, sambil menunggu Fugo aku mengecek kembali buku catatanku. Ah, banyak juga barang yang harus kubeli, memang pilihan tepat mengajak Fugo.
"Ayo pergi nanti kesiangan." Fugo keluar dari kamar yang pintunya terbuat dari kain sarung.
"Ayo."
Kami melewati jalan desa yang tidak ramai, apa kami jalan terlalu pagi, kenapa sepi sekali. Pintu-pintu rumah yang kami lewati sepanjang perjalan tertutup rapat, tidak ada hilir mudik ayam kampung, kambing atau pun kicau burung yang terdengar hanya suara angin.
"Kenapa sepi sekali ya? Apa orang-orang di sini sedang nyepi ya?"
"Tidak juga, memang beginilah desa tempat tinggalmu."
"Tidak, kalau diingat-ingat jam segini pasti banyak orang hilir mudik, lihat sekarang jangankan manusia semut pun tak nampak." Aku membentangkang tangan kananku menunjuk segala sisi dengan kelima jariku.
"Coba perhatikan baik-baik." kata Fugo.
Aku memelototi Fugo, apa dia pikir aku mengada-ngada jelas-jelas tidak ada satu pun manusi lain selain kami berdua.
"Bernapaslah secara perlahan." titah Fugo.
Aku menuruti ucapannya, kuatur napasku, pelan-pelan, kulihat lagi sekitar, kali ini lebih teliti aku mengamati sekeliling sampai tibalah mataku di ujung sepatu Fugo.
Ada seekor keong yang menempel di ujung sepatunya. Aku berjongkok hendak mengambil keong itu, tetapi Fugo mengerti pergerakanku.
"Biarkan saja, dia kelelahan, juga ingin cepat sampai." Fugo berbisik di telingaku.
"Kamu tahu tujuan keong ini?"
"Yang pasti bukan rumah."
"Hah?"
"Biarkan saja."
Baiklah kali ini aku membiarkan keong itu di sepatu Fugo, walaupun aku tidak tahu kemana tujuan keong itu, yang penting masih ada mahluk lain selain aku, Fugo dan beberapa tumbuhan yang tumbuh di sepanjang jalan.
Tujuan kami adalah pasar dan toko Aca. Toko Aca adalah toko yang menjual apa saja, apa saja ada di toko Aca, memang semua ada di toko Aca, tetapi untuk bahan makanan harganya cukup mahal. Mungkin pendapatanku saja yang kurang jadi aku pun tidak bisa sesuka hati berbelanja di sana.
Perjalanan kami masih cukup jauh, kalau sepeda motor bisa ditempuh 20 menit, jangankan motor manusia lain pun belum juga kelihatan. Dengan terpaksa aku jalan kaki. Tahu begini aku di rumah saja, tapi kalau aku di rumah nanti aku tidak bisa makan, masa aku makan ulat hongkong.
Kami sudah setengah jalan, aku meminta Fugo untuk istirahat sebentar duduk di bawah sebuah pohon beringin yang besar. Fugo menuruti permintanku, dia duduk di samping kiriku, mengambil keong yang sedari tadi menempel di sepatunya. Seolah-olah Fugo sedang mengobrol dengan keong itu, entah apa yang dibicarakan.
Aku menikmati angin sepoi-sepoi ini, kuhiraukan Fugo dan keongnya, udara hari ini tidak terlalu panas atau pun dingin, cuaca yang pas untuk jalan-jalan kata Fugo. Anginnya terasa menyejukan sampai tak sadar aku terlelap.
"Keongnya sudah sampai tujuan."
Fugo mengguncangkan tubuhku agar aku terbangun.
Aku terbangun dengan kebingungan. Ada apa ini?
"Keongnya sudah sampai tujuan." ucap Fugo berulang.
"Keong? Tujuan keong itu pohon beringin ini?" tanyaku heran.
"Tidak." jawab Fugo.
"Lalu?" aku tidak mengerti.
"Lihat." Fugo menunjuk jalan.
Bagaimana bisa jalan ini menjadi ramai? Aku masih terheran-heran. Apa tadi aku hanya bermimpi? Atau ini adalah mimpi.
Aku menuntut penjelasan dari Fugo.
"Jalan yang ramai." Fugo berdiri tanpa menjelaskan apa pun.
Aku mengikutinya, aku terus bertanya, "Bagaimana bisa?"
Fugo hanya berkata, "Jalan yang ramai."
Jalanan ini kembali seperti jalanan pada umumnya, hilir mudik, kendraan, kucing yang tiba-tiba menyebrang, antrean kue pancong yang sampai bahu jalan.
Aku tak terlalu ambil pusing, kami melanjutkan perjalanan hanya butuh sekitar 30 menit lagi untuk sampai. Fugo terus berkata, "Jalan yang ramai." Bak sebuah mantra dia terus melapalkannya.
Aku berjalan sambil menutup telinga dengan kedua taganku. Aku heran dengan Fugo terkadang dia tidak bersuara, sekalinya bersuara dia terus-terusan mengulang kata yang sama, seperti burung bapak yang tergantung di teras.
Kupercepat langkahku, sesekali aku berlari kecil menjauh dari Fugo. Fugo masih mempertahankan derap langkahnya. Saat aku berjarak kurang lebih 100 m dengan Fugo, ada seseorang yang memperlambat laju sepeda motornya.
Dia seorang yang kukenal, sepeda motor yang dia naiki mungkin punya orang lain, karena seingatku motornya besar, scorpion, kalau tidak salah. Ini juga bukan motor pentaris tempat dia bekerja, aku tahu betul motor itu motor matik 125cc keluaran lama yang berwarna hitam, yang beberapa bulan lalu dicat ulang dengan warna yang kontras.
Motor metik 150cc keluaran 2021 itu menyimbangi langkah kakiku. Pengendaranya menyapaku dan bertanya, "Mau ke mana, Mbak?" Tanpa menoleh aku bergegas lebih cepat meninggalkannya. Tetapi aku lupa, secepat apa pun aku berjalan pasti dia akan menyusulku dengan mudah.
"Mau kerja?" tanyanya lagi.
Aku hanya mengangguk. Kini dia menjauh meninggalkanku dengan motornya, kulihat dia belok kanan, sepertinya menuju pasar.
Dadaku sesak, dengan pertemuan yang mendadak. Pertemuan yang tidak pernah aku inginkan. Namun, selama apa pun aku bersembunyi pertemuan tidak sengaja itu akan tiba. Semoga ketika pulang nanti aku tidak bertemu lagi dengannya. Atau mungkin lebih tepatnya, semoga tidak akan ada lagi pertemuanku dengannya.
Aku tersenyum sumir. Mengingat kembali janji manisnya, betapa pedulinya dia padaku, betapa bahagianya dia berjalan bersamku. Ah, mungkin dulu ucapannya hanya untuk menenangkanku, menina bobokan aku yang rewel.
Aku tak habis pikir ada orang semacam itu. Di hadapanku dia menyalahkan orang lain yang mengacaukan hidupku, di sisi lain dia tertawa dengan orang itu. Seakan-akan dia lupa dengan apa yang terjadi.
Aku masih ingat jelas ekspresi yang dia tunjukan saat kuceritakan tentang orang yang mengacaukan hidupku itu. Dia juga berkata untuk jangan khawatir bahwa akan ada dirinya yang akan bisa kuandalkan.
Nyatanya, saat aku berada di tempat gelap senidirian dia menjadi salah satu orang yang tidak bisa kuhubungi. Saat aku menggunakan sisa tenagaku untuk menemuinya, aku melihatnya sedang tertawa bahagia merancang masa depan bersama orang yang mengacaukan hidupku.
0 notes
Text
Diandra
Seiring berjalannya waktu Diandra semakin tidak ingin mengingat hari ulang tahunnya, walau pun sebenarnya ia sangat mengingat jelas kapan tanggal, bulan dan tahun lahirnyabaik secara Masehi ataupun Hijriah. Yang ia ingat sampai hari ini ialah tidak pernah ada pesta perayaan tanggal lahirnya itu. Iya sejak ia kecil sampai sekarang satu kejutan pun tak pernah ia dapatkan. Bahkan beberapa kali ada kejadian kurang enak selalu terjadi berulang kali dari tahun ke tahun di tanggal itu. Ibunya kerap kali mengusirnya dari rumah di tanggal ulang tahunnya. Hal ini sempat terjadi selama dua atau tiga tahun berturut-turut, ia lupa kapan lebih tepatnya. Di tahun pertama ia berpikir sedang diberi kejutan tapi setelah melewati tanggal ulang tahunnya ternyata biasa saja. Ternyata memang ibunya mengusirnya dengan niatan yang serius. Ia tidak pulang ke rumah pun tidak dicari siapa pun. Tidak pernah ada penjelasan yang pasti kenapa kejadian itu berulang. Mungkin ibunya sedang ada masalah di kantornya dan Diandra selalu jadi pelampiasan amarahnya yang selalu terjadi di tanggal ulang tahunnya. Sebagai anak, Diandra hanya bisa pasrah saja saat itu.
Sampai suatu ketika ia habis pulang kerja mendapatkan telpon dari nomor telpon baru yang ia sendiri tidak tahu itu nomor siapa karna tidak bertuan nomor tersebut di telpon genggamnya.
"Hallo dengan Diandra" sahut penelpon.
"Iya betul dengan saya sendiri" balas Diandra.
" Kamu jangan coba dekat-dekat dengan suami saya ya" ucap penelpon.
Diandra bingung. Suami siapa ini. Ia mencoba mengingat kembali sedang dekat dengan siapa tapi memang ia sedang tidak dekat dengan siapapun. Belum sempat Diandra memberi klarifikasi, penlpon sudah melontarkan kata-kata lanjutnya yang cukup mengejutkan tentang fakta yang harus ia terima.
" Kamu ngga tahu kan kalo mas Doni menikah. Saya istri sahnya. Dia sudah punya tiga anak. Anak yang pertama baru masuk SMA. "
Jujur Diandra kaget sekaget kagetnya karna selama ini mas Doni yang ia kenal tidak pernah menginfokan bahwa ia sudah menikah dan punya anak. Diandra dekat dengan mas Doni pun sebatas teman pulang kampus bersama kedua teman kampus lainnya. Sama sekali Diandra tidak ada perasaan apapun ke mas Doni ini.
Sepanjang telpon itu berlangsung Diandra hanya bisa membalas "iya , iya , iya" Padahal dalam hatinya kurang ajar mas Doni ini, lelaki sudah beristri masih saja mendekati perempuan-perempuan single di kampusnya. Memang apa ada yang kurang dari istrinya?
" Tolong bilang juga sama kedua teman kamu yang lainnya ya Diandra. Jangan coba-coba dekati suami saya! Dia sudah beristri dan anaknya sudah tiga. " ucap kalimat terakhir dari penelpon.
" Iya mba, tapi sa " Belum sempat Diandra membalas perkataan yang terakhir, sudah terdengar nada *tut tut tut. Sambungan telpon terputus. Ingin rasanya Diandra melanjutkan perkataannya tadi " Iya mba, tapi saya beneran ngga tau mas Doni sudah beristri dan punya anak juga. Dia aja yang kegenitan sama saya dan temen- temen lain di kampus."
Argh, sebal sekali. Ada apa dengan hari ini. Kenapa beberapa kejadian di hari ini cukup mengejutkan dirinya. Belum lagi kejadian di kantor tadi yang membuat Diandra hampir menangis. Kalau saja tidak ada Rama yang menghibur dirinya seketika itu juga, Diandra sudah menangis di depan rekan kerjanya yang jahat itu. Dari awal ia di tempatkan di bagian ini saja sudah merasa bahwa rekan kerjanya sangat menyebalkan. Ya sampai akhirnya tadi Rama datang secara tidak diduga menghiburnya yang hampur meneteskan air mata.
" Dorr! " suara Rama mengagetkan Diandra yang sedang fokus terhadap kerjaannya.
" Astagfirullah. Maa, apaan sih ngagetin aja! " ucap Diandra.
" Eh, nape lu mata lu berkaca-kaca gitu? Muka ditekuk lagi. Ada apa sini cerita sama kaka. " ledek Rama karna melihat ada yang beda dengan Diandra. Biasanyaia selalu ceria tapi tidak dengan hari ini.
" Ih Ma, apaan sih! Udah sana ih. Ganggu aja lu. " ada perasaan senang Rama menghampirinya tapi ada perasaan sebal juga karna kerjaannya belum selesai sudah ditambah kerjaan lain dan harus selesai saat itu juga. "Alamat lembur lagi nih. " batin Diandra.
" Yee, galak amat sih Ndra. Jangan galak-galak ah! " masih saja Rama mencoba mencaurkan suasana.
" Emang kerjaan lu udah selesai? Gw masih ada kerjaan nih bantuin dong Ma. " ucap Diandra memelas
" Santai Ndra. Udah jam makan siang nih. Makan siang dulu kali baru lanjutin kerjaan lagi. "
" Lho, emangnya udah jam berapa? " diliriknya jam tangan di tangan kananya. " Ya ampun udah jam segini ternyata. Gw ada janji bales chat klien pas jam makan siang lagi. " Diandra panik. Karna selain kerja kantoran ia juga memiliki penghasilan tambahan dari bisnis yang ia jalankan di akhir pekan. Akhir pekannya tidak bisa diganggu gugat. Kalau pun harus lembur di akhir pekan sudah pasti akan ia oper ke juniornya. Ia lebih memilih membesarkan bisnisnya secara perlahan untuk bekal setelah ia mengundurkan diri dari perusahaan ini.
" Tuh kan, gw hadir di waktu yang tepat dong berarti Ndra. "
" Iye Ma,iye. Gw bawa bekel juga. Mau makan apa lu? "
" Hmm, apa ya. Gw pikir-pikir dulu deh sambil jalan ke depan. "
Diandra hanya melirik Rama, " Ck ck ck."
" Ya udah Ndra. Tunggu gw di kantin ya. Mau beli makan dulu gw. " ucap Rama sambil berjalan menjauhi Diandra.
" Iye, Rama Permana nu bageur bin bawel. "
Akhir pekan ini Diandra sudah ada janji dengan kliennya di luar kota. Ini merupakan kali pertamanya mengambil job di akhir pekan jauh dari domisilinya sekarang. Ibarat kata pepatah sambil menyelam minum air. Perjalanan ke luar kota sekaligus melakukan pekerjaan. Senang sekali rasanya, bagi Diandra. Pekerjaan akhir pekannya selalu membuat hati Diandra bahagia, walau pun pasti tiap kerjaan ada risikonya. Tapi pekerjaannya ini berbeda. Selelah apapun ia menjalankannya tetap selalu senang dan bahagia. Klien yang satu itu termasuk kliennya selalu repeat order atas jasa Diandra. Maka dari itu pas momen pernikahaannya pun hanya mau dihandle oleh Diandra. Sudah terlanjur suka sama hasul karya Diandra. Memang untuk pekerjaanya kali ini ia melakukannya dengan sepenuh hati. Bukan karna ia tidak mencintai pekerjaan kantorannya saat ini. Bagaimana bisa ia bertahan tujuh tahun lebih di kantornya yang sekarang kalau tidak cinta. Perasaan yang sangat berbeda ia rasakan semenjak pindah divisi dan tiap hari kerja bertemu rekan kerja yang jahat.
Tiket perjalanan pulang pergi, hotel tempat ia akan beristirahat serta akomodasi selama perjalanan luar kota ini sudah dipesan dan ditanggung semua keperluannya oleh klien baik hati. Diandra hanya membawa diri dan pakaian secukupnya serta asisten untuk membantu dirinya.
(Bersambung)
0 notes
Text
Untuk Apa Juga Siapa? (2)
Ditatapnya wajah mungil tanpa dosa itu lekat-lekat. Ada mimpi yang terpatri di setiap senyumnya namun tiba-tiba berubah menjelma menjadi sebuah ketakutan.
"Sayang, ayo bangun 5 menit lagi kita sampai di Rumah Es Cream Suka-Suka."
Angkasa membuka kedua mata nya perlahan-lahan, sambil memperhatikan kondisi sekitar. Belum ada sepenggal kata yang terucap dari mulutnya.
Sesampainya di Rumah Es Cream itu, keduanya langsung turun dan bergegas masuk ke kedai es cream tersebut.
"Untuk dua orang ya Mbak," ucap Alesha pada salah seorang pramuniaga yang menyambut kedatangannya.
Keduanya melangkah menuju tempat yang sudah dipersilakan.
Angkasa memesan ice cream 3 rasa seperti biasa matcha, vanila, dan Nutella. Sedangkan ibunya hanya memesan ice cream strawberry.
Mereka menikmati petang hari itu penuh kehangatan dan kebahagiaan.
"Gimana sekolahmu? Makin seru dong pasti? tanya Alesha - ibunya memecah keheningan.
"Seru kok Bund, Ya meskipun ada masalah-masalah kecil, tapi sejauh ini aman kok Bund."
"Anak ini perlu diapresiasi kejujurannya, ya meskipun belum sepenuhnya jujur," bisik Alesha.
"Bunda boleh tanya lagi satu hal?"
"Tentu saja boleh Bund,"
"Dua hari yang lalu Bunda di telepon oleh guru BK kamu, katanya kamu…" belum sempat menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba saja Angkasa langsung menimpali.
"Dua hari yang lalu aku berantem di sekolah, Bunda."
"Oh ya? Kok tumben gak cerita sama Bunda? Bundanya terlalu sibuk ya? Jadi Ade bingung kapan waktu yang tepat buat ceritanya."
"Gak kok Bund, aku memang sengaja gak cerita, aku takut bunda marah atau kecewa."
Ditatapnya mata anak semata wayangnya itu, sampai kedua pasang bola mata itu beradu. Alesha menangkap ada sesuatu yang kurang beres pada anaknya itu. Meskipun belum tau apa itu,,,
"Bunda memang tidak suka dengan perbuatan Abang kemarin tapi rasa-rasanya gak pantas bunda marah atau kecewa hanya karena satu hal saja. Sedangkan anak bunda yang satu ini kan punya beribu-ribu kebaikan. Bunda tau anak bunda ini baik dan lembut sekali hatinya. Bunda akan senang sekali kalo abang mau cerita sama bunda apapun itu ceritanya."
"Sebetulnya aku sudah dua kali berkelahi di sekolah Bund, tapi yang sampai dipanggil itu yang terakhir ini." terang Angkasa pada ibunya.
"Oh ya? Jangan-jangan anak bunda mau ganti cita-cita jadi petinju nih!"
Keduanya pun tersenyum,
"Bunda boleh tau alasannya mengapa bisa terjadi?"
"Sebetulnya awalnya aku gak niat untuk bertengkar Bund, ya lagi main-main biasa aja, tiba-tiba ada ucapannya yang bikin aku marah, kesal. Akhirnya aku lawan aja."
Angkasa, sungguh kini Bunda dibuatmu tak tenang, kamu yang selama ini Bunda kenal anak yang manis, penurut, lembut dan rajin kini berubah drastis, laporan nilai-nilai mu dari wali kelas merosot tajam, belum lagi jadi suka berantem di sekolah.
Satu pesan yang sangat diingat sebelum guru BK nya menutup perbincangan kami di telepon adalah " Tidak ada anak yang nakal, yang ada orang tuanya saja yang kurang sabar, sebab sejatinya kenakalan anak adalah bentuk dari rasa minta tolong anak pada sekitarnya bisa jadi ingin lebih diperhatikan atau rindu ingin bermain sama kedua orangtuanya."
Bersambung…
0 notes
Text
BERSERAH♥BAHAGIA (Part 2)
Perbincangan semalam membuat Subuhku di hari selanjutnya sangat berarti. Saat itu aku terbangun dan langsung melihat jam dinding di kamar, jarum jam menunjukkan sekitar pukul 03.40 WIB, sebentar lagi memasuki waktu sholat subuh.
Seperti biasa, Mba Nisa selalu bangun terlebih dahulu dengan posisi sedang mengaji di atas sejadah berwarna navy. Aku duduk sejenak, mengumpulkan nyawaku yang masih berada di alam mimpi. Setelah sadar, aku beranjak dari kasurku menuju kamar mandi di luar kamar untuk mengambil wudhu.
Selesai melaksanakan sholat Subuh dan mengaji, aku dan Mba Nisa bergegas mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Sebelum berangkat, aku menyiapkan sarapan oatmeal dengan topping potongan pisang, strawberry, dan manga. Sedangkan Mba Nisa sarapan dengan nasi dan sisa lauk semalam yang dia masukkan di magiccom. “Mba, pagi ini aku mau beli buku cantik punya Mba Nisa. Itu beli dimana?” ucapku sambil menyantap sarapanku.
“Ini aku dikasih sahabatku, oleh-oleh dari suatu tempat. Kebetulan sahabatku ini kuliah di luar negeri.”kata Mba Nisa menanggapi sambil menyantap sarapannya juga.
“Yah… Padahal itu lucu banget. Ada nggak yaa di Indonesia buku seperti itu?”
“Gimana kalau weekend ini kita coba cari di Gramedia? Kayaknya lucu-lucu juga tuh di sana, aku pernah lihat.”
“Oke Mba, Sabtu ini Mba Nisa ada agenda nggak?”
“Belum ada sih. Insyaa Allah habis dzuhur aku bisa. Soalnya pagi-pagi mau cuci baju, jemur sama setrika.”
“Oke mba!” ucapku sambil mengacungkan jempolku.
“Sementara ini, kamu tulis-tulis dulu aja di laptop atau bindermu. Nanti begitu dipindahkan ke Buku Journalmu, kamu salin dan hias-hias.”
“Wah ide bagus Mba. Makasih ya untuk sarannya.”
“Sama-sama cantik! Udah selesai belum sarapannya? Yuk simpen piringnya di tempat cuci.”
“Ayok Mba!” seruku yang seraya membawa peralatan makanku ke tempat cuci piring, kami bergiliran mencuci masing-masing alat makan kami.
Selesai mencuci piring, aku dan Mba Nisa berangkat bersama menuju gedung kuliah, kebetulan kami memang satu fakultas di Fakultas Ekonomi, aku Jurusan Manajemen Bisnis sedangkan Mba Nisa Jurusan Keuangan. “Mba, kenapa pilih Jurusan Keuangan dan Perbankan Syariah?” tanyaku ditengah keheningan kami yang nyaris terlarut dengan pemandangan indah kampus kebanggaan kami. “Karena ingin ikut mengembangkan Ilmu Keuangan dan Perbankan yang sesuai dengan syariat agama Islam.” Jawab Mba Nisa.
“Wow… Itu sudah terpikirkan dari kapan Mba?” tanyaku penasaran.
“Dari SMA. Aku suka sekali dengan pelajaran Ekonomi, Matematika, Akuntansi, pokoknya hitung-hitungan dan isu tentang keuangan aku suka. Ternyata, banyak dari kita masih belum paham tentang hukum muamalah yang berkaitan dengan ekonomi. Contohnya tentang riba, masih banyak dari kita yang belum tau tentang riba, seperti apa saja praktik riba yang diselipkan dalam kegiatan ekonomi kita sehari-hari. Dari sanalah, aku ingin sekali belajar lebih, bahkan ingin membantu membuat perubahan di negeri kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Kenapa kamu memilih Manajemen Bisnis, Put? Dari sekian banyak Jurusan. Selain karena ingin memenuhi permintaan Ayahmu untuk memiliki pekerjaan tetap? Tentu ada alasan dong, kenapa kamu ingin Jurusan ini?”lanjut Mba Nisa sambil menunjuk buku yang kubawa karena cukup berat jika kumasukkan ke dalam tas ranselku.
“Nggak tau. Sejujurnya aku kurang suka Jurusan ini, tapi nggak tau kenapa aku merasa Jurusan ini adalah satu-satunya bisa aku selesaikan nanti. Aku malas berhitung Mba. Melihat banyak angka, membuat mataku seperti berputar, rasanya aku akan terserang vertigo dibuatnya. Tapi kalau membaca, memahami sesuatu dari bacaan, aku suka. Aku juga ada tekad untuk bisa, meskipun aku tidak suka. Hehe…” ceritaku sambil sedikit terkekeh. Alasan yang sangat cetek, beda sekali dengan Mba Nisa.
Akhirnya kami sampai di gedung Fakultas Ekonomi, kami berpisah menuju kelas masing-masing. Dari lobby Fakultas Ekonomi, Mba Nisa berbelok ke arah kiri, sedangkan aku menuju lantai 3 melalui tangga di depan meja resepsionis. “Semangat belajarnya Putri.” Ucap Mba Nisa sebelum berbelok ke arah kiri. Aku membalas dengan kepalan tangan ke atas, memberi kode bahwa aku akan bersemangat untuk belajar.
Tidak seperti biasanya, di kelas mata kuliah pagi ini hingga menjelang jam selesai kuliah, aku sangat menyimak setiap materi yang diberikan para dosen. Aku mencatat setiap materi dan insight yang aku dapatkan dari para dosen. Kemana saja aku selama ini? Ternyata banyak hal yang bisa aku dapatkan dan terapkan dari ilmu yang diberikan seluruh dosenku. Mereka menjelaskan setiap materi dengan sangat rinci, membuatku selalu penasaran dan akhirnya aktif bertanya di setiap mata kuliah.
“Cie… Ada angin apa nih hari ini? Tumben banyak tanya. Catatannya rapih dan lengkap lagi.”canda Ami, sahabatku sambil membuka buku catatan kuliahku.
“Iya nih, lagi on fire.”ujarku sambil menulis impianku yang mendadak banyak di selembar kertas.
“Apaan nih?” tanya Ami.
“Resolusi.”pungkasku
“Banyak amat resolusinya. Yakin tuh bakalan tercapai semua?”tanya Ami.
“Mau aku tulis aja kok, nanti kalau udah beli Buku Journal yang bagus, mau aku seleksi, mana impian besarku dan mana impian kecilku.”jawabku.
“Oh gitu. Ayok kita bikin impian bareng Put. Mau beli Buku Journal dimana? Aku ikut dong.”
“Di Gramedia. Mba Nisa bilang sih banyak yang bagus di sana.”
“Kapan?”tanya Ami singkat.
“Sabtu ini. Gimana? Ikut yuk! Aku bareng Mba Nisa senior yang sekamar sama aku di asrama. Rencananya Sabtu habis dzuhur.”jelasku.
“Ikut~”teriak Ami penuh semangat.
“Dih, kenceng amat bilang ikutnya. Kenapa Mi?”kataku sambil sedikit menutup kuping yang mendengung karena suara Ami.
“Mba Nisa Jurusan Keuangan itu kan? Idolaku…”jelas Ami penuh semangat.
“Iya… Wah ternyata sahabatku ini mengidolakan teman sekamarku, boleh juga nih aku jadiin bisnis. Hahaha…”kataku sambil tertawa karena candaanku yang ternyata lucu menurutku.
“Yee… Dasar ye nih anak, otak bisnisnya mulai timbul. Harga mahasiswa boleh lah yaa?”
“Nggaklah, Business is Business!”
“Pelit lu!” kata Ami sambil melempar gulungan kertas kecil ke kepalaku.
“Yaudah deh, Mie Kocok semangkok sama es teh manis ya?”tawarku.
“Oke deh!”jawab Ami singkat.
“Beneran? Asiiiikkkkkk… Makan gratisssss... Makasih sobatku yang terkaya raya se Indonesia Raya…”teriakku sambil mencubit pipi Ami yang menggemaskan.
Ami adalah sahabatku di kelas, aku tidak takut meminta traktiran darinya. Ayahnya pengusaha travel dan property terkenal di Jakarta. Sedangkan Ibunya, seorang dokter di Rumah Sakit ternama di Jakarta. Ami merupakan anak tunggal, tentunya dia sangat dimanja oleh kedua orang tuanya. Meskipun begitu Ami tidak pernah memanfaatkan fasilitas Ayah dan Ibunya dengan sembarangan.
Soal mengatur keuangan, Ami memang paling jago. Meskipun Ayah dan Ibunya memberi uang bulanan yang besar untuk mahasiswa seperti kami, tapi dia tidak pernah menggunakannya untuk berfoya-foya. Sejak SMA, Ami sudah belajar membuat bisnis kecil-kecilan sebagai reseller sebuah produk kesehatan dan kecantikan. Bahkan rencananya saat ini, dia mau membuka usaha photo copy dan ATK di ruko kawasan mahasiswa, modalnya sudah dia tabung dari uang jajannya dan uang bulanan sejak SMA sampai kuliah. Tentunya ditambah bantuan dari Ayahnya yang sangat mendukung dia mengeksplor dunia bisnis.
“Jadi, gimana usaha photo copy dan ATK mu? Kapan mau launching?”tanyaku yang sudah cukup kelelahan menulis seluruh resolusiku.
“Insyaa Allah, 3 bulan lagi launching. Doain ya! Insyaa Allah kamu bakalan aku undang ke acara syukurannya.” Jawab Ami.
“Pasti dong! Eh request dong, konsumsinya adain Mie Kocok.”
“Ah elah, Mie Kocok mulu! Awas lu kebanyakan micin nanti otak lu lemot.”
“Dih, amit-amit. Dari SD kali gue udah jadi anak micin. Masih aman-aman aja kok! Buktinya bisa masuk sini, hahaha…” ujarku sambil tertawa.
“Put, lu nggak mau mulai belajar bikin bisnis kecil-kecilan kayak gue?” tanya Ami.
“Belum berani euy Mi, takut gagal.”kataku dengan nada sedikit putus asa.
“Loh, namanya bisnis pasti ada naik turunnya Put. Dicoba dulu aja yang resikonya nggak terlalu besar. Misalnya jualan pulsa. Tapi jangan pakai sistem ngutang yak! Nanti aku ajarin caranya. Modalnya juga nggak terlalu besar.”jelas Ami.
0 notes
Text
Aku Ingin Memiliki Sayap Part 2
Selama tinggal dengan tuan Priscot hidupku mulai terarah. Aku mulai banyak tersenyum dan bisa untuk kembali memiliki harapan. Sehari-hari aku tidak lepas dari toko roti membantu tuan Priscot dari pagi hingga tutup di malam hari. Banyak pelanggan tetap yang aku temui seiring kedatangan mereka ke toko roti ini. Toko Roti tuan Priscot ini hanya satu-satunya di daerah itu, dan kualitas rotinya sangat tinggi. Mungkin itu yang membuat tuan Priscot mengolah rotinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Adanya pegawai hanya diperbantukan untuk bersih-bersih toko dan melayani pelanggan yang datang, selebihnya selama 1 bulan lamanya aku bekerja disitu aku belum pernah masuk ke kitchennya. Bukan karena tidak mau justru aku sangat penasaran ada apa dibalik pintu kitchen itu. Namun lagi-lagi aku menghargai tuan Priscot yang tidak memperbolehkan siapapun masuk ke areanya. Aku hanya diperbolehkan untuk mencicipi resep baru yang dia sering buat, dan rasanya sangat luar biasa. Sungguh tuan Priscot penuh talenta dan baik hati.
Pagi hari di hari Sabtu, tuan Priscot menghampiriku
“Kamu tak lelah bekerja terus?” Tanyanya
“Tidak tuan, aku sudah terbiasa untuk bekerja seperti ini.” Jawabku
“Hari ini mainlah keluar, saya kasih kamu libur” Ucapnya
“Serius tuan Priscot? Tapi saya bingung mau main kemana.” Jawabku bingung
“Ke danau saja sana, danau cantik dibelakang kamarmu itu” Ucapnya
Aku mengangguk setuju, setelah berpamitan aku berjalan keluar menelusuri rumah-rumah penduduk yang sebagian besar terbuat dari kayu alami. Udara pagi yang sejuk menambah keindahan kota ini. Aku teringat 1 bulan yang lalu ketika aku keluar dari toko sepatu itu, aku menaiki kereta yang ntah tujuannya kemana dan pada akhirnya bisa berada di kota cantik ini. Apakah Tuhan sedang menuntunku saat itu? Aku bernafas lega dan harapan kecil mulai tumbuh kembali di hatiku.
Setelah berjalan beberapa menit sampailah aku di danau ini. Danau Skandinas namanya. Aku duduk dipinggir danau merebahkan diri dirumput-rumput sambil menatap langit dan menikmati kesejukan alam. Aku membiarkan diriku menyatu dengan alam, menutup mata mendengar gemercik air danau yang dimainkan orang lain, mendengar alunan daun bergesekan karena tiupan angin, menikmati hangatnya matahari yang bersahabat dan menikmati sapuan angin lembut dikulitku. Aku membiarkan diriku menikmati itu semua. Rasa Lelah yang aku rasakan selama ini berubah menjadi rasa tenang dalam hatiku. Aku tak menyalahkan Tuhan atas semua yang terjadi dalam hidupku. Ini sudah jadi takdir yang harus aku terima. Aku selalu berdoa kuatkan aku untuk menjalani hari-hari kedepannya.
Aku terbangun dari dudukku, melihat orang-orang sedang bermain air ada yang berenang, bermain cano atau hanya memasukan sebagian kakinya ke air danau bahkan ada yang sepertiku menikmati keindahan danau hanya dipinggirnya saja. Keceriaan terpangpang diraut wajah mereka menikmati keindahan alam yang membuat semua mata terpesona dan terpukau. Aku senang melihat keceriaan mereka. Aku teruskan perjalananku sambal mengitari pinggir danau berpapasan dengan beberapa warga lokal yang mungkin tujuannya sama denganku. Hanya menikmati keindahan alam dan tak punya tujuan lain.
Aku putuskan untuk pulang karena hari sudah semakin sore, aku takut tuan Priscot membutuhkan bantuanku di toko rotinya. Dan benar, ketikaku masuk toko roti aku melihat tuan Priscot sedang kewalahan dalam melayani pelanggan. Aku bergegas masuk ke toko dan langsung menggunakan appronku. Aku handle beberapa pelanggan yang sedang menunggu antrian, hampir ada 10 orang dalam toko itu. Semua orang itu tidak hanya membeli 1 roti bahkan ada yang membeli dalam bungkusan besar. Tidak heran, kenapa banyak pelanggan selalu datang dan membeli banyak roti, karena tuan Priscot masih menggunakan resep yang sama untuk puluhan tahun ia membuka toko ini.
“Sudah kamu menikmati liburmu?” Tanya tuan Priscot ketika sedang membereskan peralatan rotinya.
“Sudah tuan, aku sangat menikmatinya. Terimakasih sudah mengizinkanku untuk pergi ke danau itu” Jawabku
“Sesekali bermainlah, tenangkan pikiranmu dan berbahagialah dalam menjalani hidup” Ucapnya
“Baik tuan terimakasih sarannya” Ucapku
“Kalau pekerjaanmu sudah selesai, istirahatlah” Pintanya padaku
Aku mengangguk, dan melanjutkan pekerjaanku yang belum beres, merapikan meja dan kursi, menyapu lantai, mengelap kaca-kaca display, membersihkan rak-rak roti semua aku bereskan malam itu.
Pukul 09.00 malam, aku masuk ke kamarku. Aku melihat keluar jendela yang tertutup. Beberapa minggu lagi musim dingin akan tiba dan aku bersyukur aku dapat tempat tinggal disaat musim dingin nanti. Pikiranku terbang kebelakang, mengingat beberapa tahun silam, saat musim dingin ekstrim aku tak memiliki uang dan tempat tinggal. Beruntung ada seorang polisi yang mau menampungku di rumahnya meskipun sesaat. Beberapa menit kemudian rasa lelah menyergapku dan aku tertidur terlelap.
Sudah beberapa bulan aku tinggal dan bekerja bersama tuan Priscot. Aku mulai menyisihkan sebagian uangku untukku tabung. Yah, aku mulai menata masa depanku dengan mantap. Aku ingin mulai mengejar mimpi-mimpiku yang sempat aku lupakan. Semoga Tuhan menginzinkanku untuk menggapai semua mimpi yang aku inginkan. Tuan Priscot pun sangat mendukung mimpi-mimpiku, aku ceritakan mimpi-mimpiku padanya. Beliau mendukungku dengan penuh. Sudah berapa banyak syukur yangku ucapkan untuk beliau, bukan hanya sebagai atasan beliau sudahku anggap sebagai orang tuaku sendiri. Meskipun sampai detik ini aku tidak tau dimana keberadaan orang tuaku. Apakah mereka masih hidup atau sudah tiada. Aku tak tau. Dengan adanya tuan Priscot sudah cukupku anggap sebagai orang tuaku. Beliau membimbingku hidupku dan membimbingku untuk bisa bertahan menjalani hidup beratku ini. Sudah berapa kali aku memikirkan untuk menyudahi hidupku ini, namun tuan Priscot memelukku dan mengusap kepalaku dan kata-kata yang keluar dari mulutnya membuat hatiku menghangat.
“Seberat apapun hidupmu, tetap kamu itu berharga. Tidak ada yang bisa membuat dirimu jatuh selain dirimu sendiri. Jika tidak ada yang mendukungmu, saya yang akan maju paling depan untuk mendukungmu sepenuhnya.” Ucap tuan Priscot di sela-sela tangisan aku.
Tuhan, jika ini arah menuju jalan yang Engkau maksud, kuatkan aku untuk melangkah sampai akhir perjalanan ini. Perjalanan ini penuh luka untukku, banyak air mata yangku tumpahkan dijalan ini, banyak keringat yangku kucurkan, banyak hal yang mempengaruhi aku untuk putar balik. Tapi Tuhan, Engkau tau isi hatiku ini, aku tak mau balik arah. Aku mau berusaha untuk sampai ke tempat yang Engkau tunjukkan. Jadi Tuhan, kuatkan kakiku untuk melangkah sampai akhir. Kuatkan pundakku untuk menahan beban yang begitu berat ini.
Ketika kamu berada di suasana yang belum kamu pikirkan sebelumnya. Dan kamu bersyukur bahwa jalan Tuhan menuntunmu untuk sampai pada titik ini. Kamu merasa bermimpi dan berjuang untuk bisa menaklukan suasana baru itu. Disisi lain suasana ini adalah ketakutanmu yang membuat kamu tidak percaya diri. Tapi kamu memberanikan diri mendobrak ketakutan itu dan menjalani hal itu sampai akhir. Ini yang aku rasakan bertahun-tahun di dunia, baru kali ini aku merasa hidup kembali. Aku berharap jalan kedepan akan membuatku bahagia.
Bersambung
1 note
·
View note
Text
JALAN BERSAMA
Aku tak bisa banyak memilih, malam ini aku harus tidur. Setelah sekian pekan aku hanya bisa tidur sekitar 3 jam saja. Sangat lelah tidak bisa tidur, apalagi bersama pikiranku yang sangat riuh. Malam ini semoga menjadi malam kedua yang menenangkan, rapalku dalam hati. Namun, sebelum tidur aku terlebih dahulu menulis jurnal. Segera kutarik kursi, duduk, dan kubuka kembali jurnal berwarna biru, salah warna kesukaanku yang menenangkan. Aku ditemani secangkir teh bunga chamomile yang dicampur madu.
Mas Rendra, ada hal lain yang terlewatkan di malam kemarin. Aku lupa menyampaikan terima kasih atas mudahnya dirimu menyerah. Aku juga baru ingat, bahwa Mas Rendra awalnya basa-basi bertanya padaku tentang rekomendasi buku. Aku yang seringkali menghabiskan waktu di depan laptop, mana sempat diriku membaca buku. Adanya, aku tertarik suatu judul buku, membeli buku, membaca sedikit, dan menumpuknya. Menumpuk buku yang kian tinggi menjadi menara ilmu yang tak terbaca. Jadilah aku merekomendasikan kawanku, Yudistia.
Yudistia satu-satunya orang yang pernah kukenal, bisa menamatkan buku ratusan halaman dalam sekali duduk. Bahkan, sehari bisa melahap minimal tiga buku dengan genre berbeda-beda. Jauuuh sekali dengan diriku yang satu buku bisa bertahun-tahun. Ada saja alasan yang kulontarkan setiap ada keinginan membaca buku, ajakan membaca bareng, bahkan ketika ada kemudahan sekalipun, aku sering menolaknya. Sungguh tak bersyukur diriku ini. Loh, kok jadi membahas diriku sendiri?
Okay, balik lagi ya. Mas Rendra, baru kusadari saat menuliskan ini, bahwa ternyata permintaanmu untuk memberi rekomendasi buku dariku. Itu adalah modus Mas Rendra untuk mendekatiku. Tapi langsung gagal, karena aku langsung merekomendasikan kawanku. Ahahahaha. Maafkan aku, Mas. Tak sengaja aku tertawa. Pun, tak apa lah, aku menertawakan kejadian itu. Toh sudah berlalu sekian tahun lalu. Kini Mas Rendra sudah berkeluarga, entah dengan wanita yang mana, aku tak tahu dan aku memang tak hadir dalam pernikahanmu Mas. Bukan tak mau hadir, namun memang aku tak diundang.
Memori ingatanku yang lain mulai ikut terbuka. Mungkin ini bener-bener menjadi yang terakhir. Mas Rendra berulang kali mengikuti akun instagramku, dengan akun berbeda-beda. Tetapi aku tidak mengikuti balik akun Mas Rendra. Entah apa alasan sebenarnya Mas Rendra melakukan hal itu. Tak habis pikir. Aku sekadar tahu saja. Atau tujuannya sama, dalam rangka menjerat dirku tuk masuk ke lubang hatimu. TAK BISA, Mas.
Aku berpikiran demikian
0 notes
Text
The Story of Cico #2
PART 2
Nilo terlihat sangat menikmati sarapan paginya. Ikan segar yang Pak Mamat beli langsung dari pasar. Begitu katanya.
Cico menatapnya dengan perut kosong. Ia juga lapar. Apa Pak Mamat lupa memberinya makan? Apa sekarang Nilo menjadi prioritas utama? Urutan pertama jika menyangkut makanan?
Cico berkokok sekali lagi. Mengingatkan Pak Mamat bahwa ia juga perlu diberi makan. Pak Mamat menoleh ke arah Cico. Seolah bisa mengerti ayam jago kesayangannya belum mendapatkan jatah makannya. Segera beliau mengambil segenggam beras dan menaruhnya di piring plastik berwarna merah. Letaknya di dekat rak reyot yang seharusnya sudah dimuseumkan. Tempat Cico biasa makan.
Biji demi biji ia ambil dengan paruhnya. Menikmati biji padi yang berkualitas dari sawah Pak Mamat.
“Selamat pagi, wahai Cico, si ayam jago,” goda Nilo yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.
Cico yang tengah asyik menghabiskan sarapannya hampir tersedak.
“Astaga! Nilo. Sejak kapan kamu disitu? Bukankah kamu sedang menikmati ikan segar sarapanmu tadi?” tanya Cico setelah menyadari kehadiran Nilo.
“Sudah aku habiskan. Lezat sekali. Semoga besok Pak Mamat membelikan ikan lagi untukku,” Nilo berkata sambil menjilati kaki depannya.
Cico tidak menjawab. Gara-gara ikan itu, Pak Mamat terlambat memberinya makan.
“Cepat habiskan makananmu, setelah itu kita bisa bermain,” ajak Nilo.
Mendengar kata bermain membuatkan Cico lebih bersemangat dan sedikit melupakan kekesalannya.
Embun menetes dari dedaunan tanaman bunga. Menetes di atas rumput jepang yang juga dihiasi titik-titik air. Kabut mulai menipis. Sinar matahari mulai menampakkan silaunya. Udara dingin semalam perlahan menghangat.
Nilo berlarian terlebih di halaman. Sesekali berguling di atas rumput. Memperhatikan ekornya yang berkibas. Kemudian mengejar ekornya sendiri seolah benda itu adalah mangsa yang siap diterkam.
Cico muncul dari belakang rumah Pak Mamat. Dari jauh sudah terlihat Nilo yang asyik berguling-guling di halaman depan. Tak sabar ia untuk bermain bersama. Dipercepat langkah kakinya agar segera sampai pada tempat Nilo berada.
“Nilo, tunggu aku!” Cico berteriak.
“Oke! Cepat kemari!” sahut Nilo.
Pak Mamat mengeluarkan motor bututnya dari rumah. Honda Astrea Grand keluaran tahun 1994 berwarna merah. Ia beli bekas dari tetangganya. Mesin beliau hidupkan. Sambil menunggu sedikit panas, diperhatikan kedua peliharaannya itu. Terkadang si kucing bersiap-siap kemudian lari menubruk si ayam. Terkadang pula si ayam berkokok dan si kucing seperti takut dan lari berbalik arah. Namun memang begitulah cara mereka bermain.
Pak mamat menaiki motornya dan berangkat menuju sawah.
**
“Nilo!” panggil istri Pak Mamat dari pintu depan rumahnya.
0 notes
Text
Mengangkasa (2)
"Ureum dan kreatinin Ibu tinggi sekali." kata abangku membaca hasil lab.
"Dalam bahasa Indonesia, tolong." kataku meminta penjelasan.
"Artinya, kondisi ginjal Ibu sudah rusak. Kata dokter, sudah stadium lima. Stadium akhir. Ibu harus menjalani terapi hemodialisis. Cuci darah rutin." Abangku menjelaskan.
"Berapa kali? Apakah setelah sekali dua kali cuci darah, sudah bisa pulang?" tanyaku polos. Aku tahu, pelajaran biologiku tidak terlalu bagus. Apalagi saat membahas organ ginjal. Seingatku, dulu guru tidak menjelaskan tentang hemodialisis atau cuci darah.
"Ima, cuci darah itu seumur hidup. Dan Ibu harus menjalani terapi rutin, sepekan 2 kali." Abangku menjawab lesu.
"SEUMUR HIDUP?" Tiba-tiba, duniaku rasanya mau runtuh. Ibu harus bolak-balik rumah sakit terus seumur hidup? Dan tunggu, tadi katanya tiap minggu 2 kali? Ya Tuhan, berita macam apa ini?
"Bang, apakah cuci darah itu harus di rumah sakit ini, atau bisa di rumah sakit di kabupaten kita?" tanyaku lagi lebih lanjut.
"Belum bisa di kabupaten kita, Ma. Harus di sini, di Padang. Fasilitasnya baru ada di sini." Jawaban abangku ikut membuatku lesu.
"Kalau opsi lainnya kata dokter bagaimana?" tanyaku lagi.
"Kata dokter, untuk pasien gagal ginjal kronis stadium akhir, cuci darah harus terus dilakukan karena ginjalnya sudah tidak bisa berfungsi untuk menyaring darah. Ditambah dengan obat-obatan dari dokter."
Tak terasa, bulir hangat mengalir dari mataku. Lagi-lagi, banyak skenario muncul di pikiranku. Ibuku yang kuat, ibuku yang sudah lebih dari separuh abad menjalani asam garam kehidupan. Ibuku yang tidak pernah mengeluh di hadapan kami. Ibuku yang jadi tulang punggung keluarga sejak Ayah pergi. Ibuku yang sudah berhasil menyekolahkan ketiga anaknya sampai sarjana. Ibuku, perempuan kampung yang berhasil. Ibuku sekarang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, tak sadarkan diri. Ibuku menunggu kami anak-anaknya menandatangani surat persetujuan untuk dilakukan terapi hemodialisis atau cuci darah.
20230213
1 note
·
View note
Text
Langkah-langkah Kecil Namira (2)
Namira membuka pintu berukir jepara itu, dan lonceng bagian atasnya berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk. Di seberang pintu sudah ada meja kasir, dengan deretan menu disamping mesinnya. Dibelakangnya ada seseorang menyambut kedatangan Namira dengan senyum manis nan hangat.
“Eh ada Mbak Mira! Tumben pagi banget kesini. Udah lama ga ketemu Mbak Mir,” sapa mas-mas barista itu.
“Hehe, iya mas. Aku pesen menu biasa kayak dulu yaa mas!”
“Oke siap”
Namira bergegas menuju sudut ruang café itu. Di spot sudut café, ia bisa melihat secara menyeluruh tataruang dan keunikan café yang menentramkan. Café itu bergaya rumah jawa yang penuh dengan ukuran khas Jepara. Cafe ini tetap buka dan kali ini agak sedikit berbeda, ya cafe lebih dijaga steril. Hal yang paling menjadi favorit Namira memilih cafe itu karena, murah!
Dikeluarkanlah dari ranselnya seperangkat alat perangnya. Seperangkat laptop, mouse dan mousepad, kipas laptop, charger. Alasan lain ia memilih sudut ruangan karena, ada stopkontak disana.
Mana yaa, masih ada enggak foto-foto produk craftku sewaktu kuliah dulu. Masih ada nggak ya?
Pagi sebelum pergi ke cafe, malam harinya Mira sempat selftalk serta mengingat-ingat kembali hal apa saja yang telah ia lakukan selama ini. Ia membuat list apa yang dia sukai dan sempat menghasilkan uang. Dia berfikiran untuk menghasilkan uang dari apa yang dia sukai dulu.
Membuat kerajinan ilustrasi wajah 3D dari kertas dengan teknik paper quilling
Memasak camilan
Desain konten sosmed
Apa aku coba bidang craft ya? Aku kan ada bisnis yang sewaktu kuliah dulu jalan dan lumayan menghasilkan. Besok aku lanjut lagi.
“Serius amat mbak, Mir? Cari apa sih? Aku taruh sini ya pesenannya”
“Iya ini mas lagi pusing hehehe, Mas sama aku mau tambah lagi yaa. Air mineral 1 saja"
“Okee mbaa, Mir”
“Eh, Mas ciee sudah tunangan saja ini"
“Kok tahu mbaa Mir?”
“Itu di jari manis kiri, Apa tuhh”
Mas barista itu kemudian memamerkan cincin nya.
“Baru 3 minggu Mbak Mir aku tunangan. Sebenernya aku gamau pakai tunangan gini, langsungan saja. Tapi lo mbak, kondisinya ga nentu. Orang mau bikin acara hajatan saja sulit.”
“Kan tinggal di KUA, Ijab disana selesai”
“Tapi buat nikah cuma sekali masak begitu saja mbak? Ditambah calonku itu anak tunggal, orang tuanya mau pesta yang besar mba.”
“Mas kamu rencana kapan pestanya”
“6 bulan lagi kayaknya, soalnya masih tunggu pemerintah juga mbak. Akan ada aturan khusus soal sebelum pernikahan. Sekarang tho mbak, kudu banget pakai ijasah sekolah pra-nikah ribet banget pokoknya"
“oh iya?”
“iya mbaa, belum lagi itu selama 1 minggu sampai 1 bulan”
“Mas kamu besok pesen maharnya diaku saja bagaimana?”
“Kamu bisa bikin memang mbak?”
“Bisa! Liat ini kerjaanku dulu waktu kuliah aku bikin kayak gini”
Namira dulu berkuliah di desain produk industri dan dia masih menyimpan portfolio craftnya dulu.
“Wah bagus-bagus yaa mbaa”
“Bisa dicicil ga mba bayarnya, masih 6 bulan juga acaranya”
“Bisa dong, Kabari saja mas”
“okee siap mbak Mir”
Sepertinya aku tahu akan memulai dari mana? Bagaimana dengan bisnis mahar? Aku punya skill membuat kerajinan, bahannya pun mudah didapat. Sedang marginnya bisa cukup tinggi.
Namira mulai menyusun hal-hal apa saja yang kan dikerjakan. Dia sangat bersyukur memutuskan untuk pergi ke cafe itu. Dengan begitu dia melihat peluang kemana kakinya melangkah lagi.
***
Malam ini Namira masih berkutat dengan laptopnya, sore sepulang dari cafe dia kelelahan dan berakhir di kasur setelah bersih diri. Malam ini dia pasti terjaga sampai dini hari akibat tidur sore tadi.
Ia melihat lihat akun-akun mahar diinstagram pesanannya laris manis. Masih keheranan, kenapa ya di pandemi kayak gini malah semakin banyak orang yang menikah? Apa karena biaya jadi murah? Karena tamu undangan dibatasi?
Malam itu juga Namira membuat sketsa desain mahar untuk dijadikan portfolio. Kali ini dia menggabungkan teknik paper quilling dengan sentuhan bunga artificial. Ia berencana untuk mengeksekusi sketsanya besok pagi. Tidak terasa sudah pukul 01.00, Namira lekas menutup laptopnya dan bersiap tidur.
*** Agenda hari ini adalah membuat satu sketsa mahar tadi menjadi 3D. Lalu trial membuat foto produk dan konten untuk ditaruh di instagram. Namira menggunakan alat sekadarnya. Pencahayaan dari sinar matahari, kamera handphone dan sedikit sentuhan editing.
Kok jelek ya. Padahal sudah persis dengan yang di tutorial tadi. Aku coba lagi dulu.
Hingga sudah pukul 10.00 matahari sudah tidak bersahabat lagi dengan pencahayaan yang ia mau. Disini Namira mulai lelah. Diambilah beanbag disudut ruangan, lalu ia beristirahat sejenak.
Kali ini dia tidak scoll instagram namun menghubungi temannya untuk berkeluh kesah. Temannya ini posisi “dirumahkan” sebab kantornya sedang melakukan efisiensi.
“Halooo, Assalamualaikum. Tumben masih pagi nelfon. Kenapa Mir?”
“Biasalah! Lagi pusing bgt ini foto produk jadi susah nggak kayak pas kuliah dulu. Perasaan sat set sat set hasil bagus”
“Kamu pakai apa memang?”
“Cahaya matahari, Handphoneku dan alas foto yang ada dirumah”
“produk lo apa?”
“Mahar yang ada framenya”
“Dasar T*l*l!”
“Kenapa? Mana yang salah?”
“Kalo ada frame kendalamu itu nge-flare kan? Ya kamu pakai 2 pencahayaan biar ga flare. Pasang lampu kiri sama kanan. Terus kamu take dari depan. Kasih reflektor bagian atas. Terus kamu pakai Hape ya? Sadar ngga kalo hape kamu itu sudah tuirrr. Sewa, pinjem atau beli gih!!”
Omongan teman Mira memang menyakitkan, tapi itu tidak ada salahnya untuk mencoba teknis yang diberikan. Lighting oke sih aku bisa bikin softbox DIY Kamera? Kalau sewa 200ribu, misal pinjem aku ga ada teman disini yang bisa dipinjami. Beli? Uang siapa? Gaji kemarin ga cukup mana pesangon ga ada. Dana darurat? Boro-boro nyiapin.. Apa ngutang ke Ibu dulu ya...
Namira belum pernah meminta apapun kepada ibunya semenjak ia kuliah sampai lulus. Alasannya karena ribet. Kali ini Namira memberanikan diri untuk menemui Ibunya dengan suatu maksud.
“Buk, lagi senggang gak? Mira mau ngorol ini.”
“Ya, ngobrol saja nduk. Kenapa?”
“Bu, Mira mau bikin usaha mahar”
“Loh kamu nggak ngelamar-lamar kerja lagi?”
“Susah buk” “Lha, terus bangun usaha pas pandemi memang mudah? Kamu tahu sendiri kan? Bangun bisnis ga mudah. Ini kita bisa hidup selain dari gaji Ibu, kita harus beryukur bisnis toko obat khusus ternak kita bisa menghidupi. Itupun kamu tahu sendiri, bangunnya Ibu harus utang dibank dulu, bayar utangnya dari gaji ibu yang dipotong. Dan 10 tahun baru bisa autopilot kayak sekarang. Kamu yakin mau buka usaha sendiri?”
“Ya kalau tidak dicoba kan ga tahu buk”
“Coba jelasin, bagaimana usaha mu itu?”
“Jadi bu....”
Namira memaparkan potensi usaha mahar bagaimana, lalu kemudian memaparkan kompetitor seperti apa. Dia menunjukkan hasil risetnya. Kemudian tibalah dibagian terakhir, dia menginkan kamera.
“Mira butuh kamera bu..?”
“Berapa harganya?”
“Ini harga pada turun bu, Canon EOS M100 6 juta full set sudah termasul filter kamera, sdcard dll”
“Kamu yakin benar butuh ini?”
“Yakin bu”
“Oke, ibu kasih kepercayaan. Ini ATM ibu, kamu bisa beli besok”
Namira benar-benar sumringah, hasil dari keberaniannya mengutarakan rencananya berhasil. Dealing dengan orang tua waktu itu berasa presentasi dengan investor.
1 note
·
View note
Text
Esok Belum Tentu Ada
Episode 2: Kesempatan
Sepulang kerja, Tami berjalan sendirian di lorong gang rumahnya. Jalanan masih basah. Suara katak bersahut-sahutan. Seba’da hujan menyisakan genangan di bahu jalan. Rasanya sudah lama sekali Tami tak berjalan pelan menikmati suasana sekitar rumahnya. Hari-harinya disibukkan dengan dengan kerja, pulang dan pergi secara cepat, sampai-sampai ia tidak terlalu perhatian pada lingkungan sekitarnya. Malam ini pertama kalinya Tami pulang pukul tujuh malam. Biasanya ia pulang kira-kira jam 9 malam.
Dung dung dung.
Suara pukulan kentongan penjual nasi goreng terdengar dari kejauhan. Bau semerbak wangi sedap makanan menyebar di udara. Tami masih berjalan semakin mendekati rumahnya.
“Malem Neng. Tumben pulang lebih awal Neng?”
“Nasi gorengnya Neng?”
Tami belum menyahuti pertanyaan Mamang penjual nasi goreng. Ia berhenti sebentar sambil memegangi payungnya yang mengembang. Rupanya selama ini, penjual Nasi Goreng itu diam-diam memperhatikan Tami. Tampaknya sudah hapal betul kapan Tami pulang kerja sehari-hari. Sebaliknya, Tami baru tahu kalau ada gerobak nasi goreng di sana.
“Jadi beli Neng?” Pertanyaan Pak Mamang membuyarkan lamunan Tami.
“Nasi goreng satu ya Pak. Ga usah pakai acar.”
“Siap, Neng.”
Malam ini Tami sudah memutuskan tidak akan memasak. Ia tidak ingin direpotkan dengan kesibukan bermacam-macam. Selepas makan malam nanti, segera ia ingin beristirahat. Titik.
Setelah Tami memesan nasi goreng, datanglah beberapa pengunjung. Satu lelaki, dua perempuan. Lalu ada beberapa lagi. Seperti tidak ada habisnya, pengunjung terus berdatangan. Selama tinggal di Kampung Rambutan, ia baru sadar bahwa di dekat rumahnya ada penjual nasi goreng terenak di kampungnya. Lokasinya dekat dengan rumahnya.
Disodorkannya uang lima puluh ribu rupiah kepada Pak Mamang.
“Makasih Neng sudah jadi pembuka rezeki. Kapan-kapan beli lagi ya.”
Tami terdiam. Ia terperanjat ketika Pak Mamang mengatakan demikian.
“Ini kembaliannya.”
“Tak usah Pak, buat Bapak saja.”
“Wah makasih banyak Neng. Alhamdulillah, laris manis.” Penjual berkupluk kain itu tersenyum kegirangan. Uang kembalian tiga puluh ribu rupiah itu dikibaskan ke dagangannya.
Tami tertawa kecil melihat kebahagiaan Pak Mamang. Tanpa disadari, ia telah melangkah pergi menjauhi keramaian.
“Jadi pembuka rezeki?” Tami memikirkan perkataan Pak Mamang barusan. Sampai akhirnya ia tiba di rumahnya. Sepi. Tidak ada siapa-siapa.
Dilepasnya alas kaki. Kemudian, ia menuju kamar mandi untuk bersih diri. Tidak berlangsung lama, Tami segera ke kamarnya lalu merebahkan diri di atas kasur. Di lihatnya langit-langit kamarnya.
“Pembuka rezeki?” Kata-kata Pak Mamang masih terngiang-ngiang sedari tadi.
“Ah, sudahlah. Apa masih sempat ya?” Pertanyaan itu tidak dilanjutkan. Tami hampir lupa jika nasi gorengnya hampir dingin jika dibiarkan terlalu lama. Hari ini, adalah hari yang panjang. Setelah 3 tahun pengabdian di perusahaan, ia akhirnya mengambil keputusan besar. Tidak semua orang berani mengambil keputusan itu, tetapi Tami mampu melakukannya. Esok ia bertekad bangun lebih pagi, meskipun sudah tidak bekerja lagi.
***
Selasa, 13 Februari 2023
Hari ini Tami sudah resmi libur kerja. Ia memang sudah tidak lagi bekerja kantoran. Ia sudah resign atau lebih tepatnya pensiun dini. Dibukanya jendela kamar. Tirai abu-abunya diposisikan ke samping kanan. Segar. Seketika hawa dingin menyebar ke sudut ruangan. Cahaya mentari menerobos celah-celah ventilasi menambah kehangatan. Sudah lama ia tak merasakan kesejukan rumah yang dihuninya selama ini.
“Perfect!” Tami berbicara pada dirinya sendiri. Ia membusungkan dada, memejamkan mata, dan mengambil nafas dalam-dalam.
Tak lama kemudian, ia bergegas ke kamar mandi. Singkat saja, cukup sepuluh menit. Tami membuat sarapan nasi goreng satu porsi. Diambilnya beberapa lembar sawi dan rempah. Ia terlihat lihai memotong sayuran, meramu bumbu, dan mengolahnya jadi masakaan sedap. Semua dilakukannya dengan cekatan. Meskipun rasanya tak senikmat buatan Pak Mamang, nasi gorengnya cukup bisa diandalkan.
Di rumahnya, gadis usia 27 tahun itu memang tinggal sendirian. Ayah Ibunya sudah tiada sejak empat tahun yang lalu. Penyebabnya karena kecelakaan. Kejadian yang tiba-tiba itu sempat membuat Tami syok. Apalagi saat itu Tami baru saja selesai sidang skripi S1. Sejak saat itu, Tami menjadi yatim piatu. Ia juga tak punya saudara kandung. Sebenarnya Budhenya sudah pernah menawarkan agar Tami tinggal bersamanya di kota sebelah. Hanya saja, Tami menolak. Ia sudah terbiasa mandiri. Lebih tepatnya, ia sudah dipersiapkan untuk hidup mandiri sebelum orang tuanya meninggal dunia. Justru ia merasa akan baik-baiknya asalkan tetap tinggal di rumah. Kenangan bersama orang tuanya sudah terlampau banyak. Hatinya belum mau beranjak.
Keluarga Tami berasal dari kalangan orang berada. Namun, sejak kecil orang tuanya membiasakan hidup sederhana. Ayah Tami seorang arsitek ternama. Beliaulah yang mendesain sendiri rumahnya yang tingkat dua. Dipilihlah tempat tinggal di perkampungan, di dalam gang yang cukup jauh dari pusat kota. Alasannya cukup klasik yaitu agar bisa lebih dekat dengan masyarakat. Ibu Tami adalah seorang perawat di rumah sakit pusat kota. Sebelum peristiwa kecelakaan nahas itu, Ibu Tami sempat berpesan.
“Nak, Ibu dan Ayah tidak pernah menyuruhmu jadi orang hebat. Tapi, jadilah orang yang baik.”
Rupanya, pesan itu menjadi pesan terakhir untuk Tami, anak semata wayangnya.
***
Pukul 07.30
Sambil duduk santai menikmati kopi, Tami melihat jendela kaca. Tatapannya jauh ke depan, senyumnya mengembang. Sudah lama sekali ia tidak menghirup udara pagi seperti ini. Rasanya damai.
Diambilnya buku catatan yang biasanya untuk kerja. Dibukanya selembar demi lembar. Hampir tak ada halaman kosong. Di dua halaman terakhir, gadis berlesung pipi itu mulai menuliskan sesuatu. Ia memang terbiasa mencatat apa saja yang hendak dilakukannya seharian. Namun, tak seperti biasanya kali ini ia menulis agak lamban. Ditulisnya satu kata, beberapa list tujuan, kemudian dicoretnya lagi. Tidak jadi. Seperti bimbang hendak ke mana hari ini. Ia kemudian menuliskan catatan kecil tertulis BERSIH-BERSIH KAMAR. Benar saja, ia akan di rumah saja seharian.
Seusai sarapan, Tami bergegas mencuci peralatan makan, membersihkan meja, lalu kembali ke kamar. Langkahnya perlahan menaiki tangga ke lantai dua. Di kamarnya, ia membuka lemari. Tugas hari ini adalah merapikan dokumen. Rasanya sudah hampir satu tahun, Tami tak pernah lagi menyentuh lemari kayu itu.
“Mulai yang mana dulu ya?”
“Aha! Yang ini dulu saja.”
Tak ada seorangpun di kamarnya. Ia hanya bercakap seorang diri. Dibukanya ponsel, lalu diputarnya sebuah lagu untuk membunuh sepi. Lagu apa saja yang ia putar, asalkan terdengar enak di telinga.
Detik berganti menit. Menit berganti jam. Tak terasa sudah hampir dua jam ia disibukkan di kamarnya. Buku-buku bacaan seperti novel ditata ulang sesuai ukuran dan warna agar sedap dipandang mata. Beberapa lembar nota pembayaran yang sudah tak terbaca dikumpulkannya di sudut ruangan. Sebagian kertas berserakan di kamar. Ia akan membuangnya karena dirasa sudah tak penting lagi. Sebagian lagi, file holder telah terisi rapi dengan kumpulan ijazah kelulusan sekolahnya beberapa tahun silam.
“Ternyata aku dulu ambis juga ya. Banyak benar piagam juara.”
Lalu diambilnya sebuah amplop coklat. Didalamnya ada dokumen berukurannya agak besar, kira-kira selebar kertas A3. Sebuah dokumen bersampul biru hijau. Dari judulnya, tampak sebagai dokumen penting. Dari instansi radiologi sebuah rumah sakit. Dan di pojok kirinya tertulis sebuah peringatan.
(JANGAN DILIPAT, BILA KONTROL FOTO LAMA HARAP DIBAWA)
Hasil foto X-Ray, jenis foto horax. Tertulis identitas seorang pasien.
Tak hanya itu, Tami juga menemukan sebuah amplop persegi panjang berwarna merah muda. Dari sebuah laboratorium Patologi Anatomi. Ada juga amplop biru yang berukuran sama, bertuliskan Laboratorium Patologi Klinik. Dan terakhir, sebuah dokumen berukuran A4 dengan judul hasil pemeriksaan ultrasonograpy. Semua dokumen penting itu atas nama Tami Wijaya, usia 25 tahun.
Tami menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia kemudian merapikan dokumen itu menjadi satu bundel. Tampaknya, ia sudah menemukan apa yang dicarinya selama ini. Kumpulan dokumen dua tahun lalu adalah riwayat hasil pemeriksaan kesehatan dirinya sendiri.
“Bismillah, besok aku akan ke rumah sakit lagi.”
“Semoga masih ada kesempatan. Kuatkan aku, Ya Rabb.” Pintanya dalam hati.
(Bersambung…)
2 notes
·
View notes
Text
Menembus Waktu (2)
Semua terekam dalam memori Arina. Bagaimana dia menghabiskan masa kecilnya. Bagaimana kedua orang tuanya mendidik dan merawatnya. Dalam memori masa kecil Arina, sosok ayahnya yang biasa dia panggil Bapak adalah orang yang penyayang dan hangat. Bahkan dulu, Arina merasa Bapak lebih penyayang daripada Ibunya. Bagi Arina kecil, Bu Irma adalah sosok yang galak dan lebih menyayangi Irsyam. Itulah gambaran kenangan Arina terhadap kedua orang tuanya. Arina memang lebih dekat dengan ayahnya. Tapi ada memori lain yang terekam oleh Arina kecil yaitu pertengkaran kedua orang tuanya. Orang tua Arina tidak pernah secara langsung bertengkar di depan Arina dan Irsyam.
Namun , malam itu Arina kecil yang masih berusia 9 tahun sedang kebingungan mencari ayahnya. Biasanya setiap malam, ayahnya membantu Arina mengerjakan PR-PR sekolahnya. Tapi kali ini berbeda, sejak selesai sholat isya tadi, Arina tidak menemukan dimana ayahnya. Arina berjalan menyusuri rumahnya, di ruang tamu tidak ada, di area ruang makan tidak ada, lalu dia melihat pintu kamar orang tuanya terbuka dengan lampu kamar yang mati.
“Apa mungkin bapak ada di dalam kamar ya? Tapi kok lampunya mati?” batin Arina.
Arina melangkahkan kaki kecilnya perlahan menuju kamar itu. Saat sudah di depan pintu, kepala Arina melongok ke dalam kamar . Gelap tetapi masih ada berkas-berkas cahaya dari lampu ruangan sebelah yang masuk dari sela-sela jendela kecil di kamar itu.
Tidak ada. Arina tidak menemukan ayahnya. Dia hanya melihat ibunya sedang duduk di atas ranjang. Kedua tangan Bu Irma menutup mulutnya. Meskipun cahaya di kamar itu temaram, tetapi Arina jelas melihatnya. Arina melihat ibunya sedang menangis. Air mata Bu Irma jatuh membasahi pipinya. Arina terdiam. Dia terkejut melihat apa yang ada dihadapannya. Banyak pikiran-pikiran berkecamuk di dalam otak Arina. Meskipun saat itu usianya masih sembilan tahun, tapi Arina kecil sudah cukup bisa memahami bahwa ada yang terjadi diantara kedua orang tuanya. Di lain waktu, Arina juga melihat kedua orang tuanya tidak saling bertegur sapa dan tidak saling memperhatikan. Kehangatan itu tidak ada. Meskipun ayah Arina tidak pernah marah dan bersikap lembut kepadanya, ibu Arina pun meskipun kadang agak lebih cerewet dan suka mengomel tapi Arina bisa merasakan kehangatan kasih sayang ibunya. Tapi kehangatan ibu dan ayahnya sebagai suami istri, itu yang tidak Arina rasakan. Seolah mereka berdua hanya tinggal di satu tempat yang sama tetapi tanpa menyamakan tujuan.
“Tidak, Ibu tidak menyesal menikah muda karena dijodohkan” jawaban Bu Irma menyadarkan Arina dari lamunannya.
Arina bangun dan kembali duduk di sebelah Bu Irma. Sesaat suasana muncul suasana hening diantara mereka berdua.
“Kalau menikah dengan bapak? Apa ibu pernah menyesal?”
“Pernah”
Arina tidak kaget mendengar jawaban itu keluar dari mulut ibunya. Ingatannya kembali menerawang. Iya Arina ingat, puncaknya saat dia duduk di kelas 5 SD.
Usia Arina saat itu 10 tahun, sedangkan Irsyam masih 7 tahun. Minggu sore seperti biasa, saat Arina dan Irsyam sedang asik menonton acara televisi kesukaan mereka. Bu Irma pulang dari pasar. Sendirian. Arina heran melihat ibunya pulang sendirian tanpa ayahnya. Hingga matahari mulai terbenam dan langit mulai gelap, ayahnya belum juga pulang. Arina yang merasa bingung kemudian bertanya kepada Bu Irma yang sedang duduk bersila di karpet sembari menghitung uang penghasilan kios hari ini.
“Ibu, kok bapak belum pulang? Biasanya ibu dan bapak pulang bersama”
Bu Irma terdiam, tangannya berhenti merapikan lembaran-lembaran uang yang masih ada diatas karpet. Dia memeluk anaknya.
“Arin… Untuk sementara Bapak tidak pulang ke rumah ini dulu. Arina dan Irsyam masih bisa ketemu bapak. Tapi di rumah ini, sekarang kita bertiga dulu ya, Nduk” suara Bu Irma gemetar.
Air matanya pecah, dia memeluk Arina lebih erat. Arina menangis di dalam pelukan Bu Irma, sesekali dia berteriak memanggil ayahnya.
Di minggu-minggu berikutnya setelah kejadian itu, setiap hari minggu Arina dan Irsyam bertemu dengan ayah mereka. Ayah Arina kembali ke rumah orang tuanya. Di rumah Mbah nya itulah, Arina dan Irsyam menghabiskan waktu bersama ayah mereka. Hari Minggu menjadi hari yang berharga bagi Arina dan Irsyam karena saat itulah dari pagi hingga sore, mereka bisa bertemu dengan ayah mereka. Dan setiap kali harus berpisah dengan Ayahnya, Arina merasa sangat sedih. Terkadang dalam hatinya bertanya-tanya mengapa keluarganya menjadi seperti ini. Iya, benar. Ingatan masa kecil itu kembali.
“Dulu…. Sebelum kejadian bapak dan ibu pisah rumah. Ibu sempat menyesal menikah dengan bapak. Ibu merasa kecewa dengan bapak. Ibu juga marah dengan kakekmu yang dulu menjodohkan kami berdua. Saat itu usia ibu 17 tahun dan bapak berusia 22 tahun. Saat itu bapak masih kuliah di Jogjakarta, sudah semester akhir. Ibu harus berhenti sekolah karena kakek memaksa ibu untuk segera menikah dengan bapak”
“Lalu…?” Arina bertanya dengan nada penasaran seolah tidak sabar mendengarkan kelanjutan kisah orangtuanya.
“Awal menikah bapak dan ibu LDR, bapak melanjutkan kuliahnya di Jogja, ibu berhenti sekolah dan meneruskan kios nenek kamu. Karena ibu sudah menikah, jadi nenek memberi ibu modal sebuah kios itu yang sampai sekarang alhamdulillah makin berkembang.”
“Jadi? Dari awal menikah ibu cari uang sendiri? Bapak tidak menafkahi ibu?”
“Iya, Nduk. Ibu sudah terbiasa mencari uang sendiri sejak menikah. Hmmm.. bapak tidak pernah menafkahi ibu. Kuliah bapak juga tidak selesai. Akhirnya bapak pulang ke Magelang, beberapa kali mencoba untuk berbisnis tetapi selalu gagal”. Bu Risma menghela napas terlihat raut kesedihan di wajahnya.
Sebenarnya Arina pernah mendengar cerita ini. Beberapa kali saat ibunya sedang mengobrol dengan nenek Arina yang sering Arina panggil “Mak’e”, terkadang Bu Risma menceritakan hal ini. Tentang ayahnya yang tidak menafkahi, tentang ayahnya yang pemalas tidak mau bekerja, cuek terhadap istrinya bahkan ayah Arina sering tidak jujur masalah finansial. Itulah penyebab mereka pisah rumah kala itu. Bu Risma tidak pernah terang-terangan berbicara keburukan tentang Pak Herman yaitu ayah Arina di depan anak-anaknya. Tapi pada akhirnya Arina mendengar dan mengetahui sendiri cerita tentang ayahnya.
“Tapi…. Setelah kejadian pisah rumah yang membuat bapak dan ibu rujuk kembali. Bapak kamu benar-benar berubah, Rin” senyum Bu Risma mulai mengembang di wajahnya.
“Berubah bagaimana bu?”
“Semuanya benar benar berubah. Bapak menjadi lebih perhatian dengan ibu. Bapak juga menjadi rajin bekerja membantu ibu mengurus kios. Masa-masa itu benar-benar membuat ibu bahagia, Rin. Selama 15 tahun pernikahan kami, tiga tahun terakhir sebelum bapak pergi. Itu adalah masa terindah menurut ibu, Rin” mata Bu Risma berkaca-kaca. Semua ingatan tentang suaminya memenuhi ruang-ruang pikiran dan hatinya.
Iya benar. Ayah Arina, Pak Herman telah meninggal lima tahun lalu karena kecelakaan.
Arina memandangi wajah ibunya yang sedang tertegun bersama kenangan-kenangan pahit manis pernikahannya. Wanita terkuat yang Arina kenal dalam hidupnya. Wanita mandiri yang berjuang sendiri untuk kebahagiaan anak-anaknya. Wanita yang sabar dalam penantian dan kekecewaannya menunggu suaminya berubah.
“Tapi kenapa hanya tiga tahun? Tiga tahun saja ibu merasakan menjadi istri dan memiliki suami seutuhnya? Kenapa hanya tiga tahun Ya Allah?” batin Arina sembari memeluk ibunya.
Televisi yang sedari tadi masih menyala, tidak mereka berdua hiraukan. Ibu dan anak ini seolah terlarut kedalam kenangan-kenangan yang tiba-tiba muncul satu persatu.
Setelah percakapan panjang malam ini, Arina semakin kagum dengan sosok ibunya. Arina merasa bangga dan terharu mendengar semua perjuangan yang telah ibunya lalui hingga detik ini. Bagi Arina, sosok ibunya adalah anak yang penurut, rela melepaskan kesenangan masa muda nya untuk mengikuti perintah orang tuanya. Ikhlas menanggung semua penderitaan pernikahannya tanpa sedikitpun mengeluh ataupun menyerah. Dan ketika masa kebahagiaan itu datang, tiba-tiba Allah mengambilnya dan sekali lagi Bu Risma harus belajar arti ikhlas.
“Pasti tidak mudah ya, bu melewati ini semua” Arina masih memeluk erat ibunya.
“Andai waktu bisa diputar kembali….” Ucap Arina lirih.
2 notes
·
View notes
Text
Secondary Class.2
Masyarakat terbagi ke dalam kelas-kelas sosial. Lewat dongeng dan cerita anak-anak, samar-samar Karlin ingat bagaimana setiap kisah itu dibuat oleh orang-orang dewasa. Sedikit lebih besar, dia melihat manifestasinya di sekolah, di jalan, di bagaimana perlakuan orang, dan cara negara ini dioperasikan.
Tujuh puluh lima persen anggota parlemen diisi oleh golongan murni diikuti dua puluh persen golongan campuran, dan golongan hibrid hanya lima persen. Emblem pegasus bersepuh emas putih yang baru seminggu ia kenakan itu rasanya berat sekali. Rapat dengar pertamanya minggu ini akan segera dimulai. Di ruangan Komite Senat Bidang Hukum dan Kehakiman, Karlin, Senator Haris, Senator Aji, Senator Mulia, dan Ketua Komite Senator –Miriam Aditya telah siap di tempat duduk di tempatnya masing-masing.
Ini adalah momen yang paling ia nantikan. Menjadi anggota senat walaupun berat, adalah mimpinya sejak kecil. Semua bermula dari pertanyaan-pertanyaan kecil yang ia temukan saat masih kecil.
Karlin membuka lembar dokumen di hadapannya. Ia hafal mati isinya. Sudah tak terkira berapa banyak malam-malam suntuk ia habiskan, memastikan ia menguasai dengan baik topik rapat dengar hari ini.
Kasus Handara. Seorang staf kepolisian di distrik sebelas bernama Brigadir Hendra membunuh seorang warga sipil –seorang hibrid- bernama William Handara di pagi buta. William Handara adalah seorang penjaga keamanan di kelab malam. Ia sedang melerai perselisihan antara seorang pengunjung –manusia murni dan pelayan kelab –campuran saat tiba-tiba ia disergap. Lehernya dipiting sampai kehabisan nafas.
“Tolong lepaskan, aku tidak bisa bernafas.” Itu kata-kata terakhir sebelum mati kehabisan nafas lima menit kemudian.
Dalam pernyataan investigasi penahanannya, brigadir Hendra menyatakan diri lalai karena mencoba bertindak cepat dengan mengamankan William Handara yang ia duga menyebabkan kekacauan. Dada Karlin rasanya sesak penuh amarah saat pertama kali dokumen wawancara itu sampai ke tangannya. Prasangka yang gegabah. Ada praduga yang diskriminatif karena Handara adalah seorang hibrid.
Ini bukan hal langka yang terjadi di masyarakat. Ia dan seluruh rakyat negeri ini sudah terbiasa dan dibiasakan dengan keadaan itu sedari kecil.
“Kenapa kita tidak boleh ikut antrian prioritas?” dahulu sekali Karlin pernah bertanya ketika serang mengantri untuk menonton pertandingan bola bersama kakeknya.
“Itu antrian untuk manusia murni.”
“Kenapa Leon harus dilarikan ke rumah sakit di pinggiran padahal rumahnya di pusat kota? Lukanya butuh segera dirawat,” Lain waktu ia bertanya pada guru Ibu Guru Olahraga. Itu selepas pertandingan basket antar sekolah. Leon, shooting guard tim mereka cedera. Karlin yang waktu itu jadi manajer ikut menemani di ambulans.
“Leon itu seorang hibrid,” Begitu kata gurunya.
“Dunia ini tidak adil!”
“Dunia tidak pernah adil, Nak,” Nenek selalu bilang begitu setiap kali ia protes.
Ada masanya suara protes dan tanya akan keadaan yang demikian itu mengecil, hanya menjadi latar dari semua bising yang berhasil ia internalisasi jadi suaranya sendiri. Ada masanya ia tanpa sadar menormalkan hal-hal yang dulu ia pertanyakan itu. Menjadikannya sebagai normal yang baru. Sampai kemudian ia bertemu Gala. Itu musim hujan sepuluh tahun yang lalu.
Gala adalah teman hibrid pertamanya. Di dunia yang tersegregasi manusia murni, campuran, dan hibrid jarang sekali tinggal di satu distrik yang sama. Distrik pusat adalah distrik dimana sebagian besar manusia murni bermukim, sementara distrik satelit di sekitarnya dihuni didominasi golongan campuran. Hibrid tinggal di perimeter terluar wilayah. Kota-kota wilayah tambang dengan lubang-lubang galian merah dan hutan belantara berdampingan.
Tidak ada aturan yang mengatakan bahwa kaum hibrid hanya boleh tinggal di wilayah tambang. Akan tetapi aturan pertanahan di negara ini tidak memungkinkan kaum hibrid membeli tanah dan rumah di Distrik pusat dan perimeter, jikapun tinggal semaksimal yang bisa diusahakan adalah sewa atau kontrak. Ditambah lagi tingkat kesejahteraan hibrid untuk bisa membeli rumah yang layak di wilayah itu rendah. Letak tinggal ini dipengaruhi dan mempengaruhi profesi yang dijalani oleh masing-masing golongan. Sebagian besar kamu hibrid adalah pekerja tambang atau buruh kerah biru.
Karlin ingat pertama kali Gala tiba kampusnya di tahun pertama saat dia baru masuk. Semua orang mengenal dia sebagai mahasiswa hibrid yang dapat beasiswa negara. Selain informasi bahwa Gala seorang Hibrid, tidak ada satu pun dari penampilannya yang mencolok. Pria jangkung itu lebih suka memakai hoodie hitam kebesaran dan celana panjang longgar setiap kuliah. Tidak peduli dimanapun kuliah diadakan, Gala akan mengambil tempat duduk di pojok kanan belakang ruang kelas. Ia tidak banyak bicara dan langsung pulang setelah kelas. Teman-teman seangkatan juga lepas penerimaan mahasiswa baru juga tidak terlalu memperhatikannya. Sibuk dengan lingkaran pergaulan masing-masing. Begitu pula Karlin.
Pengumuman nilai semester pertama adalah pertama kalinya keadaan mulai berubah. Di setiap mata kuliah, nilai Gala selalu sempurna. Satu angkatan tahu dari Mas Wiryo. Dosen mata kuliah Biomekanik itu dengan bangga mengumumkan ke seisi kelas bahwa di antara seratus lima puluh muridnya, hanya satu mahasiswa yang berhasil mendapatkan IPK sempurna.
“Boleh tolong ajari aku?” Sambil bertanya Karlin menyodorkan lembar kerja laboratoriumnya ke arah Gala. Pria itu mendongak menatap Karlin sambil mengernyit. Mereka berdua hari itu kedapatan jadwal memakai laboratorium di hari yang sama. Itu pertama kalinya Karlin mencoba membuka percakapan setelah hampir tujuh bulan kuliah.
“Oiya, namaku Karlin,” susul Karlin cepat.
Gala hanya mengangguk. “Bagian mana yang kamu tidak paham?”
“Itu dia,” Karlin menghela nafas. Aku bahkan tidak tahu persis yang aku tidak tahu. Semuanya terasa membingungkan.” Gala memandang Karlin dengan seksama. Ada senyum kecil yang berusaha di tahan oleh teman sekelasnya itu sebelum akhirnya memberikan penjelasan secara terperinci.
Dari sinilah, pertemanan mereka dimulai. Walaupun awalnya Gala terlihat agak canggung dan kaku, tapi akhirnya ia pun ikut membuka diri dan menunjukkan sisi lain dari kepribadiannya yang ceria dan humoris. Karlin menyadari bahwa sebenarnya teman barunya itu memiliki pengetahuan yang luas dan sangat pintar. Personanya yang terlihat dingin dan berjarak itu tidak benar.
Karlin mulai sering mengajak Gala ngobrol dan makan siang bersama di kantin kampus. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, belajar bersama di perpustakaan atau bahkan jalan-jalan ke luar kota. Gala bahkan mengajak Karlin untuk pergi ke hutan rahasianya.
Ketika akhir tahun ajaran menjelang nilai Karlin naik drastis. Hari dimana nilai mata kuliah Instrumen Biomedis diumumkan Karlin melompat dan memeluk Gala erat.
“Gal! Nilaiku A plus! Makasih ya!” Pelukan itu makin erat.
Si pria yang dipeluk cuma tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk punggung teman dekatnya beberapa bulan terakhir. “Itu semua berkat usahamu juga. Selamat ya.”
Karlin tidak sepakat dengan apa yang Gala katakan. Iu semua karena temannya itu adalah guru yang sabar dan baik tapi juga tanpa ampun menggemblengnya. Ada hari-hari Karlin menangis karena tidak sanggup mengikuti materi yang diajarkan di dalam ruang kelas atau saat mengerjakan tugas. Rekayasa Biomedis bukan jurusan impiannya. Jika boleh memilih ia inginnya berkuliah di Ilmu Politik. Ibu dan Ayahnya lah yang menggantungkan harapan pada anak semata wayangnya untuk menjadi seperti mereka. Profesor Biomedis terkemuka yang pernah dimiliki negeri ini.
IPK-nya naik dari 2.75 menjadi 3.50 hanya dalam kurun waktu satu semester. Pada saat yang bersamaan gosip-gosip itu mulai bermunculan. Beberapa orang bilang Karlin memanfaatkan hibrid agar nilainya bagus –Kalau meminta Gala menjadi mentor dianggap sebagai memanfaatkan, ia tidak masalah. Beberapa orang lain bilang keduanya menjalin hubungan cinta –Ini membuat cibiran sering dialamatkan kepadanya. Anak seorang ilmuwan biosains yang terpandang kok mau-maunya sih dengan hibrid. Rasa marah itu menggelegak. Berani-beraninya mereka.
“Sudah biarkan saja.” Selalu begitu Gala menenangkannya. Terlalu sering sampai suatu ketika Karlin gantian marah ke temannya itu saat mereka sedang bersantai di tepi sungai sambil membaca buku.
“Kamu jangan terlalu nrimo dong Gal,” tukas Karlin gemas. Jawaban Gala setelah itu membuatnya terdiam lama sekali dan rasa bersalah langsung menghantuinya.
“Segini saja tidak menggangguku. Kalau kamu marah, wajar. Kamu tidak sepertiku. Kamu nggak terlahir untuk biasa menerima perlakuan demikian.” Karlin meskipun terlahir sebagai campuran, bagaimanapun masih memiliki posisi sosial yang jauh lebih baik dibanding hibrid. Di samping itu, keluarganya adalah keluarga saintis yang dihormati dan banyak disukai para pemimpin manusia murni.
Begitupun Karlin tidak bisa diam saja menutup mata. Setiap kali ia berusaha mengkonfrontasi orang-orang, jawaban mereka selalu sama. Minta maaf karena salah paham sekaligus tidak mengerti Karlin sebegitu tersinggungnya.
“Kamu yang nggak wajar.” Kata-kata Helena si ketua angkatan terngiang terus di kepalanya. “Kan memang begitu seharusnya, Lin. Kamu yang aneh-aneh berteman dengan hibrid sampai segitunya.”
‘Kan memang begitu seharusnya’. Kata yang berbahaya. Kata itu yang hari ini berusaha Karlin lawan di depan podium senat. Semua yang dianggap normal dan seharusnya. Abnormalitas yang mewabah. Hingga pada suatu titik, saking luasnya wabah itu menjangkit, ia dianggap sebagai normal belaka. Kasus Handara ini adalah bukti tragisnya.
“Hadirin yang terhormat, selamat datang di rapat dengar pendapat Komite Senat untuk membahas reformasi kepolisian…” Miriam Aditya duduk di kursinya dengan tenang. Di kanan dan kirinya empat perwakilan senator saling berhadapan.
Senator Haris adalah yang pertama kali angkat bicara.
“Kita memiliki kesempatan yang lebih baik jika bekerja sama dengan pihak kepolisian, bukan memaksa persetujuan nasional tanpa mempertimbangkan perbedaan kebijakan di unit kepolisian." Argumennya terdengar rasional dan masuk akal. Sepintas itu terkesan seperti itikad baik membangun hubungan kooperatif dengan kepolisian. Kalau saja pejabat mantan anggota kepolisian pusat tidak menjadi sponsor utama kampanye senator Haris untuk periode ini. Oh, dalam bayangannya masih teringat jelas bagaimana kampanye-kampanye pria itu tahun lalu merajalela di televisi, dan di jalanan. Biaya yang tidak sedikit untuk melakukan promosi senat.
“Membangun hubungan baik dengan kepolisian diperlukan untuk menjalankan negara” Karlin diam sejenak, mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. Matanya dengan sengaja berhenti beredar tepat saat ia bersitatap dengan Senator Haris. Ia melanjutkan. “Akan tetapi keamanan sipil dan rasa aman kolektif tetaplah harus menjadi prioritas Senat. Tidak ada yang menginginkan anak-anak mereka harus menghadapi brutalitas polisi atau ketidakadilan sistemik.”
“Maka, kenapa tidak dua-duanya?” Potong Senator Haris. Ujung bibir pria itu diangkat ke atas. Rancangan dokumen perundang-undangan reformasi kepolisian di genggamannya ia letakkan. Dalam senat, ucapan kompromis seperti itu berarti satu hal. Senator Haris tidak sepakat dengan reformasi kepolisian.
0 notes