#gue yang bisa kasih semua untuk lo
Explore tagged Tumblr posts
ngeng · 2 years ago
Text
Dahal dulu gue yg kek "awas lu nyakitin tu cewe" ((krn saya sakit hati)) yah malah disakitin
Bgst tu org kandas pas gue udh stop ngecrush anjir WRONG TIMING BGT BORRR
1 note · View note
srifafa · 3 months ago
Text
Cinta dalam Paut Doa
Aku ... masih berkeyakinan bahwa kamulah orangnya. Meskipun beribu tanya menyergapku setiap saat tatkala tak ada benang yang terjalin di antara kita. Namun tatapan itu, saat itu sekan menjadi dinding yang memiliki ruang tersendiri dalam hati.
"Gila kamu ya Naf ... kamu nungguin dia. Sejak kapan? Jangan bilang sejak ...."
"Gue juga gak tahu Dan dengan perasaanku gue sendiri. Mana bisa ya gue suka dengan kulkas 2 pintu itu,"
"Sholeh sih ta ... pi,"
"Dia juga kayak gue gak ya,"
"Setia tanpa pacaran kayak lo? Ternyata ini alasan lo kenapa semua tawaran perjodohan dan surat2 itu kembali tanpa balasan, ternyata dia orangnya,"
"Aneh tapi gue juga bingung. Namun gak tahu ini gimana hati. Semoga kami bisa seperti kisah cinta Ali Fatimah,"
"Bisa-bisanya lo nunggu kulkas itu, gak habis fikri gue. Kalau lo beneran nikah sama tuh kulkas gue kasih umroh gratis dari biro gue dengan pelayanan terbaik,"
"Sekarang aja bisa gak hadiahnya?"
"Please dehh Naf lo harus berjuang,"
Mencintaimu adalah keyakinan
Namun juga setengahnya ketakutan
Senyummu mengandung rindu
yang ingin kubungkus untuk menemani hari2ku
Aku kadang ingin bertanya "Baikkah kamu?" "Bagaimana kabarmu?"
Pintu itu selalu tertutup. Aku tak bisa memasukinya. Aku berharap kelak kita dapat bertemu dalam keyakinan yang kan menjadi satu. Kita yang akan sepakat untuk sepaket.
11 notes · View notes
remin1sce · 4 months ago
Text
Kini Mereka Tahu
Kudengar kamu sibuk ke sana-kemari
Bersihkan namamu di mata orang lain
Kau cerita dari sisimu
Kaubilang tak semua salahmu
Berharap ada yang memihakmu
Banyak orang mengartikan lagu ini tentang mantan kekasih, yang tetap lo bela mati-matian setelah semua kesalahannya terhadap lo. Tapi gue terlalu relate dengan lirik-lirik yang ditulis Bernadya dalam artian lain, yaitu persahabatan. Ya, lebih ke persahabatan yang hancur karna dikhianati. Pernah gasih, lo diomongin di belakang oleh sahabat lo sendiri? Hasil dari omongan itu berakhir dengan lo dibenci banyak orang, dan lo gabisa berbuat apa-apa.
Itu yang terjadi ke gue. Terus-terusan. Miris, tapi gue terbiasa. Jelas gue yang pendiem tak berdaya dibanding doi yang terdengar begitu meyakinkan, dengan kepribadiannya yang 'seru' dan 'friendly' pula.
Sifat aslimu yang hancurkanku
Mereka tak tahu
Karena mereka langsung percaya dia, dan segala cerita-ceritanya yang dilebih-lebihkan tentang gue, mereka gak peduli untuk mendengar sisi gue. Dia sendiri pun memasang wajah senyum dan ramah ke gue, padahal isi hatinya berkata lain. Melihatnya begitu gampang berteman dengan yang lain, seketika gue kesepian karena dia. Komedi, kan?
Dan mungkin saja bisa jadi
Bila kamu datang lagi
Ku 'kan terimamu kembali
Meski gue tau segala yang dia buat, dan usaha gue menjauhinya, masih ada rasa sayang terhadap dia. Ya, gimana nggak sama sahabat bertahun-tahun? Sesusahnya gue mencoba untuk membencinya, gak akan benar-benar bisa dan bawaannya pengen nangis. Terkadang gue nyerah dan berteman lagi dengan senyum bohongnya itu. Because I miss my best friend, who I really loved. Tapi sekarang semuanya berbeda, and I should know better than to be fooled again. Karena kasih sayang yang dia punya terhadap gue hilang semenjak gue dikata-katain, sampai sekarang. Gue yakin bakal terimanya kembali dengan tangan terbuka lebar, seandainya dia ingin berubah. Tapi apa yang bisa lo harapkan dari seseorang dengan hati yang terlanjur busuk, dan tak pernah jujur? Mending jajan seblak.
7 notes · View notes
academicus · 2 years ago
Photo
Tumblr media
Setiap libur, otak gue nganggur Dan setiap nganggur, gue jadi punya banyak waktu ngelamun, merenung Dan satu kalimat yang ga pernah absen di setiap lamunan dan renungan: Gue beruntung Gue beruntung punya skill dan talenta Gue beruntung tahu ini itu Gue beruntung bisa kenal orang-orang di hidup gue sekarang Gue beruntung, karena tanpa itu semua, ya siapa sih gue. Semua titik yang gue pernah lewati di hidup, ya semua karena gue beruntung punya itu semua Hal-hal yang ga ujug-ujug juga semuanya muncul di tangan. Gue dapetin juga dengan kerja dan usaha. Tapi kerja dan usahanya juga bisa gue lakukan, ya karena gue beruntung Gue beruntung bisa punya kesempatan dan keleluasaan mengasah talenta gue Gue beruntung bisa punya kesempatan belajar dari banyak orang dan banyak tempat Gue beruntung bisa dipertemukan dengan orang-orang yang kasih pengalaman Gue beruntung bisa sadar bahwa gue beruntung Karena sungguh cilaka dan layak diazab kalo gue angkat kepala, tepok-tepok dada, dan mikir ya ini semua karena gue jago aja. Meminjam istilah Al-Quran: Kalla. Tidak, sekali-kali tidak It's all privilege. It's all gift Makanya, satu-satunya cara waras untuk mensyukurinya adalah dengan meneruskannya Pay it forward Teruskan talenta lo ke orang lain. Sebarkan ilmu lo ke orang lain. Kenalkan jejaring lo ke jejaring orang lain Kalo kata status mbak mbak facebook: terusin, jangan sampai berhenti di kamu Be the best version of you, so others can have the same feeling of privilege, because you pass it on Be the gift to others❤ — view on Instagram https://ift.tt/028VOT7
58 notes · View notes
faizaalbi · 2 years ago
Text
Aku ingin dirimu bahagia #2
Perkenalan yang singkat. Fatih bercerita tentang rencananya untuk menetap di sini, setelah 4 tahun menyelesaikan sekolah doktoralnya di UK. Ia mengajak Nami bertemu untuk menanyakan kehidupan di kota ini.
"Kenapa lo milih tinggal disini?" tanya Nami padanya. Mungkin Nami bingung apa bagusnya kota ini.
"Dulu gue maunya kuliah disini. Ngerantau. Suka aja karena orang-orang disini lembut, ramah, dan sopan-sopan. Yang lebih suka lagi makanannya si enak dan murah, Hehe. Memperjuangkan mimpi yang tertunda lah ya istilahnya."
"Rencana lo disini ngapain?"
"Kerja mungkin. Sambil istirahat bentar abis kejar-kejaran di sekolah 4 tahun.." Fatih terdiam sejenak, "Kok jadi cerita tentang gue terus. Lu juga cerita dong. Hana juga."
"Aku janda. Single mom. Tinggal disini udah sekitar 4 tahun lah ya." aku menjawabnya.
Ini menjadi salah satu prinsipku setelah bercerai. Terbuka dengan kondisiku saat ini, 'janda dan single mom', sebelum membangun relasi baru. Dengan siapa pun, entah itu laki-laki atau perempuan. Kupikir itu akan lebih baik daripada menyembunyikan semua itu, kemudian setelah suatu hari orang itu tau, mereka akan menjauh atau men-judge kehidupanku dulu.
Di usia segini, aku tidak lagi memerlukan teman yang melihat 'cangkang'ku saja. Aku hanya butuh teman yang bisa melihatku seutuhnya. Kami. Aku dan Airi adalah satu set. Teman-teman itu akan terseleksi dengan sendirinya.
Satu bulan setelah aku bercerai memang sangat menyakitkan. Beban yang kutanggung sangat berat. Mungkin setiap malam aku menangis dalam tidur. Meratapi kenapa kehidupanku menjadi seperti ini? Bagaimana aku hidup setelah ini? Apakah aku bisa membesarkan Airi sendirian? Meskipun demikian, hatiku lebih tenang karena tidak perlu khawatir lagi akan ada kekerasan terhadap tubuhku.
Salah satu tantangan yang kuhadapi saat itu adalah berusaha untuk tidak tersakiti oleh tatapan dan perlakuan orang lain terhadapku. Aku mencoba mengebalkan telinga dan mataku seperti kulit badak. Berusaha menghibur diri dengan mengucapkan berulang kali seperti mantra, 'Gapapa. Sabar aja. Itu karena mereka ga pernah ngerasain di posisi ini, gimana sulitnya membesarkan anak sendirian.' Itu sebabnya juga aku pindah ke kota ini. Untuk memulai lagi dari nol. Dari awal. Aku khawatir lingkungan itu menyebabkan Airi terluka selama ia bertumbuh.
"Aku selalu kagum sama ibu yang kuat." Fatih tersenyum. Tatapan matanya tidak menghakimi atau kecewa. Malah terlihat tulus, serasi dengan kalimatnya. Mungkin karena dia seorang dokter anak. Sudah terbiasa menunjukkan rasa empati kepada pasiennya. Atau mungkin dia sudah terbiasa juga bertemu dengan single mom lainnya.
Aku tersenyum lega dengan sikapnya. "Terima kasih."
"Permisi Pak, Bu." seorang pelayan membawakan makanan yang sudah kami pesan. Ia meletakkan 3 lemon tea, nasi liwet siliwangi untukku, nasi ayam bakar sereh melayu untuk Fatih, dan nasi ayam betutu untuk Nami.
"Emang ga berubah ya Mi, dari dulu sukanya yang pedes." canda Fatih kepada Nami. Nami hanya membalas dengan tertawa.
Kami memulai makan. Selama lima menit aku dan Nami sibuk dengan makanan kami masing-masing. Tanpa memulai obrolan seperti tadi. Sepertinya Fatih menatap kami bingung dengan tatapan 'Ini dua orang emang lagi kelaperan atau doyan?' atau 'Ini berdua emang kompak banget si'. Kemudian ia tertawa dengan kelakuan kami.
Lima menit kemudian piringku dan Nami sudah bersih, tidak ada yang tersisa. Berbeda dengan piring Fatih yang masih tersisa seperempat porsinya.
"Han, katanya tadi mau konsul gratis?"
"Ga perlu diperjelas juga kali 'gratis'nya." balasku kesal.
Fatih tertawa lagi. Sepertinya dia sangat mudah tertawa ya. Mungkin karena itu juga dia cocok menjadi dokter anak.
"Ini bukannya gimana-gimana si. Aku mau nanya sesuatu aja. Gausah dibawa terlalu serius ya. Sambil makan aja."
"Iya, gapapa Han. Tanya aja. Semoga aku bisa jawab pertanyaanmu itu tapi ya." ujarnya sambil bercanda.
Aku mengangguk.
"Jadi gini. Menurutmu sosok ayah bagi anak seperti apa?"
".....Belum apa-apa udah pertanyaan yang berat ya.", katanya sambil tertawa. "Sebelum itu, aku mau pastiin dulu. Anaknya laki-laki atau perempuan dan sekarang usianya berapa?"
"Anaknya perempuan. Enam tahun."
"Untuk anak perempuan yang usianya masih anak-anak, biasanya masih mempertanyakan dimana ayahnya ada. Teman-temannya ada ayah, tapi kenapa dia gaada, misalnya. Disini kita bisa beri dia pengertian pelan-pelan. Ayahnya kemana. Kenapa ibu dan ayah berpisah."
"Kalau udah mulai besar, gimana Tih?"
"Terus kalau udah mulai remaja, ayah itu bisa jadi role model untuk anaknya. Misalnya untuk membangun hubungan sama orang, bagaimana dia tau hubungan yang baik dan buruk seperti apa, dia melihat hubungan orang tuanya.
"Saat anak udah mulai suka sama lawan jenis, kecenderungan perempuan itu akan suka dengan laki-laki yang mirip dengan sosok ayahnya.
"Tapi sosok ayah itu bisa digantiin kok. Misalnya diganti dengan paman atau kakeknya, diganti ibu juga bisa, Han.", fatih menjelaskannya panjang lebar.
"Gimana cara memerankannya, tih?" Airi gapunya paman maupun kakek lagi. Cuma aku yang bisa gantiin peran itu.
"Biasanya, ayah berinteraksi sama anaknya dengan lebih challenging. Kalau ibu kan lembut, maunya yang aman-aman aja. Ayah yang mendorong anaknya biar jadi lebih berani mencoba hal-hal baru. Ini nantinya akan berpengaruh ke self-esteem anak."
Aku menganggukkan kepala berulang-ulang, menunjukkan kepahamanku. Ini hal baru bagiku.
"Tadi katanya jangan dibawa serius. Tapi kayaknya kamu yang jadi lebih serius, Han."
"Maklumin lah, Tih. Begini dia kalo lagi mode belajar."
Keduanya menjailiku.
"Nam, udah jam 2. Aku mau ngajar lagi jam setengah 3.", ucapku tanpa menghiraukan kejailian mereka.
"Oke deh. Kalo gitu, kami duluan pergi ya, Tih."
"Makasih banyak ya, Tih." ujarku sambil tersenyum dan menundukkan kepalaku.
"Sama-sama, Han. Kalo mau konsul lagi, telpon aja." balasnya tersenyum.
*****
Sepanjang perjalanan menuju kampus, aku memikirkan Airi. Bertanya-tanya kapan terakhir kali Airi menanyakan tentang ayahnya.
Bersambung.
12 notes · View notes
Text
Di 10 hari awal Ramadhan kemarin, ummi dan abi gue ga ada di rumah. Mereka ke Jepang buat menghadiri wisuda S3 kakak gue, tentunya sekalian jalan-jalan dong, makanya sampek 10 hari gitu 😂. Gue, adik gue yang pertama, sama adik gue yang paling kecil ditinggal di rumah. Otomatis tahta perumahtanggaan turun ke gue.
Sejujurnya gue seumur hidup belum pernah nyiapin sahur dan masakin bukaan buat orang lain. Paling mentok ya ngurusin sahur dan buka sendiri pas ngekos dulu, itu juga beli. Dan FYI aja, mood gue waktu bangun tidur itu selalu jelek. Tapi karena terpaksa, siapa lagi yang mau diandalkan buat urusan begini selain gue, ya mau begimana lagi?? Makanya gue harap-harap cemas sama jadwal haid gue yang emang diperkirakan ada di tanggal-tanggal ummi abi gue pergi.
Jujur, waktu ternyata gue beneran haid pas banget selama ortu gue gaada, gue lega bangeeettt. Soalnya ga kebayang cuy gimana lemesnya gue kalo gue ngurus rumah tangga pas lagi puasa. Karena gue udah tau, tiap gue gantiin peran ummi gue kalo ummi lagi pergi atau sakit, itu gue pasti capek luar biasa. Lelah lahir batin, jiwa raga, separuh nyawa rontok!! Asli, tiap gue ngerasain jadi ibu rumah tangga, bertambah-tambah respect gue terhadap profesi satu ini.
Jadi ibu rumah tangga tuh the most thankless job ever. Kayak, udah mah lo capek-capek ngurusin semuanya di rumah, tapi jarang banget orang terima kasih ke lo, soalnya ya itu emang udah kerjaan lo gitu. Mau minta diterimakasihin kok berasa kayak gak ikhlas gitu. Belom lagi kalo ternyata yang dimasakin ga suka sama masakan lo, rasanya tuh makan hatiiii. Ya tapi mau gimana lagi, yakan?? Ngerti banget gue rasanya jadi ibu rumah tangga, udah sering ngerasain, padahal belom jadi ibu 🤣🤣🤣. Makanya gue suka sewot kalo ada orang yang ngeremehin pekerjaan ini.
Udah mana kerjaan tuh rasanya gak abis-abis. Padahal mah di rumah gue udah ada mba yang bantuin beberes rumah sama nyetrika, tapi ternyata kerjaan rumah ga cuman itu cuuuyyy. Banyak banget ternyata yang terjadi di balik layar untuk memastikan semuanya berjalan lancar di rumah.
Contoh nih ya, gue kira urusan gue 10 hari itu cuman masak doang kan. Ternyata eh ternyata, tydac semudah itu, Ferguso. Gue harus ngerencanain mau masak apa, terus gue harus ngatur list belanjaan karena ga semua bisa didapetin di tukang sayur langganan gue, gue harus mesen kesana kemari, terus belanja juga tiap hari, terus kelar belanja tuh belanjaan kudu diberesin biar ga berantakan, terus kelar beresin belanja sampah-sampah belanjaan harus disortir, eh liat tempat sampah ternyata belum dikasih plastik, sekalian kasih plastik ke semua tempat sampah di rumah, mati-matiin lampu luar karena udah pagi, terus mandi, kelar mandi nyuci baju, terus kalo lagi gaada mba jemurin baju, terus mulai masak, kelar masak nyiapin bekel adik gue buat dibawa kerja, udah gitu nyuci bekas masak, eh pas mau nyuci ternyata sabunnya abis jadi isi-isiin sabun dulu, udah gitu rak piring penuh jadi beresin barang-barang yang udah kering dulu, abis nyuci piring beresin sampah-sampah sayur, rebahan dikit, bangunin adik gue yang kecil dari tidur siang, terus nyuruh dia mandi, belom daritadi bolak-balik ngurusin makan kucing gue juga, terus ngambilin jemuran, eh liat di meja setrikaan baju yg udah disetrika mba belom dimasukin lemari, terus nutup-nutupin gorden, nyala-nyalain lampu luar, terus nyiapin takjil, terus makan, kelar makan harus nungguin adik gue makan, terus mastiin adik gue sholat dan lain-lainnya sampe dia tidur, terus gue mesen belanjaan buat besok, terus gue baru bisa istirahat, tapi besoknya harus bangun lagi jam 3 buat masak sahur, aaaannd… repeat.
Panjang bener gak tuh?? Kayak, beneran gak abis-abis cuy. Itu juga banyak kayaknya yang kelewat gak gue sebut. Itu juga gak semua yang di rumah gue kerjain ternyata. Misalnya, selama 10 hari itu gue lupa ngelapin meja!!! Bye. Padahal dari bangun sampe tidur lagi kerjaan udah penuh banget, tapi tetep aja ada yang kelewat 😂. Gimana gue ga capek lahir batin. Gue bilang mental juga kena karena seharian itu lo harus terus mikirin abis ini lo harus ngapain, abis itu lo harus ngapain, dan mikirin mau masak apa, pokoknya organizing macem-macem di otak lo sambil fisik lo kerja.
Alhasil, it sent my anxiety through the roof, sampe-sampe di hari keberapa gue gak bisa tidur karena gue mikirin masak apa besoknya gara-gara tiba-tiba tukang sayur langganan gue gak jualan, dan gue gak sempet pesen Sayurbox atau apa gt. Padahal gue akhirnya udah tau mau masak apa, tapi gatau kenapa gue tetep anxious sampe akhirnya tengah malem gue malah ngecek resepnya, ngecek bahan-bahan, dan nyiapin draft WA buat mesen bahan di tukang ikan langganan, hadeuuuhhh… ribet!!
Rasanya tuh mau sujud-sujud terima kasih ke ummi gue karena selama ini udah ngurusin rumah sendirian, tapi gengsi, huehehehehe. Begitu ummi gue balik dari Jepang, apa yang gue lakukan? Tentu saja kembali menjadi anak yang tidak berguna 😅😅😅. Abis udah capek banget cuy abis-abisan di 10 hari itu. Rasanya gue mau istirahat panjang 😂😂😂. Apalagi abis itu haid gue kelar, dan gue harus puasa juga. Jadi gue sekarang udah lemah bangetlah, gak kuat ngapa-ngapain.
Udah sih, gue cuman mau cerita itu aja. Gue juga mau berterima kasih ke semua ibu rumah tangga udah berlelah-lelah sendirian tanpa mengharapkan imbalan. You guys are the best, and no amount of money or possession can repay your hard work.
4 notes · View notes
truegreys · 2 years ago
Text
Kabar dari Kamar Kecil
Bagian 6 -  Ingatan Kecil Paling Unggul
“Kerja lo, kok, jadi jelek, sih?” Tanya Ara, rekan kerja Moy, beberapa hari setelah pertengkaran akbar itu. Di rooftop kantor, mereka berbagi api. Moy mulai merokok semenjak Tara keguguran. Dari sebatang sehari, jadi sebungkus sehari, bahkan bisa jadi 2 bungkus seandainya saja sebungkus rokok tak begitu mahal. Moy menghisap rokoknya amat dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Moy harap semua beban di pundaknya ikut hilang dengan embusan rokok dari paru-parunya. 
“Berantem, ya, lo, sama istri?” Tebak Ara. Ia bertanya sambil membawa misi dari atasannya karena kinerja Kismoyo begitu buruk. Moy melakukan kesalahan-kesalahan yang biasanya dilakukan oleh anak magang, padahal sudah bertahun-tahun Moy bekerja dan bahkan sampai pernah mendapatkan gelar karyawan teladan. 
Moy tersenyum getir saat mendengar pertanyaan Ara. Ia lalu menceritakan apa yang terjadi padanya, Tara, dan apa yang Bunda bilang. Ara mendengarkan dengan seksama sambil sesekali memantik api dan memulai batang rokok baru. Ara adalah gadis yang tak pernah mau menikah. Baginya, pernikahan adalah hal yang tidak mudah. Hidup sudah susah, dan ia tak perlu menambah masalah dengan yang namanya pernikahan.
“Lo nikah selama ini cuma buat bikin cucu yang dipengenin nyokap lo?” Ara bertanya dengan nada heran. Pertanyaan itu seperti menyimpulkan kehidupan yang Moy jalani dengan Tara selama ini. Moy tak serta merta langsung menjawab. 
“Udah, gak usah dijawab. Gue gak bisa kasih saran karena gue gak mau nikah. Gue cuman mau ngingetin tujuan lo nikah selama ini apaan. Karena dari cerita lo, kok, kayaknya keputusan nikah aja karena nyokap, sih? Nih, sekarang, lo pikir lagi. Abis lo pikir, lo kelarin masalahnya, dan fokus lagi sama kerjaan.” Ara lalu menepuk pundak Moy. 
“Gue akui, soal keluarga itu emang rumit, Moy. Tapi semua bisa ketemu jalannya kalau akar masalahnya udah ketemu. Dan, gue rasa, lo bisa menemukannya dari diri lo sendiri dulu.” Ara membuang puntung rokoknya dan langsung pamit karena ada meeting yang harus dipersiapkan. Ara berlalu meninggalkan Moy dengan sebuah fakta yang menohok.
Moy mulai sadar jika selama ini dia tidak memaknai pernikahan sebagaimana mestinya dan malah  ngikut tujuan Bunda yang ingin punya banyak cucu. Moy sadar pula bahwa keputusannya dari dahulu selalu ditentukan oleh Bunda. Ia tak pernah punya pilihan. Lambat laun, seluruh ingatan di masa kecilnya menjadi yang paling unggul dari ingatan-ingatan masa kininya. Ia tak pernah bisa memilih. Ataukah sebenarnya…..ia bisa memilih? Ya. Seharusnya, selama ini ia bisa memilih sendiri apa yang ia inginkan. 
Bersambung...
Silakan klik ini untuk membaca Bagian 7!
Bagian 5 dapat dibaca di sini!
3 notes · View notes
ubiwrites · 2 years ago
Text
The Vow
Tumblr media
“Muara, cinta pertama dan abadi-ku, aku ngga mau bilang cinta terakhir, karena aku akan melanjutkan cintaku untuk anak-anak kita kelak. Ra, kalau dulu ada orang yang bilang sepuluh tahun lagi kamu bakal jadi istri aku, kayaknya aku ngga akan buang-buang waktu sampai selama ini buat nikahin kamu. I would marry you first thing in the morning”
Aku menatap haru pria tampan di hadapanku yang kini sedang berdiri sambil memegang secarik kertas bertuliskan janji pernikahan kami yang ia ucapkan dengan tenang namun penuh kesungguhan.
“Ra, janji pernikahan kita terlalu singkat kalau cuma sebatas satu tarikan nafas, jika Tuhan menghendaki, aku akan habiskan sisa hidup aku buat buktiin kalau kesetiaanku bukan cuma janji semata, semua pengorbanan kita untuk sampai di titik ini dan seterusnya ngga akan jadi percuma, karena kamu dan aku punya selamanya untuk dihabiskan bersama”
Sabda Agung Tjokroadinata, bahkan setelah sepuluh tahun lelaki ini masih membuatku merasa jadi perempuan paling beruntung di dunia. Siapa sangka, manusia paling digemari satu sekolah —yang kebetulan tetanggaku— kini secara sadar dan suka rela melepas julukan Most Eligible Bachelor dan menggantinya menjadi Suaminya Muara.
Aku masih ingat hari di mana Sabda muncul di hadapanku dengan seragam SMA-nya yang tidak begitu rapi duduk di atas sepeda motor klasik milik ayahnya sambil menatapku dalam.
“Muara, gue disuruh Bunda berangkat bareng lo ke sekolah, lo baru pindahan kan?”
Belum sempat aku menjawab, ia sudah menyerahkan helm berwarna cokelat muda ke arahku.
“Buruan naik, nanti keburu telat”
Entah apa yang terjadi padaku hari itu, tapi aku seperti dibuat bisu dengan kehadiran laki-laki itu —yang baru aku tau namanya Sabda dari badge di dada kirinya. Tepat ketika aku mendudukkan badanku di atas motor Sabda, aroma tubuhnya tercium sangat jelas, campuran musk dan citrus. Saat itu, tidak pernah terpikir olehku bahwa bertahun-tahun kemudian aroma itu menjadi candu yang jika sehari tidak bersapa dengan indra penciumanku dunia rasanya mau runtuh.
“Muara, terima kasih udah mau kompromi dengan keras kepalaku, ngga ada hal di dunia ini yang bisa bayar kelembutan hati kamu kecuali Mcflurry dan sushi”
Tawa para tamu yang didominasi oleh keluarga dan kerabat dekat memenuhi ruangan yang disulap sangat cantik dengan dekor penuh bunga. Aku pun tak kuasa menahan senyumku, memang benar Sabda menghabiskan sepuluh tahun dari hidupnya untuk mempelajari apa yang aku suka dan aku benci.
“Muara, from now on, i will let you to decide which movie we’re going to watch every weekend and which song we’re going to listen every time we get stuck in traffic. Aku udah siap nonton Harry Potter setiap minggu dan dengerin Taylor Swift nyanyi setiap hari, tapi kamu juga harus mau ya ikut nobar MU sama aku”
Sabda, nonton orang lewat sambil denger suara jangkrik juga aku mau, asal sama kamu.
“Muara Djiwa Ayu, aku ngga bisa pastiin kalau hidup sama aku akan selalu berjalan mulus, tapi selama ada tangan kamu untuk aku genggam, bahu kamu untuk aku bersandar dan tubuh kamu untuk aku peluk, aku usahain semua akan baik-baik aja, aku akan selalu berdoa biar dikasih sehat, tapi kalau pun sakit, aku harap bukan aku penyebabnya. Muara untuk Sabda selamanya”
Sabda menyelesaikan janji sucinya tepat ketika satu tetes air mata turun membasahi pipiku. Waktu berjam-jam yang kuhabiskan untuk merias wajahku tadi subuh tidak ada artinya dibanding apa yang baru saja Sabda ucapkan padaku ditonton puluhan pasang mata yang aku harap ikut mengamini harapan yang Sabda curahkan dalam ucapannya tadi.
Sabda memajukan tubuhnya ke arah tubuhku, ia meletakkan satu tangan hangatnya di atas pipiku dan tangan yang lainnya di pinggangku. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajahkaku, sebelum jarak benar-benar terkikis, ia berbisik tepat di depan bibirku
“Istriku”
———
“Kamu mandi duluan deh, aku masih lama, mau bersihin make up dulu”
Pesta perayaan pernikahan kami akhirnya selesai juga. Aku dan Sabda kini berada di kamar utama sebuah rumah yang Sabda bangun dua tahun lalu untuk kami tinggali sesudah menikah.
“Emang aku mau mandi duluan! Heran deh aku, kamu kalo mandi lama banget ngapain sih? masang ubin?”
Aku memutar bola mataku lalu melempar handuk yang akan Sabda gunakan sambil menjawab “apasih bercandaan kamu masih aja remed” Sabda menangkap handuk tersebut lalu terkekeh pelan sambil membalikkan badannya menuju kamar mandi.
Kegiatanku membersihkan riasan wajah terpaksa kuhentikan kala pandanganku mengarah ke satu objek yang membuatku secara otomatis mengeluarkan decakan sebal, jas yang Sabda pakai tadi tergeletak begitu saja di lantai depan kamar mandi, Sabda dan kebiasaannya, here’s to forever picking up his clothes. Aku memungut jas tersebut dan hendak meletakkannya ke dalam keranjang baju kotor sampai perhatianku mengarah pada sesuatu yang menyembul keluar dari saku jas, kertas berisi janji pernikahan milik Sabda. Aku mengeluarkan kertas tersebut dan dengan perlahan membukanya. Padahal tadi siang aku sudah mendengar langsung isi kertas itu dari mulut Sabda, namun bersamaan dengan aku membuka lebar kertas tersebut, hatiku pun ikut berdebar kencang, entah kenapa seperti berharap ada tulisan lain di kertas itu.
Tetes demi tetes air mata turun dari wajahku membasahi selembar kertas dalam genggamanku yang kini telah sempurna terbuka. Semua di luar dugaanku. Untaian kalimat yang sepersekian detik lalu kuharapkan akan muncul nyatanya tergantikan dengan sebaris kalimat sederhana yang memberiku dampak luar biasa.
“Muara, aku cinta kamu”
5 notes · View notes
diarysarahvitradini · 21 hours ago
Text
Assalamualaikum warohmatullohi wabarakatuh selamat malam semua alhamdulilah gue bisa aktif menulis lagi.
HEH??? Sukses ya lo katain gue idiot, sukses ya lo katain gue cah tolol, sukses ya lo katain gue cah gebleug sukses ya gosip soal gue disebar luas, sukses ya lo katain gue sampah,sukses ya lo sebut nama gue sari pitradono gue gak akan pernah lupa sama tuh kejadian, sukses lo ngatain gue ngentod.
Sukses lo katain gue anak kampung, lo gatau aja betapa susahnya gue pengen dapetin sesuatu terkait apa yang gue mau,sukses besar lo ngomong kayak gitu, udah kerekam di otak gue semua.tapi gue gak akan pernah lupa sama kejadian itu sekalinya gue lupain tapi sorry gak bakal pernah bisa dan hebat juga lo katain gue anak labil.
Seketika lo ngomong:”gue pengen deh bikin sarah menderita” jahat lo kalo kayak gitu sama gue jahat-jahat udah ya, gatau malu, gapunya otak, jahat banget lo sumpah.
Lo gatau aja sih betapa susahnya gue, betapa pengennya gue dapetin sesuatu terkait apa yang gue mau, lo gak ngerasain sih susahnya jadi gue satu hari, lo pikir hidup gue enak eh lo gatau aja sih susahnya jadi gue udah ya.
Ini udah selesai ya ngomongin soal kejahatan mereka selama mereka ada disini, sekarang ngomongin tentang senja di jakarta, gue melihat suasana senja di jakarta itu bagaikan gue berjalan kaki diatas langit-langit kaca yang dimana matahari mulai terbenam saat itu.
Dan gue merasakan ada beberapa aura positif dateng ke gue, dan gue merasakan suasana jakarta saat itu yang dimana tidak ramai seperti biasanya malah kosong jalanan padahal ini hari biasa.
Tapi yaudahlah emang udah rejeki gue jalan ke daerah sini, ke daerah tebet, jakarta selatan dan gue ngerasa seneng aja bisa jalan ke daerah sini sekalian nemenin bokap gue.
Banyak yang bilang bahwa status jomblo gue awet eh tapi nanti pas gue pake baju cewek nanti gak salah kalo ada cowok yang mau sama gue kalo misalkan kulit gue putih bening gitu ya misalkan kira-kira seperti itu.
Jangan salahin gue kalo misalkan gue lebih fokus ke dunia karier kepenulisan gue, udah gak mikir lagi tuh gue percintaan ngapain sih kayak gitu-gituan dipikirin.
Semua yang disampein sama terong-terongan dan cabe-cabean jelas udah ya bahwa lo-lo semua itu jahat udah ya.
Terima kasih lo semua sudah menyempatkan waktu untuk baca tulisan gue disini assalamualaikum warohmatullohi wabarakatuh dan selamat malam.
1 note · View note
baesuzy10 · 9 days ago
Text
— 🌻 P R O L O G U E —
I think you'd like this story: " Story Airene " by useronlyjhope12 on Wattpad https://www.wattpad.com/story/328122872?utm_source=android&utm_medium=com.tumblr&utm_content=share_reading&wp_page=reading&wp_uname=useronlyjhope12
🌻 Tahun 2022 🌻
Tumblr media
"Wah akhirnya buku yang ditunggu-tunggu terbit disini juga"
"Serius? Yaampun! Pasti best seller banget, sisanya aja tinggal 10 buku"
Suara desas-desus manusia  mengelilingi Rak buku. Dimana rak buku itu bersisi buku-buku keluaran terbaru, mereka menatap dengan binar seolah begitu menginginkannya.
Itu hanya sebuah buku
Pikir perempuan yang hanya bisa menatap dari kejauhan. Dia tidak minat mengantri hanya untuk membeli buku yang bahkan dia sendiri belum bisa dapatkan.
Dreaming with DESTINY
Nama buku yang akhir-akhir ini mencuri perhatian para reader's sejati. Mengisahkan duo sejoli yang sama-sama putus cinta, keduanya di takdirkan dalam sebuah mimpi dimana mimpi tersebut menjadi alur kebahagiaan duo sejoli itu.
Disaat manusia yang sibuk menggerumini Rak mulai menghilang, disitulah Perempuan itu mengambil langkah. Beruntungnya dia karena buku itu masih tersisa satu...
"Oh maaf"
Kedua punggung tangan saling bertabrakan, terkejut dengan kejadian 2 detik tersebut.
Hingga netra cokelat milik si perempuan menatap kedalam netra laki-laki yang menjulang tinggi di hadapannya.
1
2
3
4
5
"Ambil aja..." Ucap si perempuan itu dengan nada — keberatan?
Si pria kemudian mengambil buku itu dan membawanya pergi. Perempuan itu hanya menghela nafas pelan, ada perasaan sedih yang hinggap di hatinya.
Tadi kenapa engga gue ambil----
"Nih"
Sontak kedua mata perempuan itu membuka dengan lebar, pria yang telah mengambil buku tersebut kini memberikan buku itu kepadanya.
"Eh?"
"Gue tau lo dari tadi mau buku ini kan?" Tanyanya lagi sambil terus menyodorkan buku tersebut
"Ambil"
Terpaksa.
Ingat! Ter-pak-sa.
Ia bukan perempuan yang suka meminta ataupun memohon.
"Gak papa gue ambil?" Ragu dengan buku yang dia ambil, perempuan itu kembali menanyakan ini pada laki-laki tersebut.
"Iya.. semoga lo suka ya" ucap laki-laki itu dengan senyum misterius. Tatapan mata itu sepenuhnya menatap perempuan yang dilanda kebingungan.
Rain illusion — penulis buku tersebut
"Eh iy--- kemana dia?"
Dalam sekejap, laki-laki yang ada dihadapannya kini hilang dengan cepat. Ia menghela nafas pelan, merasa tidak enak karena tidak mengucapkan terima kasih kepada laki-laki itu. Mungkinkah dia akan bertemu dengannya lagi?
Drttt drttt drttt
Ponsel yang berada di saku celana jeans itu bergetar.
Ada panggilan masuk dari Herra — orang tua Nando yang notabenenya adalah kekasihnya.
"Airene... Nando kecelakaan"
Pyarrr
Reflek gelas cup berisi kopi itu dia lepas hingga cup tersebut pecah dengan isian tumpah kemana-mana.
Debaran jantung yang begitu gila seolah ingin keluar dari tubuh pemilik nama — Airene Azkayla.
"Nak kamu cepat kesini ya, Mama tunggu di Rumah Sakit Kasih Bunda"
Lidahnya begitu leku, dia tidak bisa menjawab apapun saat ini. Yang dia pikirkan saat ini adalah Rumah Sakit.
"Nando..."
«»
1 tahun kemudian
"Buku ini?"
Airene menatap benda berbentuk persegi yang masih terbungkus oleh segel plastik. Dia temukan buku tersegel ini di dalam isi sebuah kardus yang ada di gudang, saat dia membereskan benda-benda yang akan dia sumbangkan pada event yang ada dikampus adiknya, dia ingin ikut menyumbang semua barang yang tidak terpakai, karena sayang jika hanya diam di gudang.
"Dreaming With Destiny?"
Lagi-lagi Airene merasa ada yang janggal dengan buku ini.
Dia tidak pernah membeli buku ini-----
Tunggu
"Dulu ada yang kasih buku ini.. tapi siapa? Gue lupa"
Itulah kelemahan Airene, dia tidak pernah mengingat sesuatu yang tidak penting. Tapi justru sekarang membuatnya semakin penasaran. Orang baik mana yang telah memberikannya buku ini.
"Kak, Rei dateng nih..." Panggil bunda dari balik pintu gudang
Airene segera mengambil beberapa barang yang telah dipisahkan olehnya, barang ini yang akan dibawa oleh Arel ke kampus.
Sekilas dia melihat buku yang tergeletak itu
Setelah bergulat dengan pikirannya, Airene memutuskan membawa buku itu keluar bersama dengan barang-barang yang akan dia berikan kepada Irel.
Dari ujung ruangan disana, terdapat laki-laki yang selalu menatap Airene dengan tatapan penuh ketulusan dan cinta.
Dia adalah Reinaldi Wijaya, Dia yang selalu meyakinkan diri Airene tentang kepergian Nando — mantan kekasih Airene yang sudah meninggal 1 tahun yang lalu.
"Jadilah seperti kopi. Walaupun pahit, tapi pecinta kopi sejati akan mengerti dengan rasa kopi yang sesungguhnya"
«🖤»
0 notes
heisrivalofmars · 18 days ago
Text
Nggak Repot, Kok!
Ini bukan tentang melakukan kebaikan tanpa ekspektasi sama sekali, tapi lebih ke menghadapi ekspektasi saat lo melakukan kebaikan.
Susah.
Ngelakuin kebaikan tanpa ekspektasi itu emang susah banget. Kita sering banget butuh dihargai, butuh diapresiasi atas apa yang kita lakuin. Kita pengen dapat pengakuan, entah itu dari orang lain atau sekedar rasa puas diri.
Di dunia yang penuh dengan standar sosial dan ekspektasi, kita jadi mikir kalau kebaikan kita harus "dibayar" dalam bentuk sesuatu. Ditambah lagi, pengalaman sebelumnya yang nggak selalu dihargai bisa bikin kita makin susah buat ngelakuin kebaikan tanpa harapan. Jadi secara nggak sadar, kita berharap ada timbal balik, entah itu pujian, perhatian, atau rasa terima kasih.
Gue pernah berpikir. Emangnya ada orang yang melakukan kebaikan tanpa ekspektasi?
Ya mungkin aja. Ada.
Yang terlintas di kepala gue adalah kebaikan orangtua yang selalu ngasih yang terbaik buat anak-anaknya tanpa berharap imbalan, juga kebaikan yang dilakukan pemilik kepada hewan peliharaannya. Selain itu, gue nggak kepikiran.
Gue nggak minta lo semua untuk mulai melakukan kebaikan tanpa ekspektasi eksternal. Gue paham banget, kadang ngomongin hal kayak gitu emang nggak gampang, apalagi di dunia yang penuh ekspektasi kayak sekarang. Tapi kalau lo punya keinginan untuk lebih fokus melakukan kebaikan untuk memenuhi rasa puas diri lo berdasarkan ekspektasi internal lo, kayak perasaan bangga terhadap nilai-nilai pribadi kita, atau sekadar kepuasan karena merasa telah melakukan hal yang benar. Mungkin kita bisa mulai dari diri kita sendiri dulu. Kenapa gue ganti kata "lo" menjadi "kita", karena gue baru aja menyadari dan ingin memulai ini. Kita bisa mulai dengan melakukan kebaikan yang tulus, bahkan meskipun itu cuma hal kecil yang nggak bakal langsung dapet perhatian. Contohnya kaya gimana tuh? Tanya kabar orang yang jarang lo kontak. Kadang orang nggak expect akan ada yang nanyain kabar mereka, apalagi kalau mereka lagi merasa down atau kesepian. Cuma nanya "Gimana, lo sehat?" bisa ngebuat hari mereka lebih baik. Contoh lain, pertahanin senyum lo selama di jalan. Mungkin lo nggak tahu seberapa besar dampaknya, tapi kadang senyum kita yang ditangkap orang asing di jalan bisa mencerahkan harinya, apalagi kalau mereka lagi merasa terasing atau lelah saat itu. Kadang, itu bisa jadi contoh yang ngefek ke orang itu, meskipun nggak langsung.
Hal pertama yang perlu lo ingat, kalau kebaikan bukan soal ngubah orang lain, tapi soal lo merasa lebih damai dengan diri sendiri karena lo tahu lo melakukannya dengan hati yang tulus. Lo nggak perlu maksa orang lain buat ngikutin, tapi perlahan lo bisa tunjukin lewat tindakan.
Diabaikan? biarin.
Ketika kebaikan lo diabaikan, itu bukan soal lo atau nilai perbuatan lo. Hal kedua yang perlu lo ingat, kalau respon orang yang menerima kebaikan itu tergantung gimana mereka ngeliat diri mereka sendiri atau dunia di sekitar mereka. Ada yang, karena luka lama atau masalah percaya diri, malah curiga sama kebaikan yang orang lain kasi. Mereka pikir itu cuma basa-basi atau bahkan ada maksud tersembunyi, bukan ketulusan. Padahal, itu semua cuma cerminan dari keraguan atau pengalaman buruk mereka yang dulu.
Emang nggak gampang sih pas kebaikan yang kita kasih malah nggak dihargain atau malah dicurigain, rasanya kayak sia-sia. Dan ini hal ketiga yang perlu lo inget, kalau kebaikan yang tulus itu ya perbuatan yang tanpa syarat, nggak bergantung sama reaksi orang lain. Jadi, kalau kebaikan lo diabaikan atau malah dicurigain, jangan biarin itu bikin lo down. Biarkan kebaikan lo tetep jadi cerminan dari hati lo, bukan dari respon orang lain. Karena, di akhirnya, kebaikan lo itu bukan tentang mereka.
0 notes
serenebirds · 20 days ago
Text
Selama 18 tahun, aku ngalamin banyak hal, termasuk ketemu orang-orang yang sebelumnya gak ada di hidup aku. Beragamnya sifat dan karakter mereka bikin aku sadar kalo ternyata manusia itu sangat kompleks, bahkan dosenku pernah bilang kalo ngertiin manusia itu gak akan ada habisnya. Awalnya aku gak percaya, tapi ternyata kalimat itu bener adanya; terbukti dari apa yang udah aku lalui sama kamu.
Hampir dua tahun bareng sama kamu, tapi aku masih gak paham kenapa kamu bisa sesabar itu ngadepin aku, sedangkan aku sendiri berusaha memahami kamu sampe sekarang. Kok Danis berbanding terbalik sih sama apa yang waktu itu aku denger? Dari situ aku mulai sadar kalo kamu bikin semuanya "sesederhana mungkin" buat ngertiin aku karena gak mau keadaan jadi rumit. Gara-gara itu, aku jadi sedih. Iya, sedih! Kenapa sih gue gak bisa ngelakuin hal yang sama ke dia?
Dengan semua kewarasan yang aku punya, aku cuma bisa encourage diri aku sendiri. Jangan kecewain dia, dia udah banyak berkorban buat lo. Seenggaknya lo harus ada di samping dia ketika dia butuh tempat untuk bersandar. Nyatanya? Nihil! Omong kosong. Aku gak selalu ada buat kamu, tapi kamu selalu ada buat aku. Gila ya? Emang banyak begonya. Tapi aku masih mau belajar, masih mau berusaha untuk lebih dari itu. Kita sama-sama belajar kan?
Ada satu waktu di mana aku punya pikiran seandainya suatu hari nanti aku harus pergi duluan. Andai aja skenario terburuk itu terjadi, kira-kira kamu gimana? Kalo aku pergi duluan, kamu bisa lebih bahagia gak ya? Kalo aku pergi duluan, kamu masih berusaha bikin semua mimpi kamu terwujud kan?
Kalo Salma pergi duluan, dunia di masa depan bakalan kayak gimana?
Aku cuma bisa berasumsi (dan percaya) kalo kamu bakal ngelanjutin hidup sebagaimana mestinya. Bukan kamu aja, tapi orang di sekitarku juga. Seandainya suatu hari aku harus pergi, aku berharap semoga orang-orang yang aku sayang lebih banyak bahagianya daripada sedihnya.
Aku pesimis kalo ada laki-laki di luar sana yang bisa nenangin aku selain kamu, bahkan mungkin gak ada. Maaf ya, aku harusnya bisa lebih bersyukur. Terima kasih banyak, kesayangan! Semoga gak bosen sama aku. ♡
0 notes
syafitas · 22 days ago
Text
Update Kehidupan
Hai.
Gimana harinya? Berat seperti biasa? atau makin hari makin ada-ada saja?
Makin kesini kayaknya makin sadar kalo nggak semua orang baik akan tetap baik. Sedang ada di fase tidak peduli dengan sekitar. Ya bukannya nggak peduli banget, tapi lebih ke...ya yaudah masing-masing aja.
Setelah banyaknya drama di kantor dengan orang-orang yang udah gue anggap 'teman'. Gue makin yakin, kalau nggak semua orang mau ngerti dan mau pengertian sedikit ke sesamanya.
Dan orang-orang ini akan tetap melakukan hal-hal yang membuat mereka 'untung'. Nggak peduli tuh gimana keadaan sekitar kalau mereka ngacau.
Ngasih makan ego tuh emang paling enak sih, haha. Dan kalimat, "Nggak semua orang mentalnya sama." akan jadi tameng paling ampuh untuk menutup semua penyerangan-penyerangan yang dilontakan.
Bener, sih. Nggak semua mental orang tuh sama. Tapi lo juga nggak boleh egosi untuk mengorbankan sekitar.
Tahun ini, gue kayaknya rela kehilangan orang-orang yang selama ini gue anggap baik. Dengan mereka yang tetap tidak merasa bersalah sudah buat semua huru-hara.
Hak mereka juga sih mau gimana. Tapi seengganya saat lo mau ninggalin tanggung jawab, lo harus bertanggung jawab juga sama kewajiban yang harusnya lo penuhin.
Tetapi mereka memilih untuk bodo amat lalu menyelamatkan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain tentunya. Sakit ya ternyata.
Gue mau marah juga bingung marahnya gimana, tapi gue nggak bisa maafin dan jadi biasa saja sama mereka.
Hampir 3 bulan jadi zombie dan kepala mau pecah ngadepin orang-orang yang ada aja tingkahnya. Tapi tetap dilewatin dengan haha hihi.
Kalo kata Bernadya, untungnya masih ada teman-teman lain yang masih waras.
Yang masih bisa bantuin gue mikir dan nggak mikul beban sendirian.
Terima kasih ya. Setidaknya masih banyak orang-orang baik lain yang gue nggak tahu juga sih bakal kaya apa kedepannya, tapi semoga semua akan jadi baik-baik aja.
0 notes
jaemeera · 4 months ago
Text
Tumblr media
2026:
Aku ingin bilang ke Khinanta kalau malam ini kami nggak akan bisa lihat bintang secerah sebelumnya. Kalau malam ini agaknya bintang-bintang di atas sana bersembunyi apik sesaat setelah Khinanta muncul dengan dua kantung penuh makanan ringan di depan pintu unit kamarku, menyapa hariku yang sama sekali buruk dengan senyum lebar dan manik berbinar.
Sinar matanya itu. Sinar mata yang kurindukan nyaris setiap kali, yang nyatanya sukses buat gemintang enggan tampil sebab miliknya lebih memesona dari mereka. Pun senyumnya, yang lebar mengembangkan kedua pipi dengan garis-garis kebanggaan yang dapat kulihat begitu jelas.
Sekarang dia sibuk mengeringkan kakinya dengan handuk usai membasuh mereka cukup lama di kamar mandiku, kabarnya dia nggak ingin buat unit kamarku kotor karena tadi sempat berlarian menembus hujan sebelum berhasil membawa kantung-kantung berisi makanan ringan itu kepadaku.
Nggak ada janji khusus. Hanya pertemuan mingguan yang entah sejak kapan dan oleh siapa dibentuk, tapi pada penghujung minggu yang melelahkan sebelum nyaris seharian penuh berbaring di kasur, aku selalu ingin temui Khinanta dan agaknya dia juga sama. Kalau enggak, untuk apa semua pertemuan tanpa rencana ini dijalaninya tanpa pernah absen sekali pun?
Aku menyandarkan badanku pada pintu toilet yang dibiarkannya terbuka, “mau hadiah nggak?” Kataku sambil meliriknya yang kini tengah melipat handuk.
Kepalanya mengangguk semangat dan jarak kami dikikis, Khinanta menarik pintu kamar mandi yang sekaligus buat aku melangkah semakin jauh, mulutnya bungkam namun binar di matanya semakin menyaingi gemintang yang kini sudah berkawan hujan. Aku membalas jemari kami sementara kuasaku yang lain kupakai untuk usap surainya perlahan.
“Tapi abis makan.”
Khinanta menyanggupi, “abis makan dan abis dengerin lagu yang kemarin.”
“Kemarin kurang ekornya, 'kan?”
“Iya,” sahutnya. “Tapi yang terakhir kamu kasih ke saya udah bagus, sih.”
Aku tersenyum. Tersenyum sebab yang dibilang Khinanta barusan bikin peternak kupu-kupu di perutku berlarian tanpa aba-aba, sebab yang barusan juga buat aku bangga. Sedikit banyak Khinanta tahu kalau aku nggak akan buat syair semanis itu kalau nggak kenal dia sejauh ini.
Lantas Khinanta yang kini menarik tautan jemari kami, membawaku sampai duduk di kursi makan sebelum jemarinya terselip ke dalam helai suraiku dan membelahnya menjadi dua. Masih Khinanta, masih Khinanta yang tak banyak bicara tiap kali kami beradu tatap dan seharusnya menyelipkan kata yang mampu ikat sekurang-kurangnya adalah perasaanku menyangkut dia.
Aku melirik jam dinding sebelum menatapnya nanar. “Lo pulang jam berapa nanti?” Tanyaku. “Sekarang udah mau jam sebelas.”
“Boleh nginep?”
“Besok ke gerejanya gue anter, ya?”
Khinanta menghela napasnya. “Saya nggak ke gereja besok,” katanya. “Sekali aja.”
Ada bola besar bernama kebingungan yang mendadak hajar aku, aku bingung setengah mati sebab pilihan Khinanta yang nggak pernah sama seperti sebelumnya, tentang pilihannya menyangkut kegiatan di Minggu pagi yang buatku harus mencerna sekali lagi, yang tengah bicara denganku ini betul Fabian Khinanta, 'kan?
Aku cuma bisa anggukkan kepala, nggak miliki kuasa penuh kalau Khinanta sudah inginkan begitu. Kalau Khinanta sudah ingin rehat sehari dari rutinitasnya, aku bisa bicara apa? Aku ini siapa sampai harus memohonnya pergi, toh aku juga ingin sama dia? Aku ingin habiskan sehari penuh dengannya. Seluruhnya bersama dia.
Senyumnya kembali, kini usapnya pada suraiku turun ke pipi, napas panjang dihelanya sebelum melirik tumpukan mie instan yang sejujurnya jarang juga kusantap sebab kami lebih sering cari makan di luar ketimbang harus makan mie instan di apartemen. Khinanta menjauhiku seraya menarik lengan sweaternya ke atas dan mencuci tangannya.
“Lagumu yang kemarin,” katanya terpotong usaha menyalakan kompor di dapurku. “Kira-kira bisa selesai sebelum tahun baru gak, ya?”
“Lagu kita?”
Khinanta menoleh. “M-hm,” gumamnya. “Lagu kita.”
“Kalau ada lo terus sih, bisa aja.”
“Kalau yang itu saya nggak janji,” katanya. “Nggak kuliah dong nanti?”
Aku terbahak. Menangkap tatap Khinanta sekilas dengan pipinya yang mengembang. Tak lagi duduk, sedikit berlari aku menuju kamarku, mengambil tali hitam dan merah tua yang sejak tadi mengawaniku sambil melamunkan hari-hari esok yang kuharap lebih baik dari segalanya.
Hadiah, dariku. Hadiah kecil yang mendadak lewat di benakku dan memaksa aku untuk segera berikannya kepada Khinanta, kepada pergelangan kami yang begitu layak untuk bermelodi bersama, hadiah kecil yang kubuat sendiri seluruhnya untuk dia.
“Nih, kado.” Kataku sambil mengangkat dua tali dan timbulkan gemerincing yang saling bersahutan.
“Yang habis wisuda siapa, yang dikasih hadiah siapa.” Katanya terkekeh. “Katanya habis makan, hadiahnya?”
“Nggak sabar gue,” kekehku, bersandar kepada meja dapur sebelum menyodorkan yang warna merah tua kepadanya. “Handmade.”
Khinanta yang kini terbahak, mengaduk mie yang mulai mengembang sebelum ia juga menyandarkan badannya pada meja dapur, meraih gelang yang kuberi dan ditatapnya lamat-lamat.
“Lucu banget ada loncengnya,” ujar Khinanta.
Aku mengangguk. “Biar berisik kalau lo lagi nulis.”
Lenganku ditangkap kuasanya, digoyangkan gemas dengan giginya saling menggertak tak kalah gemas juga. “Begini juga berisik,” kata Khinanta.
“Biar gampang kalau manggil lo.”
“Emangnya saya kucing?”
“Tapi suka nggak?”
“Suka, dong,” jawabnya usai matikan kompor. “Makasih, ya, Kak Sabda.”
“Dipake terus, ya?”
“Terus sampai kapan?”
“Sekurang-kurangnya sampai dunia berakhir.”
Khinanta terkekeh lagi, mengaduk mie yang sudah tak miliki kuah di piring hitamku sebelum ia menyodorkannya ke arahku. “Oke, tapi kamu juga.” Katanya.
Aku menyanggupi. Tentu saja. Tentu saja aku menyanggupi, bahkan kalau sampai dunia kembali hidup aku masih bisa kenakan gelang ini, aku nggak akan izinkan mereka lepas barang sejenak. Aku masih akan dan terus bersama tali hitam tipis yang kusadari benar berisik kalau milik kami beradu.
Kami kembali duduk, kali ini aku di sofa panjang dan Khinanta di depan televisi yang kubiarkan menyala tampilkan acara lawas namun belum mampu juga curi atensiku dari Khinanta yang sibuk perhatikan televisi dengan mulut yang nggak berhenti mengunyah mie. Jemariku kuselipkan di antara surainya, mengusak mereka lembut sekaligus gemas.
Yang satu ini, aku sayang sekali.
Walaupun sejak awal aku nggak tahu aku bisa sejauh ini terus bersama Khinanta, walaupun aku juga nggak miliki bayangan untuk bersama-sama dia sejauh ini pada awalnya, tapi nggak ada sekali pun yang aku sesali sampai detik ini. Meskipun lagu kami tak kunjung rampung sebab tiap kali kami upaya rampungkan selalu saja ada hal lain yang curi atensi; juga meskipun beberapa kali kami dibuat sakit perut sebab makan terlalu banyak jenis makanan, nggak satu pun dari itu semua yang buat aku sesali panjangnya jalan ini.
Nggak ada yang pernah kusesali kecuali sampai saat ini, setelah segalanya, aku sama sekali belum pernah dengan gamblang bilang kalau aku sayang dia. Kalau aku sayang Khinanta dengan sebenar-benarnya, kalau sudah dua tahun aku selalu sayang dia, kalau bahkan ketika dinding perbedaan kami yang kokoh menyadarkanku, aku tetap sayang dia.
“Khinan,”
“Mm?”
“Lagu kita yang itu tuh… love song, bukan?”
Khinanta menoleh. “Iya? Iya, harusnya.”
“Harusnya iya.”
“Kenapa emangnya?”
“Nggak percaya aja gue beneran nulis lagu bucin.”
“HAHAHAHAHA,” tawanya pecah. “Kok nggak percaya, sih? Bagus gitu.”
“Lo yang bilang, jatuh cinta dulu baru nulis love songs.”
“Emangnya kamu nggak jatuh cinta?”
“Kalau enggak, lagu kita nggak rampung, Khi.”
Khinanta menautkan alisnya. “Sekarang kan belum rampung?”
“Iya, sih,” ucapku sembari menggaruk tengkuk.
“Terus?”
Aku menarik napas panjang, menyingkirkan segalanya yang masuk akal dalam benakku. “Tapi gue udah sayang sama lo.” Kataku. “Gimana, dong? Boleh nggak?”
Boleh nggak, Fabian Khinanta? Boleh nggak, sih, kalau nyatanya yang buat lagu-lagu manis itu nyaris rampung tuh ya, kamu.
Ia mengambil piring kosongku dan ditumpuk miliknya, beranjak dari duduknya dan menepuk kepalaku sekilas.
“Iyaaa, Kakak.”
Iya, kakak.
Iya, katanya.
Kalau kata Khinanta iya, artinya apa, sih?
0 notes
diaryofqueenyuncan · 5 months ago
Text
tf part 1.
den, sorry ganggu lagi tapi gue janji ini yg terakhir. ini gue balikin kelebihan uang yang sempet lo pinjemin ke gue, makasih banyak yaa ini sangat membantu gue kemarin. please jangan tersinggung atau gimana, gue ngga ada tujuan apapun ngebalikin uang ini selain krn gue ngerasa ini bukan hak gue. gue ngga tau hp gue berhasil kejual di harga berapa, cuma kalo memang masih ada sisa dari ini anggep aja itu ucapan terimakasih gue ya plis diterima, tapiii kalau misalkan kurang gue minta maaf dan feel free buat minta ke gue (please gpp bgt, gue tunggu) krn dari awal tujuan gue ngehubungin lo lagi krn mau minta bantuan lo untuk jual hp gue, yaa ditambah laptop. makasih banyak ya bantuannya kemarin. sama izinin gue ngomong dan membela diri gue for the last time, gue NGGAK memperalat lo sama sekali. coba lo check dm kita awal2, gue gapernah pura2 basa basi apapun buat deket sm lo lagi. gue langsug bilang tujuan gue yaitu minta tolong jualin hp gue, krn emang gue ngga ada niat mau balikan sm lo (alasannya kalo lo lupa boleh scroll dm kita wkt gue minta putus) kl lo inget gue ngga pernah coba bahas apapun soal "kita" selama ketemu kemarin, makanya gue sempet bingung wkt di rumah lo, lo mempertanyakan kenapa gue minta putus, padahal gue udh ngejelasin semuanya disitu. gue udh ngga punya energi buat ngejalanin ini sm lo, gue udh ngga punya energi meluruskan semua asumsi di kepala lo tentang gue (nuduh gue memperalat lo, gue suka ngerendahin orang dan lain2), gue udh ngga punya energi begging trs2 an supaya hubungan ini ttp jalan terus, gue udh ngga punya energi buat selalu mikir apa salah gue smp kok apapun yg gue lakuin selalu salah di mata lo, selalu gue jd orang jahat di mata lo, padahal intinya satu, lo ngga pernah sesayang itu sama gue. itu jawabannya, itu alasan dr semua sikap lo ke gue. gue tau kok gue jauh dari kata "orang baik", tp apa yg lo lakuin ke gue terlalu jahat sih den. gue bikin salah di rumah lo, pdhl lo bisa kasih tau sekali "besok lg kalo ke rumah tolong beberes" selesai. tp apa yg lo pilih? ngatain gue ngga peka, manja, terlalu dimanja orang tua, ngga tau diri, princess, smp gamau ngeliat kebaikan gue. gausah blg cari muka sm mamah lo den, selama ini gue yang nyariin muka buat lo di depan orang tua gue, gue cerita lo begini lo begitu, mereka suka sm lo pdhl belum pernah ketemu. ibu bapak mana tau anaknya pernah dikatain anak anjing. kalo emg tujuan kamu biar gue disukain mamah, ya ceritain baiknya gue yg ngga mau lo liat itu, bukannya nanya ke mamah "yunda males ya mah?" dari pemilihan katanya aja udh negatif, lo mau berharap mamah mau jawab apa? gue capek den trs2an membela diri, ngelawan asumsi2 yg ada di pikiran lo sendiri, di pikiran orang yg harusnya ada di pihak gue. harusnya lo sama gue ngelawan dunia ini, bukan lo ngelawan gue. gue suka ngomong panjang lebar juga bukan mau buktiin kl gue bener dan lo salah kok, buat apa juga menang daripada pacar sendiri? apa yg gue dapet? ngga ada. mau smp kapan gue hrs membela diri gue di depan lo? 1 thn? 2 thn? seumur hidup? ngga sanggup den, hrs ngejelasin knp gue begini, knp gue begitu. sabar? 1 tahun kayanya udh lebih dr cukup ya den, gue hrs sabar brp lama lagi? iya kalo hadiahnya memuaskan. lah ini udh sabar2 dikatain, dibentak pdhl mau ngerayain anniversary, didiemin di parkiran tiptop kaya org tolol, juaranya diselingkuhin lagi. wkwkwkwk
0 notes
lonewolflady12 · 6 months ago
Text
It Starts with a Death - #7.
Satria melirik layar ponselnya. Sudah pukul setengah 2 siang, yang artinya sudah jelas mereka akan sampai di tempat tujuan terlambat dari yang dia prediksi sejak awal. 
Diliriknya arah toilet, tak jauh dari tempat ia berdiri di samping mobilnya. Harsya masih ada di dalam sejak percakapan mereka di pinggir jalan tadi. 
Dada Satria sesak; bukan cuma ia terpaksa membuka kembali kenangan yang seharusnya ia kubur dalam-dalam. Kini Harsya juga harus tahu setelah entah beberapa tahun berlalu. 
Harsya yang lebih ekspresif menunjukkan dukanya terhadap kepergian Ibu, pun yang lebih lantang menyuarakan kekecewaannya terhadap Ayah setelah Ibu tidak ada. 
Bertahun-tahun Satria memendam segalanya sendirian, bersikap seolah dia tidak melihat apa yang sebenarnya terjadi antara orangtuanya. Salah satunya demi menjaga perasaan Harsya. 
Alasan lain adalah karena ia tidak tahu cara meruntuhkan tembok antara Ayah dan Ibu -- tidak di saat Satria bahkan tidak tahu cara menyembuhkan lukanya sendiri atas apa yang dia lihat hari itu. 
Satria menggelengkan kepala mengusir pemikiran-pemikiran yang mampir di benaknya, sebelum membuka kaleng kopi yang sejak tadi dia pegang. 
“Cih…” dengusnya setelah satu teguk, baru menyadari ia membeli varian yang salah. 
Diteguknya minuman itu satu kali lagi sebelum melangkah menuju toilet tempat Harsya berada. 
------
Entah sudah ada berapa orang yang ia dengar lalu-lalang di luar, tetapi Harsya masih berdiam di salah satu bilik tempat toilet itu. Biasanya dia paling tidak suka berlama-lama di fasilitas publik semacam ini. 
Bedanya, saat ini Harsya tidak punya alasan untuk keluar, ketika dia terlalu murka dan tidak tahu ke mana perasaannya harus dia alamatkan. 
Apakah ke Ibu, yang mengkhianati Ayah, Satria, dan Harsya, yang ia simpan rapat-rapat hingga ke liang kubur? 
Atau ke Ayah, yang memilih lari mengurusi dukanya sendiri tanpa ingat bahwa Harsya dan Satria juga sama berdukanya dan butuh ayah mereka? 
Atau ke Satria, yang menutupi semua dari Harsya dan tidak memberikan dia ruang untuk memahami segalanya sendirian? 
Ibu, Ayah, dan Satria adalah tiang bersandar Harsya saat ia tumbuh besar. Orang-orang yang jadi rumah tempat dia pulang, seperti definisi keluarga yang Harsya tahu selama ini. 
Orang-orang yang pada akhirnya membiarkan Harsya tumbuh sendiri dalam ketidaktahuan, hanya untuk kemudiannya menghancurkannya bergantian. 
Harsya mengusap kasar air mata yang kembali jatuh ke pipinya. Mendadak ia merasa mual dan entah untuk keberapa kalinya kembali memuntahkan isi perutnya -- atau apapun yang tersisa. 
“Harsya?” ketukan di pintu mendistraksinya. “Sya? Masih di situ?” 
Tanpa menjawab Harsya membuka pintu biliknya. “Berisik,” gumamnya sebelum melangkah ke wastafel dan mencuci wajahnya, sementara Satria mengamati di belakang tanpa kata-kata. 
Baru ketika Harsya mengelap wajahnya dengan tisu Satria kembali buka mulut. “Lo mau gue beliin teh? Atau…”
“Nggak usah,” Harsya melirik kakaknya dari cermin. “Gue udah gede, Sat. Lo nggak perlu capek ngurusin gue,” 
Satria bergeming, sementara Harsya berbalik dan kini mereka tengah berhadapan. “Kenapa sih lo nyembunyiin ini semua? Mau jagain perasaan gue?” 
Anggukan Satria membuat Harsya berdecak pelan. “Alasan itu lagi. Basi,” 
“Trus lo berharap gue jawab apa, Sya?” 
“Yang gue harapkan adalah lo liat gue bukan sebagai anak kecil yang lo harus jagain terus. Lo bisa kasih tau gue jauh sebelum ini,” 
“Emang apa bedanya, Sya, antara sekarang dan dulu? Gue ngasih tau lo sekarang aja reaksi lo gini,” 
“Don’t mock me,” 
“I don’t,” Satria menghela napas.
“Sori,” sebuah suara menginterupsi mereka. Seorang lelaki berdiri di depan pintu, mengamati kedua bersaudara Wismoyo itu antara takut dan khawatir. “Kosong kan ya?” 
“Iya, Pak. Silakan,” Harsya yang lebih dulu buka mulut di antara mereka berdua sebelum ia meninggalkan toilet laki-laki di rest area itu. 
“Gue belom selesai,” Satria mengejarnya. 
“Tapi gue udah. Gue mau pulang,” 
“Lo mau dengerin penjelasan gue nggak sih?” sentak Satria, kali ini berhasil menangkap pergelangan tangan Harsya. “Gue minta maaf, Harsya,” gumamnya. 
Telat, Mas. Lo udah telat. 
“Bisa nggak kita ngomong di mobil aja? Kalo setelah ini lo mau pulang, fine. Tapi gue juga perlu ngomong sama lo tanpa kita diliatin orang.” 
------
Satria memindahkan posisi mobil mereka ke area parkiran yang agak jauh di rest area itu. 
Suara samar-samar gemuruh petir mulai terdengar, dan kedua bersaudara tersebut bisa melihat langit mulai mendung. 
Rencana untuk sampai sebelum malam ke tujuan sepertinya harus sudah mulai dilupakan. 
“Jadi,” kata Harsya, matanya memandang kosong ke arah luar. “Apa lagi yang mau lo jelasin, Sat?” 
“Gue minta maaf ke lo karena udah menyembunyikan ini semua sendirian. Waktu pertama gue tau, gue bingung, Sya. Gue bingung harus ngapain,” Satria menghela napas berat. 
Perasaan yang ia kira sudah terkubur jauh di alam bawah sadarnya kini seolah kembali menghantui; marah, kecewa, sedih, hingga takut, bercampur menjadi satu yang tak bisa Satria definisikan namanya. 
 “Gue selama ini taunya Ayah sama Ibu nggak pernah ada masalah. Seenggaknya, mereka nggak pernah ribut di depan gue, apalagi di depan lo. Dan sampe Ibu nggak ada, gue nggak pernah tau kenapa…” 
“Kenapa Ibu melakukan itu?”
“Betul,” cetusnya Satria. “Gue tau gue juga salah. Gue diem karena gue nggak berani ngomong, karena gue mikir ini urusan Ayah sama Ibu. Nyatanya sampe Ibu nggak ada, Ayah nggak pernah ngomong apa-apa.” 
Satria tak sekalipun melirik adiknya selama bertutur. 
Bukan tanda ketidakpedulian, melainkan karena kehilangan keberanian ketika ia terpaksa berhadapan kembali dengan luka yang ia pendam sendirian. 
“Kalo lo tanya kenapa gue nggak pernah ungkit ini di depan lo, alasan utamanya adalah karena gue sendiri juga nggak tau harus gimana, Sya. Untuk nanya ke Ibu atau ngomong ke Ayah aja gue nggak berani, gimana gue harus nyampein ke lo?” 
“Gue nggak mung---” Satria berhenti sejenak. “Gue nggak bisa menjelaskan ke lo kalo gue sendiri sulit memahami apa yang terjadi saat itu. Dan gue tau itu kesalahan terbesar gue.” 
Untuk pertama kali Satria menengok ke Harsya, meski adiknya masih menatap kosong ke pemandangan di depannya. 
“Gue juga punya andil bikin hubungan kita jadi jauh, termasuk saat tinggal kita bertiga. Ketika Ayah mulai berubah seharusnya gue juga mikirin lo, bukan cuma mikirin perasaan gue.” 
Entah mengapa perasaan perih kembali mencengkeram batin Harsya saat mendengar tutur kata kakak semata wayangnya. 
Harsya tahu dia tidak pantas diperlakukan seperti ini; dibiarkan hidup dalam ketidaktahuan dan tumbuh besar dalam kemarahan yang semua akarnya datang dari duka dan luka. 
“Sat, lo denger nggak sih lo tuh barusan ngomong apa?” sergah Harsya, untuk pertama kali sejak beberapa menit terakhir memberanikan diri melihat Satria. “Lo juga anaknya Ayah sama Ibu,”
“Gue tau…”
“...yang artinya mereka juga nggak pantes memperlakukan lo kayak gini. Apapun yang terjadi sama mereka, bukan tugas lo atau tugas gue untuk bikin keluarga kita tetep…”
“Tetep normal?” 
“Iya,” Harsya menghela napas putus asa. “Dan lo kenapa nggak pernah ngomong sama Ayah setelah Ibu nggak ada?” 
“Karena udah terlambat, Sya,” suara Satria gemetaran. Untuk pertama kali sejak perjumpaan mereka kembali, Harsya bisa melihat mata Satria berkaca-kaca. “Udah terlambat. Ibu udah nggak ada,” 
“Kalopun Ibu udah nggak ada, bukan kita yang harus jadi tempat Ayah melampiaskan kemarahannya. Bukan cuma Ayah yang kehilangan, Mas. Gue dan lo juga. Dan dia sama sekali nggak memikirkan itu.”
Perasaan Harsya yang sudah berkecamuk kian tidak karuan sekarang setelah ditambah kemarahan yang bukan cuma untuk dirinya, tetapi juga untuk Satria. 
“Kalo mereka cuma mikirin perasaan sendiri, trus perasaan lo yang liat semuanya gimana?” 
Air mata kembali jatuh ke pipi Harsya. Tapi dia tidak sendirian. Di hadapannya, air mata Satria ikut tumpah. 
“Harsya…” 
Mendadak, Harsya iba sekali dengan dirinya dan kakaknya.  
0 notes