#dini hari
Explore tagged Tumblr posts
Text
Dialog Dini hari
Hampir jam 2 pagi, tidak ada tanda-tanda kantuk akan mengusap pejam mata ini meski kepala sesekali berganti pening antara kiri atau kanan. Kepalaku kerap kali memvalidasi banyak ketidaknyamanan dan berulang kali pula aku memastikan itu bukan sebuah masalah besar.
Mungkin itu pula sebabnya aku tidak mampu menyamankan diriku, di atas sebuah bangku rotan yang cukup nyaman, aku masih khawatir anak anak akan terbangun dan mengganggu tidur orang dewasa, padahal tidak masalah kalau itu terjadi.
Aku belakangan mulai kembali mengkhawatirkan banyak hal yang di luar kuasaku, mungkin aku perlu menulis lagi. Melepas kecemasan-kecemasan yang sekalipun itu terjadi aku tetaplah manusia dan Hamba-Nya yang senantiasa dalam penjagaan-Nya, jadi untuk apa terlalu khawatir akan masa depan?
Hasbunallah wani'mal wakiil,ni'mal maula wanni'man nashir...
0 notes
Text
The number of early marriages in Blora reaches hundreds of cases, dominated by decline and todanan || Blorainfo
Panitera Hukum Muda Pengadilan Agama Blora, Fathul Hadi Blorainfo – The number of marriage dispensation figures in 2022 in Blora Regency is 531 cases filed.Of these, by the end of December 2022, 490 marriage dispensation cases had been terminated. The dispensation rate for early marriage or underage marriage in Blora Regency. This is because the party applying for a marriage dispensation is…
View On WordPress
0 notes
Text
Onde-onde
Jadi waktu aku ulangtahun kemarin, suami lagi dinas ke Surabaya. Sebenernya kemarin udah agak sebel karena dia selalu menerima pekerjaan di hari ultahku, setelah mikir-mikir lagi aku nggak jadi sebel karena ya kan kerjaan itu--aku juga yang menikmati😂
Nah, jadwal dia pulang dinas itu dini hari. Dia minta jemput. Wah pikiranku sudah berkelana kemana-mana, hmmm pasti dia mau kasih kejutan ini☺️☺️. Tapi lagi-lagi aku mencoba berpikir jernih, kayanya sih nggak mungkin ya dia kasih aku kejutan. Secara, dia nggak semanis itu😂
H-2 jam sebelum aku jemput dia, dia tanya nih, capek nggak aku, kalo capek gausah jemput. Oh fix ini emang ga ada kejutan apa-apa🤣 kalau kasih kejutan, pastilah dia keukeuh aku jemput ya kaaan... yaudah aku bilang capek jadi dia naik ojol aja pulangnya.
Besok paginya, dia bangunin aku dengan ucapan "Selamat ya!! udah tiga puluh tahun". Udah🤣 nggak ada kejutan, nggak ada kado, nggak ada apa-apa. Untungnya aku ga berharap apa-apa juga yah...
Terus aku cerita tuh... "aku pikir kamu bakal kasih aku kejutan lho, kan ada kesempatan itu, kamu pulang tengah malam, bisa jadi yg pertama ngucapin, bisa bawa hadiah atau bunga, atau apa gitu..."
Dia bilang, "iya maaf ya, aku nggak pinter beginian, kamu tau sendiri... ajarin aku ya gimana cara nyenengin kamu hari ini."
"Hehe iya nggak papa, aku juga tau diri. Tapi hari ini aku mau beli onde-onde kesukaan aku."
Dijawablah "okee!!! Kamu mau apalagi?"
"Aku mau beli nakas (meja kecil samping dipan) ya!"
"Siap tuan putri!"
Terus malamnya kita mau cari onde-onde, seperti biasa, di keluarga kami ada ritual makan dulu sebelum ke mall supaya ga kalap (ritual yg awalnya bagiku nyebelin karena ORANG GILA MANA YG KE MALL GA MAKAN???!!!) 😅
Singkat cerita, kita makan dan aku bilang ke manajer restonya kalo aku ultah, ada promo ga wkwkwkwk, turns out dikasi kejutan sama restonya🥰
Oke selese makan, kita ke mebel dan aku jadi dibeliin nakas, selese deh hadiah pertama, gas kita mau beli onde-onde. Dan ternyata jeng..jeng!! dia ada meeting😂
Mau nangis tapi masa iya nangis karena ga dibeliin onde-onde???? Mau ga ngambek tapi udah terlanjur ngambekk🤣🤣
Setelah dipikir-pikir, aku udah dibeliin nakas jadi aku ngambeknya cuma semalam aja. Hahaha.
Besok paginya aku sudah seperti mbak-mbak 30 tahun yg mature dan melanjutkan hari dengan gemilang. Aku menyapa suamiku dengan penuh senyum (wkwk), aku bikin sarapan, dan kami cerita-cerita lagi...
Setelah dipikir-pikir (wow aku banyak berpikir ya), aku bersyukur atas hubungan sehat dan dewasa ini.
1. Kami bahkan bisa menyampaikan dan bercerita dengan santai apa adanya perihal aku kecewa dia ga kasi kejutan, bukannya ga semua hubungan bisa?
2. Dia belikan apa yang aku butuh dan aku mau (nakas), meski ada hal yg kelewat, tapi namanya manusia hanya bisa merencana dan aku menerima, meski menerima dengan ngambek dikit wkwk
3. Dia minta maaf
Hehe aku pikir onde-onde cuma bumbu dari inti cerita ini. Aku bersyukur sekali diberi hubungan yang sehat. Hubungan sehat bukan berarti tanpa ngambek, tanpa perdebatan, atau tanpa ada gejolak. Hubungan sehat itu, perlibatan dua orang dalam suatu hubungan, yang dua-duanya terlibat aktif untuk saling menerima dan memberi yang terbaik. Hubungan sehat itu sesimpel nggak saling menyakiti. Kita bisa aja merasa sakit, tapi bukan karena pasangan kita sengaja menyakiti.
Ini cukup buat hadiah di tahun ini. Onde-ondenya besok aku beli sendiri bisa😅
116 notes
·
View notes
Text
Terhubung (Lagi) dengan Diri Sendiri
Rasanya agak kaget, ya. Ternyata tahun 2024 akan berakhir dalam 3 bulan lagi. Mungkin masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan tentang perjalanan tahun ini, toh masih ada 3 bulan yang belum terlewati. Tapi, kalau harus merangkum perjalanan 9 bulan ke belakang, saya merasa ketangguhan atau resiliensi saya menurun.
Penilaian ini tentu lebih banyak memuat sisi subjektif. Kalau saya bertanya pada orang lain yang mengenal saya dengan baik dan mengetahui apa yang saya lewati, saya yakin penilaian mereka terhadap saya juga tidak seburuk saya dalam menilai diri sendri. Tapi, saya ingin mengizinkan kejujuran dari dalam diri saya bersuara, bahwa saya tidak cukup puas dengan bagaimana perjalanan diri saya dalam 9 bulan ke belakang. Ada banyak tangis dan luka yang terasa lebih dalam dari biasanya, sehingga saya butuh waktu yang lebih lama juga untuk menghadapinya. Padahal, di dalam hati saya selalu tahu bahwa seharusnya semua ini bisa jadi lebih sederhana.
Tahun ini saya bertemu dengan kehilangan dan kekecewaan, dan diantara keduanya ternyata yang terasa lebih menyakitkan adalah kekecewaan. Menghadapi kekecewaan ternyata memang tidak mudah, ya. Sampai dengan saat ini, saya pun masih terus berproses untuk memahami diri dan orang lain, menerima, memaafkan, dan kembali fokus pada tujuan-tujuan yang saya dan keluarga miliki. Di dalam proses itu, saya menemukan diri saya yang paling rapuh meski sebenarnya saya tidak ingin siapapun menyaksikan hal itu.
Apakah ini adalah kekecewaan pertama yang saya hadapi dalam hidup? Tentu saja bukan. Di tahun-tahun sebelumnya, saya pernah bertemu dengan kekecewaan yang lain, bahkan ada juga yang lebih besar dan menekan dari apa yang terjadi di tahun ini. Atas seizin Allah, saya diberi-Nya kemudahan untuk tetap menjadi pribadi yang resilien. Lalu mengapa tahun ini berbeda? Atas seizin-Nya, dalam obrolan bersama suami malam ini saya mencoba menelusuri perjalanan diri saya dan saya menemukan beberapa hal utama yang biasanya membantu saya di fase-fase sulit, yaitu:
Koneksi dengan Allah yang terbina dengan baik dengan adanya guru atau mentor,
Kebiasaan menulis secara rutin yang membantu saya menguraikan pikiran, dan
Kondisi sedang sekolah (baik formal maupun non-formal) yang membuat saya fokus pada proses mempelajari hal baru.
Ketiganya ternyata membuat saya terhubung dengan diri sendiri sehingga saya menjadi lebih berkesadaran dan punya banyak kesempatan untuk mengelola kondisi-kondisi sulit dengan menggunakan input-input baik yang saya terima.
Rupanya, ini yang memengaruhi resiliensi yang saya miliki. Tahun ini koneksi saya dengan diri saya sendiri berkurang signifikan karena tiga hal yang menjadi perantaranya juga berkurang. Alih-alih dimentori, saat ini saya lebih sering menjadi mentor. Saya senang dan menerimanya dengan baik, tetapi ternyata saya rindu menjadi gelas kosong yang bersiap diisi oleh kucuran ilmu dan hikmah dari para guru. Soal menulis, saya sebenarnya masih menulis untuk hal-hal yang sifatnya edukasi ekstrenal. Saya menikmatinya, tetapi ternyata saya rindu menulis tentang perjalanan diri saya dalam memproseskan banyak hal di kehidupan sehari-hari tanpa perlu berpikir tentang kesesuaian niche. Lalu soal sekolah dan belajar, tahun ini saya sudah lulus dan banyak berproses sebagai praktisi. Saya bersyukur dan menjalaninya dengan sukacita, tetapi ternyata saya rindu mempelajari hal-hal baru yang akan mengisi diri saya, saya rindu menerima, bukan terus memberi dan "mengisi gelas" orang lain.
Aha! Saya jadi menemukan satu jawaban bahwa sebenarnya yang saya butuhkan saat ini adalah terhubung kembali dengan diri saya sendiri. Sebab, itulah cara yang bisa membantu saya dalam mengakses kekuatan-kekuatan yang Allah titipkan di dalam diri saya. Selain itu, hal itu juga bisa membantu saya untuk berpikir lebih dalam dan menggali berbagai hikmah yang Allah sediakan.
Beberapa hal sedang saya ikhtiarkan untuk kembali terhubung dengan diri sendiri, insyaAllah akan saya ceritakan kalau sudah selesai atau minimal sudah separuh perjalanan, ya. Mohon doanya, semoga atas seizin Allah saya bisa memanfaatkan waktu-waktu yang tersisa di tahun ini agar bisa FINISH STRONG di akhir nanti.
Untukmu, jika hari ini kamu merasa berantakan dan lebih lemah atau lebih bermasalah dari sebelum-sebelumnya, coba temukan apa yang sebetulnya hilang dar dirimu dan perlu kamu munculkan kembali agar bisa berdampak baik untukmu. Semangat, ya! Di akhir 2024 nanti, insyaAllah kita finish strong bersama-sama.
55 notes
·
View notes
Text
Rembulan Sebelum Fajar
Terinspirasi dari Lagu Melukis Bayangmu, Adera
mungkin sehari, seminggu, sebulan atau sudah setahun, sejak kehadiranmu melintang di titik hidup yang tak ingin kubiarkan siapapun di sana. tapi kau memberikan kehangatan yang membuatku berhenti menggigil. maka aku merela sebab petang tak bisa menghentikan malam yang datang. namun masa selalu berlalu, bukan?
kakiku sudah mulai basah, oleh embun dini hari meski nyalamu masih bisa kurasakan. aku seperti jatuh dalam kisah prambanan, tapi tak ada jin dan simsalabim, juga tak ada kau yang bersedia dimenangkan. aku hanya berkejaran dengan diriku sendiri, menangkap bayangmu yang semakin bias, menyimpannya dalam sekotak puisi.
ia menjadi kata, aksara, diksi, rima dan segala yang menyusun sajak. sebab kelak semua akan menjadi tiada, maka meski terdengar pesakitan biarkan aku menjadikan dirimu manuskrip yang bisa kubaca kapan saja. bahwa pernah ada masa di mana aku jatuh cinta dengan benar.
01 Agustus 2024
58 notes
·
View notes
Text
Bagaimana Kalau Jodoh Itu...
Bagaimana kalau jodoh itu bernama ajal? Bagaimana kalau Allah takdirkan lebih dulu berpulang ke kampung akhirat, bukanlah bertemu pasangan di dunia? Aku bertanya-tanya, bagaimana jika ia datang lebih cepat?
Bagaimana kalau perbekalan ini belum lah cukup? Bekal yang begitu sedikit ini, apakah Allah mampukan mengundang rahmat dan ridhoNya untuk jadi salah satu penghuni surga-Nya? Dosa yang menggunung.. Amanah yang belum tertunaikan.. Permohonan maaf yang belum terucap.. Mungkin juga, cita-cita yang harus dibiarkan diam dalam angan.
Sebelum 'jodoh' itu datang, semogalah kita memastikan kondisi terbaik, entah amalan ataukah keimanan. Semasa ia belum datang, semoga Allah mampukan kita jadi sebaik-baik hamba dengan sebaik-baik amalan. Hingga bertemu denganNya jadi pertemuan yang membahagiakan.
Bagaimana kalau jodoh itu... adalah pertemuan dengan Nya?
_________
Tulisan ini, mungkin mengganti Ramadhan Day 9, ditulis ketika rasanya sedih sekali beberapa hari ini tidak bisa memaksimalkan interaksi dengan Quran karena sakit. Sepele sekali, radang. Tapi membuat nikmat mengejar ibadah di bulan Ramadhan terasa tercabut begitu saja. Ternyata memang, kesehatan sekecil apapun harus dilingkupi penuh rasa syukur.
Menulis tentang "ajal", tentunya membuat terasa takut bagi seorang hamba yang penuh akan dosa. Topik yang seringnya kita hindari, termasuk saya. Tapi bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling sering mengingat kematian? :')
Semoga Ramadhan ini, bukan hanya bertambah pahala, tapi bertambah juga keimanan-keimanan di hati kita.
Depok, 21 Maret 2024, 1.30 dini hari.
#ntms#tulisan#notetomyself#renungan#catatan#islam#muhasabah#selfreminder#reminder#quoteoftheday#quotes#ramadan#ramadhan
88 notes
·
View notes
Text
Dini barang sedap camana la boleh terimah laki buruk kimek satu hari konek aku depan muka bf kau
97 notes
·
View notes
Text
Today's Story
Suamiku bercerita sore tadi, ada seorang pria yang memutuskan untuk 'pensiun dini' diusianya yang baru 37 tahun. Konon katanya ia bekerja keras sejak muda untuk mengumpulkan uang agar hidupnya dan keluarganya jauh lebih nyaman.
Terbukti, kini ia sudah terbiasa membiayai kebutuhan keluarga dengan lancar. Transferan uang ke istri aman, uang untuk keperluan anak-anak juga aman. Tabungan pun gemuk.
Tapi suatu hari, ia mendatangi seorang financial advisor. Ia terlihat gusar dan begitu kebingungan. Hatinya kosong. Ada perasaan kehampaan yang melingkupi dirinya.
"Pak, saya ada uang sejumlah 16 milyar rupiah. Kira-kira harus saya apakan ya uang itu?"
"Bapak bisa coba diinvestasikan saja pak biar uang Bapak nantinya makin bertambah (banyak)."
"Hmmm tapi saya pikir itu bukan ide bagus."
"Oh kenapa pak?"
"Saya tidak dalam posisi membutuhkan uang lebih banyak lagi. Untuk apa?"
"((Wow! Mengejutkan pernyataannya))"
Sang penasehat keuangan pun heran dan tercengang dibuatnya. Bagaimana mungkin ada orang yang terlihat tidak bahagia memiliki uang sebanyak itu?
Bahkan setelah memiliki kondisi keuangan berlebih, ia masih saja merasa hampa.
"Pelajaran penting! Ini pelajaran penting sekali! Terima kasih Pak, Bapak sudah mengajari saya satu hal. Bahwa uang yang banyak saja ternyata tidak menjamin kebahagiaan kita."—sepertinya ini tidak benar-benar diucapkan olehnya kepada Bapak tersebut.
Padahal selama ini seringkali kita berpikir bahwa banyak masalah yang bisa saja terselesaikan dengan 'adanya uang'. Tapi ternyata tidak selalu demikian.
Tahu apa hal yang membuat kita bisa bahagia diatas urusan uang itu?
Yakni dengan "MEMBERI".
Semakin kita berbaik hati membantu, menolong dan memberi (dengan harta kita). Untuk tujuan kebaikan dan kemaslahatan, maka secara magis perasaan bahagia itu akan hadir.
Bahagia karena kita mampu memberi manfaat. Bahagia karena kita bisa membantu menyelesaikan satu perkara kesusahan orang lain. Kita punya andil dan peran.
Kalau dalam ajaran Islam, konsep memberi yang dimaksud cerita diatas adalah; SEDEKAH.
Bukan memberi secara cuma-cuma tanpa menilik siapa yang berhak. Bukan memberi tanpa perhitungan apalagi tanpa tujuan.
Tapi sedekah yang diniatkan karena Allah. Karena paham bahwa hal itu baik, disukai Allah dan berpahala.
Kalau Allah suka dengan perbuatannya, maka semoga keridhaan itu hadir. Harta yang disedekahkan menjadi berkah.
Berkah untuk hidupnya, untuk jiwanya, untuk keluarganya, untuk keseluruhan harta miliknya.
Percaya bahwa ada hak orang lain sedikitnya di dalam harta yang kita miliki. Maka "keluarkanlah". Beri sedekah. Latih hati kita bermurah berbuat kebaikan.
Ketika kita melaksanakan kebaikan dengan memberi, maka jangan kaget kalau hidup kita jauh lebih tenang dan bahagia.
Itu karena curahan rahmat Allah dan rahimNya kepada kehidupan kita saat ini.
Tangerang, 11 September 2024 | 23.28 WIB
21 notes
·
View notes
Text
Rapatkan Barisan Zionis Ketar-Ketir
Kita harus bersepakat, bahwa masing-masing dari kita memiliki perspektif yang berbeda dalam melihat permasalahan Palestina.
Ada yang bergerak atas dasar fomo, kemanusiaan, akidah, titel ADK, keresahan, atau memang benar-benar paham akan akar permasalahan. Namun dari semua itu, kita memiliki cita-cita yang sama untuk membebaskan Palestina.
Thuufan al-aqsha telah memberi banyak pelajaran bagi umat tentang perjuangan, kepeloporan, dan juga kesabaran.
Disisi lain hari ini kita masih sibuk berdebat mana yang lebih utama akidahnya, manhajnya, madzhabnya, harokahnya, dan perbedaan lainya. Sedangkan di Palestina sana, 40.000 orang lebih syahid oleh para kera.
Thufaan Al-Aqsha telah memberi pukulan telak bagi israel. Mereka pun mereka tak memprediksi perang berjalan selama ini.
Bantuan negara munafik terus berdatangan hingga membuka front baru di Lebanon dan Yaman. israel sesumbar mampu memenangkan perang, namun nyatanya mereka tak memperoleh apa-apa selain cela.
Para Pejuang kita nyatanya memiliki ketahanan yang luar biasa. Mereka menolak tunduk sekalipun secara statistik alutsista sangat berbeda.
Apa yang menjadi rahasianya?
Pertama adalah iman. Ini menjadi variabel penting karena mereka digembleng sejak dini hingga dewasa untuk memahami perlawanan kaum zalim.
Kedua adalah pendidikan. Kita tahu sama tahu bahwa tingkat pendidikan tinggi di Gaza adalah yang terbaik. Bahkan yang terakhir ada seorang warga yang menyelesaikan masternya di bawah reruntuhan.
Ketiga adalah persatuan. Masyarakat dan Para Pejuang saling mendukung satu sama lain. Mereka tidak protes atas ujian yang menimpa karena perang ini. Mereka menyadari ini adalah amanat suci. Selain itu Para Pejuang dari beberapa faksi akhirnya juga melebur untuk menguatkan basis perlawanan.
Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, maka Allah menurunkan ketenangan di dalam hati mereka, lalu Allah memberikan balasan mereka berupa kemenangan yang dekat. (Al-Fath : 18)
Hari ini, kita berdiri di Kota Surakarta, esok hari kita berdiri bersama di Kota Al-Quds, menyongsong Palestina Merdeka.
Surakarta, 08 Oktober 2024
14 notes
·
View notes
Text
Menuju 33
Gak kerasa, 9 bulan lagi 33. Dari 30 ke 32 ini berasa sekejap banget, padahal udah gak pandemi. Semakin mindful iya, semakin wealth? belum, tabungan belum nyampe 1 M.
Kemarin teman seumuranku tantrum karna ditinggal teman-temannya menikah. Sementara aku biasa saja, padahal mereka yang menikah ya teman-temanku juga. Mereka bilang, "apa kamu tidak punya hati Din?". Hm, temen nikah ngapain di-sedih-in. Ya ikut seneng aja.
Terakhir kali aku tantrum itu, seingatku, 2020, pas teman se-geng SMA menikah. Kita sama-sama ikut SPN Salman online, "tapi kok dia yang nikah duluan?". Waktu itu rasanya kesel, pusing, sampe akhirnya tak tinggal turu. Ya, wajar, 2020 itu usiaku 28, usia lagi semangat-semangatnya menikah sebelum 30. Sampai akhirnya bablas ke-32 HAHAHA.
Saat teman-temanku masih semangat "mencari jodoh", aku lebih ke melempem sih. Main bumble kalo inget, itupun kalo ada yang match, udah males chat HAHA. Sekali dua kali ikut posting birojodoh di X, tapi gak lagi-lagi deh, karna abis itu beberapa orang dm, while akunya males bales. Lalu ku pikir, baiknya dini dijebak saja untuk berkenalan dengan orang, langsung ngobrol oflen.
"Santai" di usia segini tuh privilege, belum ada pressure dari ortu (lagi). Kebayang kalo dipaksa-paksa, diberisikin tiap hari, paling aku ngekos lagi sih di Depok wkwk.
3 Juli 2024
20 notes
·
View notes
Text
Izin kepada Allah
Saat SD, aku dirizqikan belajar tahsin Al Quran dengan talaqqi ke seorang guru privat.
Satu huruf yang saat itu membuatku frustrasi adalah huruf Qaf. Berulang kali mencoba, masih belum tepat makhraj-nya. Coba lagi, gagal lagi. Begitu terus per pekan.. rasanya ingin menyerah saja.
Sampai suatu ketika, ustadzah Mahani (semoga Allah jaga beliau) berpesan di akhir kelas:
“Habibah nanti malam bangun tahajjud ya, minta dan berdoa ke Allah: ya Allah aku pengen bisa melafadzkan huruf Qaf”
Malam itu sepertinya menjadi kali pertama seorang Habibah bangun dini hari, dengan polosnya.. dan dengan satu orientasi: mentaati perintah guru. Haha.
Tapi ternyataaa.. Momen itu begitu membekas bagiku.
Berkesannya bukan karena mengendap-ngendap shalat tengah malam karena malu,
bukan juga karena beberapa pertemuan kemudian dikatakan beliau “lulus” huruf Qaf-nya,
bukan juga karena cerita ini jadi cerita lungsuran motivasi tiap kali aku kini mengajar tahsin..
Tapi, karena jadi pelajaran seumur hidup untukku tentang: meminta izin.
Izin ke Allah, karena Allah yang akan mampukan. Allah, Al-‘Alim. Allah, yang mengenalkan diri-Nya sebagai “yang mengajarkan Al Quran” sebelum sebagai “pencipta manusia” di surat Ar-Rahman.
Pun untuk yang sedang tertatih menghafal dan murajaah, coba diingat lagi sudahkah meminta izin dan pertolongan Allah?
“Alhamdulillah waktu usia 8 tahun aku berangkat haji dengan keluarga, aku hanya minta dan berdoa ke Allaah kak agar bisa menghafal Al Quran..”
Mengutip adik hafidzah shalihah pada obrolan santai pasca itikaf beberapa waktu lalu, yang jadi perantara murajaah konsep izin ini.
Aku tertampar, betapa seringnya aku lalai dalam meminta izin dan pertolongan ke Allah. Sombong banget, Haab.
Padahal pertolongan Allah itu bukan hanya ketika hendak ujian, hampir tertinggal pesawat, didzalimi orang, tidak ada biaya hidup, dll.
Justru untuk menyempurnakan ibadah (ibadah hati dan ibadah fisik) lah yang amat sangat butuh pertolongan dari Allah..
Pantas saja Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah membuat 15 jilid buku “hanya” untuk satu ayat iyyakana’budu wa iyyakanastain, karena sedemikan komprehensifnya ayat ini dalam meringkas seluruh tema Al Quran.
Allahumma a'inni 'ala dzikrika wa syukrika wa husni 'ibaadatik
"Ya Allah, tolonglah aku agar selalu berdzikir mengingat-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu"
-h.a.
Dalam perjalanan kembali ke perantauan
158 notes
·
View notes
Text
Doa Anak Pengelana Matahari.
“Untuk teman-teman yang telah mempunyai Bunga Matahari di hidupnya, tetaplah tumbuh indah.”
Lewat dini hari Ketika kening bertemu bumi Ada yang merengek tak karuan Tersedu memeluk kerinduan
Cerita usang menghantam Wangi kamboja bersemayam Bunga Matahari yang lama pergi Ia minta memeluknya sekali lagi
Aroma tubuh hadir mengelilingi ruangan Suara lembut membelai kelelahan Lalu air mata tak mau dikelabui Tumpah biru memeluk diri
Senyum dibalut kain putih Mengingatkan sebuah pesan Cinta terus mengalir di arteri Mencium luka menjaga langkah
Ia berikan kabar; ada yang abadi Ribuan doa Bunga Matahari Tak lepas mengiringi hari Hingga tumbuh besar bestari
Ditiap tangannya menengadah Berharap pada penciptaNYA Memohon surga Meminta ampunan siksa
“Sebagai balas cinta yang belum sempat ia berikan saat di dunia.”
#curhat#puisi#kata#quotes#cinta#kumpulan puisi#luka#sajak#sastra#quote#kerinduan#sedih#puisi rindu#puisi cinta#prosa#tulisan#cerita#spotify#hujan#senja#puisi pendek#sajak patah#curahanhati#nasihat#kehidupan#renungan#perpisahan#motivasi hidup#kesedihan
11 notes
·
View notes
Text
yang mengerikan dari masih terjaga adalah di malam-malam begini kita sama-sama lari dari perasaan sunyi. di balkon studio room tamansari semanggi, di tempat kesepian kita tak bisa dibagi—sedekat apapun kita hingga menyerupai nadi.
aku datang nyaris dini hari sebelum penerbangan pertama menuju pekanbaru pukul enam pagi. kamu juga baru pulang, tersenyum saat menjemputku di lobi. ada banyak yang ingin aku tanyakan tapi yang keluar cuma, "baik," saat kamu menanyakan kabar. nyatanya memang nyali itu cuma aku punya saat pergi. saat kembali begini, aku kembali jadi pecundang kelas kakap yang tak berani menetap hingga satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah terus menerus memohon ampunan bahkan untuk kesalahan yang tak pernah berani kupikirkan.
kamu ada dia setiap rasa sesal yang kuselipkan di jam pulang kerja.
"lo tahu, di jam-jam ini, semua orang lagi pada ngentot," kamu menunjuk semua unit di seberang balkon tempat tinggalmu. "nggak pernah tidur, ya, jakarta?"
"lo mau?"
"no," kamu menjawab cepat. "lo ada flight jam enam pagi. tugas gue cuma memastikan lo tidur malam ini."
laki-laki gila yang kutemukan di salah satu kafe di kemang beberapa bulan lalu, aku tidak pernah menyesal temanmu mengenalkanku padaku. yang kusedihkan hanya satu; kamu selalu begitu baik hingga aku menggigil saking ngerinya. kamu menyiapkan sepotong roti dan dua gelas kopi dingin, juga keripik yang kamu sodorkan ke mulutku karena bagimu, "asal lo makan sesuatu." dan aku jadi bingung harus bagaimana.
makin kutatap matamu, makin kusadari bahwa hubungan ini seredup langit di hari senin saat orang-orang sibuk bekerja di jakarta. makin juga tinggi keinginanku untuk melarikan diri. meski tetap saja aku berada di sini, minum air dingin dari botolku yang sudah kamu isi penuh tanpa aku minta kamu melakukannya, berharap bisa memberimu semua hal yang selalu layak kamu terima.
apapun itu—yang bukan cinta.
"hei, ngomong-ngomong," katamu. "lo bisa mandi di sini, jangan di bandara."
"hm?"
"iya, soalnya gue udah beliin lo handuk," kamu terkekeh kecil. "waktu itu, 'kan, lo komplain, tuh, karena nggak ada handuk yang bisa lo pinjem. jadi gue beli baru satu, silakan lo pakai dulu."
saat itu, kembali aku menatapmu lamat-lamat seolah baru menemukan mahluk paling langka sedunia. kemudian, kusadari satu sejak empat jam aku berada di tempat ini;
aku tak lagi ingin pergi.
dekat-dekat bersamamu yang begitu baik,
aku jadi ingin gantung diri.
14 notes
·
View notes
Text
“Kemudian, apa alasamu untuk menikahi anak putriku Nak?”
Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari laki-laki paruh baya yang berada didepanku. Disampingnya, duduk seorang gadis teduh berdandan sederhana, ditemani oleh ibunya yang juga berpakaian rapi ketika itu.
Aku yang sudah sedari tadi berbicara panjang lebar basa basi dengan dua orang paruh baya ini mulai memutar otak untuk menjawab pertanyaan ini dengan baik, tertata dan mengena.
Aku menegakkan punggungku, menghirup nafas dengan rileks, dan merapikan sedikit bajuku yang sudah cukup lusuh karena tebaran angin sore itu.
Disituasi itu, apa yang harus aku lakukan? Kamu sebagai pembaca, apa hal yang bakal kamu lakukan jika kamu berada disituasi itu? Kalau aku, mungkin, aku akan cukup bingung menjawabnya.
Karena, kadang, apa yang kita lakukan sering kali tanpa alasan. Tentang makanan yang kita makan, apakah kita betul memikirkan nutrisinya? Tentang kebiasaan scrolling social media yang kita lakukan setiap hari, apakah kita membatasinya? Tentang mengerjakan tugas sekarang atau nanti, apakah kita memang sudah menghitungnya betul-betul? Sepertinya banyak hal didalam hidup kita yang dilakukan secara otomatis, tanpa sadar.
Tapi untuk ini, aku tak bisa melakukan secara otomatis, aku harus mempunyai alasan. Tapi apa. Aku masih mencarinya.
Aku berhenti sejenak, menghidup nafas cukup dalam dan melepaskannya dengan perlahan. Pikiranku menelusuri ruang perasaan didalam hati, berharap aku bisa menemukan jawaban itu. Aku menyelam kedalam diriku dengan serius, ada hal yang harus aku jawab. Ada seseorang yang membutuhkan jawabannya. Kenapa ya aku memilih dia? Apakah karena cantik? Sepertinya bukan itu poin utamanya. Apakah karena dia pendengar? Iya memang, tapi hatiku berkata bahwa aku mempunyai alasan yang lebih tinggi daripada itu. Apakah karena pekerjaannya? Sebentar-sebentar, sepertinya aku tahu. Oke, aku menemukan alasannya!
“Saya ingin menyelamatkan diriku dan anak keturunanku, Ayah.” Kataku
Sejenak ruangan tamu rumah ini menjadi hening. Suara detikan jam dinding terdengar lebih keras dari sebelumnya. Suara angin dari sebuah kipas di pojok ruangan juga menjadi terdengar lebih kencang. Waktu seperti berhenti ketika itu. Dan nampaknya perempuan itu juga tidak paham dengan apa yang baru saja aku sampaikan.
“Aku kurang paham dengan jawabanmu, bisa tolong jelaskan lebih lanjut?” Kata pria paruh baya itu
Baik, aku menghela nafas lebih dalam, mengatur intonasi dan ritme paragraf-paragraf panjang yang akan aku keluarkan. Tak lupa, aku juga membaca doa untuk memperlancar lisanku, yaitu doa yang sama ketika Nabi Musa diperintah oleh Allah untuk menghadap penguasa Mesir ketika itu .
“Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul 'uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii.”
Paragraf pertama aku buka dengan sebuah teori psikologi
Jadi maksud saya seperti ini, Ayah. Saya selalu percaya, bahwa baik buruknya seseorang sangat bergantung pada lingkungannya. Orang akan menjadi baik jika dia berkumpul dengan orang baik. Dan juga sebaliknya, orang akan menjadi “jahat” jika dia berkumpul dengan orang yang kurang baik. Iman juga seperti itu. Bahkan Rasulullah pun pernah bersabda, bahwa hati manusia itu sangat lemah. Dia harus terus diikat dengan pertemanan yang baik.
Saat ini, dunia sudah tidak seaman dahulu. Banyak orang menganggap bahwa berpacaran adalah hal yang lumrah. Menonton tayangan tidak senonoh juga sepertinya sudah menjadi bagian hidup bagi beberapa orang diluar sana. Bahkan, beberapa waktu yang lalu, banyak anak SMP dan SMA di suatu kabupaten mengajukan pernikahan dini. Bukan karena memang sudah siap menikah, tetapi mereka telah hamil diluar nikah.
Kejadian seperti ini yang membuat saya takut. Bagaimana jika anak saya juga seperti itu. Bagaimana jika pada suatu saat nanti anak saya merengek untuk pergi satu malam bersama pacarnya. Apa jadinya jika dia pergi bersama pacarnya kemudian dengan rela pahanya dipegang-pegang oleh pacarnya dan dia tidak merasa risih sedikitpun. Mungkin terlihat klise, tapi saya benar-benar pernah melihatnya di jalan, dengan kedua mata kepala saya.
Disisi lain, orangtua juga tak kalah berzinanya. Ada isteri yang selingkuh dengan rekan sekantornya karena dia lebih mendengarkan dan menerima apa adanya daripada suaminya. Ada juga suami yang mempunyai hubungan asmara lain dengan asistennya, yang lebih muda, yang lebih cantik, dan yang lebih sering bertemu dikantornya. Bahkan ada juga orang yang sampai sengaja check in di hotel bersama teman sekantor atau asistennya untuk melakukan hubungan haram itu.
Saya takut jika itu akan terjadi di keluarga saya. Saya boleh menerima cobaan apapun, asal jangan cobaan dalam keluarga dan agama. Karena konon itu adalah cobaan yang paling berat di dunia dan jarang ada orang yang bisa melewatinya dengan baik.
Oleh karena itu, saya harus memilih pasangan yang salihah. Orang yang telah menjaga dirinya. Perempuan yang juga telah berkomitmen lama untuk menjaga hawa nafsunya dengan tidak bermesraan dengan seseorang jika belum sah. Dan, aku melihat, bahwa puteri bapak adalah muslimah yang taat.
Saya pernah mendengar dari sahabatnya bahwa dia selalu shalat hajat sebelum tidur, menjaga shalat tahajjudnya seperti dia menjaga barang yang dicintainya, bahkan sahabatnya juga pernah melihat dia tak sengaja tertidur diatas sajadahnya dengan memeluk mushafnya akibat lelah menuntaskan target bacaan hariannya.
Saya mempercayakan hidupku untuk dilengkapi oleh dia.
Saya sangat selektif dalam memilih teman, maka saya juga berhak selektif dalam memilih pasangan.
Orang yang membeli sepatu mungkin hanya menyesal satu atau dua minggu ketika dia memilih barang yang salah. Orang hanya akan kesal selama satu atau dua tahun jika salah memilih pekerjaan. Tapi, soal pasangan, akan seberapa menyesal jika orang telah salah memilih pasangan?
Saya ingin menyelamatkan diri dari lingkungan yang tidak sehat. Saya ingin menyelamatkan anak dan isteriku dari zina yang telah dihiasi sedemikian rupa. Aku, juga ingin memilihkan ibu yang cerdas dan salihah untuk anakku nanti. Itulah satu alasanku untuk memilih dia sebagai pasangan saya.
Satu paragraf gagasanku telah terucap dengan lancar. Aku melihat orang tuanya mengangguk-angguk setuju dengan jawabanku. Hope it will be. Aku menghela nafas sejenak, menyadari ternyata keren juga ya aku bisa mempunyai gagasan yang kuat seperti itu. Ternyata berdebat di kelas tentang teori psikologi ketika S1 ada gunanya juga hari ini.
180 notes
·
View notes
Text
Bunga Di Karang Part I
-Mengenang- Sudah sewindu, tepat bulan ini. Sewindu dari sekian windu, kita bertemu kembali waktu itu. hari ini terkenang saat pertama-tama kita bertemu. lebih tepatnya kau lebih berani dan lebih mencari dari pada aku. disitulah kekuatan cinta dari mu yang sedari dulu tidak pernah aku miliki. namun, soal rasa dan keinginan memiliki aku tidak kalah soal itu. ini kisah 24 tahun yang lalu, aku akan coba mengingatnya, setelah dari 14 tahun kita tidak bertemu. kau harus pergi meninggalkan desa terpencil itu mengikuti keinginan ayah mu, kita bertemu kembali di desa kecil terpencil itu. jauh sebelum itu, kita coba untuk saling menghubungi. namun surat-surat dari mu itu, hanya bisa aku baca tanpa bisa aku balas. pertama, karna tulisan ku cukup jelek untuk membalas surat mu, kedua aku tiada arah untuk bisa menanyakan kepada siapa, cara membalas surat mu. tentu saja surat itu bukan surat cinta, karena berisi pertanyaan kabar dan cerita-ceritamu. aku tak ingat betul tentang surat itu. namun aku ingat betul moment itu. surat ke-2 dan ke-3, karna kemajuan teknologi, kau melampirkan nomor telpon ayahmu, aku membaca dan menyembunyikan. kau tidak sama sekali bertanya kenapa aku tidak membalas surat mu. tapi aku tahu dari surat mu itu, kau tidak sama sekali marah karna tidak ada upaya dan daya membalas suratmu. terlihat kau melampirkan nomor telpon ayah mu, dan barang tentu aku akan menghubungi. pasti pikirmu begitu kan?. Saat itu, telepon selular sangatlah mahal, tidak semua yang bisa memilikinya. saat itu juga, masuklah telpon rumah dan warun telokomunikasi (warte) ke desa terpencil itu. tentu saja dari apa yang kau lampirkan itu, aku berusaha menghubungimu. namun satu hal yang aku tidak ketahui, bahwa biaya nya sangat mahal. Tentu saja, itu bukanlah halangan dan rintangan berarti bagi lelaki berusia belasan tahun. aku menghubungi mu, aku menelepon beberapa kali, namun tahu kah kau? jantung ku berdetak 10X lipat dari biasanya, yang aku baru tahu bahwa kondisi itu disebut, gugup teramat sangat. aku menelepon dan diangkat ayahmu, namun aku tutup kembali telponku. lalu aku ulangi sampai beberapa kali, dan ayahmu mengangkatnya lagi, namun aku tidak berbicara, dan aku mmatikannya untuk menenangkna diriku yang saat itu masih berdetak jantung yang hebat. Sampai, esoknya, aku coba menghubungi kembali, dan satu malam cukup bagiku untuk mengumpulkan kekuatan keberanian berbicara kepada siapapun di balik telepon itu. tentu saja aku menjalankan niat itu sesudah pulang sekolah, waktu itu sekitar jam dua siang. aku kembali menelepon kenomor yang tidak mudah diingat itu. dan tentu saja ayahmu mengangkatnya, berkat kekuatan dan keberanian yang aku kumpulkan satu malam itu, sepatah kata terucap kepada ayahmu. " halo, apakah ada Dyah?,", " halo, ini ayahnya, ia ada apa?", " maaf om, saya temannya dyah, apakah dyah nya ada?", " o, dyah sedang disekolah, saya lagi kerja, nanti telepon balik ya jam 5 sore, setelah sampai dirumah.", " ok, om, ". telepon dimatikan, entah siapa dahulu yang menutupnya. namun yang jelas, jantung ku tidak lagi berdetak 10X lipat, namun berhenti sejenak. seakan mati. Tentu saja, waktu sudah menunjukkan di jam 5 sore, dari halaman jembatan yang aku lalui, langit telah berwarna antara merah dan kuning. aku terpanah melihat langit waktu itu, sekaligus bimbang, apakah aku kembali kerumah mengangkat telepon ku, dan mencoba menelepon ke nomor yang kau sisipkan di surat waktu itu atau terus terpanah melihat langit sore itu. Seperti biasa, aku memilih mejadi pengecut, dan melanjutkan lamunan ku di bawah langit berwarna antara merah dan kuning dini sore itu.
7 notes
·
View notes
Text
Pulang
Aku memutuskan pulang ke rumah, di pelosok yang akses apapun susah. Hidup layaknya orang desa yang bergantung kepada hasil tani.
Dulu saat aku pertama kali pulang dari rantau, tahun 2018, aku masih 23 tahun, baru lulus, emosi nggak stabil dan masih butuh validasi sosial bahwa aku sarjana yang bisa mengubah hidup keluarga.
Sekarang saat aku melakukannya ketiga kali, aku sudah belajar banyak soal pilihan hidup, soal jalan manapun yang kita tempuh adalah baik, selama prosesnya kita tidak mengkhianati hal-hal fundamental dalam hidup. Aku juga sudah tidak memiliki lingkungan yang ingin aku beri kesan, aku tahu apa yang kuinginkan.
Bila harus jujur apa rasanya lebih baik di rumah, tergantung kau mau dengar dari sisi mana. Jika dari akses senang-senang, aneka makanan yang menyenangkan dan tempat estetik, tentu tidak. Aku yang menerapkan lebih banyak mengonsumsi protein dan intermediate fasting setengah tahun belakangan, sekarang kembali ke porsi tiga kali sehari dan kadang hanya pakai sayur daun ubi rebus pakai sambal terasi.
Tapi jika kau bicara tentang kenyamanan lain, aku lupa kapan aku tidur senyenyak sekarang meski udara malam di desaku dinginnya tak bersahabat. Aku terbangun tidak lagi dengan perasaan kosong. Jam 10 malam aku sudah terlelap, pukul 5 aku sudah bangun dengan perasaan yang baik. Aku memasak, aku membereskan rumah, menyiapkan kebutuhan adikku sekolah, kebutuhan ayahku ke sawah, mencuci dan pekerjaan rumah lainnya. Dan aku merasa lebih baik.
Setiap hari aku menemukan satu hal baru untuk aku kerjakan. Selama ini keluargaku di rumah hanya bertiga, ayah, abang dan adek lelakiku. Jadi kalian bisa bayangkan seberapa banyak sudut rumah yang berdebu, perabotan yang sudah lama tidak dibersihkan.
Meski ini bukan pertama kali aku di rumah dan mengurus ketiga lelaki ini, rasanya ini masa di mana aku melakukannya dengan perasaan yang lebih ringan dan menyenangkan. Mungkin, mungkin saja aku sudah sesiap itu jadi ibu rumah tangga yang baik, hehehe.
Tetangga masih saja ada mengeluarkan kata yang tidak menyenangkan, tapi sekarang aku tahu cara membuat mereka paham tanpa harus bersusah payah bersikap menyebalkan untuk membungkam mereka. Toh pada akhirnya mereka juga mampu membuka diri, bahwa hidup ini tak selalu seperti orang lain dan hidup secara ideal sebagaimana perempuan berpendidikan dari desa dengan usia 29 tahun.
Di rumah aku tetap ke sawah, tetap ke kebun, tetap mengerjakan pekerjaan rumah dan tetap menulis. Dibandingkan dengan saat bekerja kepada orang lain, aku merasa masa ini aku mampu menggunakan waktuku sebaik mungkin. Perbedaannya, jika dulu aku bekerja demi memenuhi perut sekarang aku melakukannya dengan sukarela.
Mungkin terlalu dini mengatakan ini sebagai rasa betah dan nyaman, mengingat aku baru dua minggu di rumah. Entah nanti bagaimana, tapi di tempat yang jauh dari hiruk pikuk dunia ini, aku sudah menemukan jalan yang kuinginkan sebagai diri sendiri.
Pedalaman Negeri, 02 Juni 2024
83 notes
·
View notes