#diam dalam bisu
Explore tagged Tumblr posts
Text
Luka...
Banyak orang terluka sebenarnya bukan dari luar tapi dari dalam rumahnya sendiri. Mungkin karna keluarga yg toxic, pikirannya berantakan perasaannya pun porak-poranda.
Yang menjadi makan sehari-hari adalah toxic yang di keluar langsung dari mulut keluarga, keluarga yang hanya menghakimi dirinya tak ada ruang untuk membela diri.
Dia dengan segala kesediaanya di keheningan malam bersama tetasan air mata pada bantal. Air mata mengadukan semua pahit kehidupan pada dzat yg menciptakan di keheningan.
Sungguh berat berada di lingkungan keluarga yg toxic, setiap langkah selalu saja di komentari. Dia wanita malang yang air matanya selalu saja menetes pada saat racun racun itu keluar.
Dia wanita yang tak pernah di apresiasi keberadaannya, sekeder untuk menerima ungkapan terimakasih pun tidak pernah dia rasakan.
Dia wanita yang lemah, yang tak bisa bekerja seperti wanita lainnya, dia di rumah dengan segala kesedihannya.
Dia wanita yang selalu di pandang remeh tak yg bisa diandalkan, selalu dan selalu di remehkan.
Dia wanita yang tidak bisa apa apa, dia selalu saja disalahkan dalam setiap keadaan seolah-olah tak ada kebenaran.
Dia wanita dengan segala kekurangan masih bisa hidup atas izin-Nya, sebenarnya kehidupan dirumah telah membuatnya begitu terluka.
Dia pikir rumah adala tempat ternyaman untuk pulang namun nyata dia malah tersakiti.
Dia wanita dengan segala lukanya. Yang sampai detik ini belum bisa melupa akan lukanya.
Jika hari ini kamu di masih memiliki beberapa wanita entah itu ini, saudara perempuan, adik perempuan atau anak perempuan mu. Maka sayangilah, sungguh beban di pikirannya begitu banyak.
Mereka memang tidak bisa menjadi mesin uang untuk mu, terlebih saudara perempuan mu, dia lemah dengan segala kekurangannya.
Kalimat kalimat merendahkan dan menyakiti itu semua masih bersemayam dalam pikirannya.
Jika kamu kira dia nampak bahagia, kamu salaah besar. Dia tidak seper apa yang kamu pikirkan.
Jangan berpikir yang tidak baik tetanganya, jangan menyakiti perasaannya. Dia itu manusia sama seperti kamu.
Hanya saja dia memilih diam dan menyembunyikan rasa sakitnya.
-keheningan malam, 51124
#diamdalambisu
2 notes
·
View notes
Text
Kala Sore Itu
Ada bisu yang panjang saat kami bertemu lagi. Aku bungkam sebab yang ingin kutanyakan hanya tentang kau dan mungkin dia diam sebab menunggu aku bersuara.
Lembayung yang merekah di garis horizon menambah hening yang semakin panjang.
Aku tak menghitung detiknya bahkan saat langit kota mulai temaram.
"Ternyata bisa ya kita kehilangan dialog padahal sudah lama tidak bertemu."
Aku tersenyum kecil, tidak ingin ingkar bahwa dialog itu tak ingin ada jika kau masih menjadi pertanyaan yang sumbang untuk ditanyakan.
"Kabarnya baik." Dia menjeda lama, "Tapi aku tahu bukan itu yang kamu ingin dengar, kan?"
"Kamu apa kabar?" Ini etika yang mereka puja, bahwa kejujuran tak begitu penting atas nama standar.
"Setidaknya lebih baik setelah kita selesai."
Aku ingin meminta maaf, tapi entah bagaimana aku merasa benar. Rasanya bagian mana saja jika itu tentangmu terasa benar.
"Dia masih sama, mungkin." Aku menyorot matanya yang bersinar layaknya lembayung di ufuk barat. "Masih tak berani untuk menemuimu, masih tak berani untuk mengakui bahwa mungkin hatinya tertinggal di kota ini, dalam genggamanmu."
Seperti seluruh isi perutku diremas, rasanya entahlah. Ada harapan yang menyeruak, rasa senang dan rasa sakit yang teraduk rata.
"Kamu juga kan, terlalu pecundang untuk menemuinya, untuk mengakui bahwa kamu mengkhianatiku sejak dulu dan memilihnya di hatimu."
Aku tersenyum getir, tak memiliki pembelaan apapun.
"Sudahlah, untuk apalagi dibahas, semuanya sudah berlalu."
Aku menunduk dalam, lalu membuang wajah menatap cakrawala.
Iya, semuanya sudah berlalu, kecuali apa yang bergemuruh di hatiku, entah di hatimu.
14.11.2023
105 notes
·
View notes
Text
Seorang remaja belia menemuiku pagi hingga siang tadi. Usianya masih belasan awal. Ia mengenakan seragam sekolah jilbab putih dengan ransel yang terlihat cukup berat. Saat hendak duduk, aku meminta melepaskan tasnya terlebih dahulu, agar dapat duduk lebih lega.
Ia duduk sambil menunduk, hanya sesekali menatapku. Suaranya lirih nyaris tak tedengar. Saat ditanya, responnya pendek-pendek. Bahkan saat diminta membuat cerita dari susunan gambar, ia hanya menyebut satu kata per kartu tanpa merangkai kalimat. Menurut keterangan ibu, anaknya jarang sekali bercerita. Kerap kali masalah yang ia miliki hanya dipendam sendiri.
Ibu bercerita bahwa remaja belia itu adalah anak ketiga dari empat. Keterbatasan ekonomi, minimnya edukasi, juga ketidaksiapan ibu mengurus bayi dengan jarak yang dekat, membuat ibu sempat berusaha meluruhkan si anak di usia kehamilan dua bulan. Ibu menenggak beragam pil dan jejamuan agar si anak tidak berkembang, namun atas izin Allah si anak itu tetap bertahan.
Ternyata, remaja belia itu sudah kuat sejak janin. Maka tak heran ia bisa begitu tegar memendam ragam masalah sendirian. Dalam hening dan diamnya. Saat sesi bersama anak, aku sedikit emosional dan sempat menangis diam-diam. Ia yang tak diharapkan sejak dalam kandungan, apakah mendapatkan kasih sayang yang memadai hingga usia ini? Apa saja yang sudah ia lalui? Apakah dia merasa aman? Bagaimana ia memandang dunia? Bagaimana cara ia bertahan sampai hari ini?
Di akhir sesi, aku sempatkan berbincang dengannya. Ku turunkan posisi dudukku agar sejajar. Saat ku tanya, ia sudah dapat lebih lama menatapku, meski responnya masih tetap terbatas. Bahwa ia pernah mendapatkan perundungan, bahwa ia pernah diolok bisu saking sulitnya berinteraksi dengan temannya. Saat aku tanya perasaannya tentang pengalaman itu, lama ia menatapku lalu lirih menjawab “marah”, “sedih”, “takut”. Ku lihat mata itu berkaca dengan raut wajah yang mendung. Tampak masih berusaha menahan semua sendiri.
Ah, kamu memang sudah kuat bahkan dari janin, duhai belia. Mari jumpa di takdir selanjutnya, untuk mengalirkan rasa-rasa yang kamu pikul sendirian. Sampai hari itu tiba, bertahan ya, yang kuat 🤍
3 notes
·
View notes
Text
Pulang senja, cinta tertunda, Di langit, matahari melambai perpisahan. Jejak langkah merindu di tepian malam, Sajak diam, bercerita tentang hati yang terpendam. Rumah tua berdiri megah di ujung jalan, Seakan menanti cerita-cerita terlupakan. Pintu kayu berderit ketika terbuka, Seolah menyapa kembali kenangan yang terpendam. Dalam ruang penantian senja, Lampu kecil gemerlapan, Menari-nari di dinding, Menyulam rindu yang mengalun pelan. Cinta tertunda, seakan merajut benang merah, Di setiap sudut ruang hati yang sunyi. Kenangan bersama terlukis di sepanjang tembok, Menciptakan mural indah dalam kegelapan. Bunga di halaman tertiup angin senja, Mengusap lembut hati yang gelisah. Pulang senja, membawa pesan bisu, Bahwa cinta yang tertunda, takkan pudar oleh waktu.
#bersuaralewatulisan
8 notes
·
View notes
Text
Masih ada bulan Desember, Sayang.
Kita berada di penghujung tahun. Apa yang selama ini kita harapkan benar - benar tidak kumengerti alurnya. Tentang apa yang kamu tulis dalam buku usang tahun lalu, yang kusimpan dalam lemari kayu yang masih harum wanginya. Sejenak aku berpikir untuk menari didalam benak yang terukir indah didalam sampulnya. Menebarkan kata rindu pada setiap hentakan kaki yang kulambaikan pada waktu yang bergejolak. Terombang ambing dalam perasaan yang tak pernah coba kupahami akannya. Membiarkannya teronggok bisu bersama apa apa yang kupasrahkan. Kita hidup, katamu. Tapi pertanyaan pertanyaan tentang hidup itu sendiri masih sering terlintas memenuhi kepalaku. Dimana aku mendapatkan jawabannya? Diam sajalah, jawabmu. Dan kita terdiam. Benar - benar hening hingga tak ada sesuatupun yang dapat menatap kita berdua. Bahkan untuk sekedar berkedip sekalipun. Hilang? Kau berteriak seakan menolak pernyataan tersebut. Pertanyaanku? Masih ada bulan Desember, sayang. Kau berkata lembut. Merangkulku dengan tenang, mengenyampingkan fakta bahwa kita sedang terdiam dalam hampa tak berkesudahan. Kita benar - benar hidup.
9 notes
·
View notes
Text
RASA SAJAM DALAM PELUPUK MALAM
Keterjatuhan tahta hujan pada romansa didalam kias metafora.
Hujan deras merinai duka dari langit yang mendung;
Siapapun enggan berteduh merundung bingung;
Bersiaplah murung; dipanggil sejuk palsu asmara yang kian berkabung.
Betadine adalah resep mujarab dari rindu yang ter-jerembab ; pelupuk nanar sembab sedangkan sisa malam kian menguap.
Perih adalah musafir yang tak asing dalam rindu; sedangkan goresan luka yang khas adalah pertanda.
hanya temu muka dalam dialog senja; atau telinga yang mengiang sebuah nada; resep tabib istimewa yang melahir harap sembuh semula.
Tuli adalah kisah yang bias ; tuna-runggu adalah diksi bius majas.
Bisu adalah bahasa sansekerta; yang diartikan tuna runggu yang buta aksara.
Aku bicara, kau dan telingamu memilih Kudeta.
Bipolar Sukma bergeriliya dalam Jarah dialektika.
aku adalah gangguan mental; dan kau adalah obat Influenza; kita yang berarti jelas ! tak pernah bisa jadi apa - apa.
Matamu bagaikan nikotin yang terbakar bara;
Melepas phobia beputar liar bak biang lala.
Ku dapati candumu dalam sorot mata yang insomnia.
Duka bercerita pada airmata yang tumpah dengan segera; diam tanpa kata; merundung pilu romansa yang sedang drama.
Bukankah jelas tertera pada akhirnya,
Perjalanan itu menghantar sesuatu yang fatamorgana; cinta yang melepas rasa ; luka yang meng-genapi cerita; dan kehilangan adalah penutup paling manis di sebuah alenia.
Tertanda,
AKU, PENULIS YANG MATI DALAM TULISANNYA SENDIRI.
- D911 x Pardesela 🌙
4 notes
·
View notes
Text
HALUSINASI
Aku masih mencintaimu dalam diam, dalam senyap dan bisu
Mencintaimu secara egois tanpa memandang tempat dan waktu
Tanpa tahu diri, tak peduli dengan urat malu
Aku masih mencintaimu, masih rindu sampai aku jadi abu.
Masih terbayang semua kemungkinan itu
Senyumanmu yang melekung karena candaan konyolku
Genggaman tangan imutmu saat menonton film terbaru
Pelukanmu saat keliling Ibukota untuk menembus malam minggu
Aku tenggelam dalam angan tentang kita, tentang aku dan kamu
Walaupun semua itu tidak nyata, hanya berputar dalam kepalaku
Tentang hubungan kita mungkin diselingi dengan luka dan liku
Namun kupastikan kamu bahagia jika kamu menjadi milikku.
#sajak#patah hati#puisi#rindu#sajakliar#curhat#sajakcinta#cinta#halusinasi#puisi sedih#puisi cinta#jakarta#puisihati#sajak puisi#sajak sedih#sajaksesak#sajak patah#sajak rindu#rakunmusang#puisi rindu#tentang rindu#hts#sesak
6 notes
·
View notes
Text
Cross the Line
•••
Tama terbangun dengan badan yang cukup sakit, apalagi di bagian pantat, pinggang dan punggungnya. Tubuhnya berada di atas tubuh seseorang yang juga memeluknya. Memorinya memutar apa yang terjadi beberapa jam lalu.
“Anjing! Fuck!” Bisik dirinya pada dirinya sendiri ketika ingat apa yang terjadi.
Abraham seorang Enigma yang sedang rut. Dan dirinya lah yang menjadi teman rut Abraham. Dirinya menyerahkan seluruh tubuhnya pada Abraham.
Hanya Tama yang tahu berapa banyak makian yang ia ucapkan untuk dirinya sendiri karena apa yang terjadi sore itu.
Tama hampir menangis karena merasa malu dan gagal menjadi seorang Alpha. Tama melihat sekeliling, sadar jika orang yang memeluknya itu Abraham. Abraham juga menjadi bantal sekaligus guling untuk dirinya. Abraham wangi, feromonnya berbeda dari yang tadi. Feromon Abraham sekarang menenangkan. Rasanya Tama ingin berada dekat lebih lama di dekat Abraham. Rasa sedih dan kagetnya tadi sedikit berkurang setelah menghirup feromon Abraham cukup lama.
“Udah bangun?” Terdengar suara Abraham. Tama tidak bisa melihat wajah Abraham dengan jelas, karena hari sudah gelap dan tidak ada cahaya sedikit pun disini. Tama menoleh pada Abraham, tidak sadar jika posisinya kini masih memeluk tubuh Abraham. Tubuhnya enggan bergerak untuk menjauh.
Tama tidak menjawab pertanyaan Abraham.
“Gue mau minta maaf karena tiba-tiba jadi kayak gini.” Kata Abraham lagi. Tama masih tidak menggubris Abraham. “Gue punya dua kabar buat lo. Kabar buruk dan kabar baik. Mau denger yang mana dulu?”
Tama masih tidak menggubris Abraham. Abraham paham apa yang dirasakan Alpha itu. Pasti dirinya shock dan masih mencerna apa yang sedang terjadi. Dalam hati Abraham masih ada sedikit rasa senang karena Tama belum mau mengubah posisi tidurnya. Hospital bed ini menjadi saksi bisu hubungannya dengan Tama.
“Gue sampein kabar baik dulu, ya. Kabar baiknya rut gue bisa gue tahan untuk sementara karena gue minum obat tadi. Jadi, sekarang udah agak tenang.”
Tama masih diam.
“Dan sebelum gue sampein kabar buruknya, gue mau minta maaf lagi sama lo. Ini bener-bener diluar kendali gue. Rut gue harusnya itu 3 hari lagi, tapi malah keluar sekarang karena tadi gue cium aroma feromon lo yang kuat banget. Bener-bener bikin gue mabuk kepayang, Tam. Tapi tanpa sadar malah bikin gue rut dan Enigma gue keluar.”
Abraham memijat batang hidungnya karena terlalu pusing untuk menerima kenyataan. “Maaf banget, Tam. Tadi Enigma gue beneran ngontrol diri gue sepenuhnya dan gue knotting lo.”
‘Deg!’ Jantung Tama lepas ke perut mendengar kabar buruk yang diberikan Abraham.
“Maksud lo…? Selain tadi we had sex, lo juga bikin gue hamil? Aje? Lo boong, kan? Jangan bercanda, anjing! Gak lucu!” Akhirnya Tama mengeluarkan suaranya. Tama marah tapi tidak memiliki tenaga untuk mengeluarkan amarahnya. Air matanya malah mengalir.
“Iya. Sorry. Tama. Ada kemungkinan lo bisa hamil. I am so so sorry. Gue gak bisa kontrol Enigma gue karena dia selalu ingin lo, selalu mau lo. Jadi pas kebetulan gue rut dan ada lo, semua lepas kendali. Gue sama Enigma gue gak bisa kontrol lagi. Kita, terlalu ingin lo, Tama. Lo… terlalu cantik dan wangi.” Abraham kini berkata jujur. Tidak tahu apa respon dari Tama.
“Gue mau pulang.” Kata Tama. Terlalu pusing untuk menerima semuanya dalam satu waktu. Tama menghapus air matanya, menyembunyikan tangisannya dari Abraham. Padahal sebenarnya Tama ingin menghajar Abraham sampai babak belur, tapi hatinya juga ingin menangis hingga meraung dalam pelukan Abraham.
“Oke. Gue anter lo pulang. Tapi lo bangun dulu.” Kata Abraham pada Tama.
“Gue terlalu lemes buat bangun.” Cicit Tama.
“Yaudah, wait. Gue gendong lo.” Abraham langsung menarik tangannya yang dijadikan Tama bantal selama ia tidur tadi. Untungnya tadi Abraham sempat sadar setelah melakukan knot pada Tama. Buru-buru Abraham minum obatnya dan membersihkan dirinya juga membersihkan tubuh Tama yang penuh dengan peluh dan cairan dirinya.
Ego Tama sebenarnya ingin memberontak ketika Abraham mulai menggendongnya tapi, pikiran dan hati kecilnya malah ingin digendong dan selalu dimanjakan Abraham. Tama mengutuk dirinya sendirinya lagi di dalam hati.
‘Kenapa jadi gini, sih?’
“Gue pake motor gak apa-apa ya? Ntar lo pegangan gue aja, biar gak jatoh. Maaf tadi kayaknya gue agak kasar makanya lo bisa lemes kayak gini.” Kata Abraham ketika menuruni tangga. Pipi Tama panas mendengar perkataan Abraham.
Tama harusnya berat. Dirinya Alpha. Tapi kenapa Abraham menggendongnya tanpa beban, seperti menggendong kapas? Abraham yang menggendongnya dengan cara bridal benar-benar membuat Tama terpana. Tama memperhatikan wajah Abraham. Garis wajah Abraham keras, sorot matanya tajam tapi ketika menatap Tama berubah jadi penuh kehangatan, bibirnya yang kecil dan berwarna merah muda sangat menggoda untuk Tama sentuh juga cium. Abraham sangat tampan dan rupawan. Membuat Tama tanpa sadar menyandarkan kepalanya pada dada Abraham dan memejamkan mata, menikmati waktunya berdua bersama Abraham.
Abraham melihat Tama yang berubah menjadi kucing dalam gendongannya. Tersenyum ketika Alpha itu diam dan menurut pada semua perkataannya. Hati Abraham ingin teriak. Kebahagiaannya sangat membuncah. Nanti, ketika semua sudah lebih baik, Abraham berjanji pada dirinya akan berlari ke arah Tama dan menciumnya tanpa henti. Sekarang, Abraham harus sabar menunggu untuk Tama menerima dan mengerti apa yang terjadi antara dirinya dan Abraham.
•••
Sorry for any mistakes and typos.
8 notes
·
View notes
Text
Tentang Laut dan Pantai
Kau tau, ku rasa pantai itu begitu sabar.. ketika gemuruh kuat ombak laut datang menghadang bibir pantai untuk menyampaikan pesan rahasianya. Pantai dengan rela menerima kedatangannya meski riuh ombak laut selalu datang dan pergi seenaknya.
Kau tau.. ku rasa pantai selalu kagum dengan laut yang gelombangnya begitu kuat namun bisa tetap tenang dengannya. Kadang badai mencekam menghadangnya, namun ia selalu tabah melaluinya dan berdamai dengannya.
Kau tau.. ku rasa pantai selalu rela mencintai luasnya lautan. Kurasa karena ia terlalu sering menyimpan semuanya terlalu lama, menjadi saksi bisu pagi yang berganti menjadi malam.
Kau tau.. ku rasa pantai ingin memeluk laut saat malam semakin dingin, namun ia terlanjur sadar bahwa tangannya tak sebesar tangan laut yang mampu menampung segalanya.
Kau tau.. ku rasa pantai selalu mencintai apa adanya lautan dalam diam, ia mengangumi lautan dari kejauhan. Ketika malam datang, birunya yang indah pudar menjadi kelam. Namun Ketika bulan datang, ia melihat lautan bersinar, dan kemudian menyadari, lautan selalu hangat dengan caranya yang agung dan selalu patuh pada pada titah pencipta-Nya sampai kapanpun.
7 notes
·
View notes
Text
Senyum meneduhkan
Dua hari yang lalu, dibalik pagar yang menjadi saksi bisu betapa bahagianya aku menerima senyuman dari seorang anak, kurang lebih berumur 10 tahun. Setelah melewati hari-hari yang cukup membuatku sedih belakangan ini.
Saat itu aku prepare pulang ke rumah dengan wajah tertutup masker dan helm di kepala yang masih terbuka, sedang memgambil jaket di bagasi motor. Dari jauh aku sudah melihat anak laki-laki ini berjalan di koridor exit tersebut. Tepat saat aku menutup bagasi motor anak itu sudah berada di depanku. Anak yang tadinya kulihat berjalan dengan diam, menoleh dan melebarkan bibirnya 5 cm memperlihatkan deretan gigi yang cukup rapi kepadaku. Kejadian tersebut rasanya hanya berlangsung 5 detik, tapi aku tetap membalas senyumannya dari balik masker. Entah anak itu memperhatikan atau tidak karena ia terus berjalan.
Rasanya aneh saja mendapatkan senyuman lebih dulu dari orang lain, terlebih ini dari anak kecil loh. Karena hal tersebut (menyapa dengan senyuman) sering kulakukan kepada orang-orang yang berseliweran di Rumah Sakit tempatku bekerja. Baik kepada rekan kerja yang beda ruangan dan kepada keluarga atau kerabat pasien yang sedang dirawat. Bahkan kepada orang yang tidak ku kenal sekalipun selama mereka berpapasan denganku di koridor RS.
Hal tersebut mengusik pikiranku yang mengeluarkan motor dari parkiran. "Ah, apa yang diajarkan orangtuanya sampai anak ini bersikap ramah kepada orang lain " atau aku saja yang merasa hal itu luar biasa wkwkwk.
Di posisi motor sudah menyala dan menghadap ke gerbang keluar rumah sakit, aku mendengar teriakan anak perempuan dari arah koridor exit memanggil anak laki-laki tersebut yang sudah tiba di depan gerbang rumah sakit. Adiknya mungkin karena mereka terlihat akrab saat sudah bertemu.
Aku singgah sebentar menyapa anak laki-laki tersebut. Ia sedang berjongkok dekat tembok pintu gerbang yang dijadikannya tempat berteduh dari sinar matahari yang buatku sangat panas siang itu. Menanyakan siapa yang sedang ia tunggu,
Anak itu menjawab , " Tunggu Bapak"
"Dek tunggunya di dalam saja atau di warung situ" tunjukku ke arah warung makan depan rumah sakit sambil tetap menjalankan motor perlahan.
Namun anak itu sepertinya asyik bermain bersama anak perempuan yang berdiri menatapnya melakukan sesuatu di lantai semen pintu gerbang RS . Akhirnya aku berlalu dengan perasaan bahagia tentunya.
Semoga si adik dan keluarga senantiasa Allah beri kesehatan dan kalau ada keluarganya yang sedang di rawat, Allah beri kesembuhan.
SELALU ADA BAHAGIA YANG DATANG SETELAH HARI-HARI YANG PENUH DENGAN KESEDIHAN. JANGAN PERNAH MEREMEHKAN ARTI SEBUAH SENYUMAN,SEBAB ITU ADALAH SEDEKAH.BOLEH JADI SANGAT BERARTI BAGI SESEORANG
#introvert#story#story telling#story journey life#perjalananmenujubahagia#bookstagram#share story bercerita tausiah#selfreminder#quoteoftheday#tausiah#nasehat#Tumblr
5 notes
·
View notes
Text
Aku, Kamu, Rasa (3)
/1/
"Saya akan berjalan kearah kamu, jika jawaban kamu iya, maka tahan saya dan kamu harus turun terlebih dahulu dari kapal ini. Tapi kalau jawaban kamu tidak, maka biarkan saya melewatimu dan turun terlebih dahulu dari kapal ini."
Aku mengulang memori itu. Dua tahun yang lalu kalimat itu pernah aku ucapkan, disini, dermaga yang sama selepas kapal pinnisi yang kita tumpangi menepi. Hari itu aku menahanmu yang akan turun terlebih dahulu menuju dermaga, keberanian yang aku dapatkan karena kalah taruhan.
Seolah terulang, hari itu terjadi lagi. Bedanya tak ada lagi taruhan. Dan kalimat itu lagi-lagi menjadi milikku.
Jika dulu kau tersenyum dan tertawa-tawa kecil mendengar pengakuanku, kali ini kau bisu. Jika dulu teman teman kita sibuk bersuit ria, kali ini mereka juga diam dalam cengangan.
Perlahan aku berjalan, mendekat. Setelah satu senyum yang aku layangkan, aku berlalu melewatimu.
Selangkah demi selangkah aku lewati. Dulu rasanya terasa ringan, aku bahkan tak bisa merasakan adanya kerisauan. Mungkin karena setelah kalimat itu aku katakan semua teman-teman kita beradu mendahuluiku, atau karena hari itu aku belum sempurna memiliki rasa.
Tapi kali ini berbeda, ada harapan yang aku selipkan dalam setiap langkah. Ada doa yang aku lapalkan seiring daratan yang semakin mendekat. Aku tak berani menoleh ke belakang, tak ingin kecewa terlalu cepat. Hingga tanpa aku sadari hanya sedikit lagi untuk aku sampai ke daratan.
Aku menelan kecewa, bukankah seperti ini akhirnya. Dulu juga begitu. Kau tak pernah mendahuluiku.
Tapi, pada langkah terakhir aku terhenti, seseorang menahanku.
Kau melewatiku. Melangkah terlebih dahulu pada pijakan dermaga, lalu kau berbalik, menatapku.
"Jika bisa berjalan bersama, kenapa kita harus saling mendahului?"
-----
/2/
Hujan kali ini menyisakan aku. Berdiri kosong memandangmu yang semakin mengabur. Diantara rintikan hujan yang melepas rindunya pada bumi. Juga diantara mimpi kita yang kau biarkan melebur dengan tetesannya.
Aku benci menyadari kini tinggal aku yang memandangmu jauh, berlalu dari hadapanku dan meninggalkan aku yang masih bisu. Ingin aku gapai tanganmu yang pernah mengenggamku dengan hangatnya, tapi yang terjadi aku hanya kaku, tak mampu membayangkan jika besok akan datang hari tanpamu.
Aku hancur, serasa dunia semakin kelabu. Tanpamu, bagaimana duniaku?
Dan hari esok itu datang, menyapaku dengan hangatnya mentari pagi. Sekuat mungkin aku tahan diri untuk tidak meraih gawai, hanya agar tak datang rasa kecewa menempati hatiku yang porak-poranda, menyadari tak ada lagi cerita pagimu disana. Tapi dua puluh lima detik kemudian, tangan ini tak sepakat dengan pikiran, ia dengan lincah meraih gawai lalu menekan tombol obrolan berharap menemukan pesan 'selamat pagi' darimu, layaknya hari yang lalu.
Kecewa itu datang, menamparku dengan kuatnya. Kenyataan kau benar-benar pergi, dan tak lagi menjadi pagi yang selalu aku nanti.
Dan waktu terus berputar, tak peduli aku yang ingin mengulang.
Kini tinggal aku, menapaki hari yang akan datang tanpa senyummu. Meski ragu akan hati di keesokan hari, tapi aku tahu waktu tak sudi memutar lagi, meski aku ingin agar kita tetap seperti kemarin.
Perlahan tapi pasti aku tersadar, kau tak akan ada lagi, aku tahu, aku harus tetap berjalan, melupakan kisah kita yang pernah indah. Membiarkan hidupku kembali utuh, seperti hari-hari yang pernah aku lewati sebelum kau merengkuh tangisku.
Aku tahu tak akan mudah, butuh berjuta doa, beribu keyakinan tapi harus aku lakukan. Bisa saja besok aku kembali lupa, bahwa kata 'kita' telah tiada dan aku akan kembali menyapa pagimu seperti biasa. Maka anggaplah itu bagian aku yang salah, karena tak ada yang mudah, begitu juga menjadikan kita tiada..
-----
/3/
Senyap. Aku tahu semuanya sudah tak lagi sama. Kau juga telah aku tutup selama ingatanku yang kuingin menghilang. Tapi, pertemuan kita kembali menghadirkan aroma lama. Seperti ekstasi yang sudah lama tak dijamah. Kau hadir dan kembali mengacak-acak yang sudah aku tata rapi bertahun lamanya.
Aku tahu apa yang kini kurasa. Kau masih si sosok yang menempati satu ruang yang kupaksa hilang. Dan begitu kau kembali ruang itu mulai berontak, ingin hidup kembali. Meski logikaku masih tak ingin.
"Apa kabar?" pertanyaan itu, kurasa kita tak pernah cocok untuk mengatakan hal seformal itu. Tapi itu terjadi, kau yang melakukannya. Sempurna sudah aku menjadi asing bagimu.
Haruskah aku menjawab? Aku baik-baik saja. Iya, aku baik-baik saja. Tapi itu hingga beberapa jam yang lalu. Sebelum akhirnya kau kembali menjadi pusat semestaku. Dan aku tersedot hanya dengan mata pekatmu.
Atau aku harus mengatakan bagaimana aku tak baik-baik saja. Menulang beribu kesibukan hanya agar aku semakin kuat, tepatnya terlihat kuat, semenjak kau pergi meninggalkan jejak yang terlarang untuk aku jejaki. Dan sekarang kau sukses menghancurkannya hanya dengan sekali tatap, bahkan tanpa senyum, tanpa tawa, bagian darimu yang paling aku suka.
"Aku sehat." itu satu-satunya jawaban yang aku miliki. Secara harfiah aku sehat, sangat sehat. Aku tak memiliki penyakit apapun. Tapi, jika berdetak untukmu sekali lagi juga menginginkanmu sekali lagi adalah penyakit, maka aku adalah orang yang paling sakit detik ini.
"Aku rindu." aku tak tahu jika pikirku menyeruakan itu. Tapi, tunggu. Sungguh, aku tak menyuarakannya. Darimana kalimat itu datang?
Aku menatapmu. Kau tersenyum. Senyum itu, senyum yang aku puja selalu, dulu, juga kini, bisa jadi selamanya.
"Aku rindu kamu. Sangat. Amat." Kau mengucapkannya.
Jelas. Sangat. Amat.
Aku tahu rasanya saat dunia berhenti. Itu seperti sekarang. Semestaku menjadi utuh. Persetan dengan pertahanan bertahun, dengan hatiku yang pernah tercabik, dengan airmataku yang nyaris habis. Jika kesempatan itu ada aku tak akan melepas.
Cukup.
Biarkan egoisku menang kali ini saja. Biarkan ruangku yang kau singgahi kembali hidup. Biarkan harapku bermekar ria. Kali ini saja, biarkan aku menjadi yang paling rakus. Aku menginginkanmu, lagi.
"Aku juga, rindu."
SELESAI
29 notes
·
View notes
Text
Laki-laki itu berujar,
"Hanya karena aku diam,
bukan berarti aku berhenti menjadikanmu tujuan
Pada pesan-pesan, aku bisu.
Pada doa-doa, aku riuh.
Kalau memang dalam diam kita bisa terhindar dari kemaksiatan, mengapa tidak?
Walau nanti akan ada risiko kehilangan dari cinta dalam diam, aku rela. Sebab berarti, Allah yang akan pilihkan sendiri jodoh untuk menemani sisa perjalanan ini.
Adakah yang lebih indah daripada pilihan Allah?”
ziyaadah-17/09/2023
4 notes
·
View notes
Text
A Beautiful Word - Long Version
Pairing: Sukuna x fem!reader
Warnings: 18+, muteness, manipulation, emotional manipulation, possesive!Sukuna, soft!Sukuna (in last few chapters), size kink, angst, fluff, rape/non-con, post-traumatic stress disorder - PTSD, anxiety, past abuse, lost of virginity.
Written in Indonesia
Summary:
Hidupmu sangat menyedihkan. Sepanjang kamu hidup kamu menderita kecacatan. Tidak cukup sampai disitu, kamu juga menjadi korban siksaan orang tuamu. Sepanjang kamu bernafas, kamu tidak pernah merasakan cinta, kamu hanya merasakan kebencian. Sampai akhirnya kamu dibuang, hidupmu dikorbankan untuk menjadi persembahan seorang iblis penghancur, Ryomen Sukuna.
Chapter One
- Heian era
Tidak pernah terbayangkan olehmu.
Bahwa kamu akan menjadi persembahan untuk Sukuna. Menjadi persembahan seorang iblis.
Bahkan setelah orang tuamu menyiksa dirimu sepanjang kamu hidup, secara verbal maupun fisik. Setelah orang orang mencemooh dan menatapmu dengan jijik. Setelah tuhan memberikanmu musibah dengan cara kau menderita kebisuan.
Itu semua tidak berhenti sampai kamu dijadikan persembahan untuk Sukuna.
Untuk diberikan hidupmu kepadanya, kamu pun kini dirias sedemikian rupa, menjadi seorang pribadi yang tidak pernah kamu kenali.
Dalam keberangkatanmu dari desa menuju kediamannya, kamu sempat bertanya tanya mengapa orang orang desa memilihmu untuk menjadi persembahan Sukuna. Padahal jelas, banyak wanita sebayamu yang jauh lebih cantik dan menawan, juga tentu, tidak bisu. Yah, bukankah Sukuna akan menyukai sesuatu yang terbaik?
Tapi kemudian melihat ayahmu yang bersinar dengan sekantung koin emas di tangannya dan desas desus yang sebelumnya kamu dengar bahwa dibutuhkan seorang perawan dengan usia sekitar 18 tahun, menguatkan prasangkamu bahwa kamu dipersembahkan untuk Sukuna, tidak lebih karena kamu telah dijual orang tuamu.
Betapa aibnya dirimu sampai orang tuamu sendiri menjualmu kepada sesosok iblis penghancur, mengorbankan dirimu untuk sekantung koin emas yang hanya akan habis dipakai ayahmu selingkuh dan berjudi, atau ibumu membeli minuman.
Sepanjang perjalanan kamu pun menenangkan dirimu, agar tidak terisak dan menangisi hidupmu yang malang.
—
Dari awal kamu menginjakkan kaki ke dalam istana ini, kamu sudah merasakan atmosfer yang mencekam, yang mampu membuatmu tak memikirkan sepatah kata apapun di dalam otakmu. Aroma musk yang menggelitik rongga hidung memenuhi paru parumu. Sampai tatapan tajam yang menembus seluruh lapisan tebal kimono milikmu, membuatmu merasa gelisah dan tidak nyaman.
"Sebuah persembahan?"
Seorang pelayan yang tadi menuntunmu menuju Sukuna mengangguk.
Sukuna tertawa mengejek, "seorang gadis ... tak berdaya."
Kamu sudah menyangkanya, ah tidak, bahkan itu cemooh yang biasa kamu dapatkan sehari hari bukan? Tidak masalah. Kamu sudah biasa mendengarnya.
"Ya gadis, jadi siapa namamu?"
Y/N
Ingin sekali kamu menjawabnya meskipun kamu yakin akan menyuarakannya dengan suara yang bergetar, namun kamu sendiri tau, bahwa kamu tidak bisa melakukannya. Kamu tidak bisa berbicara. Kamu hanya bisa diam dan terus menunduk.
Sekitar tiga puluh detik berlalu, kamu merasakan suhu di areamu memanas. Kamu baru saja hendak mendongkak yang bersamaan dengan itu sepasang tangan mencengkram wajahmu, memaksa mata cokelatmu melihat padanya.
Pertama kalinya kamu melihat rupa Sukuna secara langsung, seorang lelaki yang memiliki rambut merah muda cerah dengan potongan rambutnya dibiarkan mengarah ke belakang, tato tato hitamnya membuat pola di sepanjang wajahnya dan tubuhnya.
Tubuhnya, begitu besar dan kamu tampak tidak apa apanya dibanding dengan dirinya.
"Apakah kamu tidak bisa berbicara sehingga tidak menjawab pertanyaanku?"
Kamu mengangguk dengan pelan.
Sukuna mengerutkan dahinya.
"Sepertinya dia memang bisu, tuan." Pelayan itu memberi tau.
Sukuna melihat dirimu dengan tatapan sinisnya, kemudian ia menyeringai.
"Oh, benar benar gadis yang tidak berdaya."
Lalu kemudian kamu merasakan dorongan kuat yang mendorong tubuhmu, hingga tubuhmu menubruk lantai dengan keras. Itu menyakitkan bahkan mungkin akan meninggalkan lebam di beberapa bagian kulitmu.
Di saat kamu masih merasakan sakit yang mendera tubuhmu, tiba tiba saja Sukuna mengukung tubuhmu di bawah tubuhnya, membuatmu benar benar terkejut sekaligus gemetar.
Tangan dengan jari jari dan kuku panjangnya merayap di sekitar tubuhmu hingga berakhir di lehermu, kamu akan selalu mengingat ini, mengingat seringainya sebelum ia mencekik lehermu. Menyempitkan oksigen yang masuk, sehingga saat ini tubuhmu sedang kekurangan oksigen.
Sebagaimana seharusnya, kamu memiliki insting untuk bertahan hidup, menepuk lengan kuatnya dengan lemah lalu mencoba untuk berteriak.
Kamu berusaha dan berusaha. Hingga satu pikiran menembus otakmu.
Untuk apa berusaha hidup di dunia yang kejam ini?
Mungkin dengan cekikan yang Sukuna lakukan ini akan menghantarkan dirimu kepada akhir penderitaan hidupmu. Setelah ini mungkin kamu bisa melupakan penderitaan di masa lalumu dan mungkin sekarang, penderitaanmu sebagai persembahan Sukuna.
Kamu akan rela untuk menyerahkan hidupmu, jika semua penderitaanmu berakhir.
Kamu pun mulai berhenti untuk menepuk lengannya yang berada di lehermu dan berhenti berteriak, kamu hanya mencoba lemas dan memejamkan mata.
Dan secara tidak terduga, Sukuna melepaskan cekikannya pada lehermu. Seketika kamu pun terbatuk karena reflek dari tubuhmu yang membutuhkan oksigen.
"Tidak berdaya dan tidak berguna bagiku. Apakah kamu sebegitu putus asanya hingga rela kubunuh?"
Hembusan nafas yang memburu terasa hangat di leher jenjangmu, dengan mata yang agak memburam karena air matamu berkumpul, kamu melihat nyala api murka dari wajahnya.
"Lalu kamu pikir aku akan memberikannya? Tidak. Kamu tidak menyenangkanku, kamu membuatku semakin marah dan aku tidak akan pernah memberimu keinginanmu."
Lalu kemudian Sukuna bangkit, berjalan menjauh, meninggalkanmu yang kusut dan berantakan.
To next chapter: Chapter Two
7 notes
·
View notes
Text
Suara Kehilangan
Ingin sekali kutanyakan pada seseorang yang telah menikah, bagaimana rasanya dicintai dengan akad.
Karna sampai sekarang aku belum mampu merasakannya.
Selama ini hanya mencintai dalam diam🙍.
Sakit, tapi itu terbaik, bagi sebagian orang terutama pada penduduk berjiwa introvet.
Lebih baik dari pada sebuah penolakan yang nantinya akan terjadi.
Maafkan aku yang tak pernah berterus terang.
Maafkan aku harus berpura-pura menjadi teman terbaikmu demi kepentinganku.
Kini kabar baik itu telah sampai pada sayap telingaku.
Menjadi topik utama dalam perbincangan monolog dihatiku
Dari seseorang yang pernah menginginkanmu.
Doa terbaikku untuk hari bahagiamu dan ucapan selamat untuk perempuan yang telah mampu meyakini mu untuk hidup bersamanya
Yang kuingat dari sekian kata bijak tentang cinta, “kalau cinta jangan terlalu banyak memilih, dan menikalah dengan yang sekufu denganmu”. Yang kutangkap, dalam imaji ku ialah terlalu kuat dapat bersanding denganmu. Hapalan alquran ku yang masih berantakan kini membuatku malu jika terlalu berharap akan disandingkan denganmu. Aku yakin seburuk-buruknya wanita pasti dia ingin dibimbing oleh laki-laki baik dan sholeh sebaliknya sejahat-jahatnya laki laki pasti menginginkan wanita yang baik dan sholeha untuk jadi ibu buat anak anaknya.
Tapi dalam alquran laki-laki yang baik buat perempuan yang baik dan perempuan-perempuan yang baik untuk laki laki yang baik pula, semuanya seimbang setara, yups! tuhan memang maha adil. Akhirnya aku tau rasanya kehilangan sebuah harapan yang pernah paling aku harapkan, Ternyata waktu serta keadaan dan takdir tak kunjung sejalan dengan setiap harapan.
Melepaskan dan mengiklaskan adalah cara terbaik untuk membiarkannya pergi dan bahagia dengan sendirinya meski bukan denganku.. Wahai jiwa yang sedang dalam penantian teruslah berjalan dalam rute kebaikan, karna cara terbaik dalam menjemput jodoh adalah dengan terus menerus berbuat baik dengan mengharap ridho kepada pemilik ar rahman.
Diatas meja udah kusiapkan berbagai macam cemilan yang sudah tersusun rapi disebelah kiri laptopku. sebelum akhirnya aku bertempur dengan data-data yang harus kurapikan. Untuk persentase besok dikantor.
Dering notifikasi di handphone mengalihkan sejenak perhatianku, ternyata pesan itu dari raju
Raju: * undangan Pernikahan *
Assalamu’alaykum Warahmatullaahi Wabarakaatuh
bismillahirrahmaanirrahiim
Rasa syukur kami mengalun merdu, karna Allah menjadikan dua hati berpadu, dalam ikatan suci pernikahan yang syahdu, semoga menuju ridho Allah langkah kami melaju.
Maha besar Allah yang berkehendak menghimpun dua hati, dalam ikatan suci pernikahan, semoga Allah berkahi usaha kami menuju jannah dan ridho illahi
Dengan segala kerendahan hati dan tanpa mengurangi rasa hormat, kami mengundang Bapak/ibu, saudara/I sekalian untuk hadir memberikan doa terbaik, pada acara pernikahan kami:
Muhammad Raju Khali Pratama & Haura Ulya Utami
Yang insyaallah dilaksanakan pada sabtu, 7 januari 2020
Tempat, Jl. Cemara perumahan surya blok m no 9
----------------------
Merupakan suatu kehormatan bagi kami apabila bapak/ibu, saudara/I berkenan hadir dan mendoakan keberkahan bagi pernikahan ini.
Kami yang berbahagia,
Raju dan ulya
Degup jantungku sesaat rasanya berhenti, dadaku juga begitu sesak berulang kali aku terus berucap lahauwla wala quata illabillah sambil terus tanganku mengelus dadaku, perasaanku juga tidak teratur, kucoba berdamai pada kondisiku saat itu kuatur posisi untuk bisa lebih baik, berputar balik keatas kasur dengan meluruskan kakiku sambil kusandarkan tubuhku pada dinding bisu itu.
ingin sekali rasanya kubalas pesannya dengan beragam pertanyaan siapa ulya itu? dari mana kamu kenalnya? lulusan mana dia? Asal mana dia? Sekarang apa kegiatannya? apa yang membuatmu memilihnya. Ah ingin sekali rasanya aku mengintrogasinya batin ku. Tepok jidat sadar ra lu itu bukan siap-siapa dihatinya raju bahkan ruang untukmu saja itu tidak ada. Berhentilah berharap pada sesuatu yang tak akan mungkin jadi milikmu perasaanku terus saja melakukan monolog-monolog dalam hatiku.
Raju: semoga bisa ikut mendoakan kelancaran acara kami ya ra.
hampir 20 menit baru kubalas pesan raju,
Me: barakallahu laka wa Baraka alayka, wa jama’a baynakuma fi khairin…” amiin samawa ya
Raju; semoga ikutan menyusul ya.
Balasnya dengan tambahan emoticon ketawa untuk mencairkan suasana malam itu, tapi bagiku itu sudah tidak berlaku.
KAU TAHU, HAKIKAT CINTA ADALAH MELEPASKAN. Semakin sejati ia, semakin tulus, kau melepaskannya. PERCAYALAH, JIKA MEMANG ITU CINTA SEJATIMU, TIDAK PEDULI ARAL MELINTANG, IA AKAN KEMBALI SENDIRI PADAMU, banyak sekali pecinta di dunia ini yang melupakan kebijaksanaan sesederhana itu. Malah sebaliknya berbual bilang cinta, namun dia menggenggamnya era-erat. ( about love tere liye).
Aku masi membatu dikasur saat itu, chocolate panas yang sudah kusediakan sedari sejam yang lalu telah dingin, enggan lagi rasanya mulutku mendenguknya. Perasaanku masih tak beraturan, kulayangkan pesan pada rima saat itu
Me : aku patah hati, raju menikah ma,
Rima: seriusss,
Dengan ekspersi terkejut dari kejauhan pasti benakku
Kukirim undangan raju seketika itu pada rima Padahal jika aku boleh menuntut belum genap sebulan lalu dia ingin memintaku untuk mencarikan wanita yang sudah siap menikah dengannya. Perasaanku juga masih belum bisa menerima “yaa Allah kumohon tenangkan jiwaku atas segala ketetapan yang telah kau tentukan, pasti lebih baik bukan batinku. Kumulai menscroll ulang percakapan kami di wa saat itu.
Kukirim undangan raju seketika itu pada rima Padahal jika aku boleh menuntut belum genap sebulan lalu dia ingin memintaku untuk mencarikan wanita yang sudah siap menikah. Perasaanku juga masih belum bisa menerima “yaa Allah kumohon tenangkan jiwaku atas segala ketetapan yang telah kau tentukan, pasti lebih baik bukan? batinku. Kumulai menscroll ulang percakapan kami di wa saat itu.
Raju: ra boleh aku minta tolong
Dengan emoticon tertawa selalu begitu.
Me: tentu jika bisa akan kubantu balasku ramah
Raju: kalau kawanmu atau kenalan atau apalah…cewek, siap nikah, ibadah nikah diutamakan dari pada materi, kasih tau aku ya…
Me : untuk kau?
Tanyaku antusias saat itu, ada rasa yang tak bisaku deskripsikan pada kenyataan, rasanya aku ingin jadi pahlawan untuknya mencarikan seseorang yang begitu sempurna untuknya agar dia bahagia, disisi lain hatiku menolak, ingin rasanya aku ucap saat itu, “aku wanitanya. Tepok jidat seketika hal yang tak mungkin kulakukan, aku ingin diminta kesediaannya untuk menjadi pelengkap separuh agamanya bukan menawarkan diri. Aku ingin merasakan bagaimana dicintai jika tidak bisa aku tak ingin memaksakan yang bukan menjadi ranaku biarlah tuhan yang langsung bercampur tangan. Aku tak sanggup.
Raju: hahah iya kenapa ra, kok jadi kaget gitu
Huh diamah kagak paham kalau yang jauh disana aku sudah setengah mati nahan degup jantung yang mau lompat ini.
Me: masyaallah semoga niat baikmu didengar tuhan ya dan semoga disegerakan
Kau nyari yang gimana? Syarat-syaratnya, harus becadarkah?
Raju: hahah, kalau gak ada juga gak papa. Iya kalau bisa yang shalihah kalau gak, juga gak papa asal mau dibimbing ke yang baik.
Spontan aku yang dikejauhan berantakan banget perasaannya sungguh! kalau boleh jujur aku mau bilang “ aku wanitanya gimana haha monolog yang menyebalkan. Aku kembali pada layar persegi itu, mengingat waktu sudah pukul 00.00 tapi aku bersikukuh untuk tidak tidur. Menyelesaikan yang sempat tertunda sebelumnya. Aku berusaha untuk meyakinkan diriku sendiri dan mendamaikannya. Tidak boleh terlalu memaksakan dan berambisi. Sementara untuk cinta itu sendiri dia tidak pernah bersalah. Akan bersatu atau tidak semesta lebih paham rumusnya tugas kita hanya menerima bila nanti berjodoh jika tidak berjodoh kau hanya bertugas untuk berlapang dada itu saja. Simpelkan tapi sungguh menyesesakkan dada kalau mengalaminya.
5 notes
·
View notes
Text
Kita memilih bisu karena bukan karena kita kehilangan suara.
Kita memilih bisu sebab suara itu tak pernah sampai ke hati mereka.
Ya, hati mereka yang telah ditutupi oleh kebencian terhadap diri.
Suaramu tak akan didengarkan. Tak pernah mau didengarkan.
Sebising apapun teriakanmu, sang pembenci tidak peduli itu.
Belajarlah sejenak untuk membisu. Telisik dalam ke hati. Perbaiki diri dengan perbaikan yang penuh arti.
Karena jika diam dan sunyi sudah menjadi sahabat baik dalam diri. Suaramu akan di dengar. Bukan suara dari lisan tapi suara dari kebaikan hati.
Setiap orang punya hak untuk berubah, meski dunia bekerjasama untuk membencinya.
Raga awalnya akan letih dan tertatih. Namun dari luka-luka itu lah terbentuknya jati diri.
Melangkahlah dan tersenyumlah di depan wajah-wajah yang pernah mengacuhkanmu hingga wajah itu tertunduk malu.
Selalu ada kesempatan untuk menjadi baik.
Kalau manusia tak mau mendampingi langkah baikmu. Tetap yakinkan diri bahwa ada Allah yang senantiasa menerima dirimu kembali.
2/365 | 15 Februari 2022
10.33 PM
2 notes
·
View notes
Text
Duka
Bunyi monitor yang tidak pernah berhenti di suatu sudut ruang dalam rumah sakit tempatku berjaga, seperti nyanyian yang lekat di telinga. Rasanya aku hidup bak zombie, lingkaran mata ini diam bersaksi, dari pagi menjelang esok sore hari ,bertotal 33 jam yang esok siklus itu harus ku ulang kembali. Kala itu, aku hanya seorang dokter muda yang sedang merayakan patah hati, perasaanku menjadi lebih sensitif dari biasanya, tapi rasa lelah ini tidak mengizinkanku memberi ruang cukup memvalidasinya. Di saat aku meratapi nasib bertanya-tanya mengapa hidup terasa tidak adil, Tuhan memelukku lembut. Menjadikan pasien yang sedang kurawat sebagai pengingatku, membuatku malu.
Ya, di dalam ruang intensif anak tepat dimana anak-anak dengan kasus berat dan perlu observasi ketat dirawat. Tugasku memeriksa tiap mereka sejam sekali. Aku menghampiri seorang anak usia balita, dalam kondisi tidak sadar dengan perdarahan kepala akibat kekurangan vitamin K. Ibunya tak pernah melepas tangan mungil itu, tak berhentinya ia menangis, sungguh tidak bisa terbayangkan betapa pilu hatinya. Aku memeriksa tanda-tanda vital anak itu, sampai aku memeriksa bagian kepalanya. Aku mendengar bisik-bisik lirih sang ibu, “Nak bangun yaaa, kalau ibu bisa menggantikan posisi sungguh nak ibu bersedia.” Sejenak menyeka air matanya sebentar, “Nak, nanti kita ke lapangan yaaa, ibu belikan berapapun bola yang kamu mau, kita lari sampai kamu lelah. Ibu mohon bangun yaaa. Apa jadinya hidup ibu tanpa kamu.” Tanpa sadar air mataku luruh begitu saja, cepat-cepat ku seka dan kutahan sekuat tenaga. “Dokter tidak boleh menangis di depan atau bersama pasien.” suatu doktrin yang telah lekat di kepalaku itu muncul seketika. Aku menegakkan badan, sambil mengelus adiknya kusampaikan “Yang sabar ya bu.” Kalimat paling dasar yang sudah begitu khatam beliau dengar, sungguh tak terbayang betapa berat hatinya menanggung nestapa melihat anaknya bergantung pada alat bantu hidup. Tamparan lembut yang membuautku tersadar bahwa patah hati ini tak ada apa-apanya.
Tiap sudut rumah sakit menjadi saksi bisu doa-doa yang begitu tulus, segala peratapan atas sakit yang diderita, berisikan pengharapan pada sang Kuasa. Waktuku kecil, aku tidak pernah tahu bahwa salah satu bagian terberat menjadi seorang dokter adalah mengantar kepergian. Masih kuingat jelas tiap-tiap isak tangis yang begitu pilu dan segala teriakan saat mereka yang masih hidup belum mampu menerima realita. Betapa erat pelukan terakhir itu, betapa lemas badan mereka saat mendengar diumumkannya “Innalillahi.”, atau betapa lantang teriakan dengan nada penuh duka dan amarah, namun juga tak kurang yang bertabah, menjadikan dirinya tegar meskipun badannya bergemetar. Aku menyaksikan tiap-tiap fase kedukaan yang memilukan. Bukan kami tidak boleh menangis, hanya kami dituntut untuk berpikir tetap logis dan realistis bagaimanapun kondisinya, tak jarang aku dan temanku diam bersembunyi menyeka air mata kami.
Untuk pasien-pasien kami yang telah pergi dalam masa perjuangannya,
untuk pasien-pasien kami yang menjadi guru dan memberikan pelajaran berharga.
Semoga Tuhan mengampuni dosa mereka,
sungguh kami menjadi saksi atas penderitaan yang mereka lewati.
5 notes
·
View notes