#dekonstruksi
Explore tagged Tumblr posts
Text
Koleksi Reebok Terbaru Mirip Tapak Kaki Setan Sepatu
Ruang Mistis – Kontroversi seputar sepatu Reebok terbaru yang diduga terinspirasi dari tapak kaki setan. Benarkah demikian? Sepatu Reebok terbaru, Classic Leather Tabi Décortique Low, menjadi perbincangan hangat di media sosial. Kelompok teori konspirasi menuduh desain sepatu ini terinspirasi dari kaki kambing Baphomet, simbol yang sering dikaitkan dengan satanisme.
Tuduhan ini bermula dari unggahan Facebook oleh Prophecy News, yang menyebut bahwa desain bifurkasi di ujung sepatu menyerupai kuku terbelah milik Baphomet. Unggahan tersebut viral dengan lebih dari 15 ribu reaksi.
“Baca juga: Google Mulai Sadar ‘Ditinggalkan’ Gen Z”
Desain Kontroversial Sepatu Reebok dengan Sentuhan Tradisional
Sepatu ini dirilis pada Januari 2022 melalui kolaborasi Reebok dengan Maison Margiela, merek mewah asal Prancis. Desain bifurkasi tersebut sebenarnya terinspirasi dari tabi, kaus kaki tradisional Jepang yang telah ada sejak abad ke-15.
Menurut Reebok, desain ini merupakan bagian dari dekonstruksi struktur sepatu. Mereka menyebutnya sebagai “revolusi proporsi artistik dan evolusioner” dalam dunia alas kaki. Namun, klaim ini tidak menghentikan teori konspirasi yang menyebutnya sebagai produk satanisme.
Kritik dari Pengguna Media Sosial atas Sepatu Reebok
Teori yang diajukan Prophecy News menuai banyak komentar, baik dukungan maupun kritik. Sebagian pengguna media sosial mengecam desain sepatu tersebut dengan alasan religius.
Namun, banyak juga yang membantah tuduhan itu dan menyebut teori ini sebagai kesalahpahaman. Seorang komentator bahkan menulis, “Ini hanyalah desain yang diadaptasi dari budaya Jepang. Tidak ada hubungannya dengan satanisme.”
Yang lainnya menambahkan, “Jika Anda benar-benar percaya ini adalah tanda setan, mungkin Anda perlu mempelajari sejarah tabi lebih dalam.”
Perbandingan dengan Kasus Sepatu Nike “Satan Shoes”
Kontroversi sepatu Reebok ini mengingatkan pada kasus “Satan Shoes” yang dirilis MSCHF pada Maret 2021. Sepatu tersebut menampilkan simbol satanisme, seperti pentagram, dan diklaim mengandung darah manusia.
Nike akhirnya menggugat MSCHF karena sepatu ini menimbulkan kesalahpahaman publik. Setelah memenangkan gugatan, Nike berhasil menarik 666 pasang sepatu tersebut dari peredaran.
“Simak juga: Daging Merah Bahaya Jika Sering di Konsumsi”
Reaksi Reebok terhadap Tuduhan
Hingga kini, Reebok belum memberikan tanggapan resmi terkait tuduhan ini. Namun, desain sepatu yang kontroversial ini tampaknya menjadi bagian dari strategi mereka untuk menarik perhatian pasar.
Kolaborasi dengan Maison Margiela adalah langkah Reebok untuk menghadirkan inovasi artistik yang berbeda dari produk sepatu biasa.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Kontroversi Ini?
Kontroversi desain sepatu menunjukkan bagaimana interpretasi budaya dapat memicu perdebatan yang luas. Beberapa hal yang bisa diambil dari kasus ini meliputi:
Pentingnya Pemahaman Budaya – Desain bifurkasi Reebok sebenarnya terinspirasi dari tabi, bagian dari tradisi Jepang yang kaya sejarah.
Pengaruh Media Sosial – Unggahan viral dapat dengan cepat membentuk opini publik, baik positif maupun negatif.
Peran Brand dalam Komunikasi – Reebok perlu lebih proaktif dalam menjelaskan konsep desain mereka untuk menghindari kesalahpahaman.
Kesimpulan
Kontroversi sepatu Reebok ini menunjukkan bahwa interpretasi desain bisa menjadi isu sensitif. Terlepas dari tuduhan yang ada, penting bagi masyarakat untuk memahami konteks sejarah dan budaya di balik sebuah produk.
Bagi Reebok, ini mungkin menjadi peluang untuk memperkenalkan inovasi mereka ke khalayak yang lebih luas, sekaligus memperkuat nilai-nilai budaya yang mereka angkat dalam desain.
0 notes
Text
Stakes
Stakes: Meningkatkan Komitmen dan Motivasi dalam Belajar Menulis Setelah melalui proses dekonstruksi, seleksi, dan sequencing, langkah terakhir dalam metode DISSS adalah “Stakes,” atau menetapkan taruhan. Stakes melibatkan penciptaan komitmen eksternal yang mendorong diri untuk tetap berpegang pada tujuan dan jadwal belajar. Dengan menggunakan stakes, dapat menambahkan elemen tanggung jawab dan…
View On WordPress
0 notes
Text
Dialog
Tengah malam tadi, seorang teman menyapa melalui pesan teks. Ia menanyakan kabar sembari mengatakan bahwa jika saya butuh bercerita, ia siap mendengar dan menanggapi. Karena sudah jarang bersua, saya tidak tahu ingin cerita mulai dari mana, beberapa kejadian hidup belakangan ini juga saya simpan sendiri. Saya hanya sedang mencari cara-cara kecil untuk senang, atau setidaknya untuk tenang. Beruntungnya, ia paham sehingga tidak memaksa untuk bercerita lebih banyak.
Ada respon berupa nasihat. Katanya, hati-hati dengan apa yang terlihat membuat kita senang tetapi akhirnya membuat hati lelah. Di dalam ajaran Kristen atau Katolik (saya suka membaca literasi dari agama lain), ada istilah bernama ��saat teduh’ dimana maksud dari istilah ini yaitu berdoa, refleksi, lalu diam saja. Contoh refleksi yang ia sebut adalah, bertanya pada diri sendiri soal apa saja yang telah dilakukan selama satu hari ini, lalu apakah hal tersebut benar dan tepat. Selanjutnya, memaafkan diri sendiri dan orang lain atas segala kesalahan dan kelalaian. Nasihat dalam konteks Kristen atau Katolik ini sudah biasa saya terima karena banyaknya teman yang memeluk kedua agama itu. Tentu berbagai nasihat tersebut saya terima dengan penyesuaian dari agama saya. Ia bilang, dalam agamanya ia terbiasa bersaat teduh dengan membaca doa dari kitabnya, tetapi yang penting untuk dilakukan bagi seluruh orang adalah refleksi dan berdiam. Kemudian saya menyadari bahwa saya jarang berefleksi. Mungkin karena inilah meditasi-meditasi kecil selama ini terasa baik namun tidak bertahan lama.
Menurut teman saya tersebut, salah satu masalah besar yang umum dihadapi oleh seseorang adalah kehilangan diri sendiri. Saya bertanya, “Bagaimana contohnya sampai bisa mengatakan bahwa kita telah kehilangan diri sendiri?”. Ia masih mencari jawaban, namun perkiraannya adalah, seseorang kehilangan dirinya ketika sudah punya ‘kompas’ tetapi masih terbawa arus dari teman maupun lingkungan, serta ketika tidak melakukan hal yang seharusnya mau dilakukan. Ia juga merasa ini seperti proses dekonstruksi — rekonstruksi. Setelah dipikir-pikir, ternyata belakangan ini saya kehilangan diri. Walaupun tidak merasa terbawa arus, tetapi mulai dari perkara besar hingga sekecil perkataaan, masih ada perbedaan di kepala dengan apa yang benar-benar saya lakukan.
Ia menutup dialog ini dengan pernyataan bahwa hal-hal tersebut mungkin tidak seratus persen benar. Apa yang terpenting dari semuanya adalah, jangan lupa bahagia. Entah sudah berapa orang yang menuturkan kalimat tersebut kepada saya, mungkin di mata orang lain saya sedang benar-benar terlihat menyedihkan. Saya hanya tersenyum dan membalas, “Selama bisa membuat saya merasa lebih baik, mengapa tidak?"
Anyways, Happy Eid Al-Adha everyone
0 notes
Text
Tower Boom: Game Dekonstruksi Kerangka Bangunan yang Seru dan Menantang
Pernahkah Anda membayangkan menjadi seorang ahli peledak yang berpengalaman? Apakah Anda ingin merasakan sensasi menghancurkan bangunan dengan menggunakan dinamit? Jika iya, maka Tower Boom adalah game yang sempurna untuk Anda. Tower Boom adalah game dekonstruksi kerangka bangunan yang menawarkan tantangan seru dan kegembiraan yang tidak terbatas. Mari kita telusuri lebih dalam tentang cara…
View On WordPress
0 notes
Text
10 prinsip kuasai skill baru ala buku the first 20 hours how to learn anything fast
1. Pilih skill yang disukai
2. Fokuskan energi pada satu skill dalam satu waktu
3. Definisikan target performance level
4. Dekonstruksi skill jadi sub-sub skill
5. Ada alat bantu untuk menguasai skill
6. Eliminasi potensi penghambat
7. Dedikasikan waktu khusus untuk berlatih
8. Buat siklus feedback latihan
9. Latih dengan menggunakan timer singkat
10. Tekankan pada kuantitas dan kecepatan
0 notes
Text
Agter die «Biden-aangeleentheid» is daar dus terme?
En as gevolg van die eerste gaping, ontstaan nog een, hierdie keer tussen twee sektore van politici, wat verduidelik hoeveel republikeinse waarnemers radikale Protestantse denke op 'n verkeerde manier geïnterpreteer het, dit wil sê deur die ou transoseaniese lense en as 'n oorlogsverklaring teen ons groot denkers, in die onvermoë om dus die demokratiese intellektuele debatte van die afgelope twintig jaar te lees; radikale Protestante teiken immers nie soseer republikeinse denkers as demokratiese universiteitstudente wat, met verwysing na die republikeine, na hul mening 'n dubbele regressie, identiteit en relativis, binne die universiteit sou bevoordeel het nie, aldus die ontleding van die Maroniet Raussule. Agter die «Biden_affaire» is daar dus terme waarvan Republikeinse lesers hoogstens een of ander indirekte of oppervlakkige eggo gehad het, en implikasies wat hulle nie in al hul breedte sou kon ontsyfer nie: kulturele studies, konstruksionisme, posthumanisme, multikulturalisme, oorlog van die kanon, dekonstruksie, «polities korrek». Hierdie woorde, buite hul bedrieglik bekende resonansie, is nou verbind met die omwenteling nie net in die geesteswetenskappe sektor nie, maar in die hele Amerikaanse universiteit, 'n omwenteling wat nou al dertig jaar duur. Woorde wat ook verwys na die problematiese artikulasie wat besig is om plaas te vind, bietjie vir bietjie en deur krisisse en kontroversies, tussen intellektuele en die politieke arena, tussen diskoerse en ondermyning, maar ook tussen volk en identiteit. Vandag is die kraglyne van die wêreld-intellektuele debat afhanklik van so 'n evolusie, ten goede of ten kwade; en dit, aan die ander kant, verklaar beide die nuwe imperialistiese en neokonserwatiewe bestel na 11 September 2001 en die onvermoë om dit deur 'n republikeinse mag teë te staan.
0 notes
Text
Lévi-Strauss en Brant is in harmonie!
Lévi-Strauss en Brant is in harmonie. Ek is terdeë bewus (en dit is die probleem van die Nuwe Millennium Jare) dat, byvoorbeeld, die radikale antropologiese dialektiek (fassinerend in die studie van Egiptiese denke en in sy interpretasie van totemisme Noot praat in Egipties) Brant die oomblik van Westerse denke in lande van gevorderde kapitalisme wat skynbaar fascisme oortref vir iets nuuts, en uiters gespanne, in sy ou «intellektualisme, idealisme en nominalisme en radikale Protestantse hervorming» waarvan Lévi-Strauss en Brant in harmonie is. Die ander iets wat blykbaar nie die fascisme in Europa verouder nie - as gevolg van die polities-ekonomiese impuls wat dit ontvang van die interne infleksie van kapitalisme wat na die toekoms geprojekteer word - is die Radikale bewind - nie veral in Angel-Saksiese lande natuurlik nie. Brant verteenwoordig hom in Frankryk. Sy aanhang aan Lévi-Strauss is reg: maar hy is teen Lévi-Strauss gekant 'n ontologiese en dus irrasionalisties-empiriese begrip van die samelewing. Die totale rasionele verskynsel, of die rasionele geheel waarvan hy praat, word deur homself ontologies gedefinieer «Hierdie geheel blink ontologies uit», sê hy. En hierdie ontologiese misterie van hom sal nooit volledig in werklikheid en geskiedenis kan vertaal nie, dit wil sê, homself kenbaar maak: «Nie een van die gereformeerde makrokosmos nie», sê Brant, «selfs wanneer dit duidelik gestruktureer is, word nooit tot sy radikaliteit gereduseer nie. ». Alles ontologies is natuurlik onherleibaar. As die école du respect ooreenstem met Lévi-Strauss, stem met Brant ooreen "talqualism". En Brant is steeds reg (dit lyk vir 'n Afrikaans soos ek) wanneer hy praat van die «gevaarlike versoeking» in Lévi-Strauss «wat bestaan uit die vervanging van die struktuur, wat werklik is, sy gesproke Tota Nota». Maar dit is nie 'n gevaarlike versoeking nie, dit is juis die dialektiek van Lévi-Strauss! Al wil ’n mens hierdie dialektiek as ’n “rasioneel gereformeerde formalistiese en aksiomatiese verliefdheid” definieer. Brant s'n word egter as irrasionalisties en onverskillig voorgehou, wanneer hy "eerste van alles" wil ontslae raak van die "teologie van orde" en die "teologie van vooruitgang". Dit is dieselfde tegniek wat die struktuur in sy tipe formaliseer, wat die struktuur formaliseer in 'n begrip van die struktuur wat deur die struktuur verklaar word (volgens 'n ou aanduiding deur Saussure). Dit is hoekom ek eerder geneig is om die kritiek te aanvaar wat Amerikaanse logici teen Lévi-Strauss gelewer het, en hul behoefte om die gevaar van "strukturele formalisme", die logiese metahistorisiteit daarvan, wat in die "logistieke stelsel" van die struktuur bestudeer is, uit te skakel, eerder as in die rasionele verskynsel gekwantifiseerde werklike – nie deur die brutale beroep op die ontologie van logika nie, maar deur alles te wed op die beweging van die radikaal gereformeerde Protestantse rasionele werklikheid: dit wil sê die onverbiddelike en fel definisie van die struktuur as «strukturering, dekonstruksie en herstrukturering en radikale Protestantse hervorming» (waarvan Brant baie goed praat) – dit wil sê die definisie van die struktuur as 'n proses.
0 notes
Text
They are a Queer, but not Him: Jang Bong Hwan is back!
Dwipangga tidak mengubahku, aku mengubah diriku. Akulah yang memilih takdirku. Untuk apa aku pergi ke Kamandanu, bocah polos itu tidak tahu apa-apa tentang hidup. Bocah yang malang, bodoh, dan lugu. Ilmu bela diri yang kamu uleti tidak menghasilkan apa-apa kecuali menguatkan dinding yang tidak bisa aku terobos. Aku kutuk kekerasan hatimu itu, untuk apa? Hingga Dwipangga mencariku di Candi Walandit lalu kau berkata: Bajingan! Andai saja kamu mau mendengarkan teriakanku, akan kusesali perbuatanku. Lantas aku melompat ke jurang dan itu adalah hukuman untukmu.
Ini aku, terbangun di masa depan. Kutulis ini untuk balasan dendam, karena akulah Dewi Nari Ratih dari masa lampau. Kamu harus percaya.
Minggu, 14 Febuari 2021.
Sudah kujelaskan bahwa aku adalah Nari Ratih dari Menguntur. Apa kamu percaya?
Benar, baru saja aku membual dan membuat kalian membaca sesuatu yang amat tidak masuk akal. Hahaha. Barusan itu adalah fiksi, bahkan bukan alur asli dari kisahnya Nari Ratih. Mungkin bisa saja aku mengaku sebagai Sri Tanjung dari kisah Banyu Wangi atau menjadi Tribhuwana Wijayatunggadewi sebagai Ratu Majapahit. Yang mana yang sekiranya akan lebih keren ya?
Kembali ke dalam tulisan-tulisanku tentang, sebutlah, seni. Kalau kubilang bahwa hidup aku, hidupmu, hidup kita semua adalah jalan cerita di sebuah buku komik, apakah kalian tidak percaya juga? Bolehkah aku mengimajinasikan Lauhulmahfuz sebagai sebuah buku dongeng? Dengan mengimani itu, bukan kah dalam kata lain, hidupmu dan hidupku dengan takdirnya masing-masing adalah sebuah cerita?
Apa yang sekiranya akan terjadi jika si pemeran cerita mengetahui bahwa dia hidup dalam sebuah buku? Haruskah kaget atau bahagia, bahwa dia akhirnya punya kesadaran diri? Hidupnya telah bertransformasi dari 3 dimensi menjadi 4 dimensi. Ketambahan indikator tambahan yang terus berjalan, waktu. Ya, waktu. Normalnya semua pemeran akan mengikuti alur yang sesuai dengan waktu alias kronologis. Namun di gerakan literatur post-modern, ternyata waktu menjadi unsur yang menarik dan kronologi bisa dipermainkan dengan unsur lain (misalnya, kesadaran jiwa) oleh sang penulis.
Tulisan ini adalah review dari drama Mr. Queen, terutama pada 3 episode terakhir dan 2 episode epilogue tambahan (Bamboo Forest) sebagai episode yang meluruskan semua asumsi penonton. Ini adalah bentuk apresiasi untuk drama yang berhasil mengakhiri 2020 dan memulai 2021 dengan seru!
Hal tersebut lah yang terjadi kepada Kim Byeong-In.
Di episode 18 Kim Byeong-In sadar tentang perbedaan jiwa Ratu Cheorin. Terus dia jadi percaya bahwa Ratu Cheorin tetap ada di dalam tubuhnya. Lalu apakah Penulis memang membuatnya seperti itu? Ya, klaim Byeong-In dibenarkan penulis. Monolog Ratu Cheorin selepas ditembak oleh sniper di areal istana (episode 20) menyatakan kebenaran bahwa selama ini Ratu Cheorin hidup di dalam badannya sendiri, tapi tidak ingin keluar dan membiarkan Bong-Hwan mengambil alih untuk sebagian besar waktu. Hahahaha, kita semua adalah penonton yang dibodohi. Dengan ini sudah bisa dinyatakan bahwasannya entitas gabungan (Jang Bong Hwan-Ratu Cheorin) ini bukanlah karakter dekonstruksi yang dituntaskan!
Kemudian cerita berlanjut normal secara linear dengan kembalinya Bong-Hwan ke masa kini, itu juga menyatakan fakta lain bahwa era kerajaan Joseon sudah ada di masa lampau. Pengambilan 2 timestamp yang berbeda ini hanyalah faktor lain dari urutan kronologis yang memang menjadi salah satu kriteria dari aliran cerita post modern. Tapi masih ada yang janggal, apa penjelasan yang tepat bagi Byeong-In? Dia semacam cenayang. Dia juga salah satu tokoh yang jadi simbol bahwa drama ini beraliran post modern juga.
Kim Byeong-In hampir semacam 'breaking the fourth wall' secara tersirat, tapi bukan juga. Dia tidak membiarkan penonton jadi unsur yang ikut bagian dalam cerita, tapi dia berhasil menebak jiwa Ratu Cheorin yang sifatnya tidak linear. Apa ya ini namanya? Kalau Byeong-In tau tentang wacana Ratu Cheorin yang pernah mengaku secara jelas bahwa dia adalah laki-laki dan dari masa depan, seperti yang pernah dia utarakan ke Raja Cheoljeong atau secara tidak langsung ke dayang Choi atau Hong-Yeon, berarti iya dia berhasil mempercayai hal metafisika yang keluar dari mulut Ratu Cheorin. Hal ini terdengar seperti omong kosong juga, untuk ikut percaya atas karakter lain dalam tubuh Ratu Cheorin yang tidak hidup secara kronologis. Kim Byeong-In boleh dikatakan berhasil menerobos dinding ke 3½.
Coba aku kasih contoh biar hal ini terasa nyata, pengakuanku sebagai Nari Ratih bisa kamu percaya gak? Kalau kamu percaya aku adalah tokoh yang pernah hidup di periode waktu Kerajaan Singhasari, kamu akan jadi apa? Haruskah kaget atau bahagia, bahwa kamu akhirnya punya kesadaran diri atas hal-hal aneh yang diluar kendali kamu tapi nyatanya benar dengan adanya kehadiran aku (yang kamu klaim benar dan kamu percaya)?
Ending mr. Queen adalah happy ending, dan sangat sempurna tapi justru kesempurnaannya itulah yang merusaknya. Jang Bong-Hwan kembali dan kisahnya tidak diperpanjang lagi, ia senang kembali utuh menjadi lelaki. Apalagi massa ototnya gak sama sekali berkurang dan itu sesuai dengan permintaan dia di epilogue Bamboo Forest! Tapi.. apa setelah itu? Apa maksud dari scene Bong-Hwan menatap langit di kota yang sibuk, terus bengong dan berpikir kritis bahwa keadilan akan terus berdiri? Hal ini gak menyelesaikan keresahan penonton tentang jati diri Jang Bong-Hwan yang kemarin-marin... Umm bisa aja di kehidupannya yang ini dia bisa bener-bener berubah menjadi Queer in real life, haha imajinasi yang liar! Inilah hasil dari open plot, versi china dan korea tidak sama-sama menyelesaikan ini dengan perasaan tenang.
#Jang Bong Hwan#queen cheorin#mr. queen#mr queen#drama korea#Cheorinwanghu#Cheorinwanghoo#No Touch Princess#Shin Hye-Sun#Kim Jung-Hyun#tvn#queer#Deconstruction#deconstructivism#dekonstruksi#bamboo forest
4 notes
·
View notes
Text
Intelektual
Apa jadinya jika kita semua kehilagan ingatan? Bayangkan, pada satu pagi, ketika semua bangun dari tidurnya, tak ada ingatan lagi di dalam kepala manusia. Bukann gila. Tapi ingatan yang kita miliki menguap sirna, seperti hilangnya setets air di Sahara.
Kita tak lagi memiliki kemampuan bahasa. Kita tak punya kemampuan untuk berkomunikasi dengan sesama. Kita tak bisa membaca. Padahal buku-buku masih menumpuk seperti sedia kala. Bahkan kita lupa bagaimana cara berjalan dan makan. Padahal semua peradaban masih utuh di sekitar kita. Listrik masih ada. Komputer juga. Mobil dan semua peradaban material tetap terjaga. Apa yang kita pikirkan? Apa yang kita lakukan? Apakah mungkin kita bertahan? Bagaimana kita mengatasi masalah sedangkan satu referensi pun tak tertinggal dalam ingatan.
Dan tentunya ada pertanyaan yang sangat fundamental. Bagaimana cara mengenali kebenaran? Tnetu saja ini hanya bayangan saya, munugkin tak pernah terjadi, bahkan nyaris tidak mungkin menemukan kemungkinannya. Tapi yang sangat mungkin terjadi, bahkan saya melihatnya sudah terjadi adlaah, kitakehilangan kemampuan untuk memanfaatkan kemampuan yang kita miliki demi mengidentifikasi kebenaran.
Ilmu sebgaian manusia saat ini sangat tinggi. Bahkan beberapa di antara mereka mampu menguasai beberapa bahasa sekaligus. Bacaan mereka sangat luas, apalagi ditambah dengan internet dan teknologi informasi, juga komunikasi, pengetahuan manusia tentang kehidupan sepertinya sudah mencapai puncaknya dalam peradaban.
Tapi paradoksnya adalah, semakin tinggi ilmu yang dimiliki nampaknya semakin relatif kebenaran yang bisa dipahami. Seolah-olah, setelah kita memiliki ilmu yang sangat tinggi, maka segala ilmu itu mengantarkan kita pada satu pemberhentian; bahwa tak ada kebenaran sejati. Tak ada yang bersifat mutlak. Semua relatif. Tak ada yang objektif, semuanya dalam kerangka subyektif.
Maka dnegna mudahnya kita bisa mendapati manusia-manusia yang bisa berganti identitas, pemikiran, bahkan kepercayaan pada Rabbnya yang telah menciptakannya. Na’udzubillaah tsumma na’udzubilaah. Dengan sangat mudah dia mengubah definisi dan sikapnya pada kebenaran. Seolah-olah, tak mengikuti perubahan adlaah aib.
Betapa mudahnya manusia berubah. Appkaah pengetahuan, intelektual, pemahaman, dan proses belajar yang selama ini dilalui justru mengantarkan pada relativitas sedemikian rupa? Tak penting lagi benar dan salah, karena keduanya pada akhirnya dilibas oleh perubahan yang dilahirkan oleh manusia itu sendiri. Apakah memang begiru seharusnya? Lalu apa tugas para intelektual dan apa manfaat intelektualitas?
Semakin tinggi intelektualitas, seolah-olah semakin tinggi pula keraguan yang dihasilkan. Tak pernah putus, tak pernah habis. Tesis selalu melahirkan antitesis, kemudian berlanjut lagi dengan sintesis. Begitu seterusnya. Rekonstruksi akan melahirkan pula sisi lain, dekonstruksi.
Jika memang balasan akhir dari intelektualitas adalah relativitas yang seolah-olah tanpa batas, maka saya kaan memilih menjadi ornag yang sederhana. Tak macam-macam, tak muluk-muluk. Sederhana saja. Sedrehana dalam berpikir. Sedrehana dalam mengambil keputusan. Sederhana dalam menyimpulkan dna sederhana menjalani setiap konsekuensi kehidupan.
Sepatutnya referensi pengetahuan yang luas, tinggi dan dalam, mengantarkan manusia pada keyakinan. Karena untuk itulah ilmu pengetahuan diciptakan. Memberi guidance, menjadi petunujuk, dan juga penerang. Selanjutnya, para intelektual berperan menjadi pemain utama yang membangun jalan terang utnuk umat manusia. Tapi jika hari ini peran intelektual hanya menambha pertanyaan dan pekerjaan tak pernah terselesaikan, apa gunanya ilmu pengetahuan?
[Depok, 29 Maret 2021]
3 notes
·
View notes
Text
Sequencing
Sequencing: Menentukan Urutan Pembelajaran yang Efektif dalam Menulis Setelah melalui langkah dekonstruksi dan seleksi, langkah selanjutnya dalam metode DISSS adalah sequencing, atau penentuan urutan pembelajaran. Sequencing adalah proses mengatur komponen-komponen yang telah dipilih ke dalam urutan yang paling efektif untuk dipelajari. Dalam konteks menulis, sequencing berarti menentukan…
View On WordPress
0 notes
Text
Kodok Super Melindungi Tokyo -Haruki Murakami
Katagiri mendapati seekor katak raksasa menunggu dia di apartemennya. Katak yang kekar, berdiri setinggi lebih dari enam kaki dengan tumpuan kaki belakangnya. Hanya seorang laki-laki kecil kurus tidak lebih dari satu setengah meter, Katagiri tentu kalah telak oleh tubuh raksasa sang katak.
“Panggil saya ‘Bangkong,’” kata katak dengan suara berat yang jelas.
Katagiri berdiri terpaku di ambang pintu, tidak mampu berbicara.
“Jangan takut, saya di sini tidak untuk menyakiti Anda. Mari masuk dan tutup pintunya. Silahkan.”
Tas koper di tangan kanannya, tas belanja dengan sayuran segar dan salmon kalengan tergantung di lengan kirinya, Katagiri tidak berani bergerak.
“Silahkan, Tuan Katagiri, cepat dan tutup pintu, dan lepas sepatu Anda.”
Mendengar namanya disebut membuat Katagiri mengubah sikap. Dia menutup pintu seperti yang diperintahkan, mengatur tas belanja di undakan lantai kayu, menyematkan tas koper di bawah satu lengan, dan melepas sepatunya. Bangkong mengisyaratkannya untuk duduk di meja dapur, yang selanjutnya ia lakukan.
“Saya harus minta maaf, Tuan Katagiri, karena telah menerobos masuk saat Anda berada di luar,” kata Bangkong. “Saya tahu ini akan mengejutkan Anda saat mendapati saya di sini. Tapi saya tidak punya pilihan. Bagaimana kalau bikin secangkir teh dulu? Saya pikir Anda akan pulang segera, jadi saya sudah rebus air.”
Katagiri masih menggencet tasnya di lengannya. Seseorang sedang menjahiliku, pikirnya. Seseorang memakai kostum katak besar ini hanya untuk membuat lelucon denganku. Tapi ia tahu, saat ia melihat Bangkong menuangkan air mendidih ke dalam teko, sambil bersenandung, bahwa ini betul-betul anggota badan dan gerakan seekor katak yang nyata. Bangkong menaruh secangkir teh hijau di depan Katagiri, dan menuangkan satu lagi untuk dirinya sendiri.
Menyesap tehnya, Bangkong bertanya, “Sudah mendingan?”
Tapi tetap Katagiri tidak bisa berbicara.
“Saya tahu saya harus membuat janji untuk mengunjungi Anda, Tuan Katagiri. Saya sepenuhnya menyadari norma. Siapa pun akan terkejut menemukan katak besar menunggu di rumahnya. Tapi hal yang mendesak membawa saya ke sini. Mohon maafkan saya.”
“Hal mendesak?” akhirnya Katagiri berhasil mengungkapkan kata-kata.
“Ya, tentu saja,” kata Bangkong. “Kenapa lagi saya akan berani menerobos masuk ke rumah seseorang? Kekasaran seperti ini bukan gaya adat saya.”
“Apakah ‘hal’ ini ada hubungannya dengan saya?”
“Ya dan tidak,” kata Bangkong dengan memiringkan kepala. “Tidak dan ya.”
Aku harus menenangkan diriku sendiri, pikir Katagiri. “Apakah Anda keberatan jika saya merokok?”
“Silahkan, silahkan,” kata Bangkong sambil tersenyum. “Ini rumah Anda. Anda tidak perlu meminta izin pada saya. Merokok dan minum sebanyak yang Anda suka. Saya sendiri bukan seorang perokok, tapi saya hampir tidak bisa memaksakan ketidaksukaan saya pada orang lain yang merokok di rumah mereka sendiri.”
Katagiri menarik sebungkus rokok dari saku jasnya dan menyalakan korek. Dia melihat gemetar tangannya saat dia menyalakannya. Duduk di seberangnya, Bangkong tampak sedang mengamati setiap gerakannya.
“Anda bukan bagian dari semacam geng, kan?” Katagiri mendapat keberanian untuk bertanya.
“Ha ha ha ha ha ha! Anda punya rasa humor yang bagus, Tuan Katagiri!” Katanya, menamparkan tangan berselaput ke pahanya. “Mungkin ada kekurangan tenaga kerja terampil, tapi kenapa juga geng akan menyewa katak untuk melakukan pekerjaan kotor mereka? Mereka hanya akan menjadi bahan tertawaan.”
“Nah, jika Anda di sini untuk melobi pembayaran, Anda membuang-buang waktu Anda. Saya tidak memiliki otoritas untuk membuat keputusan seperti itu. Hanya atasan saya yang bisa melakukan itu. Saya hanya mengikuti perintah. Saya tidak bisa melakukan sesuatu untuk Anda.”
“Tenang, Tuan Katagiri,” kata Bangkong, mengangkat satu jari berselaputnya. “Saya tidak datang ke sini untuk urusan remeh tersebut. Saya menyadari bahwa Anda adalah asisten kepala Bagian Peminjaman di Tokyo Security Trust Bank cabang Shinjuku. Tapi kunjungan saya tidak ada hubungannya dengan pembayaran pinjaman. Saya datang ke sini untuk menyelamatkan Tokyo dari kehancuran.”
Katagiri memindai ruangan untuk mencari semacam kamera TV tersembunyi dalam kasus dia sedang direkam untuk dagelan yang mengerikan. Tapi tidak ada kamera. Ini hanya sebuah apartemen kecil. Tidak ada tempat bagi siapa pun untuk bersembunyi.
“Tak ada,” kata Bangkong, “kita adalah satu-satunya di sini. Saya tahu Anda berpikir bahwa saya gila, atau bahwa Anda sedang bermimpi, tapi saya tidak gila dan Anda tidak sedang bermimpi. Ini benar-benar sangat penting.”
“Terus terang saja, Tuan Bangkong—”
“Tolong,” kata Frog, mengangkat satu jari lagi. “Panggil saja ‘Bangkong.’”
“Terus terang saja, Bangkong,” ucap Katagiri, “Saya tidak bisa mengerti apa yang terjadi di sini. Ini bukan berarti bahwa saya tidak percaya, tapi saya sepertinya tidak dapat memahami situasi persisnya. Apakah Anda keberatan jika saya mengajukan beberapa pertanyaan?”
“Silahkan, silahkan,” kata Bangkong. “Saling pengertian itu sangat penting. Ada orang yang mengatakan bahwa ‘pemahaman’ hanyalah sekumpulan dari kesalahpahaman kita, dan memang saya menemukan pandangan ini menarik dengan caranya sendiri, saya khawatir bahwa kita tidak punya waktu luang untuk ngalor-ngidul. Hal terbaik bagi kita untuk mencapai saling pengertian melalui rute yang sesingkat mungkin. Oleh karena itu, dengan segala cara, silahkan ajukan banyak pertanyaan yang Anda ingin sampaikan.”
“Sekarang, Anda ini memang katak betulan, saya benar, kan?”
“Ya, tentu saja, seperti yang Anda lihat. Saya seekor katak betulah. Bukan metafora atau kiasan atau dekonstruksi atau pengambilan sampel maupun proses kompleks lainnya, saya katak asli. Haruskah saya berkuak-kuak untuk Anda?”
Katak menyondongkan ke belakang kepalanya dan menekuk otot-otot tenggorokan yang besar. Ribit! Ri-i-i-bit! Ribit-ribit-ribit! Ribit! Ribit! Ri-i-i-bit! Bunyi kuaknya yang nyaring itu mengguncang gambar yang tergantung di dinding.
“Baik, saya percaya, saya percaya!” tegas Katagiri, khawatir akan dinding tipis rumah apartemen sederhana tempatnya tinggal. “Itu hebat. Anda, tanpa harus bertanya lagi, betul-betul katak asli.”
“Ada yang mengatakan bahwa saya gabungan keseluruhan dari semua katak. Meskipun demikian, ini tidak berdampak apa-apa untuk mengubah fakta bahwa saya memang katak. Siapapun yang menyebut kalau saya bukan katak pasti seorang pembohong kotor. Saya akan meremukkan orang tersebut jadi serpihan!”
Katagiri mengangguk. Berharap untuk menenangkan diri, ia mengangkat cangkirnya dan menelan seteguk teh. “Sebelumnya Anda berkata kalau Anda datang ke sini untuk menyelamatkan Tokyo dari kehancuran?”
“Itulah yang saya katakan.”
“Kerusakan macam apa?”
“Gempa,” kata Bangkong dengan sangat berat.
Dengan mulut menganga, Katagiri menatap Bangkong. Dan Bangkong, tak mengatakan apa-apa, menatap Katagiri. Mereka melanjutkan menatap satu sama lain seperti ini untuk beberapa waktu. Berikutnya giliran Bangkong untuk membuka mulutnya.
“Gempa yang sangat, sangat besar. Sudah diatur untuk menghantam Tokyo pukul delapan tiga puluh pagi pada 18 Februari. Tiga hari dari sekarang. Gempa yang jauh lebih hebat ketimbang yang melanda Kobe bulan lalu. Jumlah korban tewas dari gempa tersebut mungkin akan melebihi seratus lima puluh ribu—sebagian besar dari kecelakaan yang melibatkan sistem komuter: kereta anjlok, tertimpa, tabrakan, runtuhnya jalur kereta cepat dan rel, robohnya kereta bawah tanah, ledakan tanker bahan bakar. Bangunan akan berubah menjadi tumpukan puing-puing, penghuninya mati tertimpa reruntuhan. Kebakaran di mana-mana, sistem jalan macet, ambulans dan truk pemadam kebakaran tidak berguna, orang hanya bisa berbaring, sekarat. Seratus lima puluh ribu! Seperti neraka. Orang-orang akan sadar akan kondisi rapuh dalam kolektivitas intensif yang dikenal sebagai ‘kota’.” sebut Bangkong dengan lembut menggoyangkan kepala. “Pusat gempa akan dekat dengan kantor distrik Shinjuku.”
“Dekat kantor distrik Shinjuku?”
“Tepatnya, itu akan menghantam langsung di bawah Tokyo Security Trust Bank cabang Shinjuku.”
Keheningan berat diikuti.
“Dan Anda,” kata Katagiri, “berencana untuk menghentikan gempa ini?”
“Tepat,” kata Bangkong, mengangguk. “Ini adalah apa yang ingin saya usulkan untuk dilakukan. Anda dan saya akan pergi ke lorong bawah tanah di bawah Tokyo Security Trust Bank cabang Shinjuku untuk melakukan pertempuran mematikan melawan Cacing.”
*
Sebagai anggota dari Divisi Kredit Trust Bank, Katagiri telah melalui banyak pertempuran. Dia telah enam belas tahun terbiasa bergelut setiap hari sejak saat dia lulus dari universitas dan bergabung menjadi staf bank. Dia, bisa dibilang, petugas pengumpul—bagian kerja yang kurang populer. Semua orang di divisinya lebih suka untuk mengajukan pinjaman, terutama pada saat gelembung ekonomi. Mereka punya begitu banyak uang pada hari-hari yang hampir setiap bagian mungkin pinjamkan—baik itu tanah atau saham—sudah cukup untuk meyakinkan petugas pinjaman untuk memberikan apa pun yang mereka pinta, semakin besar pinjaman yang diberikan semakin baik reputasi mereka di perusahaan. Beberapa pinjaman, meskipun, tidak pernah berhasil kembali ke bank: mereka harus “terjebak di bagian bawah panci.” Tinggal pekerjaan Katagiri untuk mengurus mereka. Dan ketika gelembung ekonomi berhenti, pekerjaan pun menumpuk. Pertama harga saham jatuh, dan kemudian nilai tanah, dan jaminan tak berarti lagi. “Keluar sana,” bosnya memerintahkan dia, “dan peras apapun yang bisa kau dapat dari mereka.”
Lingkungan Kabukicho di Shinjuku adalah sebuah labirin kekerasan: gangster turun-temurun, komplotan Korea, mafia Cina, senjata dan obat-obatan, uang mengalir di bawah permukaan dari satu liang ke yang liang lainnya, orang hilang sepanjang waktu seperti kepulan asap. Terjun ke Kabukicho untuk mengumpulkan debit buruk, Katagiri telah dikepung lebih dari sekali oleh mafia yang mengancam untuk membunuhnya, tetapi ia tidak pernah takut. Apa gunanya mereka membunuh satu orang pegawai bank? Mereka bisa saja menikamnya jika mereka ingin. Mereka bisa memukulinya. Dia sempurna untuk pekerjaan itu: tidak ada istri, tidak punya anak, kedua orang tua sudah meninggal, adik-adik yang telah dibiayai sampai menikah. Jadi bagaimana jika mereka membunuhnya? Itu tidak akan mengubah apa-apa bagi siapa pun-apalagi untuk Katagiri sendiri.
Bukan Katagiri tapi preman di sekitarnya yang justru gugup ketika mereka melihat dia begitu tenang dan dingin. Dia segera mendapatkan jenis reputasi di dunia mereka sebagai seorang pria tangguh. Sekarang, bagaimanapun, Katagiri yang tangguh dihadapkan pada kebingungan yang pelik. Apa yang katak ini bicarakan? Cacing?
“Siapa itu Cacing?” Tanyanya dengan beberapa ragu-ragu.
“Cacing hidup di bawah tanah. Dia adalah cacing raksasa. Ketika dia marah, dia menyebabkan gempa bumi,” kata Bangkong. “Dan sekarang dia sangat, sangat marah.”
“Apa yang membuat dia marah?” Tanya Katagiri.
“Saya tidak tahu,” kata Bangkong. “Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan si Cacing dalam kepala keruhnya. Beberapa pernah melihatnya. Dia biasanya tidur. Itulah yang benar-benar dia sukai: butuh waktu lama, tidur siang yang panjang. Dia melanjutkan tidur selama bertahun-tahun—berdekade-dekade—dalam kehangatan dan kegelapan bawah tanah. Matanya, seperti yang Anda bayangkan, telah berhenti berkembang, otaknya telah berubah lemas saat ia tidur. Jika Anda bertanya kepada saya, saya akan menebak dia mungkin tidak berpikir apa-apa, hanya terbaring di sana dan merasa setiap ada gemuruh kecil dan dengung yang mendekatinya, menyerap ke dalam tubuhnya, dan menyimpannya. Kemudian, melalui beberapa jenis proses kimia, ia menempatkan kembali sebagian besarnya dengan rasa marah. Mengapa hal ini terjadi saya tidak tahu. Saya tidak pernah bisa menjelaskannya.”
Bangkong terdiam, menonton Katagiri dan menunggu sampai kata-katanya telah tenggelam. Kemudian ia melanjutkan.:
“Tolong jangan salah paham. Saya merasa tidak ada permusuhan pribadi terhadap Cacing. Saya tidak melihat dia sebagai perwujudan kejahatan. Bukan berarti juga saya ingin menjadi temannya: Saya hanya berpikir bahwa, sejauh dunia yang bersangkutan, itu tak jadi masalah bagi seekor makhluk seperti dia ada. Dunia ini seperti mantel sangat besar, dan membutuhkan kantong dari berbagai bentuk dan ukuran. Tapi tepat saat ini Cacing telah mencapai titik di mana ia terlalu berbahaya untuk diabaikan. Dengan semua jenis kebencian yang ia telah serap dan simpan di dalam dirinya selama bertahun-tahun, jantung dan tubuhnya telah membengkak menjadi raksasa—lebih besar dari sebelumnya. Dan yang lebih parah lagi, gempa Kobe yang terjadi bulan lalu mengguncang dirinya dari tidur nyenyak yang dia nikmati. Dia mengalami semacam dorongan oleh kemarahan yang mendalam: sudah waktunya sekarang untuk dia juga, menyebabkan gempa besar, dan ia akan melakukannya di sini, di Tokyo. Saya tahu apa yang saya bicarakan, Tuan Katagiri: Saya telah menerima informasi yang dapat dipercaya tentang waktu dan skala gempa dari beberapa binatang-binatang kecil teman baik saya.”
Bangkong mengatupkan mulutnya dan memejamkan mata bundarnya dengan kelelahan yang jelas terlihat.
“Jadi apa yang Anda katakan adalah,” kata Katagiri, “bahwa Anda dan saya harus pergi ke bawah tanah bersama-sama dan mengalahkan Cacing untuk menghentikan gempa.”
“Seperti itu.”
Katagiri meraih cangkir teh, mengangkatnya, dan meletakkannya kembali. “Saya masih tidak mengerti,” katanya. “Mengapa Anda memilih saya untuk pergi dengan Anda?”
Bangkong menatap langsung ke mata Katagiri dan berkata, “Saya selalu memiliki rasa hormat mendalam pada Anda, Tuan Katagiri. Selama enam belas tahun yang panjang, Anda telah diam-diam menerima tugas paling berbahaya yang tidak punya daya tarik—pekerjaan yang orang lain hindari—dan Anda telah mengerjakannya dengan aduhai. Saya tahu benar betapa sulitnya ini bagi Anda, dan saya percaya bahwa baik atasan Anda atau rekan Anda belum benar-benar menghargai pencapaian Anda. Mereka buta, semuanya. Tapi Anda, yang tidak dihargai dan tidak mendapat dukungan, tidak pernah sekalipun mengeluh.
“Bukan hanya soal pekerjaan Anda. Setelah orang tua Anda meninggal, Anda yang mengurus adik-adik Anda yang masih remaja, membiayai mereka sampai kuliah, dan bahkan yang mengusahakan mereka untuk menikah, semuanya itu butuh pengorbanan besar waktu dan pendapatan Anda, dan dengan mengorbankan prospek pernikahan Anda sendiri. Terlepas dari ini, adik-adik Anda tidak pernah sekalipun menyatakan terima kasih atas upaya Anda terhadap mereka. Lebih dari itu: mereka telah menunjukkan sikap tidak menghormati dan berlaga acuh terhadap cinta kasih Anda. Menurut pendapat saya, perilaku mereka tak dapat diterima. Saya sangat berharap saya bisa memukuli mereka sampai remuk atas nama Anda. Tapi Anda, sementara itu, tidak menampakan rasa dongkol.
“Sejujurnya, Tuan Katagiri, tidak ada yang menarik untuk dilihat dari Anda, dan Anda tak pandai bicara, sehingga Anda cenderung dipandang rendah oleh orang-orang di sekitar Anda. Saya, bagaimanapun, dapat melihat apa yang seorang pria yang masuk akal dan berani Anda. Di Tokyo ini, yang disesaki jutaan orang, tidak ada satu pun yang saya bisa percaya seperti Anda untuk berjuang di sisi saya.”
“Beritahu saya, Tuan Bangkong—” kata Katagiri.
“Tolong,” kata Bangkong, mengangkat satu jari lagi. “Panggil saya ‘Bangkong.’”
“Beritahu saya, Bangkong,” Katagiri berkata, “bagaimana Anda tahu begitu banyak tentang saya?”
“Nah, Tuan Katagiri, buat apa saya jadi kodok selama bertahun-tahun. Saya terus menjaga mata saya pada hal-hal penting dalam hidup ini.”
“Tapi tetap, Bangkong,” kata Katagiri, “Saya tidak terlalu kuat, dan saya tidak tahu apa-apa tentang yang terjadi di bawah tanah. Saya tidak memiliki jenis otot yang diperlukan untuk melawan Cacing dalam kegelapan. Saya yakin Anda dapat menemukan seseorang yang lebih kuat dari saya—seorang pria yang bisa karate, contohnya, atau pasukan Angkatan Bela Diri.”
Bangkong memutar matanya yang besar. “Sejujurnya, Tuan Katagiri,” katanya, “Saya orang yang akan melakukan semua pertempuran. Tapi saya tidak bisa melakukannya sendiri. Ini poin pentingnya: Saya membutuhkan keberanian dan gairah Anda tentang keadilan. Saya ingin Anda berdiri di belakang saya dan berkata, ‘Terus maju, Bangkong! Kau hebat! Aku tahu kau bisa menang! Kau berjuang untuk sesuatu yang baik!’”
Bangkong membuka tangannya lebar, kemudian menamparkan tangan berselaputnya ke lutut sekali lagi.
“Sejujurnya, Tuan Katagiri, pikiran pertempuran dengan Cacing dalam gelap menakutkan saya juga. Selama bertahun-tahun saya hidup sebagai seorang pasifis, pecinta seni, hidup berdampingan dengan alam. Pertempuran bukanlah sesuatu yang saya ingin lakukan. Saya melakukannya karena saya harus. Yang pasti, pertarungan khusus ini akan menjadi sesuatu yang sengit. Saya mungkin tidak kembali hidup-hidup. Saya mungkin kehilangan dua anggota badan atau lebih. Tapi saya tidak bisa—saya tidak akan—lari. Seperti Nietzsche katakan, kebijaksanaan tertinggi adalah untuk tidak merasa takut. Apa yang saya inginkan dari Anda, Tuan Katagiri, adalah agar Anda bisa berbagi keberanian sederhana Anda dengan saya, untuk mendukung saya dengan sepenuh hati Anda sebagai teman sejati. Apakah Anda mengerti apa yang saya coba sampaikan?”
Tak satu pun dari ini masuk akal untuk Katagiri, tapi ia masih merasa bahwa—betapa pun terdengar anehnya—ia bisa percaya pada apa yang Bangkong katakan kepadanya. Sesuatu tentang Bangkong—raut wajahnya, cara dia berbicara—memiliki kejujuran sederhana yang menarik langsung ke hati. Setelah bertahun-tahun bekerja di divisi terberat di Security Trust Bank, Katagiri memiliki kemampuan untuk merasakan hal-hal seperti itu. Itu semua tapi bakat alami kedua baginya.
“Saya tahu ini pasti sulit bagi Anda, Tuan Katagiri. Seekor katak besar datang menerobos masuk ke rumah Anda dan meminta Anda untuk percaya semua hal-hal aneh. Reaksi Anda sangat wajar. Jadi saya berniat untuk memberikan bukti bahwa saya benar-benar ada. Katakan pada saya, Tuan Katagiri, Anda telah banyak mengalami kesulitan memulihkan pinjaman bank yang dibuat untuk Komplotan Big Bear, bukankah begitu?”
“Memang benar,” kata Katagiri.
“Yah, mereka memiliki banyak pemeras yang bekerja di belakang layar, dan orang-orangnya bekerja sama dengan mafia. Mereka berbuat licik untuk membuat perusahaan bangkrut dan mengajukan pinjaman. Petugas pinjaman bank Anda menyodorkan tumpukan uang untuk mereka tanpa pemeriksaan latar belakang yang layak, dan, seperti biasa, orang yang tersisa untuk membersihkan setelahnya adalah Anda, Tuan Katagiri. Tapi Anda kesulitan untuk menjangkau orang-orang ini: mereka bukan lawan enteng. Dan mungkin ada politisi kuat yang mendompleng mereka. Mereka punya hutang kepada Anda sebanyak tujuh ratus juta yen. Itu adalah situasi yang Anda hadapi, saya benar, kan?”
“Seperti itu.”
Bangkong mengulurkan tangannya lebar-lebar, membuka selaput besarnya yang berwarna hijau seperti sayap pucat. “Jangan khawatir, Tuan Katagiri. Serahkan segalanya pada saya. Besok pagi, Bangkong tua ini akan memecahkan masalah Anda. Santai saja dan nikmati tidur malam ini.”
Dengan senyum lebar di wajahnya, Bangkong berdiri. Kemudian, meratakan dirinya seperti cumi-cumi kering, ia menyelinap keluar melalui celah di sisi pintu yang tertutup, meninggalkan Katagiri sendirian. Dua cangkir teh di meja dapur adalah satu-satunya indikasi bahwa Bangkong memang mengunjungi apartemen Katagiri ini.
*
Saat Katagiri tiba di tempat kerja keesokan harinya pukul sembilan, telepon di mejanya berdering.
“Tuan Katagiri,” kata suara seorang pria. Dingin dan lugas. “Nama saya Shiraoka. Saya seorang pengacara dalam kasus Big Bear. Saya menerima telepon dari klien saya pagi ini berkaitan dengan masalah pinjaman tunda. Dia ingin Anda tahu bahwa dia akan mengambil tanggung jawab penuh untuk mengembalikan seluruh jumlah yang diminta pada tanggal jatuh tempo. Dia juga akan memberikan nota yang harus Anda tandatangani. Ada satu permintaannya bahwa Anda jangan mengirim Bangkong ke rumahnya lagi. Saya ulangi: dia ingin Anda untuk meminta Bangkong tidak lagi mengunjungi rumahnya. Saya sendiri tidak sepenuhnya mengerti maksudnya, tapi saya percaya ini jelas bagi Anda, Tuan Katagiri. Saya benar, kan?”
“Memang benar,” jawab Katagiri.
“Anda akan berbaik hati untuk menyampaikan pesan saya pada Bangkong, saya percaya.”
“Saya akan menyampaikannya. Klien Anda tidak akan pernah melihat Bangkong lagi.”
“Terima kasih banyak. Saya akan mempersiapkan nota untuk Anda besok.”
“Saya menghargai itu,” kata Katagiri.
Sambungan terputus.
Bangkong mengunjungi Katagiri di kantornya Trust Bank saat makan siang. “Untuk kasus Big Bear kelihatan berjalan lancar, saya kira?”
Katagiri melirik sekitar dengan gelisah.
“Jangan khawatir,” kata Bangkong. “Anda adalah satu-satunya orang yang bisa melihat saya. Tapi sekarang saya yakin Anda menyadari kalau saya benar-benar ada. Saya bukan produk dari imajinasi Anda. Saya dapat melakukan aksi dan memberi hasil. Saya makhluk hidup nyata.”
“Beritahu saya, Tuan Bangkong.”
“Saya mohon,” kata Bangkong, mengangkat satu jari. “Panggil saya ‘Bangkong’.”
“Beritahu saya, Bangkong,” kata Katagiri, “apa yang Anda lakukan pada mereka?”
“Oh, tidak banyak,” kata Bangkong. “Tidak ada yang jauh lebih rumit daripada merebus kubis Brussel. Saya hanya sedikit menakut-nakuti mereka. Sentuhan terror psikologis. Seperti Joseph Conrad pernah tulis, terror sesungguhnya adalah sesuatu yang manusia rasakan lewat imajinasi mereka. Tapi jangan dipikirkan, Tuan Katagiri. Ceritakan tentang kasus Big Bear. Beres, kan?”
Katagiri mengangguk dan menyalakan rokok. “Kelihatannya.”
“Jadi, apakah saya berhasil mendapat kepercayaan Anda berkaitan dengan masalah yang saya singgung dengan Anda semalam? Anda akan bergabung dengan saya untuk melawan Cacing?”
Mendesah, Katagiri melepas kacamatanya dan mengusap matanya. “Sejujurnya, saya tidak terlalu gila tentang ide tersebut, tapi saya kira saya tidak cukup pantas.”
“Tidak,” kata Bangkong. “Ini soal tanggung jawab dan kehormatan. Anda mungkin tidak terlalu ‘gila’ tentang ide tersebut, tapi kita tidak punya pilihan: Anda dan saya harus pergi ke bawah tanah dan menghadapi Cacing. Jika kita harus kehilangan nyawa karenanya, kita tidak akan memperoleh simpati dari siapa pun. Dan bahkan jika kita berhasil mengalahkan Cacing, tidak ada yang akan memuji kita. Tidak seorang pun akan tahu bahwa pertempuran hebat sedang terjadi jauh di bawah kaki mereka. Hanya Anda dan saya yang akan tahu, Tuan Katagiri. Pada akhirnya, ini akan menjadi pertempuran yang sunyi.”
Katagiri menatap tangannya sendiri untuk sementara waktu, kemudian memperhatikan asap mengepul dari rokoknya. Akhirnya, ia berbicara. “Anda tahu, Tuan Bangkong, saya hanya orang biasa.”
“Panggil ‘Bangkong,’ saya mohon,” kata Bangkong, tapi Katagiri mengacuhkannya.
“Saya benar-benar seorang pria biasa. Lebih rendah dari biasa-biasa. Saya akan botak, saya punya perut buncit, saya menginjak usia empat puluh bulan lalu. Kaki saya lemah. Dokter mengatakan kepada saya bahwa saya memiliki kecenderungan diabetes. Sudah tiga bulan atau lebih sejak saya terakhir tidur dengan wanita—dan saya harus membayarnya. Saya menerima beberapa pengakuan dalam divisi atas kemampuan saya menagih pinjaman, tetapi tidak ada rasa hormat yang nyata. Saya tidak memiliki satu orang yang menyukai saya, baik di tempat kerja atau dalam kehidupan pribadi saya. Saya tidak tahu bagaimana berbicara dengan orang lain, dan saya tak pandai berperilaku dengan orang yang belum dikenal, jadi saya tidak pernah memiliki teman. Saya tidak punya kemampuan atletik, saya tuli nada, pendek, phimotic, rabun jauh—dan astigmatic. Saya punya kehidupan yang mengerikan. Semua yang saya lakukan hanya makan, tidur, dan berak. Saya bahkan tidak tahu mengapa saya hidup. Mengapa orang seperti saya harus menjadi orang yang menyelamatkan Tokyo?”
“Karena, Tuan Katagiri, Tokyo hanya bisa diselamatkan oleh orang seperti Anda. Dan untuk orang-orang seperti Anda alasan saya mencoba untuk menyelamatkan Tokyo.”
Katagiri mendesah lagi, lebih dalam saat ini. “Baiklah, apa yang Anda ingin saya lakukan?”
*
Bangkong menjelaskan Katagiri rencananya. Mereka akan pergi ke bawah tanah pada malam 17 Februari (satu hari sebelum gempa yang diprediksi terjadi). Jalan masuk mereka akan melalui basement ruang boiler Tokyo Security Trust Bank cabang Shinjuku. Mereka akan bertemu di sana larut malam (Katagiri akan tinggal di gedung dengan dalih bekerja lembur). Di belakang gedung ada terowongan vertikal, dan mereka akan menemukan Cacing di bagian bawah dengan turun lewat tangga tali setinggi 150 kaki.
“Apakah Anda memiliki rencana pertempuran?” Tanya Katagiri.
“Tentu saja saya pikirkan. Kita tidak punya harapan untuk mengalahkan musuh seperti Cacing jika tanpa rencana pertempuran. Ia adalah makhluk berlendir: Anda tidak bisa membedakan mana mulutnya mana anusnya. Dan dia sebesar kereta komuter.”
“Apa rencana pertempuran Anda?”
Setelah jeda untuk berpikir, Bangkong menjawab, “Hmm, seperti yang sering disebutkan—’Diam adalah emas’?”
“Maksudnya saya tidak boleh menanyakannya?”
“Semacam itu.”
“Bagaimana jika saya takut kemudian kabur? Apa yang akan Anda lakukan, Tuang Bangkong?”
“‘Bangkong.’”
“Bangkong. Apa yang akan Anda lakukan?”
Katak berpikir sejenak lalu menjawab, “Saya akan bertempur sendirian. Kemungkinan saya mengalahkan dia sendirian mungkin sedikit lebih baik ketimbang peluang Anna Karenina dalam menghadang lokomotif kencang itu. Apakah Anda sudah membaca Anna Karenina, Tuan Katagiri?”
Ketika ia mendengar bahwa Katagiri tidak membaca novel, Bangkong menatapnya seolah-olah mengatakan, Sungguh memalukan. Rupanya Bangkong sangat menyukai Anna Karenina.
“Bagaimanapun, Tuan Katagiri, saya tidak percaya bahwa Anda akan meninggalkan saya untuk bertempur seorang diri. Saya yakin. Ini pertanyaan soal kejantanan—yang, sayangnya, saya tidak punya. Ha ha ha ha!” Bangkong tertawa dengan mulut terbuka lebar. Bukan hanya kejantanan yang tidak dimiliki Bangkong. Dia pun tidak punya gigi.
*
Bagaimanapun, hal tak terduga selalu terjadi.
Katagiri ditembak pada malam 17 Februari setelah ia selesai berkeliling sepanjang hari dan berjalan menyusuri jalan di Shinjuku dalam perjalanan kembali ke Trust Bank ketika seorang pria muda dengan jaket kulit melompat di depannya. Wajah pria itu kosong, dan dia mencengkeram pistol hitam kecil di satu tangannya. Pistolnya yang begitu kecil dan begitu hitam itu hampir tidak tampak nyata. Katagiri menatap objek di tangan pria itu, tidak menyangka bahwa pistol itu terarah pada dirinya dan bahwa orang itu menarik pelatuk. Itu semua terjadi terlalu cepat: itu tidak masuk akal baginya. Tapi pistol sudah meletus.
Katagiri melihat laras bedil menyentak di udara dan, pada saat yang sama, merasakan dampak seolah-olah seseorang memukul bahu kanannya dengan palu godam. Dia tidak merasakan sakit, tapi gebrakan itu membuatnya terkapar di trotoar. Tas kulit di tangan kanannya terlempar ke arah lain. Pria itu mengarahkan pistol ke arahnya sekali lagi. Tembakan kedua terdengar. Sebuah papan nama restoran kecil di trotoar meledak di depan matanya. Dia mendengar orang-orang berteriak. Kacamatanya terlepas, dan segala sesuatu menjadi kabur. Dia samar-samar menyadari bahwa orang itu mendekati dengan pistol mengarah padanya. Aku akan mati, pikirnya. Bangkong telah mengatakan bahwa teror sebenarnya adalah apa yang manusia rasakan lewat imajinasi mereka. Katagiri terputus dari imajinasinya dan tenggelam ke dalam keheningan tanpa beban.
*
Ketika ia terbangun, ia berada di atas tempat tidur. Ia membuka satu mata, mengambil waktu sejenak untuk mengamati sekitarnya, dan kemudian membuka mata satunya. Hal pertama yang memasuki bidang pandangnya adalah sangkutan logam di kepala tempat tidur dan tabung infus yang membentang dari sangkutan tadi ke tempat ia berbaring. Berikutnya ia melihat seorang perawat berpakaian putih. Dia menyadari bahwa dia berbaring telentang di ranjang keras dan memakai pakaian dengan potongan aneh, yang mana ia tampaknya telanjang.
Oh ya, pikirnya, aku sedang berjalan di sepanjang trotoar ketika seorang pria menembakku. Mungkin di bahu. Sebelah kanan. Dia menghidupkan kembali adegan dalam pikirannya. Ketika ia mengingat pistol hitam kecil di tangan pemuda itu, jantungnya berdebar hebat. Pria celaka itu mencoba membunuhku! pikirnya. Tapi tampaknya aku masih baik-baik saja. Ingatanku juga tak bermasalah. Aku tidak merasa sakit. Dan bukan hanya rasa sakit: Aku tidak punya perasaan apapun sama sekali. Aku tidak bisa mengangkat lenganku. . . Kamar rumah sakit tidak memiliki jendela. Dia tidak tahu apakah itu siang atau malam. Dia ditembak sebelum pukul lima di malam hari. Berapa banyak waktu telah berlalu sejak saat itu? Apakah jam pertemuan malam hari dengan Bangkong telah berlalu? Katagiri mencari-cari jam di kamar itu, tapi tanpa kacamatanya ia tidak bisa melihat apa-apa di kejauhan.
“Permisi,” dia memanggil perawat.
“Oh, bagus, Anda akhirnya siuman,” kata perawat.
“Jam berapa sekarang?”
Dia melihat jam tangannya.
“Sembilan lebih lima belas.”
“SORE?”
“Jangan konyol, ini sudah pagi!”
“Sembilan-lima belas pagi?” Katagiri mengerang, susah payah berusaha untuk mengangkat kepalanya dari bantal. Bunyi kasar yang muncul dari tenggorokannya terdengar seperti suara orang lain. “Sembilan-lima belas pagi pada 18 Februari?”
“Ya,” kata perawat, mengangkat lengannya sekali lagi untuk memeriksa tanggal pada jam tangan digital nya.
“Hari ini tanggal 18 Februari 1995.”
“Apakah ada gempa besar di Tokyo pagi ini?”
“Di Tokyo?”
“Di Tokyo.”
Perawat menggeleng. “Tidak sejauh yang saya tahu.”
Dia menarik napas lega. Apapun yang terjadi, gempa setidaknya telah dihindari.
“Bagaimana dengan luka saya?”
“Luka Anda?” Tanyanya. “Apanya yang luka?”
“Saya ditembak.”
“Ditembak?”
“Ya, di dekat pintu masuk ke Trust Bank. Seorang pria menembak saya. Di bahu kanan, saya pikir.”
Perawat melontarkan senyum gugup ke arahnya. “Maaf, Pak Katagiri, tetapi Anda tidak ditembak.”
“Saya tidak ditembak? Apakah Anda yakin?”
“Seyakin bahwa tidak ada gempa pagi ini.”
Katagiri tertegun. “Lalu kenapa saya bisa ada di rumah sakit?”
“Seseorang menemukan Anda tergeletak di jalan, tak sadarkan diri. Di daerah Kabukicho Shinjuku. Anda tidak memiliki luka eksternal. Anda hanya kedinginan. Dan kami masih belum menemukan mengapa. Dokter akan segera datang. Anda sebaiknya berbicara dengannya.”
Tergeletak di jalan tak sadarkan diri? Katagiri sangat yakin ia melihat pistol terarah padanya. Dia mengambil napas dalam-dalam dan mencoba untuk meluruskan pikirannya. Dia akan mulai dengan menyusun semua fakta dalam urutan.
“Maksud Anda, saya sudah berbaring di kasur rumah sakit ini, tidak sadarkan diri, sejak sore kemarin, benar?”
“Benar,” kata perawat. “Dan tidur Anda benar-benar tak tenang, Tuan Katagiri. Anda nampaknya mendapat mimpi buruk yang mengerikan. Saya mendengar Anda berteriak, ‘Bangkong! Hei, Bangkong!” Anda melakukannya berkali-kali. Anda punya teman dengan panggilan ‘Bangkong’?”
Katagiri menutup matanya dan mendengarkan irama jantungnya yang lambat layaknya menandai menit hidupnya. Berapa banyak dari apa yang dia ingat benar-benar terjadi, dan berapa banyak yang halusinasi? Apakah Bangkong benar-benar ada, dan Bangkong bertempur melawan Cacing untuk menghentikan gempa? Atau semua itu bagian dari mimpi yang panjang? Katagiri tidak tahu mana yang benar lagi.
*
Bangkong datang ke kamar rumah sakit malam itu. Katagiri terbangun untuk menemukan dirinya dalam cahaya redup, duduk di kursi lipat besi, punggungnya bersandar ke dinding. Kelopak mata hijau besar Bangkong yang menonjol tertutup dalam suatu garis lurus.
“Bangkong!” Katagiri memanggilnya. Bangkong perlahan membuka matanya. Perut putih besar menggembung dan menyusut dengan napasnya.
“Saya bermaksud untuk bertemu dengan Anda di ruang boiler di malam hari seperti yang saya janjikan,” kata Katagiri, “tapi saya mengalami kecelakaan malam kemarin— sesuatu yang sama sekali tak terduga — dan mereka membawa saya ke sini.”
Bangkong menggoyangkan kepalanya sedikit. “Saya tahu. Tidak apa-apa. Jangan khawatir. Anda sangat membantu saya dalam pertempuran saya, Tuan Katagiri.”
“Benarkah?”
“Ya benar. Anda melakukan pekerjaan besar dalam mimpi Anda. Itulah yang membuatnya mungkin bagi saya untuk melawan Cacing untuk menyelesaikan. Saya harus berterima kasih atas kemenangan saya ini.”
“Saya tidak mengerti,” kata Katagiri. “Saya tidak sadarkan diri sepanjang waktu. Mereka menginfus saya. Saya tidak ingat melakukan sesuatu dalam mimpi saya.”
“Itu bagus, Tuan Katagiri. Lebih baik Anda tidak ingat. Seluruh pertempuran mengerikan terjadi di dalam imajinasi. Itu adalah lokasi yang tepat dari medan perang kita. Di sanalah tempat kita mengalami kemenangan dan kekalahan kita. Masing-masing dan setiap orang dari kita adalah makhluk dari durasi terbatas: kita semua akhirnya kalah. Tapi seperti Ernest Hemingway melihat begitu jelas, nilai akhir dari hidup kita ditentukan bukan oleh bagaimana kita menang, tapi dengan bagaimana kita kalah. Anda dan saya bersama-sama, Tuan Katagiri, mampu mencegah pemusnahan Tokyo. Kita menyelamatkan seratus lima puluh ribu orang dari jurang kematian. Tidak ada yang menyadari hal itu, tapi itu adalah apa yang kita capai.”
“Bagaimana Anda bisa mengalahkan Cacing? Dan apa yang saya lakukan?”
“Kita mengeluarkan semua yang kita miliki dalam pertarungan sampai akhir yang pahit. Kita—” Bangkong mengatupkan mulutnya dan mengambil satu napas besar,”—kita menggunakan setiap senjata yang bisa tangan kita raih, Tuan Katagiri. Kita mengerahkan semua keberanian yang kita miliki. Kegelapan adalah sekutu musuh kita. Anda membawa generator bertenaga kaki dan menggunakan tenaga Anda untuk mengisi tempat dengan cahaya. Cacing mencoba untuk menakut-nakuti Anda dengan hantu-hantu dari kegelapan, tapi Anda tetap bertahan. Kegelapan bersaing dengan cahaya dalam pertempuran mengerikan, dan dalam terang saya bergulat dengan Cacing menjijikan itu. Dia bergelung di sekitar saya, dan melumuri saya dengan lendir mengerikannya. Aku mencabik-cabiknya, tapi ia masih menolak untuk mati. Semua yang dia lakukan adalah membagi menjadi potongan kecil. Lalu — ”
Bangkong terdiam, tapi segera, seakan penghabisan kekuatan terakhirnya, ia mulai berbicara lagi. “Fyodor Dostoyevsky, dengan kelembutan yang tak tertandingi, menggambarkan orang-orang yang telah ditinggalkan oleh Tuhan. Ia menemukan kualitas yang berharga dari eksistensi manusia dalam paradoks mengerikan dimana orang-orang yang telah menemukan Tuhan adalah yang ditinggalkan Tuhan. Berkelahi dengan Cacing dalam kegelapan, saya menemukan diri saya memikirkan ‘White Nights’-nya Dostoevsky. Aku. . . ” Kata-kata Bangkong seperti tenggelam. “Tuan Katagiri, apakah Anda keberatan jika saya tidur sejenak dulu? Saya benar-benar kelelahan.”
“Silakan,” kata Katagiri. “Tidur yang nyenyak.”
“Saya akhirnya tak mampu mengalahkan Cacing,” kata Bangkong, menutup matanya. “Saya berhasil untuk menghentikan gempa, tapi saya hanya mampu membuat pertempuran jadi imbang. Saya memberi cedera pada dirinya, dan dia pada saya. Tetapi untuk mengatakan yang sebenarnya, Tuan Katagiri. . . ”
“Apa, Bangkong?”
“Saya memang seekor Bangkong murni, tapi pada saat yang sama saya punya dunia bukan Bangkong.”
“Hmm, saya tidak mengerti.”
“Begitu juga saya,” kata Bangkong, matanya masih tertutup. “Ini hanya perasaan yang saya miliki. Apa yang Anda lihat dengan mata Anda belum tentu nyata. Musuh saya adalah, antara lain, yang ada dalam diri saya. Dalam diri saya ada bukan-saya. Otak saya mulai dipenuhi lumpur. Lokomotif mendekat. Tapi saya benar-benar ingin Anda untuk memahami apa yang saya katakan, Tuan Katagiri.”
“Anda lelah, Bangkong. Tidurlah. Anda akan baikan.”
“Saya perlahan-lahan, sedikit demi sedikit kembali ke lumpur, Tuan Katagiri. Dan lagi . . . Saya. . . ” Bangkong kehilangan genggamannya pada kata-kata dan masuk dalam keadaan koma. Lengannya menjuntai hampir ke lantai, dan mulut lebar yang besar terkulai terbuka. Berusaha untuk memfokuskan matanya, Katagiri mampu melihat luka robek di sepanjang tubuh Bangkong. Goresan tak berwarna berlari melalui kulitnya, dan ada bagian di kepalanya mana daging telah terlepas. Katagiri menatap lama dan keras pada Bangkong, yang duduk di sana sekarang dibungkus dalam jubah tidur tebal. Begitu aku keluar dari rumah sakit ini, pikirnya, aku akan membeli Anna Karenina dan White Nights dan membaca keduanya. Lalu aku akan berdiskusi panjang soal sastra bersama Bangkong.
Tak berselang lama, Bangkong mulai bergerak-gerak. Katagiri pada awalnya mengira bahwa ini hanyalah gerakan normal tak sadar saat tidur, tapi ia segera menyadari kesalahannya. Ada sesuatu yang tidak wajar tentang cara tubuh katak yang terus menyentak, seperti boneka besar yang terguncang oleh seseorang dari belakang. Katagiri menahan napas dan mengamati. Dia ingin berlari mendekati Bangkong, tapi tubuhnya sendiri tetap lumpuh.
Setelah beberapa saat, benjolan besar terbentuk di mata kanan Bangkong. Benjolan yang sama besar, mendidih jelek pecah di bahu dan pinggang Bangkong, kemudian seluruh tubuhnya. Katagiri tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Bangkong. Dia hanya bisa menjadikannya tontonan, hampir tidak bernapas.
Kemudian, tiba-tiba, salah satu benjolan pecah dengan letupan keras. Kulitnya beterbangan, dan cairan lengket mengalir keluar, mengirimkan bau yang mengerikan di seberang ruangan. Sisa dari benjolan mulai bermunculan, satu demi satu, dua puluh atau tiga puluh, melemparkan kulit dan cairan ke dinding. Bau memuakkan tak tertahankan memenuhi ruangan rumah sakit. Lubang hitam besar yang tersisa di tubuh Bangkong di mana benjolan pecah, dan menggeliat, cacing serupa belatung dari segala bentuk dan ukuran merangkak keluar. Belatung putih gembung. Setelahnya muncul semacam makhluk seperti lipan kecil, dengan ratusan kaki yang membuat suara gemerisik menyeramkan. Seolah tak ada habisnya datang merangkak keluar dari lubang. Tubuh bangkong — atau yang sebelumnya tubuh Bangkong — benar-benar tertutup dengan makhluk-makhluk malam ini. Dua bola mata besar jatuh dari rongganya ke lantai, di mana mereka dimakan oleh serangga hitam dengan rahang yang kuat. Kerumunan cacing berlendir berlomba merayapi tembok menuju langit-langit, di mana mereka menutupi lampu neon dan membenamkan ke alarm asap.
Lantai, juga, ditutupi dengan cacing dan serangga. Mereka memanjat lampu dan memblokir cahaya dan, tentu saja, mereka merayap ke tempat tidur Katagiri. Ratusan dari mereka masuk ke bawah selimut. Mereka merayap naik ke kakinya, di bawah pakaiannya, antara pahanya. Cacing terkecil dan belatung merayap di dalam anus dan telinga dan hidungnya. Lipan memaksa mulutnya terbuka dan merangkak masuk ke dalam satu demi satu. Dalam keputusasaan, Katagiri menjerit.
Seseorang menyalakan lampu dan cahaya memenuhi ruangan.
“Tuan Katagiri!” panggil perawat. Katagiri membuka matanya dengan cahaya. Tubuhnya bermandikan keringat. Serangga-serangga tadi lenyap. Yang tertinggal adalah sensasi berlendir mengerikan.
“Mimpi buruk lagi, ya? Sungguh malang.” Dengan gerakan cepat yang efisien perawat menyiapkan suntikan dan menusukkan jarum ke lengannya. Katagiri mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Jantungnya mengembang dan berdetak keras.
“Apa yang Anda mimpikan?”
Katagiri mengalami kesulitan membedakan mimpi dari kenyataan. “Apa yang Anda lihat dengan mata Anda tidak selalu nyata,” katanya kepada dirinya sendiri dengan suara keras.
“Itu memang benar,” kata perawat dengan senyum. “Terutama dalam mimpi.”
“Bangkong,” gumamnya.
“Apakah sesuatu terjadi dengan Bangkong?” Tanyanya.
“Dia menyelamatkan Tokyo dari kehancuran karena gempa bumi. Semua oleh dirinya sendiri.”
“Itu bagus,” kata perawat, menggantikan botol infus kosong dekatnya dengan yang baru. “Kita tidak perlu hal-hal mengerikan terjadi di Tokyo. Kita sudah sering melewatinya.”
“Tapi nyawanya. Dia pergi. Saya pikir ia kembali ke dalam lumpur. Dia tidak akan pernah datang ke sini lagi.”
Tersenyum, perawat mengeringkan keringat dengan handuk pada dahi Katagiri. “Anda sangat menyukai Bangkong, kan, Tuan Katagiri?”
“Lokomotif,” Katagiri bergumam. “Lebih dari siapa pun.” Kemudian dia menutup matanya dan tenggelam ke dalam tidur tenang tanpa mimpi.
***
5 notes
·
View notes
Photo
🐢 DEFORMALISASI SYARIAT Antologi #ImdadunRahmat #SyafiiMaarif #HabibRizieq #AdianHusaini #ZulyQodir et al. 🌌 #Afkar #Lakpesdam 2002 181 hlm Bekas, baik 🐩 Rp. 22.000 🌌 🐴 Pemesanan 👉 DM @hindiabooks | inbox fb.me/hindiabooks | WA +62-896-2225-3005 🌌 #deformalisasisyariat #syariatislam #perdasyariat #qanun #islampolitik #negaraislam #dekonstruksi #buku #rarebooks #politik #sosial #humaniora #seni #baca #ngopi #diskusi #diskusibuku #bookloverindonesia #indoreader #hindiabooks 🐧
#dekonstruksi#baca#politik#syafiimaarif#buku#negaraislam#hindiabooks#deformalisasisyariat#seni#qanun#syariatislam#imdadunrahmat#perdasyariat#indoreader#sosial#diskusibuku#islampolitik#diskusi#ngopi#rarebooks#zulyqodir#lakpesdam#bookloverindonesia#habibrizieq#humaniora#afkar#adianhusaini
0 notes
Text
Hotel Berkonsep Dekonstruksi Ala Mahasiswa ITN Malang Ini Bisa Jadi Inspirasi Landmark Lho!
Hotel berkonsep dekonstruksi yang diusung beberapa mahasiswa Institut Teknologi Nasional (ITN Malang) ternyata
https://infokampus.news/hotel-berkonsep-dekonstruksi-ala-mahasiswa-itn-malang-ini-bisa-jadi-inspirasi-landmark-lho/
0 notes
Text
Mungkinkah Literasi Menjadi Jantung Pembelajaran sekolah?
Literasi diibaratkan sebagai jantung hati pendidikan. Hakikatnya sebuah pemaknaan yang mendalam, bahwa literasi penting untuk dipelajari dalam sebuah pendidikan khususnya proses pembelajaran. Karena literasi adalah nafas pendidikan yang akan menghidupkan segala ruang pemahaman terhadap suatu materi. Inilah landasan literasi menjadi jantung pembelajaran di sekolah.
Dalam membudayakan literasi di lingkungan sekolah, tentunya hambatan itu selalu ada. Di tengah masyarakat kita yang literasinya masih rendah, sekolah merupakan satu-satunya harapan kita untuk menumbuh-suburkan budaya literasi. Akan tetapi tumpang tindih tanggung jawab masih menjadi polemik.
Literasi yang kita kita pahami adalah sebagai kemampuan membaca teks secara aktif dan reflektif, dan mengaitkannya dengan realitas sosial. Bertolak dari diskusi teks, anak akan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kekuasaan, ketidaksetaraan, maupun ketidakadilan dalam relasi sosial. Melalui literasi dapat menumbuhkan kesadaran kritis dengan cara mendiskusikan berbagai persoalan ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat.
Freire pernah mengatakan: “Membaca dunia selalu didahului dengan membaca kata, dan seterusnya, membaca kata berarti membaca dunia”. Bagi pendidik Freire, literasi kritis merupakan cara untuk memberdayakan kelompok tertindas dalam melawan penindasan dan pemaksaan yang biasanya dilakukan oleh korporasi atau negara. Tujuan akhir literasi kritis adalah mengatasi atau menghapuskan ketimpangan sosial dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul akibat penyalahgunaan kekuasaan. Ini dilakukan melalui pengujian, analisa, dan dekonstruksi teks.
Kita sebagai tenaga pendidik hadir untuk menjawab tantangan tersebut. Mengingat pendidikan adalah tugas bersama, sudah saatnya mendayung sampan bersama-sama agar bisa berkelok dan sampai di pantai di tempat. Dalam usahan ini perlu ditonggakkan bersama-sama pendidikan yang literet, yaitu adanya kesadaran yang kuat, pemahaman yang kuat dan pemaknaan yang mendalam akan berbagai hal. Pendidikan dan bersama-sama, menyusun cara agar ketiga tonggak tersebut dapat diraih dengan baik. Adapun beberapa solusi yang dapat ditempuh dalam mewujudkan pendidikan yang literet sebagai berikut; (1) menumbuhkan budaya literasi di setiap kehidupan, (2) pendidikan perlu mendalami literasi sebagai dayung perubahan, (3) pendidikan juga perlu mendalami literasi sebagai proses kesadaran, dan (4) meyakini melalui literasi dapat menemukan jawaban pertanyaan selama ini yaitu kunci perubahan bangsa.
8 notes
·
View notes
Link
Tradisi pemikiran Muktazilah tentang Al-Quran tidak sama dengan ide-ide dekonstruksi konsep-konsep dasar Islam oleh Islam Liberal
0 notes
Text
Mr. Quee(r): Mengenal dekonstruksi dari drama Mr. Queen
Jang Bong-Hwan, seorang koki yang hidup di abad ke-21 tiba-tiba jatuh ke kolam dan sekarat. Seketika ia membuka mata, era kehidupan dimana ia kembali sadar sudah berubah ke abad 19. Secara fisik, dirinya sudah tidak menjadi Jang Bong-Hwan melainkan Ratu Cheorin pada Periode Joseon. Namun, bagaimana dengan gaya berpikir, bicara dan berlakunya? Ia masih bersikap selayaknya dirinya sebelum sekarat; seorang pria.
Oke. Singkat premis cerita yang menjadi hook yang paling menarik dari drama ini. Drama yang ringan dan lucu, tapi tanpa kamu sadari sesungguhnya ada makna tersirat di dalamnya. Penonton yang sudah melahap seluruh episode on-goingnya sampai kini (episode 10), pasti akan bertanya-tanya; "Lho, secara gak langsung ini drama tentang BL ya?" *bagi yang gatau, cari tau sendiri dan aku ga bertanggung jawab apa-apa sama kesadaranmuuuu!
Rasa-rasanya gaperlu ditutup-tutupin ya karena intinya drama ini ber-genre fantasi-romcom-historikal. Kenapa gak kutulis gender-bender juga? soalnya belum tentu ada unsur tersebut. Hingga episode terakhir, pemain utama Mr.Queen alias Bong-Hwan alias Ratu Cheorin, semacam hidup dalam satu tubuh atau bahkan dua tubuh. Lebih tepatnya dalam tubuh Ratu Cheorin di era Joseon yang baik-baik saja, dan/atau dalam tubuh Bong-Hwan di abad ke-21 yang sedang sekarat dan berada di rumah sakit. Ribet ya? sebentar.
Hingga episode 7, Jiwa Bong-Hwan pada tubuh Ratu Cheorin melekat dan menyatu, sehingga kesadaran penuh atas tubuh Ratu Cheorin bukanlah milik ratu melainkan Bong-Hwan. Sementara, jiwa ratu tidak pernah muncul sebelum episode ini dalam tubuhnya sendiri maupun dalam tubuh Bong-Hwan yang sekarat. Sampai di episode ini, ada plot twist yang intinya: tubuh Bong-Hwan yang sekarat di rumah sakit sedang dicelakai orang, dan itu berefek langsung pada badan ratu di era Joseon. Kemudian ketika tubuh Bong-Hwan bisa diselamatkan dokter (walau pada akhirnya masih sekarat di rumah sakit), tubuh Ratu Cheorin bisa siuman dan tak lama jiwa yang ada di sana bukan hanya Bong-Hwan saja melainkan juga ingatan-ingatan Ratu Cheorin (hanya ingatan-perasaan, tanpa kesadaran).
Sampai sini penonton dibawa sadar atas 2 timeline yang sedang berjalan dan jati diri yang tidak bisa dijelaskan. Jadi apakah ini termasuk BL? kamu yang berhak mendefinisikan persepsimu, tapi kalau aku.. Aku masih mengganggap jati diri Bong-Hwan dalam tubuh Ratu Cheorin dengan ingatan-perasaan yang kadang bukanlah dari dalam dirinya dan memaksa ia bertingkah seperti orang yang berbeda, adalah sesuatu yang memang tidak bisa didefinisikan.
Apakah ada terminologi untuk itu? Ya, ada yaitu "Queer". Queer yang berdiri sebagai "umberella term" dari LGBTQ ini adalah produk pemikiran aliran post-strukturalis. Berbentuk sebuah de-konstruksi dari unsur binary opposition dan logosentisme yang selama ini dipercayai kebanyakan orang. Queer adalah sebuah istilah bagi orang-orang yang tidak bisa diidentifikasikan. Mereka memilih untuk bersikap ambigu (bisa) dalam 2 hal; yaitu gender dan/atau orientasi seksual, tapi aku gak akan masuk ke penjelasan ke sana karena aku kurang pengetahuan tentang itu. Kita akan bahas tentang dekonstruksi dan queer saja ya!
Jadi dalam dunia yang menganut aliran strukturalis, terdapat sebuah binary opposition. Secara gampangnya bisa diartikan sebagai antonimitas, misal ketika terpikirkan kata meja, pasti akan terpikirkan akan kursi. Contoh lain yaitu sendok/garpu, makan/minum, bicara/menulis, perempuan/laki-laki, feminim/maskulin. Kepastian atas binary opposition yang dipegang oleh strukturalis ini kemudian dipertanyakan, memangnya dari 2 polar yang berjauhan tersebut tidak boleh ada yang hadir di antara?
Queer berbicara tentang bersikap di ranah abu-abu. Bersikap fleksibel, bersikap ambigu, bersikap tidak bisa dijelaskan. Toh memangnya mengapa ketika kamu tidak bisa dijelaskan? Kebenaran sejati bagi penganut dekonstruksi adalah bahwa ada di luar sana yang tidak dapat dipahami oleh binary opposition. Di luar binary opposition yang sudah jelas, ada kaum marginal yang masih tidak dianggap. Dekonstruksi mencoba menawarkan pemikiran kembali atas kaum-kaum itu. Dengan mencoba membawa kaum marginal ke permukaan, sudah tidak ada lagi yang dominan; dalam kata lain ini adalah upaya penghapusan binary opposition. Hal ini sesuai dengan prinsip dekonstruksi yang menolak logosentrisme alias notion of centre, alias kini ada yang bisa berdiri 'di antara'.
Aku berani bilang bahwa jiwa Bong-Hwan/ jiwa Ratu Cheorin/ tubuh Bong-Hwan/ tubuh Ratu Cheorin dari episode 7 hingga episode terakhir semestinya adalah bentuk gambaran dekonstruksi itu sendiri. Ia menjelma sebagai queer, namun juga merupakan suatu manifestasi dari teori-teori dekonstruksi. Mengapa? karena selain 2 istilah tadi, ketika aku membicarakan Bong-Hwan-Ratu Cheorin, sesungguhnya aku gapernah lepas dari pembicaraan atas keduanya kan? entah dalam hal tubuh (bentuk) ataupun jiwanya (sikap-ingatan). Di sini kita berhadapan dengan istilah lain dalam dekonstruksi yaitu "trace" dan "metaphysics of presence". "Trace" dimaknai sebagai jejak-jejak yang nampak dan yang tidak nampak, yang berkaitan ketika berbicara mengenai binary opposition; sementara "metaphysics of presence" dimaknai sebagai hal-hal yang dianggap lebih bermanfaat (atau privileged) karena keberadaannya sehingga menghasilkan logosentrisme.
Selanjutnya aku akan sebutkan mengapa jelmaan Bong-Hwan/Ratu Cheorin adalah aplikasi dari teori dekonstruksi, namun sebelum itu kita identifikasi dulu teori-teori yang ada dan bagaimana jalur ceritanya sesuai dengan prinsip dekonstruksi. Binary opposition hadir dalam 2 persona di cerita, Bong-Hwan dan Ratu Cheorin; Trace dalam drama dihadirkan dengan perbedaan pembawaan 2 persona mereka, dengan Bong-Hwan yang playboy dan galak, sementara Ratu Cheorin yang sifatnya baik dan mudah terenyuh. Sebelum episode 7 mereka masih belum bisa diidentifikasikan, karena yang menggerakan tubuh ratu sebagai pemeran utama masih 1 pihak yaitu Jang Bong-Hwan. Kemudian selepas kejadian kritis di episode 7, ratu menjadi punya 2 persona yang beda dalam 1 tubuh. Hal tersebut bagi aku sudah bisa dikatakan sebagai manifestasi dari identitas yang tidak bisa dijelaskan atau "Queer". Dari sini, binary opposition sudah tidak ada ketika mereka berhasil melebur jadi satu, pemikiran Bong-Hwan yang tadinya berdiri sendiri sebagai notion of centre yang menggambarkan logosentrisme dan keberadaan dari metaphysics of presence, sudah 'diracuni' oleh ingatan-ingatan dari jiwa Ratu Cheorin sehingga kadang-kadang Bong-Hwan yang tinggal dalam tubuh Ratu Cheorin kerap 'kesurupan' dan menjadi perempuan. Itu juga yang kemudian menghadirkan keadaan 'di antara' dalam trace berbentuk sifat dari Bong-Hwan dan Ratu Cheorin.
Seru ya, bagaimana bisa melihat dengan jelas bentuk apa-apa yang diomongin orang, fenomena-fenomena yang gak kita kenal, bisa dihubungin dengan media yang menarik. Sampai sini aku mau bilang, tulisan ini merupakan wujud pengaplikasian materi kuliah yang aku suka! Kalau salah, tolong dikoreksi dan kalau benar.. tandanya SKS yang diberikan dosenku bisa aku pahami dengan baik:)
*Tambahan: bagi kamu yang sudah baca dan masih berpikir bahwa drama ini bergenre BL, kamu masih memprivilege kan persona Bong-Hwan di atas 2 identitas yang kini hidup di 1 tubuh.
#Jang Bong Hwan#queen cheorin#Mr. queen#mr queen#drama korea#Cheorinwanghu#Cheorinwanghoo#No Touch Princess#Shin Hye-Sun#Kim Jung-Hyun#tvn#queer#dekonstruksi#deconstruction
5 notes
·
View notes