#catatanlama
Explore tagged Tumblr posts
Text
Aku dan Memasak
Aku berusia 28 tahun dan aku tidak bisa memasak. Memasak yang kumaksud adalah benar-benar memasak, bukan sekedar memasak mi instan atau menggoreng telur dadar. Padahal aku suka mencoba dan mempelajari sesuatu yang baru, tapi entah mengapa tidak berlaku dalam hal memasak. Di samping itu aku termasuk orang yang suka sekali untuk berwisata kuliner, aku rela menempuh perjalanan yang tidak dekat hanya untuk mencoba suatu tempat makan yang rasa masakannya legendaris.
Aku sadar betul bahwa bukan karena aku perempuan aku harus bisa memasak tapi menurutku lebih kepada aku menganggap memasak adalah salah satu 'skill bertahan hidup'. Tapi entah kenapa tak pernah sedikitpun terbersit dalam hati untuk memasak.
Hingga suatu hari selepas cuti melahirkan aku harus pindah untuk ditempatkan di sini. Di suatu daerah di mana warung makan tidak banyak, kalaupun ada, pilihan makanannya itu-itu saja. Apalagi aku tidak membawa kendaraan dan seperti yang kita tahu bahwa saat ini kita diuji dengan pandemi sehingga membuat kita sebisa mungkin makan #dirumahaja.
Suamiku mempersiapkan rumah ini dengan lengkap sebelum aku datang. Termasuk kompor dan peralatan dapurnya. Pertama kali mengetahui isi rumah, aku berpikir jangan-jangan ini cara suamiku untuk mendorongku belajar memasak. Hmmm halus sekali cara menyindirnya~
Juli 2020. Saat suamiku bertambah usia. Meski tidak merayakan, tiba-tiba aku tergerak untuk pertama kalinya mencoba memasak sesuatu. Aku memasak sayur bayam dan tempe. Sangat sederhana yang ternyata tak sesederhana itu bagi orang sepertiku yang tidak suka memasak dan tidak bisa memasak. Tidak semudah itu bagiku yang belum bisa membedakan daun kangkung dan daun bayam.
Tapi nyatanya? Ternyata bisa. Tapi rasanya? Ternyata biasa saja -yang penting masih bisa dimakan- Hehe. Kemudian sedikit demi sedikit aku belajar memasak. Mulai dari tumis kangkung, sop ceker, ayam geprek, telur kecap, perkedel tahu, orak arik, bakso, sampai ter-random adalah jenang sumsum. Bagi orang lain mungkin ini biasa, tapi bagiku ini pencapaian luar biasa. Luar biasa menyenangkan.
Ternyata kita seringkali terperangkap dalam pikiran bahwa kita tidak bisa, padahal itu semua hanya karena kita tidak pernah mencoba. Cobalah lakukan hal yang sepertinya tidak bisa kamu lakukan. Dan kamu akan terkejut bahwa kamu ternyata bisa dan mampu melakukannya lagi, dan lagi. Bahkan lebih baik dari yang kamu bayangkan. Selamat mencoba ya :)
Ditulis di Boalemo, Juli 2020
---
Wow menemukan catatan di handphone-ku, 4 tahun yang lalu 😂
3 notes
·
View notes
Text
tentang dua kutub
kutub yang sana manas-manasin untuk menikah muda. kutub yang sini berargumen buat nggak usahlah pake acara nikah muda, masih cilik katanya.
temen ada yang nikah muda, ribut. temen ada yang nikah di usia matang, ribut juga. ada yang menjadikan menikah sebagai salah satu tujuan hidup, ribut. ada memilih nggak nikah aja, ya tetep ribut.
sudahlah. biarin mereka ribut dengan keributan masing-masing. kamu cukup perlu tau alasan mereka masing-masing. dan kamu cukup dengan keyakinan kamu pegang. toh semua dari Allah.
4 notes
·
View notes
Photo
belajar jadi orang baik(-baik) itu lebih mudah daripada belajar MENYADARI setiap yang dirasakan, dilihat, dipikir, apalagi yang dilakukan. ngga semua kejadian bisa dibawa (disikapi) dengan santai, apalagi jika yang datang badai. setiap orang perlu waktu untuk memahami. setiap orang perlu ruang untuk menerima. bisa jadi, drama adalah titik balik menuju jalan dharma. rahayu! 🌹🌞✨️🌝🌱 27.12.2023 #catatanakhirtahun #catatanlama #randomthoughts #banyupadmatangi #ratrinetrayoga #2018 📷 @ayuniiiyuni 💚 (at Island of Gods - Bali) https://www.instagram.com/p/Cmqi2U-PImw/?igshid=NGJjMDIxMWI=
1 note
·
View note
Photo
Tiada hari yang kita jalani tanpa senyuman. Apa pun kejadian yang menarik dan menyenangkan, tepi bibir kita selalu terangkat dengan sendirinya … bahkan ketika tengah sendirian. . Sejatinya, kita harus senantiasa bersyukur karena berada di lingkungan yang warganya selalu melempar senyum tanpa keberatan di dalam hati, yang telah membuat hidup kita begitu nyaman untuk dijalani. Tiada dendam yang mengusik, dan tiada sepeser uang pun yang harus ditebus untuk memperoleh senyuman manis. . Dan apakah kita sadar? Penampakan wajah berseri-seri nan ceria kepada saudara kita merupakan bentuk sedekah yang dikeluarkan tanpa harus merogoh kocek. Sehingga orang kaya dan miskin pun mampu melakukannya tanpa harus berfikir panjang. . Dari Abu Dzar (radhiyallahu ‘anhu), dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; "Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu“ (HR At-Tirmidzi, No. 1956 ~ Yufid). . Setiap insan yang kita taburkan benih-benih kebaikan melalui senyuman, mampu untuk mengubah dunia yang selama ini dianggap kelam oleh mereka yang kehilangan rasa kasih sayang. Dengan rasa yang tulus dan ikhlas, orang yang melihat kita tersenyum akan tertular untuk mengikuti meski masih terdapat luka di dalam hati. Yang perlahan-lahan luka tersebut diobati dengan ketenangan dan kebahagiaan, bahkan tersentuh dengan keindahan Islam dan mendapatkan hidayah karena senyuman. . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang lain, mengatakan; “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik, meskipun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria." (HR. Muslim, No. 2626 ~ Yufid) . -- #CatatanLama (Sore, 17/04/2016 Dengan Gubahan) https://www.instagram.com/p/CM6u5AchKFF/?igshid=1p6emg27id21e
1 note
·
View note
Text
Surat untuk Aku
Aku sudah berkepala dua dan hei, itu bukan usia muda lagi. Seharusnya aku sudah dewasa, sudah berkepribadian dewasa. Tapi, apakah benar masih ‘seharusnya’ ataukah sudah menjadi kenyataannya?
Tengoklah kembali pada dirimu sekarang hai aku, apakah benar dirimu yang sebenarnya? Dirimu dengan versi terbaik yang kamu usahakan? Benarkah demikian? Cukup jawab dari hati saja.
Tanyakan pada dirimu wahai aku, apakah kamu puas dengan diri yang sekarang? Berikan apresiasi pada dirimu, untuk semua yang telah kamu lalui bersama. Sudah seberapa berhak dia mendapat penghargaan atas perjuangan selama ini. Apakah kamu lupa hai aku, jika dia adalah titipan dari Sang Maha Kuasa yang nantinya bakal kamu kembalikan amanah itu lengkap dengan pertanggungjawabannya. Coba katakan terimakasih pada dirimu dan meminta maaflah jika selama ini masih belum kamu berikan yang terbaik untuknya. Bahkan kamu menyia-nyiakannya, mengalir begitu saja bersama kegelapan dunia. Kamu tidak membersamainya, kamu melepaskan begitu saja, tidak mengobati ketika dia terluka, tidak menjaganya hingga terus berulangkali terjatuh bahkan terseok sampai sekarang dalam upaya bangkit kembali. Sudahkah kamu pikirkan dirimu yang sebenarnya?
Inilah saatnya, katakan dengan sebenarnya. Sadarlah dalam menyampaikannya.
Wahai diriku,
Terimakasih untuk semua yang kita lalui bersama. Terimakasih telah membersamaiku dengan sempurna bahkan di saat aku tidak menyadarinya. Terimakasih tetap setia di sampingku bahkan di saat aku melupakan dan tidak peduli denganmu. Wahai diriku, aku meminta maaf, sungguh meminta maaf untuk semua yang telah kita jalani bersama. Aku minta maaf jika mengajakmu ke jalan yang salah, jalan yang tidak dikehendaki oleh Dia Yang Menitipkan Amanah berupa dirimu padaku. Aku meminta maaf telah memaksamu melakukan apa-apa yang engkau bahkan sudah berteriak keras untuk menolaknya. Maafkan aku telah menyakitimu dengan ketidakpedulianku padamu, tidak menjagamu, tidak memberimu sesuatu yang selayaknya. Aku menyayangimu wahai diriku. Aku mencintaimu wahai diriku. Izinkan aku menerimamu apa adanya. Tidak dengan membandingkanmu dengan yang lainnya. Biarkan aku membuka hatiku, benar-benar untuk mensyukuri apapun adanya kamu, wahai diriku. Semoga kita masih dapat bersama dan Allah izinkan kita untuk benar-benar menjadi lebih baik ke depan, untuk ridhaNya.
Terimakasih wahai diriku, sungguh aku mencintaimu karenaNya.
2 notes
·
View notes
Text
Jika kamu adalah sahabatku yang menemaniku dari awal aku bersamanya, mungkin kamu sudah bosan mendengar cerita tentang ia yang datang lalu pergi, bukan, bukan karena ia yang singgah kemudian berlalu begitu saja. Tapi ia yang datang lalu memberi kesan dan luka, berulang kali.
Sempat aku menghindarinya, tapi tetap aku kembali lagi ke sana, ke tempat dimana ia menemukanku. Tapi kali ini tidak, aku benar-benar menghilang dari dunia nya. Mungkin ia akan mencari ku sekali lagi, tapi sekarang apa? Kita hanya dua manusia yang saling menorehkan luka, tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak bisa tetap tinggal dan aku tak bisa disana selamanya.
Ku rasa kamu akan mengerti.
0 notes
Video
instagram
. . . kita lahir sendiri. akan mati sendiri. namun dalam perjalanan datang dan pulang kita tidak bisa sendiri, banyak tangan terulur untuk menjabat, menarik, menggandeng dan memeluk hangat kita. berterima kasihlah pada orang-orang pertama, yang menunjukkan jalan, yang membuka pintu, yang memperkenalkan, yang mengajarkan, yang berbagi hal-hal yang tidak kita ketahui sebelumnya. lalu berterima kasihlah pada semesta karena mengizinkan pertemuan itu. Jai Ma 🕉☯️ #catatanlama #randomthoughts #tuesdaymorning #rainyday #elephanTalk #gajahilosophy #jelagapagi https://www.instagram.com/reel/CTyOG4cB2UR/?utm_medium=tumblr
0 notes
Text
“Kredo Puisi” Bentuk Lain dari Pengejawantahan Makna
Mungkin bagi kata-kata, Sutardji adalah penyelamat yang membebaskan mereka dari segala tetek-bengek aturan baku, dari pakem-pakem yang memenjara jiwa mereka. Kata-kata menjadi begitu bebas menari-nari, bernyanyi, melompat kesana kemari, mabuk kepayang, lalu lupa diri.
Seperti yang dikatakan oleh Sutardji, ia membebaskan kata-kata dari beban pekerjaan sebagai pesuruh, pengantar pengertian dalam kehidupan manusia.
“Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam”
Kebebasan yang diberikan Sutardji begitu berhasil membuat kata-kata yang telah terbebas dari penjara menjadi perwujudan dari sekumpulan anak kecil yang sedang bermain-main di atas pasir, dan membangun istana pasir di atasnya, lalu buyar, sebelum kemudian kehilangan arah.
Ia hanya sebentuk bunyi yang tanpa makna, ia menjadi kumpulan suara dengan segala tempo yang terkonsep.
Jika Sutardji bukanlah seorang penyair ternama sebelumnya, saya tak begitu yakin puisi-puisinya akan mendapat respon yang demikian. Saya jadi teringat sebuah kalimat yang mengatakan bahwa seorang seniman cukup membuat satu buah Masterpiece yang menjadi pintu penyembahan bagi karya-karya sesudah itu, dan menyikapi perkataan Sutardji bahwa ia ingin membebaskan beban makna bagi kata-kata, tidakkah terasa seperti sebuah dalih? Siapa yang sebenarnya ingin bebas? Kata-kata, atau Sutardji sendiri?
Jika kata-kata kehilangan fungsi, lantas untuk apa ia diciptakan?
Untuk puisi-puisinya Sutardji barang kali?
Pada suatu penjabaran yang utuh, di akhir paragraf Sutardji mengatakan keinginannya untuk mengembalikan kata sebagai mantera.
“Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera”.
Pertanyaannya, apakah semula kata adalah mantera? Kalaupun benar, tidakkah sebuah mantera juga memiliki makna?
Jika melihat dari puisi-puisinya, jelaslah kalau Sutardji menggunakan Licentia Poetica, dimana seorang penyair memiliki kebebasan memanipulasi kata demi menimbulkan efek tertentu dalam karyanya, dan terkadang menabrak kaidah-kaidah dasar dalam berbahasa. Penyimpangan dari kaidah dasar biasanya terjadi pada arti kosakata (leksikal), bunyi-bunyi kebahasaan (fonologi), tata makna (semantis) maupun tata kalimat (sintaksis).
Hak tersebut yang sepertinya menjadi pintu pembenaran bagi Sutardji terhadap pengejawantahan makna yang dilakukannya.
Bagi saya, Kredo Puisi tak lebih dari sebuah pengejawantahan yang lahir dari rasa ketidakpuasan Sutardji atas aturan-aturan yang selama ini berlaku dalam dunia penulisan, khususnya puisi.
1 note
·
View note
Text
Kontradiksi
Stockholm, 10.09.2012
Sudah dua pekan lebih aku berada di Stockholm. Kota yang dijuluki "Venice of the North", terdiri dari gugusan 14 pulau yang dihubungkan oleh lebih dari 53 jembatan. Kota yang cantik, dikitari laut dan danau yang bersih, teduh rimbun pepohonan, bangunan-bangunan dengan warna yang berkesan hangat. Saat aku tiba di kota ini, matahari masih ceria menampakkan dirinya hingga hampir pukul dua puluh. Dedaunan pun masih hijau permai. Namun, kini kuamati matahari tampak berangsur mengurangi waktu sinarnya, dan daun-daun mulai berubah kelir.
"Musim gugur telah tiba." kata teman baruku, perempuan muda dari Jerman. Ia dengan baik hati menjadi pemandu gratis untukku dan suami, meyusuri jalanan batu di Gamla Stan yang tersohor di hari keempat kami di Swedia. Juga berbagi cerita dan bermacam tips tentang kehidupan di kota yang masih asing untukku ini. Hidup memang penuh dengan paradoks, ia yang hidup dan dibesarkan dalam lingkungan Eropa yang mapan, justru ingin bekerja dan tinggal di Indonesia. Saat kusinggung tentang ruwetnya transportasi di Jabodetabek, ia malah mengingatkanku bahwa ada tempat di dunia ini yang lebih buruk dari Jakarta. "Aku pernah tinggal di Mumbai, dan kondisi disana lebih parah lagi," ujarnya.
Hidup adalah pilihan, dan untuk memilih untuk hidup di luar zona nyaman membutuhkan kebulatan tekad dan keberanian.
Ketika tiba pertama kali di kampus baruku untuk mengambil kunci apartemen, aku berjumpa dengan perempuan berjilbab usia 30-an yang berjalan searah denganku. Aku mengucapkan salam, dan dijawabnya tanpa ragu. Ternyata ia juga tengah mencari komplek gedung yang sama. Namanya Veronica, perempuan asal Perancis yang tinggal di Tensta Centrum--sebuah daerah suburban di utara Stockholm. Tahu bahwa aku baru saja tiba dari Indonesia dan belum pernah ke Eropa sebelumnya, ia pun mulai membagi perspektifnya padaku.
"Aku bisa katakan, Swedia, juga negara-negara Eropa pada umumnya bukanlah tempat yang cocok untuk seorang muslim hidup. Muslim adalah minoritas disini." Bayangkan, aku baru beberapa puluh menit berada di Eropa, lalu kemudian mendengar pernyataan semacam itu dari seorang wanita kaukasoid yang berjilbab, jelas membuatku terhenyak. "Saat musim panas dan bulan Ramadan, suamiku tidak berani keluar rumah. Banyak perempuan berjemur telanjang di taman dan pinggir-pinggir danau," ungkapnya gemas. Aku merasa prihatin sekaligus cemas.
"Bagaimana dengan daging halal? Apakah mudah menemukannya di Stockholm?" tanyaku. "Aku tinggal di Tensta, orang-orang lokal menyebut daerah tersebut berbahaya, tapi sebenarnya itu hanya karena disana adalah daerah orang asing. Kau tahu, orang-orang disini sangat rasis. Di Tensta banyak toko yang menjual daging halal. Kau harus mempertimbangkan untuk tinggal disana," ia menjelaskan sambil menunjukkan posisi Tensta di peta yang ia bawa. Kami berpisah di depan A building, Sodra Huset, dan hingga saat ini aku belum pernah menjumpai perempuan itu lagi. Sayang sekali, aku lupa menanyakan nomer teleponnya.
Perbincangan dengan Veronica itu membuatku sedih. Suamiku menenangkan dan menyemangatiku, ia menyarankanku untuk menjalani kehidupan baru ini pelan-pelan, menemukan perspektif baru yang berimbang. Sepekan kemudian, aku datang mengunjungi seorang teman PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Swedia. Disana aku mendapat gambaran baru, "Orang-orang disini tidak rasis kok, hanya saja di kantong imigran yang terlalu heterogen biasanya cenderung banyak friksi, sehingga dianggap berbahaya," jelasnya. Pernyataan yang berbeda dengan yang diungkapkan Veronica ini membuatku berpikir, memang tidak adil jika aku membuat justifikasi buruk hanya karena mendengar opini satu orang. Ya, aku memang harus memverifikasinya sendiri, dengan segenap indra, hati dan pikiranku.
Menjadi orang asing dengan identitas keminoritasan yang melekat pada diri memang sebuah tantangan yang harus dihadapi dengan keteguhan hati yang kuat, istiqomah. Hikmahnya, dibalik perbedaan yang mencolok tersebut, sebuah identitas juga memudahkan orang lain untuk mengenali. Saat di Indonesia, aku sebal sekali ketika di jalan ada laki-laki yang mengucap salam dengan tendensi (yang kurasa) mencoba untuk menggoda. Namun saat disini, sebuah salam selalu terdengar sebagai tanda persaudaraan yang tulus. Di kesempatan keduaku dengan suami berkunjung ke Gamla Stan, seorang bapak mengucap salam kepada kami. Kami balas salam tersebut dengan semangat. Ternyata ia dan istrinya adalah pelancong dari Malaysia. Karena jarangnya melihat wajah Melayu disini, saat bertemu dengan mereka rasanya seperti bertemu dengan tetangga dekat rumah saja. Telah banyak hal baru yang kudapati dalam kurun waktu yang singkat ini--pelajaran hidup yang terlalu berharga untuk tidak disyukuri. Keberadaanku disini adalah sepenggal perjalanan hidup yang telah digariskan dan atas kehendak Sang Maha Perencana. Menapaki sedikit bagian dari bumi-Nya yang luas ini, menemukan hikmah-hikmah-Nya...
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujurot: 13)
0 notes
Text
Jangan Takut
Bismillaah Kenapa kita harus takut mati jika kematian itulah yang akan menjadi gerbang bagi kita untuk kemudian ketemu sama Allaah Sang Maha Segalanya? Maka bukankah seharusnya jika kita mengaku beriman pada Allaah dan hari akhir, kematian tidak menjadi sesuatu yang mengerikan tapi menjadi saat2 yang membahagiakan, karena satu fase kehidupan telah terlewati dan pertemuan dengan-Nya semakin dekat? Ah tapi mungkin kita takut karena kita sadar diri ya, sadar banyak dosanya. Takut nyasar ke neraka, na'udzubillaahimindzalik. Karena untuk ketemu Allaah kita harus masuk surga dulu dan kita cukup sadar diri bahwa ke surga itu butuh timbangan amal shalih yang lebih berat ketimbang dosanya. Tapi kan Allaah juga bilang, jangan putus asa dari rahmatNya. Mungkin saja menurut kita amal kita itu ga seberapa, tapi jika kita tulus ikhlas hanya berharap Allaah akan senang atasnya, boleh jadi nilainya menjadi amat besar di sisi Allaah. Lalu Allaah ridho :" Jangan takut mati, takutnya sama Allaah aja, takut kalo2 Allaah ga suka sama kita. Lalu jangan putus asa, sungguh Allaah Maha Baik, baiiik sekali, dan rahmatNya amatlah luas. jumadil awwal 1439h-25 januari 2018
2 notes
·
View notes
Text
Hidup ini bukan tentang banyak memiliki, tapi tentang banyak memberi
kita hidup didunia ini, bukan untuk jadi yang terbaik, tapi untuk memberikan yang terbaik.
0 notes
Text
Kesendirian di Bulan Agustus
Kesendirian membuatmu gila. Kamu tidak mempunyai siapa pun yang bisa kau ajak bicara. Disini semua sepi. Hanya suara asing yang mengusik telingamu. Suara seseorang yang tidak bisa kamu jawab!
Di sisi lain, kau harus terus melihat dan melekatkan tulisan abstrak. Tulisan abstrak yang dari beberapa jam lalu kau pandang. Pikiranmu sendiri tidak pernah menyentuh tulisan itu.
Dan perutmu berteriak minta ampun karena sudah tidak sanggup lagi menerima asupan biskuit. Perutmu mengeluh, “aku sudah penuh! Tolong hentikan biskuit-biskuit yang ingin masuk ke mulutmu!!!”
Matamu lelah. Tulang belakangmu ingin patah. Tangan kirimu tidak lagi sanggup menulis. Semua organ ditubuhmu sudah tidak bekerja secara tepat. Mereka semua mengeluh kepadamu.
Akan tetapi, si otak dan hati yang seharusnya bertindak malah diam. Mereka berdua seakan tidak mendengar jeritan organ-organ lain. Saat itulah, kau memutuskan bahwa dirimu sudah gila. Seperti tadi, kesendirian membuatmu menjadi gila.
Salahkah tulisan-tulisan abstrak itu? Mereka yang memaksamu untuk tidak bisa bersama orang-orang banyak. Mereka memendammu di ruangan kecil ini. Ruangan yang panas dan membuatmu mengantuk. Ruangan berisi ketidakenakkan yang melandamu di Bulan Agustus.
Kamu membenci semua hal yang berhubungan dengan Bulan Agustus. Di awal bulan yang harusnya bahagia itu, tidak seperti kenyataannya. Memang benar. Semua yang baik untuk kita tidak berarti baik untuk yang lain.
Tapi, semua organmu sudah tidak sanggup. Kamu selalu ingin menghentikan waktu kalau malam jumat dan sabtu menjemput. Malam dimana semua terasa indah. Dan karena tulisan abstrak ini, kamu tidak menikmati keindahan malam-malam itu.
(Depok, Agustus 2009)
2 notes
·
View notes
Photo
untuk semua perempuan indonesia, yang bernama yang ternama yang belum sempat bernama yang tak perlu ternama tuhan menciptakan kita untuk menitipkan dan merawat kehidupan. jangan buat air mata alat untuk memperalat, namun perangkat untuk memperkuat jiwa. untuk semua perempuan indonesia, hanya wariskan pengetahuan & kesantunan sebagai benih kecantikan yang abadi. untuk perempuan indonesia, teruslah menjaga mimpi-mimpimu dan tetaplah menjadi manusia! selamat hari kartini! (catatan 21.04.2013) "Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu, tapi satu-satunya hal yang benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri." ~Kartini #harikartini #human #kartini #catatanlama #banyupadmatangi 21.04.2022 (at Indonesia) https://www.instagram.com/p/CcmVf_av-Hs/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
Photo
Tiada hari yang kita jalani tanpa senyuman. Apa pun kejadian yang menarik dan menyenangkan, tepi bibir kita selalu terangkat dengan sendirinya … bahkan ketika tengah sendirian. . Sejatinya, kita harus senantiasa bersyukur karena berada di lingkungan yang warganya selalu melempar senyum tanpa keberatan di dalam hati, yang telah membuat hidup kita begitu nyaman untuk dijalani. Tiada dendam yang mengusik, dan tiada sepeser uang pun yang harus ditebus untuk memperoleh senyuman manis. . Dan apakah kita sadar? Penampakan wajah berseri-seri nan ceria kepada saudara kita merupakan bentuk sedekah yang dikeluarkan tanpa harus merogoh kocek. Sehingga orang kaya dan miskin pun mampu melakukannya tanpa harus berfikir panjang. . Dari Abu Dzar (radhiyallahu ‘anhu), dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; "Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu“ (HR At-Tirmidzi, No. 1956 | Yufid). . Setiap insan yang kita taburkan benih-benih kebaikan melalui senyuman, mampu untuk mengubah dunia yang selama ini dianggap kelam oleh mereka yang kehilangan rasa kasih sayang. Dengan rasa yang tulus dan ikhlas, orang yang melihat kita tersenyum akan tertular untuk mengikuti meski masih terdapat luka di dalam hati. Yang perlahan-lahan luka tersebut diobati dengan ketenangan dan kebahagiaan, bahkan tersentuh dengan keindahan Islam dan mendapatkan hidayah karena senyuman. . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang lain, mengatakan; “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik, meskipun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria." (HR. Muslim, No. 2626 | Yufid) . -- #CatatanLama (Sore, 17/04/2016 | Dengan Gubahan) https://www.instagram.com/p/CJtPDUiBBDJ/?igshid=1kbuiziz56nz7
1 note
·
View note
Text
Menyikapi Diri
Seorang guru saya pernah menekankan tentang keharusan seorang mukmin meyakini bahwa Allah selalu Melihat tindakannya. Baik buruk semua tak luput barang satu pun. Takut terhadap azabNya adalah salah satu bentuk keimanan seseorang terhadap Allah dan hari akhir. Sehingga rasa tersebut akan menguatkan dirinya dengan komitmen mengikat untuk mencintai akhirat melebihi dunia, berbuat segala sesuatu tidak sekehendaknya.
Seorang mukmin yang ruhnya adalah iman akan selalu berbuat sesuai perintah Allah, pun dalam mensikapi profesi yang ditekuninya. Guru saya memberikan banyak contoh penerapan. Ketika menjadi pedagang maka seseorang akan berbuat jujur. Ketika menjadi pemimpin maka seseorang akan berbuat adil dan tawadhu’. Ketika diberikan amanah perbendaharaan maka seseorang akan menjaga amanah tersebut dengan baik dan teliti. Dan masih banyak lagi.
Seorang mukmin juga percaya bahwa jalan menuju akhirat adalah dengan amal shalih. Amal yang orientasinya hanya untuk akhirat, bukan hanya untuk maslahat di dunia saja. Balasan surga dan neraka hanyalah stimulus dalam memilih suatu sikap atau tindakan. Sejatinya, niat dalam berbuat hanyalah untuk mencari ridha Allah saja. Karena ridha Allah adalah kunci segalanya.
So, lagi-lagi, segala sesuatu kembali pada apa yang diniatkan bukan? Hanya untuk Allah atau untuk urusan dunia. Mari bersama selalu memperbarui niat karena kita tak pernah tahu seberapa terjal jalan ke depan dan seberapa kuat kita bertahan. Wallahu a’lam.
Yaa muqallibal quluub, tsabbit quluubanaa ‘alaa diinik.
.
0 notes
Text
Kalau Memang Teman
Kalau kita memang sungguh berteman, kenapa mesti menciptakan jarak? Kenapa mesti menyembunyikan sesuatu? Kenapa mesti tidak prcaya? Kenapa mesti merasa tersaingi?
Lampu-lampu jalan saja tidak pernah cemburu dengan cahaya bulan. Mereka sungguh berteman, saling percaya untuk saling membantu menghiasi bumi di kala malam.
#catatanlama
Bdg, 6 Agsts 2020 | 17.48 | @wedangrondehangat
8 notes
·
View notes