#baju lebaran matahari
Explore tagged Tumblr posts
Text
Aku yang tidak fotogenic ini harus dihadapkan dengan tetehku yang kalau foto orang suka asal jepret. Alhasil potret aku yang melas inilah hasilnya.
Btw lebaran kali ini aku ngga beli baju lebaran, tapi karena masih Rizkyku, teteh dan sepupuku beliin aku baju hahaha. Tetehku yang lain beliin aku sepatu baru uhuyyy. Almarhum Abahku pasti terharu karena anak bungsunya masih dibeliin baju (padahal beli sendiri juga bisa awowkwkwkwk).
Baju tunik yang diberikan oleh tetehku ini aku padu padankan dengan celana putih yang sudah aku punya sendiri. Lalu aku memakai sepatu yang dibelikan oleh tetehku sebagai alas kakinya. Aku sendiri lebih nyaman memakai sepatu ketika berjalan kaki dalam kurun waktu yang cukup lama. Lebih nyaman dan terhindar dari panasnya matahari yang Masyaa Allah ini.
Outfit yang sering ku pakai adalah outfit yang membuatku nyaman hahaha. Aku lebih banyak mengoleksi baju tunik yang aku padu padankan dengan celana maupun rok. Pokoknya nyaman deh kalau dipakai dan ngga bikin risih juga.
- 19 April 2024
15 notes
·
View notes
Text
09. Your favorite childhood memory
22 Mei 2024 Your favorite childhood memory 9/150
Sebagai seorang anak lulusan Pendidikan rumah nenek, dan telah menetap sejak usia satu tahun hingga menjelang akhir sekolah menengah pertama, bisa dibilang masa kecilku dipenuhi dengan cerita manis, pahit, asam, garam, dan menyenangkan. Berada dilingkungan rukun tetangga yang hangat, keluarga yang suaranya diatas oktaf sebab kakekku yang saat itu memiliki sedikit kekurangan pendengaran, serta nenek yang senang sekali menyetel lagu Ida Laila sehabis ashar sampai sebelum magrib tiba, membuat cerita masa kecil ini penuh dengan memori bahagia yang kupunya.
Aku ingat betul sewaktu usiaku mungkin kisaran lima atau enam tahun, setiap ingin pergi ke sekolah taman kanak-kanak, ada satu tetangga yang sudah mengganggap aku anaknya sendiri, seorang ibu dan bapak dengan dua anak laki-lakinya yang sudah remaja kala itu, mereka selalu sudah siap dengan motor vespa abu-abu milik sang bapak, dan istrinya di belakang menjemputku dirumah nenek yang kala itu aku selalu naik berdiri di depan. Dengan wajah penuh bedak, kerudung yang hampir menutupi mataku, aku kegirangan diantar sekolah oleh mereka yang kuanggap orang tuaku kala itu.
Atau saat sekolah dasar, mungkin ini bukan pengalaman yang baik tapi kurasa menyenangkan sekali berjalan kaki pulang dan pergi ke sekolah yang jaraknya kisaran dua kilo meter lebih ditempuh melewati jalan penyebrangan yang teramat luas. Bagi anak seusiaku kala itu, menyebrang lewat jalan raya adalah hal menyeramkan yang harus kita lalui, alih-alih meminta tolong disebrangi setiap hari, aku beserta teman-teman yang searah dengan rumahku, melewati jalur penyebrangan alternatif dibawah jalan raya yang terbentang luas, kolong jembatan. Dulu, kami begitu aman melewati jalan-jalan seperti itu, meski banyak orang-orang yang bekerja sebagai pencari barang bekas atau gelandang yang tidak memiliki tempat tinggal terpaksa tidur dan berlapak disana, jaman itu lingkungan bisa dikatakan aman untuk tempat berjalan dan bermain anak-anak.
Sesekali aku juga turut diminta bareng saja dengan kakak kelas yang bersekolah menggunakan sepeda. Kadang aku enggan menerima tawarannya, sebab untuk seusiaku saat itu, canggung sekali di “ciye-ciyekan” oleh teman-teman yang melihat. Makanya aku lebih suka berjalan kaki, sambil sesekali berkhayal sedang berada didalam “petualangan Sherina” sebab teman sejalanku saat itu juga sama serunya denganku. Haha
Waktu pulang sekolah adalah waktu yang paling dinanti-nanti olehku. Pasalnya, aku beserta kedua temanku yang memang kami terbiasa berkumpul dan bermain bertiga kala itu, kami biasa menghabiskan waktu sampai sore hanya untuk bermain sepeda, memutari daerah rumah kami. Tidak hanya bersepeda, kami juga kadang menepi dipinggir Sungai yang kala itu aliran airnya masih cukup bersih untuk kami bermain-main disana, dan cukup teduh untuk bercanda dan berimajinasi apapun sesuai tema harian yang kami sepakati bersama. Kadang aku bisa menjadi penjual sayur, kadang bisa menjadi pencari berudu, atau kadang kami juga bisa menjadi detektif yang menyamar dan menemukan penjahat dengan sepeda yang kami kayuh dibawah terik matahari.
Ahh, rasanya menyenangkan sekali jika bisa kembali ke masa kanak-kanak. Banyak lingkar pertemanan yang berbeda-beda, merasakan pahitnya dimarahi tante saat aku susah sekali diminta menghabiskan makananku, merasakan manisnya memiliki baju lebaran yang kuidam-idamkan hadiah dari para tante dan kiriman ibuku, merasakan kue oleh-oleh kondangan dari nenek yang selalu membungkusnya dengan tisu didalam tas miliknya, atau dibonceng sepeda oleh kakek demi berfoto bersama presiden yang dulu ramai sekali diarak menuju istana.
Kenangan-kenangan manis dan pahit itulah yang menemaniku tumbuh. Tinggal dilingkungan yang beragam dan hangat, saling membantu dan mengisi saat membutuhkan, saling mengerti apabila ditimpa kesusahan.
Ohya, aku memang bukan dari kalangan berada, barang mewah seperti video game atau handphone memang tak pernah tersentuh olehku, tapi berkat tante dan nenekku, aku merasakan indahnya semua permainan tahun 90an yang hampir semua bisa kurasakan. Berkat mereka, aku juga dapat hidup mandiri sedari kecil. Ada satu memori yang sangat indah, kenangan saat bulan Ramadhan datang, dan teman-teman memanggil namaku guna mengajakku solat subuh di masjid Bersama. Kami berlari dan tertawa bersama. Bercerita apa saja, atau menghabiskan waktu dengan bertukar orji, atau menunggu ayamku bertelur didalam Tamagotchi milikku. Mengaji sore, merasakan asiknya bangun pagi di hari minggu demi tontonan yang kami tunggu-tunggu, merasakan cinta monyet yang kurasa, aku juga pernah menyukai seorang anak dari kampung sebelah yang jago sepak bola kala itu. Atau momen main hujan bersama teman-teman dengan busa sampo dikepala yang tak kunjung bosan kami lakukan setiap hujan besar mengguyur ibu kota kala itu. Ahh, menyenangkan dapat mengingat kepingan memori masa kecil itu.
Kurasa, ada bagian dimana kita semua punya memori yang sama. Yaitu momen tidur siang yang menjadi hal wajib namun sungguh berat untuk anak-anak seusia kita kala itu. Kita baru sadar, disaat dewasa ini, ternyata tidur siang memang sebuah hal Istimewa yang tak semua orang dapatkan. Ah, diriku, kenapa kamu semalas itu untuk tidur dan mendengarkan kata-kata nenekmu dulu. Hehehe
Baiklah, selamat menjadi dewasa ya.
Teruslah mengingat hal-hal masa kecilmu, saat hari-hari berat dan kau tak sanggup untuk berjalan lebih cepat.
Terima kasih untuk kenangan yang masih tersimpan, pada kotak memori yang terjaga dengan baik, sebab dirimu berarti 😊
0 notes
Text
Shimmer: Tren Baju Lebaran yang Membius Mata di TikTok!
Lebaran sebentar lagi! Bagi para kaum hawa, ini saatnya mempersiapkan diri untuk tampil memesona di hari kemenangan. Tahun ini, dunia fashion tanah air diramaikan dengan tren baju Lebaran yang unik dan menarik, yaitu Shimmer. Istilah ini sedang berseliweran di lini masa TikTok, membuat banyak orang penasaran.
Apa Sih Shimmer Itu?
Shimmer bukanlah istilah asing dalam bahasa Inggris. Kata ini berarti "berkilau" atau "berkelap-kelip". Namun, dalam dunia fashion Lebaran 2024, Shimmer memiliki makna yang lebih spesifik. Shimmer merujuk pada busana dengan bahan berkilau yang menampilkan efek glamor dan elegan. Biasanya, bahan yang digunakan untuk tren Shimmer adalah kain sutera atau silk dengan sentuhan khusus yang membuatnya memiliki efek berkilau tersebut.
Mengapa Shimmer Menjadi Tren?
Tren Shimmer diperkirakan muncul sebagai reaksi atas dominasi busana Lebaran berbahan katun dan woolen selama beberapa tahun belakangan. Para desainer dan penggiat fashion ingin menawarkan sesuatu yang berbeda dan lebih fresh untuk menyambut Lebaran tahun ini. Selain itu, efek berkilau pada bahan Shimmer memberikan kesan mewah, elegan, dan cocok dipakai untuk berbagai acara Lebaran, mulai dari silaturahmi dengan keluarga hingga pesta kemenangan bersama teman.
Jenis-jenis Baju Shimmer
Tren Shimmer tidak terpaku pada satu jenis busana saja. Para desainer berlomba-lomba menciptakan berbagai macam pakaian Lebaran dengan efek Shimmer, diantaranya:
Gaun Shimmer: Ini adalah pilihan yang tepat bagi Anda yang ingin tampil cantik dan feminin di hari Lebaran. Gaun Shimmer tersedia dalam berbagai potongan, mulai dari yang longgar dan flowy hingga yang lebih pas badan dan menonjolkan siluet tubuh.
Kebaya Shimmer: Bagi Anda yang tetap ingin menjaga nuansa tradisional di hari Lebaran, kebaya Shimmer bisa menjadi pilihan yang tepat. Kombinasikan kebaya Shimmer dengan bawahan batik atau songket untuk tampilan yang elegan dan berbudaya.
Gamis Shimmer: Pria juga tidak ketinggalan dalam tren Shimmer. Gamis Shimmer dengan efek berkilau yang halus dapat memberikan kesan gagah dan berwibawa di hari Lebaran.
Tips Memilih Baju Shimmer
Meskipun memikat, memilih baju Shimmer perlu adanya pertimbangan agar penampilan Anda tetap menawan dan tidak berlebihan. Berikut beberapa tips yang perlu diperhatikan:
Sesuaikan dengan bentuk badan: Pilihlah baju Shimmer dengan potongan yang sesuai dengan bentuk badan Anda. Jika memiliki badan yang ramping, Anda bisa memilih baju Shimmer yang lebih pas badan. Sementara itu, bagi yang memiliki bentuk badan yang lebih berisi, pilihlah baju Shimmer dengan potongan yang lebih longgar dan flowy.
Perhatikan Warna: Warna juga merupakan faktor penting dalam memilih baju Shimmer. Jika Anda memiliki kulit putih, Anda bisa memilih baju Shimmer dengan warna yang cerah dan berani. Sementara itu, bagi yang memiliki kulit sawo matang, pilihlah baju Shimmer dengan warna yang lebih gelap dan terang agar tidak terkesan kusam.
Padu Padan yang Tepat: Baju Shimmer sudah memiliki efek yang berkilau dan mencolok. Oleh karena itu, Anda perlu berhati-hati dalam memadupadankan dengan aksesoris dan hijab agar tidak terkesan berlebihan. Pilihlah aksesoris yang sederhana dan hijab dengan warna yang netral agar penampilan Anda tetap seimbang.
Tips Merawat Baju Shimmer:
Bahan Shimmer memerlukan perawatan yang khusus agar tetap awet dan berkilau. Berikut beberapa tips yang perlu diperhatikan:
Cucilah baju Shimmer dengan tangan menggunakan detergen yang lembut.
Hindari mencuci baju Shimmer dengan mesin cuci karena dapat merusak bahan.
Jemurlah baju Shimmer di tempat yang teduh dan tidak terkena sinar matahari langsung.
Setrika baju Shimmer dengan setrika uap atau setrika dengan suhu yang rendah.
Kesimpulan:
Tren Shimmer menjadi alternatif menarik untuk busana Lebaran yang ingin tampil berbeda dan glamor. Dengan memilih baju Shimmer yang tepat dan memadupadankannya dengan aksesoris yang sesuai, Anda akan tampak cantik dan menawan di hari Lebaran.
0 notes
Text
Mood gw di malam lebaran idul fitri 2024 ini bad bgt,
Gw lelah bgt hari ini, mak gw byk bgt nyuruh” nya, trs apa yg gw lakuin gk ada apresiasi dn malah keliatan kyk gw blm ngapa”in krn 2 kerjaan gk gw lakuin krn gw cape btl. Ambil gas dn motong bju
1. Dr abis sahur gw mau tdran gk bisa krn di srh jaga bayi.
2. Blm beres kerjaan ini udh d srh kejain yg lain, gw nyapu teras krn debu dr mobil abg gw.
3. Menjelang siang gw sikat wc, dn mak gw nyindir gw yg blm motongin baju lebarannya.
4. Baru beres gw nyikat wc di terik matahari mak gw udh nyuruh ambil gas
5. Gw bila bntr lagi aja panas bgt, gw bobo siang bangunnya jam 3.
6. Lanjut nyapu halaman yg gedenya segede lapangan bola. Dan gw gatel” setelah itu krn ulat bulu byk bet d rmh gw skrg
7. Jam setengah 6 Disuruh ambil lontong
8. Baru gw jalan mau ambil lontong udh disalahin gas abis gegara gk langsung gw anbil td siang.
9. Lgi mau otw ambil lontong Disuruh pasang lampu teras detik itu jg.
10. Mlmnya selesai isya gw masih lanjut bilas kain sm nyetrika bju gw.
Plis gw capek!!
Malamnya diajak tak iran gw udh duluan bad mood.
Blm lagi kk gw gk bantuin gw beberes samsek kali ini. Iya sih dia lagi hamil
Abg gw kerjaanya apasih, dr dl kl lebaran kerjaannya molor aja, paling cm nyari daging. Dan mak gw gk marah ke dia. Tp ke ge yg udh ngelakuin ini itu gk keliatan di matanya. Malahan kl berhadapan dn ngomong ke gw mak gw marah dn emosi mulu.
😭🥹
Selasa 9 april 2024
0 notes
Text
42 Anak Yatim Dan Dhuafa Bergembira Belanja Baju Lebaran Bersama Gerakan Istiqomah Sedekah
MEDAN (Waspada): Gerakan Istiqomah Sadaqoh (GIS) yang merupakan wadah penerima dan penyalur sedekah, kembali menggelar program berbelanja baju lebaran bersama 42 anak yatim dan dhuafa, di Matahari Thamrin Plaza, Minggu (24/3/2024). Julaika Hasanah penanggung jawab kegiatan GIS berbelanja mengatakan, program berbelanja baju lebaran bersama anak yatim dan dhuafa ini merupakan program yang sudah…
View On WordPress
0 notes
Text
Matahari 🌞
Hi!
Kalian pasti familiar dengan Matahari Department Store. Kalau boleh cerita, dulu waktu kecil menjelang lebaran pasti dibawa papa (almarhum) dan mama ke sana. Euforia menjelang lebaran, apalagi selain membeli baju baru. Di antara gue, kk, dan adik gue. Pasti cuma gue yang paling mahal beli bajunya. Don't know why, dari kecil gue cenderung lebih suka sesuatu yang 'mahal'.
Hariini, gue ke salah satu Mall di Bekasi dan sengaja mau liat-liat ke Matahari. Vibesnya ternyata bikin sedih ya..
Dulu mungkin baju baru hal yang wajib setiap mau lebaran - ini mungkin terjadi sampai gue mau masuk SMA. Tapi, sekarang di umur gue yang sudah 30 thn ini. Baju baru bukan lagi hal yang penting, bahkan sudah sampai pada tahap kayaknya gue ga butuh apa-apa yg melekat pada tubuh yang sifatnya 'sementara'.
Bahkan tadi melihat euforia beli baju lebaran baru pun bikin gue mikir, mungkin dulu gue sama seperti anak-anak itu, antusias. Tapi sekarang rasa-rasanya pake baju 2/3 tahun yang lalu pun masih bisa.
Kayaknya umur segini itu lebih banyak diemnya, lebih banyak mikirnya, dan lebih banyak intropeksinya.
atau mungkin ini cuma pribadi gue aja?
Sekarang rasanya keramaian saja bikin pusing, ketemu banyak orang aja energinya terkuras, bahkan untuk menjelaskan bahwa kamu tidak salah atas prasangka orang lain pun rasanya tidak perlu.
Rasa-rasanya lebih baik menjalani hidup ini seadanya saja, secukupnya, senyamannya.
1 note
·
View note
Text
Hari ke 10: Awal Pekan tqpi Menuju ⅓ Akhir Ramadan
Produktifitas hari ini memuaskan sekali, aku jadi ingin memuji diri sendiri karena banyaknya hal yang dilakukan diri sejak bangun sampai merebah pasrah di akhir hari. Alhamdulillah, masih Allah kasih mampu dan mau untuk mengerjakan beberapa kegiatan tanpa kemageran panjang. Wkwk😆
Bangun sahur makan nasi berlauk ayam suwir dan oseng tempe tanpa terburu-buru dan tidak terlalu awal. Minum cukup masih sangat sempat dan tak lupa imboost dikonsumsi untuk support badan kemudian.
Berlanjut ibadah wajib biasanya yaitu solat subuh lalu berbekal bismillah, melaju mengejar ketertinggalan atas target bacaan bulan ramadhan sebab kemarin harus liburan. Alhamdulillah, progres lumayan. Semoga terkejar, akan terus diusahakan bisa sampai. InsyaAllah.
Saat matahari mulai kelihatan, dimulailah agenda lanjutan. Bebersih berbenah kamar dan beberapa sudut rumah dengan semangat. Mulai dari cuci piring, cuci mukena, ganti seprei sepaket semua, menata bebajuan, lanjut menyapu, mengepel kamar, masukin banyak laundrian berisi baju tas seprei dan selimut-selimut yang meminta diberi perhatian. Ini langkah-langkah nyicil lebaran yhaa. Agar sepuluh hari terakhirnya makin semangat juga. Semoga Allah kasih sampai untuk menikmati syawal.
Walau harus membolos terawih di masjid, tapi mencari pahala jalur lain malam ini: bersabar menemani belajar anak-anak pintar serta menemani seorang ibu berdiskusi panjang lebar mengenai mendidik anak-anak istimewa. Pulang terlambat, beruntung sepanjang jalan sepi dari Sedayu sampai Seyegan membarengi iringan dua bapak berjaket Tempel community, bersarung dan helm hitam honda samaan kayak janjian. Wkwkwk :B
Aku yang biasanya berkendara pulang hanya bersenandung riang, entah gimana tadi malah digerakkan hatinya oleh Allah untuk mendengarkan kajian ustadz Hanan Attaki coba sepanjang jalan pulang. Bahasan paling menarik yang didengar hari ini adalah tentang bagaimana kita manusia menerima takdir yang merupakan ketentuan dari Allah, tentang konsep belajar ridho mengembalikan semua-muanyanya kepada Allah, dan tentang menggunakan logika iman yaitu berprasangka yang baik kepada Allah atas setiap hal yang sudah terjadi. Isinya bukan cuma mengenai "jodoh" lho. Takdir kan gak cuma itu doanf cakupannya.
Menutup hari, berwudhu sholat skincare-an lalu istirahat dengan nyaman tepat tengah malam, setelah semua sumber cahaya dimatikan. Kamar gelapku memeluk ragaku, memberikan perlindungan.🕯
Sleman, 10 April 2023
~f.nb~
1 note
·
View note
Text
YANG PALING LENGKAP, Call 0895-3616-39960, Baju Muslim Lebaran 2023 Terbaru Al Luthfi
KLIK https//wa.me/62895361639960, Baju Koko Pria Di Jogja, Baju Koko Pria Di Makassar, Baju Koko Pria Di Matahari, Baju Koko Pria Di Malang, Baju Koko Pria Di Semarang
TOKO UTAMA Al - Luthfi Thamrin City Lt. Dasar 1 Blok E21 No. 1-5, Tanah Abang, Jakarta Pusat - 10260,
(Sebelah Grand Indonesia Jakarta)
WORKSHOP Al - Luthfi Jl. Pagaden No. 52, Kawalu, Kota Tasikmalaya - 46182,
(Depan Perum Pondok Tandala)
Langsung OWNER : 0813-1253-5366
Kunjungi Juga https://www.instagram.com/alluthfi_store/
#grosirbajukokoklaten#grosirbajukokokeren#grosirbajukokokurta#grosirbajukokokalimantan#grosirbajukokolenganpanjang#grosirbajukokolampung#grosirbajukokolebaran#grosirbajukokolenganpendekbandung#grosirbajukokomedan#grosirbajukokomodern#bajupakistanoriginal#bajupakistankokokeren#bajupakistankerenmurah#bajupakistanjubah#bajupakistanmurah#bajupakistanindonesia#bajupakistananak#bajupakistanjakarta#bajupakistan#bajupakistanigrosir
0 notes
Text
Kalian butuh Konveksi Baju Lebaran Murah di Lampung? Hubungi wa.me/085725063810 . Dijamin Berkualitas, MURAH, dan proses cepat.
Konveksi Baju Lebaran Murah di Lampung,Konveksi Baju Lebaran Terbaik di Lampung, Konveksi Baju Lebaran Terbaru di Lampung, Konveksi Baju Lebaran Terlengkap di Lampung, Konveksi Baju Lebaran Terbesar di Lampung, Konveksi Baju Lebaran Terpercaya di Lampung, Konveksi Baju Lebaran Termurah di Lampung, Konveksi Baju Lebaran Tangan Pertama di Lampung, Konveksi Baju Lebaran First Hand di Lampung,
Perusahaan kami adalah Konveksi Baju Lebaran Murah yang terletak di Solo.
Produk yang Saya sediakan adalah sebagian produk lokal dan
juga produk import. Kami membuka kesempatan bagi reseller dan
dropship untuk bergabung bersama Perusahaan kami. Akan ada reward spesial untuk
reseller/dropship aktif, diantaranya giveaway logam mulia.
Keuntungan gabung menjadi team/Reseller dari Konveksi Baju Lebaran Murah adalah :
1. Produk bervariasi
ada banyak pilihan model tersedia
2. Produk Update Setiap Hari.
Ada model baru update tiap hari, jadi reseller tidak perlu bingung setiap hari bisa promosi
3. Ada garansi untuk semua produk .
Jika produk ada cacat ata tidak sesuai pesanan, kami garansi 100% uang kembali
4. Ada bimbingan cara jual untuk pemula.
akan disesiakan kelas pembinaan untuk reseller pemula dan untuk reseller tetap akan mendapat update
ilmu maksimal setiap sebulan sekali.
5. Ada reward untuk reseller aktif.
Untuk reseller aktif kami siapkan reward logam mulia, dengan syarat target penjualan 100pcs
dalam waktu 1 tahun.
6. Gudang ada di solo, bisa kirim ke seluruh Indonesia bahkan luar negeri.
hemat ongkir, daripada produk yang bisa dari luar pulau jawa.
7. Customer Service yang ramah dan fast respon
Tertarik untuk dapat penghasilan lebih? Yuk Join bersama ratusan reseller lainnya
Info dan pemesanan :
Ibu Nanik.
wa.me/085725063810
Web : https://raniagrosir.store/
Katalog klik t.me/bajusolo18
Testimoni klik t.me/raniatesti
baju lebaran indonesiabaju lebaran jaman sekarangbaju lebaran jaman dulubaju lebaran jumbobaju lebaran jadul
#bajulebaranuntukpria #bajupasangansuamiistriuntuklebaran #bajuremajabuatlebaran #gamisterbaru2021lebaran #bajulebaranremajaperempuan #gamisbatiklebaran2021 #bajukebayauntuklebaran #bajulebarankeluargabesar #recommendedbajulebaran
baju couple lebaran bareng pacar, baju lebaran bumil 2021, gamis putih brokat lebaran, baju lebaran matahari, baju gamis keluarga untuk lebaran, baju lebaran pria masa kini, baju lebaran terbaru 2021 remaja, baju lebaran prilly latuconsina, baju batik buat lebaran, busana lebaran keluarga
#baju couple lebaran bareng pacar#baju lebaran bumil 2021#gamis putih brokat lebaran#baju lebaran matahari#baju gamis keluarga untuk lebaran#baju lebaran pria masa kini#baju lebaran terbaru 2021 remaja#baju lebaran prilly latuconsina#baju batik buat lebaran#busana lebaran keluarga
0 notes
Text
Setiap liburan lebaran saya selalu sempatkan untuk datang ke Masjid Istiqlal. Alasan utamanya lebih karena Masjid Istiqlal memiliki arsitektur yang sangat bagus. Tiang-tiang besar dengan selasar di sayap kanan dan kirinya membuat banyak sekali komposisi menarik untuk di foto. Belum lagi area-area terbuka membuat cahaya yang masuk menjadi menarik untuk ‘bermain’ lighting.
Sama seperti tahun lalu kali ini saya main ke sana pada siang hari. Memilih siang karena situasi cahaya di sana cocok dengan kamera dan lensa saya yang punya aperture maksimal 4, tidak cukup besar untuk menangkap cahaya lebih banyak. Kedua, saya tidak membawa tripod padahal tripod sangat mendukung saya untuk mengambil gambar di dalam dengan shutter rendah demi menjaga iso rendah sehingga gambar menjadi lebih tajam dan terbebas dari noise.
Sampai di Masjid Istiqlal saya sedikit terkejut karena ada beberapa perubahan yang terjadi. Halaman masjid di renovasi sedikit sehingga mirip sekali dengan halaman di GBK. Area luas dengan bangku dan tanaman yang ter-cluster kecil-kecil. Terlihat menyenangkan dan rapi. Dan yang menurut saya paling terlihat perubahannya adalah, saat ini jamaah tidak diizinkan melepas sepatu dan sendal persis di depan pintu masuk utama. Sepatu dan sandal harus dilepas dan dititipkan di tempat penitipan yang berjarak sekitar 20 meter dari pintu utama. Bagus karena membuat pintu masuk menjadi lebih bersih dari sepatu dan sandal yang berserakan. Sayangnya antara tempat penitipan dengan pintu utama tidak difasilitasi dengan lantai atau sesuatu yang melindungi lantai dari terik matahari. Yang terjadi, jamaah harus berjinjit-jinjit sambil meringis karena lantainya panas minta ampun. Serius, panas minta ampun. Cukup untuk membuat telapak kaki melepuh.
Di dalam masjid, di aula utama, karpet yang digunakan masih karpet merah, hanya terlihat lebih bersih. Di tiang-tiang besar sudah tersedia mushaf banyak jadi jamaah bisa pinjam untuk tilawah di tempat. Area terbuka di kanan dan kirinya lebih bersih tidak terlihat sampah-sampah menumpuk. Meski masih saja banyak jamaah yang tidak tertib menjaga kebersihan. Air minum tumpah di lantai, sampah makanan (dari bekal) yang masih berserakan (tidak banyak, tapi cukup menyebalkan melihatnya). Ditambah lagi perilaku tidak tertib dari sebagian jamaah (ini yang paling menyebalkan). Mencari tempat-tempat ‘terpencil’ untuk tidur (bahkan ada yang buka baju singletan doang) dan makan, mengacuhkan instruksi petugas untuk menitipkan sepatu dan sendal (bebal sekali orang-orang ini, hih).
Anyway, Masjid Istiqlal masih menjadi pilihan umat Islam di Jakarta (dan juga dari daerah lain) untuk sholat di sana, terutama pada (dua) hari raya. Bagi saya, Masjid Istiqlal tetap pilihan utama untuk hunting foto. Ehehee.. Mengasah kemampuan mencari komposisi dan melatih insting bermain cahaya yang menarik. Akan kembali lagi untuk hunting disaat malam, karena pastinya lebih indah.
Gambar 1 dan 2 diambil menggunakan mirrorless Sony dengan lensa 18-105mm. Gambar 3 dan 4 diambil menggunakan iPhone 11 karena lensa widenya lebih lebar dibandingkan lensa mirrorless.
2 notes
·
View notes
Text
Bagian Hidup yang Harus Disyukuri.
“Yah, inget ngga dulu pas kita masih bocil, kita pernah main di pantai ini, dan dijagain sama mbak-mbak kita. Eh sekarang gantian kita yang jagain para bocil.”
****
Malam minggu kemarin Mbak Anjas ngadain aqiqah untuk anaknya yang baru lahir. Keluarga besar pada ngumpul dooong. Nah, salah satu sepupuku sok ngide banget, ngajakin ke pantai naik mobil bak alias mobil pick up. Alhasil, dipagi yang cukup terik ini aku bersama 21 saudaraku jalan-jalan ke pantai yang terletak kurang lebih 6 km dari rumahku.
Bak mobil dialasin kardus dan digelarin tikar untuk duduk para penumpang. Baju ganti, termos air serta segala macam jajanan nggak lupa disiapin. Jam 9 an cusss berangkat. Bentuk kita tu udah kaya orang dusun ke kota pake mobil pick up atau orang gunung main ke pantai kalo pas lagi lebaran hahahaha. Ngga usah ditanya gimana rasanya.. pokoknya, ahhhh mantap.
Sensasi dipanggang matahari, badan naik turun karena jalan bergelombang, plus duduk sempit-sempitan bikin ketawa ketiwi sepanjang jalan.
“ Nanti di sana ada yang jualan ngga ya ?”, celetuk salah satu sesepuh.
“ Biasanya kalo hari minggu ada.”, jawab sepupuku.
Aku dengan sigap dan lantang langsung nyaut,
“Perhatian-perhatian, Dyah ngga punya duit blaass.”
Huahahahahahahahahaha…. semua pada ketawa. “Amaaaaaan”, kata yang lain.
Ini lho enaknya pergi sama yang lebih tua. Cukup bawa badan aja, ngga perlu mikirin urusan perut, semua beres hahaha. Tapi aku pun juga gitu, kalo pergi sama yang lebih kecil, ya urusan perut mereka, aku yang nanggung wkwkwk.
Setelah sampai pantai, ngga berlama-lama para bocil langsung nyemplung. Aku dan Mbak Yai ikutan nyemplung buat jagain mereka. Yang lain duduk santai dipinggir pantai sambil makan bekal yang dibawa. Sebenernya mandinya ngga di pantainya sih, tapi di muaranya, yang lebih aman. Airnya paling-paling cuma di atas mata kaki orang dewasa, jadi resiko jauh lebih kecil. Walaupun begitu, tetep aja bikin darah tinggi. Udah dibilangin jangan jauh-jauh mainannya, tetep aja lari sampai ujung. Huuuuh jan. Angel.
Mbak Yai nyeletuk,
“Yah, inget ngga dulu pas kita masih bocil, kita pernah main di pantai ini, dan dijagain sama mbak-mbak kita. Eh sekarang gantian kita yang jagain para bocil.”
Ngga terasa, sudah sekian belas tahun waktu berlalu. Dulu aku dan Mbak Yai yang dijagain sama mbak-mbak dan mas-mas, sekarang gantian aku dan Mbak Yai yang jagain anak-anak mereka. Sedangkan mereka ? Duduk santai sambil mantau kita-kita hahaha.
Beberapa belas tahun kedepan, bocil-bocil ini akan menggantikan tugasku dan Mbak Yai untuk jagain generasi berikutnya. Sedangkan aku dan Mbak Yai ? Duduk santai sambil matau mereka hahaha. Aamiin.. Semoga silaturahmi dan kerukunan ini selalu terjaga.
Setelah perut, suara dan emosiku udah capek, bocil-bocil tak suruh mentas. Semua ganti baju dan makan bekal. Tidak lupa para donatur ngebeliin jajanan khas pantai sini -sosis goreng, bakso bakar dan jangan lupa pop ice nya hahaha. Antrinya masya allah…aahhh mantap.
Mandi pantai udah, barang bawaan beres, perut kenyang, waktunya pulaaaaaang. Jam 12 an sampai rumah. Baru aja masuk rumah, mamak bilang, “gosong men”. Akupun tersenyum :)
1 note
·
View note
Text
Memaknai Lebaran
Seiring bertambahnya usia, ada banyak hal yang berbeda dalam cara kita memaknai lebaran. Semasa kecil, lebaran menjadi yang ditunggu bersebab keinginan untuk segera memakai baju baru, uang-uang yang diberikan oleh pakdhe dan budhe yang segera mungkin dibelikan mainan, dan mudik ke kampung yang diwarnai tidur sepanjang perjalanan.
Menjelang kepala dua lalu kita semakin memaknai dengan cara yang berbeda. Awalnya kita mulai sadar bahwa tak selamanya berbuka yang terbaik harus bersama keluarga, karena bisa jadi kita harus ke masjid di malam-malam terakhir untuk berlomba dan berburu surga. Malam takbiran pun terkadang terlewatkan, hingga sholat idul fitri mulai tak lagi dijalankan bersama.
Masa berubah hingga akhirnya kita menyadari, bahwa kenangan-kenangan yang indah itu tak selalu harus terwujud setiap tahunnya. Kita mulai menyadari realita, bahwa terkadang terpisah karena sekolah, terpisah karena kerja adalah satu hal yang harus diterima.
Hari-hari ini kita belajar lagi, akan keterbatasan yang ada, membuat silaturahim yang ditunggu, membuat ibadah yang selalu dirindu jadi harus terlaksana dengan apa adanya. Dari rumah, sederhana dan tak begitu meriah, hingga tak lagi ramai riuh oleh teman-teman yang bersama-sama berlomba memperbanyak tilawah.
Di hari-hari ini kita memaknai Lebaran dengan banyak hal yang terasa menyesakkan. Walau demikian, barangkali banyak dari orang di luar yang telah merasakan rasa itu jauh sebelum Corona melanda.
Ada polisi yang tetap bertugas mengatur jalan, ada penjaga palang kereta yang di hari lebaran masih setia menanti kereta lewat, hingga para tenaga medis yang berjibaku menahan rindu dengan orang tersayang demi menjaga satu kehidupan. Tiap-tiap mereka, barangkali telah merasakan bagaimana kerinduan itu membuncah dan tetap harus ditahan, agar orang lain bisa berlebaran dan menuntaskan kenangan-kenangan.
Memaknai lebaran ini juga membuat kita sadar, dalam menyambutnya, barangkali ada yang ingin bertemu dengan sebaik-baik kemenangan. Mereka ingin juga sejenak berlalu dari hiruk pikuk dunia, bertafakur di malam-malam terakhir Ramadan, tapi apa daya, ada begitu banyak keterbatasan. Jadwal kantor yang mengikat, uang pas-pasan dari hasil jualan dalam terik hujan dan derasnya matahari, dan tuntutan sosial untuk tetap bekerja demi menciptakan kenyamanan.
Memaknai lebaran kadang membuat sadar, bahwa lebaran itu bukan tentang bertambah lebarnya tubuh bersebab berbuka puasa yang kebanyakan. Tapi tentang bertambah lebarnya pemahaman, akan apa-apa yang selama ini belum kita lihat dengan seutuhnya.
Memaknai lebaran barangkali takkan pernah usai hingga nanti kita menua. Biarlah kemudian kita tak pernah berhenti berjuang dan berlari mengejar kemenangan. Biarlah kemudian dalam setiap lebaran kita bertambah keberkahan dan bertumbuh pemaknaan.
Jadi, apa makna lebaranmu kali ini?
32 notes
·
View notes
Text
Kisah Dua Ramadan
#1
Cemeti
Saya masih ingat rasanya: tangan saya memerah, panas, mencengkeram erat lambung perahu kecil. Sudah hampir satu jam, perahu itu enggan berhenti melompat liar di atas air. Kesurupan.
Lambung luar perahu itu terus dihantam gelombang dari kanan dan kiri. Tinggi ombak tak kurang dari 1,5 meter. Mungkin jauh lebih dari itu. Kadang-kadang limpasan air menciprat hingga ke wajah, baju saya.
Rasa-rasanya, perahu itu bisa terbalik sewaktu-waktu. Di tengah usaha menyeimbangkan diri, saya berusaha menangkap suara mesin perahu yang meraung, namun timbul tenggelam. Jika mesinnya mati di tengah gelombang, nahas tak dapat ditolak. Dapat dipastikan kami tak akan selamat.
Saya yang tak bisa berenang, sangat mungkin ditemukan di sela akar bakau dua, tiga hari kemudian. Tubuh yang telah jauh dingin, dan nyawa yang tak di tempatnya lagi.
*
Menumpang perahu kecil itu, saya sedang di tengah penugasan dari sebuah NGO untuk melakukan penelitian lapangan, menyusun profil sebuah desa bernama Satiruk.
Tentang Satiruk sendiri, sekalipun letaknya strategis, amat jauh dari gelimpangan kemajuan. Pun letaknya di muara salah satu gerbang Kalimantan Tengah, berbatasan dengan laut Jawa, Satiruk merupakan salah satu desa paling terisolasi. Listrik baru masuk kurang dari sebulan sebelum ketibaan kami, dengan tegangan yang hanya cukup untuk menyalakan lampu-lampu rumah. Tidak ada sumber air bersih di desa itu.
Pilihan pengangkutan menuju ke Satiruk pun sangat terbatas. Pada dasarnya, tak ada satupun transportasi umum yang menghubungkan desa itu dengan pusat keramaian terdekat. Hanya ada klotok carteran yang cukup mahal. Selain itu, ada jalur darat setengah lempung yang hanya dapat dilalui motor tangguh dari ibukota kecamatan terdekat.
Cemeti sendiri, tujuan kami, adalah titik terluar dari desa Satiruk. Jika Satiruk masih dapat dijangkau dengan jalur darat, satu-satunya cara menuju Cemeti adalah menyeberangi sungai Mentaya kembali. Namun pada segmennya yang paling berbahaya.
Alasan di balik amuk gelombang yang kami hadapi adalah fakta bahwa perairan menuju Cemeti adalah peraduan dua kolom air yang sama-sama kukuh; sungai Mentaya dan laut Jawa. Dua arusnya saling bertemu, menciptakan riak yang kuat.
Alasan di balik laju liar perahu kami.
*
Untuk pertama kalinya, saya tak henti memohon ampun kepada Yang Maha Esa. Merapal semua doa baik yang pernah diajarkan kepada saya sejak masa Taman Pendidikan Alquran.
Yang membuat perjalanan hari itu makin berat, karena ia dilakukan di tengah pagi menyala, di bulan Ramadan. Sepanjang periode penelitian tersebut, saya memutuskan untuk tetap berpuasa.
Konon, doa orang berpuasa mengantri paling depan di pintu langit. Kali ini, saya mendoakan keselamatan saya, berkali-kali.
Selain saya, penumpang perahu lain tampak tenang saja. Perahu kami dinakhodai Kepala Desa Satiruk sendiri. Sebelum memasuki birokrasi desa, ia adalah seorang nelayan yang dihormati. Di tengah amuk ombak, beberapa kali ia bersiul, seolah berusaha mengendalikan angin dan air agar lebih bersahabat.
Lebih dari 1,5 jam kemudian, laju perahu kami akhirnya menjadi lebih mulus. Sejurus kemudian, hamparan pasir putih memenuhi horizon. Semakin dekat, semakin cemerlang tampaknya. Setelah perjalanan yang menegangkan, kami akhirnya tiba di pesisir desa Cemeti.
Perahu kami berpapasan dengan seorang pengumpul kerang muara yang menekur di air surut.
Turun dari perahu, kami masih harus berjalan lebih dari satu kilometer untuk mencapai perkampungan warga, di bawah matahari jam 10 pagi kurang. Hampir menyala. Sampai sejauh itu, secara fisik saya masih cukup kuat, sekalipun gembur pasir pantai membuat langkah kami melambat. Sesekali, kami memutuskan meluruskan tungkai kaki.
Pesisir Cemeti adalah hamparan pasir yang mulus, bersih. Sayangnya, bukan pantai yang sepenuhnya indah. Lepas garis pasirnya, adalah air payau yang berwarna cokelat susu.
Menurut pendamping desa kami, inilah tipikal pantai-pantai di pesisir selatan Kalimantan, tepat di muara-muara sungai. Bukan laut biru yang menjadi pemandangan utama, melainkan sedimen pekat yang turut membersamai perjalanan sungai-sungai sejak kelahirannya di hulu.
Demi apa yang harus kami lalui untuk mencapainya, pantai Cemeti jelas tak sebanding. Bukan pantai yang terlintas di kepalamu untuk dikunjungi kembali, suatu saat nanti.
Namun, warga Satiruk punya pendapat lain. Bagi mereka, kesunyian Cemeti, adalah tempat piknik keluarga yang asyik, sekalipun harus berdarah-darah untuk mencapainya.
Dan berbeda dengan saya, Kepala Desa datang ke Cemeti memang dengan niat untuk berlibur sejenak, termasuk dari ibadah Ramadannya. Tak seperti saya, sebagian besar anggota rombongan itu memang tidak berpuasa.
Dan saat itulah, ujian kedua disajikan.
Di satu titik yang teduh, di bawah cemara pantai, Kepala Desa mulai melepas simpul kain serbet yang membungkus perbekalannya. Sepintas, ada bulir-bulir air yang meluruh di dinding salah satu termos. Isinya, adalah bongkah-bongkah es batu segar yang tembus pandang. Jernih membias cahaya matahari. Ketika bertemu udara, bongkah es batu itu segera menguap, menampilkan tarian asap dingin yang memuai.
Kepala Desa kemudian membagi bongkah es itu ke beberapa gelas yang telah disiapkannya. Satu demi satu, dengan telaten.
Tangan sebelahnya yang masih leluasa kemudian mengeluarkan benda lain dari bungkusan bekalnya. Sebotol cairan merah merona, dengan butir-butir kelapa hijau dicetak besar-besar di labelnya. Sirup kokopandan.
Dalam waktu sepersekian detik, saya bisa melihat segala kesan kasar seorang mantan pelaut meluruh dari Kepala Desa. Dunia hening, dan dari kedua punggungnya bertumbuh sayap-sayap dari bulu angsa.
Dunia hening, dan dalam gerak lambat, ia menuangkan botol sirup itu ke masing-masing gelas. Hati-hati sekali, demikian terukur.
Saya, di sisi yang lain, bisa merasakan refleks di tenggorokan saya, menelan ludah sedalam-dalamnya.
Kepala Desa sendiri, sesudah mempertontonkan adegan seronok itu, mengejek keputusan saya mempertahankan puasa. Tanpa menawari saya, isi gelas itu segera tandas dalam satu, dua tegukan.
Sebelum Kepala Desa mulai meracik gelas sirup kedua, saya memutuskan untuk segera menuju ke perkampungan warga Cemeti. Di rumah ketua RT setempat, saya merebahkan badan yang letih, membayangkan sirup kokopandan memeluk tubuh saya.
#2
Ciledug
Secara keseluruhan, saya menghabiskan dua minggu di Satiruk dan Serambut, desa tetangganya. Sekalipun dipaksa naik turun sawah dan handil untuk mengambil sampel tanah gambut, atau mengetuk satu per satu rumah warga, saya masih diizinkan untuk menjaga keutuhan puasa saya.
Hal itu mustahil saya lakukan tanpa kebaikan pemuka-pemuka desa yang kami tumpangi. Di bawah temaram listrik bertegangan rendah, semangat beribadah mereka menjadi jauh lebih menular.
Tantangan seperti perjalanan ke Cemeti sendiri adalah ingatan yang saya syukuri. Membuat saya banyak belajar, walaupun sangat menyiksa secara fisik. Namun saya salah jika terlalu dini menganggapnya sebagai hari(-hari) Ramadan terberat yang pernah saya alami.
Setahun kemudian, ujian baru hadir. Musuh yang menggunting di dalam lipatan. Ancaman yang terasa sama nyatanya dengan gulungan gelombang perairan Cemeti, walapun tak terlihat.
Gelombang ini lebih besar, jauh lebih besar. Melahap dunia dan seisinya dengan rasa khawatir yang tak berkesudahan. Jika tahun lalu saya ditantang secara fisik, ujian terbesar Ramadan tahun ini adalah mempertahankan diri agar tetap waras, tidak jatuh dalam kegilaan.
Tahun ini, bersama jutaan umat Muslim lain, saya diharuskan menjalankan ibadah puasa di tengah wabah COVID-19. Penyakit multiorgan yang secara harfiah, sangat menular.
Kita sudah sama-sama tahu betapa buruknya cara wabah ini ditangani di Indonesia. Terkait hal itu, saya sudah bergerak dari titik ‘mengutuki Jokowi dan Terawan tiap hari’ ke titik peduli setan dan sesekali menertawakan kegaguan mereka.
Sembari menjalani kontinuum penerimaan itu, saya dipaksa untuk mengubah cara hidup selama Ramadan berlangsung.
Tak ada lagi santap malam di pinggir jalan lepas buka, dengan tangan yang dibasahi sekenanya dengan air kobokan berhias irisan jeruk nipis. Hari ini, hampir setiap makanan yang masuk ke perut saya dapat dipastikan saya masak sendiri.
Saya hanya menggunakan sendok dan garpu, dan meninggalkan sementara cara menyuap dengan tangan. Walaupun sejak makanan disiapkan hingga sebelum disantap, saya bisa mencuci tangan hingga tiga, empat kali.
Sisi baiknya, selain lebih higienis, kemampuan memasak saya pun meningkat berkali-kali lipat. Kini, saya bisa memasak takjil yang dulu akan muncul begitu saja di bawah tudung saji, ketika terlintas di pikiran saya. Apang colo, balapis, roti garo gula merah, sebut namanya!
Sejak Maret, saya pun praktis tak pernah ke luar rumah. Menurut catatan kantor, sudah 71 hari saya mengerjakan pekerjaan harian secara remote. Perjalanan terjauh yang saya tempuh adalah ketika memutuskan untuk pindah dari Salemba ke Ciledug, tempat saya menuliskan catatan ini, semata demi kesehatan mental saya. Terjadi pada hari ketiga Ramadan.
Pada tarawih hari terakhir bulan Ramadan tahun ini, saya akhirnya dilanda gelombang haru dan terisak sendirian. ‘Damn, kamu bertahan sejauh ini.’ Berdoa sekencang-kencangnya, tenggelam di dalam ekstase. Merasa lemah selemah-lemahnya. Menyadari betapa wabah ini tak bisa dilawan.
Pagi lebaran, saya terbangun tanpa keharusan untuk terburu-buru salat eid. Hari itu dimulai (dan berlalu) selayaknya hari-hari karantina yang lain.
Untuk pertama kalinya, saya pun berlebaran jauh dari rumah. Tidak ada coto makassar, tidak ada burasa yang dibungkus daun jati, tidak ada omelan rutin Mama setiap subuh karena rumah yang masih berantakan jelang salat eid. Bahkan rangkaian video call tak dapat mengisi kekosongan itu.
Wabah ini menciptakan Ramadan yang nyaris tanpa corak, kecuali noktah besar kesunyiannya. Tidak ada berbagai rutinitas yang hanya bermakna jika dilakukan dengan keluarga, kekasih, dan sahabat-sahabat saya.
*
Ramadan, sayangnya, memang tak mengubah satu hal dari diri saya yang telah dimulai sejak wabah ini bermula: paranoia terhadap manusia lain (Walaupun bukan tugasnya untuk mengubah itu).
Mengetahui terlalu banyak hal memang kutukan, termasuk kemungkinan cara-cara penularan COVID-19 yang luar biasa banyak. Ibarat russian roulette raksasa, kita tak tahu laras mana yang mengandung peluru.
Terhadap orang-orang terdekat, saya masih menolak membukakan pintu. Ada tembok nyata dan tak terlihat antara saya dan peradaban Ciledug, Tangerang, Greater Jakarta, di luar sana. Di balik tembok itu, di ruangan tempat saya bermukim, ada rasa aman, sekaligus kesepian.
Manusia lain praktis adalah ancaman. Persis seperti kata Sartre, “hell is other people”. Memilih bersisian dengan manusia lain adalah neraka jahanam yang sangat mungkin membakar paru-paru.
Dan sepertinya akan tetap begitu, entah sampai kapan.
Bahkan setelah Ramadan berakhir, kita tahu wabah itu masih bersemayam di luar sana. Semakin banyak yang terjangkit dalam satu waktu. Tenaga kesehatan berjatuhan, rumah sakit kolaps, dan negara semakin kehilangan arah.
Wabah ini semakin tak terkendali.
Kali ini, doa-doa orang berpuasa, bahkan yang paling saleh sekalipun, tersendat di pintu langit. Tidak ada tanda-tanda gumanan ‘Tuhan kami, segera angkat wabah ini’ dikabulkan, setidaknya dalam waktu dekat. Sama seperti kita, doa-doa mungkin masih harus menunggu vaksin untuk dijawab.
Lalu saya teringat orang-orang Cemeti dan Satiruk. Sudahkah wabah ini menyeberangi lautnya yang ganas itu?
*
‘Eli, Eli, lama sabakhtani?’
[CLD, 27/05/20]
4 notes
·
View notes
Text
IGD maternal sedang sepi. Bahkan telepon tidak berdering sama sekali. Hanya suara tawa dan percakapan terdengar di kejauhan.
"Dok, udah nikah?" tanya Mbak Admin sebelahku.
Aku yang sedang asyik tenggelam dengan novel di tangan, sontak menoleh. "Eh, belum kok mbak," jawabku.
"Ooh, saya kira udah, dok. Punya adik atau kakak, Dok?" tanyanya lagi.
"Ada mbak, satu. Adik. Laki-laki. Cuma lebih tinggi dari saya, Mbak, hehe. Jadi sering dikira saya adiknya."
"Ooh iya, kebayang, dok hahaha."
Mbak Admin tersebut berusia 30-an akhir, menjelang kepala empat. Berkacamata, ramah. Suaranya menyiratkan sikap keibuannya. Beliau orang pertama di IGD maternal yang berani kuajak bicara saat kali pertama aku jaga. Aura keibuannya sungguh kental terasa. Dan beliau satu-satunya yang memilih menghindar saat pergunjingan dimulai.
"Anak saya ada tiga, dok. Yang pertama laki-laki, baru lulus SMA 3 tahun lalu. Terus langsung kerja. Alhamdulillah kerja di pabrik, Dok, ada lah 2 tahun lebih. Terus resign dari pabrik, sekarang lagi nyari kerja lagi. Yang kedua kelas 6 SD, yang ketiga masih kelas 3 SD. Perempuan semua sisanya. Tapi yang anak kedua ini, aduh, udah bongsor badannya, Dok. Setahun bisa 2 kali ganti sepatu," Ceritanya panjang lebar, sambil menatap kosong layar komputer di depannya.
Aku menutup novel di tanganku. Oh, jangan tanya mengapa aku membawa novel. Lebih bermanfaat membunuh waktuku saat IGD sedang sepi seperti ini daripada aku harus mendengarkan gunjingan. Aku menatap beliau dengan seksama. Tertarik dengan arah pembicaraan ini.
"Alhamdulillah anaknya nurut, Ibunya cuma bisa ngasih sepatu yang apa adanya, mentok-mentok merek Dallas, yang beli di swalayan pinggir kota, Dok. Gak pernah nuntut buat beli sepatu bagus di matahari kayak temen-temennya atau saudara-saudara sepupunya yang lain. Walaupun kerudung dia pasti minta dibelikan yang bagus, gak kayak Ibunya yang pake kerudung beli di pasar," lanjutnya seraya tersenyum.
"Anak yang terakhir juga sama nurutnya. Kadang saya suka sedih, Dok, kalau ga bisa belikan mereka barang yang bagus. Rasanya gagal jadi orangtua. Tapi ya, gimana. Saya cuma admin honorer di sini. Suami saya honorer juga. Sedangkan gaji honorer kan ga seberapa ya, Dok. Bisa buat makan sehari-hari aja udah alhamdulillah. Saya sama suami mau ikut seleksi PNS, tapi usia udah ga masuk kriteria. Anak saya yang sulung itu, Dok, udah saya suruh buat kuliah. Sayang aja gitu, dia laki-laki tapi cuma tamatan SMA, kayak orangtuanya. Tapi dia ga mau, Dok. Dia bilang, "Ga usah, Bu. Uangnya buat sekolah sama kuliah adik-adik aja". Kan saya jadi sedih juga ya, Dok. Prihatin gimana gitu rasanya, Dok. Alhamdulillah anak-anak paham sama kondisi ibu bapaknya yang seadanya. InsyaAllah mah kalau lebaran sebisa mungkin saya beliin baju bagus buat anak-anak. Setahun sekali, selagi saya sama suami masih bisa ngasih buat mereka, insyaAllah kami kasih. Ya mau bagaimana lagi, dok. Saya sama suami pas-pasan banget. Rasanya agak iri kalau liat yang jauh di atas kita. Tapi akhirnya saya bilang ke anak-anak saya, apalagi yang sulung. Biar saja orang lain sukses, jauh di atas kita. Kita jangan terlalu sering lihat ke atas, ga akan pernah puas, yang ada nanti jadinya iri dengki terus, ga tenang hatinya. Boleh lihat ke atas, kalau itu jadi penyemangat biar lebih giat lagi berusaha. Tapi alangkah lebih baik sering-sering lihat ke bawah, karena masih banyak yang jauh lebih memprihatinkan, supaya lebih banyak bersyukur."
Aku termenung. Pikiranku melayang mundur bertahun-tahun lalu. Aku juga tidak pernah beli pakaian di mall mahal, kalaupun beli baju baru di mall, itu berarti saat mendekati Hari Raya. Setahun sekali. Seringnya beli baju di toko baju kecil atau di pedagang yang berkeliling di kantor ibu.
"Selagi orangtua bisa ngasih buat anaknya, mau sampai anaknya sebesar apapun sih pasti dikasih, Dok. Hehehe," ucap beliau seraya tersenyum lembut menatapku. Sinar matanya lembut. Ada sedikit genangan air mata di pelupuknya.
Telepon berdering. Memutus percakapan kami.
"Dok, diminta ke ruang nifas. Ada yang pulang atas permintaan sendiri," ujar salah satu bidan di IGD.
"Oh iya. Saya ke atas, Mbak. Makasih," jawabku.
"Mbak, saya ke nifas dulu ya. Nanti kita ngobrol-ngobrol lagi, insyaAllah," ujarku kepada Mbak Admin seraya bangkit dari kursiku. Beliau tersenyum lembut.
Aku berjalan ke elevator, menekan tombol lantai 3, tempat ruang nifas berada.
Desember 2019.
21 notes
·
View notes
Text
Sabar dan Syukur
Bismillahirrahmanirrahim (dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang).
Pagi yang indah.. menjelang siang, cahaya matahari mulai terik menelusup hampir tepat di atas kepala, aku bersama 3 orang teman berangkat menuju suatu tempat, agenda awal Agustus yang baru dapat terlaksana di pertengahan September tahun ini, sekaligus menjadi agenda penutup liburan semester ini.
Nama daerahnya Selo, Boyolali, letaknya di tengah-tengah antara dua gunung yang gagah di sebelah utara kota Jogja, apalagi kalau bukan Merapi dan Merbabu. Ya.. benar saja hari itu kami akan mendaki, setelah beberapa waktu yang lalu di iming-imingi seorang teman, yang katanya gunung ini punya jalur pendakian yang indah, ah jadi penasaran, seindah apa.
Singkat cerita awalnya banyak yang tertarik ikut ekspedisi ini, tapi pada akhirnya hanya menyisakan 4 orang saja, tapi tak mengapa, mereka punya kesibukan dan tanggung jawab masing-masing, dan mungkin belum rezeki mereka bisa ikut mendaki kali ini.
Tepat pukul 13.00, setelah menempuh perjalanan hampir 2 jam, sampai juga di basecamp pendakian Gunung Merbabu, meskipun ini bukan pertama kali kami mendaki, tapi prosedur dan syarat-syarat pendakian gunung ini sedikit berbeda, walaupun sedikit ribet, tapi tak apa demi keselamatan bersama. Cukup lama kami istirahat dan memenuhi syarat-syarat pendakian siang itu. Setelah waktu Ashar, akhirnya kami mulai perjalanan menuju puncak yang sudah diperkirakan dari awal paling tidak 7 jam perjalanan.
Tidak jauh beda dengan gunung-gunung lain, awal perjalanan ditemani banyaknya pepohonan nan hijau, kicauan burung-burung di dalam hutan, cahaya mentari yang menyelinap masuk diantara daun-daun yang rindang dan pastinya.. jalan menanjak. Ditengah perjalanan kerap kali kami berpapasan dengan pendaki lain yang sudah sedari kemarin mendaki, terlihat raut wajah lelah dan lesu mereka ketika turun, tapi senyum sumringah mereka tidak ada yang bisa menutupi. Ternyata benar, sedekah itu nggak harus di masjid/kotak amal, sekalipun digunung, ternyata sedekah itu bisa dilakukan, walaupun paling murah, asal ikhlas, InsyaAllah jadi pahala yang melimpah. Melihat senyum para pendaki lain yang turun, jadi tambah penasaran, sebenarnya ada apa diatas sana.
Entah mungkin sudah tak terhitung kami beradu salam dan berbalas senyum dengan pendaki lain, memang sangat ramai kala itu, entahlah apa yang mereka cari diatas sana, tiap insan pasti punya penilaian subjektif masing-masing, kalau aku sih, cuma pengen aja, nggak tau kenapa menurutku alam itu seakan memancarkan candu dan kerinduan, rasanya enak aja duduk santuy dibawah pohon entah di gunung atau dipantai, kemudian nyruput teh atau kopi, sambil mikirin perekonomian negara kali ya…hehe, serasa banyaknya masalah, berjuta problem, dan selaksa kesulitan yang menghadang tiba-tiba menghilang, kalau nggak percaya coba aja.
Oke balik lagi ke gunung, ternyata apa yang dikatakan mas-mas saat di basecamp tadi benar, dia bilang “nggak usah naik mas, capek”. Dan terbukti, belum ada setengah perjalanan, kaki ini mulai lelah, badan pun mulai kaku, ditambah angin dingin berhembus menelusup di sela-sela kain baju, tapi teringat kisah Rasulullah dahulu, bersama para sahabat yang menempuh puluhan kilometer untuk berhijrah, hati ini serasa ingin bangkit dan terus melanjutkan pendakian, tapi apalah daya badan ini sudah tak kuat lagi, dan kami juga tak ingin mendzalimi badan sendiri, jadi kami putuskan untuk istirahat sejenak. Nggak kebayang dulu selelah apa para sahabat menempuh perjalanan panjang di jazirah arab demi menyebarluaskan risalah Islam, selelah apa Siti Hajar bolak-balik dari safa ke marwah demi mencari air untuk anaknya Ismail, ah dibandingkan itu semua mungkin kita hanya sebatas remah rengginang di kaleng khong guan yang hanya ada ketika saat lebaran.
Hari mulai petang, cahaya mentari mulai beringsut menghilang, senja pun tak dapat terpandang, karena terhalang bukit nan tinggi menjulang dan pohon yang rindang, angin dingin semakin menyeruak masuk sampai ke tulang-tulang, jari jemari semakin kaku, namun cahaya bulan akhirnya datang menyelinap diantara awan-awan petang. Maghrib.. kami cari tempat yang lapang dan mulai menunaikan kewajiban kami sebagai seorang Muslim, karena keterbatasan air kala itu, tayamum pun jadi solusianya, sungguh sebenarnya agama ini adalah agama yang mudah, tapi bukan berarti kita boleh mengampangkanya, selepas shalat, kami beranjak untuk menuju tempat yang akan kami gunakan untuk bermalam.
Tepat pukul 21.00 lebih sedikit, setelah perjalanan yang cukup melelahkan, menelusup diantara gelapnya malam, kaki yang mulai terbujur kaku setelah menanjak diantara bebatuan, akhirnya sampai juga di suatu tempat, yang dinamakan sabana 1, kami tidak sendiri, ternyata disana sudah berdiri sedari tadi, puluhan tenda berjejer rapi, suasana yang tadinya sunyi, tiba-tiba menjadi ramai sayup-sayup para pendaki dimalam hari. Tenda kami dirikan di salah satu sisi, selepasnya, kami memanaskan air dan kami buat kopi sachet yang sudah kami bawa dari rumah.
Alhamdulillah, malam itu cuaca sungguh bersahabat, langit berlukis awan malam dan bertabur bintang sangat terlihat malam itu, sambil menyeruput kopi mata ini tertuju pada cahaya bintang-bintang yang berada di bawah gunung, ternyata bukan cahaya bintang, melainkan cahaya kota Boyolali yang terlihat jelas dari atas sini, ternyata dari atas, kota itu terlihat kecil, sangat kecil, rumah, hotel, gedung, apartemen, dari atas terlihat sama, ah ternyata benar, kita itu bukan apa-apa, dari tempat ini terlihat jelas kita itu hanya setitik kecil, lantas apa yang mau kita sombongkan? Kita bukan apa-apa di dunia ini, dibandingkan dengan Allah, Tuhan yang maha besar, yang menciptakan langit dan bumi. Satu per satu pertanyaan di awal tadi mulai terjawab, ada apa sebenarnya diatas sana, ketemu satu, ternyata diatas sini ada rasa syukur, yang mungkin kalau dibawah sana kita sukar untuk melihatnya.
Sedikit tentang syukur, tiap manusia punya cara bersyukur masing-masing, ada yang bersyukur bisa beli mobil untuk keluarganya, ada yang bersyukur bisa punya rumah sendiri, ada yang bersyukur bisa hidup tanpa berpikir besok mau makan apa, dan adapula yang bersyukur hari ini alhamdulillah bisa makan. Tidak semua orang punya gaji, tapi semua orang punya rezeki, dan itu semua sudah dijamin, banyak sedikitnya tergantung cara kita mengusahakannya, berkah tidaknya tergantung cara kita menjemputnya, dan pahit manisnya tergantung cara kita mensyukurinya. Bagaimana mau diberi banyak kalau yang sedikit saja tidak kita syukuri?. Kalau kata seseorang, kunci kedamaian hati ada di tempat pangkas rambut, karena disana kita ga pernah lupa buat bercukur, he..he..he.
Nggak kerasa, cangkir ini mulai kehabisan kopinya, mata ini mulai mengantuk dan jari tangan mulai membeku, serasa badan ini berkata, “sudah malam waktunya tidur perjalanan masih panjang esok hari”. Benar saja, kalau menurut peta, dari tempat kami bermalam menuju puncak, perkiraan waktu tempuhnya kurang lebih 2,5 jam perjalanan lagi, ah..tak apa kita syukuri dulu perjalanan hari ini. Tiba waktunya tidur, sambil membayangkan kejutan apa yang akan kita dapat esok hari, masih dengan rasa penasaran yang sama, seperti apa gunung yang kata orang adalah salah satu gunung yang punya jalur pendakian terindah di pulau ini. Malam yang syahdu dengan langit yang cerah, sayup-sayup terdengar suara serangga yang sedang berdzikir kepada sang pemilik jagat raya, mata penuh dosa ini akhirnya mulai terpejam, “Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut” “Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup, dan dengan nama-Mu aku mati”.
Bersambung…
18 notes
·
View notes
Text
Trik Memelihara pakaian Kaftan yang Menggunakan Bahan Sifon
Bagi para mommy busana kaftan adalah salah satu jenis yang harus dimiliki. Pakaian yang menjadi busana tradisional orang-orang di Asia Tengah, Afrika bahkan hingga Rusia ini banyak diidolakan pula para perempuan muslimah di Indonesia. Saat lebaran seperti sekarang ini, busana dengan jenis besar paling dicari karena dapat dipakai dalam perayaan hari raya. Namun, apakah sebenarnya yang membuat pakaian ini begitu diminati? 1. busana ini asal-usulnya digunakan bangsawan asal persia 2. Nampak indah 3. Cocok bagi wanita berbadan gemuk Dan masih banyak juga hal-hal yang membuat para mommy suka dengan tipe busana ini. Namun, harus diperhatikan juga adalah penggunaan manset atau busana dalam yang tebal, karena rata- rata dibuat dengan bahan sifon yang tipis dan tentu agak tembus pandang. Lalu apakah ada perlakuan khusus untuk baju kaftan yang menggunakan bahan sifon? Berhubung dengan karakteristik kain yang tipis dan model pembentukan busana kaftan cukup rumit, oleh karena itu ada yang harus diperhatikan untuk perawatannya. Berikut cara perawatan busana kaftan berbahan sifon : 1. Perhatikan Informasi Pada Label Pakaian Pada tiap baju biasanya pembuat pakaian akan mencamtukan bagaimana kita untuk merawat busana tersebut, seperti jangan di setrika, jangan memakai mesin cuci dan berbagai hal lainnya. Kamu dapat mencari tahu simbol-simbol dan maksud dari setiap simbolnya, karena tiap pakaian memiliki cara merawatnya masing-masing 2. Perhatikan Payet pakaian kaftan dengan bahan kain sifon biasanya mempunyai tidak sedikit asesoris payet sebagai tambahan, karena kemungkinan rusak lebih besar jika menggunakan mesin cuci, maka lebih disarankan untuk mencucinya dengan cara manual. 3. Pakailah deterjen khusus Beberapa deterjen memang mempromosikan keunggulan khusus deterjennya untuk membersihkan hal-hal tertenu, deterjen yang berkualitas akan merawat warna baju tetap cerah, tidak mudah berkerut, halus, tidak berbulu, dan tentunya membuat baju wangi dan segar. 4. Rendam dengan Benar Baju kaftan seperti ini biasanya digunakan pada aktivitas yang tidak akan menjadikan terlalu kotor, oleh karena itu tidak dibutuhkan perendaman dengan waktu yang relatif terlalu lama, hanya 5 – 10 menit saja. 5. Hindari Sinar Matahari langsung Menjemur baju seperti ini tidak harus terpapar cahaya matahari secara langsung, karena kain tipis cukup dengan terkena angin saja. 6. Taburkan Bedak Bayi untuk Noda Bandel apabila pakaian kaftan berbahan sifon milik anda terkena kotoran, kamu bisa pakai bedak bayi untuk menghilangkannya. Bahan sifon menyerap warna dan noda maka kamu harus berhati-hati dalam mencucinya. Taburkan bedak bayi pada noda, tunggu beberapa menit lalu bilas dengan air. Jika busana mu terkena permen karet maka jangan cabut langsung karena dapat merusak kain, pakailah es batu untuk membuat permen karet mengeras, setelah itu bisa dibersihkan. 7. Gantung Lebih Disarankan Dari Pada Dilipat Untuk menjaga tekstur dan bentuk busana kaftan kamu dalam kondisi prima, maka lebih baik setelah di bersihkan, baju kaftan lebih baik digantung. Disarankan memaka gantungan yang berlapis busa agar tidak gampang tersangkut. Berikut beberapa trik cara merawat pakaian kaftan secara teknis. Hal yang mesti diperhatikan supaya pakaian mu lebih awet adalah memakai secara proporsional. Karena percuma jika busana ini dirawat dengan benar tapi saat pemakaian tidak sesuai seperti dipakai dalam kegiatan terlalu aktif, terlalu lama berada di luar ruangan, atau tidak langsung mencucinya saat kotor.
1 note
·
View note