Tumgik
#armandhani
eminusdoleo · 8 months
Text
Cheese Cake
Tumblr media
Seperti cheese cake, cinta semestinya lembut, manis, sesekali asam gurih, membuatmu gembira, tersenyum lega dan membahagiakan. Bukan yang perih, yang pahit, yang membuatmu berpikir apakah saat ini sedang jadi prioritas atau satu dari banyak pilihan. Membuatmu ragu pada diri sendiri, membuatmu lelah, ketakutan dan tak berdaya.
Seperti pagi, cinta semestinya sejuk, haru, sesekali berkabut, membuatmu tenang, merasa tenteram dan melenakan. Bukan yang terik, yang panas, yang membuatmu merasa tak nyaman, membuatmu harus berpikir dan bersiasat, agar tetap sejuk, tetap dingin, dan tak kesakitan.
Seperti rindang pohon, cinta semestinya teduh, segar, membuatmu nyaman, merasa dijaga dan diberi perlindungan. Bukan yang kering, gersang, yang membuatmu harus berusaha keras menjaga apa yang nyaman, hingga pada akhirnya memaksamu untuk mencari yang lebih baik, mencari yang lebih pasti dan akhirnya kecewa.
Seperti pantai, cinta semestinya membuatmu basah, membuatmu merasakan suka cita, membawa kepada langit biru di pagi hari, di ujung horizon dimana samudera dan langit beririsan. Hingga kamu kemudian merasakan sunyi subuh yang perlahan diisi suara kicau camar, debur ombak, gesekan pinus, dan segala yang membuatmu terlena.
Seperti mawar mekar, cinta semestinya indah, warna merah terang, dan memancarkan aroma manis. Cinta seharusnya seperti pesona taman bunga yang memikat hati dan mengajakmu untuk piknik dan makan enak. Bukan yang layu, yang pudar, yang membuatmu merasa terpinggirkan dan tak dihargai. 
Seperti secangkir kopi, cinta seharusnya memberimu kehangatan, getir yang nikmat, dan aroma yang membuatmu bersemangat. Bukan yang encer, yang terasa seperti pasir, yang mengecewakanmu. Atau seperti gula yang manis dan pelan-pelan membunuhmu. Mengintai dari tempat yang tak pernah kamu bayangkan sebelumnya. 
Cinta seharusnya sepertimu, yang indah, yang membuat kata-kata jadi kerdil dan tak punya makna, yang membuatku tenggelam hilang di dalam palung. Bukan yang kusam, yang dangkal, yang membuatmu merasa kehilangan arti dalam setiap detiknya.
37 notes · View notes
atbasunderscorenov · 7 years
Text
Hadeh
Usai penaklukan Yerusalem, Kalifah Umar tidak mau melaksanakan sholat di dalam Gereja Makam Suci. Tentu ia menolak. Ia sadar akan selalu ada umat yang tak paham ada ruang antara kehidupan agama dan kehidupan sosial. Kepada pemimpin umat kristen saat itu ia bilang, kalau saya sholat di gereja ini, mereka (sebagian) umat islam akan meruntuhkan gereja anda dan mengubahnya menjadi masjid. Ia tahu ada umat yang masih belum dewasa. Sama dengan tidak dewasanya umat yang mempermasalahkan patung guan yu. imannya demikian lemah dan tidak bermutu hingga perlu dibantu oleh umat agama lain. "Hei fulan tulung patung itu ditutup. iman saya bisa rubuh nih kalo ada patung itu, nanti saya bisa bisa pindah agama kalo kamu maksain tetap begitu." udah mayoritas, gemar sweeping, protes berjuta-juta, ama patung takut. hadeh. (Arman Dhani, Facebook, Agustus 2017)
1 note · View note
glittlestar · 7 years
Photo
Tumblr media
sulit bagiku untuk tidak menyertakan Yogyakarta sebagai sebuah peristiwa pendewasaan. aku jatuh cinta pada kota ini, karena pada beberapa derajat, ia jauh lebih mendewasakan. terlalu banyak alasan untuk menjadi sebenar-benarnya manusia. Lebih dari itu, kota ini adalah tempat di mana setiap kenangan bermuara dan berujung haru.
Tentu saja terlalu banyak hal sentimentil yang bisa kita gali dari Jogja. Ada banyak alasan mengapa mereka yang pernah dan atau tinggal di Jogja susah beralih atawa melupakan kota ini. Jogja terlalu banyak memiliki sudut-sudut melankolis yang menjadi kediaman kisah cinta yang gagal. Ini saintifik, ilmiah. Jika tak percaya, coba tanyakan teman, rekan, atawa handai tolan yang pernah punya hubungan percintaan di Jogja. Mereka pasti akan berkata bahwa tiap sudut kota meninggalkan residu perasaan yang jauh lebih menggigit daripada anjing rabies.
Pernahkah kalian merasakan memandang senja yang beranjak rubuh di atap sebuah rumah di sana? Memandang matahari turun seraya menikmati sejuk sore di malioboro. Berbincang dengan seseorang yang kalian cintai dan yang setelah sekian lama hanya bisa diam dan mencintai dari jauh? Ah, mungkin itu hanya saya.
Tapi mbok yakin, Jogja terlalu sempit untuk hanya dimaknai sebagai sebuah kota. Ia adalah peristiwa, di mana masing-masing individu yang datang ke kota ini mengalami sensasi indahnya rasa syukur karna bersama seseorang. - Armandhani
0 notes
balebengong · 7 years
Photo
Tumblr media
Hari ini adalah hari terakhir @sanurfestival, sudah ke sana? Simak ulasan Herdian Armandhani berikut ini http://bit.ly/2fB9YcK http://bit.ly/2fCvUnH
0 notes
salasikan · 8 years
Text
“Mengapa Kita Terus Menerus Menjadi Orang Kalah?”
Mengapa di satu waktu kita terus menerus menjadi orang yang kalah?
Demikian pertanyaan (niat curhat) yang saya kirimkan melalui whatsapp kepada salah satu kakak saya. Kakak saya menjawab demikian, “Untuk menjadikan kita orang yang tetap rendah hati. Mari bersama kita ubah dalam Tuhan...”
Ah, ia memang pekerja gereja yang taat. Sungguh mengingatkan agar ndak sekali-sekali tinggi hati :’)
Saya melontarkan pertanyaan itu karena sedih dan kecewa dengan diri sendiri. Akhir-akhir ini kok rasanya hidup saya begini amat, melakukan ini itu ndak ada yang berarti, rasanya tidak direstui alam semesta ini. Sepanjang sore tadi, misalnya, saya beberapa kali dihadapkan pada sesuatu yang bikin mikir “astaga kenapa gini sih?”
Saya sedang dibonceng tukang ojek ketika kena palang parkir, lantaran bapak ojek mengekor di belakang mobil, entah tidak tahu atau tidak peduli kalau ada palang parkir di situ. Mobil bergerak maju dan saya ketiban palang. Saya bahkan terlalu syok untuk marah, sebentar kemudian turun dan bayar. Bapak ojeg cuma tanya, “sakit nggak neng?” tanpa ada maaf-maafnya sama sekali. Pelipis sampai pipi kanan lecet dan barangkali akan bengkak.
Ada juga sebuah tulisan hasil wawancara junior saya yang tetiba dimuat di website fakultas, yang kemudian mendatangkan perasaan yang nano nano entah. Ada beberapa hal yang membuat saya saya tidak setuju dari tulisan tersebut. Pertama, judul “Theresia Budiarti Utami Putri, Aktivis yang Mawapres Prodi Jurnalistik”. Apa sih aktivis itu? Kalau menurut Badan Bahasa Kemendikbud, aktivis adalah orang yang giat bekerja untuk kepentingan suatu oranisasi politik atau organisasi massa lainnya. Dia mengabdikan tenaga dan pikirannya, bahkan seringkali mengorbankan harta bendanya untuk mewujudkan cita-cita organisasi.[i] Saya juga menelusuri sumber lain untuk kata aktivis ini—di saat orang lain mengetik the meaning of pokemon, saya mengetik the meaning of activist. Cambridge dictionary mendefinisikan activist is a person who believes strongly in political or social change and takes part in activities such as public protest to try to make this happen.[ii] Di kepala saya, kata aktivis diikuti imaji sosok seperti Dhyta Caturini, Kartini Kendeng, Wanggi Hoed, Dandhy Laksono, Usman Hamid, Rinda Sirait, Rivanlee Anandar, dan lain sebagainya. Mereka aktivis apa? Silakan kepo sendiri, tapi setidaknya nama-nama itu orang yang saya dekat/kenal/tahu yang muncul kali pertama di kepala saya. Lantas apakah (sempat) aktif berkegiatan di UKM kampus—sebagaimana saya disebutkan di tulisan itu—pantas disebut aktivis? Mungkin Anda atau siapapun akan berargumen, ya boleh-boleh saja disebut aktivis. Namun mbok ya menengok konteks. Eh, perihal konteks, saya sih belum paham-paham amat relasi teks dan konteks seperti disebutkan teori wacana, mungkin yang lebih paham bisa bantu menjelaskan atau menampik.
Sebutan aktivis ini berlebihan disematkan. Di ukm persma, mengupayakan penerbitan 3 kali setahun saja saya kewalahan. Sudah sepantasnya toh saya malu sama mas Wisnu Prasetya Utomo, eks pemred Balairung yang bikin buku Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan. Juga sama mas Dhan, laki-laki feminis dan penulis idolaqu yang ternyata dulu aktif di Persma Tegalboto. Di komunitas teater, saya juga ndak bisa memanfaatkan kesempatan belajar banyak hal sebaik-baiknya. Akhirnya saya jadi penggembira saja, apalah kalau dibandingkan dengan aktor dan sutradara bertalenta, Syahan Yulizar, senior saya yang terkasih.
Juga kata siapa saya mawapres?! Hoooooooi. Maafkan aku, Rizani Hamama (mawapres Jurnalistik angkatan 2012). Bukan maksud mendaku diri sebagai mawapres, tapi saya pun ndak pernah mengeluarkan pernyataan kalau saya ini mawapres. Cuma ketika ditanya apakah mendapatkan informasi dari kampus tentang program tersebut, ya saya jawab tahu. Ini saya nukilkan saja deh tanya jawab wawancara yang dikirim via surel waktu itu. (duh nggak enak ya ternyata kalau jadi narasumber terus apa yang dimuat tidak sesuai keinginan, eh, kondisi yang sebenarnya. Lol)
Tumblr media
Iya sih sombong amat saya nulis ‘mempersiapkan kami’. Sepanjang ingatan, saya ndak mengerjakan tugas proposal seleksi mawapres. Sempat cek email, ternyata ada. Baru ingat, waktu itu ada seseorang di posisi yang sama, bilang, “bikin lah, kan sudah diberi kepercayaan dari jurusan.” Maafkan saya, ya dosen-dosenku :( ----- apa pula itu jawaban “Hehe, siapa sih yang nggak mau?” Aing alay.
Kedua, tenggat waktu. Saya diwawancara pada November 2014. HAMPIR 2 TAHUN LALU dan baru dimuat sekarang. Okelah mungkin tulisan jenis ini bukan berita yang urgen segera tayang, tapi waktu dua tahun menurut saya juga terlalu lama hingga besar kemungkinan banyak hal sudah tidak relevan lagi. IPK, misalnya. Pun sesungguhnya saya sangat ndak suka ditanya-tanya IPK. Mungkin, karena saya ndak mau dicap anak yang nerd, kupu-kupu (kuliah-pulang kuliah pulang). Saya ndak gaul-gaul amat tipikal mahasiswa dugem gitu sih tapi masih demen nongkrong dan ngobrol di sekre sampai pagi, nggak nolak juga kalau ditawarin sake, bali hai, anggur, atau bir bintang. Saya juga beberapa kali ndak mengerjakan tugas karena emang males dan lagi (sok) rebel. Jadi gimana ya, disebut aktivis, apalagi mawapres, itu overrated sekali sodara-sodara. Rahman Fauzi pasti setuju masalah ini.
Juga, jangka dua tahun itu sudah banyak mengubah saya. Kalau saya baca tulisan itu kok rasanya saya optimis sekali, sungguh bertolak belakang dengan diri saya sekarang........
Ada satu tulisan yang sangat menohok (tapi bikin saya jatuh cinta) dari sebuah blog pseudonim. Tentang ketidakberartian dan bagaimana merayakannya. Saya ndak mau berbagi tautan blog tersebut karena ndak rela kalau sampai ditutup sama pemiliknya, saya belum baca semua tulisannya. Ternyata belakangan saya sedang merenungi ketidakberartian ini. Hello world. Look how fuckin ordinary I am! Aing bukan Ann Frank, bukan Dian Sastro, bukan Jim Geovedi, bukan Fahira Idris, bukan seleb internet macam Awkarin atau Rizky Nawan, bukan siapa-siapa. Aing cuma stardust (ala-ala Before Sunrise-nya Linklater) yang suka numpang internetan pakai wifi kampus malem-malem sambil mesen nasi ayam suwir Munjul.
Belakangan saya jadi orang yang pesimis, banyak bertanya-tanya apa sih yang saya kerjakan selama ini? Kok rasanya tidak ada yang fokus atau mendalam. Saya tambah pesimis, apalagi setelah sebuah lomba yang mempertemukan saya dengan seorang juri yang saya idolakan. Komentar-komentarnya, terutama yang di balik ‘layar’, sontak meruntuhkan keyakinan saya akan semua yang saya lakukan. Jangan ditanya, saya juga heran kenapa penilaiannya jadi sangat memengaruhi saya. Mengamini omongannya, saya pikir mungkin benar saya kadang terlalu naif, utopis, dan heroik ndak jelas. Dan inilah saya sekarang, pesimis. Lakon bertajuk Dayeuh Simpe, novel Albert Camus dan Murakami, misalnya, jadi terasa sangat relevan buat saya. Suram. 
Saya makin merasa jadi orang yang kalah setelah gagal lolos ikut kursus di sebuah LSM, sesuatu yang sudah saya tunggu selama dua tahun. Kesempatan terakhir selagi saya masih berstatus mahasiswa ini sirna sudah, menyisakan komtemplasi dan renungan. Mungkin saya memang ndak cocok bergiat di sana sekarang. Saya ingat sebuah perbincangan dengan mas Dandhy Laksono ketika di taksi dalam perjalanan menuju markas Watchdoc. Bahwa kematangan adalah perihal waktu. Bahwa tidak ada salahnya, bahkan sebaiknya, kita masuk ke pusaran arus utama dulu, sebelum akhirnya menapaki jalan sunyi. Agar fasenya ndak justru kebalik. Agar ndak jadi sosialis sekarang, terus di umur paruh baya capek jadi proletar berkepanjangan, lalu jadi neolib. 
Mungkin saja kan, saya ndak tahu.
 Ps. Tadi sore pewawancara dan penulis artikel tersebut menghubungi saya. Dia bilang, “perasaan aku dulu nulisnya nggak gitu deh, Mbaput”. Selow sih hehehe, barangkali diedit sama redaktur. Saya tidak tahu. Saya nggak ada masalah dengan badan tulisan, justru suka dengan alur yang cukup mengalir, cuma judulnya aja sih yang overrated. LOL. Oh ya, kalau dulu saya rasanya optimis banget, mungkin karena waktu membalas pertanyaan wawancara tersebut kebetulan saya lagi punya pacar. Abang pacar waktu itu lagi persis di samping saya, dia lagi seneng nemenin ke mana-mana. Nemenin liputan dari Parongpong sampai Kota Baru Parahyangan juga dijabanin. Dulu...
[i] http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/182
[ii] http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/activist
��tCs9
2 notes · View notes
eminusdoleo · 11 months
Note
Ruang
Aku selalu ingat kata psikologku. Hatimu adalah ruang kecil, apapun yang kamu simpan di sana akan terus menumpuk dan pada satu titik akan meledak jika tidak kamu keluarkan. Ini mengapa, jika kamu cemas, banyak pikiran, dan merasa sendiri, kamu perlu mengeluarkan apa yang ada dalam hatimu agar ruang di dalamnya lebih lega.
Apa yang kamu sampaikan tak perlu masuk akal bagi orang lain. Ia hanya perlu masuk akal untuk dirimu sendiri. Jika kamu merasa sedih, berduka, marah, kesal, atau malu, sampaikan saja perasaanmu dengan setulus dan sejujur mungkin. Apa yang tulus kerapkali akan tersampaikan dengan baik kepada orang lain.
Kamu tak perlu menyakiti orang lain hanya karena merasa tak bisa menyampaikan perasaanmu dengan benar. Aku merasa bahwa kemampuan kita menyampaikan perasaan adalah keterampilan yang tak pernah diajari sepanjang hayat. Kita belajar secara mandiri dan kerapkali menemui kegagalan.
Kita seringkali menganggap agresi lahir dari kemarahan, padahal pada banyak cerita ia hanya lahir dari rasa malu. Aku ingat kata-kata seorang penulis, "Aku duduk bersama kemarahanku dan menyadari ia sebenarnya bernama duka," dan itu membebaskanku. Alih-alih bereaksi, aku memilih untuk merespon.
Ruang dalam hati kita kecil sekali, tapi ia ada. Itu mengapa sebaiknya kamu hanya menyimpan hal-hal yang benar-benar berharga. Kenangan bersama pacar, masakan ibu, foto lulusan sekolah dulu, atau sepasang sepatu yang kamu beli dengan uang hasil kerja pertama.
Jangan gunakan ruang dalam hatimu untuk duka, kemarahan, kebencian, dan rasa bersalah. Ruang itu tak bisa rusak, tapi ia bisa hilang jika tak benar-benar kamu rawat. Kebingungan yang hanya melahirkan kecemasan, atau rasa tidak berharga yang membuatmu menyakiti orang lain.
18 notes · View notes
eminusdoleo · 11 months
Note
hilang
Tidak semua kebersamaan berakhir dengan akhir yang sedih. Beberapa cukup indah diingat sebagai kenangan yang sudah selesai. Kamu tahu? Perpisahan ketika kemah sabtu minggu. Perjalanan panjang usai naik gunung. Atau sisa pedas dari semangkuk ramen panas yang baru saja kamu habiskan.
Tidak semua yang hilang perlu diingat. Seringkali mereka hilang karena alasan. Karena mereka tidak cukup dewasa untuk menemuimu dan mengakhiri apa yang telah dimulai. Atau karena mereka terlalu terluka untuk melanjutkan apa yang sudah rusak dan tak bisa diselamatkan.
Tapi aku tahu, barangkali kamu hanya ingin jawaban, hanya ingin penjelasan. Mungkin, ini sekadar mungkin, apakah asuk akal jika tak ada jawaban dan penjelasan adalah jawaban itu sendiri? Kamu tidak layak untuk diperlakukan seperti itu, ditinggalkan sendiri untuk menebak-nebak, apakah yang hilang ini karena salahmu atau karena hal yang lain?
Nasib terbaik kehilangan adalah bertemu apa yang raib. Nasib terbaik pertemuan adalah menemukan apa yang lenyap. Tapi apakah kamu semujur itu hingga segala yang diinginkan terkabul? Nasib kita hari ini seringkali adalah doa-doa tulus yang lahir dari putus asa. Maka syukuri saja yang ada dan relakan yang hilang.
3 notes · View notes
eminusdoleo · 2 years
Video
undefined
tumblr
It’s wild to imagine that my writings come into a book. But now, it’s beyond my wildest imagination, the stories that I made, come into a movie. Soon, on Bioskop Online.
16 notes · View notes
Photo
Tumblr media
𝗔𝗿𝗺𝗮𝗻 𝗗𝗵𝗮𝗻𝗶, 𝗘𝗺𝗶𝗻𝘂𝘀 𝗗𝗼𝗹𝗲𝗿𝗲: 𝗣𝗮𝗻𝗱𝘂𝗮𝗻 𝗠𝗲𝗺𝗽𝗲𝗿𝘀𝗶𝗮𝗽𝗸𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗿𝗽𝗶𝘀𝗮𝗵𝗮𝗻, 𝗬𝗼𝗴𝘆𝗮𝗸𝗮𝗿𝘁𝗮, 𝗠𝗼𝗷𝗼𝗸, 𝟮𝟬𝟮𝟬, 𝘃𝗶+𝟮𝟯𝟲 𝗵𝗹𝗺, 𝟲𝟴.𝟬𝟬𝟬 . . 50 keping fragmen yang ditulis Arman Dhani dalam buku ini adalah refleksi dari sebuah hubungan yang rumit sekaligus membahagiakan. Namun, cepat atau lambat, perpisahan itu pun datang pada akhirnya. Membuatnya menderita dari tempat yang jauh, eminus dolere. Sebelum terlampau menyesakkan, buku ini menawarkan sebuah jalan untuk mempersiapkan diri menuju perpisahan itu. . . #armandhani #eminusdolere #panduanmempersiapkanperpisahan #bukupanduan #bukumojok (di Kedai JBS) https://www.instagram.com/p/CFTMgFOnlI9/?igshid=1palkyb4lyrc0
0 notes
eminusdoleo · 10 years
Text
#19
Barangkali ketika kita sudah benar-benar dilahap waktu dan jarak. Kita akan belajar arti bersama. Ketika kau tersenyum dan aku terdiam. Waktu melambat dengan segala ketergesaannya. Tapi kukira ada yang lebih seru  dari sekidar rindu yang tak terbalas kasihku. Yaitu perihal usahamu untuk mengerti aku, perihal kesabaranmu yang seperti muara. Juga ketabahanmu yang tak pernah jera. Kukira aku perlu belajar untuk bisa mencintai utuh sepertimu kasihku.
Barangkali pula ada yang lebih bijak daripada sekedar menulis dan berbicara. Ia adalah tindakan. Semisal cita-cita untuk membahagiakanmu, atau tentang menemanimu menjalankan misa di hari minggu yang kudus, atau menyeka pelan keringatmu ketika kita berdua menikmati mie yang sangat bedebah pedasnya. Aku, lebih dari siapapun di dunia, ingin bisa menunjukan tindakan padamu daripada hanya sekedar kata-kata manis.
Tapi seperti yang selalu kubilang. Hidup tak akan pernah sebrengsek ini apabila setiap keinginan kita terkabulkan. Manusia seringkali dipaksa memejalkan diri, menyabung nasib hingga tahap yang paling kalis untuk bisa sedikit lebih dekat dari keinginannya. Manusia lantas bersiasat soal keinginannya, memendam gelora sedemikian rupa hingga tanpa sadar keinginan itu lantas padam. Kukira hidup hanya sekedar barisan-barisan kekecewaan. Kamu tahu itu kasihku?
Beberapa dari kita begitu keras memendam keinginan sehingga ia menjadi robot. Menjalani hidup secara otomatik. Manusia yang menjadi sekrup untuk menggerakan sebuah mesin raksasa bernama masyarakat adil dan makmur. Lantas mereka menjadi mayat hidup. Sebuah entitas organik yang tak lebih dari pelumas dari organisme brengsek raksasa bernama pemerintah.
Aku tau kita tak begitu sayangku. Aku tau kita tak akan pernah mau menjadi itu semua. Lebih dari apapun yang ada. Kita ingin menjadi seorang tumbal, sebuah sekrup, setetes pelumas. Kita adalah manusia yang memilih merdeka ditengah jutaan mayat hidup di ibukota. Kita berdua menanam bibit mimpi. Merawatnya pelan-pelan. Memberinya pupuk harapan. Kita berjuang menumbuhkan keinginan ditengah belantara bernama ketidakpedulian.
Kasihku. Kau tentu tahu bermimpi membutuhkan nyali. Bermimpi adalah pekerjaan gawat berbahaya yang hanya dilakoni oleh para pemberani. Mereka yang tahu benar dalam meraih mimpi kita hanya memiliki dua pilihan. Bertaruh habis-habisan atau kalah telanjang. Namun semua itu hanya perkara jalan hidup kasihku. Hidup kita yang seringkali hanya bisa merintih perlu sesekali dilecut dengan ketakutan dan kengerian masa depan. Agar tak perlu ada lagi sedu sedan penantian.
35 notes · View notes