Text
Suite No. 3 in D BWV 1068
Suite No. 3 in D BWV 1068 mengalun saat aku menulis catatan ini. Entah kenapa tiba-tiba ingin memutar Bach lewat Spotify--sebuah kemudahan yang patut disyukuri karena mendengarkan musik klasik jelas kemewahan yang tak bisa aku dapatkan dulu.
Aku tak tahu mengapa aku memilih mengulang simfoni ini alih-alih yang lain. Beberapa pendapat yang kutemui di mesin pencari mengatakan Bach tak menceritakan apa-apa di sini. Namun entah kenapa, simfoni ini terasa tepat untukku saat ini.
Sudah lewat beberapa bulan sejak aku terakhir menulis di sini. Belakangan, aku mulai menulis lagi di buku catatan, berusaha menuangkan rasa sakit dan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi pikiran. Tidak mudah karena semua sudah menjadi bak benang kusut.
Perasaan tidak enak hati membayangiku beberapa waktu belakangan. Tak semuanya bisa diuraikan, tapi setidaknya aku sampai pada satu kesadaran, bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Sakit di dada saat menyadari betapa kondisi ini berlangsung sudah cukup lama.
Hari demi hari, pekan demi pekan, bulan berlalu dengan tangis yang semakin lama semakin terjadi dalam diam. Pagi hari menjadi waktu yang berat, sebab kerap kali aku tak kuat dan punya energi untuk bangun dari tempat tidur dan pergi bekerja.
Aku tahu aku memerlukan pertolongan. Sesuatu yang tampaknya kutunda cukup lama. Bukan aku menghindar, tapi karena beberapa masalah teratasi setelah aku membicarakannya dengan mereka yang berkepentingan.
Namun seiring waktu berjalan, persoalan silih berganti dan itu di luar kemampuan serta kendaliku. Aku mulai bertanya-tanya, barangkali masalahnya ada padaku. Mungkin aku yang tak bisa merespons persoalan dengan seharusnya. Mungkin aku terlalu banyak berpikir dan merasa. Sampai aku lupa bagaimana caranya berbahagia.
Pada titik ini, aku pun takut membagi rasa sakit ini kepada orang-orang dekat. Aku takut mereka pun sebenarnya sudah lelah, lalu marah, lalu menjauh.
Aku tahu aku seharusnya mencari pertolongan. Tapi untuk sementara, biarkan catatan ini--dan Suite No. 3 in D BWV 1068--menjadi saksi, bahwa aku berusaha bertahan.
3 notes
·
View notes
Text
Empat Tahun
Hari ini menandai empat tahun tepat saya bergabung dengan kantor tempat bekerja sekarang. Namun hari-hari ini pula justru saya merasakan semangat menurun drastis, seperti tidak punya tujuan hidup, hilang arah. Singkatnya, seperti tersesat. Beragam pikiran muncul di kepala, menambah dalam kesepian yang saya rasakan. Teman-teman yang dulu ada, kini perlahan terasa jauh. Saya paham di situasi ini setiap orang sibuk bertahan dengan hidupnya masing-masing, belum lagi satu per satu mereka menikah dan memiliki keluarga yang mesti diperhatikan. Ah ya, masa muda berlalu, seperti ingatan yang memudar.
Saya menyadari ada yang tidak beres belakangan ini dengan cara saya memperlakukan pekerjaan. Kebiasaan buruk sulit tidur di malam hari yang susah diperbaiki—meski saya berolahraga, keengganan untuk bangun pagi walau saya harus bekerja, dan ketidakpedulian pada isu-isu yang seharusnya menjadi fokus. Pernah ada hari saya masih bersemangat, tapi begitu mudah pupus lantaran hal-hal yang terjadi di luar kendali. Sempat juga saya menyimpulkan untuk tak terlalu keras pada diri sendiri, sebab semua orang sedang dalam mode bertahan di tengah situasi yang serba tak mengenakkan. Ini kelelahan kolektif.
Memang setiap kesedihan bukan untuk dibandingkan, bukan untuk diukur mana yang lebih valid. Semua orang mempunyai beban, kesusahan yang satu tak membuat kesulitan lain menjadi batal. Setiap orang punya salibnya sendiri. Hanya, seringkali saya merasa tak enak untuk mengeluh atas kehilangan-kehilangan yang saya alami.
Hal-hal yang dulu saya perlakukan taken for granted, kini menimbulkan lubang dalam diri dan hidup saya di umur hampir kepala tiga ini. Pola kerja ke luar rumah, kebiasaan bertemu banyak orang dan teman-teman, dan hal kecil lainnya yang mungkin terkesan insignifikan. Belum lagi beberapa kesempatan yang terasa jauh dan sulit hari-hari ini: kesempatan menulis panjang dan mendalam, bertugas ke luar kota dan ke luar negeri, peluang menapaki jenjang karier, jalan-jalan bersama orang terdekat, menempuh studi master. Tentu kehilangan saya tak sebanding dengan mereka yang ditinggalkan orang yang dicintai--barangkali pula tumpuan hidup mereka, atau kehilangan pekerjaan dan penghasilan.
Perasaan-perasaan itu bercampur aduk, begitu membingungkan hingga saya tak tahu mesti bagaimana. Upaya mencari pelarian-pelarian kecil pun tak jadi jawaban. Sebelumnya, menonton film dan membaca buku bisa menjadi eskapisme yang manjur buat saya. Namun saya lelah dengan keduanya. Saya juga enggan memasak, mendengarkan musik dan menyanyi dengan suara fals, atau menghubungi teman untuk berbincang. Bahkan bir di lemari pendingin kehilangan daya tariknya.
Sempat terpikir untuk merangkum karya-karya tulisan yang menyenangkan hati saya sendiri di momen empat tahun bekerja ini. Saya melihat beberapa teman wartawan melakukannya, teman-teman yang kadang saya iri karena mereka berada di lingkungan bekerja yang memungkinkan untuk menulis panjang dan bertumbuh, serta punya banyak kesempatan buat lebih berkembang. Melihat mereka acap bikin merasa kok hidup saya jumud sekali. Namun saya lagi-lagi hilang percaya diri, bahkan untuk sekadar melihat lagi karya-karya lama. Tak ada kebanggaan, tak ada kesenangan. Yang tinggal cuma kekosongan.
2 notes
·
View notes
Text
Family person
Saya selalu merasa bukan tipikal family person. Jarang mengobrol via chat atau menelepon keluarga, jarang menceritakan keluarga kepada teman--bahkan mungkin teman yang terlihat dekat dengan saya, sangat jarang--bahkan tidak ingin pulang ke rumah.
Sampai suatu ketika seseorang mengatakan bahwa saya ini seorang family person. Prinsip saya soal menikah beda agama, kata dia, adalah buktinya. Pun sikap saya untuk tidak mau menambah tanggung jawab bernama anak di hidup yang sudah susah ini.
Alasan kedua itu, selain didorong alasan egois, juga karena sebenarnya saya memikirkan keluarga, terutama ibu. “Gimana bisa lo bilang bukan family person?” katanya.
Hari-hari ini tiba titik rendah setelah pandemi berlangsung 10 bulan. Saya kehilangan dua hal di awal 2021 ini; hak bernama upah yang dipangkas dan orang terdekat.
Pada 2018 lalu ketika sedang amat sedih karena suatu masalah, saya pergi seorang diri ke Pulau Kenawa yang tak berpenghuni di Sumbawa Barat. Berencana berkemah seorang diri, meski seorang bapak nelayan yang tak tega akhirnya memaksa anak perempuannya menemani saya.
Kecuali kami, tak ada orang lain di pulau itu. Ibu pemilik warung juga sedang kembali ke rumah di Pototano. Saya menikmati sunyi itu karena memang sedang ingin menepi.
Dini hari, saya berjalan kaki di pantai. Menyalakan senter ponsel untuk melihat gerak kepiting dan ikan-ikan kecil di antara terumbu karang yang dangkal. Pagi harinya kembali berjalan mengelilingi pulau, naik ke bukit, memandang laut tanpa terhalang.
Kini pandemi membuat saya tak bisa melarikan diri seperti itu lagi. Biaya yang berlipat untuk tes dan potensi tertular virus bikin saya mengurungkan niat.
Meski sudah membuat resolusi untuk lebih fokus, tak menunda-nunda pekerjaan, dan bahkan berhemat, kadang saya kesulitan menepati itu semua. Pikiran berlarian ke sana kemari.
Rasa sedih kadang tiba-tiba mendera, menangis tak bisa ditahan. Sulit tidur, migrain, seperti jadi rutinitas. Saya memikirkan sahabat yang pergi, mimpi-mimpi masa depan, kejumudan hari-hari ini, dan ibu.
Ibu yang kuat, ibu yang selalu mengajarkan kejujuran, ibu yang pekerja keras, ibu yang sederhana, ibu yang telah banyak mengorbankan dirinya. Ibu yang membuat saya menempa diri; bekerja keras agar memiliki kemewahan membuat pilihan; dan menjadi kuat apa pun yang terjadi.
Ibu saya seperti emas. Sepanjang hidupnya adalah perapian. Semakin dibakar, ia menjadi semakin murni. Tak pernah menyimpang dari nilai-nilai yang bertahun-tahun lalu diajarkannya kepada saya.
2 notes
·
View notes
Text
Begitu membutuhkan dukungan, tapi tak ingin merepotkan teman-teman. Tak ingin sendiri, tapi tak ingin mengobrol dengan sembarang kenalan. Ingin pulang dan mengadu pada ibu. Atau memeluk keponakan. Namun pandemi begini menjadi kendala tak mengenakkan. Alhasil cuma bisa diam di dalam kamar membiarkan diri menangis sampai lelah.
0 notes
Text
This pain is my burden to bear
Aku mengakhiri kerja lebih cepat hari ini. Juga menunda mengerjakan sejumlah persiapan untuk esok hari. Di kerumunan orang atau kesunyian sendiri, hanya ada kekalutan di kepala. Mata panas menahan sedu saat aku duduk di sudut kantin yang gelap, begitu juga saat berjalan di kompleks yang telah lengang itu. Hanya terasa bayanganmu yang semakin menjauh.
Ingatan tentang dirimu berkelibatan. Lagi-lagi, aku teringat saat kau duduk berdoa di depan jenazah papa. Juga saat kau menemaniku ke Goa Maria di Ambarawa, dan kita bermain sebut nama fauna di sebuah warung remang di bilangan Dago Utara.
Hidup seperti komidi putar yang aku naiki di sebuah pasar malam yang kita datangi di Bogor waktu itu. Berotasi hingga ternyata kita kini tiba di titik ini. Aku tahu tak akan bisa meluluhkan apa-apa. Tidak amarahmu, yang kian menebal seperti tembok bernama perbedaan yang perlahan tapi pasti memisahkan kita.
Aku begitu ingin memprotes penghakimanmu terhadapku. Bukankah semua manusia pernah berbuat salah, pernah khilaf? Aku tak menyangkal atau menyembunyikan apa pun. Jika ada waktu yang tepat, aku berniat menceritakan hal itu. Aku mengaku telah khilaf hingga melukaimu.
Padahal tiga tahun aku menahan diri. Tertanam di benakku ketakutan bahwa tak akan ada maaf atau jalan kembali. Selama tiga tahun aku berhati-hati karena tak ingin kehilanganmu. Kini bila aku alpa, bukan berarti aku siap kehilanganmu. Aku hanya sedang begitu bodoh, begitu naif.
Bahkan dengan “kekalahan” kita yang sudah di depan mata, aku masih berharap ada sedikit keajaiban dari-Nya. Seperti pada masa-masa perseteruan kita yang lalu, saat perpisahan juga tiba di ambang pintu. Dalam tangis dan doa dulu aku meminta pertanda: apakah kau yang Dia maksudkan untukku?
Setiap kali kau kembali, aku menganggapnya sebagai jawaban. Aku tahu yang kuperlukan hanya memaafkan. Yang berlalu biarlah berlalu, waktu akan menyembuhkan. Begitu selalu yang kupikirkan. Dan begitulah kita bertahan.
Kau ingat bukan aku sering tak menurutimu ketika kau marah dan memintaku tak menghubungimu? Namun kali ini, aku tak akan menghubungimu, seperti yang kau mau. Sebab aku takut kau akan semakin membenciku.
Aku tahu sebaiknya tak berharap kau memaafkanku. Namun dalam doa-doa nanti, aku akan menitipkan permintaan maafku kepadamu, melalui Dia yang empunya kehidupan.
I have loved you entirely. You had loved me wholeheartedly. Thank you for accepting my flaws in those back days. Thank you for have been the best partner for my imperfect self and life. Now this pain is my burden to bear. Although I don’t know how long it will last.
0 notes
Text
Musim Rasa Takut
Rasa takut itu datang kembali. Ibarat tiba musim, barangkali kini saatnya setelah ia berkeliling. Terlalu banyak yang saya pikirkan hari-hari ini, seperti tiga dan sembilan tahun silam mungkin. Setiap kali rasa jeri datang ketika hidup di persimpangan, gamang memutuskan arah.
Ini saat saya mengingat diri sebenarnya begitu rapuh. Trauma masa lampau menyeruak, mengungkit luka. Rasa tidak beruntung itu muncul dan susah payah saya berusaha melipur lara. Tiba-tiba terkenang jelas pikiran masa kanak-kanak ketika saya bertanya mengapa dilahirkan di dunia--kala itu sambil meraba kulit lengan yang anehnya terasa asing seperti bukan tubuh sendiri.
Kini saya sudah di usia ketika Kurt Cobain memilih mengakhiri hidupnya. Saya tak berniat mengikuti jejaknya. Saya bukan siapa-siapa untuk bisa memilih better to burn out than to fade away. Hanya saja, saya mulai bertanya-tanya apa yang akan terjadi setelah ini.
Apakah bisa hidup berguna bagi orang lain--meski sedikit saja--lewat pekerjaan yang saya geluti? Apakah bisa pergi ke tempat-tempat impian? Apakah bisa hidup cukup hingga tak perlu khawatir akan hari esok?
Saya kerap merasa keinginan untuk bermanfaat itu amatlah semu--sesuatu yang lebih didasari ego ketimbang niatan tulus. Sampai sekarang, keputusan saya akan hasrat ini pun belum sepenuhnya terurai.
Aduh Tuhan. Mengapa kesusahan sudah terlihat padahal belum terjadi? Tahun depan sudah terasa tak akan gampang. Sedang saya di sini bertanya-tanya bagaimana harus bertahan.
1 note
·
View note
Text
Albert Camus melalui tokoh Mersault dalam novel Mati Bahagia pernah berkata, "Orang seumur kita, tidak pantas mencintai. Kita hanya saling menggembirakan."
Dulu saya pernah percaya pada adagium ini. Namun sekarang saya bertanya-tanya sendiri apa itu mencintai? Bagaimana itu menggembirakan? Saya tidak mau mencari tahu karena memikirkannya saja sudah membuat sesuatu di dalam diri saya menggelegak. Barangkali itu rasa marah atau kecewa. Namun sebenarnya belakangan ini saya cuma bisa mengidentifikasi "sakit" sebagai satu-satunya rasa yang saya akrabi.
Rasa sakit yang terus menerus saya temui. Entah siapa yang menyemai tapi dia seperti hidup, entah kerdil atau tambah membesar setiap hari. Saya bukannya tidak berusaha membunuhnya, sudah kerap saya coba dengan pelbagai cara yang saya bisa. Dengan menarik nafas panjang, mengalihkan perhatian, atau bersikap abai. Tetap saja, dia menggerogoti hingga sesak di dada.
Lalu seperti biasanya, saya akan mulai menangis. Tergugu, tersedu sedan, dalam waktu yang tidak sebentar. Setiap kali saya bertanya apakah masih waras atau saya sedang menjadi gila? Saya hanya tahu dalam sakit ini ada kemarahan yang luar biasa.
Pada suatu akhir pekan, saya beruntung lantaran seorang teman yang bermukim di daerah urban kebetulan sedang datang ke pusat kota. Barangkali bukan kebetulan tapi kami memang ditakdirkan bertemu. Kami pergi minum di sebuah bar yang belum pernah kami datangi sebelumnya. Menenggak bir dan mengisap rokok masing-masing. Bergosip sebentar hingga akhirnya dia bertanya apa yang terjadi.
Saya balik bertanya dengan kata-kata paling sederhana yang bisa saya temukan: apakah wajar begitu marah dengan seseorang yang tidak menghargai waktu saya? Saya tahu tak akan mendapat pembenaran dari dia. Dalam banyak kesempatan, dia justru kerap menjadi orang yang melawan keyakinan-keyakinan saya.
Namun dia menjawab pertanyaan saya dengan mengatakan bahwa kemarahan itu wajar. Ingatan kami berlarian ke masa-masa yang lalu. Saya pernah memarahinya dengan cukup kasar lantaran dia ingkar janji dan tak tepat waktu.
"Simpel. Itu masalah prioritas," kata dia. Kata-katanya menohok saya. Dengan kata lain, barangkali saya tidak pernah menjadi prioritas. Atau jangankan prioritas, menjadi orang yang cukup dihargai waktunya pun belum tentu.
Saya tahu saya tak ingin mendengarnya berbicara lebih lanjut sebab dia akan mengutarakan kebenaran-kebenaran yang lebih menyakitkan. Kata-katanya akan menjadi ibarat garam yang ditabur di luka-luka saya. Saya tak ingin mendengar karena mungkin akan marah untuk sementara waktu, padahal saya sedang membutuhkan teman.
Kami berpisah dengan pelukan. Dia harus mengejar kereta terakhir untuk pulang. Saya melanjutkan menenggak bir yang masih tersisa, dengan kepala pening, mata pedih, dan kesepian.
Malam ini saya kembali didera rasa marah dan sakit yang sama. Kembali tergugu, tersedu sedan, menarik nafas panjang, mengalihkan perhatian, hingga berusaha abai. Namun toh saya menangis juga sambil bertanya-tanya: apakah saya masih waras?
0 notes
Quote
Tuan, kau yang menenggak alkohol di sana, mengapa aku yang mabuk dan hilang akal?
0 notes
Text
Saya telah begitu lupa rasanya jatuh cinta. Pada seseorang. Atau setidaknya jatuh cinta pada fantasi saya sendiri tentang seseorang itu. Hati begitu dingin rasanya, dan kekosongan serta sepi ternyata tak cukup menjadi alasan untuk membiarkan seseorang sekedar mengisi. Orang-orang datang dan pergi. Seseorang lainnya pernah bilang, memang hatimu pasar malam? Datang satu-satu, pergi satu-satu. Kita kadang memang takut jatuh cinta sebab ada prakondisi-prakondisi yang jadi musababnya.
Seperti trauma, luka lampau, hingga kita begitu enggan. Kerap pula bersembunyi di balik jubah sarkasme. Juga topeng sinisme. Padahal di dalam sungguh melankoli.
Saya tak ingat lagi kapan terakhir, meminjam Sisir Tanah, merasakan ada kupu-kupu di dalam perut, bunga-bunga di lamunan, nada-nada di telinga, buku-buku di pikiran, lantaran jatuh cinta. Tak ada.
Kota ini menghisap saya larut dalam cinta yang lain. Saat lelah cukup memeluk diri ke alam mimpi, dalam lelap yang kadang terbatas. Atau obrolan sesekali di warung kopi dengan orang-orang yang, entah mengapa, ada silih berganti. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Barangkali, saya sedang menemukan sekaligus kehilangan cinta. Juga mungkin diri saya?
2 notes
·
View notes
Text
Saya ingin mengutip sepenggal lirik yang pernah ditulis seseorang dalam tulisan balasan terhadap salah satu tulisan yang ada di tumblr ini. Seorang teman.
“Oh glory brightest son of life Stop dropping me down
Don't take away don't kill the light
And now I've gone blind
And now if I owe you one I soon will refund
I'd rather stand with broken arms than feel my heart burn”
Baru malam ini saya menyimak lagu tersebut secara utuh. Meski tidak terlalu menikmati versi rock-nya, saya akui liriknya lumayan. Ah, mungkin lebih tepatnya relate. Hanya sedang pas dengan suasana hati saya saat ini.
Saya selalu penasaran dan menantikan apa sekiranya yang dapat mendorong saya menulis kembali, setidaknya menulis di halaman ini, untuk katarsis, tanpa revisi. Dini hari ini, sesuatu itu menemukan bentuknya, walau tak berwujud, tapi bernama. Ia adalah sepi.
Sepi yang menusuk dan semakin menyiksa. Terlebih dengan hadirnya, yang lagi-lagi, belum selesai dengan diri dan masa lalunya. Mungkin aku tak seharusnya menjadi baik dengan mengisi sepinya sesaat. Mungkin akan ada kosong yang menyisa setelahnya, niscaya ada yang takkan lagi sama, dan tak ada mesin waktu untuk mengulang sebuah pilihan.
0 notes
Video
youtube
If you missed the train I'm on You will know that I am gone You can hear the whistle blow a hundred miles A hundred miles, a hundred miles, A hundred miles, a hundred miles You can hear the whistle blow a hundred miles Lord, I'm one, Lord, I'm two, Lord, I'm three, Lord, I'm four Lord, I'm five hundred miles away from home
Hey you, look at how you influenced my taste!
0 notes
Quote
Ibu, jika tiba saatnya semua ini berlalu dengan menggembirakan, biarlah kegembiraan itu jadi sepenuhnya milikmu. Namun jika justru mendatangkan penderitaan dan kesusahan hati, biarlah itu kutanggungkan sendiri.
2 notes
·
View notes
Video
youtube
The shoulders were bent by the weight of the books The concentrated H2SO4 burnt through my whole childhood Our childhood is lost and so has our youth Now let us live fully for just a moment We’ve been dying every day and haven’t been living at all Now let us live fully for just a moment Give me some sunshine, give me some rain Give me another chance I wanna grow up once again
Seseorang berkata bahwa sejarah adalah apa yang membuat kita menjadi kita. Saya menjadi saya. Saya ingin tahu hari-hari penuh ketakutan dan kekhawatiran ini menjadikan saya seperti apa di masa datang. Setiap tangis yang hanya berupa isak dalam kesunyian, setiap air mata, keringat, lelah yang seringkali terabaikan.
3 Idiots tak pernah gagal membuat saya merenung dan berpikir, juga senang dan sedih, berkali-kali. Saya rasa tak ada film lain yang punya efek seperti ini untuk diri saya, setidaknya sepanjang perjalanan menonton film selama ini.
Saya sedang mampir ke kosan Guguk, sepupu saya, di Jebres, Solo. Mungkin sekitar 6 tahun lalu. Atau lebih, saya tidak ingat pasti. Guguk mengajak saya menonton film, seperti kebiasaan kami kalau sedang berkumpul di rumah Baturetno dulu. Kami akan menonton film di ruang depan setelah sebelumnya menyeduh kopi dan memasak di dapur. Ia yang memasak, saya hanya sekedar ada di ruang yang sama. Guguk memperkenalkan saya pada film ini. Dan benar apa yang dia bilang, saya akan tertawa dan menangis menyaksikannya.
Tahun-tahun berlalu. Saya sudah berpindah setidaknya ke dua kota, dan sesekali masih mengulang menonton film itu. Detik ini saya mendapati diri seperti Raju; memelihara rasa takut dan memikirkan terlalu banyak hal. Perbedaan besarnya adalah tak ada Rancho dan Farhan.
Guguk masih di Solo. Di kosan dan kamar yang sama. Enggan berpindah dari kota itu sebab sudah kadung betah. Ia tampaknya tak suka kota besar. Juga sudah menemukan tambatan hatinya.
Saya teringat malam-malam yang kami habiskan dulu, entah untuk bercerita horor (ia indigo, tetapi untungnya bukan megalomania seperti kebanyakan orang yang mengaku indigo yang saya temui hari-hari ini), sains, film, buku-buku ensiklopedi yang ia lahap, atau apapun. Kenangan saya juga kadang berkelana ke masa-masa kami tidur di rumah sakit, di lantai kamar kelas 1 sampai 3 demi menunggui ibunya yang sakit. Saat ibunya sudah semakin kritis dan dipindahkan ke ruang HCU, kami tidur di emperan, di dekat sebuah tangga, bergantian berjaga dengan ayahnya. Ingatan itu kadang begitu samar, seakan sudah begitu lama, tetapi untung saya masih bisa menemukannya di relung kepala. Dan setiap kali mengingat, saya tersadar bahwa saya pernah begitu akrab dengan rumah sakit: dengan bau obat-obatan, bunyi roda tempat tidur pasien yang bergesekan dengan lantai, dinding-dinding yang menguarkan keputusasaan, juga aroma kematian yang menguap dari sudut-sudut kamar jenazah.
Di sana juga saya belajar menghargai kehidupan. Hidup yang menurut Camus adalah sebuah kesia-siaan, tapi toh tetap harus dirayakan. Bahkan diperjuangkan, jika si pemilik hidup memiliki sedikit semangat dan niat untuk itu.
Namun kadang semangat saja tidak cukup untuk memperjuangkan hidup yang absurd ini. Sebab meski semangat dan talenta itu universal, tidak begitu halnya dengan kesempatan. Ada sebuah teks yang juga begitu membekas untuk saya, sebuah tulisan Nicholas Kristof tentang lotere kelahiran yang menentukan peluang-peluang yang bisa dimiliki seseorang.
Dan detik ini, setelah menyaksikan 3 Idiots untuk yang entah keberapa kali, saya meminta untuk diberi kesempatan lagi. Saya ingin bertumbuh. Lagi.
0 notes
Text
Catatan Awal (yang tidak terlalu awal) Tahun
Tidak terasa sudah 2017. Awal tahun 2016 lalu saya sempatkan menulis resolusi, meskipun saya tulis juga bahwa resolusi sudah begitu usang.
Nyatanya, atau mungkin memang saya kena karma karena menyebut resolusi usang, resolusi saya berlalu begitu saja. Banyak yang tidak tercapai. Dari sekitar 12 yang saya tuliskan dalam poin-poin, hanya dua yang tercapai.
Namun, tahun ini saya kembali membuat resolusi. Bukan untuk serta merta harus dicapai/tercapai. Lebih seperti mercusuar, karena perjalanan ini ibarat berlayar di lautan pada malam hari. Saya harus ‘menuju’ sesuatu kalau tidak mau berputar-putar tanpa haluan. Atau seperti bintang, meski saya sesungguhnya memang tidak punya kemampuan astronomi sedikitpun. Dulu, saya selalu terpesona pada mereka yang bisa membaca rasi, entah waluku, orion, dsb, membaca musim atau bahkan pertanda petaka dari sana.
Kalau tahun lalu saya ingin lebih banyak mendengar, tahun ini saya ingin lebih banyak bisa merasakan. Bisaa rumangsa. Bukan merasa bisa atau rumangsa bisa.
Oh ya, biarpun hanya dua poin dari resolusi tahun lalu yang tercapai, saya bersyukur karena dua poin itu berarti besar. Salah satu dari dua hal itu, membawa saya ke dunia yang tidak pernah saya perkirakan. Saya bertemu dengan orang-orang kuat, orang-orang hebat, orang-orang yang membuat saya semakin melihat bahwa dunia ini tidak baik-baik saja.
Ternyata, di luar sistem kosmos kecil saya selama ini--yang disibukkan dengan tugas mingguan atau tugas akhir semester, penerbitan majalah, garapan teater atau film, atau kepanitiaan yang mengajari saya gimana caranya jadi EO--ada orang-orang yang berjuang. Berjuang apa? Berjuang untuk orang-orang tersayang yang diambil dari mereka, pada suatu waktu ketika rezim begitu berkuasa di negeri ini. Berjuang demi anak, sahabat, orang tua yang dibunuh karena dianggap membahayakan pemerintah. Atau berjuang karena tanah dan rumah mereka diambil paksa. Berjuang karena apa yang disebut pembangunan nyatanya penuh tipu muslihat dan kebebalan penguasa, mengabaikan publik yang seharusnya dibela.
Satu hal yang saya lewati pada medio hingga akhir 2016 lalu telah banyak memengaruhi, dan mungkin, mengubah saya.
Barangkali. Saya tidak menafikan hal itu. Hanya saja, saya pikir momen-momen itu hanya menegaskan apa yang sudah saya rasakan berkecamuk selama ini. Keresahan-keresahan yang mengusik, keberpihakan yang belum menemui empirismenya, atau apa ya, seperti konklusi yang tadinya belum memiliki landasan teorinya. Kalau sebelumnya saya berpikir “ya pokoknya begitu”, sekarang saya punya alasan “mengapa harus begitu”. Raison de etre-nya sudah terkumpul sedikit demi sedikit. Belum tuntas, memang. Dan memang tidak akan pernah tuntas. Akan selalu bergerak dinamis dan fluid. Namun, dengan tetap mengantisipasi kesadaran yang bisa saja palsu ini, saya merasa cukup bersyukur sampai di konsensus ini.
Apakah saya lelah? Iya. Berada dalam suatu kesadaran (apalagi kesadaran kelas!) itu sangat melelahkan. Depressing. Saya menyaksikan orang-orang yang menjadi tidak stabil karenanya. Orang-orang yang harus terus menjaga kestabilan dengan meditasi secara rutin, yoga, bermain musik, menenggak alkohol, atau menelan pil-pil yang diresepkan psikiater. Belakangan saya berpikir, betapa mahal harga yang harus dibayar jika kita memilih tidak ‘menutup mata’.
Namun, saya telah membuat pilihan. Untuk selalu berpusar pada sisi ini. Untuk berdiri di sisi ini. Untuk belajar lebih banyak lagi. Lagi dan lagi. Untuk mengkritik dan tidak menjadi antikritik. Untuk mendengarkan dan untuk merasakan.
Sebab, setelah sekian lama dilanda pertanyaan tentang keyakinan dan identitas dan lain sebagainya, saya pikir memang inilah yang universal: kemanusiaan.
0 notes
Quote
for those who read this blog, i thank you. but i can’t continue this blog. thanks for all the time you give to read this blog. i hope a good life for you all.
:)
tidak dilanjutkan, tetapi tidak ditutup atau dihapus kan, mas? saya harap tidak. terima kasih sudah berbagi banyak, meski ada di antaranya yang belum saya baca.
27 notes
·
View notes