#Redaksi Koran Harian
Explore tagged Tumblr posts
bogorexpose · 27 days ago
Text
Bogor Darurat Aksi Teror Terhadap Jurnalis
BOGOR – Aksi teror berupa upaya pembakaran Kantor Redaksi Koran Harian Pakar (Pakuan Raya) menjadi ancaman serius bagi perkembangan dunia pers di wilayah Bogor. Hal itu diungkapkan Presiden Pers Motor Club (PMC), Billy Adhiyaksa. Ia menilai, aksi tersebut bukan semata aksi gengster atau keisengan. Sebab, obyek lokasi kejadian, merupakan kantor yang sejak lama ada di kawasan tersebut. “Biasanya…
0 notes
naufal-portofolio · 1 year ago
Text
Mengenalkan Media Cetak pada Siswa
News / Rubrik / Radar Yunior
By redaksi
Minggu, 18-April-2010, 09:43:04
428 clicks
Mengenalkan proses pembuatan media cetak, khususnya koran kepada siswa, Madrasah Aliyah (MA) Al-Islam Cipocok Jaya Kota Serang, mengajak 15 siswa kelas XI dan 5 guru berkunjung ke Radar Banten, Sabtu (17/4).
Kunjungan tersebut juga bertujuan memperkenalkan cara kerja wartawan sampai penerbitan koran.
Dalam kunjungan, para siswa yang diterima di ruang redaksi, dipaparkan tentang rubrik-rubrik di Radar Banten edisi harian dan mingguan. Dijelaskan pula cara pencarian dan penulisan berita, teknik pembuatan koran, dan bagaimana cara mengatasi masalah jika terjadi kendala atau masalah yang menimpa sebuah media cetak oleh Redaktur Xpresi Hilal Ahmad. Setelah itu, empat reporter Xpresi Radar Banten Sri, Ali, Naufal, dan Adeng berbagi pengalaman seputar meliput berita di lapangan.
“Di sekolah kami pun ada pers sekolah, maka dari itu kami ingin mendapatkan pengetahuan tentang pembuatan koran dan kegiatan jurnalistiknya di Radar Banten ini. Dan saya berharap, para siswa dapat mengembangkan bakatnya di berbagai bidang, salah satunya jurnalistik,” ujar Nurkholis, guru MA Al-Islam yang memimpin kunjungan.
Para siswa pun diajak ke ruang percetakan di samping ruang redaksi, untuk mengetahui proses cetak koran. Setelah itu, rombongan berfoto bersama di halaman kantor Radar Banten sambil menyerahkan cinderamata. Dilanjutkan mengikuti proses syuting acara dialog remaja di BRTV. (naufal/xpresi)
0 notes
langitpemikiran · 5 years ago
Text
Kontribusi-mu Kontribusi-ku
Ibu Kota 1998
Kios kecil disudut jalan yang telah 3 tahun aku tempati kian sepi, usiaku kini 63 tahun dan salah satu keputusan dan impian besarku terwujud, menghabiskan sisa hidup diantara tumpukan kertas-kertas koran. Menurutku tulisan para wartawan patut dihargai, bukan dengan angka seperak dua perak rupiah belaka tapi bagaimana kita membaca baris demi baris yang siang malam mereka kerjakan agar informasi tersebut dapat kita jangkau bersama.
Ya anggap saja menyalurkan informasi untuk dapat sampai ketangan-tangan rakyat ini dapat menjadi kontribusiku untuk indonesia.
Tak seperti biasanya ketika menawarkan koran, sapaan hangat dan kata ‘terimakasih’ rasanya sudah terlewat berubah menjadi raut raut amarah dan kesal, apalagi saat mereka memandangi Headline berita yang kian hari makin menjadi tentang kurs dollar yang makin meningkat, rupiah melemah, kericuhan dimana mana, pemutusan hak kerja meraja rela. 
Belum lagi 16 Januari kemarin pemasok koran mulai resah akibat kenaikan harga kertas, penerbit mulai terpukul dengan kebijakan harga tersebut sehingga sejumlah perusahaan koran terpaksa mengurangi jumlah halaman dan penghematan biaya non-operasional, aku mafhum saja dengan kebijakan perusahaan besar itu namun sulit rasanya menaikan harga jual. Bagi kami rakyat kecil untuk makan saja tak terfikir apalagi melahap informasi, apa harus terus terbebani?
Gerombolan manusia berteriak lantang memprovokasi keadaan yang semakin memanas ‘bakar!’ berulang kali kata kata itu memekakan telinga, aku tetap khawatir meskipun sasaran mereka pastilah bukan pribumi melainkan orang orang keturunan tionghoa.
Sambil menutup kios berukuran 2x3 meter dengan tergesa aku bergumam memandangi bendera usang yang sengaja ku kibarkan di samping kios, rasanya baru kemarin Indonesiaku merdeka.
Bandung, 17 Agustus 1945
Umurku 10 tahun saat itu, semua orang bersorak sorai mendengarkan lamat lamat teks proklamasi yang dibacakan oleh Bung Karno dari radio, aku hanya turut gembira menyadari indonesiaku kini merdeka sisanya aku bangga sekali karena sudah sejak kemarin Bapak pergi dan pamit kepada ibu untuk menyaksikan langsung, beliau wartawan koran yang mahsyur di kota kami, bapak juga berjanji kepadaku akan memperdengarkan tape rekamannya dan menceritakan keseruan di ibu kota.
Kios koran, Oktober 1997
Tertera di halaman paling depan ‘nilai tukar rupiah berada di kisaran jadi Rp4.000 per dolar AS’ pantas saja, jadi ini sebabnya yang menyebabkan perbincangan di warung kopi sebelah makin memanas mulai dari supir oplet hingga karyawan yang menyempatkan mengopi sebelum waktu istirahat kerjanya habis. nilai tukar rupiah juga sempat merosot pada bulan juli pada kisaran Rp2.500 per dolar AS.
“Koran nak?” ujarku menawarkan lembaran kertas yang sedari pagi belum terjual, rata rata mereka yang lalu lalang hanya melihat sekilas, mengumpat, lalu pergi begitu saja.
“Tentu pak.” ucapnya seraya tersenyum simpul.
“Ku amati dari tadi, semua orang wajahnya ditekuk selepas melihat halaman awal koran hari ini, hanya kau yang berbeda anak muda pastilah kau sedang beruntung.” seraya mengambil uang yang menurutku cukup besar untuk membeli satu koran. 
“Hari ini untuk pertama kali berita yang saya tulis menjadi berita pilihan untuk tampil di halaman awal tersebut, tak apa rakyat juga harus tahu atas apa yang sebenarnya terjadi bukan begitu pak?”
“Benar sekali anak muda.” ku rogoh uang kembalian dari dompet kumal yang telah lama menemani.
Ia menggeleng pelan seraya berkata “untuk bapak saja” 
“Terimakasih nak, semoga kau menjadi wartawan yang terus dapat memberitakan kebenaran agar kami rakyat kecil dapat mengerti apa yang sebenarya terjadi” kami menutup pertemuan itu dengan senyuman ditengah teriknya Ibu Kota.
Sumatera 1970
“Meeting bersama klien dari ibu kota pukul 11 siang pak”
“Oke selanjutnya?” ujarku sambil terus melangkah cepat melewati lorong kantor.
“Konferensi pers untuk mengklarifikasi berita yang kemarin kita sebarkan pukul 5 sore dan pukul 8 bapak di undang makan malam oleh pak Gubernur, sepertinya berita kemarin cukup serius” ucapnya sambil sesekali mengecek ulang khawatir ada jadwal yang tertinggal untuk disebut.
“Sudah kubilang masyarakat perlu tau apa yang sebenarnya terjadi tak usahlah kau hiraukan komentar banyak pihak, kita disini sebagai pers yang bertugas menyalurkan berita tanpa menghilangkan satu dan lainnya, tidak perlu ada konferensi pers dan jika pak gubernur mengundang makan malam sebagai bentuk negosiasi untuk menutup berita kemarin katakan bahwa aku tidak bisa menemuinya ”
Menjadi pimpinan redaksi disalah satu perusahaan koran yang menyuarakan kebenaran membuat hal ini sudah biasa terjadi, esok lusa mungkin bukan hanya pak Gubernur yang mengajak makan malam bisa jadi helikopter para pejabat sudah mendarat di halaman kantor dengan tenang.
Disinilah aku berdiri di tanah sumatera, setelah bapak pergi mamak memutuskan mengajakku untuk kembali ke kampung halaman mamak untuk menemui nenek dan sanak saudara.
Bandung, 24 januari 1950
Dari kecil hingga kini usiaku menginjak 15 tahun jam makan malam adalah saat yang paling aku suka karena dapat berbincang dengan bapak lebih lama dan bapak pasti akan banyak bercerita tentang hal hal keren yang terjadi.
“Ada berita baru apa pak hari ini?” tanyaku mantap, sedangkan ibu masih mengambil lauk di dapur.
“Kemarin para pemberontak melancarkan serangan kepada TNI yang ada, serangan dimulai pada pagi buta setiap anggota TNI yang di jumpai sejak maka anggota TNI itu akan dibunuh.” ucap bapak santai, setelah seharian kemarin bapak tidak pulang ke rumah karena tugasnya yang menuntut bapak lembur, berkutat dengan pekerjaan yang harus cepat tersebar bahkan ke seluruh indonesia.
“Kamu sendiri bagaimana? Tugas harian sudah dikerjakan?” senyum bapak merekah ketika aku mengangguk pelan.
Dengan ragu aku bertanya untuk memastikan “Bapak tidak akan kenapa kenapa kan pak?”
“Memangnya kenapa?” ujar bapak sambil menyendok ikan yang terhidang.
“Tak usahlah kau risau, bapak kau kan bukan TNI” mamak terkekeh menanggapiku, mamak-ku wanita berdarah sumatera yang mesikipun telah belasan tahun ikut merantau dengan bapak ke bandung tetap logatnya tak hilang.
“Dengar nak, apapun yang kau takutkan sekarang janganlah risau, entah itu jodoh,rezeki bahkan kematian sekalipun itu ditangan Allah, jikalau memang terjadi ingat satu hal semua itu kehendak yang maha kuasa” 
“Eh jadi apa mimpimu nak?” bapak mengalihkan topik pembicaraan.
“Penjual koran pak, aku ingin seluruh masyarakat dapat memperoleh informasi dan kelak aku akan berkata dengan bangga ‘ini bapakku yang menulisnya’ ” aku menyengir tentu saja yang kedua itu hanyalah gurauan belaka kami tertawa bersama, seolah ketakutan tadi terlupa begitu saja.
“Itu suatu hal amat mulia semoga jadi apapun kau nanti, jadilah seseorang yang bermanfaat bagi bangsa ini jangan pernah bertanya apa yang bangsa ini telah berikan kepadamu, nyatanya kamu lah yang harus bertanya pada dirimu sendiri, ‘apa yang telah kau berikan untuk tanah air mu?’ -” 
Baru saja bapak ingin melanjutkan kalimatnya pintu rumah di gedor keras, mamak yang baru saja akan pergi membuka pintu di hentikan oleh bapak.
‘Biar aku saja neng’ ujar bapak lembut. 
Aku tak tahu apa yang terjadi bapak menghampiri kursiku membisikan pelan ‘apapun yang terjadi nanti itulah yang terbaik, kau anak laki laki bapak dan kau juga anak satu satunya, jaga mamak mu’ dengan senyum bapak pergi entah kapan akan kembali.
Ibu Kota 1998
usiaku kini 63 tahun dan salah satu keputusan dan impian besarku terwujud, menghabiskan sisa hidup diantara tumpukan kertas-kertas koran. 
Gerombolan manusia berteriak lantang memprovokasi keadaan yang semakin memanas ‘bakar!’ berulang kali kata kata itu memekakan telinga, aku tidak khawatir atas apapun yang terjadi sasaran mereka patilah bukan pribumi melainkan orang orang keturunan tionghoa.
Sambil menutup kios berukuran 2x3 meter dengan tergesa aku bergumam memandangi bendera usang yang sengaja ku kibarkan di samping kios, rasanya baru kemarin Indonesiaku merdeka.
‘Bakar saja ini toko kelontongan mereka!’ ujar seorang lelaki berbadan tegap dengan kain hitam yang menutupi setengah wajahnya.
Gerombolan mereka makin mendekati toko kelontongan yang tepat berada disebelah kios koran yang telah 3 tahun aku tempati, usiaku kini 63 tahun dan salah satu keputusan dan impian besarku terwujud, menghabiskan sisa hidup diantara tumpukan kertas-kertas koran. 
Satu jirigen minyak tanah mulai ditumpahkan di depan area toko dan pemantik mulai dinyalakan, dengan cepat api menyambar melahap toko kelontongan dan merambat menuju kios impian besarku dengan cepat terbakar habis respon tumpukan kertas-kertas koran dengan cepat menjadi penyalur api.
Tak apa aku jadi ingat pesan bapak setelah beliau tau apa mimpiku,
“jadi apapun kau nanti, jadilah seseorang yang bermanfaat bagi bangsa ini jangan pernah bertanya apa yang bangsa ini telah berikan kepadamu, nyatanya kamu lah yang harus bertanya pada dirimu sendiri, ‘apa yang telah kau berikan untuk tanah air mu?’ -” 
Mungkin kontribusiku untuk bangsa ini dengan menyalurkan informasi untuk dapat sampai ketangan-tangan rakyat telah purna dilahap si jago merah tapi esok lusa kontribusi kalian lah yang akan memadamkan api tersebut dan akan membangun bangsa ini.
5 notes · View notes
mhsabhgstra · 3 years ago
Text
Sekali Lagi, Panggil Aku Kartini Saja….
Tumblr media
21 April 2021, di ruang redaksi Harian Umum Karawang Bekasi Ekspres. Tempat saya bekerja. Saat itu saya masih menjadi redaktur pelaksana, bersama kawan-kawan di redaksi, membuat edisi khusus Hari Kartini dengan menampilkan sosok-sosok—prima inter pares dari setiap kebijakan pengendalian pagebluk covid-19 di Karawang. Darimulai bupati, yang juga ketua satgas covi-19 kabupaten, plt kepala Dinas Kesehatan saat itu,  perwakilan perawat, juga kepala sub divisi Karawang Layanan Cepat Darurat—yang kesemuanya perempuan.
Pesan yang ingin disampaikan di edisi khusus itu, benar bahwa perempuan adalah yang paling terdampak oleh pandemi. Juga ada perempuan-perempuan lain yang juga sedang berloyo-koplo, berusaha, berupaya covid-19 bisa segera terkendali. Dan menurut saya, saat itu, taka da momen yang paling pas menyampaikan pesan tebal itu selain pada edisi khusus Hari Kartini.
21 April 2022, ndilalah, kini saya sudah ditugasi menjadi pimpinan redaksi di Harian Umum Karawang Bekasi Ekspres. Dan saya tak membuat edisi khusus Hari Kartini. Sebagai gantinya, saya menulis di platform Tumblr pribadi saya. Dan tentu ini bukan tulisan reportase media massa. Terserah kalian ini anggap resensi, atau sekadar ringkasan saja.
Pada salah satu surat yang Kartini tulis. Dia menyerat: Panggil aku Kartini saja. Konteks dia menulis itu, sebagai sikap risihnya pada status keningratan yang menempel padanya yang berwujud sebutan: Raden Ajeng.
Itu protes serius. Upaya sekaligus momen eksistensial seorang Kartini melawan feodalisme Jawa. Setidaknya, begitu para penilik sejarah memaknai asbabul wurud Kartini menulis: panggil aku Kartini saja.
Dalam suratnya yang terkenal berjudul Habis Gerap Terbitlah Terang, Kartini juga menulis, “Rasa setiakawan memang tiada terdapat pada masyarakat Inlander, dan sebaliknya yang demikianlah justru yang harus disemaikan, karena tanpa dia kemajuan Rakyat seluruhnya tidak mungkin.” 
Simak pelan-pelan tulisan itu. Di sana tak ada kata ‘kesadaran nasional’ atau ‘nasionalisme’ juga ‘persatuan’. Tapi makna kata ‘setiakawan’ di penggalan kalimat yang ditulis Kartini itu terang benderang bukan dimaksudkan pada setiakawan dalam konteks yang kecil. Itu jelas kesadaran nasional, nasionalisme, persatuan nasional dalam kata yang lebih halus. Dan itu ditulisa bertahun-tahun sebelum, Boedi Oetomo resmi berdiri. Tentu ini bukan soal siapa yang lebih dahulu tumbuh semangat kesadaran nasionalnya. Karena bahkan kesadaran nasional ala Kartini sendiri banyak disebut sebagai kesadaran nasional yang Jawaisme. Tapi poin pentingnya: jika ada daftar siapa saja orang Nusantara yang sebelum era pergerakan kemerdekaan sudah sadar tentang kesadaran nasional, kita bisa memastikan Kartini satu di antaranya. Itu juga sepertinya yang membuat Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya berjudul ‘Panggil Aku Kartini Saja’ menyebut“…yang meresapkan pengertian dalam kalbu Kartini, bahwa kekuatan sesuatu negeri sama sekali tidak terletak pada besar kecilnya jumlah penduduk, …pastilah Kartini mengagumi perjuangan patriotik Willem van Oranje, …dan juga mengagumi perlawanan kesatuan rakyat jelata yang dinamai Watergauzen.” Memang terasa lebay dibacanya. Zen Rachmat Sugito yang memberi sinopsis pada novel itu bahkan menyebut, itu memang interpretasi yang agak berlebihan dari Pram.
Saya sengaja membuka tulisan ini dengan menceritakan jika saya pernah membuat edisi khusus Hati Kartini di halaman muka koran, juga menyambungnya dengan sikap protes Kartini dengan feodalisme Jawa, lalu soal kesadaran nasional yang sudah disadari Kartini, sebagai upaya menujukan Kartini sebagi Kartini tidak akan cukup diatribusi dengan tokoh penggerak emansipasi perempuan. Kartini sebagai Kartini memang pada kenyataanya pada setiap periodik rezim yang sedang berkuasa, selalu lebih dari itu.
Kartini sebagai sebagai teks sejarah, merupakan keunikan tersendiri. Zen menuliskannya dengan apik dalam empat seri tulisannya. Bahwa hanya Kartini, satu-satunya orang di republik ini yang sosoknya diharumkan oleh lintas rezim sesuai versi masing-masing. Darimulai oleh pemerintah Belanda, oleh era Soekarno, oleh era Soeharto, hingga saat ini. Zen memberikan contoh bagimana Kartini sebagai teks sejarah sedemikian rupa diutak-atik menjadi simbol. Bagimana Kartini ditetapkan menjadi pahlawan nasional pada masa Presiden Soekarno, dan pengusul utamanya Gerwani (organ sayap PKI) yang juga saat itu sudah punya majalah Perempuan bernama ‘Api Kartini’ lalu saat rezim berganti ke Soeharto, namanya tidak disimpai dalam-dalam apalagi dihilangkan dalam teks sejarah, tapi sebagai reks sejarah, Kartini diambilalih. Dimunculkan menjadi harum yang lain lagi.
Bahkan jauh sebelum itu, Kartini sebagai teks sejarah, juga sudah diproduksi oleh pemerintah Belanda. Zen juga menulis, “……Narasi Kartini mulai dianyam canggih menyusul penerbitan surat-surat Kartini yang diterbitkan oleh J.H. Abendanon[iii] pada 1911. Surat-surat itu diterbitkan di Belanda di bawah judul (Habis Gelap Terbitlah Terang) Door Duisternis Tot Licht.[iv]….”
Dan tak lama, media massa di Belanda mengiklankan/menampilkan resensi buku itu. Jika kalian pernah membaca koran-koran di sini punya rubrik khusus resensi buku. Nah, isi dari media massa di Belanda yang menapilkan resensi buku Habis Gelap Terbitlah Terang juga serupa itu. Zen bahkan dengan lengkap menuliskan nama medianya dan tanggap terbitnya. Nama medianya surat kabar De Tijd (The Times). Bulan tayangnya edisi Juni 1911, berupa iklan.
Belanda jelas punya kepentingan menampilkan itu. Sebagi testimony suksesnya poltik etis yang digagas Ratu Wilhelmina, serupa sukses yang sama Inggris pada India: membuka akses pendidikan kepada rakyat bangsa jajahannya. Zen menyebut “…..respons positif atas penerbitan buku itu bisa dirangkum dalam kalimat: Lihatlah, kami orang Belanda juga bisa melahirkan pribadi pintar dan tercerahkan”.
Dua tahun setelah iklan-iklan itu muncul di media massa Belanda, di Nusantara, orang Belanda muali mendidirkan yayasan-yayasan pendikan. Dan Kartini saat itu sudah jadi brand. Jadi simbol. Di Semarang, ditulisan yang sama Zen menyebut, saat itu didirikan Yayasan Kartini. Dan menjadi headline di media-media besar di Negeri Kincir Angin. Mungkin, semacam iklan advertorial, ya.
Pada media massa  Der Leeuwarder Courant (surat kabar yang terbit sejak 1752) reportase tentang Yayasan Kartini, diceritakan Zen, hampir meludeskan satu halaman penuh. Dan tayang di halaman 1. Jika  industri media cetak saat itu sama dengan industri media massa hari ini, iklan di halaman 1, sekali bentuknya pun berupa teks berita, itu adalah jenis iklan termahal dari semua jenis iklan yang ada di media cetak.
Media mass a dalam negeri yang pertama memunculkan Kartini, ditulis Zen, yakni surat kabar De Sumatra Post edisi 28 Januari 1914, artinya 10 tahun setlah Kartini wafat. Di sana Kartini muncul pada iklan kalender yang dinamai Raden Kartini Kalender, harhganya dibanderol 1,75 gulden.
Sejak saya kecil, saya sering melihat kalender perempuan seksi berlatar otomotif entah mobil atau motor, pikir saya generasi teteh-teteh itulah yang menjadi pemula kalender dengan pernik perempuan. Termasuk buku-buku TTS bergambar permpuan seksi. Ternnyata itu salah. Kartini berpuluh-puluh tahun sebelumhya, sudah duluan muncul di kalender.
Saat kemerdekaan Indonesia sudah didapat, saat itu lembaran baru geopolitik internasional dibuka. Semangat anti kolinialisme dan imperialisme tumbuh di sana-sini. Kartini sebagi brand, juga simbol legacy dari kolonialisme, uniknya tidak dikubur sebagai narasi sejarah. Yang ada ialah—pengambialihan narasi tentang Kartini.
Zen menulis, “….Pada Kongres Perempuan Nasional yang digelar 4 bulan setelah proklamasi, Kartini sudah “gentayangan” dalam pidato-pidato para peserta. April 1946, belum setahun umur Indonesia merdeka, perayaan Hari Kartini sudah digelar…..”
Organ sayap permpuan PKI, Gerwani dan Gerwis bahkan mengambil alih Kartini sbegai teks sejarah, menadi sosok perempuan yang anti-kolonialisme dan anti Feodalisme. Belakngan kita tahu, Gerwani juga lah yang menjadi morot pengsusul Kartini menjadi pahlawan nasional.
Zen menulis, “…..Pada 1965, tahun-tahun yang disebut “ibu pertiwi sedang hamil tua” itu, DPP Gerwani melansir pernyataan di Harian Rakjat: Gerwani sebagai penerus tjita-tjita dan jedjak perdjuangan Kartini dan Clara Zetkin[vii] jang dalam meningkatan diri menjesuaikan dengan proses kristalisasi politik dewasa ini, merupakan gerakan emansipasi jang menghimpun wanita Komunis dan progresif non Komunis….”
Zen menuliskan, Gerwani menyejajarkan Kartini dengan Clara Zetkin, perempuan komunis dari Jerman pengusul adanya (Women’s Internasional Day) Hari Perempuan Internasional yang kini makin ngetrend. Lewat Zetkin ini, tulis Zen, bisa dikatakan bahwa Hari Perempuan Internasional pada mulanya berakar pada gerakan sosialis, bukan gerakan feminis. Dan Pram, yang dalam novelnya yang berjudul ‘Panggil Aku Kartini saja’ juga memproduksi Kartini sebagai teks sejarah anti-kolonialisme, memudahkan kita menempatkan Pram di posisi mana, dalamsilang-sikut tarik-menarik narasi tenatang Kartini.
Juga pada tulisa Zen, saya baru tahu, awalnya lagu ‘Ibu Kita Kartini’ yang kita kenal hari ini tidak memakai  kata ‘Ibu Kita’. Saat awal diciptakan, WR Supratman justru menulis lirik ‘Raden Ajeng Kartini’. Kemdian, tulis Zen, Soekarno meminta kata ‘raden Ajeng’ diganti menjadi ‘Ibu Kita’ karena dianggap terlalu feodalistik.
Saat rezim Soekarno berganti ke rezim Soeharto. Tentu kita sudah sama-sama tahu, proyek de-Sukarnoisasi adalah satu dari sebagian banyak kebijakan yang digalakkan oleh rezim Soeharto. Dan saat itu, Kartini sebagi teks sejarah, adalah milik rezim Soekarno. Apalagi kita juga sama-sama tahu, bahwa Gerwani, adalah pengusul Kartini menjadi pahlawan nasional, sangat logis jika saat itu Soeharto memasukan Kartini ke keranjang list kebijakan desukarnoisasi. Tapi, kembali saya singgung, Kartini itu hal lain. Dia sebagai teks sejarah tak dikubur. Yang ada justru pengambialihan (untuk kesekian kali)  narasi tentang Kartini.
Watak progresif sebagai konsekuensi mengharumkan Kartini yang anti-kolonialisme diganti denga versi yang sangat soft. Kita mengenalnya menjadi era ibuisme perempuan Indonesia.
Zen menulisnya dalam kalimat, “…..Inilah Kartini yang disunting dan dimodifikasi oleh Orde Baru. Kartini yang sepenuhnya diletakkan sebagai ibu”, bukan perempuan. Dan dengan itulah posisi perempuan dikonstruksi semata sebagai pendamping lelaki/suami, sebagai pengasuh anak dan pengayom keluarga… Tidak ada “perempuan”, yang ada hanyalah “ibu” dan “istri”. Maka perempuan yang baik haruslah “ibu yang baik” dan “istri yang setia”. Perempuan yang berkeliaran di jalanan untuk menuntut hak adalah perempuan binal yang melanggar kodrat dan fitrahnya……..”
Pada masa-masa jelang Soeharto lengser, kita tahu ada demonstrasi sekolompok aktivis perempuan yang di dalamnya ada Gadis Arivia hingga Prof Karlina Leksono. Mereka saat itu memakai nama kelompok ‘Suara Ibu Peduli’ sebagai upaya kamuflase agar dari awal tak diciduk sebagai gerakan subversif, ya meski ujungnya dicokok juga.
Jujur, pengetahuan saya tentang Kartini, sepenuhnya tercerahkan oleh tulisan Zen. Entah ini resnsi atau hanya sekadar ringkasan empat seri tulisan Zen yang masing-masing berjudul  “Kartini Bukan Pahlawan”, “Kartini ‘Bikinan’ Belanda”, “Kartini ‘Menjadi’ Gerwani”, dan “Kartini Sebagai Kuntilanak Wangi”. 
Pada 21 April 2022 ini, bertepatan dengan perayaan Hari Kartini, saya kembali membaca empat seri tulisan Zen yang pernah saya baca bertahun-tahun lalu. Kemudian, sambil menunggu waktu sahur, saya coba menulis ini sebagai upaya ringkas dan pada beberapa poin saya kasih pendapat saya, yang menjadik tulisan ini menjadi sepraruh resensi, separuh ringkasan. Di ujung menjelang saya merampungkan tulisan ini, mata saya terpejam sebentar, tentu dengan rokok di tangan yang asapnya masih mengepul. Saat memejam, dan membayangkan Kartini dalam bentuk dan rupa selera imaji saya, datang menghampiri dan bilang “Sekali lagi, panggil saya Kartini saja, saya jadi arawah gentayangan karena sudah overload memikul versi-versi Kartini,”. (*)
0 notes
beritatopsatu · 4 years ago
Photo
Tumblr media
PADANG – Sekawanan orang tidak dikenal diduga debt collector, menghadang mobil di kawasan Jalan Khatib Sulaiman, Padang, Selasa (10/11/2020) sekitar pukul 13.40 WIB. Daihatsu Xenia BG 1477 PU, milik Afdhal Azmi Jambak, dihadang kawanan seperti tindakan premanisme tersebut. dengan orang -orang tersebut, Afdhal Azmi Jambak, yang Pemimpin Redaksi Koran Transparan Merdeka Palembang, tidak mengindahkan perintah tersebut. Kawanan tersebut turun dan mendekati mobil mantan wartawan Harian Singgalang era 1980-an tersebut. Mereka menyuruh turun dan mencoba mengambil paksa kunci mobil. Afdhal dengan sigap menghalangi. Akibatnya kuku jempol tangan Afdhal patah dan berdarah. Kepada kawanan tersebut, Afdhal Azmi Jambak mencoba-baik-baik mengajak menyelesaikan masalah itu ke kantor PWI Sumbar. Ketika seseorang di antara kawanan tersebut mengatakan ke kantor polisi saja, Afdhal dengan tegas menyatakan siap ke kantor polisi. Tapi mereka tidak beranjak dan mobil serta sepeda motor mereka tetap menghalangi mobil Afdhal. Selengkapnya di topsatu.com #debtcolector #topsatu #koransinggalang #padang #sumbar @top.satu (di Kota Padang Sumatra Barat) https://www.instagram.com/p/CHbtEdBpd4s/?igshid=1kj41i26twbmr
0 notes
diahfatimatuzzahra · 7 years ago
Text
Upaya Berliku Menuju Sarjana Bermutu
Kuliah itu bukan balapan lulus atau tinggi-tinggian IPK. Jalani saja dengan ‘tanggung jawab dan versi terbaik menurutmu’.
–Anonim
Kalimat di atas merupakan pernyataan yang setidaknya dapat menggambarkan jawaban saya untuk pertanyaan “Bagaimana kamu memaknai IPK?” atau “Kuliah yang benar itu yang bagaimana?”. Meskipun terkesan sedikit munafik, namun realitanya, selama 6 semester saya menjalani peran sebagai mahasiswa, IPK bukanlah menjadi suatu hal yang saya nomorsatukan. Saya sangat ingat betul dengan cita-cita yang saya semogakan pada saat pertama kali melangkahkan kaki di kampus psikologi. Saat itu cita-cita saya hanya satu, yaitu bisa lulus dengan predikat cumlaude. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, ternyata perilaku saya enggan mendukung cita-cita tersebut. Di perjalanan, saya menemuakan rintangan-rintangan, yang sejatinya semua rintangan itu bersumber dari diri saya sendiri.
Di awal semester, tepatnya di tahun pertama kuliah, saya belum bisa sepenuhnya menikmati proses perkuliahan. Di tahun pertama, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk bereksplorasi dan melakukan penyesuaian terhadap gaya belajar yang terasa asing bagi saya. Belajar psikologi adalah suatu tantangan, di mana saya harus belajar untuk berpaling dari pelajaran eksak. Saya harus gemar membaca, mendalami teori, dan melakukan hal-hal yang menurut saya sangat membosankan dan melelahkan. Sebab dari dulu saya lebih sering berkecimpung di mata pelajaran eksak seperti kimia, fisika, dan matematika. Dan di awal-awal semester inilah tantangan terberat saya menjadi mahasiswa psikologi benar-benar terasa.
Tak mau didera stres akademik berlarut-larut, akhirnya saya memilih organisasi sebagai tempat pelarian sekaligus media yang menurut saya sangat manjur untuk meningkatkan minat baca. Saat itu, yaitu pada semester 1 dan 2, saya bergabung dengan UKMF Psikojur dan Kesppi. Dengan bergabung di Psikojur saya berharap agar minat membaca dan menulis saya bisa lebih meningkat. Sedangkan di Kesppi, saya berharap dapat mendalami ilmu Psikologi Islam yang bagi saya sangat penting untuk dipelajari.
Namun di tahun kedua, saya mulai merasa bahwa kedua organisasi tersebut belum cukup bisa membuat minat baca saya meningkat. Kemudian, bergabunglah saya ke dalam lembaga pers mahasiswa yang lingkupnya lebih besar, yaitu LPM Manunggal Undip. Dan sesuai ekspektasi, di Manunggal saya dibiasakan untuk membaca koran atau berita setiap hari. Di samping itu, tuntutan tugas liputan dan pembuatan berita juga secara tidak langsung menuntut saya untuk gemar membaca. Dari situlah kemudian saya menyadari bahwa ‘tanpa membaca saya bukan apa-apa, dan tanpa menulis saya bukan siapa-siapa’.
Selain di Manunggal, sebagian besar waktu semester 3, 4, dan 5 saya juga tersita untuk 3 organisasi lain, yaitu Psikojur, Kesppi, dan Paguyuban Karya Salemba Empat Undip. Berawal dari semester 4 sampai 5 inilah akademik saya mulai berantakan. Tanggung jawab sebagai ketua divisi dan beberapa penanggung jawab kegiatan kepanitiaan membuat saya sulit membagi waktu. Saya menyadari bahwa kesibukan tersebut bukanlah alasan untuk menomorsekiankan akademik. Sebab yang menjadi sumber masalah, sejatinya adalah diri saya sendiri. Saya kurang bisa mengatur waktu dan menentukan prioritas. Akibatnya, saat semester 5, tepatnya pada bulan Agustus hingga Oktober, saya sering kali terlambat atau bahkan tidak masuk kelas.
Suatu ketika, saya merasa lelah berorganisasi dan menyadari bahwa selama ini saya mengerjakan terlalu banyak hal namun kurang bisa fokus ke satu tujuan. Dan dari situ, saya mengambil keputusan untuk lebih fokus ke akademik pada semester 6 dan 7. Yang itu artinya saya harus mengurangi keterlibatan saya dalam organisasi. Akhirnya, tepat di awal semester 6 saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari LPM Manunggal dan Kesppi, sehingga yang tersisa hanya LPM Psikojur sebagai pemimpin redaksi dan Paguyuban KSE Undip sebagai pengajar saung pintar. Harapan saya, dengan mengurangi jumlah organisasi, saya memiliki peluang untuk dapat memberbaiki IPK saya yang belum memenuhi target. IPK saya hingga semester 6 ini baru mencapai 3,(sekian). Angka yang cukup memprihatinkan untuk calon sarjana yang ingin memperoleh predikat cumlaude, bukan? Itulah sebabnya mengapa saya sangat mantap untuk melepaskan organisasi dan memilih fokus pada akademik di semester 6 dan 7.
Upaya untuk lebih serius di semester ini sejujurnya belum begitu terealisasi, karena ternyata sulit untuk membiasakan diri rajin belajar meskipun tidak ada ulangan. Sejujurnya saya merasa seperti menemukan suatu aktivitas yang lebih mengesankan di luar psikologi. Saya memiliki beberapa komunitas menulis baik fiksi maupun non fiksi. Hampir setiap hari teman-teman di komunitas tersebut memberikan informasi mengenai tanggal rilis buku atau novel mereka. Semangat berkarya yang begitu menggebu di komunitas tersebut membuat saya begitu ingin menghasilkan karya seperti mereka. Hal itulah yang kemudian membuat saya merasa tidak bisa fokus dan memprioritaskan apa yang seharusnya diprioritaskan. Terkadang saya terlalu asyik menulis hingga membuat saya mengesampingkan tugas akademik. Di satu sisi saya kesal dengan diri saya sendiri, namun di sisi lain saya menikmatinya.
Entahlah.
Meski demikian, saya akan tetap berusaha memperbaiki nilai dan memperluas pemahaman di sisa perkuliahan ini. Pertama, saya sudah berhasil menjadi seseorang yang gila bacaan. Dan yang kedua, beban organisasi saya sudah berkurang sehingga memiliki lebih banyak waktu untuk belajar. Tentu saya akan memanfaatkan kedua peluang tersebut. Dan sebenarnya, saya memahami betul bahwa penyebab kegagalan saya mendapatkan IP tinggi di semester-semester sebelumnya adalah karena kekurangmaksimalan saya pada saat belajar UTS atau UAS. Selama ini saya selalu belajar dengan menggunakan sistem kebut semalam. Oleh karena itu saya berharap di dua semester terakhir ini saya dapat meningkatkan kualitas belajar dan lebih memprioritaskan akademik.
Perihal upaya memenuhi target Angka Kredit Mahasiswa (AKM) di setiap semester, sejauh ini saya tidak memiliki hambatan. Keaktifan di organisasi serta keikutsertaan pada beberapa kepanitiaan dan pelatihan membuat saya dapat dengan mudah mendapatkan poin AKM. Hanya saja, saya tergelitik untuk membuat kategori sumber poin AKM saya lebih berwarna. Oleh karena itu, di semester yang tersisa ini saya berencana untuk lebih banyak menulis dan lebih serius mengikuti beberapa perlombaan essay atau jurnalistik agar daftar poin AKM tidak dipenuhi dengan kegiatan-kegiatan organisasi saja.
Sebagai langkah konkret, pada semester 6 ini saya mengikuti 2 pelatihan kepenulisan online, yaitu Kelas Artikel yang diselenggarakan oleh Inspirator Academy dan Pelatihan Menulis Online yang diprakarsai oleh penulis muda Indonesia, Wildan Fuady. Kemudian dari ilmu yang saya dapatkan, saya memanfaatkan peluang untuk mengirimkan naskah opini ke beberapa media nasional maupun lokal. Dan untuk saat ini, saya sedang rajin mempelajari beberapa opini Harian Kompas sebagai upaya agar tulisan saya dapat diterima redaktur pelaksana. Karena bagi saya, harian kompas adalah media cetak yang paling sulit ditembus. Ketertarikan saya terhadap dunia jurnalistik ini lantas membuat saya berpikir, “Sepertinya mengambil S2 Ilmu Komunikasi Undip boleh juga.” Namun, hati saya tidak begitu serius menanggapinya, mengingat cita-cita untuk menjadi psikolog masih sangat melekat di dalam sanubari. Entahlah. Semoga upaya berliku menuju sarjana ini, dapat mengantarkan saya menjadi lulusan yang berguna. Semoga saja.
*Ditulis sebagai tugas MK Pengembangan Diri dan Karir
1 note · View note
rmolid · 4 years ago
Text
0 notes
bogorexpose · 28 days ago
Text
PWI Kota Bogor Desak Polresta Bogor Kota Ungkap Dalang Pembakaran Kantor Redaksi Koran Harian PAKAR
BOGOR – Aksi teror pembakaran kantor media lokal Harian Pakuan Raya (PAKAR) Sabtu (28/12/2024) dinihari, membuat sejumlah kalangan jurnalis meradang. Tak terkecuali Ketua PWI Kota Bogor Herman Indrabudi. Ia mengutuk keras kejadian tersebut dan mendesak aparat penegak hukum agar segera mengusut tuntas kasus teror tersebut. “Kami mengutuk keras kejadian teror pembakaran yang mengakibatkan sebagian…
0 notes
mydeflin · 5 years ago
Text
DEADLINE KODE ETIK.
Terimakasih Tuhan berkata pemilwa kami pintar jurnalistik. Rasa syukur ini aku ungkapkan tengah malam. Sebab jika siang akal sehatku bertindak, tak mungkin jadi satu tulisanpun. Iya, aku harus mengigau dulu baru bisa bermain mata, ehh kata maksudnya.
Kembali kekalimat pertama, syukur Alhamdulillah sekarang Presma kampusku banjir komentar. Tidak lain tidak bukan memang isu politik paling pas di cocol dengan sambal di temani teh hangat. Maaf pecinta kopi, aku doyannya teh.
Sebagai manusia yang tertarik pada jurnalistik, kembali aku bersyukur lagi (?) Sahabatku, teman-teman dan adik-adik mahasiswa sudah pintar ngoceh kode etik jurnalistik. Wah, aku belajar beberapa semester dulu di LPM buat paham kode etik. Ya maaf, aku belajarnya lama. Soalnya motivasi jadi anak presma juga gegara novel.
Jadi ceritanya aku kenalan dengan DEADLINE, novel di wattpad yang mengunggah jiwa jurnalistik di dadaku. Setting cerita Deadline itu koran harian olahraga loh dan beneran ada novelnya google aja bair kita nge-hype bareng. Ada tokoh kaforit akoh nih di DEADLINE sebut aja Jastra.
Astaga bang Jastra kocak sekali di novel itu. Gara-gara doi naruh handuk yang menyumbat aliran air di kamar mandi kantor langsung guru hara. Endingnya Jastra bikin banjir dan hampir gagal produksi koran olah-raga. Spele tapi di DEADLINE ini part terkocak.
Sekocak guyon Bang Jastra yang harusnya cuma di denger sekali. Kode etik juga cukup di baca sekali. Berikutnya kalian tinggal tertawa, bareng Jastra. Memaknai kelucuan Kode Etik. Lucu karena kalo teman-teman ada masalah dengan berita pergilah ke rumah Redaksi. Minta Hak Jawab atau Koreksi. Jangan malah pergi ke kantor polisi. Sebab Jastra tidak akan mau menemani. Jastra bisikin aku pas nulis ini, katanya Kode Etik di pakai buat berita ndun....
"Lu kalo nulis opini gak bener, berati isi kepala lu banyakan space kosong bernama kebegoan. Lagian ini udah 2020 orang-orang udah pinter ngadepin hoax apalagi sekedar opini berat sebelah. Jadi kalo nulis yang rata beratnya" gitu kata Jastra sambil jepret-jepret foto akak cantik di seberang sana.
Tak puas dengan rumah Redaksi ayo kita ke Dewan Press. Tenang kamu tidak sendirian kesana, seret saja abang Jastra kita lagi. Dewan Pers ini di jamin top markotop soal Jurnalistik. Mau komplain apa-apa kesana aja dulu jangan langsung pengadilan ya.
Jangan berhenti tertawa, di sini masih ada tokoh Bima Redaktur tampan yang di segani. Ngobrol bareng bima kamu di kasih petuah bahwasannya ada istilah embargo. Itu untuk permintaan narasumber agar berita di tahan sebentar dan di keluarkan di saat nasrum siap. Kata Bima hati-hati juga dengan off the record, infonya tidak boleh bocor karena di suruh matiin rekaman. Tapi biar rekaaman mati redaktur harus denger juga isi wawancaranya. "Biar gue gampang ngedit aja sih, sama biar mudah klarifikasi isi tulisan" ujar Bima, aturan main off the record dia gitu, kalo di tempat lain entah terserah pimred lah.
Bima sering banget ngomel soal keterjaminan data liputan. Jangan main ngadi-ngadi bareng Bima, dia bisa marah banget kalo nulis ngasal. Juga harus pinter jaga rahasia dapur redaksi termasuk hak wartawan melindungi narasumber isu sensitif.
Beda kisah dengan Kaendra anak baru tokoh utama di Novel kita. Kaendra duduknya seberangan dengan Kirana. Sakin nge-fansnya sama Keandra bahkan aku sudah halu, kunjungan ke B-Post mikirin posisi duduk Kean seandainya kerja di B-Post.
Kean memang anak baru di dunia jurnalistik. tapi sebelum terjun dia belajar kok, orang jurusan kuliahnya aja masih muter di jurnalistik. Kean nih kalo salah-salah dikit, ya gak papa di koreksi. Anaknya gak bakal marah, kan dia lagi belajar juga. Paling urgen itu kita apresiasi proses belajar Kean. Gak mudah loh begadang di kejar Deadline dan tetap waras besok paginya.
Oh iya kalian harus kenalan juga sama filosofia. Tokoh fiksi novel sebelah yang sempat di kejar dan di ancam penjahat gegara mau ngeliput korupsi. Filo nih keren banget cuy idealismenya tinggi, dia kaga takut apa-apa. Pokoknya ngejer kebenaran itu utama meski sedunia maki-maki. Ya emang gitu sih, manusiakan gak selalu senang kita nulis kebenaran.
Eh belakangan aku baru tahu. Deadline itu ternyata termasuk Fanfiction alias tulisan penggemar. Itu loh tulisan yang di tulis fans dengan tokoh para idolanya. Kebetulan fanfiction DEADLINE ini tokohnya Day6. Abang-abang 5 biji dari Korea yang anak band. Astaga cukup disini aja jiwa halunya. Balik ke topik bahasan semula.
Hubungan DEADLINE apa dengan PEMILWA kampus? Ya gak ada hubungan apa-apa. Cuma ini sekedar ngasih tahu motivasi belajar jurnalistik itu berawal dari ngehalu novel fiksi eh jadi keterusan deh belajarnya. Okey, sekarang semakin ngasal. Namanya juga orang lagi ngigo terus nulis. Wajar dong ngasal.
Udah lah ya. Kalo udah capek baca jangan lupa teriak "DUA REBO Pertama!" Itu kodenya bang Jastra biar kita patungan buat beli gorengan. Emang cerdas banget bang Jastra ih, ngeteh tu temen baiknya sama gorengan. Dah lah segini aja. Aku harap igoan ini jangan di anggap serius. Santai aja yekan.. sekian persen igoan berisi petuah, seumprit kenyataan dan sisanya kehaluan. Mari menyudahi halu ini dengan berdoa semoga DEADLINE segera update chapter baru di Wattpad. Biar bang Bima liat aku, udah ngirim lamaran minta di terima magang di harian olahraganya.
0 notes
faizabdurrahim-blog · 6 years ago
Text
Psychology Business Perspective: Koran SINDO Ubah Strategi Bisnis??
Kembali lagi bersama psychological cheff Faiz ( ͡° ͜ʖ ͡°)
Berbekal peralatan masak kecil human resource management strategy dan business framework saya akan mengolah fenomena koran SINDO ini, let’s say bon appetite !!!  ( ̄▽ ̄)ノ
Appetizernya beritanya dulu ya... (ノ´▽)ノ 
Koran SINDO menyampaikan informasi terkait kebijakan di sejumlah biro daerah yang tengah dilakukan. Kebijakan manajemen tersebut merupakan bagian mengubah strategi dari koran SINDO berbasis lokal menjadi koran SINDO nasional. Perubahan strategi ini merupakan sesuatu yang wajar untuk pertumbuhan masa depan koran SINDO yang lebih kokoh dan mampu adaptif dengan perkembangan jaman yang terus berubah.
Efek dari perubahan strategi koran SINDO ini memang akan menyangkut masalah karyawan di daerah. Tetapi kebijakan yang dilakukan manajemen terkait kekaryawanan ini sangat hati-hati dan bijaksana. ”Ada sejumlah langkah yang sedang dilakukan oleh tim manajemen terhadap sejumlah biro koran SINDO di beberapa daerah,” kata Wakil Pemimpin Redaksi koran SINDO, Djaka Susila, Kamis (6/7/2017).
Sejumlah langkah tersebut yakni, pertama, sebagian karyawan di setiap daerah ada yang tetap dipertahankan karena produksi konten dan bisnis di daerah tetap berjalan seperti biasa. Kedua, sebagian karyawan di setiap daerah ada yang ditarik ke Jakarta karena konsekuensi perubahan strategi yang menuntut tim koran SINDO Nasional harus lebih kuat. Ketiga, sebagian karyawan di setiap daerah juga dialihkan ke setiap unit bisnis MNC yang ada di daerah maupun di nasional. Keempat, bagi karyawan di setiap daerah yang tidak masuk dalam daftar dipertahankan di daerahnya masing- masing dan tidak masuk dalam daftar yang ditarik ke Jakarta serta tidak masuk dalam daftar yang masuk ke unit-unit bisnis MNC perlakuan manajemen adalah dilakukan dengan cara musyawarah kekeluargaan dengan masing masing karyawan. Kelima, ada karyawan di daerah yang memiliki ikatan historis yang sangat kuat dengan koran SINDO yang menginginkan koran SINDO edisi daerah tetap dipertahankan, masing masing karyawan dibantu manajemen untuk memfasilitasi bertemu calon investor untuk tetap bisa menerbitkan koran SINDO edisi daerah. "Sudah ada yang berhasil, seperti di Makassar dan Palembang sudah dapat investor dengan pola bisnis franchise," jelasnya. Keenam, bagi karyawan di daerah yang memang tidak masuk dalam skema penyelamatan tersebut, sampai saat ini masih dalam proses bipartit yang kecenderungannya makin positif. ”Kami komitmen dan terbuka untuk bermusyawarah secara kekeluargaan untuk menyelesaikan dampak kebijakan perubahan strategi ini,” ujarnya.
 Nah ini dia main dishnya... ╰(°ㅂ°)╯ 
Peristiwa ini sangat menarik kita soroti karena tahukah anda? meskipun koran SINDO mengubah manajemen strategi bisnisnya, koran SINDO tetap unggul dalam dunia kompetisi media cetak koran. Koran SINDO merupakan surat kabar dari PT Media Nusantara Informasi (PT MNI) yang terbit perdana, pada 30 Juni 2005. Beberapa Biro yang tersebar di Indonesia antara lain Biro Jawa Barat di Bandung, Biro Jawa Tengah di Semarang, Biro Jawa Timur di Surabaya, Biro Sumatera Utara di Medan, Biro Sumatera Selatan di Palembang, dan Biro Sulawesi Selatan di Makassar. Meskipun sudah beralih strategi dari mencakup lokal menjadi nasional, koran SINDO ternyata tetap eksis dan tumbuh. Koran SINDO mendapatkan anugerah Top 3 Indonesia Best Brand Award 2007 for Newspaper Category dari majalah SWA edisi Agustus 2007 dan anugerah Service Award dari Mark Plus pada bulan Oktober 2008. Secara umum aspek permintaan atas koran dipengaruhi oleh minat baca dan tingkat belanja masyarakat. Target pembaca KORAN SINDO adalah masyarakat menengah ke atas dari segala jenis gender, jenjang usia yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, dan jenis pekerjaan yang beragam.
Koran SINDO sejak dahulu sudah memiliki visi “Menjadi harian nasional terbesar, independen dan terpercaya yang berkomitmen penuh terhadap pengembangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia”. Adapun misinya adalah:
1. Melayani pembaca dengan sepenuh hati dengan komitmen dan tanggungjawab
2. Menyediakan wahana aspirasi masyarakat dengan penuh tanggungjawab
3. Mendorong perubahan untuk membawa karakter masyarakat kearah yang
konstruktif
4. Melakukan fungsi kontrol dan penyeimbang tegaknya demokrasi
5. Menumbuhkan nilai nilai Nasionalisme demi keutuhan bangsa dan negara
6. Menggerakan ekonomi masyarakat melalui berbagai informasi yang memberi
stimulasi dan peluang berusaha
7. Memaksimalkan efektifitas komunikasi media kepada semua mitra
8. Menciptakan nilai terbaik kepada Pemegang Saham dan pemangku kepentingan lainnya
Dengan demikian, berdasarkan data yang diperoleh maka tak heran meskipun koran SINDO mengubah strategi bisnisnya termasuk human resource management strategy nya yang dari lokal menjadi nasional, koran SINDO tetap dapat unggul. Hal ini terjadi karena meskipun terdapat perubahan yang disebutkan tadi ternyata bila kita perhatikan, perubahan tersebut tidak menyimpang dari visi mereka sejak dulu. Visi mereka adalah menjadi koran skala nasional yang bila dahulu skala nasional dilakukan dengan cara mencakup skala daerah-daerah yang spesifik sehingga luas menjadi nasional namun sekarang langsung diluaskan menjadi skala nasional. Tak hanya sampai disitu saja, meskipun perubahan strategi dalam bisnis kerap menimbulkan konflik atau perbedaan pendapat namun koran SINDO tak ambil pusing dan menerapkan misi sebagai langkah kongkrit penerapan guna mencapai visinya, yaitu menegakkan demokrasi, sehingga langkah-langkah dalam kebijakan sumberdaya manusianya menjadi win-win solution (menerapkan pengintegrasian kebijakan SDM dengan penerapan prosedur sesuai dengan penelitian dalam Information Resources Management Association USA) dan menciptakan harmoni untuk berkembang seperti mencarikan investor untuk membuka biro koran lokal di daerah Palembang, Bandung, dsb. Visi dan Misi inilah yang menjadi dasar bahan bakar perusahaan agar terus maju dan berinovasi serta belajar hingga koran SINDO merasa perlu adaptive terhadap perkembangan zaman dan memutuskan menjadi skala nasional karena cepatnya laju informasi seiring berkembangnya teknologi.
Dessert... ╰(‘ω’ )╯
Dari hal ini kita dapat mengetahui bahwa dalam berbisnis visi sangatlah penting karena visi merupakan pondasi tujuan dari berdirinya perusahaan/organisasi kita meskipun kesannya abstrak namun visi dapat dikonkritkan melalui misi loh... oh iya human resource management strategic juga penting sederhananya dalam hal ini kita belajar bahwa pengintegrasian kebijakan dan prosedur/penerapanya sangatlah penting (based on research) jangan sampai kebijakan kita berlawanan dengan apa yang kita lakuin ya... kan jadinya ga bijak :)  
Ingredients/Source:
·         Information Resources Management Association USA. (2012). Human Resource Management: Concepts, Methodologies, Tools and Applications. USA: Business Science Reference.
·         Sindonews. (2017). Koran SINDO NEWS Ubah Strategi Bisnis. Jakarta: Sindonews. Retrieved from https://nasional.sindonews.com/read/1218311/15/koran-sindo-ubah-strategi-bisnis-1499307710
·         Anggia, et.al. (2012). Thesis: Upaya Sosialisasi Perubahan Nama dan Logo Koran SINDO oleh PR dalam Mengelola Citra Perusahaan. Jakarta: Binus. Retrieved from http://eprints2.binus.ac.id/id/eprint/29041
0 notes
hudasyahdan · 8 years ago
Quote
*MENANTANG IDE KHILAFAH* Oleh: Prof. Fahmi Amhar Tulisan Prof. Moh Mahfud MD di harian Kompas edisi 26 Mei 2017 berjudul "Menolak Ide Khilafah" telah memulai sebuah diskursus tingkat elit intelektual di negeri ini. Kalau dulu diskursus ini ibaratnya hanya terjadi di antara para “prajurit” – bahkan “prajurit cyber”, maka kini para “senapati” sudah turun gelanggang. Saya memahami kalau Prof. Mahfud mendapatkan pernyataan yang dirasakan “tidak cukup bermutu” dari seorang aktivis ormas Islam yang “nobody”. Bayangkan, seorang guru besar, Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); dan Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode 2008-2013, ditanya dengan nada marah dan merendahkan dari seseorang yang mungkin bahkan tidak hafal pembukaan UUD 1945. Saya sendiri tidak merasa pantas untuk memberi komentar terhadap tulisan Prof. Mahfud tersebut. Namun sebagai anak bangsa, hak saya untuk berpendapat tentu saja dilindungi oleh konstitusi. Saya bukan alumnus kampus-kampus yang dinilai Ketua Umum PB NU Said Agil Siradj tempat persemaian radikalisme. Saya S1 sampai S3 di Vienna University of Technology, Austria, sebuah negara demokratis di Eropa. Saya sepuluh tahun di sana. Sepertinya Austria negara yang sudah adil dan makmur, meski tidak mengenal Pancasila. Saya tidak belajar hukum secara khusus, melainkan hanya beberapa mata kuliah. Namun di tahun 1987 saya sudah mengenal tentang Constitutional Court, sesuatu yang saat itu belum pernah saya dengar di Indonesia. Saya juga ikut menyaksikan ketika tahun 1989-1991 negara-negara Blok Timur berubah dari komunis ke kapitalis. Dan saya juga menyaksikan bagaimana Austria melakukan referendum untuk bergabung ke Uni Eropa atau tidak. Saya melihat, dalam sistem demokrasi, sistem di Austria berbeda dengan Jerman, Swiss atau Perancis, meski sama-sama Republik. Sistem demokrasi juga diterapkan di Inggris atau Belanda, meski mereka menganut monarki. Ini artinya, orang bisa sama-sama menerima demokrasi tanpa mempersoalkan “demokrasi yang seperti apa?”. Pertanyaannya, mengapa untuk demokrasi kita bisa seperti itu, tetapi untuk sistem pemerintahan Islam - Khilafah - kita tidak bisa? Kenapa kita menolak ide khilafah dengan argumentasi tidak ada bentuk yang baku, khususnya cara suksesi kepemimpinan? Sebenarnya kita bisa lebih arif, setidaknya menantang diskusi bahwa ide khilafah adalah sebuah alternatif dari suatu kemungkinan kebuntuan politik. Dalam sejarahnya, Republik Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 pernah berubah-ubah. Tak sampai tiga bulan setelahnya, yakni pada 14 November 1945, Presiden Soekarno sudah mengubah sistem presidensil menjadi parlementer. Pasca Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Indonesia berubah menjadi negara federal (RIS). Lalu tahun 1950 kembali ke NKRI dengan UUDS-1950 yang bunyi sila-sila dari Pancasila sangat berbeda. Pasca dekrit 5 Juli 1959 kembali ke UUD-1945 tetapi masih mengakui Partai Komunis Indonesia (PKI). Inti dari sejarah ini, saya bertanya-tanya: benarkah dulu para pendiri bangsa menganggap UUD1945 itu adalah final? Kalau final, kenapa disisakan sebuah pasal 37 yang memungkinkan UUD1945 diubah? Kalau benar wilayah NKRI itu final, mengapa tahun 1976 kita menerima Timor Timur berintegrasi, lalu tahun 1999 kita lepas lagi? Kalau konstitusi NKRI itu final, mengapa pasca reformasi kita amandemen berkali-kali? Oleh karena itu, kalau kita menuduh kelompok pro-khilafah itu radikal dan telah “terindoktrinasi” atau boleh juga “tercuci-otaknya”, tidakkah jangan-jangan kita juga tercuci otaknya dengan jargon “NKRI harga mati”? Karena tinggal di Eropa yang sangat demokratis (bahkan agak liberal), sejak akhir 1980-an, saya cukup bebas mengenal berbagai ideologi di dunia. Buku “Das Kapital” – Karl Marx misalnya, saya baca pertama kali di Austria, karena di Indonesia dilarang. Di Austria, buku-buku komunisme sama bebasnya dengan buku-buku anti komunis. Pada masyarakat mereka yang maju, komunisme tidak dianggap ancaman. Partai Komunis Austria ada, tetapi tak pernah meraih kursi dalam pemilu. Waktu itu, belum ada internet, namun bacaan-bacaan yang bebas itu bahkan mampu menembus tirai besi di negara-negara komunis, yang di sana cuma ada satu koran, satu radio, satu televisi dan satu partai, yang semuanya komunis. Dunia akhirnya menyaksikan keruntuhan adidaya komunies Uni Soviet tahun 1991. Karena itu, tak heran di Austria juga saya mengenal berbagai gerakan Islam, termasuk di antaranya yang memperjuangkan suatu negara Islam global, khilafah. Untuk orang-orang di negara adil makmur seperti Austria, dakwah memerlukan rasionalitas yang sangat kuat. Mereka tidak bisa menjual perlawanan kepada otoritas publik yang sudah melayani rakyat dengan baik. Mereka juga tak bisa menjual dogma pada masyarakat yang sudah berpikir sangat rasional. Bahkan soal iman pun tidak bisa mengandalkan warisan seperti ditulis oleh ananda kita Afi Nihaya. Faktanya, gender, suku, ras, kelas sosial bisa diwariskan, tetapi jutaan warga Eropa mencari dan menemukan sendiri agamanya dengan bekal akal sehat karunia Tuhan pada mereka. Oleh karena itu, ide khilafah perlu untuk ditantang dengan lebih arif secara akademis. Sama kalau dalam pelajaran sekolah kita memberi tahu anak-anak kita tentang sistem kerajaan vs sistem republik, demokrasi vs diktatur, kenapa kita keberatan, bahkan ketakutan untuk memperkenalkan sistem khilafah, yang diklaim bukan kerajaan, bukan republik, bukan demokrasi dan juga bukan diktatur? Lantas mahluk apakah ini? Sependek yang saya tahu, inti dari sistem khilafah itu bukan model suksesi seperti yang Prof. Mahfud katakan sebagai “tidak baku” dan “ijtihadiyah”. Adanya berbagai varian suksesi – yang semua tidak diingkari oleh para shahabat Nabi radhiyallah anhuma – justru menunjukkan keunikan sistem ini. Orang yang akan dibai’at sebagai khalifah boleh dipilih dengan permusyawaratan perwakilan (seperti kasus Abu Bakar), dinominasikan pejabat sebelumnya (seperti kasus Umar, yang kemudian disalahgunakan oleh berbagai dinasti kekhilafahan), dipilih langsung (seperti kasus Utsman), atau otomatis menjabat (seperti kasus Ali, karena dia saat itu seperti wakil khalifah). Semua ini bisa dilakukan, dan bisa mencegah terjadinya krisis konstitusi, yaitu suatu kebuntuan ketika presiden sebelumnya sudah habis masa jabatannya, dan presiden yang baru belum definitif. Itu baru sebuah contoh. Memang yang saya lihat selama ini ada jurang komunikasi antara pakar tata negara seperti Prof. Mahfud dengan gerakan pro khilafah seperti HTI. Bahkan terma “demokrasi” saja didefinisikan dan dimengerti secara berbeda Bagi HTI, sejauh yang saya tahu, demokrasi itu bukan sekedar prosedural seperti kebebasan bersuara, berserikat, adanya partai-partai politik, pemilu dan parlemen, tetapi demokrasi adalah ketika suara rakyat bisa di atas suara Tuhan, ketika hawa nafsu rakyat bisa mengalahkan dalil halal-haram kitab suci. Inilah demokrasi di Eropa yang bisa melegalkan nikah sesama jenis, atau melarang jilbab di ruang publik. Pancasila dalam redaksi saat ini, tidak menyebut demokrasi, tetapi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sila ini dimaknai berbeda pada era Orde Lama, Orde Baru atau Reformasi. Demikian juga ekonomi Pancasila, ada aneka tafsir yang bertolakbelakang antara ekonomi terpimpin ala Orde Lama, ekonomi kapitalis ala Orde Baru, dan ekonomi neoliberal ala Reformasi. Bukankah di sini sama tidak jelasnya dengan ide khilafah menurut Prof. Mahfud ? Oleh karena itu, menurut saya, khilafah sebagai ide sah-sah saja ditantang dalam meja diskusi dengan pikiran dingin dalam rangka mendapatkan solusi kehidupan berbangsa. Prof. Dr. Fahmi Amhar, Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE). Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan bukan pendapat IABIE.
Sebuah wacana menarik, entah betul beliau atau bukan penulisnya yang jelas isinya bermanfaat. Dan saya sebagai orang yang sebenarnya bukan 'simpatisan atau orang dalam' golongan x itu juga tertarik. Tabarakarrahman
4 notes · View notes
mzulfikarakbar · 4 years ago
Text
Saya Pamit
Tumblr media
SATU tahun delapan bulan di bontangpost.id. Atau persis empat tahun sudah sejak pertama kali menginjak Gedung Biru Bontang Post sebagai wartawan. Waktu yang tak singkat, namun terasa sebentar. Banyak memori yang terlukis, pun pengalaman yang membekas. Izinkan saya mengurainya, agar memori tersebut tetap hidup dalam sanubari.
Senin, 1 Agustus 2016 adalah hari pertama saya bekerja sebagai wartawan surat kabar harian (SKH) Bontang Post. Saat itu masih dipimpin oleh Agus Susanto, yang kini menjabat Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bontang. Meski tidak memiliki desk khusus, namun pendidikan jadi salah satu favorit saya. Meliput sekolah semasa SMA saya jadi berita pertama yang terbit di koran ini.
Hari-hari berikutnya pun bergulir. Pun tema-tema liputan yang diambil. Mulai kesehatan, olahraga, hukum, dan politik. Menulis berita memang sudah jadi “kebiasaan”. Sebab, semasa kuliah pun, saya turut aktif mendirikan pers mahasiswa di kampus. Untuk menantang diri, saya menawarkan membuat video company profile Bontang Post. Sembari mencari berita, sembari membuat video. Kerja saya kini nyaris 24 jam. Pulang kantor pun bisa jam 4 subuh.
Namun itu semua terbayar, saat video tersebut rampung, dan diputar kala HUT ke-6 Bontang Post, 14 November 2016 (Video dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=x0ayCx4cWWo). Setelah itu, kantor mempercayakan saya menjadi asisten redaktur. Tugas saya selain mencari berita, kini bertambah dengan menyunting dan merencanakan tata letak halaman koran.
Desember 2016, saya diminta membangun portal berita online dengan domain bontangpost.id. Portal ini saat pertama dibangun, sebagai tempat menaruh berita-berita dari koran Bontang Post untuk di-online-kan. Tentu saja, juga untuk mematahkan dominasi media-media online lain di Bontang yang mulai eksis. Beberapa bulan berikutnya, saya diangkat menjadi redaktur dengan tugas penuh menyunting dan merencanakan tata letak halaman, serta mengelola portal bontangpost.id tersebut.
Waktu memang terasa singkat, apalagi ketika sudah “tercebur” dalam rutinitas pekerjaan. Januari 2018, saya dipercaya menjadi Redaktur Pelaksana Bontang Post. Tugas saya kini tak hanya di satu halaman saja, tak hanya di satu wartawan pula. Kini seluruh wartawan saya bisa mengkoordinasi, termasuk dengan redaktur. Tak hanya membantu tugas pemimpin redaksi, namun turut menjaga kualitas koran.
Tak sampai setahun, kabar tak sedap tiba. Bontang Post dinyatakan ditutup, per 31 Desember 2018. Sedih, iya. Tak hanya harus berpisah dengan tim yang hebat, namun dengan media yang turut mempengaruhi jalan hidup saya. Apalagi, saya punya satu anak yang baru saja menghiasi kehidupan rumah tangga. Tak boleh larut dalam kesedihan.
Beberapa hari berikutnya, Kepala Biro Kaltim Post Bontang, Edwin Agustyan yang saat itu menjadi General Manager Bontang Post sebelum ditutup, menawarkan untuk bersama-sama mengelola bontangpost.id. Tak disangka, manajemen Kaltim Post Group sebagai induk Bontang Post mengizinkan meneruskan dikelolanya Bontang Post. Tentunya sebagai wujud transformasi dari cetak ke online.
5 Januari 2019, bersamaan dengan HUT Kaltim Post, bontangpost.id dinyatakan lahir. Tim kami pun tak banyak, hanya empat orang. Dengan masing-masing satu pemimpin redaksi, redaktur, wartawan, serta keuangan dan iklan. Saya, kembali dipercaya menjadi redaktur. Tak hanya mengurus soal keredaksian semata, hal teknis website pun saya kelola. Mulai peremajaan tampilan, hingga teknis seputar hosting.
Setahun di bontangpost.id pun berlalu. Bahkan kini sudah 1,5 tahun usianya. Sampai saya mendapat tawaran di suatu tempat. Tawaran yang mudah-mudahan akan meningkatkan karir, serta kesejahteraan keluarga. Tawaran yang sudah datang silih berganti, namun akhirnya pilihan ini yang diambil.
Sedih memang, ketika meninggalkan media yang diperjuangkan sedari nol. Sejak bontangpost.id masih belum dilirik relasi, hingga kini jadi media online nomor satu di Bontang. Namun saya pun bangga, karena meninggalkan media yang saya yakin akan terus tumbuh. Rasa-rasanya, sudah seluruh ilmu yang saya dapat di tempat ini, pun sudah seluruhnya saya berikan kembali.
Kini sudah waktunya saya belajar lagi, di tempat baru. Pun juga memberikan hal yang sama. Selamat tinggal bontangpost.id. Terima kasih, saya pamit. (*)
0 notes
adiwisaksonoadi · 5 years ago
Text
Ulang Tahun
Sabtu 04 July 2020
Oleh : Dahlan Iskan
”I do, I do”.
Yang mengatakan itu Presiden Donald Trump. Yakni setelah tiga hari terakhir ini lonjakan penderita Covid-19 luar biasa di Amerika. Sehari saja bisa 50.000 penderita baru. Lebih besar dari angka di Indonesia selama tiga bulan.
Tapi sikap sang presiden tidak berubah. Termasuk masih yakin bahwa Covid-19 ini tidak berbahaya. Ia juga tetap menolak untuk memakai masker.
Bahkan Trump menjadikan masker untuk mengejek capres lawannya: Joe Biden --yang selalu tampil mengenakan masker.
Lihat wajah Biden, kata Trump, seperti pepes.
Maka wartawan di Amerika pun ingin tahu: apakah Trump tetap percaya bahwa Covid-19 akan hilang sendiri dari muka bumi.
”I do, I do,” katanya.
Kebohongan memang hanya bisa ditutupi dengan kebohongan yang lebih besar. Atau dengan meminta maaf.
Tapi, rupanya, tidak ada kata ”maaf” dalam kamus Trump.
Karena itu ia konsisten --bohongnya.
Dulu Trump berpendapat Covid-19 --ia sebut sebagai kungflu-- lebih remeh dari flu biasa. Ketika ternyata lebih serius ia bilang obatnya sudah ditemukan.
Ketika diketahui itu hanya obat malaria, ia mengatakan sebentar lagi Covid-19 akan hilang --seiring dengan datangnya musim panas.
Bulan Juli ini adalah puncak musim panas di Amerika. Justru di awal Juli ini terjadi lonjakan yang belum pernah terjadi di musim dingin sekali pun.
Trump bergeming.
”Sebentar lagi juga akan hilang sendiri. Dan lagi vaksin anti Covid-19 segera datang,” begitu kurang lebih pendapatnya.
Maka inilah 4 Juli (Sabtu besok) yang sangat berbeda di Amerika. Saya jadi ingin tahu bagaimana Trump merayakan ulang tahun kemerdekaan Amerika kali ini.
Saya sudah ikut merayakannya Jumat pagi kemarin. Dengan cara memenuhi permintaan Konsulat Amerika di Surabaya: menjadi pembicara tunggal di forum Instagram (IG) live. Yang dihadiri oleh mereka yang pernah diundang ke Amerika oleh pemerintah Amerika.
Saya diminta menceritakan pengalaman itu. Juga menjawab pertanyaan para pemirsa IG live. ”Siapa tahu masih ingat,” ujar Esti, staf di Konsulat Amerika yang menjadi moderator di forum itu.
Tentu, saya masih ingat. Meski peristiwa itu sudah 35 tahun lalu.
Itulah untuk kali pertama saya ke Amerika. Bukan main senangnya. Apalagi saya boleh ke mana pun. Saya diminta mengajukan daftar keinginan. Akan dipenuhi semua.
Tentu saya tahu diri: lebih banyak minta ke kantor-kantor surat kabar. Termasuk ke surat kabar kecil di kota kecil di pedalaman tengah Amerika.
Tapi saya juga mengajukan permintaan ke tempat rekreasi: Disney World dan Universal Studio. Dikabulkan juga. Saya pun dibawa ke Walt Disney World Resort di Orlando, Florida. Juga ke Universal Studio di California.
Saya juga mengaku --di forum IG live itu-- baru saat ke sana itulah saya tahu Amerika itu negara sangat besar --segala-galanya.
Saya tahu Amerika itu hebat, tapi nilai hebat itu baru terasa ketika di sana.
Harus saya akui --dan sudah sering saya akui-- Amerika, lewat undangannya untuk saya itu, telah mengubah peta persuratkabaran di Indonesia.
Sepulang dari Amerika saya rombak habis Jawa Pos. Termasuk ruang redaksinya. Juga komputerisasinya --pun sebelum koran terbesar di Jakarta melakukannya.
Bentuk ruang redaksi Jawa Pos --yang kemudian terpilih sebagai terbaik di dunia itu-- idenya dari kunjungan itu.
Yang pertama pula menjadi koran berwarna. Cetak jarak jauh. Punya anak-anak surat kabar di semua kota. Dan banyak lagi.
Sejak itu pula saya meneguhkan niat: tiap enam bulan harus ke Amerika. Untuk belanja ide. Amerika lah negara impian yang sesungguhnya.
”Terima kasih saya ke Amerika itu, harusnya saya tunjukkan sampai bersujud dan menangis di lantai,” kata saya di forum itu.
Selamat ulang tahun Amerika! Saya merayakannya dengan sangat khusus: menerbitkan Harian DI’s Way. Yang bukan koran. Agar lebih bermakna --kalau jadi. (Dahlan Iskan)
https://www.disway.id/r/991/ulang-tahun
0 notes
tobasatu · 5 years ago
Link
tobasatu.com, Medan | Pandemi Corona yang terus merebak di seluruh dunia bukan hanya mempengaruhi perekonomian global, namun makin menimbulkan dampak buruk bagi kelangsungan media cetak di Indonesia. Situasi ini makin diperparah dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga mendekati Rp 17.000 yang secara otomatis menaikan harga kertas koran.
“Situasi ini juga melemahkan daya beli  masyarakat sehingga memperparah situasi persuratkabaran saat ini. Dikuatirkan apa yg sedang terjadi saat ini dengan merebaknya wabah virus corona bukan tidak mungkin bisa membuat banyak media cetak gulung tikar,” ujar Ketua Serikat Perusahaan Pers (SPS) Sumut H. Farianda Putra Sinik, SE.
Terkait hal itu, SPS – PWI bersama pimpinan media di Sumatera Utara mengharapkan pemerintah pusat menaruh perhatian terhadap keberlangsungan media cetak, terutama di Sumatera Utara yang sangat memprihatinkan sehubungan situasi terakhir akibat merebaknya Pandemi Virus Corona Copid-19 itu.
“Dalam  kondisi sekarang, dengan semakin berkurangnya pendapatan iklan dan tergerusnya oplah yang dialami semua perusahaan media cetak di Sumatera Utara tentu sangat memberatkan, karenanya kami sangat mengharapkan pemerintah pusat membuat kebijakan khusus dengan memberikan semacam insentif, antara lain dalam hal penghapusan pajak (P.Ph) kertas koran serta berbagai kemudahan lainnya agar media cetak tetap eksis menjalankan fungsi profesional persnya,” ujar Ketua Serikat Perusahaan Pers (SPS) Sumut H. Farianda Putra Sinik, SE dan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumatera Utara  H. Hermansjah, SE di Medan, Rabu (1/4-2020).
Pernyataan  serupa juga disampaikan oleh sejumlah pimpinan media di antaranya Pemimpim Umum Harian Analisa Supandi Kusuma, Pemimpin Redaksi Harian Waspada H. Prabudi Said, Pemimpin Redaksi Harian SIB GM. Immanuel Panggabean, BBA, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Medan Pos H. Farianda Putra Sinik, SE, Pemimpin Umum Harian Berita Sore H Teruna Jasa Said, Pemimpin Redaksi Tribun Dayan Syarief, Pimpinan Umum Sumut Pos Pandapotan MT. Siallagan, Penanggungjawab Harian  Mimbar Umum Jalaluddin, Pemred Harian Realitas Zultaufik, PU/Pemred Sumut-24 Ryanto Agly, SH, Pemimpin Umum Harian Orbit H. Mahsin Ahmad, SH dan Pemimpin Umum Harian Metro 24 T.Hasyimi, Pemimpin Redaksi Harian Andalas Agus Salim Ujung.
Perhatian Presiden RI
Dalam pernyataan bersama SPS dan PWI beserta para Pemimpin media di Sumatera Utara itu disebutkan,  Pandemi Corona yang terus merebak di seluruh dunia tersebut pemerintah, dalam hal ini Presiden RI Joko Widodo juga harus memberi solusi. Apalagi media cetak (surat kabar) sebagai perusahaan pers yang tetap konsisten membayar pajak.
Karenanya agar perusahaan penerbitan media cetak dapat bertahan dalam situasi yang sulit seperti sekarang ini, sebab selain harus bersaing dengan media digital  dalam berbagai bentuk penyajian yang cepat dan murah dalam merebut pasar pembaca, media cetak harus berhadapan dengan perdagangan gobal dalam pembelian bahan baku cetak berupa kertas, tinta dan lainnya.
“Kami sedang menghadapi situasi sulit dan hal ini makin diperparah dengan wabah Covid 19 yang mengakibatkan pasar pembaca cetak makin berkurang,” tambah Ketua Serikat Perusahaan Pers (SPS) Sumut, Farianda Putra Sinik,SE.
Pemerintah harus segera mengambil langkah strategis dalam menyelamatkan bisnis media cetak, apalagi sejarah bangsa ini tidak bisa lepas dari peran media cetak yang ikut andil dalam merebut dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Media cetak sebagai bagian dari pers perjuangan adalah bagian dari sejarah bangsa. “Kita tidak bisa memungkirinya dan jangan sampai media cetak  hanya akan menjadi catatan sejarah saja. Pemerintah harus segera memberi solusi agar keberlangsungan media cetak bisa bertahan dalam menghadapi perkembangan teknologi yang semakin canggih ini,” ujar Farianda.
Salah satu solusi yang bisa dilakukan pemerintah tambahnya, adalah dengan memberi penghapusan pajak kertas, atau setidaknya memberi keringanan dalam bentuk dispensasi pajak. Bentuk lain lagi juga bisa diberikan stimulus agar usaha penerbitan media cetak bisa bertahan.
“Sebagai Ketua SPS Sumut saya sudah menyampaikan langsung kepada Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, namun belum ada respon yang positif sampai saat ini, karena harga kertas terus melambung seiring melemahnya rupiah,” katanya.
Bisnis Informasi
Dalam pernyataan bersama itu, SPS – PWI Sumatera Utara memahami betul situasi  pemerintah sedang consen mengantisipasi pandemi Corona yang melanda negeri ini dalam sebulan terakhir, namun dari sisi bisnis informasi seharusnya juga harus menjadi perhatian serupa.
“Corona bukan hanya membinasakan manusia, bisnis media cetak juga bisa binasa jika pemerintah tidak peduli terhadap kelangsungannya. Kami berharap pemerintah pusat dan daerah juga memikirkan kesinambungan kami, karena di media cetak ini banyak wartawan yang menggantungkan harapan hidupnya. Jika media cetak tutup berapa banyak wartawan yang menderita, termasuk keluarganya,” katanya.
Perhatian Pemprovsu
Selain pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi (daerah), dalam hal ini Pemprov Sumatera Utara melalui Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi juga harus memperhatikan kehidupan media cetak di daerah ini yang sudah diambang kebangkrutan, terutama bila tidak segera mendapat bantuan.
“Tidak saja melalui bantuan peningkatan profesionalitas kewartawaan sebagaimana dilakukan selama ini dalam program Uji Kompetensi Wartawan (UKW), tapi juga menaruh perhatian dalam hal berbagai kemudahan dan insentif di antaranya seperti menggalakkan kembali di lingkungan kerja Pemprovsu, jajaran Pemerintah kota dan kabupaten untuk tetap berlangganan surat kabar dan kerjamasama lainnya yang saling menguntungkan kedua belah pihak, sehingga hubungan emosional antara jajaran pemerintahan dan redaksi di masing masing media cetak di daerah ini tetap terus terjaga serta terjalin baik sebagaimana selama ini.
“Kalau bisa jumlah langganan surat kabar bisa ditingkatkan lagi, tidak saja di Medan tapi juga di daerah daerah dengan adanya kebijakan itu diharapkan animo masyarakat untuk membaca koran tidak pupus akibat perkembangan media sosial dan perkembangan media cyber di era Revolusi Industri 4.0 yang terjadi sekarang ini, “ ujar Hermansjah. (ts-02/rel)
The post Imbas Pandemi Corona Media Cetak Terancam ‘Gulung Tikar’, Butuh Perhatian Presiden appeared first on tobasatu.com.
0 notes
rmolid · 4 years ago
Text
0 notes
bogorexpose · 28 days ago
Text
Kantor Redaksi Harian PAKAR Dilempari Bensin dan Dibakar, Dua Pelaku Kini Dalam Pengejaran Polisi
BOGOR – Kantor Redaksi Koran Harian Pakuan Raya (PAKAR) dibakar dua orang tak dikenal (OTK), pada Sabtu 28 Desember 2024, sekitar pukul 00:30 WIB dini hari. Beruntung, api yang nyaris melalap seluruh bagian depan gedung para jurnalis itu, berhasil dipadamkan sejumlah warga yang melihat kejadian tersebut. Driver ojeg online, berinisial AAL mengaku melihat langsung ada dua orang pria tidak dikenal,…
0 notes