#Psikoanalisis
Explore tagged Tumblr posts
nulisbiargakpapa · 1 month ago
Text
Catatandiri: Belajar Bersabar dengan Kesepian
Sebagai seseorang yang dulunya hampir tak pernah bersabar dengan kesepiannya, menerima dan merasakannya bisa terasa sangat sulit ternyata. Aku terbiasa mencari pelarian lewat hiburan, interaksi sosial, atau teknologi untuk menghindari rasa tidak nyaman.
Dalam konteks psikologi, hal ini sering dikaitkan dengan mekanisme coping maladaptif, seperti avoidance coping, dimana individu cenderung menghindari masalah alih-alih menghadapinya. Pada awalnya, pelarian ini mungkin terasa melegakan, tetapi ketika distraksi-distraksi itu berakhir, rasa kosong dan cemas sering kali kembali dengan intensitas yang lebih besar. Ternyata, in this case, menggunakan coping ini tidak efektif dan dapat menimbulkan masalah lebih lanjut karena mengandalkan cara-cara yang bersifat sementara untuk mengatasi stres atau emosi negatif. Bukan mengenali akar masalah yang mendasarinya.
"Menghadapi" dalam konteks psikologi tidak selalu berarti melawan atau berkonfrontasi dengan masalah secara langsung. Sebaliknya, "menghadapi" lebih berkaitan dengan menerima, memahami, dan merespons perasaan dan pengalaman tersebut dengan cara yang berkontribusi pada perbaikan.
Ketika kita menggunakan avoidance coping untuk menghadapi kesepian misalnya. Kita bekerja lembur setiap hari agar tidak punya waktu untuk memikirkan perasaan, scroll media sosial tanpa henti, menonton TV, film, atau bermain video game secara berlebihan sebagai cara untuk menghindari kesadaran bahwa kita sebenarnya kesepian. Kita terus mengatakan pada diri sendiri bahwa kita sibuk, tidak membutuhkan orang lain, atau merasa puas dengan kesendirian kita, meskipun dalam hati kita merasa sepi. Ini bisa berarti kita tidak memberi ruang bagi diri untuk memproses atau merasakan kesepian itu secara penuh. Kita terus menghindari sumber emosi itu, sampai tanpa kita sadari, kita justru menekan emosi yang muncul.
Bicara tentang menekan emosi, Freud yang dikenal sebagai Bapak Psikoanalisis mengatakan bahwa konflik emosional yang ditekan (repressed emotions) akan muncul kembali dalam bentuk yang lebih intens atau merusak jika tidak dihadapi. Emosi yang ditekan itu tidak benar-benar hilang, melainkan terakumulasi dan dapat muncul dalam bentuk stres, kecemasan, atau bahkan gejala fisik. Dampaknya bisa sangat luas dan kompleks. Selain beberapa bentuk di atas, penekanan emosi yang terus-menerus juga bisa mempengaruhi hubungan seseorang dengan dirinya sendiri, membuat mereka merasa terlepas dari diri emosional mereka, yang pada akhirnya mengganggu perkembangan kesadaran diri yang sehat. Sehingga sangat mungkin kita merasa asing dan tidak terhubung dengan diri sendiri.
Memangnya penting terhubung dengan diri sendiri?
Aku pernah mendengar nasihat yang sangat menarik: "Bersandar pada dirimu sendiri adalah cara terbaik untuk membangun ketahanan di tengah badai kehidupan. Ketika semua orang pergi, yang tersisa adalah dirimu. Belajarlah untuk mencintai kehadiranmu." Jadi menurutku, terhubung dengan diri sendiri sangat penting untuk menjaga pola pikir yang realistis saat harus berjalan di masa sulit, sendirian.
Adakah solusi praktis untuk menerima emosi dan terhubung dengan diri?
Ada banyak solusi praktis yang bisa diupayakan untuk menerima emosi dan tetap terhubung dengan diri sendiri, dan setiap solusi menawarkan pendekatan berbeda yang dapat disesuaikan dengan preferensi serta kebutuhan masing-masing. Salah satu solusi yang cukup efektif adalah mindfulness. Mindfulness mengajarkan kita untuk menghadapi dan menerima emosi yang sulit tanpa menghakiminya, menciptakan ruang untuk mengamati pikiran dan perasaan dengan kesadaran penuh. Dengan berlatih mindfulness, kita belajar mengamati emosi dengan lebih jernih dan meningkatkan ketepatan dalam mengidentifikasi perasaan kita. Ini juga membantu mengurangi reaksi impulsif yang sering terjadi saat menggunakan coping maladaptif. Praktik ini secara bertahap meningkatkan kesadaran diri kita. Dengan begitu, kita tidak hanya memutus siklus negatif dari coping maladaptif, tetapi juga membangun ketahanan mental yang diperlukan untuk menangani stres dengan lebih efektif. Mindfulness memungkinkan kita untuk menerima dan menjadikan kesepian sebagai kesempatan untuk pertumbuhan pribadi dan memperdalam hubungan kita dengan diri sendiri.
Satu tahun hingga detik ini, untuk menerima dan merasakan kesepianku, aku memilih dan masih berlatih mindfulness. Beberapa solusi praktis mindfulness yang kulakukan selain mengamati serta menulis aktivitas makhluk dan alam atau interaksi insan, adalah meditasi yang sejauh ini masih sebatas ibadah wajibku sebagai umat beragama, sekadar menyadari napas, dan menulis jurnal emosi.
Sebagai simpulan dari apa yang sedang kucoba uraikan, kesepian bukanlah sesuatu yang harus selalu dihindari; ia bukan musuh yang harus kita lawan dengan segala cara. Justru melalui kesepian dan rasa tidak nyaman, ada peluang besar bagi kita untuk memahami diri sendiri lebih dalam. Alih-alih terus melarikan diri, mari kita coba hadapi, resapi, dan pahami setiap emosi yang muncul. Beri waktu bagi diri sendiri untuk belajar dari kesepian.
Ingat. "Menghadapi" dalam konteks psikologi tidak selalu berarti melawan atau berkonfrontasi dengan masalah secara langsung. Sebaliknya, "menghadapi" lebih berkaitan dengan menerima, memahami, dan merespons perasaan dan pengalaman tersebut dengan cara yang berkontribusi pada perbaikan.
0 notes
anggakade · 5 months ago
Text
Rasa Ingin Tahu
Mereka yang sok tau, merupakan hal biasa yang dirasakan oleh orang-orang yang terus mempertanyakan kehidupan yang ada disekitarnya. Apakah memang ini menjadi penting untuk diselesaikan? Tentu, rasa ingin tahu akan selalu muncul kepada mereka yang tidak pernah puas dengan apa yang didapatkan. Layaknya ID pada psikoanalisis Freud. Bahwa sebenarnya bentuk dasar dari sifat manusia adalah mentrabas…
0 notes
arhtant · 1 year ago
Text
Video dari ted
Text di bawah dari Bing GPT tentang mimpi dan represi
Mimpi adalah salah satu topik yang menarik untuk dibahas. Ada berbagai teori dan pendapat tentang mimpi, termasuk dari sudut pandang psikoanalisis. Salah satu tokoh psikoanalisis yang terkenal adalah Sigmund Freud, yang menganggap mimpi sebagai proses represi¹.
Represi adalah mekanisme pertahanan diri yang digunakan oleh individu untuk memblokir pikiran, perasaan, atau ingatan yang tidak menyenangkan atau tidak dapat diterima dari kesadaran sadar². Represi terjadi secara tidak sadar, artinya individu tidak menyadari bahwa ia sedang merepresi sesuatu².
Freud berpendapat bahwa represi adalah cara untuk mengatasi konflik antara id, ego, dan superego¹. Id adalah bagian dari kepribadian yang mewakili dorongan instingtual, terutama yang bersifat seksual, yang tunduk pada prinsip kesenangan¹. Ego adalah bagian dari kepribadian yang berfungsi sebagai mediator antara id dan realitas, yang tunduk pada prinsip kenyataan¹. Superego adalah bagian dari kepribadian yang mewakili norma-norma moral dan sosial yang ditanamkan oleh orang tua dan masyarakat, yang tunduk pada prinsip moralitas¹.
Konflik antara id, ego, dan superego dapat menimbulkan kecemasan, rasa bersalah, atau ketegangan pada individu¹. Untuk mengurangi hal-hal tersebut, individu menggunakan mekanisme pertahanan diri, salah satunya adalah represi¹. Dengan merepresi dorongan atau keinginan yang tidak sesuai dengan realitas atau moralitas, individu dapat menjaga keseimbangan psikologisnya¹.
Namun, represi tidak berarti menghilangkan dorongan atau keinginan yang direpresi. Dorongan atau keinginan tersebut tetap ada di dalam alam bawah sadar, yang merupakan bagian dari pikiran yang tidak dapat diakses oleh kesadaran sadar¹. Freud mengibaratkan alam bawah sadar seperti gunung es, yang sebagian besar tersembunyi di bawah permukaan air¹.
Dorongan atau keinginan yang direpresi dapat mencari jalan keluar melalui mimpi, yang merupakan salah satu bentuk aktivitas alam bawah sadar¹. Freud menyebut mimpi sebagai "jendela ke alam bawah sadar"¹. Menurut Freud, mimpi adalah pemenuhan tersembunyi dari keinginan yang tertindas atau direpresi¹. Mimpi dapat mengungkapkan hal-hal yang tidak dapat diungkapkan oleh individu secara sadar¹.
Namun, mimpi tidak menampilkan dorongan atau keinginan yang direpresi secara langsung. Mimpi menggunakan simbol-simbol, metafora, atau bahasa yang tidak literal untuk menyamarkan makna sebenarnya dari mimpi¹. Freud menyebut ini sebagai "isi manifes" dari mimpi, yang merupakan apa yang kita lihat atau ingat dari mimpi kita¹. Di balik isi manifes, ada "isi laten" dari mimpi, yang merupakan makna tersembunyi atau pesan bawah sadar dari mimpi¹.
Untuk menafsirkan mimpi, Freud menggunakan metode yang disebut "analisis mimpi", yang melibatkan teknik seperti asosiasi bebas, interpretasi simbol, dan analisis konteks¹. Dengan menggunakan metode ini, Freud berusaha mengungkap isi laten dari mimpi dan memahami dorongan atau keinginan yang direpresi oleh individu¹.
Jadi, menurut Freud, mimpi adalah proses represi yang merupakan cara untuk mengatasi konflik psikologis yang dialami oleh individu. Mimpi juga merupakan cara untuk mengekspresikan dorongan atau keinginan yang tidak dapat diterima oleh kesadaran sadar, tetapi dengan cara yang samar dan simbolis. Mimpi dapat memberikan wawasan tentang alam bawah sadar dan kepribadian individu, jika dapat ditafsirkan dengan benar.
Semoga penjelasan saya dapat membantu Anda memahami lebih lanjut tentang mimpi dan represi. Jika Anda tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang topik ini, Anda dapat mengunjungi beberapa sumber yang saya gunakan untuk menjawab pertanyaan Anda, seperti [artikel ini](^1^), [artikel ini](^2^), atau [artikel ini](^3^). Terima kasih telah menggunakan Bing. 😊
Source: Conversation with Bing, 11/30/2023
(1) Libido, Represi dan Mimpi dalam Psikoanalisis Sigmund Freud. https://jurnalpost.com/libido-represi-dan-mimpi-dalam-psikoanalisis-sigmund-freud/59587/.
(2) Represi Sebagai Mekanisme Pertahanan Diri - Materi Konseling. https://www.materikonseling.com/2021/09/represi-sebagai-mekanisme-pertahanan.html.
(3) Libido, Represi dan Mimpi dalam Psikoanalisis Sigmund Freud. https://jurnalpost.com/libido-represi-dan-mimpi-dalam-psikoanalisis-sigmund-freud/59587/.
(4) Represi Sebagai Mekanisme Pertahanan Diri - Materi Konseling. https://www.materikonseling.com/2021/09/represi-sebagai-mekanisme-pertahanan.html.
(5) Mengenal Salah Satu Mekanisme Pertahanan Diri Manusia: Represi. https://www.kaskus.co.id/thread/63e9bdde83674b6cf57747fe/mengenal-salah-satu-mekanisme-pertahanan-diri-manusia-represi.
(6) Mengenal Apa Itu Mimpi dan Proses Terjadinya - SehatQ. https://www.sehatq.com/artikel/memahami-apa-itu-mimpi-dan-waktu-terjadinya.
0 notes
idpurwanto · 1 year ago
Text
Perasaan Ditolak, dan Agape
Quote ikonik dari film Eternal Sunshine (salah satu film favorit saya) yang berbunyi, “Blessed are the forgetful, for they get the better even of their blunders.” Quote ini diambil dari perkataan Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf asal Jerman yang terkenal dengan pandangannya yang sinis dalam kehidupan, terutama tentang cinta.
Jika kamu mengatakan fase tragis dalam mencintai adalah “Falling in love with people we can’t have”, maka Nietzsche sedang menertawakanmu di alamnya. Si filsuf yang penuh sinisme ini mungkin tidak percaya akan cinta sejati, selama hidupnya saja ia tidak pernah merasakan manisnya pernikahan. Pernah, sih, ia merasakan cinta ketika Nietzsche bertemu dengan seorang wanita bernama Lou Andreas-Salomé. Salomé merupakan novelis sekaligus ahli psikoanalisis yang menjadi primadona di antara para pemikir dan akademisi pada saat itu. Hingga suatu ketika Nietzsche menyatakan rasa cintanya pada Salomé, namun perasaannya tak disambut baik oleh Salome. Salome tidak memiliki perasaan spesial ke Nietzsche. Penolakan terakhir Salome pada Nietzsche bahkan lebih tragis, Salome mau menerima lamaran Nietzsche namun dengan syarat Nietzsche mengizinkan dirinya untuk menikah dengan Paul Ree, sahabat Nietzsche. Tentu si filsuf pencuriga yang pernah berucap "The demand to be loved is the greatest of all arrogant presumptions,” ini kecewa pada Salome, tetapi berusaha untuk tetap tidak menjadi egois sesuai dengan ucapannya.
Kekecewaannya ia luapkan dalam karya-karya bukunya. Ia memaki-maki Tuhan, menuliskan rasa ketidakadilan, kesepian, kepedihan, dan kegetiran. Sampai akhirnya Nietzsche meninggal dalam perasaan kesepian.  
Cinta kadang memang sepelik itu. Jika cintanya tak terbalas, perasaan seakan menemui jalan buntu. Namun tidak bagi filsuf Yunani Kuno yang bernama Plato. Menurut Plato, cinta sejati seharusnya memang tidak perlu diungkapkan, cinta sejati itu tak terbahasakan, mungkin bahasa mudahnya adalah mencintai dalam diam, itulah cinta sejati. Baginya, kalau perasaan cinta itu sudah diungkapkan maka itu sudah tidak murni lagi. Andai Plato hidup di jaman sekarang dan muncul di thread akun menfess Twitter, lalu berani beropini seperti itu, sudah pasti ia diserang oleh kelompok pendukung confess yang progresif.  
Tidak perlu memperdebatkan opini jelek Plato tadi, toh Plato semasa hidupnya hingga akhir hayatnya ia belum pernah menikah. Namun, jika opini Plato dilanjut lebih dalam lagi, ada benarnya juga. Cinta itu soal perspektif bagaimana orang memandang, baginya konsep cinta itu ada dua, yaitu: eros dan agape. 
Menurut Plato, eros adalah bentuk cinta yang bersifat fisikal. Eros cenderung mengacu pada cinta fisik, seksual, dan status merasa memiliki yang tinggi. Dengan didorong rasa emosional itu, eros dapat dianggap sebagai bentuk cinta yang individualistik dan egois karena fokusnya pada kepuasan pribadi dan pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Cinta jenisi ini biasanya sangat mengharapkan timbal balik. Jika kasusnya adalah cinta ditolak, maka seseorang yang di fase eros ini akan menghilang dari kehidupan orang yang menolak cintanya. Sebab cinta jenis ini mengacu pada fisik, seksual, dan rasa memiliki yang tinggi, maka dapat dikatakan orang seperti ini hanya memuaskan nafsu sesaat daripada mencintai secara utuh.
Sementara itu, Agape adalah bentuk cinta yang paling tinggi dan lebih suci menurut Plato, karena bentuk cinta ini mempromosikan kebahagiaan dan keadilan bagi semua orang (tidak, Plato bukan sosialis). Agape adalah bentuk cinta yang tak terbatas, paling murni, dan tanpa syarat. Dalam fase ini, ia tidak peduli dengan kualitas atau kekurangan yang ada di dalam pribadi orang lain (cakep-jelek, baik-buruk, kaya-miskin, pengertian-atau tidak, dll). Berbeda dengan eros yang cenderung berharap timbal balik dari yang dicintainya, agape tidak pernah mengharapkan timbal balik, tidak pernah merasakan kekecewaan pada orang yang dicintainya. Ia benar-benar bentuk cinta yang otentik dan tulus. Ia mampu keluar dari ego pribadinya, sebab yang terpenting baginya adalah kebahagiaan untuk orang tersayang. 
Orang yang berada di fase agape tidak akan marah, dendam, apalagi memaksa apabila cintanya ditolak. Jangankan cintanya ditolak, individu yang memiliki cinta agape lebih memandang cinta itu tak perlu diungkapkan; tak terbahasakan; mencintai dalam diam, persis seperti arti cinta sejati yang dimaksud oleh Plato. Sebab mengungkapkan cinta itu artinya ia sudah memberi beban kepada orang lain untuk membalas perasaannya.
Kalau ingin mengetahui bagaimana rasanya mencintai dalam fase agape, dengarkanlah lagu berjudul “Bukan Cinta Manusia Biasa” milik Dewa 19. Cobalah, setelah ini dengarkan liriknya dengan khidmat dan renungkan apakah kamu mencintai dengan jenis cinta yang tulus dan tak bersyarat seperti agape atau hanya sebatas cinta fisik dan seksual seperti eros. Bila tak suka lagu lokal, saya sudah menyiapkan lagu versi barat yang merepresentasikan cinta tak terbalas; hanya bertepuk sebelah tangan. Judul lagunya “Love Stinks” dari The J. Geils Band.  Pada kutipan liriknya: 
"You love her, But she loves him, And he loves somebody else.."
Sebentar … kok rasanya lagu ini lebih mewakili perasaan si filsuf pencuriga, Nietzsche, karena liriknya yang menggambarkan seseorang yang mencintai dengan wanita yang disukainya, tapi wanita itu memilih orang lain (Paul Ree), dan berakhir kecewa, seperti lanjutan keseluruhan liriknya. Yes, persis yang dialami Nietzsche: cinta tak terbalas; kesepian; mengharapkan timbal balik. Timbang agape, lagu ini malah contoh dari cinta sebatas eros.
Merasakan cinta memanglah menyenangkan, menantang, kadang-kadang berbahaya, dan memacu adrenalin. Meskipun demikian, orang akan tetap menikmati jatuh cinta, sebagaiamana liminal time. Liminal time adalah periode transisi ketika kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya setelah menyatakan perasaan cinta. Kita harus siap menerima apapun keputusan yang diambil oleh orang yang kita cintai. Namun, yang terpenting adalah kita harus belajar untuk tidak menjadi seperti Nietzsche dalam memahami cinta, dengan merasa kesepian, kecewa yang berlebihan, dan selalu mengharapkan timbal balik.
0 notes
petrichors-things · 1 year ago
Text
Disaat kegelisahan menghampiri, tiba-tiba suara di headphone memutar sebuah podcast yang mengulas mengenai sumber-sumber kegelisahan dalam diri.
apa aja sih?
menurut psikoanalisis freud ketika ego yang diancam oleh superego.
diri kita ada 3 komponen :
bawah sadar -> diam2 mengendalikan diri kita
kesadaran (Ego) -> yang kita sadari
diluar diri (Super ego) -> norma, adat,
biasanya setiap manusia itu akan mengalami yang namanya;
kegelisahan yang realistis, contoh; ketika keluar rumah mendung pas dijalan lupa kalau jemuran belum diangkat lalu ada perasaan gelisah baju keujanan.
kegelisahan moral adalah tabrakan ego dan superego. dan kita bisa jadi menyalahkan diri kita sendiri
di podcast dr faiz mengulas mengenai akar2 kegelisahan moral (secara umum) :
situasi believe, religiusitas; perilaku2 eksklusif. atau situasi dimana memeliki aqidah yang eksklusif (merasa pandangannya adalah yang paling benar tidak bisa membedakan agama dengan pemikiran keagamaan) -- seolah-olah pemahaman agama kita itu sama seperti kebenaran al-quran itu -- akhirnya ini yang membuat kegelisahan.
sosial; fanatik. terlalu mengidolakan sesuatu baik itu tokoh, benda mati atau apapun. ketika hal yg diidolakan mengecewakan atau tidak sesuai dengan apa yg kita sukai diawal akan membuat gelisah.
budaya; sering rendah diri.
sistem politik; egoistik, ananiah. hanya mengejar kesukseskanku
sistem ekonomi; implusif,mental konsumen
sistem komunikasi; post truth.
beberapa point yg missing untuk ditulis bisa teman2 cari yaa huehue. lain kali akan aku sertakan link podcastnya hehehe
0 notes
disktopia · 2 years ago
Text
# Random thought at 3am 1
Setelah saat itu, aku banyak berubah dan hingga sekarang aku masih mengusahakan untuk memperbaiki diri ku. Ya meski masih ada setumpuk daftar yang harus di benahi.
Aku masih menjaga pikiran ku, dengan membaca buku dan menulis,. Bulan lalu aku banyak membaca buku-buku pisikologi (psikoanalisis) Jung dan Freud, psikologi islam dan tentunya filsafat, setidaknya ada 21 buku dalam satu bulan. Menulis ya masih mencoba untuk disiplin untuk menulis di sini dan di Tumblr ku yang lainnya.
Aku sadar, sadar betul kalau aku masih banyak kekurangan dan aku ingin menjadi lebih baik.
Luka-luka di masa lalu sudah terbalut oleh waktu, meski sesekali nyerinya masih saja meradang, hal baiknya ini menjadi pengingat bahwa jangan pernah menjadi seseorang atau dua orang atau tiga orang atau orang-orang "itu"
Dendam ku redam,. Aku merasa dapat memahami bahwa dalam kepanikan orang-orang akan bertindak gegabah sehingga ia tidak akan memilih dengan keadaan yang rasional cenderung mengikuti ego id (dalam konsep kepribadian Freud) yaitu bagian paling primitif dari manusia, viola sebuah keputusan besar diambil.
Aku kadang menyesali tindakan ku yang di pengaruhi sisi emosional saat menghadapi beberapa orang yang terikat secara "emosional", harusnya aku membiarkan saja semua itu dan tetap memberi makan ego mereka. Pada akhirnya semua terseleksi.
Dalam tulisan ku sebelumnya aku menulis bahwa aku kerap kali bertemu dengan orang-orang problematik narsistik egosentris dan manipulatif, itu benar adanya. hal-hal yang membuat ku cukup tenang yaitu bahwa aku tidaklah berarti dalam konteks eksistensi diri diantara ruang sosial yang luas, menjalani kehidupan sepenuhnya dengan keaslian adalah hal utama.
Oh kekasih, cinta hanya bertahan sekejap mata, selebihnya... Aku tidak akan mengatakannya di sini.
Dan 7/8 dari tulisan ini ku potong habis
0 notes
jualanbukusastra-blog · 4 years ago
Photo
Tumblr media
Julia Kristeva, Pada Mulanya adalah Cinta, Psikoanalisis dan Iman, Yogyakarta, Penerbit Basabasi, Des 2020, 80 hlm, 40.000 . . Serangkaian ceramah yang disampaikan Julia Kristeva kepada siswa L'Ecole Sainte-Genevieve, sebuah sekolah Katolik di Versailles, terkumpul dalam buku ini. Ia mengulik kembali pemikiran-pemikiran Freud, persoalan bahasa dan subjek dalam psikoanalisis, kepercayaan terhadap Tuhan, seksualitas, perdebatan doktrinal abad keempat, dan di bagian akhir ia membuka pertanyaan: Apakah psikoanalisis merupakan bentuk nihilisme? . . #juliakristeva #padamulanyaadalahcinta #psikoanalisis #penerbitbasabasi #katalogJBS (di Kedai JBS) https://www.instagram.com/p/CI4YE2TnjL9/?igshid=uavx1wsaghpw
0 notes
nwolcdas · 4 years ago
Text
Tumblr media
Enneagram type 5w4 : Cursed but Blessed
Written by : jungian INTP (Ti-Ne-Si-Fe) enneagram type 5w4 Sx/Sp tritype 548 (5w4 4w5 8w7). Socionics INTj LII (Ti-Ne-Fi-Se). Chaotic neutral.
Sebenarnya ini mau saya jadikan standar operasional seri kedua--yaitu SOP bersyukur. Maksudnya bersyukur dengan kelebihan dan kekurangan diri saya sendiri. Awalnya saya nggak mau berbagi hal seperti ini, tapi mungkin saja ini berguna buat tipikal orang yang mirip-mirip saya saat mereka sedang terpuruk juga.
Well. Sebenarnya untuk membaca ini, sebelumnya pembaca memang minimal sudah pernah baca sekilas tentang teori enneagram beserta variansi instinctualnya serta teori jungian typology. Tapi nggak apa-apa, kalau belum paham, pembaca bisa cari sendiri diinternet penjelasannya. Kalau mau test, silakan ketik saja di mesin pencari "instinctual variant test" "enneagram test" "cognitive function test". Kebanyakan memang berbahasa inggris dan di Indonesia memang hal ini nggak booming--lebih booming teori MBTI konvensional.
Enneagram tipe 5 atau sebutan lainnya "the investigator/the observer" sebenarnya sangat bertolak belakang dengan enneagram tipe 4 (the individualist/the romantic). Bisa dikatakan, tipe 5 sangat mengandalkan proses berpikir yang objektif, sedangkan tipe 4 sangat subjektif. Lalu bagaimana jika seseorang mendapatkan hasil 5w4 saat melakukan tes enneagram? They are both blessed and cursed.
Blessed :
They can bind their intellectual ability without neglect their emotional needs. Alias, 5w4 itu pemikir paling perasa. Bedakan dengan enneagram 4w5 yang berkebalikan (perasa paling analitis). Contoh gimana 5w4 mengkombinasikan sisi pemikir sekaligus perasa adalah saat mereka belajar computer science, mereka punya keinginan untuk mewujudkan dunia yang utopis dan ideal dengan kemampuan mereka di bidang tersebut (Eg : Aaron Swartz--ENTP 5w4, dan coba saja lihat sepak terjangnya di dunia computer science. The intellectual figure both humanist and logical yang ironisnya mati gantung diri karena merasa ditolak oleh negaranya sendiri. Atau yang lebih terkenal lagi, Albert Einstein--INTP 5w4 yang menggabungkan cita rasa seni ke dalam konsep konsep relativitasnya yang sampai sekarang masih paradoksal).
Gampang memaafkan. Lakukan kesalahan 10x, 5w4 akan ngamuk juga sampai 10x, tapi habis itu dia gampang 'let it go' alias nggak lama-lama berkutat sama emosinya sendiri. 5w4 sangat paham gimana rasanya otak mereka tercekik karena benci sesuatu terlalu lama.
Pemikir yang paling concern terhadap kedamaian internal (dalam pikiran dan emosi). Kedamaian internal adalah hal yang sangat penting bagi enneagram 5w4. Jadi kalau ada konflik, 5w4 cenderung menarik diri dari lingkungannya--jika terpaksa harus bekerjasama dengan orang yang mereka nggak suka, 5w4 cenderung bersikap santai saja tapi membangun tembok emosional sangat tebal. Emosi mereka jadi sangat dijaga dari sentuhan orang yang nggak disukai oleh enneagram tipe 5w4.
Pemikir yang paling peka sama bentuk-bentuk emosi sekaligus yang paling humanis walaupun dari luar kelihatan berduri tajem kayak landak.
Pemikir yang nggak akan lari atau mengabaikan emosinya ataupun emosi orang lain (jika orang lain menyampaikan dengan jelas emosi mereka). 5w4 adalah pemikir yang paling mengakui keberadaan emosi walaupun pada dasarnya tipe 5w4 sangat nggak nyaman mengambil keputusan berdasarkan emosi dan hal-hal subjektif (karena enneagram utamanya tipe 5, bukan tipe 4). Walau begitu 5w4 tetap mempertimbangkan dampak emosional lebih dalam ketimbang tipe pemikir lainnya--apalagi jika emosi itu menyangkut emosi internal dalam diri mereka sendiri. Misalnya : saya nggak nyaman sama hal ini/cara seperti ini. Ini harus diubah atau saya pergi dari keadaan ini (mode tipe 4). Tapi kenapa saya ngerasa nggak nyaman ya? Alasannya apa? pokoknya kalau mau menyampaikan ketidaknyamanan emosi saya ke orang lain, saya harus sampaikan pakai cara yang logis dan bisa diterima nalar orang lain juga (mode tipe 5).
Kombinasi sains dan seni? 5w4 adalah ahlinya. Bagi 5w4, sains adalah seni, dan seni adalah sains. Kalau punya teman yang jago buat puisi romantis pakai konsep fisika atau matematika atau bidang sains lain, bisa jadi dia adalah tipe 5w4.
Cursed :
Rentan jadi denial dan disalahpahami. Karena enneagram utamanya 5, dari luar, 5w4 kelihatan analitis dan logis, tapi sebenarnya emosinya sangat sensitif--dan kebanyakan para 5w4 nggak ingin mengakui keadaan emosinya apalagi dihadapan banyak orang. Bukan karena takut dibilang lemah, tapi karena emosi itu sendiri sangat bertentangan dengan keobjektifan tipe 5, dan 5w4 bukan 4w5--kebanyakan tipe 5 (5w4 ataupun 5w6) sangat nggak ingin menunjukkan sisi subjektif mereka karena bagi mereka itu kelihatan bodoh dan melawan aspek natural mereka sebagai pemikir. Bayangkan berapa banyak kesalahpahaman yang bisa timbul karena sikap denial 5w4 ini. Hhhhh. "My heart says yes, but my brain says wtf"
Tipe pemikir yang paling rentan depresi dan paling rentan bunuh diri. Ini bisa terjadi saat emosi internal (menggambarkan ennagram 4) nggak bisa dihandle oleh pikiran analitis enneagram 5, menciptakan 'grip', membuat 5w4 ada dalam kubangan perasaan bersalah, merasa nggak dicintai, merasa benci dengan dirinya sendiri sampai rasanya mau mati saja. I've been felt this things--rasanya kayak mending saya tidur dan nggak usah bangun selamanya.
Sangat sensitif sama penolakan. Banget. Saya kasih tips kalau anda nggak mau mengotori tangan anda buat menyingkirkan tipe enneagram 5w4. Buat mereka percaya anda dan merasa diterima secara intelektual maupun emosional, terus hempaskan dengan penolakan. 5w4 bakal gampang mati--entah mati beneran atau 'deadly inside although they seems life in the outside'. Balik lagi ke sosok Aaron Swartz (karena saya relate sekali sama cerita hidupnya dia). He has a girlfriend, keluarganya juga masih lengkap, tapi dia nggak sanggup menahan gejolak penolakan pemerintah AS terhadap dirinya dan dia merasa nggak ada yang ngerti beban emosional yang dia pikul. Setelah dituntut sana-sini, dia mati gantung diri dan sampai Aaron mati pun, pacarnya menganggap apa yang Aaron lakukan--yaitu membobol sistem JSTOR MIT dan membagikan jutaan jurnal berbayar secara gratis ke seluruh dunia adalah tindakan bodoh walaupun Aaron melakukan itu karena gerah melihat monopoli dan kapitalisasi ilmu pengetahuan.
Pemikir yang paling sensian sama kritik walaupun kalau dikritik juga bakal diterima dan dianalisis karena naturalnya 5w4 tetap enneagram utamanya tipe 5. Tapi jangan harap 5w4 sabar kalau kritiknya nonsense alias nggak membangun.
Pemikir paling gampang ketrigger alias sensian dan emosional (ini cuma ditunjukkan ke orang-orang terdekatnya saja). Bayangkan betapa membingungkannya kalau anda hidup bersama dengan manusia yang punya kombinasi sikap semacam ini--makanya banyak 5w4 yang memilih nggak menjalin hubungan emosional dengan orang lain karena mereka tau bahwa diri mereka dan orang lain akan kehabisan energi dengan sikap paradox 5w4. 5w4 itu gampang meledak atau kesal walaupun ujung-ujungnya bakal reda dan bersikap biasa lagi kalau dia sudah dapat penjelasan masuk akal terkait emosinya sendiri.
Romantical hopeless despite 5w4 has type 4 called "the romantic". Alasannya sederhana : karena 5w4 itu sisi romantisnya idealis. Saat menjalin hubungan dekat dengan seseorang dan 5w4 melihat adanya ketidakcocokan fatal atau lawannya tidak bisa memahami dan menerima 5w4 seutuhnya, tipe ini cenderung nggak segan-segan pergi menjauh--lupakan tentang mempertahankan hubungan dan membangun pengertian. Kembali ke poin atas : 5w4 sangat sensitif dengan penolakan. Parameter penolakan ini kadang nggak disadari sama orang yang sedang dekat dengan 5w4. Tiba-tiba saja 5w4 menghilang habis itu nggak kembali lagi. 5w4 yang meledak dan skeptis lebih bagus daripada 5w4 yang diam atau "iya-oke" tapi tiba-tiba hilang. Karena kalau sudah diam, artinya 5w4 menganggap orang tersebut sudah nggak ada harapan buat dipertahankan. Rumitnya karakter 5w4 itu yang menjadikan mereka memilih 'nggak ingin berkomitmen dalam bentuk apapun' untuk waktu yang lama sampai dapat orang yang benar-benar tetap "klik" sebanyak apapun 5w4 menunjukkan kerumitan diri mereka.
Tumblr media
0 notes
sarisantoso · 7 years ago
Text
Cemburu itu baik atau buruk??
Sebenarnya cemburu terhadap pasangan merupakan respon alami dan wajar menurut saya. Makhluk hidup termasuk manusia memiliki insting alami untuk “bertahan” , jadi saat merasa terancam (pasangannya berpaling atau tergoda orang lain) maka muncul perasaan cemburu dan sikap protektif. Selama kecemburuan yang ada itu tampil “wajar” dalam arti tidak sampai menyakiti orang lain baik secara psikis dan fisik, menuduh tanpa bukti, atau mencurigai yang berlebihan maka sah-sah saja hal tersebut dialami oleh seseorang.
Apabila seseorang tidak cemburu terhadap pasangannya, maka terdapat 3 kemungkinan mayor yang bisa terjadi yaitu : Pertama, orang tersebut sangat percaya dengan kesetiaan pasangannya; Kedua, orang tersebut kurang memiliki kepedulian atau afeksi lemah terhadap pasangannya; atau Ketiga yang bisa menjurus gangguan psikologis adalah orang tersebut mencintai dirinya sendiri secara berlebihan sehingga over confidence dan sama sekali merasa bahwa tidak ada orang lain yang mampu menandingi atau memikat hati pasangannya.
Jadi, selama masih wajar dan tidak menyakiti baik psikis dan fisik pasangan serta orang lain maka cemburu masih dinilai sah. Selesaikanlah cemburu dengan komunikasi yang terbuka dan hangat agar pasangan dapat saling mengenal satu sama lain jauh lebih dalam.
Good luck for your relationship, wish me luck too :)
2 notes · View notes
leadmetojannah · 3 years ago
Text
Inner Child: Mitos atau Fakta?
Di sela-sela meeting dengan mentor self-development saya (Februari 2020 lalu), saya membuka Instagram dan gak sengaja melihat postingan seorang ustadz di bidang parenting—yang juga saya miliki bukunya dan sudah saya khatamkan 2015 lalu—menyangkal konsep inner child, yang saya yakini itu adalah pendapat pribadi beliau tanpa mengkomparasi dan melihat dari perspektif lain.
Menurut beliau, adalah luar biasa aneh kalo orang mengaku meyakini fitrah sebagaimana dimaksud As-Sunnah, tapi masih mengimani inner child. Sama anehnya dengan orang yang mengatakan tidak dapat menerima psikoanalisis, tapi menganggap mitos inner child sebagai kebenaran yang pasti terjadi. Setelah itu beliau tidak memberikan penjelasan, alasan, atau caption yang berbobot dan mencerahkan selain hanya menyindir kaum yang mengimani inner child. Jelas saja kolom komentar postingan itu penuh dengan pertanyaan netizen, dan mereka berharap ada penjelasan lebih detail dan lebih lanjut. Dan banyak juga netizen di sana yang belum tahu apa itu inner child.
Saya dan mentor saya pun agak ‘berontak’, wqwq. Sebab kami termasuk kaum yang ‘mengimani’ inner child (karena beberapa faktor dan latar belakang yang gak bisa saya jelaskan di sini). Bahkan Maret 2019 lalu, kami sempat memprakarsai dan menunaikan sebuah event talkshow tentang inner child di sebuah mall di kota kami—yang pembicaranya adalah mentor saya sendiri, haha!
Karena mentor saya gemas, beliau langsung menghubungi temannya yang merupakan seorang psikolog sekaligus public speaker di bidang parenting Islami yang berdomisili di Malaysia. Kata temannya tersebut, memang ada muslim yang mutlak ‘mengharamkan’ inner child, ada juga yang tidak ‘mengharamkan’. Dan beliau adalah muslim yang mengambil jalan tengah, alias tidak mentah-mentah menolak inner child, karena menurutnya pengetahuan tentang inner child ini juga penting. Meski beliau mengirim penjelasan via voice note di WA mentor saya, saya gak puas dengan penjelasan beliau karena konsepnya belum bisa saya pahami hingga ke akarnya. Jelas ini menjadi PR bagi saya untuk belajar lagi dan mencari tahu.
Yang ingin saya highlight terkait inner child dan postingan ustadz tersebut ada 2:
1) Menurut para psikolog luar negeri dan berdasarkan sumber-sumber berbahasa Inggris lainnya, inner child itu bukan hanya tentang pengalaman dan peristiwa pengasuhan masa kecil yang buruk atau gak menyenangkan, tapi juga tentang pengalaman dan peristiwa pengasuhan masa kecil yang baik dan menyenangkan. And EVERYBODY HAS AN INNER CHILD.
Jadi tiap orang itu pasti punya inner child. Sayangnya, dalam dunia parenting Indonesia, inner child dipahami sebagai bawaan-bawaan negatif (gak sehat) dari pengasuhan masa kecil yang harus disembuhkan. Padahal, inner child itu ada yang HEALTHY (happy, playful, fun, etc.) dan ada yang UNHEALTHY (injured, traumatic, wound, emotional pain, etc.). Dan hal ini sudah saya ketahui sekitar 2 tahun lalu. Dan selama saya belajar ilmu parenting, saya baru menemukan 1 akun Instagram yang mengatakan bahwa inner child juga merupakan pengalaman dan peristiwa pengasuhan masa kecil yang MENYENANGKAN.
2) Di buku-buku parenting Islami yang saya punya, jelas gak ada pembahasan tentang inner child. Maka saya Googling. Setelah saya Googling, saya belum menemukan sisi mana dari konsep inner child yang bertentangan dengan Islam. Yang selalu saya dapatkan adalah cara penyembuhannya (self-healing) yang harus Islami, alias disesuaikan dengan tuntunan Islam, yakni dengan tazkiyatun nafs.
FYI, penyembuhan (healing) inner child itu beragam, tergantung kasusnya seperti apa. Sebagai seorang muslim, saya menolak praktik healing dengan cara meditasi.
Orang-orang yang memiliki UNHEALTHY inner child mungkin kurang setuju atau bahkan gak setuju bahwa healing (penyembuhan) dilakukan dengan tazkiyatun nafs. Karena bagi mereka—apalagi yang luka batinnya teramat parah dan mendalam—penyembuhan gak se-sederhana dengan tazkiyatun nafs.
Kalo healing yang dianjurkan adalah tazkiyatun nafs, menurut saya kurang tepat kalo dilabeli atau diistilahkan dengan “Islami”, karena itu sudah bagian dari way of life-nya seorang muslim, alias sudah seharusnya dilakukan oleh orang muslim dalam kesehariannya. Islam sendiri pun juga sudah mengatur bagaimana anak harus bersikap kepada orang tuanya, seburuk apapun orang tuanya.
Nah, kalo pakai tazkiyatun nafs, di event talkshow inner child yang saya dan mentor saya adakan, kami mengemasnya dengan perenungan dan penerimaan, bermaaf-maafan antara ibu dan anak (bagi yang membawa anak), dan dzikir asmaul husna. Semuanya itu dilakukan di akhir acara.
Tapi saya tetap husnudzon pada ustadz tersebut. Mungkin saya yang terlalu fakir ilmu ini belum bisa memahami apa sebenarnya yang dimaksud beliau. Ilmu saya “gak nyampe”.
Saya pribadi menyimpulkan bahwa issue ini sama seperti CHILD FREE yang selalu debatable—tergantung dari perspektif apa orang menilai (Dan saya bukan penganut child free, tapi juga gak sepenuhnya kontra terhadap child free. Ya iyalah, mana mungkin saya penganut child free, lha wong saya sampe sekarang masih doyan belajar ilmu parenting. Begimane tuh jaenab?)
Apakah inner child adalah mitos atau kebenaran yang pasti terjadi? Menurut para psikolog yang menyatakan “everybody has an inner child” dan berdasarkan pengamatan saya sejauh ini, kemungkinan besar inner child akan terjadi, entah itu HEALTHY inner child atau UNHEALHTY inner child. Sebab menurut ilmu psikologi, inner child adalah bagian dari diri kita di masa kecil yang tak pernah hilang dan selalu ada di dalam diri kita bahkan saat kita telah beranjak dewasa. Dan inner child merupakan salah satu bagian dari alam bawah sadar manusia. Menurut saya, frekuensi terjadinya yang pasti berbeda pada tiap orang, tergantung juga apa pemicunya. Dan untuk yang memiliki UNHEALTHY inner child, maka tergantung sejauh mana proses healing-nya.
Di bawah ini saya sertakan artikel/tulisan tentang inner child berdasarkan pengalaman beberapa orang. Harapannya, semoga kita gak asal judging ketika kita berbeda pendapat/pandangan dengan orang lain terkait inner child.
https://ayunafamily.com/aku-innerchild-part-1/
https://khoirunnikmah.com/inner-child/
Jember, 14 November 2021
4 notes · View notes
ninis-study · 3 years ago
Text
#Study Notes : Teori Feminisme Sastra
11.11.21 | 18.23-20.30
Jadi, aku punya tugas yang mana aku harus menuliskan teori sastra yang aku minati dan sukai. Sebenernya aku udah selesai, tapi ternyata ga memenuhi syarat min. 500 kata. Ya, mesti revisi atau seenggaknya nambah dikit.
Ringkasan ini aku buat berdasarkan buku yang aku baca, judulnya Kritik Sastra Feminis : Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia oleh Wiyatmi.
Disclaimer : Semua yang aku tulis disini, benar-benar berasal dari buku yang sudah aku sebutkan. Jika ada kesalahan atau kekeliruan mohon dikoreksi, ya!
Definisi Kritik Sastra
Kritik sastra merupakan suatu cabang studi sastra yang langsung berhubungan dengan karya sastra dengan melalui interpretasi (penafsiran), analisis (penguraian), dan penilaian (evaluasi). (hal. 3)
Kritik Sastra Feminisme
Salah satu ragam kritik sastra yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya-karya sastranya. (hal. 10)
Fokus analisis dan penilaian : 1) penulis perempuan, 2) bagaimana perempuan digambarkan dalam karya sastra, 3) hubungannya dengan laki-laki dan lingkungan masyarakatnya, dan 4) teori feminisme. (hal. 10-11)
Kritik sastra feminisme tidak dapat dipisahkan dari gerakan feminisme yang awalnya muncul di AS tahun 1700-an (Madsen, 2000: 1).
Tujuan utama kritik sastra feminis : menganalisis relasi gender, hubungan antara kaum perempuan dengan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial, yang antara lain mengambarkan situasi ketika perempuan berada dalam dominasi laki-laki (Flax, dalam Nicholson, ed., 1990: 40).
Melalui kritik sastra feminis akan dideskripsikan adanya penindasan terhadap perempuan yang terdapat dalam karya sastra (Humm, 1986: 22).
Kritik sastra feminis melakukan rekonstruksi dan membaca kembali karya-karya tersebut dengan fokus pada perempuan, sifat sosiolinguistiknya, mendeskripsikan tulisan perempuan dengan perhatian khusus pada penggunaan kata-kata dalam tulisannya.
Kritik sastra feminis dipelopori oleh Simone de Beauvoir melalui bukunya, Second Sex, yang disusul oleh Kate Millet (Sexual Politics), Betty Freidan (The Feminin Mistique), dan Germaine Greer (The Female Eunuch) (Humm, 1986: 21).
Feminisme berdasarkan aliran pemikiran
Feminisme liberal
Feminisme radikal
Feminisme Marxis dan sosialis
Feminisme psikoanalisis dan gender
Feminisme eksistensialis
Feminisme posmodern
Feminisme multikultural dan global
Ekofeminisme
Feminisme Islam
Ragam Kritik Sastra
Kritik sastra feminis perempuan sebagai pembaca (the woman as reader/feminist critique)
Kritik sastra feminis yang melihat perempuan sebagai penulis (the woman as writer/gynocritics)
Kritik feminis psikoanalisis
Kritik feminis Marxis
dll.
Cara Kerja Kritik Sastra Feminis
Memilih dan membaca karya sastra yang akan dianalisis dan dinilai
Menentukan fokus masalah yang sesuai dengan perspektif kritik sastra feminis, misalnya berhubungan dengan kepenulisan atau penggambaran tokoh perempuan, dsb.
Melakukan kajian pustaka untuk memahami sejumlah konsep teoretik yang berhubungan dengan fokus masalah yang akan dipahami (dianalisis) dan tulisan kritikus maupun peneliti sebelumnya yang membahas masalah yang sama atau mirip.
Mengumpulkan data primer maupun sekunder yang relevan dengan fokus masalah yang akan dianalisis
Menganalisis data dengan menggunakan perspektif kritik sastra feminis
Menginterpretasikan dan memberikan penilaian terhadap hasil penelitian sesuai dengan ragam kritik sastra feminis yang dipilih
Menuliskan laporan kritik sastra dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan media yang akan dipilih untuk mempublikasikan.
3 notes · View notes
acidal · 3 years ago
Text
Bahaya Laten Anti-Intelektualisme*
Oleh Zen RS
[1]
Anti-intelektualisme adalah pandangan, sikap, dan tindakan yang merendahkan ide-ide, pemikiran, kajian, telaah, riset, diskusi, hingga debat. Dalam rumusan Richard Hofstadter, anti-intelektualisme diindikasikan dengan perendahan, purbasangka, penolakan, dan perlawanan yang terus menerus, ajeg dan konstan, terhadap dunia ide dan siapapun yang dianggap menekuninya. Turunan dari hal itu adalah syak wasangka yang akut kepada filsafat, sains, sastra, seni – pendeknya: mencurigai teori.
Secara etimologi, teori meniscayakan kesediaan mempertimbangkan, berspekulasi, menggugat, mempersoalkan (dari kata Itheoria dan theorein dalam Yunani). Teori tak akan pernah lahir dari para “pemeluk teguh” kebenaran, yang memandang segala sesuatu sebagai beleid-beleid, pasal-pasal, ayat-ayat, yang mesti diterima tanpa syarat, juga mesti bulat, tanpa cacat, minus keraguan.
Dalam ilmu pengetahuan, teori selalu merupakan agregasi tiada henti dari berbagai fakta, beragam hipotesa, yang satu sama lain saling berdialog dan kadang bertarung, sampai kemudian dapat ditemukan sebuah rumusan. Dalam perjalanannya, setiap rumusan, katakanlah sebuah teori, juga akan (bukan harus, karena akan mengandaikan sesuatu yang alami, niscaya terjadi) menghadapi tantangan dari fakta-fakta baru, konteks-konteks baru, temuan baru.
Melalui falsifikasi ala Popperian atau patahan paradigmatic ala Thomas Kuhn, teori terus berkembang. Niscaya bertumbuh. Masyarakat yang didominasi sikap anti-intelktualisme, dengan sendirinya, sulit melahirkan ilmu pengetahuan. Masyarakat jenis itu yang tidak cukup memiliki kadar asam-basa yang dibutuhkan bagi merekahnya peradaban.
Sebab hanya butuh seekor angsa berwarna hitam untuk mematahakan “teori” bahwa angsa itu berwarna putih. Kebebalan – yang dicirikan oleh sikap tidak sudi mempertimbangkan lagi dan meninjau ulang; ingat soal etimologi teori dari theoria dan theorein— akan membuat fakta tentang seekor angsa berwarna hitam bisa dibantah dengan rupa-rupa dalih, misalnya: itu bukan warna hitam, karena kadar hitamnya cuma 75 persen.
[2]
Anti-intelektualisme tidak sama dengan anti-logika atau anti-rasio(nalisme). Logika hanyalah salah satu metode penalaran, cara berpikir, dan bukan satu-satunya – apalagi jika logika semata dirujuk kepada silogisme Aristotelian. Seorang bisa tekun ber-uzla, bermeditasi dengan nalarnya, berkontemplasi dengan akal-budai, melalui jalur yang lain. Metode kreatif di kalangan para penyair, misalnya, sangat mungkin tidak bekerja dengan logika macam itu.
Dari situlah menjadi lebih mudah memahami anti-rasio(nalisme). Dirunut jejaknya sejak Yunani kuno, dan menemukan bentuknya yang mapan melalui penahbisan res-cogitan (aku-berpikir) sebagai fakultas puncak kemanusiaan oleh Rene Descartes, rasionalisme sudah ditentang oleh kalangan romantic (terutama dari Jerman) sejak abad 18 dan memuncak melalui Nietzsche.
Melaui pembelahan spirit Dyonisian dan Apollonian, Nietzsche tampil menjadi advokat paling keras kepala dari pandangan yang menganggap bahwa kemabukan – yang diwakili dewa anggur bernama Dyonisius – sebagai cara paling menjanjikan untuk menjalani hidup, dan bukan pandangan Apollonian – yang diwakili dewa matahari dan kedokteran bernama Apollo – yang memuja keseimbangan, tatanan, pengendalian diri, juga pencerahan (yang berporos pada akal-budi dan nalar). Itulah mengapa, bagi Nietzsche, spirit agung Yunani itu terletak pada (drama) tragedy bukan filsafat.
Selain Nietzsche, anti-rasionalisme ini juga banyak “cabangnya”, salah satu di antaranya tentuu saja Sigmund Freud. Dialah “murid” Nietzsche dari lapangan psikologi, walau awalnya metode psikoanalisis Freud yang meneliti mimpi dianggap sebagai pseudo-sains. Melalui Freud, akhirnya, manusia mulai menyadari bahwa banyak hal dalam diri tidak ditentukan atau dipengaruhi secara sadar atau oleh kesadaran, melainkan oleh alam bawah sadar, yang disebut Freud sebagai “id”. Nalar, akal, budi, hukum, hingga agama hanyalah supra-struktur yang ditentukan oleh “id”.
Bukan “saya berpikir maka saya ada” ala Cartesian, melainkan “saya tidak sadar maka saya ada”.
[3]
Anti-intelektualisme sudah ada sejka manusia mengenal kegiatan intelektual. Jika membaca buku Fernando Baez, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, daftar kebencian ide-ide sudah ada sejak zaman sebelum masehi. Dari era Raja Joachim pada 700 tahun sebelum masehi hingga ketika Gramedia memusnahkan buku karena diprotes FPI. Dari penghilangan paksa buku kedua Poetics karya Aristoteles tentang komedi hingga pemusnahan variasi Al-Quran demi kodifikasi Mushaf Ustmani. Dari penhancuran Bait Al-Hikmah di Baghdad oleh balatentara Hulagu Mongol hingga pengeboman perpustakaan Baghdad oleh pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat di awal abad 21. Dari dibumihanguskannya koleksi Pramoedya hingga pembubaran paksa lapak Perpustakaan Jalanan di Dago.
Itu semua bentuk-bentuk anti-intelektualisme yang kasar, telanjang, dan terejawantah dalam laku fisikal yang kasat mata. Yang lebih berbahaya justru anti-intelektualisme yang samar-samar, tidak terasa secara langsung, namun berlangsung secara massif dan sistematis. Untuk yang terakhir ini, banyak literature menyebutkan, sudah dimulai sejak merekahnya fajar revolusi industry.
Revolusi industry mengubah lanskap Eropa dan – pelan tapi dengan tingkat kepastian yang tak tertahankan – juga mengubah wajah dunia. Industri membutuhkan banyak sekali pekerja, dari tingkat para penemu teknologi, direktur, manajer, hingga buruh rendahan. Dan itu membutuhkan pendidikan yang spesifik. Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, pendidikan dirancang untuk menjawab kebutuhan produksi (baca:industry). Pendidikan-pendidikan keteknikan, atau lebih tepatnya: pendidikan bercorak spesialis, berkembang dengan pesat. Dimulai dari revolusi industry inilah ilmu-ilmu bersifat teoritis pelan-pelan dikalahkan, atau kurang diminati, dibandingkan ilmu-ilmu praktis.
Dalam bentuknya yang kiwari, fenomena di atas terwujud dalam – misalnya – pengkondisian agar mahasiswa lulus dalam empat tahu, jika perlu kurang dari empat tahun. Tidak perlu berlama-lama di kampus, pelajari yang penting-penting saja (baca:buku diktat), tidak perlu membaca yang aneh-aneh, tidak penting mendiskusikan tema-tema yang taka da dalam silabus dosen, apa lagi beraktivitas dalam organisasi. Itu semua tidak perlu, mubazir, buang-buang waktu, dan buang-buang uang. Yang pasti-pasti saja: masuk kuliah, masuk laboratorium, kerjakan tugas dari dosen, lalu lulus, kemudian segera mungkin bekerja di perusahaan-perusahaan mapan, lalu kawin, lantas beranak-pinak, dan kemudian koit.
Ijazah, dan turunannya yang bernama: sertifikat(si), menjadi penjinak nasib (buruk). Apakah dalam selembar ijazah itu terhampar pengalaman intelektual yang kaya, penjelajahan pemikiran yang berliku-liku, petualangan ide yang berbahaya, tidak lagi menjadi hal pokok. Ijazah bukan lagi sebagai tanda (bahwa seseorang adalah terpelajar), tapi ijazah telah menjadi pesan itu sendiri, sudah menjelma kualitas itu sendiri. Siapa yang tak punya ijazah, juga tak tersertifikasi, layak dianggap tak kredibel.
[4]
Dari sanalah lahir apa yang disebut dengan “kredensialisme” (diambil dari Bahasa Latin, “credere”, yang berarti “to believe”). Term “kredensial” merujuk pengakuan dari pihak ketiga yang memiliki otoritas tertentu bahwa seseorang memiliki pengetahuan dan izin yang diperlukan terkait bidang tertentu dalam pengetahuan. Secara fisik, kredensial dibuktikan melalui ijazah. Otoritas yang memberi bisa macam-macam: sekolah, perguruan tinggi, lembaga profesi, hingga institusi agama.
Persoalannya menjadi lain ketika sertifikat dijadikan standar untuk menilai validitas argumentasi seseorang. Kredensial, sekali lagi, seharusnya menjadi salah satu rujukan untuk memecahkan persoalan dengan mencari seorang yang dianggap pakar. Tapi hanya berhenti di sana saja! Seorang pakar pun bisa salah berargumentasi, sebagaimana orang awam pun bisa benar membangun argument. Kekokohan argumentasi seseorang diukur dengan koherensi antara data-data dan caranya menarik kesimpulan, bukan berdasarkan selembar ijazah.
Kredensialisme, kira-kira, bisa diwakilkan dengan contoh kalimat: “Aku professor, maka argumentasiku sudah pasti benar. Kau lulusan SMA, sudah pasti argumentasi kau salah.”
Dunia masih dipenuhi para pemuja kredensialisme, tak terkecuali di Indonesia. Ini sangat berbahaya karena, terutama, ilmu pengetahuan dikur semata sebagai formalism yang bercorak birokratik. Dalam bentuknya yang terburuk, kredensialsme bisa menjerumuskan ilmu pengetahuan semata sebagai doktrin dan pemilik kredensial tak ubahnya pemimpin sekte yang selalu  benar. Pasal 1: pemilik kredensial tidak bisa salah. Pasal 2: jika pemilik kredensial ternyata salah, maka kembalilah ke pasal 1.
Kredensialisme adalah gejala di mana-mana. Di Indonesia , misalnya, seorang Ph.D., bisa dengan gampang hilir mudik di televise sebagai pengamat. Dianggap pakar karena sudah punya ijazah doctor ilmu politik. Tidak lagi dipersoalkan apakah yang bersangkutan masih rutin melakukan penelitian atau tidak, masih membaca buku-buku terbaru atau tidak, dan apakah masih menulis atau tidak. Tidak penting lagi proses bernalar di belakang layar, yang penting bicara dengan licin di televise. Syukur-syukur punya koneksi dengan faksi-faksi elit politik.
Tidak terlalu keliru jika ada yang mengatakan mewabahnya fenomena pakar/pengamat sebagai gejala anti-intelektualisme.
[5]
Nalar pendidikan yang menempatkan sekolah sebagai pemuas nafsu – semacam dildo dan vibrator – bagi industry ini, bermuara pada apa yang saya sebut di awal sebagai “kecurigaan kepada teori”.
Teori, juga aktivitas mempelajari dan menelaah teori, dianggap sebagai hal yang tidak praktis, mengawang-awang, ndakik-ndakik, tidak membumi, dan tidak memberikan dampak apapun pada kehidupan. Jika pun teori dipelajari, pada awal dan pada akhirnya, itu dilakukan untuk menciptakan penemuan-penemuan baru, atau menjawab persoalan-persoalan, yang dibutuhkan dan dihadapi oleh industry. Teori kadang direndahkan sebagai mimpi basah para pelamun, sebagai takhayul lama yang yak berguna, karena para resi sudah tidak sesuai dengan zaman, dan para empu bisa diciptakan hanya dalam 7 semester.
Dalam konstelasi sejarah politik di Indonesia, khususnya dimulai sejak Orde Baru, dan inilah yang akan menjdai pokok pembahasan kita sore ini, kecenderungan anti-intelektualisme, dan syak wasangka kepada teori, dijadikan alasan untuk mencurigai diskusi, debat, telaah, dan kajian. Studi Daniel Dhakidae yang menghasilkan buku Cendekiawan dan Kekuasaan, memuat banyak sekali contoh kasus bagaimana komunitas-komunitas akademik (termasuk Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial/HIPIIS, dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia/ISEI) seperti menjauhi teori dan sibuk serta sigap menjawab kebutuhan-kebutuhan rezim yang sedang tergila-gila dengan pembangunanisme. Jika pun ada teori, ia lebih menyerupai “bispak”: bisa dipakai untuk melegitimasi kebijakan.
Dengan alasan tidak praktis (persisnya: tidak praktis bagi kepentingan pembangunanisme ala Orde Baru), diskusi-diskusi dicurigai, kajian-kajian yang tidak lazim, hingga debat di parlemen sekali pun dihalangi dan dibatasi. Jangan heran Soeharto selalu menjadi presiden secara aklamasi, sebab mufakat adalah keutamaan, dan ketidaksetujuan sebagai tidak berkepribadian Timur. Teori, sekali lagi, tidak cocok dengan kultus terhadap mufakat, karena teori pada dasarnya membuka diri pada retakan, pada kesalahan, pada fakta-fakta dan temuan baru.
Dengan sendirinya budaya kritik dihambat. Macam-macam caranya: dari mulai interogasi, kemudian ditangkap, diadili dan akhirnya dipenjara – hingga omong kosong slogan “kritik harus bertanggungjawab”, “kritik harus disertai solusi”. Siapa pun yang mengkritik, tapi tak disertai solusi, sering diledek: “Ah, teori!” Ledekan yang begitu santai, sudah jamak dan lazim, seakan angina lalu dan memang dilakukan dengan sambal lalu, namun sesungguhnya mencerminkan sesuatu yang begitu serius.
Slogan “kritik harus bertanggungjawab” dan “kritik harus disertai solusi” ini segendang-sepenarian dengan doktrin yang sampai sekarang masih sering kita lihat di berbagai tempat: “tamu yang menginap lebih dari 24 jam harus lapor kepada RT/RW dan Babinsa”. Semua itu dialasdasari oleh nalar: control! (bisa dihilangkan huruf “r”-nya jika diniatkan memaki Orde Baru).
Mestikah diherankan jika perlawanan sistematis terhadap Orde Baru, dimulai pada awal decade 1980an, dipupuk melalui kelompok-kelompok diskusi. Seakan mengulang apa yang dilakukan para seniornya di Stovia, atau yang dilakukan di rumah Tjokroaminoto di Gang Paneleh, studi klub mewabah di berbagai kota. Dari studi-studi klub inilah, yang mendiskusikan berbagai tema dan isu, bermunculan bibit-bibit perlawanan “konkrit” terhadap rezim Orde Baru.
[6]
Anti-intelektualisme tidak ada urusannya dengan tingkat pendidikan, juga tidak bergantung pada latar belakang militer atau sipil. Sangat banyak contoh, lagi-lagi bisa dimulai dengan menukil fakta-fakta yang disusun Fernando Baez, juga dengan melihat kenyataan sehari-hari di sekitar kita saat ini, yang memperlihatkan dengan telanjang betapa anti-intelektualisme sangat jamak berlangsung di kepala orang-orang yang berpendidikan, juga di kalangan sipil.
Hoax tersebar dengan luas dalam kecepatan tak terhingga, tautan sebuah tulisan/berita disebarkan hanya karena judulnya, politikus diserang karena lingkar perutnya atau karena warna kulitnya, video ceramah pendakwah dibagikan jutaan kali hanya karena lidahnya licin membantah Darwin, serial kultwit dijadikan bahan untuk berdebat seakan telah membaca sebuah jurnal ilmiah yang disunting editor professional dan diperiksa para pembaca ahli sekelas para professor. Segenap perilaku macam itu berlangsung dengan massif, seakan hal biasa saja, namun sesungguhnya merupakan bentuk tak kasat mata dari anti-intelektualisme, sekaligus versi lain dari pembubaran paksa Perpustakaan Jalanan dan pertunjukan teater atau diskusi dan pembakaran buku oleh FPI.
Orang seperti Felix Siauw yang berkampanye perempuan-ibu bekerja sebagai marabahaya, sebagai missal, bukanlah orang yang tidak berpendidikan. Ia bisa menulis buku, dan sampai batas tertentu mampu menngartikulasikan pikirannya dengan cara yang lumayan runtut. Ia sama berpendidikannya dengan, missal yang lain, Letjen (purn) Kiki Syahnakri yang nyambung-nyambungin Aristoteles, materialism, marxisme, dan ateisme atau Jenderal Gatot Nurmantyo yang gagal membedakan kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan (lagi-lagi) dengan ateisme. Juga sepadan dengan Letkol Desi Ariyanto yang ngacapruk perkara buku-buku yang dibawa Perpustakaan Jalan itu sudah “diketahui kredibilitasnya” dan “diijinkan untuk dibaca oleh kaum muda, atau malah buku-buku yang di dalamnya berisi topic yang tidak sesuai”.
Anti-intelektualisme di tubuh militer Indonesia menjadi lebih berbahaya karena mereka memegan bedil. Dengan bedil, dan keterampilan fisik yang terlatih, juga legitimasi politik, militer bisa tak terhentikan ketika bertindak dengan semangat anti-intelektualisme. Situasinya menjadi lebih mudah bagi militer karena, tidak bisa tidak, mereka tak sendirian berdiri di bawah paying anti-intelektualisme. Militer ada di medan energy yang sama dengan khalayak dalam soal anti-intelektualisme ini. Pembubaran diskusi buku-buku kiri olrhmiliter, misalnya, menjadi dimudahkan karena mendapatkan legitimasi social dari khalayak yang masih juga tidak mau peduli dengan temuan-temuan terbaru soal 1965 yang membantah pandangan Orde Baru.
Politik Indonesia hari ini bukan seperti ketika Sjahrir menentang bandul politik Soekarno-Hatta di awal kemerdekaan dengan menerbitkan pamphlet Perdjoangan Kita. Juga bukan lagi zaman ketika Tan Malaka, di dalam penjara, menulis buku tipis berjudul Thesis, yang kemudian dibantah oleh Alimin dengan  buku tipis berjudul Analysis. Ini zaman ketika walikota gaul mempromosikan jenderal penculik sebagai calon presiden dengan alasan wajah yang ganteng, saat seorang gubernur pemarah dibela setengah mampus karena mereka setiap rapat-rapat yang dipimpinnya, ketika seorang presiden didukung habis-habisan sebagai representasi wong cilik hanya karena merayap dari bawah sebagai tukang meubel – sekaligus dihinakan karena wajah ibunya dianggap terlalu muda untuk menjadi ibu kandungnya.
Kita sedang hidup di lingkungan anti-intelektualisme, dan ini menjadi alasan yang sangat kuat untuk waspada agar kita tak terjermbab pada lubang serupa. Sebab kadang seseorang tidak tahu kalau dirinya sudah tidak lagi berpikir dengan kritis. Tahu-tahu seseorang, dan semogalah kita tidak termasuk di dalamnya, menjadi pembela sesuatu yang kita tidak tahu persis apa duduk perkaranya. Karena seringkali kita merasa sudah berpikir, padahal yang bekerja sebenarnya hanyalah favoritism, subjektifisme, dan pikiran-pikiran ideologis yang dogmatis dan membeku.
*) Ditulis sebagai pengantar diskusi “Politik dan Maraknya Anti-Intelektualisme” di Co-op Space, Universitas Parahyangan, Bandung, pada 2 September 2016
zen rsessay
See godsfavoritecomedian's whole Tumblr
4 notes · View notes
riza-melinda · 3 years ago
Text
Self Defense Mechanism
Dalam aliran psikoanalisis dari Sigmund Freud, mekanisme pertahanan ego atau self-defense mechanism adalah strategi psikologis yang dilakukan seseorang, sekelompok orang, atau bahkan suatu bangsa untuk berhadapan dengan kenyataan dan mempertahankan citra-diri. Orang yang sehat biasa menggunakan berbagai mekanisme pertahanan selama hidupnya.
Riza-yang mekanisme pertahanan ego-dirinya lagi mode:on
4 notes · View notes
tiflunium · 5 years ago
Text
Dunia Sophie
Baru selesai baca 'Dunia Sophie', akhirnya. Sebuah novel filsafat. Setidaknya, ada tiga hal menarik untuk saya. Bab tentang Charles Darwin, bab tentang Sigmund Freud, dan alur ceritanya.
Untuk bab Darwin, saya tidak terlalu terkejut tentang bahasannya. Karena sebelumnya memang saya sudah lebih banyak membaca tentang Galapagos, seleksi alam, dan genetika. Saya tertarik dengan bab ini tidak lebih karena saya sejak dulu memang tertarik.
Satu hal tentang teori Darwin. Guru saya pernah mengatakan bahwa Darwin tidak pernah mengatakan manusia adalah keturunan kera. Dia hanya bilang bahwa ada 'rantai yang hilang' di antara keduanya. CMIIW.
Tentang Freud, saya tertarik bukan karena pernah mendengar seseorang mengoceh tentang bagaimana seharusnya mental itu bekerja. Padahal itu bukan ranah bidangnya (omong kosong besar, pikir saya). Saya tertarik dengan bab Freud karena psikoanalisis-nya.
Jika saya diberi kesempatan pergi ke masa lalu dan bertemu beliau, saya akan menyalaminya. Sembari berterima kasih karena telah meletakkan fondasi untuk ilmu psikologi modern. Yang, menyelamatkan banyak orang dengan metode-metodenya. Bukan cuma sekadar ngoceh.
Tentang alur di novel ini, saya seperti dijadikan ping pong saat membacanya. Awalnya saya kira begini, tapi ternyata begitu. Tapi yang 'begitu' akan berubah 'begini'.
Selebihnya, Dunia Sophie menyederhanakan pembahasan filsafat yang mbulet menjadi lebih sederhana. Meski tetap saja, membaca novel setebal 800 halaman (kurang sedikit) itu bikin leher tegang.
Satu lagi. Untuk yang ingin membaca Dunia Sophie, saya punya saran. Entah membantu atau tidak. Sebaiknya, sebelum membaca novel ini, lepaskan dulu kesombongan kita tentang 'saya mengetahui ini dan itu'. LEPASKAN DULU. Jika tidak, kemungkinan kau akan denial. Atau..
Menutup buku ini lebih cepat sebelum menyelesaikan bab terakhirnya.
Senang bertemu denganmu, Sophie Amundsend. Selamat ulangtahun yang ke-15, selamanya. Dariku.
| Ruang, 23 April 2020, 02.30 |
40 notes · View notes
miftahulfikri · 5 years ago
Text
Rivera : Chapter 4
(Rivera’s perspective)
Tumblr media
Bandung perlahan tak terlalu ramai mendekati pukul sembilan malam. Perlahan, hujan mulai turun di beranda kostku. Rinai-rinai yang makin lama makin menggenang dimana-mana, tapi aku suka. Dari jendelaku, pohon-pohon ara  tepat di tepian Jalan Babakan Jeruk yang sudah meranggas sejak dua bulan lalu kini harus lebih merunduk menerima kedatangan musim hujan yang sendu. Berpindah ke balkon, lalu-lalang jalan sepanjang Maranatha sudah tidak lagi seberisik tadi sore, hanya ada beberapa orang yang tergopoh menghindari cipratan air di bawah sana.
Bandung lumayan tak ramah untuk orang Jakarta sepertiku karena temperatur udara bisa turun drastis hingga 19 derajat. Aneh? Buatmu mungkin tidak, tapi tubuhku yang aneh. Kulit yang terbiasa dengan 29 derajat ibukota, akan langsung berbintik merah dan gatal-gatal. Untungnya aku sudah terbiasa, meski tetap kesal dibuatnya. Baru beberapa hari ke belakang rasanya dingin sekali, tidak seperti biasanya yang sejuk sepoi-sepoi. Ternyata, musim hujan datang sebulan lebih cepat dari prediksiku. Karenanya, mengandalkan pemanas saja rasanya tak cukup, -Ya, memang aku punya sebuah pemanas bongkar-pasang di kamar.
Malam ini aku lebih banyak menyelimuti badanku dengan selimut dan sweater. Lumayan, aku sedikit berdamai dengan dingin yang cukup menggigit. Tetapi, tidak dengan Albert, Sunu dan Rinan cuma melapisi tubuhnya hanya dengan kaos oblong. Mereka menertawaiku yang berselimut bak ulat masuk kepompong. Aku gusar sebenarnya, mereka cuma jago kandang. Sini kalian ke rumahku di Mangga Besar sana, aku bertaruh kalian takkan kuat memakai baju tipispun.
Di hadapanku, bertumpuk beberapa buku referensi dan jurnal Psychology Reviews dari Elsevier, acak-acakan dengan beberapa helai summary yang barusan dibuat. Satu jam yang lalu, kami bertiga baru selesai membuat workpaper untuk dikumpulkan besok. Mendadak usai kelas berakhir, Profesor Ririn menugasi kelompokku untuk membuat tugas tentang kajian psikoanalisis Freudian. Praktis, Aku, Albert, dan Sunu sejak tadi terus mengoceh dan mengusutkan benak. Sedangkan Rinan? Dia beda kampus denganku, dan sedang tidak ada tugas pula. Iseng benar dia datang kesini. Sejak tadi, kerjaannya hanya asyik bermain gitar dan mencuri wifi kamarku. Cih.
Butuh waktu sampai dua jam untuk menyelesaikan dua puluh lembar hasil ocehan Sunu dan sedikit intisari jurnal hasil kerja Albert. Sementara aku? Hanya duduk dan menjadi sekretaris mereka. Mereka tak banyak bicara soal peranku karena hari ini aku yang jadi tuan rumah. Coretan yang antah berantah ini kujanjikan untuk selesai dalam bentuk ketikan esok hari. Mereka hanya tahu jadi. Setelahnya, tak banyak membuang waktu, Albert dan Sunu langsung angkat kaki dari kostku. Alasannya karena takut begal kalau terlalu malam. Kupikir, mana ada begal beroperasi sambil memakai jas hujan?
Tinggallah aku dengan Rinan, berdua. Sebenarnya dia juga ingin secepatnya pergi bersama Albert dan Sunu, tetapi mengurungkan niat karena malas basah-basahan. Ia berujar kalau sebelum jam 12 malam, hujan akan berhenti. Terserah, mau menginap pun tak apa sih, Nan. Tak ada yang peduli dengan siapa yang kubawa ke kamar, selagi tidak mengganggu. Kostku mirip apartemen mini dengan dua blok terpisah, satu blok berlantai empat dengan sepuluh kamar di tiap lantainya. Satpam disini juga tak mau repot-repot menyatroni satu persatu kamar. Intinya, bebas saja. Kukira, hampir semua penghuni kost disini pernah menginapkan tamunya yang mampir.
*
Tiga puluh menit sudah berlalu. Aku masih belum memulai apa-apa dengan laptopku, masih mencari-cari ilham untuk memulai segalanya. Entah, rasanya sedang malas betul. Aku lebih memilih bergelayut manja dalam selimut dan berselonjor di atas sofa. Kalau aku sampai tertidur, setidaknya masih ada beberapa jam di pagi besok untuk menyelesaikan ketikan paper ini.
“Astari…”
Aku tergerak, Rinan memanggilku dari pojok dapur.
“Do you want Java Robusta or Aceh Gayo?” ujarnya.
Seperti biasa, dia si rajin, yang kini membuatkanku hal yang begitu kubutuhkan. Bahkan, dia juga tadi ikut membereskan buku-buku yang terserak di lantai dan menyusunnya dalam rak seperti semula.
“Aceh Gayo, please,” 
Dia pandai sekali meracik kopi. Sedikit banyak aku tahu, bahwa kelihaiannya itu diwariskan turun-temurun dari keluarganya yang asli penanam kopi. Beberapa referensi kopi tentang kopi bubuk ia beritahu padaku dan sudah jadi stok utama di lemari dapur. Aku tidak terlalu sering sih minum kopi, tapi sepertinya ini waktu yang tepat untuk menyeruputnya. 
“Kopi spesial buat mami koosstt,” ujar Rinan sumringah.
Minuman hangat itu mendarat persis pada meja di hadapanku. Dua cangkir kecil kopi Aceh Gayo yang pekat sungguh menggoda. Harum ranumnya menggugahku. Rinan memang tak pernah gagal soal urusan meracik kopi.
“Thanks a lot, Nan. Lu emang terbaik, deh,”
“Ah biasa aja,” ucapnya terkekeh. “Gimana udah beres?”
“Belum nih, lagi males duh. Untung lu niat bikin kopi, jadi lebih hangat,”
“Okay, then. Ada yang bisa gue bantu?” tawarnya.
“Emang ngerti tentang psikoanalisis?” ujarku mencubitnya. “Baca tuh buku-buku gue, bagus loh. Mahal gue beli, beberapa dipesen bokap dari luar negeri,”
“Yang mana, di rak ini?” ia menunjuk rak kecil paling kanan bawah, lalu menunjuk salah satu buku. “Sigmund Freud, gak asing sih,”
Rinan menyeruput kopinya dengan santai. Berselang semenit, ia sibuk membolak-balik buku yang ada disana. Bersila, ia seperti sedang berperan sebagai pustakawan. Kulihat, buku yang paling lama ia baca berjudul Personality Theories karya George Boeree. Makin malam, anak ini malah makin antusias dengan rak bukuku, sementara aku malah meringkuk bosan membaca coretan Sunu yang miring berantakan.
“Rajin amat baca bukunya, Nan. Gue jadi malu deh…”
Kuseruput kopi di cangkirku sampai tandas. Kepalaku rasanya lebih segar.
“Kalau lu mau, main aja ke perpus gue. Disana banyak buku gituan,” ujarku, sambil meregangkan tangan untuk bersiap mengetik. “Udah lama sih gue ngga ke perpus. Males kalo gaada temen, hahaha”
“Yaelah, elunya aja sibuk ama eksperimen pacaran lu itu,” tukas santainya.
Aku tersedak. “Eh, sialan. Gue udahan, ya. Huuu,” sergahku. “Cukup si Tarra aja terakhiran. Gamau lagi gue, kapok,”
Rinan tertawa sambil mendekatiku. “Yakin niih, seorang Astarivera bakal jadi cewe sepenuhnya? Ngga jadi kecowo-cowoan lagi?”
Ia sepertinya sengaja mengacak-acak rambutku yang kini sudah panjang sebahu. Tapi, entah kenapa, kubiarkan ia melakukannya. Tanpa sadar, ada desir lain yang ganjil dalam hatiku. Entah.
“Kopinya udah kan? Sini gue bersihin,” Ujar Rinan sambil beranjak.
“You are the nicest guy I’ve ever known,” Kali ini aku memujinya dengan tulus.
“Nahh. Just doing what I should do. Kalau perlu, seisi apartemen elu ini gue yang bersihin,” ucapnya tersenyum. 
*
Aku sudah cukup lama kenal dengannya, Adrinandi, seorang pemuda Tumblr yang kukenal lewat gathering hampir empat tahun lalu. Aku masih ingat betul apa yang membuatku sampai saat ini terikat dengannya ; hanya karena sebuah jepitan rambut berwarna ungu ini. Waktu itu, entah kenapa aku merasa sangat menginginkan jepitan rambut baru. Eh, tak disangka, keinginanku terkabul di sore harinya. Kado dari seorang lelaki ini, yang membuatku sangat berpikir hal yang aneh bahwa adakah hal yang spesial darinya? Waktu itu aku tak tahu. Tapi ternyata, hal itulah yang membuat kami tidak memberikan ekspektasi apa-apa sehingga waktu perlahan merajut persahabatan ini. Setidaknya, begitulah yang kami rasa sampai saat ini. Kedekatan yang mungkin cukup memiliki jarak sehingga tak bisa dibilang ‘lebih dari ini’. Well, bagaimanapun aku bersyukur mengenali lelaki ini. Sosok yang bisa dibilang cukup idealis dan taktis. Berbeda 180 derajat denganku yang oportunis dan random, dia melengkapiku betul. Banyak temanku yang menyangka bahwa aku pacaran dengannya, dan aku cuma bisa tertawa menyangkalnya. Setidaknya, bertahun kenal dan bersama, aku merasa tak sedang menumbuhkan bibit rasa apa-apa.
Menurutku, Rinan adalah tipe lelaki yang manis. Dapat dikatakan dia tipeku, meski bertubuh tak terlalu tinggi dan cukup ringkih untuk kategori lelaki yang kusuka. Yang berbeda dari kami hanyalah soal keyakinan saja, sisanya aku tak ambil peduli. Tulisan di Tumblrnya bagus dan aku suka, meskipun jalan ceritanya selalu soal masa lalu. Aku merasa bahwa dia sedang menyublimasi kisah masa lalunya ke dalam bait-bait paragraf yang dia unggah hampir setiap hari. Meski begitu, ia tak mau menceritakan soal kisah cintanya dengan utuh. Hanya samar kudengar nama perempuan bernama Alya yang pernah menjadi seseorang yang menghiasi hidupnya dua tahun terakhir. Barangkali, dia yang bernama Alya itu menjadi pemicu ruang jeda yang dingin dalam hidup Rinan. Semenjak itu, ia menjadi lelaki yang cukup skeptis soal hubungan percintaan.
Sementara aku? Jadi antitesisnya. Aku seringkali gonta-ganti gebetan demi menghilangkan dahagaku tentang karakter lelaki. Gila memang, pemaknaanku soal ini menjadi semacam fetish untuk tahu lebih banyak soal lelaki, bagaimana cara mereka berpikir dan memperlakukan genderku. Entahlah, apakah aku naif dalam menghayati latar belakang pendidikan psikologiku? Buatku, itu adalah bagian dari eksperimen yang membuatku harus total menceburkan diri. Beberapa lelaki membuatku terkesan, beberapa lelaki lain membuatku terheran.
Dan sosok Rinan adalah malaikat penolong yang seketika bisa menolongku dari sesak napas akibat terlalu lama menceburkan diri dalam eksperimen itu. Dia menjadi tempat aku bercerita, berkeluh kesah, sekaligus bounce back ke dalam logika berpikir taktis. Aku juga masih perempuan, yang selalu kebanjiran soal perasaan. Tetapi, bersamanya, aku jadi lebih tegak entah kenapa. Ibaratnya kalau dalam bahasa catur, kelakuanku ibarat sebuah peluncur yang bisa kesana kemari, sedangkan Rinan seperti menjaga raja dan menteriku dengan berposisi sebagai benteng yang diam tak kemana-mana tetapi sigap dan selalu ada. Terbaru, adalah soal Tarra. Baru disana rasanya aku merasa patah hati oleh lelaki yang aku suka. Rinan, adalah ksatria berkuda hitam yang selalu menjemputku saat malam gelap dan mengantarku pulang sebelum matahari menjelang. Ia adalah bagian penting dari titik-titik penting caraku memahami lelaki. Aku cukup memiliki simpati dengannya dan merasakan degup yang berbeda beberapa kali saat bersamanya. Tetapi ia berkata, bahwa aku bukanlah tipenya, sialan memang.
Apakah aku harus menjadi ‘perempuan normal’ agar aku bisa menaklukkan dia? Tidak, aku merasa tak ingin menjadikannya kelinci percobaan nomor sekian. Ia adalah lelaki yang sebaiknya tak kusentuh, kecuali bila aku sudah terlalu bodoh mengenali perasaanku sendiri. Dia adalah sosok hening yang sedang menyembuhkan luka, yang aku tak tahu entah itu sedalam apa.
**
Kuseruput diam-diam kopi miliknya yang masih tersisa di atas meja. Lalu, ada perasaan lain ketika aku membaui harum yang perlahan menggetarkan erosku, tipikal harum tubuh Rinan yang sepertinya sengaja menempel di cangkir itu. Sesaat, aku merasa menjadi wanita paling seksi. Tiba-tiba segalanya menjadi serba romantis. Meski kucoba berpikir lebih jernih, nyatanya aku membiarkan hasratku yang mengambil kendali. Sesaat, aku bahkan berfantasi dengan memandangi bagian tubuhku sendiri. Bagaimanapun, aku adalah manusia yang kadangkala memiliki hasrat terpendam yang kini menyala-nyala. Suasana dingin yang menggigit mendukung otak bagian hipotalamus-ku untuk mencari-cari sesuatu yang bisa menghangatkan malam ini. Tentu, tak cukup hanya secangkir kopi.
“Adri, have you finished? Come here quickly,”
Tak sampai semenit, aku sudah melepaskan sweaterku. Meski sempat ragu, aku akhirnya takluk pada hasrat yang perlahan mendidih ini. Aku seperti rindu oleh hal yang entah apa, dan sesaat timbul nama Rinan sebagai jawabannya. Belum ada lagi lelaki yang merengkuhku dan membawaku ke nirwana. Bila kali ini orangnya adalah Rinan, maka aku takkan enggan. Meski cukup misterius, kurasa Ia tak akan mengecewakanku malam ini. Aku percaya bahwa ia berlaku se-gentle sikapnya. 
“Wait for a minute. Tumben banget sih, haha. Mau ngusir aku ya?” katanya sambil tergelak, dari arah dapur.
“I’ll give you a present. Come here. Oh, take me a muffin also. Di dalam lemari ya, di pinggir kulkas,”
“Okay, Tari,” tukasnya.
-
Langkah kaki Rinan mulai menujuku di ruang sofa. Aku melihat sekelebat bayangnya yang berjalan perlahan sambil membawa nampan berisi chocolate muffin. Sementara aku sudah setengah tak berpakaian, bagian bawahnya sengaja tak kulepaskan agar menjadi bagiannya nanti. Kue muffin akan menjadi pemanis penghujung malam yang kupastikan berakhir dengan hangat.
Rinan, menurutku adalah lelaki biasa yang takkan menolak ajakan wanita sepertiku. Kupandangi Ia dengan senyum mengembang, berharap ini akan tuntas sebagaimana mestinya.  Namun, seketika Ia memekik dan terdiam dalam keheranannya. Sekilas kupandangi matanya, sama saja seperti lelaki lain yang memiliki nafsu seperti ingin menerkam. Aku percaya, area bagian saku celananya mulai menggeliat paksa. Tapi…. Rinan seperti terpenjara atas hasrat manusiawinya sendiri. Lalu aku juga akhirnya terheran dengan pekikannya yang tak biasa, tapi menyelusup ke dalam batinku seketika,
“For God’s sake, Rivera! Ngapain lo kaya gini?”
“Come on, Adam. Tonight, I’m yours. Bite me like a man should do,”
Rinan mendekatiku perlahan, ragu-ragu. Aku merasa ada pertentangan batin dalam dirinya. Diluar sikapnya yang manis, aku percaya bahwa ia juga manusia biasa. Aku kini merayunya dengan bersitatap tanpa kata. Mencoba membuatnya bungkam, merengkuhnya, lalu sama-sama tenggelam.
Tapi, ia duduk disampingku dengan tatapan nanar. Penolakan dari dalam dirinya terasa olehku. 
“Are you…..a gay?”, tanyaku lugas.
“Hell no. What are you thinking about?”, balasnya dengan gusar.
“Jangan awkward ginilah, Nan. I’m okay with this. Is this your first time?”
Aku lalu mendekatinya perlahan, lalu memeluknya. Berharap iblis dalam dirinya adalah yang menang. Aku sudah kadung begitu berhasrat. Takkan kusumbat lagi hormonku yang sudah terlanjur meluap ini. Rinan seketika terdiam ketika kupeluk. Ada semacam genderang degup yang sama-sama beradu dalam dada kami. Hanya saja, ia berpakaian, sedang aku tidak. 
“Astari, ngga! Please. Give me some air,” Ia menolak pelukanku selang beberapa detik.
“Why, Nan… you don’t like me?”
“No. It’s not about that. Lo ngga akan ngerti..”
“Ngga ngerti apa atuh, Nan? Gue benar-benar lagi kepingin,” giliranku yang jadi gusar.
“Maaf, tapi gue ngga bisa. Susah ngejelasinnya,”
Aku hanya terdiam. Menunggu kelumit bibirnya yang bahkan bergetar pun tidak. Menunggu sebaris kata yang mampu membuatku tak menjadi gusar karenanya. Aku sadar bahwa aku bukan perempuan murahan, tapi aku rasa bahwa sikapku kali ini adalah sebagai bentuk hadiah untuknya. Apakah Rinan sepertinya masih tersangkut sekat mitos, budaya, atau agama?
Tumblr media
Aku hanya menutup diriku dengan selimut. Menunggu penjelasan darinya. Nafsuku ibaratkan bara sekam yang sudah tersulut api, tiba-tiba Ia datang memadamkannya dengan seember air es. Aku lalu kehilangan hasrat, terdiam dalam manik-manik waktu yang seakan melambat, sementara Rinan hanya menggosok-gosokkan telapak tangannya ke wajah. Kurasa ia juga sedikit berkomat-kamit, mungkin berdoa dengan lamat-lamat.
“Gue pengin cuci muka dulu. Pakai bajumu, Ver,” ujarnya, masih bernada ketus menuju wastafel. Aku tahu, ketika dia sudah memanggilku dengan nama Rivera, berarti sesuatu sudah jadi biasa.
“Iya gapapa. Ntar jelasin tapi ya,”
Aku sudah berpakaian lengkap ketika Ia datang dengan wajah yang kembali cerah. Setidaknya, dari perilakunya, Ia seperti mencoba amnesia dengan kejadian beberapa menit yang lalu. 
“Kenapa? Kamu lagi ngga pengen ya? Tumben, lelaki loh kamu,” rayuku. Kali ini aku serius memanggilnya dengan frasa ‘aku-kamu’.
“Bukan, bukan itu,”
“Terus, apa? Aku bukan tipemu, gitu? Am I not hot enough for you?”
“You frekking insane, Rivera. It’s not about that. Kamu pasti gak akan terima kalau kuceramahi soal agama,”
“Oh, jelas. Aku ga  percaya ama Tuhan,” ujarku mantap.
“Kalau begitu tak ada alasan lain yang bisa kupaparkan. Semuanya sudah jelas. Kita hanya berbeda prinsip,”
“Uhuh. Just that?”
“Well, that is the point. Bagaimanapun, aku ngga bisa lebih banyak berdebat tentang itu. Budaya kita memang beda, Ver,”
“Oke, Nan. Kalau caraku tadi melanggar budayamu, aku mungkin bisa terima. But, this is sex, as you know that sex is universal! How could you possibly refuse me?” sanggahku berapi-api.
“Cuman berbeda sudut pandang, mungkin. Aku hanya mencoba konsisten dengan prinsipku. Meski harus kuhormati perspektif yang memandang seks dalam konteks kebebasan, tapi maaf, aku tidak menganut itu,”
“Gue ngga paham lagi Nan sama lu,” ketus, seketika aku kembali ke mode biasa.
Lalu, kami terdiam beberapa detik. Begitu menyulitkan untuk kami berdua. Untukku, karena harus menanggung malu atas pengorbananku yang sudah setengah tak berpakaian, bahkan ia tolak mentah-mentah. Juga untuknya, yang harus berperang melawan hasratnya sendiri. 
“Udahlah, lupain aja,” ujarnya sambil menghela nafas panjang.
“Kalau elu begini terus Nan, elu bakalan susah dapat pacar. Kesempatan dengan gue tadi harusnya ngga dilewati.  Elu tuh harus belajar memanjakan wanita,” ujarku berkilah.
“Tahu apa elu soal perasaan gue, Ver?” sergahnya membara. “Gue disini sayang ke elo itu sebagai teman, Ver! Ngga lebih! Ngga mau gue kaya gini…”
“…Gue juga masih terluka, belum bisa buka perasaan. Elu kan udah tahu dari lama, kenapa sih ngga ngasih gue respect dikit?”
Hening, yang sebetulnya sebentar, menderaku seperti sudah bertahun-tahun lamanya. Seketika air mataku meleleh, tanpa sadar. Aku sengaja melukainya, dan tanpa sengaja juga melukai diriku sendiri.
**
Pukul 12 malam lewat. Hujan sudah tak lagi memperdengarkan rintik. Suasana sudah hening, sepertinya segala hal sudah kembali ke peraduannya. Barangkali juga sikap Rinan saat ini jauh lebih tenang.
“I’m so sorry,” Aku memberanikan diri memecah kebuntuan.
“Udahlah, Ver. Gue ngga mau ngomongin itu lagi,” ucapnya lurus. “Gue juga minta maaf, mungkin gue tadi keliatan seksi banget ya di mata elu,”
Secepat mungkin, ia kemas charger handphone dan dompetnya yang ada di lantai. Sementara, aku cuma menguwel-uwel lengan sweaterku. Aku kesal sekaligus gemas padanya, tapi tak ingin membantah.
“Jadi, elu belum pernah making love sebelumnya?”
“Belum. Digoda separah itu aja baru tadi,”
“Little shit. Gue masih heran ke elu, Nan.  Also, my cupid wasn’t working well tonight, padahal gue udah setengah telanjang di depan elu,”
“Gitu ya? Gue bahkan punya dua malaikat dibanding cupid lu itu. Dua-duanya ada di pundak kiri dan kanan gue nih,”
Ngomong apa dia? Aku tak mengerti, sementara ia hanya terkekeh.
“Buat gue, kalau peristiwa tadi itu bukan making love, Vera. Diantara kita mungkin ngga ada perasaan, cuman hasrat sebentar. Cuma beberapa saat dan kemudian dilupakan. Ngga ada cinta disana. Elu masih percaya apa itu cinta, kan?”
“Maybe,”
Sejenak aku lalu teringat Tarra yang meninggalkanku tanpa berat hati, mungkin karena dia tidak merasakan cinta dariku.
“Gue sih mau melakukannya, kalau memang didasari oleh cinta. Karena gue rasa, cinta itu tak hanya sekadar eros, Vera. Bukan hanya dorongan untuk melampiaskan, tapi juga bertanggungjawab dan menghargai sebuah pengorbanan,” tukasnya.
Aku terdiam. mencoba untuk mengunyah padanan makna yang ia sampaikan, mencoba merunutnya dalam pikiran yang lebih jernih. Secara spontan, terbit rasa kagumku terhadap sikapnya. 
“Udahlah, gue pulang ya, Ver. Anyway, to be honest, you were so damn hot! Tapi gue lebih kagum ke elu kalau berpakaian elegan, hehe”
Aku mengernyitkan bibir. “Gue ngga butuh pujian elu, Nan. Udah, pulang sana,”
“Haha, siaap cyin,” Secepat musang, ia melompat menuju gagang pintu. Sejenak melihat kepadaku yang masih tergugu di atas sofa. 
“Hei, jangan kasih tau siapa-siapa ya cerita ini!” teriakku.
“Tenang saja, gue bukan orang yang bocoran kok, I’ll keep it a secret,”
“Yaudah. Hati-hati. Bener-bener dingin loh diluar. Ngga mau nginep disini aja?” Godaku, meski tak berniat merayu.
“Ngga ah, nanti gue malah ngga bisa tidur kalau sama elo disini,” Ia terkekeh. “Jangan lupa, workpapernya diketik. Besok masuk kelas jam 12 siang kan? Sebelum matahari terbit udah bangun ya!”
“Iya, bawel. Dah, sana,” aku mengibaskan tangan ke arahnya.
“Okay. Bye Rivera. Sleep well,”
“Take care, Rinan,”
Gagang ditutup. Ia telah pergi dengan meninggalkan kesan yang aneh pada diriku. 
Masih berselimut, aku mencoba menerka-nerka pelajaran hidup apa yang baru saja terjadi. Tentang sosok seorang teman lelaki yang sudah seperti kakak, yang tiba-tiba membuatku ingin memberikan diriku padanya, tetapi ia tolak. Aku kembali berhadapan dengan sentimen prinsip, moral dan budaya yang berbeda dari orang yang kutemui. Lalu tiba-tiba ia menceramahiku soal cinta, padahal melakukannya saja ia belum pernah. Ia masih berpegang pada prinsip yang menurutku ilusi, setidaknya untuk hal universal seperti seks.
Ah, sudahlah. Aku tak mau banyak memikirkannya. Lagipula, tak baik memaksakan standar hidup dan menyamaratakannya dengan perdebatan tak berujung. Meski begitu, aku salut terhadap pria sepertinya, mampu untuk membawa diri sesuai dengan apa yang dianutnya. Aku menaruh respek terhadapmu, Rinan.
Dan… kata yang terngiang di hatiku sejak tadi adalah.. cinta tak sekadar eros. Sepertinya memang, ia benar soal ini. Mungkinkah selama ini aku hanya bersandar pada nafsuku yang manusiawi ini? Entahlah. Aku saja tak bisa berpikir, apakah nantinya aku harus menikah? Aku masih skeptis soal cinta, setelah terakhir ini Tarra yang mencampakkan harapanku. Atau apakah aku harus berubah menjadi wanita normal yang tampak baik-baik?
Sudahlah. Yang kulakukan sekarang bagusnya berselimut sambil menghabiskan regukan terakhir kopi milik Rinan yang sudah mendingin. Lalu terpejam. Melupakan semuanya.
.
Bersambung...
Bandung, 25 April 2020
Cerita sebelumnya disini 
36 notes · View notes
nwolcdas · 4 years ago
Text
Implementasi Jung Theory dalam "Karakterisasi Karakter" Cerita Fiksi
"Tulislah apa yang kamu suka. Bukan apa yang orang lain suka."
Bisa dibilang, ungkapan di atas berbau sangat idealis. Tapi saya salah satu penganutnya. Alasannya sederhana : kita tidak bisa memenuhi ekspektasi kesukaan seluruh umat manusia. Tidak cuma dalam kehidupan nyata, tapi juga sekedar dalam tulisan dan cerita. Daripada mengejar mata, kenapa tidak mengejar cita saja?
Dalam menulis cerita, hal terpenting selain plot adalah karakter alias penokohan. Saya menggunakan teori Carl Jung untuk membuat kategorisasi tokoh-tokoh dalam cerita saya. Mungkin ada juga yang tidak serumit saya dalam merumuskan karakterisasi tokoh cerita, banyak kok orang diluar sana yang bisa memahami basic karakter manusia tanpa landasan teori saintifik manapun.
Tapi, saya tidak demikian. Menurut saya, menggabungkan teori sains ke dalam hal-hal yang penuh abstraksi terasa seperti karya seni. Abstraksi itu hal yang seperti apa? Ya... salah satu contohnya seperti "karakterisasi karakter" pada cerita fiksi.
Dalam teori Carl Jung terkait psikoanalisis, setiap orang memiliki delapan fungsi kognitif. Fungsi kognitif ini sejenis kecenderungan individu saat mereka mengambil-mengolah-dan menginterpretasikan informasi yang didapatkan oleh otak mereka.
Kedelapan fungsi kognitif itu, empat diantaranya adalah fungsi primer, empat sisanya disebut sebagai fungsi bayangan alias shadow. Urutan fungsi dari pertama sampai terakhir, menggambarkan urutan seberapa sering seorang individu menggunakan fungsi tersebut dalam menunjang proses mental dan kognitif di dalam otaknya.
Delapan fungsi kognitif dalam teori psikoanalisis Carl Jung adalah :
Thinking ekstrovert (Te) -> fokus pada efektivitas dan efisiensi dalam bertindak dan mengambil keputusan
Thinking Introvert (Ti) -> fokus pada efektivitas dan akurasi dalam bertindak dan mengambil keputusan
Feeling ekstrovert (Fe) -> fokus pada harmoni, keselarasan, dan moral universal dalam bertindak dan mengambil keputusan
Feeling intovert (Fi) -> fokus pada nilai-nilai pribadi, ekspresi pribadi, dan idealisme dalam bertindak dan mengambil keputusan
Intuitif ekstrovert (Ne) -> fokus pada pola, simbol, hubungan antar informasi, dan kemungkinan-kemungkinan (probabilitas) abstrak saat melakukan sintesis informasi
Intuitif introvert (Ni) -> fokus pada pola, abstraksi, hubungan antar informasi, dan masa depan saat melakukan sintesis informasi
Sensing ekstrovert (Se) -> fokus pada momen, keadaan fisik, dan kemungkinan-kemungkinan realistis saat melakukan sintesis informasi
Sensing introvert (Si) -> fokus pada pengalaman, masa lalu, dan komparasi informasi yang realistis saat melakukan sintesis informasi
Delapan fungsi kognitif itu tidak berdiri sendiri. Misal, dalam cerita fiksi yang saya buat, saya mengambil tokoh utama dengan urutan fungsi kognitif primer : Ni-Te-Fi-Se dan urutan fungsi kognitif shadow : Ne-Ti-Fe-Si. Artinya karakter tokoh saya itu akan sejenis ini :
Seseorang yang punya bakat alami untuk menghubungkan pola-pola abstrak dalam setiap informasi yang dia dapatkan, fokus pada sesuatu yang akan terjadi di masa depan, hobi membuat rencana, dapat bertindak efektif dan efisien, memiliki pendirian dan nilai-nilai pribadi yang dipegang dengan sangat teguh.
Kelemahannya, dia tidak suka inkompetensi, perfeksionis, standarnya super tinggi, tidak mementingkan harmoni alias perasaan orang lain, tidak suka tradisi, dan sering mengabaikan kesehatan/keadaan tubuhnya dengan dalih bekerja keras.
Yeah. Sebenarnya tulisan ini hanya overview saja. Tentang bagaimana menuangkan teori saintifik ke dalam penokohan manusia. Gunanya apa? Penulis jadi tau bagaimana membuat karakter yang masuk akal (banyak sekali orang yang membuat cerita dengan karakter manusia yang nyaris sempurna macam Dewa. Sudah karakternya tanpa cela, fisiknya cakep, dan sebagainya).
Selain itu, dengan mengimplementasikan teori psikoanalisis carl Jung dalam cerita, penulis juga punya cara yang masuk akal untuk membuat tokoh merasa terpojok, membuat tokoh merasa bahagia, dan mengembangkan karakter tokoh cerita tanpa scene-scene yang berlebihan/nggak masuk akal.
Nah, saya sendiri pengguna fungsi kognitif primer : Ti-Ne-Si-Fe. Dan fungsi kognitif shadow : Te-Ni-Se-Fi. To be honest, diam-diam saya melakukan riset kualitatif terhadap implementasi fungsi kognitif orang-orang disekitar saya, and that is really funny af.
Darimana saya tau fungsi primer saya Ti-Ne-Si-Fe? Hehe. Diskusi semacam ini nggak akan saya lakukan via tumblr. Ini cuma sejenis overview untuk kalian yang mungkin berminat mendalami karakterisasi karakter manusia. Entah untuk merumuskan karakter dalam cerita fiksi, atau untuk landasan teori saat sekedar iseng mengamati cara berpikir orang-orang.
0 notes