Tumgik
#Pritagita Arianegara
nelyastudies · 2 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Adinia Wirasti in Mendua (2022-2023) dir. Pritagita Arianegara
2 notes · View notes
raditherapy · 8 years
Photo
Tumblr media
REVIEW PENDEK SALAWAKU
Ketika kebanyakan film Indonesia belakangan ini sedang gemar-gemarnya mengajak jalan-jalan ke luar negeri, SALAWAKU justru menarik tangan saya untuk menikmati keindahan bagian timur nusantara, tepatnya ke Pulau Seram, dimana nantinya saya akan bertemu dengan Karina Salim yang sedang galau dan Elko Kastanya yang sedang mencari sang kakak.
SALAWAKU, tak sekedar menawarkan koleksi gambar-gambar pemandangan yang indah, berkat kepiawaian seorang Faozan Rizal dalam menciptakan sinematografi yang menghipnotis, saya serasa sedang menginjakkan kaki di sana dan menghirup udaranya yang menyegarkan. Visual cantik tersebut membuat mata saya nyaman, selagi saya pun asyik menikmati perjalanan bersama Salawaku, Saras dan nantinya Kawanua.
Meski SALAWAKU sebetulnya masih bisa lebih dieksplor, terutama pada karakter-karakternya, Pritagita Arianegara setidaknya sudah cukup berhasil dalam membangun kisah yang membuat saya peduli. Pritagita membuat saya bisa ikut merasakan apa yang karakter-karakternya rasakan, begitu mudahnya saya terkoneksi dengan mereka, tentunya didukung oleh keapikan Karina Salim dan kawan-kawan dalam melakonkan peran mereka.
Sebuah road movie yang memunculkan ragam rasa, dari manis hingga pahit, membuat saya tertawa sekaligus juga tersentuh. Jika hidup katanya tentang meninggalkan dan ditinggalkan, maka SALAWAKU meninggalkan kesan yang menyenangkan, terutama ketika mengingat chemistry gokil antara Saras dan si Salawaku yang pemarah dan tidak sabaran itu (3.5/5).
0 notes
ilmarfhazhra9e · 2 years
Text
Laut Bercerita
adalah novel karya penulis asal Indonesia bernama Leila Salikha Chudori. Ia juga merupakan seorang wartawan di majalah Tempo. Novel terbitan tahun 2017 ini, mengangkat tema persahabatan, percintaan, kekeluargaan, dan rasa kehilangan. Dengan berlatarkan waktu di tahun 90-an dan 2000, novel ini mampu membius para pembacanya untuk menerobos ruang masa lalu dan kembali melihat peristiwa yang terjadi di tahun yang bersangkutan.
Dengan kata lain, novel setebal 394 halaman ini, mengingatkan para pembacanya akan era-era reformasi di tahun 1998 yang bernas akan kepahitan dan kekejaman bagi para pembela rakyat. Leila selaku penulis memang menegaskan bahwa novel ini hanya historical fiction, tetapi ia menulis berdasarkan pada fakta yang ada. Hal itu karena sebelum Leila mulai menulis novel ini, ia melakukan riset wawancara terlebih dahulu secara langsung pada korban yang berhasil kembali atau kerabat korban.Tidak hanya itu, sang penulis juga mengaku bahwa ia memerlukan penyelidikan mendalam terkait karakter dari tokoh-tokoh yang ada, tempat serta peristiwa yang sudah berlalu. Berdasarkan hal-hal itulah yang membuat novel ini seakan hidup saat dibaca. Kemudian, untuk menyelesaikan novel ini, kurang lebih memakan waktu 5 tahun. Menariknya, novel ini berhasil digarap ke dalam bentuk film pendek yang berdurasi kurang lebih 30 menit dan disutradarai Pritagita Arianegara.
Cerita dalam novel Laut Bercerita terbagi menjadi dua bagian dengan jarak waktu yang jauh berbeda. Adapun bagian pertama diceritakan melalui sudut pandang tokoh bernama Biru Laut beserta para kawan sesama aktivisnya seraya menyelesaikan visi atau tujuan mereka. Sementara pada bagian kedua, kisahnya diambil dari sudut pandang Asmara Jati, adik dari Laut yang mempunyai tujuan atau visi yang cenderung berlainan dengan Laut.
1 note · View note
kepoinus · 5 years
Text
Potret Perjuangan Kaum Marginal Memperoleh Pendidikan
[ad_1]
Tumblr media
Kepoin.us…
JAKARTA– Film bergenre drama musikal karya Pritagita Arianegara bertajuk Surga di Bawah Langit telah menjalani proses syuting sekitar September tahun lalu di sebuah lokasi tempat pembuangan sampah terpadu (TPST). Film yang akan tayang untuk menyambut Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional pada 1 dan 2 Mei itu mengusung pesan sederhana soal pentingnya pendidikan bagi anak-anak…
View On WordPress
0 notes
saldaily-blog · 6 years
Text
Tiga Babak Kerinduan dalam Film 'Laut Bercerita'
Tiga Babak Kerinduan dalam Film ‘Laut Bercerita’
Judul Film                   : Laut Bercerita
Produser                      : Wisnu Darmawan, Gita Fara
Sutradara                     : Pritagita Arianegara
Penulis Naskah           : Leila S. Chudori
Pemeran                      : Reza Rahadian (Biru Laut), Ayushita Nugraha (Asmara), Dian                                                     Sastrowardoyo (Anjani)
Produksi                      :…
View On WordPress
0 notes
cerminganda · 7 years
Text
Bahasa Kids Zaman Now
Beberapa pekan ini saya tengah senang menonton drama produksi dalam negeri setelah jenuh dengan drama korea yang romantis dan begitu-begitu saja. Sebuah drama dengan sedikit bumbu fantasi yang ditayangkan daring. Drama berjudul Switch yang dibintangi Karina Salim, Tatyana Akman, dan Morgan Oey ini tak kalah menarik dari drama atau serial impor. Tapi saya tidak akan bercerita tentang drama tersebut di sini, lain kali saja kita bahas sembari minum kopi dan duduk santai menikmati matahari yang nyaris terbenam. Mini seri 13 episode itu mengingatkan saya akan 28 Oktober. 89 tahun lalu para pemuda membuat keputusan penting yang menjadi cikal bakal NKRI. Sumpah Pemuda. Kita semua tentu ingat. Lalu apa hubungannya dengan drama yang saya tonton tadi?
Drama yang ditulis salah satunya oleh Nia Dinata, salah seorang sutradara dengan segudang pengalaman dan karya bagus itu seolah mengajak saya untuk kembali merenungi sampai di mana penguasaan dan juga penghargaan saya terhadap bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan para tokohnya benar-benar kekinian, bahasa kids zaman now. Tentu jauh dari bahasa yang digunakan para pemuda bangsa ini 89 tahun lalu yang telah berpayah-payah, berkumpul melipat jarak untuk sampai pada keputusan berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu: Indonesia. Lalu kita dengan segala kemudahan teknologi komunikasi dan informasi menempatkan semua itu di mana? Tanah air, bangsa, terlebih lagi bahasa. Bahasa yang menjembatani interaksi kita sehari-hari dengan dunia di sekeliling kita. Bahasa yang mewakili diri kita, bahasa yang adalah kita.
Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa dunia, kita harus berbangga. Tapi adakah kita benar-benar berbangga? Saya tidak tahu. Tidak benar-benar tahu. Karena ketika menyaksikan drama yang disutradarai Nia Dinata dan Pritagita Arianegara yang menyutradarai film Salawaku itu, saya menemukan bagaimana kita sesungguhnya menggunakan bahasa Indonesia sehari-harinya.
Sadar atau tidak kita telah membuat bahasa Indonesia berselingkuh, bahkan berpoligami dengan banyak bahasa pada penggunaan sehari-hari. Kita meng-kanibal banyak bahasa, lebih sering bahasa Inggris dan bahasa daerah, merajut menyulamnya dengan bahasa Indonesia. Tidak saja di kota-kota besar melainkan pula di kota-kota kecil. Bahkan di perdesaan. Pelakunya adalah kita yang mengaku dan menyebut diri terpelajar ini. Tidak sedikit tokoh masyarakat, pejabat penting, pejabat publik. Seolah ada kebanggaan ketika mampu berbahasa Indonesia yang sedikit-sedikit diselipi atau ditambahkan bahasa asing. Terdengar ilmiah, terdengar intelek, terkesan berbudaya tinggi. Atau sebaliknya dengan bahasa daerah agar terkesan arif, menjaga kelokalan. Di masa yang konon, citra berbanding lurus dengan popularitas dan elektabilitas ini, segala kesan harus kuat nan tegas, dijaga, dibangun, dibingkai, dibungkus untuk kemaslahatan ummat(?)
Itu untuk bahasa lisan. Bahasa lisan memang cenderung bersifat lebih bebas tidak terikat terlalu erat pada kaidah. Tapi tentu itu tidak menjadikan kita begitu longgarnya terhadap bahasa sendiri, bukan?
Baiklah, bahasa lisan memperkaya bahasa. Bahasa daerah di Indonesia yang jumlahnya luar biasa itu, bahasa Inggris, dan beberapa bahasa asing lain seperti Bahasa Arab dan Latin juga banyak diserap menjadi bahasa Indonesia kemudian. Lihatlah betapa kayanya bahasa ini. Dengan penutur aktif yang jumlahnya terus bertambah, saat ini 59 negara sudah menggunakan bahasa Indonesia, menempatkannya sebagai bahasa ke delapan Internasional.
Tapi kita masih kerap gagap menggunakannya, gagal paham ketika menemukan satu dua kata di media nasional. Padahal kata itu tercantum di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kita hanya malas mencarinya, absen membuka, lupa bahwa kata itu ada. Lalu kita berdalih: pada kasus-kasus tertentu seringkali padanannya dalam bahasa Inggris (misalnya) lebih tepat, lebih mengena secara psikologis, secara rasa. Membela diri, menutupi ketidakberdayaan dan ketidaktahuan.
Mungkinkah ini kegagalan pusat bahasa, juga media, menyosialisasikan bahasa sendiri? Haruskah kita melempar salah? Baik, anggaplah begitu. Pusat bahasa dan lembaga-lembaga lainnya yang mengemban tugas mulia ini kurang ramah, kurang populer, bukan selebgram, bukan selebook dan jarang blusukan. Bahasa laksana warga negara kelas dua, atau bahkan pribumi bila berkaca pada masa kolonial, lalu terabaikan.
Tapi mengaku saja, kita juga memang malas. Malas mencari, malas menggunakan. Mengapa? Haruskah ada yang disalahkan lagi?
Literasi. Adakah kata itu memantik sebuah kesadaran? Literasi, seperti halnya tjinta, adalah kuntji penting yang akan menyelamatkan bahasa. Secara sederhana literasi bermakna kemampuan membaca dan menulis, belajar. Melek aksara, melek audio-visual. Di mana posisi kita?
Tahun 2017 ini angka buta aksara Indonesia berada di posisi 2,07 persen atau 3,4 juta orang masih mengalami buta aksara. Angka yang berbeda 1,07 persen dari Amerika itu cukup membahagiakan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Muhadjir Efendy. Lalu jika melihat posisi NTB kita harus bersedih. NTB yang pertumbuhan ekonominya disebut gemilang ini posisinya lebih buruk dibanding NTT, hanya menang dibanding Papua.
Papua dengan segala “ketertinggalannya” boleh berada di posisi paling buntut untuk segala hal, tapi NTB, bumi seribu masjid dengan penduduk 99 persen Muslim yang ayat pertama turun dan dirangkum dalam kitab sucinya adalah iqra’, angka buta aksaranya 7,91 persen? Ayolah, tentu ada yang salah. Mau menelusuri lagi siapa yang salah? Tidak bosan mencari-cari yang salah? Saya sih bosan.
Tapi ada kabar gembira di penghujung bulan bahasa ini. Salah seorang penyair NTB memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa. Adalah Kiki Sulistiyo yang membuat dirinya setara dengan penyair lain yang pernah memenangkan penghargaan ini seperti Joko Pinurbo, Oka Rusmini, juga Gunawan Muhammad. Ya, bangsa ini harus bergembira atas kemengan Kiki dengan puisi bertajuk “Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari”. Itu adalah sinyal positif bagi literasi di daerah ini. Kiki yang juga rajin menebar kegembiraan, suka cita atas sastra ini bisa memercikkan harapan dan inspirasi baru bagi anak-anak jaman now, anak-anak millenial yang lebih gemar menulis dan membaca sosial media dibanding bacaan lain. Tidak salah bersosial media, tapi membaca sosial media kerap hanya sekadar membaca, bukan belajar. Begitulah kegelisahan Pak Menteri Muhadjir. Dan tidak belajar itu berbahaya. Jadi, menengok keberhasilan Kiki, ada cara lain yang bisa digunakan untuk mengekspresikan diri, menunjukkan eksistensi yang merupakan bagian penting kehidupan generasi millenial. Dengan begitu tidak saja memelihara bahasa, tapi juga menumbuhsuburkan sastra Indonesia yang belum berhasil meraih kembali kejayaannya di masa lalu dengan karya gemilang.
Tugas berat bila kita hanya meletakkan beban pada kerja seorang Kiki dan komunitas-komunitas pencinta Sastra, atau pada tupoksi pusat bahasa, atau guru Bahasa dan Sastra yang terlalu sibuk mengurus akreditasi tinimbang menulis atau memperbaharui wawasannya, atau pejabat yang direcoki unjuk rasa dan melayani BPK, atau siapapun yang kita anggap lebih bertanggung jawab. Sebagai manusia millennial dengan segala kemudahan, kecepatan, dan akses, mari pulang pada diri sendiri. Mulai dari satu individu terdekat, diri sendiri. Satu orang mungkin tidak bermakna besar, tapi satu ditambah satu ditambah satu ditambah satu dan seterusnya bermakna banyak. Halnya tagar Peringatan Sumpah Pemuda ke-89, berani bersatu, beranikah kita bersatu menjawab tantangan itu untuk membela, menempatkan bahasa Indonesia secara terhormat, seperti seharusnya bahasa itu berada? Sehingga kelak kita bisa mempertanggungjawabkan upaya kita pada generasi berikutnya, juga pada pemuda-pemuda yang telah memperjuangkannya di masa lalu.
0 notes
ghostzali2011 · 7 years
Link
SPORTOURISM-Indonesia Incorporated dalam memajukan pariwisata Indonesia makin yahud. Kali ini Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) memainkan peranannya lewat pembuatan 10 film di 10 destinasi prioritas atau biasa disebut 10 Bali Baru.
Deputi Riset, Edukasi, dan Pengembangan (DREP) Bekraf, Abdur Rohim Boy Berawi mengatakan, sebanyak 10 sutradara dipilih untuk mengerjakan 10 film fiksi panjang yang lokasinya berpusat di 10 tempat wisata prioritas pilihan pemerintah. Seluruh proyek sedang dalam tahap awal dan akan dibawa Bekraf untuk bertemu calon investor dalam forum pendanaan film Akatara 2017.
"Program 10 film berbasis lokasi wisata ini diinisiasi pada Maret 2017 lalu oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI) dan Bekraf. Alasannya tak lain adalah menjalankan misi pemerintah terkait penguatan sektor pariwisata dan peningkatan kunjungan turis asing hingga 2019," ujar Abdur Rohim, Selasa (19/9).
Mereka lantas menggandeng asosiasi sutradara Indonesian Film Directors Club (IFDC) untuk memilih sutradara yang dinilai tepat dengan rencana tersebut. Para sutradara pun dikirim ‪ke 10‬ destinasi tersebut untuk melakukan riset dan menyiapkan cerita yang cocok.
"Mereka menggali budaya dan potensi lokal setempat untuk dijadikan inspirasi dalam pembuatan proyek film mereka. Akan ada sinopsis film yang dibuat dalam bentuk proposal proyek film, yang nanti akan dipresentasikan dalam Akatara," kata Abdur Rohim.
Akatara sendiri adalah program dukungan baru dari Bekraf untuk subsektor Film, Animasi dan Video, berupa forum pendanaan yang akan digelar di Jakarta selama dua hari pada ‪15-16 November 2017‬. Para calon investor potensial diundang untuk menyimak 40 proyek film yang ditawarkan oleh Bekraf.
Proyek film-film berbasis tempat wisata adalah 10 di antaranya Danau Toba (Sumut), Belitung (Babel), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), dan Candi Borobudur (Jateng), Gunung Bromo (Jatim), Mandalika Lombok (NTB), Pulau Komodo (NTT), Taman Nasional Wakatobi (Sulawesi Tenggara) dan Morotai (Maluku Utara).
Seperti diketahui, istilah 10 destinasi wisata Bali Baru pertama dikenalkan oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya, pada 2016 dengan merujuk pada skala prioritas pemerintah. Sebelumnya, Kemenpar mendukung hasil karya anak bangsa seperti film berjudul Trinity: The Nekad Traveler (TTNT) untuk menjadi media promosi destinasi wisata Lampung.
Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara Esthy Reko Astuti mengatakan, film-film yang mengambil latar di destinasi wisata, diharapkan lebih dikenal di kalangan traveler dan mampu mendongkrak kunjungan di destinasi wisata yang disajikan.
“Apresiasi sekali kepada teman-teman Bekraf dan para sutradara. Karena kita tidak bisa bekerja sendiri untuk mengembangkan potensi pariwisata daerah. Film merupakan salah satu media yang tepat untuk berpromosi,” katanya.
Esthy menambahkan, setidaknya ada empat jalur yang dapat mengangkat pariwisata Indonesia yang dilakukan bersama-sama. Konsep ini dikenal academic, bussiness, community, government, media (ABCGM).
“Kita kenal di kementerian itu pengembangan wisata diperlukan peran akademisi, kalangan business, community seperti menggaet traveler blog komunitas film dan lainnya. Dua yang terakhir adalah goverment lewat kebijakan dan rekan media sebagai ujung tombak,” kata dia.
Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, dukungan Kemenpar terhadap film nasional ini karena pariwisata dan film merupakan bagian dari ekonomi kreatif Indonesia yang tidak bisa dipisahkan.
"Kita harapkan film dan pariwisata sangat dekat. Film juga bisa mempromosikan keindahan alam Indonesia," ujar pria asal Banyuwangi tersebut. (*)
Berikut 10 sutradara beserta lokasi dan gambaran cerita film.
1. Lasja Susanto, drama romantis berlatar histori Candi Borobudur, Jawa Tengah 2. Kamila Andini, drama keluarga dengan kultur masyarakat Tengger di Bromo, Jawa Timur 3. Adrianto Sinaga, drama historis di Danau Toba, Sumatera Barat 4. Agung Sentausa, drama tentang perempuan dan gegar budaya di Labuan Bajo, NTT 5. Viva Westi, drama keluarga di Mandalika, NTB 6. Pritagita Arianegara, drama tentang pasangan bulan madu di Morotai, Maluku 7. Paul Agusta, drama komedi keluarga di Kepulauan Seribu 8. Robby Ertanto, drama keluarga di Tanjung Kelayang, Kepulauan Bangka Belitung 9. Yosep Anggi Noen, drama tentang nelayan di Tanjung Lesung, Jawa Barat 10. Kuntz Agus, drama tentang ketakutan perempuan hamil di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.(*)
via SPORTOURISM.ID
0 notes
bersamaproject-blog · 7 years
Photo
Tumblr media
Hey, folks! Here's the inside scoop on Bersama Project's next gig, Women Behind the Screen (https://www.facebook.com/events/193811207798095/):
In her research, including the annual Celluloid Ceiling Study, Martha Lauzen has found that, despite a recent rise in the number of female protagonists in film, the number of women behind the screen is disturbingly low. In 2016, only 7 percent of directors working on the world's top-grossing films were women (down 2 percentage points from the year before), and women only composed 17% of all directors, writers, producers, executive producers, editors, and cinematographers working on Hollywood's top 250 grossing films (http://womenintvfilm.sdsu.edu/…/2016_Celluloid_Ceiling_Repo…).
Why is this a big deal? Not only does Lauzen’s work reveal a limitation on women’s employment opportunities and any film's market reach; it also means that the storytellers of the big screen are feeding filmgoers a one-sided view of the world. And there’s a bigger problem here: A correlation exists between limitations on women’s participation in society and violence against them. Misogyny might be thinly veiled or fully flaunted, depending on the context. But wherever we find a gender gap, we also find a lack of respect and empathy towards women—the hallmarks of a society in which women are more likely to be victims of violence.
As our nearest and dearest know, Bersama Project was founded by two women friends and professionals in the music industry because of our shared restlessness with the sexism and marginalization that we often encounter in our own creative fields, as well as our outrage at the lack of action to prevent gender-based violence in our wider community. But we believe that the creative industries can be the solution to gender inequality, rather than a part of the problem. We are dedicated to confronting violence against women and achieving gender equality through music and the arts.
That’s why we're so excited to join Kinosaurus to take part in the film discussion and screening series, "Women Behind the Screen." We look forward to celebrating outstanding directors like Pritagita Arianegara, as well as critical dialogue on how we can encourage more women to follow her path.
Every human society cultivates music and the arts. They are vital components of human social life. They educate as they entertain, inspire emotional response and empathy, and have the potential to reach large audiences with a clear and repetitive call to action. So let’s create a call to action for Indonesia's film industry: Support gender inclusivity in film, in the name of equity, creativity, AND profitability!
0 notes
michassie · 8 years
Quote
hidup itu cuma tentang meninggalkan dan ditinggalkan
Salawaku, Film by Pritagita Arianegara
0 notes
reviewfilm-blog1 · 8 years
Text
Pesona Keindahan Tanah Maluku, Salawaku (2017)
Pesona Keindahan Tanah Maluku, Salawaku (2017)
reviewfilm.net – review film terbaik – review film terbaru – Hidup itu cuma tentang meninggalkan dan ditinggalkan, itu adalah inti dari seluruh film Salawaku disamping dari fokus menampilkan keindahan Tanah Maluku. Film Salawaku disutradarai oleh Pritagita Arianegara, dan menurut kabar, film ini adalah film perdana buatan Mba…
View On WordPress
0 notes
seputarbisnis · 8 years
Text
Warga Maluku di Sumut Nobar Film Salawaku
Medan (SIB) -Warga Maluku di Sumut, Kamis (23/2), nonton bareng (nobar) film Salawaku di Medan. Ini adalah kesekian kali nobar film tentang Maluku. Dalam rombongan tersebut sejumlah tokoh di antaranya JA Ferdinandus terlibat. "Film yang menginspirasi bahwa Indonesia adalah satu dalam bingkat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," jelas sesepuh warga Maluku di Sumut itu didampingi warga lainnya di antaranya Chelly Siwabessy, Suzy Ferdinandus dari keluarga besar Arisan Kumpul Basudara Medan. Salawaku bagi publik di Sumut sangat familiar karena menjadi nama organisasi pemuda Maluku. Salawaku sejatinya adalah perisai yang digunakan Pahlawan Nasional Kapitan Pattimura dalam perang melawan kolonial. Bahkan, dalam peringatan Thomas Matulessy Patimura, Salawaku kerap dipertontonkan pada publik.   Akan halnya film Salawaku adalah nama tokoh di dalam sineas yang disutradarai Pritagita Arianegara dan diproduseri Mike Julius dan Ray Zulham dengan koproduser George Timothy dan Kristo Damar Alam. Salawaku bercerita tentang perjalanan di Pulau Seram, Ambon, seorang Saras tak hanya terobati oleh hamparan pasir putih, bening kristal laut dan biru cerah langit. Namun, juga oleh pertemuan dengan orang-orang asing yang lalu menjadi tempat becermin sekaligus pengobat luka. Salawaku yang bergenre film perjalanan pada akhirnya tak sekadar film jalan-jalan yang menghibur dan indah, tetapi diam-diam juga kontemplatif. Lebih dalam lagi, lewat sudut pandang anak yang polos, isu besar dan penting sesungguhnya digarap, yakni tentang posisi perempuan yang kerap dalam relasinya dengan laki-laki tidak diuntungkan, tambahan lagi ketika berhadapan dengan adat. Di Festival Film Indonesia 2016, pemain cilik Elko Kastanya - yang mampu menghidupkan karakter Salawaku - diganjar penghargaan sebagai pemain anak terbaik. Cerita berawal dari Salawaku seorang bocah murid sekolah dasar yang agak badung, tengil dan keras kepala. Dia mendadak sebatang kara lantaran ditinggalkan kakaknya. Berbekal rantang berisi ikan dan pisang, Salawaku membelah bening lautan dengan sampannya. Dalam pencarian dan perjalanannya, Salawaku berinteraksi sosial budaya ditampilkan wajar dan diselipi humor. Film digarap dengan biaya minim. Itu sebabnya kru yang terlibat dalam Salawaku ditekan seminim mungkin. Di tengah ketatnya dana dan lokasi syuting di Indonesia timur, pengambilan gambar tak bermanuver dengan drone ataupun track. Semua gambar diambil dari pengalaman wajar mata manusia sehari-hari. Selain memenangi FFI 2016, lapor Kompas.Com, film pun menang untuk kategori pengarah sinematografi terbaik (Faozan Rizal) dan pemeran pendukung wanita terbaik (Raihaanun) serta pemeran anak terbaik (Elko Kastanya). Sawalaku mendapatkan nomine untuk film terbaik, sutradara terbaik, penata musik terbaik, lagu tema film terbaik dan pemeran pendukung pria terbaik. Film itu juga meraih Piala Dewantara kategori Film Cerita Panjang Bioskop dalam Apresiasi Film Indonesia 2016. Berjaya di dalam negeri, Sawalaku diputar perdana di Tokyo International Film Festival pada Oktober 2016 dalam kategori Asian Future. Selain konflik batin,  Salawaku adalah kisah tentang perempuan, keindahan Pulau Seram dan riak ombaknya akan menyusup ke dalam benak. (T/R9/h) http://dlvr.it/NSrR7f
0 notes
seputarbisnis · 8 years
Text
12 Film Indonesia di Februari 2017
Jakarta (SIB) -Ada sembilan film yang mengarungi layar di jaringan bioskop Indonesia kurun Januari 2017. Jumlah tersebut bertambah tiga judul menjadi 12 film pada periode penayangan Februari alias meningkat dua judul dibandingkan periode yang sama tahun lalu. "Istirahatlah Kata-Kata" mungkin bisa disebut sebagai film yang paling banyak diperbincangkan, setidaknya di ranah media sosial. Film arahan Yosep Anggi Noen itu tidak hanya berhasil memantik rasa ingin tahu lebih dalam terhadap penyair cum aktivis Wiji Thukul yang hilang entah kemana, tapi juga menarik perhatian banyak orang untuk mengulas berbagai sisi film tersebut. Mampu bertahan lebih dari sepekan di jaringan bioskop tanpa dukungan dana promosi besar laiknya studio mapan juga merupakan sebuah pencapaian mengesankan. Kebanyakan film yang kadung mendapat label sebagai film festival paling mentok hanya bertahan 3-4 hari karena kekurangan penonton. Ditayangkan sejak 19 Januari, "Istirahatlah Kata-Kata" yang menggunakan judul Solo, Solitude kala menyambangi berbagai festival film internasional meraup 43.542 penonton. "Kalau mau jujur ya, orang pasti enggak menyangka film ini sambutannya seperti sekarang. Ini menjadi keterkejutan bersama. Dan saya ingin menjadi bagian dari kejutan tersebut," ujar Anggi di Jakarta, Jumat, (3/2). Melihat 12 film yang telah mengantre tayang sepanjang Februari 2017, kans untuk melampaui pencapaian Promise dalam hal mengumpulkan jumlah penonton, atau menciptakan bola salju perbincangan lebih besar dibandingkan "Istirahatlah Kata-Kata" masih terbuka lebar. Pada Kamis --hari penayangan perdana film-film Indonesia-- pembuka Februari langsung menghadirkan tiga film; "From London to Bali" (Starvision), "The Chocolate Chance" (Darihati Films dan Fallisto); dan "The Promise" (Applecross Production Indonesia). Film yang disebutkan terakhir bukanlah sekuel dari film "Promise" yang sebelumnya tayang. Ajang penayangan perdana film horor yang dibintangi Cameria Happy Pramita (Mitha) dan Dara Rizki Ruhiana (Dara) dari kelompok "The Virgin" itu terjadi di Bali International Film Festival 2016 (24-30/9). Tiga film lainnya menggelinding pada pekan kedua (9/2), yaitu "Pertaruhan" (IFI Sinema), "Surga yang Tak Dirindukan 2" (MD Pictures), dan "Boven Digoel" (Foromoko Matoa Indah Film). Manoj Punjabi selaku produser optimistis "Surga Yang Tak Dirindukan 2" (SYTD 2) sanggup menorehkan rekor. "Saya merasa ada hikmahnya film ini mundur. Sensasi lebih tinggi, orang jadi penasaran, dan promosi sudah jor-joran. Harapan saya memecahkan rekor tembus sampai 4-5 juta penonton. Saya melihat ada potensi ke sana," ujar Manoj (44). Film "SYTD 2" memang telah tiga kali mengalami perubahan jadwal tayang. Semula direncanakan Lebaran 2016, lantas bergeser menjadi 15 Desember 2016, hingga akhirnya ditetapkan meluncur 9 Februari 2017. Semoga tidak berubah lagi. Sekadar pengingat, bagian pertama film yang dibintangi Laudya Cynthia Bella, Fedi Nuril, dan Raline Shah mengumpulkan lebih dari 1,5 juta penonton saat rilis dua tahun silam. Dari segi genre, variasi suguhan semakin kentara menuju pekan-pekan terakhir Februari. Ragam film yang bisa jadi opsi, antara lain "Generasi Kocak": 90-an vs "Komika", "Gunung Kawi", "Remember The Flavor", "Bukaan 8", "Moammar Emka's Jakarta Undercover", dan "Salawaku". Catatan tambahan untuk "Salawaku". Film tersebut sebelumnya telah mencuri perhatian karena mengantongi delapan nomine dalam ajang Festival Film Indonesia 2016. Tiga Piala Citra di antaranya berhasil mereka bawa pulang, masing-masing untuk kategori Pengarah Sinematografi Terbaik (atas nama Faozan Rizal), Pemeran Pendukung Wanita Terbaik (Raihaanun), dan Pemeran Anak Terbaik (Elko Kastanya). Debut pertama Pritagita Arianegara menyutradarai film panjang itu juga menang di kategori film panjang bioskop dalam Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2016. "Salawaku" menyisihkan "Athirah", "Aisyah": "Biarkan Kami Bersaudara", "Surat Cinta untuk Kartini", dan "The Window". Secara keseluruhan, film-film yang akan muncul di layar bioskop sepanjang Februari 2017 menyuguhkan empat genre; drama, komedi, horor, dan aksi. Lebih variatif dibanding bulan sebelumnya. 1. "From London to Bali" (Sutradara Fajar Bustomi dan Angling Sagaran) | Pemain: Ricky Harun, Nikita Willy, Jessica Mila, Kimberly Ryder, Fico Fachriza, Muhadkly Acho, Kevin Julio, Gary Iskak, Max Palmer, Milena Tunguz 2. "The Chocolate Chance" (Jay Sukmo) | Pamela Bowie, Ricky Harun, Miqdad Addausy, Sheila Dara Aisha, Ferry Salim, Karina Suwandi, Aditya Suryo Saputro, Rahmet Ababil 3. "The Promise" (Bambang Drias) | Dara The Virgin, Mita The Virgin, Ferly Putra, Tistha Nurma Herichan, Tina Astari Sunardi, Fadhel 4. "Pertaruhan" (Krishto Damar Alam) | Tyo Pakusadewo, Adipati Dolken, Aliando Syarief, Jefri Nichol, Giulio Parengkuan, Widika Sidmore 5. "Surga yang Tak Dirindukan 2" (Hanung Bramantyo) | Laudya Cynthia Bella, Fedi Nuril, Raline Shah, Reza Rahadian, Sandrinna Michelle Skornicki, Nora Danish, Kemal Palevi, Tanta Ginting, Muhadkly Acho, Keefe Bazli Ardiansyah, David Chalik, Tasya Nur Medina, Vitta Mariana 6. "Boven Digoel" (FX Purnomo) | Joshua Matulessy, Christine Hakim, Edo Kondologit, Lala Suwages, Ellen Aragay, Maria Fransisca Tambingon, Henry W Muabuay, Ira Dimara, Juliana Rumbarar, Denny Imbiri, Echa Raweyai, Bina Rianto 7. "Generasi Kocak: 90-an vs Komika" (Wishnu Kuncoro) | Adi Bing Slamet, Kadir, Jaja Miharja, Mandra, Afif Xavi, Anyun Cadel, Arafah Rianti, Resti Wulandari, Hj Tonah, Mono Cocok, Emmie Lemu Generasi Kocak 8. "Gunung Kawi" (Nayato Fio Nuala) | Maxime Bouttier, Jordi Onsu, Indra Birowo, Roro Fitria, Roy Marten, Laras Syerinita, Rayn Wijaya, Shyalimar Malik, Yova Gracia, Reymon Knuliqh, Yoes Astawan, Lawra Incha Julia 9. "Remember The Flavor" (Dyan Sunu Prastowo) | Tarra Budiman, Sahira Anjani, Anissa Pagih, Djenar Maesa Ayu, Ferry Salim, Ence Bagus, Verdi Solaiman, Tegar Satrya, Gio, Hakim 10. Bukaan 8 (Angga Dwimas Sasongko) | Chicco Jerikho, Lala Karmela, Tyo Pakusadewo, Sarah Sechan, Dwi Sasono, Dayu Wijanto, Maruli Tampubolon, Melissa Karim, Mo Sidik, Ary Kirana, Deddy Mahendra Desta 11. "Moammar Emka's Jakarta Undercover" (Fajar Nugros) | Oka Antara, Baim Wong, Tiara Eve, Ganindra Bimo, Tio Pakusadewo, Lukman Sardi, Richard Kyle, Nikita Mirzani, Edo Borne, Agus Kuncoro 12. "Salawaku" (Pritagita Arianegara) | Karina Salim, Raihaanun Nabila, Joshua "JFlow" Matulessy, Elko Kastanya, Shafira Umm. (t/R9/d) http://dlvr.it/NHtKWP
0 notes