#Lukisan Awan Sore
Explore tagged Tumblr posts
Text
Dunia ini dipenuhi oleh banyak suara. Suara manusia yang rata-rata berbicara antara seratus sampai seratus lima puluh kata per-menit, suara gajah memanggil kelompoknya, suara gemuruh kendaraan, suara gemerisik daun yang tertiup angin, ombak yang menghempas batu karang, dan banyak suara lainnya yang dapat didengar begitu saja atau suara yang hanya dapat didengar dengan alat bantu. Dan juga, suara yang dapat didengar meski seseorang tidak mengatakan sepatah katapun. Tidak semua suara dia izinkan untuk masuk ke dalam indra pendengarannya. Hanya beberapa yang ingin dia dengar, dan lainnya untuk dia abaikan.
Seperti pada sore menuju malam ini, suara yang terdengar jelas di telinga gadis muda yang sedang duduk di hamparan pasir pantai berwarna putih gading ini adalah suara deburan ombak, gemerisik daun di sekitarnya yang tertiup angin, lalu cuitan burung cikalang kecil yang sesekali terdengar. Dia mengizinkan semua suara itu berpadu menjadi 'suasana pantai kesukaanku'. Dengan memejamkan kedua matanya, dia bisa menikmati saatnya dengan damai duduk di bibir pantai dekat rumah kerabatnya itu. Sendirian, namun tempat itu dipenuhi berbagai macam suara. Mendadak, ia menangkap suara yang berbeda memenuhi telinganya. Seorang pria yang tampak seusianya mulai mengutik gitar dan memainkan sebuah lagu.
𝘒𝘢𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘶𝘪𝘴𝘪 𝘩𝘢𝘵𝘪
𝘋𝘪 𝘬𝘢𝘭𝘢 𝘳𝘪𝘯𝘥𝘶 𝘵𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘦𝘱𝘪
𝘒𝘶 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘬𝘢𝘶 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘬𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘢
𝘏𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘵𝘶𝘱𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪
𝘒𝘢𝘶 𝘴𝘪𝘳𝘯𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘣𝘶𝘵 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘣𝘶
𝘋𝘪 𝘴𝘢𝘷𝘢𝘯𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘤𝘢𝘳𝘪𝘢𝘯𝘬𝘶
𝘉𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘦𝘮𝘣𝘶𝘯 𝘱𝘢𝘨𝘪 𝘬𝘢𝘶 𝘭𝘦𝘱𝘢𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘩𝘢𝘨𝘢 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘳𝘢𝘶 𝘩𝘢𝘵𝘪
𝘒𝘢𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘭𝘶𝘬𝘪𝘴𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘨𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘶 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘳 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘴𝘦𝘯𝘫𝘢𝘬𝘶
𝘒𝘢𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘬𝘴𝘢𝘯𝘢 𝘣𝘶𝘯𝘨𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘸𝘢𝘳𝘯𝘢𝘪 𝘮𝘶𝘴𝘪𝘮 𝘴𝘦𝘮𝘪𝘬𝘶
𝘋𝘪 𝘬𝘢𝘭𝘢 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘨𝘶𝘯𝘥𝘢𝘩
𝘒𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘤𝘦𝘳𝘢𝘩
𝘒𝘢𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘵𝘢𝘩𝘢𝘳𝘪𝘬𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘢𝘮𝘶𝘥𝘳𝘢
𝘛𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘮𝘶𝘢𝘳𝘢
Gadis itu menaruh penuh atensinya pada pria yang kini duduk berjarak lima meter dari sisinya. Sesekali gadis itu memejamkan kedua matanya sangat lama seakan hanyut dalam alunan melodi yang dia izinkan untuk masuk ke telinganya, menikmati suasana senja diiringi suara nan merdu milik seseorang yang tak dia kenal.
Pria itu menyadari bahwa ia sedang diperhatikan oleh seseorang. Senar gitarnya tak lagi dipetik, kemudian ia melayangkan senyuman tipis dan anggukan kecil kepada gadis itu.
"Maaf kalau mengganggu." Pria itu membuka obrolan.
"Oh iya, ngga apa-apa. Ngga merasa terganggu. Lagunya bagus." Jawab gadis itu agak kikuk.
"Muara."
"Hm?"
"Judul lagunya, Muara."
Gadis itu hanya mengangguk sebagai bentuk responnya. Kemudian keduanya hanya terdiam memandangi langit sore yang warnanya semakin jingga, tak banyak awan menggantung di sana, hanya beberapa yang berwarna abu-abu tua.
"Kamu tau mengapa orang sangat menyukai senja, kerap menjadikan senja sebagai subjek sebuah karya, entah lagu ataupun lukisan?" Pertanyaan serius tiba-tiba ia lontarkan, cukup mengagetkan sang gadis.
"Mungkin karena...."
Gadis itu menoleh ke arah pria itu, kemudian cepat-cepat memalingkan wajahnya saat mata mereka bertemu.
"Mungkin karena merasa emosional begitu saja...." Lanjut sang gadis agak ragu.
"Warnanya memberi kesan hangat, tenang dan indah. Orang mungkin akan langsung merasa seperti sedang dipeluk oleh langit. Kemudian muncul lah inspirasi." Lanjutnya dengan lebih percaya diri.
"Serius banget jawabnya." Pria itu tersenyum melihat ekspresi si gadis yang terlihat antusias dengan percakapan yang ia mulai.
"Ya, itu benar kok." Lanjutnya seraya berdiri dari tempat duduknya di pasir yang mulai terasa nyaman, namun harus ia tinggalkan.
"Sudah mau pulang?"
"Iya. Ngga baik berlama-lama terlena sama keindahan yang sesaat."
"Justru karena indahnya hanya sesaat jadi harus dinikmati dengan sungguh-sungguh."
"Hahaha, bisa aja. Saya duluan." Pria itu tertawa, kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan gadis yang terlihat masih asyik memandangi langit jingga.
"Ya." Jawabnya singkat sambil melambaikan tangan.
Beberapa langkah pria itu berjalan menjauh, tiba-tiba ia berbalik badan dan memberi tahu namanya kepada gadis yang baru ia lihat di lingkungan tempat tinggalnya itu.
"Raka. Nama saya Raka."
"Oh... Airi. Nama saya Airi."
Pria itu melanjutkan langkahnya pergi sementara sang gadis tersenyum dan menaruh atensinya yang tadi sempat lari kembali kepada tujuan utama dia berada di sana, senja.
3 notes
·
View notes
Text
Aku menatap langit yang berarak pelan, menyerupai lukisan yang tak kunjung selesai. Ada duka yang meresap ke dalam tulang, dilepaskan lewat pandangan kosong ke gumpalan putih di atas sana. Awan-awan itu, seperti puzzle hidup yang tak pernah menemukan potongan terakhirnya. Begitu juga dengan keluargaku. Masih satu atap, namun seakan ada dinding tebal yang memisahkan hati kami.
"Broken home," bisikku lirih, sebuah istilah yang terngiang-ngiang bagai denting piano yang sumbang. Di ruang keluarga, suara tawa tak pernah lagi menyapa. Ada yang hilang, bukan hanya percakapan, tapi juga kenyamanan yang seharusnya menjadi temaram sore kita. Kami berjalan melewati satu sama lain, seperti hantu masa lalu yang belum bisa menerima kenyataan bahwa mereka sudah tidak lagi ada.
Dalam duka yang bergaung, aku mencari-cari apakah ada salah satu dari kita yang paling menderita. Dan setiap kali itu, aku sadar bahwa catatan lara itu penuh dengan namaku. Bukan separuh, bukan sepertiga, melainkan seluruh halaman berbicara tentang coretan hitam atas namaku.
Aku tenggelam dalam renungan, melihat bahwa 'broken home' bukan hanya barang milik mereka yang jasmani terpisah. Tetapi juga bagi kami, yang masih menempati ruang yang sama, tetapi dengan hati yang tidak pernah bertemu. Bagi kami yang terkurung dalam kesenyapan, disudutkan oleh kata-kata yang tak pernah terucap, tapi memiliki kekuatan untuk merobek jantung hingga ke serpihan terkecil.
Aku merenung dalam kebiasaanku yang telah lama, mencari hikmah dalam setiap patah hati, mencoba memahami bahwa setiap awan yang berarak, membawa hujan yang akan membasuh, dan suatu hari, mungkin, akan membawa juga kebahagiaan yang telah lama hilang di antara kita.
0 notes
Text
Menjadi Baik
Pernah ga sih ngerasa dapetin sesuatu yang di luar dari diri kita. Entah hadiah dari seseorang, atau dikasih kode dari alam yang bikin seneng, atau apapun yang kita sadar itu dari luar diri kita. Tuhan. Kalau pernah, gimana rasanya? Nyeeesss gitu ga si ke hati?
Lagi pusing banget banyak kerjaan, tiba-tiba dari jendela ruang kerja keliatan langit biru awan putih terbentaaang indah lukisan yang Kuasa~ *malah nyanyi. Lagi ribet banget tiba-tiba dateng temen yang “udah sini dibantuin”, lagi galau banget mikirin lamaran kerjaan yang ga kunjung dapat panggilan eh ada temen yang ngajak proyekan. Lagi laperr parah, eh taunya ada mama yang teriak “makan duluu nasi udah mateng”. Pernah? Wah, ternyata kita dikelilingi hal-hal menyenangkan ya.
Aku mau cerita, beberapa hal yang sayang aja rasanya kalau menguap, terus aku lupa gitu aja. Gak ngerti kenapa, hidupku dikelilingi orang-orang baik, hal-hal baik. Padahal, aku ini masih harus usaha banget buat deket-deket sama kebaikan dan menjauhi keburukkaaan. Mungkin ini kali ya cara Tuhan negur aku “Woy! Contoh nih. Kagak malu apa?” Hahaha. Oke, yuk mulai~
1. Pernah, lagi ambil data di RSHS buat skripsi. Hari itu cape bangeeeet haha. Tapi seneng. Kalau ga salah abis dapet 100 responden pertama woohooo. Terus aku ngajak temen yang setia banget nemenin aku amdat buat jajan haha. Karena mahasiswa tingkat akhir itu duitnya emang mesti diirit-irit, dia juga bilang “Mi, kita jalan aja yuk ke ciwalknya. Kan deket, lumayan kalau naik gojek mahal soalnya”. Ya aku iyain dong soalnya sama-sama bokek, padahal gaes ya dibilang deket ga deket-deket amat si itu ciwalk haha. Di jalan, kita ketemu sama bapak-bapak yang jualan....sapu atau celengan ya? Aku lupa lagi :( Terus si temanku ini berhenti “Sebentar aku mau beli”. Belinya tuh ga satu lagi. Terus aku tanya “Buat siapa? Banyak amat”. Dia bilang “Buat aku satu, sama nanti di kampus tanya aja siapa yang mau, kasian liat bapaknya aku juga belum sedekah”. Hahaha. Anak yang ga mau naik gojek, bela-belain jalan buat ngirit, rela duitnya keluar dengan niat sedekah. Aku sih senyum ajaaaa ya, sambil bersyukur “Alhamdulillah punya temen baik amat”.
2. Beberapa bulan yang lalu, tentu sebelum ada per-covid-an ini. Aku ngetes di daerah Cipamokolan, lanjut naik gojek ke Pussenif karena mau nonton konser. haha. Aku bawa makanan dan snack konsumsi ngetes yang belum sempet dimakan. Karena jamnya mepet, dan ribet banget juga pasti ga boleh bawa makanan ku kasih tuh ke mang gojek “Mas, udah makan siang belum?” Dia jawab belum, dan nerima dengan senang sekali makanan yang ku kasih. Di jalan, lagi maceeeet banget dan suara guludug-guludug mas nya ke pinggir jalan gitu “Teh kalau makanannya saya kasih ke ibu itu boleh?” , ternyata tujuannya adalah ibu-ibu yang lagi ngemis di pinggir jalan bawa anak kecil. Aku jawab aja “Boleh, tapi nanti mas nya gimana? Kan belum makan juga.” Eh dia jawab “Gapapa, saya masih bisa nanti aja sekalian sore, ibu itu kayanya lebih butuh.” Hahahahahaha. Aku dibuat senyum-senyum lagi. Kok bisa ya orang dalam keadaan dirinya juga butuh tapi masih inget orang lain? Senang.
3. Sebagai yang belum punya penghasilan tetap, apalagi dua-tiga-empat digit perbulan, tentu relate dengan harus menyesuaikannya keinginan jajan yang bertubi-tubi juga bayaran ini itu agar hidup dapat bertahan. Belum lagi selain perut, kulit juga butuh asupan. Dewasa kek gini ya ternyata hahaha. Nah, dimasa-masa seperti ini, aku banyak bersyukur karena masih nebeng di rumah ortu. Tapi, temanku yang lain banyak sekali yang merantau. Berkali-kali cerita tentang ngesot-ngesotnya dia mikirin bulan depan bayar kosan dari mana? Skincare abis, dan segala hal duniawi yang harus dibeli. Tapi suatu hari dia bilang “aku per bulan harus tetep punya jatah sedekah. Kemana aja pokonya, kitabisa kek, atau kemana kek”. Hadeuuuuh, dalam sulitnya diri, dan pemikiran-pemikiran duniawi ternyata dia masih sempat punya anggaran biar bisa bantu orang lain. Aku kan jadi ikut happy lagi... 4. Pernah juga lagi kesel banget, uring-uringan, ah pokoknya panas banget tu pala wkwkwk. Terus di kereta ada kakek-nenek bersama cucu mereka yang kurang lebih usianya 2 tahun. Anak lagi lucu-lucunya itu, ingin berdiri di dekat jendela. Kakeknya jelasin apa yang ada sepanjang jalan. Ada sawah, ada bangunan, jembatan, dan mobil yang lalu-lalang di jalan. Gak lama, anak itu bilang rewel, ingin turun. Aku yang lagi kesel kan kek “hadeuh, kasian amat nih kakek-nenek capek pasti”. Terus, anak kecil itu narik kacamata kakeknya, sampai.....patah. Makin sok sok-an empati tuh “Ya elah deeeeek, kasian banget kakeknya kan makin susah” *dalam hati tentunya*. Tapi, tidak diduga kakeknya malah minta maaf sama aku :))) “Neng puntennya bilih kaganggu, kagandengan” (neng, maaf ya kalau keganggu, keberisikan). Terus bilang ke neneknya “Ni, tingali geura meuni tos pinteran nya kuat ieu ngabetot kacamata” (Ni, liat udah pinter ya kuat narik kaca mata). Itu tenang banget coy! Sabar banget tu kakek :))) Tenang, adem. Kayak diingetin “Sabaaaaaar woyyyy sabaaaar. Keadaan juga gak membaik kalau kamu gak tenang”.
Aduh baru nulis empat biji aja udah berkaca-kaca. Ternyata kebaikan itu banyak, ya. Gak hanya materi, tapi memberi contoh mengontrol emosi juga berdampak ke orang lain huhu. Yaudah besok dilanjut lagi yaaaaaaa.. Buka Tumblr, buka draft, loh kok pernah nulis ini. Yaudah publish aja. Mungkin nemu tulisan ini yang gak tau kapan juga nulisnya adalah sebagai bentuk Allah ngingetin “HAYOOOOO UDAH BERBUAT BAIK APAAAAAA ANDAAA?” Selamat hari Jumat!
7 notes
·
View notes
Text
Peran
Lirik lagu banda neira. Langit dan laut, mengalun mengiringi obrolan kecil, sore waktu Surabaya. Menemani manusia yang sedang sakit dan berusaha untuk baik-baik saja. Mengajak duduk di atas bangku kayu, dalam suasana kedai kopi nuansa klasik. Seorang barista tersenyum ramah, menawarkan menu kopi andalannya. Mempersilahkan duduk dan ngobrol bersama. Tuhan itu memang bisa berwujud apa saja ya, termasuk senyum dan segelas kopi susu yang tiba-tiba sedikit melunturkan rasa sesal dalam dada.
Sore waktu Surabaya, cuaca sedang cerah. Meski di sebelah barat langit terlihat bercampur mendung tipis. Namun, cahaya sunkissed tetap hangat memeluk tembok-tembok yang lembab, seperti mengatakan, "jangan takut sendirian, aku disini."
Aku yang mengenakan celana jeans oldblue, berkemeja Polyester tebal cukup gerah, duduk di depan meja kasir, menopangkan kaki, menyahut buku menu bercorak abstrak, cantik sekali, batinku.
Seorang laki-laki yang menggunakan apron coklat mendekat, "hai, kesini lagi," sapanya sambil tersenyum ramah, tangan kanannya menggenggam cangkir putih tulang bersih.
"eh, hai. iyanih," balasku canggung.
"kopi susu? atau mau coba yang lain,"
"hmmm," aku mengembangkan pipi, terlihat berfikir, pandanganku memeriksa beberapa jenis kopi yang berjejer di belakangnya, rapi dalam wadah unik kayu, khas jawa, keren.
"hmm aja, gak mau kopi?" dia bertanya, disusul tawa renyah dari suaranya.
Aku seketika tertawa, "eh gak gitu, oke, kopi susu dingin, satu." ucapku sambil mengangkat jari, menunjukkan tanda satu, dia tersenyum, mengangkat jempol tangan kiri.
Kuusap buku menu bersampul abstrak, timbul tiga dimensi, seperti latar sebuah cerita di buku dongeng yang aku punya, cantik sekali, pujiku lagi.
Dia melirikku, mendapati, aku yang sedang menikmati nilai keindahan dari sampul menu, "itu lukisan tangan sendiri" sahutnya
"oh iya, cantik sekali. siapa yang ngelukis?" tanyaku, mataku masih tak beranjak dari gambar.
"aku" jawabnya singkat,
Aku mengangkat kepala, beralih cepat, menatapnya "wow, keren, selain pintar bikin kopi, ternyata jago lukis juga nih," senyumku mengembang, disusul dengan senyum di wajahnya.
"hobby dari kecil kalo soal ngelukis," dia mendekat, menyerahkan kopi susu dingin yang sudah siap, mengambilkan sedotan kayu dari wadah, menyodorkan padaku, "buat kamu," tersenyum lagi, sepertinya dia Dewa senyum,
"give away? padahal baru tiga kali loh kesini, gimana kalau udah sebulan, bakal dapat apa nih?" kita terkekeh,
"anggap saja rezeki, karena sudah mampir kesini," dia menarik kursi kayu yang agak jauh di belakangnya, mendekat ke arah meja, duduk dengan ringan, "lukisan ini aku gambar persis dengan latar cerita sebuah buku, kisah tentang perempuan dari Negeri Oldsky, suka berburu, tapi tak pernah mendapat hasil buruan," dia menjelaskan alasan dari lukisan yang aku suka.
"Emma, perempuan berambut hitam, bermata biru, titisan Dewa bumi, takdirnya menjaga bumi, bukan membunuh makhluk bumi, itulah kenapa bidikannya selalu gagal ketika memburu," lanjutku, yes, betul, batinku, apa yang dia ucapkan sama dengan buku yang aku punya.
"kamu juga baca buku itu? wow, tos dulu," dia tampak bersemangat, aku terkekeh, membalas tosnya, "dia lahir pada ruang hampa, tidak menangis,"
"tapi langsung menjajak bumi, begitu kan?" sambungku cepat,
Dia terkekeh lagi, seperti bocah kecil yang bahagia ketika mendapat hadiah, "betul, Dewa Us mengajarkan kepada Emma, bahwa dia gak bisa lari dari takdirnya, sekuat apapun menolak, dia tetap makhluk bumi," tatapannya menerawang ke atas, langit, "dan Dewa Us sengaja lenyap, oh maksudku bersatu pada tubuh Emma,"
"oh, jadi, Dewa Us gak menghilang, tapi hidup dalam tubuh Emma?" aku sedang menikmati cerita yang keluar dari mulutnya, menopang dagu, menatap matanya, bening.
"heem," dia mengangguk, memperbaiki posisi duduknya, "kamu tau kenapa Dewa Us menghilang tiba-tiba? dan ternyata, bersemayam di tubuh Emma," aku menggeleng sedih, "itu karena dia harus menebus sebuah dosa,"
"dosa?" aku mengangkat satu alis,
"betul," jawabnya cepat, menjentikkan jari, tatapan berubah curiga, "tunggu, kamu belum baca buku itu sampai habis ya?"
Aku terkekeh tertunduk, terpojok, mengangguk menahan tawa, "lanjutin ceritanya dong, janji, setelah itu aku bakal baca bukunya sampai habis," tawarku.
dia menimbang, "yakin nih? kalau sudah tau ceritanya kenapa harus baca bukunya,"
"karena bisa jadi apa yang kamu ceritakan, sedikit berbeda dengan yang ada di buku."
"maksudmu kesan membacanya kan," dia sambung dengan benar, aku mengangguk mantap, tersenyum, "lanjut, dosa, Dewa Us terkenal paling bijak kan, lalu dosa apa yang membuatnya harus melenyapkan diri, itu sama halnya menghendaki hukuman sebelum takdir dimulai," sambungku antusias.
"di lembar ketiga yang berjudul stone and horse, kamu akan temukan jawabannya, bahwa Dewa Us memiliki seorang putri bukan karena tuntas bermeditasi, tapi sebab jatuh cinta dengan makhluk langit," jelasnya halus.
Aku melongo, masih siap menyimak cerita dari bibirnya, "jadi itu yang harus Dewa Us tebus, sebab cinta, hmm maksudku karena jatuh cinta dengan seseorang yang tak satu tempat." aku mengatakan dengan pelan, takut salah.
Dia tersenyum benar, "betul, sebab dia Dewa bumi, maka seharusnya jatuh cinta dengan makhluk bumi kan. Tapi tidak dengan Dewa Us, dia menolak jalannya, perasaan cinta muncul tiba-tiba tanpa sesuai rencana, itulah yang membuat Dewa Us yakin, bahwa dia telah jatuh cinta, pada mahluk langit, dan dia juga siap menanggung akibatnya, meski menebusnya dengan menghilang dan bersemayam pada tubuh Emma, manusia setengah Dewa," matanya menatap mataku, lembut.
"Dewa Us menjadi manusia? hmm maksudku bersatu dalam tubuh manusia, terus gimana sama makluk langit tadi, dia juga menerima hukuman? dia tau gak kalau Emma, memiliki takdir sebagai pelindung bumi," aku merentetkan berbagai pertanyaan penasaran.
Dia menggeleng, "udah ya cukup, kamu kudu baca sendiri, banyak kejutan di lembar ketiga, kamu masih baca lembar satu kan?"
Aku mengangguk malu, "itu karena aku malas membaca,"
"banyak kejutan yang gak bisa ditebak," dia mengambil nafas panjang, "dari cerita Dewa Us aku belajar, setiap yang hidup memiliki takdirnya masing-masing, semua tentang pilihan, memiliki resiko, apapun itu. Kamu tau?" dia bertanya, aku menggeleng, "sebetulnya pertemuan Dewa Us dan makhluk langit sudah sesuai takdir mereka, dan dari sini aku sadar, bahwa hidup adalah ujian, apapun jalannya," dia mengangkat kedua alisnya, aku diam, mencerna, keren, batinku, lagi. Aku seperti dibacakan dongeng yang nyata, di depan mata. Kebetulan, oh bukan, takdir, iya, takdir. Takdir yang mempertemukan hingga saling menceritakan sebuah kisah yang sama-sama sedang kita baca.
"tentang Emma?" aku bertanya,
"hemm" dia menggeleng, "banyak kejutan, kamu harus baca sendiri, setiap lembar kamu akan dapatkan sesuatu yang tak terduga, dan semoga itu mengubah cara pandangmu, terlebih kepada diri sendiri." ucapnya mantap, matanya masih teduh, oh yaa Tuhan.
Aku melengos, membuang nafas besar, "oke oke, nanti aku lanjutkan membaca."
"mau tambah kopi?" tawarnya,
"gratis nih," godaku,
Dia terkekeh, beranjak dari duduknya, mengambil sesuatu dari belakang, "oleh-oleh dari teman, katanya kopi khas Mataram," kopi hitam pekat tanpa ampas, terhidang dua di depan, mengepulkan aroma gurih,
"wah, bagi-bagi nih, terima kasih lagi," ucapku, "untuk cerita dongengnya dan kopi gratis,"
Dia tertawa kecil, jaim, merapikan topi biru tua berlogo baseball, aku ikut tertawa, cahaya sunkissed menghilang seiring cerita yang telah selesai terucap dari bibirnya, perlahan kedai terlihat ramai orang-orang, muda-mudi, laki dan perempuan, bulan bulat sempurna sudah tampak meski masih samar tertutup awan, namun dia tetap tegar menanti perannya, bagi manusia yang sedang sakit, selamat menerima sembuhmu, bagi manusia yang sembuh, selamat menerima bahagiamu, bagi manusia yang bahagia, selamat menerima rasa syukur lebihmu, dan bagi diriku, selamat melanjutkan hidup yang ternyata mati itu lebih baik, aku pamit, sampai jumpa ucapku, dia mengangguk, manis.
#poem#fiction#langitbirustuff#ruangtemu#puisiindonesia#poemsindonesia#tumblrindonesia#poem love#poem on tumblr#writen on tumblr
9 notes
·
View notes
Text
“Kamu suka air kelapa, Rey?”
“Tentu saja.” Katanya sembari mengusap kepalaku.
Lelaki itu berlalu dengan kamera dan tripodnya, sibuk berburu gambar di bibir pantai. Awan berarakan di langit biru yang damai. Rombongan camar terbang ke udara dengan sayapnya yang memesona. Di sisi lain ombak saling berkejaran, pasir putih yang berkilau, dan angin yang tak henti meggerus jilbabku.
Aku masih tidak percaya sosok asing itu kini menjadi bagian terpenting dalam liku perjalananku, Reyhan Anugrah.
***
Semua berawal dari perpustakaan di seberang kota bernama Rinn Library. Tempat unik yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Kali pertama melangkah, sorot mataku langsung tertuju pada jutaan buku dengan rak menjulang yang nyaris menyentuh langit-langit bangunan itu. Semakin masuk ke dalam, aku menemukan replika lukisan pointilis A Sunday Afternoon on the Island of La Grande Jatte dan 5 buah ornamen boneka matryoshka yang terbuat dari kayu.
“Kamu terlihat tertarik dengan boneka Rusia itu.”
Kata seorang wanita berkacamata bulat tebal dengan rambut kecokelatan sebahu. Dia tersenyum ramah dengan bibir tebal dan hidung mancung yang sedikit bengkok.
“Ya, tapi saat ini aku lebih tertarik dengan negeri Firaun daripada negeri Romanov.”
“Kalau begitu kamu bisa membaca ini.”
Dia menyodorkan sebuah buku berjudul Small Talk on the Nile karya Naguib Mahfouz, penulis dari Mesir yang pernah mendapat Nobel di bidang sastra.
“Menarik, terima kasih..,” Kataku mengisyaratkan namanya.
“Mona. Tepatnya Monalisa Ramli. Padahal ayahku, Fouad Ramli penggemar lukisan Pablo Picasso.”
Tiap Sabtu Minggu aku biasa menghabiskan waktu di tempat itu dari pukul 3 sore hingga 8 malam. Aku mulai berteman akrab dengan mbak Mona atau Monalisa, sang pemilik sekaligus pustakawati yang kadang memberiku kopi hitam untuk menemani perbincangan malam. Perempuan berusia 32 tahun itu rupanya sangat jenaka dan banyak bicara.
"S2 sudah, kerja sudah, terus mau apa lagi jika tidak menikah?" guraunya.
“Apa tidak ada topik lain? Aku muak sekali mendengar kata nikah.”
“Mengapa? Kamu tidak percaya cinta?”
“Lebih tepatnya aku tidak percaya dengan cinta laki-laki. Kamu tahu, yang mereka cari tentang keindahan dan kecantikan ragawi. Sedang aku tidak menemukan keduanya dalam diriku.”
Wanita berkacamata tebal itu menghela napas.
“Terkadang kamu ini terlalu rasional sebagai perempuan, Sarah.”
“Kamu seperti pot retak yang berusaha menambal semuanya sendirian. Entah, aku tidak mengerti separah apa trauma masa lalumu. Tapi percayalah, suatu saat kamu akan menemukannya, pemuda yang mampu melebur egomu dan mati-matian memperjuangkan mimpimu.”
“Sayangnya aku tidak percaya.” Kataku kemudian menyeruput secangkir kopi yang mulai dingin.
“Sungguh? Terserah.” Dia menatapku menyerah
Entah mengapa otakku masih dipenuhi perkataannya. Memang apa salahnya jika tidak menikah?
. . . .
1 note
·
View note
Text
Ketika Aku Menulis Ini
Sore hari sebelas juli
Gadis 22 tahun duduk di sudut ruang imajinasinya. Ruangan itu sederhana, yang rumit isi kepalanya. Serumit memecahkan soal analisis DNA dalam olimpiade biologi. Bisa jadi lebih susah. Susah payah dia berusaha menjelaskan dirinya. Mencari kalimat yang tepat untuk mengungkapkan siapa dia? sedang apa dia? dan untuk apa dia disini?
Dia sedang mencari dirinya sendiri. Orang melihatnya baik-baik saja. Tak ada yang hilang. Tapi dia kebingungan. Diantara lembaran buku yang dibacanya, mungkin ada dirinya terselip di ketiak buku. Diantara lukisan crayon yang dibuatnya, mungkin ada dirinya di salah satu goresan warna. Diantara cerita yang diucapkannya, mungkin ada dirinya tersirat melalui tawa dan kerutan diujung mata. Diantara puluhan judul sajak yang ditulisnya, mungkin ada dirinya menyelinap dalam diksi di salah satu bait. Hingga saat ini belum ada jawaban pasti.
Gadis itu bernama Febrina Mawarti Andarini. Jika namanya diartikan, akan sesuai dengan cita-citanya ketika masih memakai rok merah. Bulan Februari mengabarkan lahirnya seorang anak yang kelak menjadi ilmuwan. Itulah artinya. Nama itu dia dapatkan dari seorang lelaki tua di pulau milik bekantan yang dia panggil kakek.
Dia lahir ketika matahari berada pada 60 derajat dari timur. Ketika awan sering menumpahkan air tanpa tau waktu. Ketika tanah hampir selalu basah. Ketika pohon-pohon lebat rindang berdaun hijau. Ketika Indonesia dilanda krisis moneter. Dan ketika hari ketujuh bulan syawal dengan hidangan ketupat di meja makan.
Hari ini dia beranikan diri untuk berkenalan. Menyapa dunia luar dan mulai bercerita panjang. Dia lebih pandai bercerita di depan cermin dan berekspresi semaunya. Dia lebih lancar menulis ratusan judul sajak dan cerita di notes. Gadis ini adalah seorang extrovert yang perlu beristirahat. Baginya menulis sama dengan melepas lelah. Menurunkan beban yang bergelayut di amigdala. Mulai hari ini dia akan bercerita lebih banyak. Jadi biarkanlah dia merasa bebas.
Dia adalah aku.
-feb 11/07/2020
5 notes
·
View notes
Text
Dum Dum Land #2| Bolang Edition
2018
Di penghujung 5 hari penelitian kami di Thailand, aku menyempatkan diri untuk mewujudkan kenekatan yg kurencanakan sejak semalam. Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore. Hatiku ga tenang tp terdorong untuk ttp ngebolang. Sayangnya teman sekantorku lebih memilih stay di dorm dan Dita ada acara programnya.
Perjalanan dengan Van
Segera aku berlari ke gerbang belakang BIOTEC dan menelepon teman Dita (yg bahkan ga kenal & belum pernah ketemu) untuk jd peta berjalanku. Pertama-tama aku naik mobil van (mirip mobil travel) tujuan Mo Chit Station. Harga tiketnya 35 baht. Satu-persatu van mulai penuh, di sebelahku seorang anak remaja dengan wajah muram terus duduk memandangi HPnya, dan seorang lelaki heboh ingin cpt sampai. Sepanjang jalan ga berhenti aku memandangi jalan yg menjauhi daerah Pathum Tani. Kulihat satu satu landmark yg mudah diingat#takut diculik wkwk.
Perjalanan dengan BTS (sky train)
Sekitar sejam setelahnya aku sampai di pool akhir dan turun di dekat stasiun BTS. Karena ini pertama kalinya aku di Thailand aku belum paham samsek gimana mekanisme naik BTS disana. Sebelum antri tiket kuperhatikan satu2 cara org bayar tiketnya baru setelah paham aku memberanikan diri membeli tiket untuk sampai ke tujuanku. Yg paling sulit disini? Org thailand bnyk yg ga bisa bhasa inggris jd kebanyakan aku berbicara dengan bahasa isyarat sebagai mekanisme survivalku selama perjalanan ini. Tanya sana sini ke org yg bisa bahasa inggris gimana caranya aku bisa sampe ke Wat Arun. Ternyata aku harus transit dulu di Siam untuk menuju Sapan Taksin. Selama perjalanan aku pasang telingaku baik-baik takut caleuy ketinggalan stasiun hhaha. BTS disana cukup nyaman, mirip sekali dengan MRT di Jakarta skrg. Masalah penuh sih sama aja ya gaes. Btw harga tiket sampai sapan taksin yaitu 44 baht.
Perjalanan dengan Boat
Sampai di stasiun sapan taksin aku kebingungan mencari dermaga. Ternyata eh ternyata dermaganya tepat di bawah stasiun ini! Karna bingung, aku ikutin aja org di depanku. Sampai di dermaga ada banyak pilihan rutenya, bingung lagi kan tuh milih yg mana. Untungnya aku ketemu mas mas baik hati yg menjelaskan detail gimana caranya aku bisa sampe ke Wat Arun (naik di Pier 8, harga tiket 15 baht). Sayangnya badai datang, seakan akan ga merestui perjalanan mendadakku ini. Sempet berpikir buat pulang lagi karena udh mau Maghrib tapi toh udh terlanjur sampe?? Selama naik boat ke Wat Arun aku berharap badai segera reda. HP juga kumatikan untuk menghemat baterai.
Arrived @Wat Arun
Dan doaku terkabul!! Badai pun berhenti bergantikan gerimis. Setelah sampai aku lgsg ON FIRE buat menjelajah. Eeets tp aku beli payung dulu disini sebelum jalan jalan. Amazed bgt sm wat yg satu ini, keramiknya yg khas terlihat amat megah. Belum lg ukiran ukiran rumit di dindingnya. Walaupun g bisa liat wat ini di cuaca yg cerah, keindahannya ga tertutup sm awan mendung sekalipun. Disana rasa rasanya aku doang deh yg keliling sendirian wkwk caleuy cakeuy deh, bahkan minta fotoin sm turis yg lewat hahaha. Jauh jauh ke Thai ketemu juga sm turis Indo disana, asiknya mereka liburan full disini.
Crossed to Wat Pho
Setelah sejam berkeliling sendirian di kawasan candi, ga kerasa udh mau maghrib. Saking penasaran sm Wat Pho (lagian nanggung juga tinggal nyebrang), akhirnya kulanjutkan acara ngebolang ini dengan menyebrangi sungai Chao Phraya seharga 4 baht. Sebelum masuk kita diwajibkan melepas alas kaki. Patung Buddhanya disini benar benar ikonik dan menarik. Apalagi ada tradisi memasukkan koin yg unik (membawa keberuntunhan katanya). Bangunan dihiasi lukisan di bagian atap. Aku inget bgt disini minta difotoin turis asing pas lagi gelap. Sayangnya kameraku kurang bagus jd hasilnya selalu gelap. Turis yg membantuku ini smp take berkali kali dan ga lelah bantu fotoin (doi semangat bgt saking semangatnya jd ga enak karna emg kamera akunya aja yg ga bagus wkwk :( ) terhura aku tu makasih mas!
Pulang ke Dorm
Jam menunjukkan pukul 7 malam. Jujur perasaanku ga tenang karna masih mikirin gimana ya cara baliknya?? Aseli takut nyasar udh malem pula. Setelah lama nunggu akhirnya sampe juga perahunya. Eh di perahu ketemu lagi sama mas mas yg bantu nunjukkin rute ke Wat Arun tp kepisah jauh, doi duduk di depan. Pemandangan sungai malam hari di sungai Chao Phraya ga kalah indah. Berbagai jenis perahu dengan lampu berkilauan lalu lalang di hadapanku membuatku ga bosan menikmatinya. Sampai di tujuan, dermaga penuh bgt berjejer org pake baju rapi kyk mau dtg ke acara red carpet. Eh taunya ada acara pembukaan mall baru disana. Yg dtg pd bawa tiket eksklusif. Syg ga bisa gabung, dandananku kucel sih wk.
Sampe stasiun BTS jujur bingung gimana pulangnya. G keliatan ada tanda tanda van yg aku naikkin td sore. Sok ide aku mau naik bis ke pathum tani tapi karna org yg ditanya ga meyakinkan akhirnya aku balik lg ke pool van. Di pool liat antrian ternyata van ini tujuannya bnyk dlm 1 antrian. Sempet bingung, tp alhamdulillah bgt ketemu org baik hati yg nunjukkin van ke Pathum Tani. Perempuan thai yg aku temui ramah bgt, dia ngajarin aku sedikit bahasa thai dan dia juga kepo dgn pengucapan beberapa kata dalam bahasa inggris. Sebelahku seorang perawat RS di Pathum Tani ikut nimbrung ngobrol. Pas naik van ternyata aku 1 van lg sama cewe yg duduk di sebelahku pas naik van sore td bahkan 1 van juga sm tmn Dita.
Aseli perjalanan singkat yg nekat ini berasa dijagain bgt sama Allah selalu dipertemukan sm org baik & selamat smp dorm!
Chatucak Market
Besoknya sebelum ke bandara, kami menyempatkan berbelanja oleh oleh di pasar paling terkenal di thai yg cuma ada pas weekend. Bela belain bgt kesini smbl bawa koper wkwk kebayang ga tuh bikin sempit LRT yg selalu rame sm orang yg naik. Untung ada tmpt penitipan koper koinan di jalan jd bisa kesini tanpa repot bawa bawa koper. Disini mata susah bgt dikontrol ya ampun rasanya pgn borong semua dr makanan, baju, smp aksesorisbdan mure muree! Dita juga bisa nemenin kita kesini yeay!
Insiden di Bandara
Pas mau pulang ada insiden nih di bandara. Boarding passku ilang dong sebelum masuk ke pesawat. Parah dan caleuy bgt ga tuh???! Udh ngobok ngobok tempat sampah, liat lantai & tmpt duduk ga ketemu. Untung aja petugasnya ramah & sigap membantu huhu makasiiii!!
Gimana perjalanannya seru bgt kan?? Hal yg paling kusyukuri adalah "aku berasa dijagain banget". Walaupun aku sendirian ngebolang, alhamdilillah bgt selalu dipertemukan dengan orang orang baik selama perjalamannya dari tmn Dita, mas mas ganteng penunjuk jalan di wat arun, bule bule yg bantuin fotoin aku, turis yg ngasih tmpt duduk di perahu, mba mba yg ngajarin aku bahasa Thai, perawat yg ikut nimbrung ngobrol, smp driver van yg nganter aku smp ke dlm kompleks penelitian. Makasi semuanyaaa aaa!!
Pengen kesini lagi ya Allah. Semoga ada rejeki & pandemi segera berakhir..
1 note
·
View note
Link
Kemarin ketika di perjalanan pulang, lagi macet dan juga gerimis sisa hujan sore, tiba-tba sekelibat teringat lagu ini dan langsung menyanyikannya. Saya kaget dengan diri sendiri, ingatan dari mana ini :D
Thanks to Mbak, yang dulu memperdengarkan saya lagu-lagu nasyid. Alginat ini salah satu favorit saya, walaupun sekarang gaungnya hampir tidak terdengar dan saya bingung mencari karya yang original nya dimana. Alhamdulillah, manusia diberi long time memory yang dapat merekam momen-momen berkesan. Enjoy this song :)
Alginat - Muhasabah (Lirik)
Sinar mentari kian memudar
Lembayung senjapun makin merona
Membias indah kewajah rembulan
Yang malu-malu menyapa sang malam
Untaian bintang berkelip benderang
Menghias angkasa yang gulita
Kucoba arungi malam yang sunyi
Didalam dzikir hatiku padaNya
Reff :
Ya Allah, ini malamMu tlah singgah
Kedalam hati hambaMu yang resah
Ya Allah, lukisan malamMu nan megah
Iringi daku sujud bermuhasabah
Sinar mentari bersinar lagi
Menyapa kilauan siembun pagi
Kicau kenari sapa melati
Menjadi melodi warnai hari
Langit biru berhiaskan awan
Mengajak sang surya beranjak terang
Hangat sinarnya beri harapan
Tuk isi hari yang telah kau beri
Reff :
Ya Robbi, siangMu kini kembali
Kan kucari rizki dan taqwa diri
Ya Robbi, kini kian aku sadari
KebesaranMu dimalam dan siang hari
3 notes
·
View notes
Text
BELUM ADA JUDUL
Di sore itu,
Ku duduk seorang diri sembari menikmati matahari yang perlahan mulai terbenam, seraya diiringi oleh riuhnya ombak laut yang seakan menenangkan jiwa ini, dan juga sang rindu yang tak ada bosannya untuk selalu jadi pengikutku.
Tak lama, senja pun datang bersama jingga yang bersembunyi di balik awan dan mereka pun serempak untuk membuat lukisan langit menjadi lebih indah kala sore itu, dan inilah alasan kenapa aku mau menghabiskan waktuku berjam-jam hanya untuk menunggu kehadiran mereka, karena ini momen favoritku!!!
Aku tahu senja dan jingga hanya butuh hitungan menit untuk memperindah langit ini maka, tanpa basa-basi aku pun segera berbisik kepada senja sebelum gelap malam tiba, "senja, tolong antarkan rindu ini kepadanya, aku lelah selama ini dia selalu menjadi pengikut setiaku" bisikku.
Dan dalam hitungan detik senja pun membalas bisikkanku melalui hembusan angin yang perlahan melewati gendang telingaku. Senja pun berbisik, "Tenanglah, Setiap sore hari tiba, aku selalu mengantarkan sang rindu itu kepadanya tanpa perlu kau membisikiku, semua telah ku sampaikan, kini kau hanya cukup menantikan balasan rindu itu dan menunggu waktu yang telah direncanakan oleh sang kuasa" bisiknya.
Bisikan itu pun seakan membuat ramainya hati ini menjadi seolah-olah lengang. Setelah mendengar suara bisikan itu, tak lupa aku pun mengucapkan terimakasih kepada mereka karena dalam waktu dekat mereka akan menghilang dari langit sore ini, "Terimakasih senja, Terimakasih Jingga, hanya kalian berdua yang akan selalu mengerti perasaan kacauku, aku harap esok sore kita akan bertemu lagi" ucapku.
Kemudian senja dan jingga pun perlahan mulai menghapus keindahan langit sore itu dengan diiringi datangnya sang malam, dan aku pun bergegas kembali ke sebuah gubuk tempat peristirahanku dengan senyum yang sumrigah.
2 notes
·
View notes
Text
Di sore hari...
Matahari menapakan keindahannya.
Langit dengan cahaya oranye
Di hiasi awan dan segerombolan burung camar terbang bermigrasi.
Sungguh indah ciptaan yang kuasa.
Indah sekali bagaikan lukisan yang sedang dipamerkan di musium kesenian
3 notes
·
View notes
Text
30 hari bercerita 2.0 #23
Love you, Rain.
Dulu saat usia ku belasan tahun sampai awal 20an aku lebih menyukai langit sore yang hangat dengan warna oranye yang begitu menyilaukan tapi membawa bahagia, tapi aku saat ini dan 2 tahun belakangan lebih menyukai suara gaduh hujan dan warna gelapnya seakan memberi kesan menenangkan dan suara petir yang dulu kutakuti kini bagai suara musik pengantar tidur sekarang aku selalu menunggu hujan datang tak masalah dengan angin kencang atau membawa awan gelap yang ku tahu saat hujan datang suasana hati ku membaik berkali kali lipat. Hembusan angin sebelum hujan menjadi sinyal terbaik dan cahaya matahari yang malu-malu keluar setelah nya menjadi hiasan terindah, dan bintang yang berkelip setelah hujan selalu menjadi lukisan yang membawa mimpi indah.
Jadi aku lebih suka hujan atau momen sebelum atau sesudahnya? Entahlah, yang ku tahu aku suka hujan entah itu sebelum, saat atau sesudahnya.
S.18-04-2021 1.24 pm
0 notes
Text
0 notes
Text
Meja para puan
Sepoi – sepoi angin perlahan membuaikan gerak – gerak kakiku dan membujuk untuk beranjak dari utara ke selatan jogjakarta. Entah kerna rasa penasaran atau tertarik, pelan tapi pasti, setapak – demi setapak dan roda, yang selalu berputar akhirnya mengantarkan ku kesana. Langit mendung tak jadi masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika aku bertemu dengan mereka
Akhirnya sampilah pada suatu rumah berbentuk joglo yang di depannya terdapat beberapa sepeda motor dan pohon – pohon tinggi, entah aku tak tau itu pohon jenis apa yang pasti, pohon itu rimbun, di bawanya terdapat banyak sekali daun – daun kering yang seakan menandakan kalau keduanya mempunyai kisahnya masing – masing dalam kurun waktu cukup lama. Tembok joglo yang sudah (banyak) termakan rayap walau, sebagian sudah beralih menjadi batu bata, mereka juga mempunyai kisahnya tersendiri untuk melihat siapa pemilik rumah, halaman, dan pohon – pohon itu sekarang. Langkah pertama yang terucap adalah ketika aku menyapa seseorang berbaju putih, hitam rambutnya terbelah tengah, memakai celana pendek berwarna hitam, agak berisi tubuhnya mengajakku berjabat tangan, memperkenalkan diri dan mempersilahkanku duduk di kursi coklatnya. “Duh...”
Sebelum ku lihat mata hitam pekat yang tertuju padaku dengan rasa ingin tahu, aku lihat sekekeliling untuk mengalihkan pandangannya, disamping kirinya terdapat banyak lukisan yang sudah jadi, maupun belum, mungkin kanvas yang sudah jadi bisa dikata “ oh ini, anak - anak dari tuan yang sudah besar, sudah dibekali dengan segala warna dan goresan untuk digunakan anak tersebut mengahadapi dunia” dan mungkin, ketika kanvas itu belum sepenuhnya tercorak warna dan goresan, mungkin, si tuan belum sempat mengajarkan anak – anaknya pelajaran untuk menghidupi diri kelak. Kuputar kepala ku agak kebelakang disana terdapat sebuah bola berwarna putih, terdapat beberapa goresan yang ada yang saling terhubung satu sama lain membentuk sebuah bentuk dan ada juga goresan yang terputus – putus, mungkin nasibnya seperti kanvas yang belum di bekali si tuan. Kanvas, atau bola yang sudah aku lihat tadi nantinya akan hidup sendiri, tidak bersama si tuan, mereka akan mengembara dengan takdir dan nasibnya sendiri – sendiri, tak ada waktu luang mungkin, memang susah untuk menjadi tuan yang adil yang semua bekal harus dibagi rata pada anak - anaknya pikirku. Aku alihkan pandanganku ke sebelah kanan dia, terdapat sebuah radio dan empat buah gitar tergantung saling berhimpitan, belum siap bernyanyi, tuan masih betah dengan nyanyian radio yang lirih itu. Ku tengok lebih kekanan ada beberapa alat- alat yang asing dilihat, mungkin entah aku tak tahu menahu gunanya untuk apa, meja besar dan beberapa kursi, punggung meja itu penuh dengan percikan tinta hitam maupun goresan – goresan luka yang ditimbulkan karena benda tajam, entah dalam maupun cetek. Kupikir tak alasan lain lagi ketika aku menyebut meja itu “teman curhat si tuan rumah”. Di samping kiri meja itu terdapat kursi yang menurutku kursi paling nyaman, terdapat banyak ukiran antik, punggunya juga dilapisi dengan spon berwarna hitam. Sayang, kursi yang nyaman itu sedang diduduki oleh seorang laki – laki dan seorang perempuan. Mereka kelihatan kikuk ketika aku melihatnya, tak saling berbicara, tak saling menjamah pribadi satu sama lain dengan memori yang mereka bangun bersama. Apa mungkin sedang pdkt? Bisa saja pikirku cekikian. Paras perempuan itu lumayan, hitam rambutnya sebahu mungkin panjangnya, coklat khas asia tenggara kulitnya, matanya bulat besar memancarkan sinar semangat, semangat apa aku juga tak tahu menahu, kaosnya bercorak zebra putih – hitam, mungkin tingginya sebahu ku dan laki – laki disampingnya mengenakan topi ala jaman sekarang, jaket yang cukup besar untuk seukuran badan dia.
Aku palingkan kepalaku kembali ke seseorang yang masih saja menatapku dengan matanya yang hitam pekat penuh rasa ingin tahu. Mulutnya bergetar ingin sekali mengeluarkan kalimat – kalimat yang di pendamnya dari tadi, dan dia membuka percakapan. Seperti biasa, pertemuan kedua orang yang belum saling tahu sama lain dimulai dari pertanyaan, kamu kuliah mana? asal dari mana? Oh kamu temennya si ini to? sampai pada akhirnya dia menjelaskan detil – detil yang ada pada joglo ini, aku pun mendengarkannya dengan seksama, dia menjelaskan adanya lukisan – lukisan tersebut yang nantinya akan mengembara ke beberapa dunia. Dia juga menjelaskan meja yang penuh luka itu, ternyata benar, dia adalah si tuan, si tuan yang suka bercerita kepada mejanya. Dengan agresif tuan berbicara padaku, masih tentang lukisan – lukisannya, gitarnya, kursi yang aku duduki sekarang, genting yang sempat bocor, joglonya dan dunianya, aku menyimaknya dengan seksama tanpa membalas satu kata pun. Ya, semenjak aku tau dia adalah si tuan, kepalaku seketika tertunduk lesu, hilang nafas bicara ku karena dia adalah tuan yang maha tahu segala yang berada di dunianya, dan aku, seorang lelaki tersesat yang numpang minum di dunianya, aku tak tahu apa – apa di dunianya, dunia berbentuk joglo yang didepannya ada empat pohon besar yang rimbun, setiap angin lewat akan menjatuhkan kisah – kisah daun layu yang siap didengarkan oleh tanah dibawahnya. “Bahaya...”
Sebenarnya kita masih menunggu teman – teman yang lain datang, mungkin agak terlambat, kata tuan. Aku hanya mengangguk perlahan menunggu mereka semua datang. Hening diantara tuan dan aku, lalu sebuah tangan mengulur padaku dengan tiba – tiba mengajak akrab pada tanganku, ku lihat matanya, Ah! Kamu penyelamatku sore ini, seorang teman lama yang sudah jarang sekali jumpa pada setiap sudut jogjakarta, lalu kami bercerita, saling bertukar kabar, menanyakan kesibukan, dan apa saja yang bisa diceritakan walau kami bercerita dengan malu – malu. Kami pernah terikat pada suatu momen dua tahun yang lalu, masih ingat betul aku. Tapi, masa lalu tetaplah masa lalu, kenangan tak bisa terulang kembali, hakikat kenangan adalah untuk diingat dan dilihat seperti sebuah film berdurasi, bukan panjangnya durasi yang menentukan, tapi kabur jelasnya kenangan itu yang menjadi durasi habis tidaknya salah satu film di ingatan kita. Orang yang ku harapkan menjadi juru selamat perlahan meninggalkan lingkaran, sempat panik ketika hening memecah suasana kembali, walau ada tangan yang membawa secangkir kopi hitam mendekat menyuguhkanku dengan ramah, tangan itu seakan berkata “aku sedang mempunyai pekerjaan lain, tak bisa kau jadikan aku pelipur heningmu”
Langit semakin riuh, perlahan yang tadinya biru menjadi abu - abu. rintik hujan semakin menjadi dalam waktu singkat. beberapa orang menyesalkan keadaan karena mereka cemburu. Ya, cemburu kepada hujan karena hujan sangatlah romatis pada tanah, dia memaksa manusia yang sedang melaju diatas tanah, diakuisi tanah tersebut dengan ancaman basah kuyup agar hujan dapat merasuk dalam tanah secara intim, membagi zat - zat yang terbawa pada awan dan tanpa takut bersatu, bersenggama pada tanah di bawahnya, seakan mereka hanya berdua di dunia ini, tak ada yang bisa mengganggunya kecuali Tuhan lah yang tidak meridhoi. Dan kami, hanya bisa tertunduk lemas (lagi - lagi) menunggu para (calon) puan memberi makan, memberi asi, memberi pengalaman, dan tentu saja memberi kasih sayang pada anaknya yang dengan setia menunggu di meja cerita para puan.
Satu persatu mereka datang ditengah hubungan mesra hujan dan tanah, ada yang memakai perlindungan agar terhindar dari cibiran hujan, ada juga yang menerima cibiran itu sehingga basah kuyup seluruh tubuhnya. mereka masuk kerumah tuan dengan membawa dua bungkus makanan, satu bungkus gorengan dan satu bungkus lagi berisi ojek. aku sedikit mengamati gerak - gerik mereka, dan rupanya gadis berkulit coklat itu adalah salah satu bagian dari mereka dan lelaki disampingnya telah pergi, aku tak tahu kapan lelaki itu pergi mungkin terlena oleh lukisan - lukisan yang ada. mereka bergurau dengan tuan, mereka berbeda dengan aku, mereka bisa disebut ada dalam dunia ini, apa mereka tetangga? karena mereka terlihat sanggat akrab, mungkin beberapa orang saja tapi sekiranya, dari para (calon) puan ini tahu akan dunia yang dipijakinya saat ini.
Setelah melewati beberapa hal, akhirnya dimulai juga. buah pepaya yang menjadi perantara para puan untuk kali pertama telah di sampai pada mimbar-nya. didepan pepaya tersebut adalah meja cerita para tuan yang sekarang digunakan oleh para puan untuk berhubungan intim dengan pengkhotbah. mereka memotongi bagan cerita dengan penuh semangat, lalu menggosoknya pelan - pelan sampai halus, dilihatnya layak atau tidak bagan itu sebagai calon - calon pencerita pada khalayak ramai, kalau tidak, akan di perhalus lagi agar isi dan nyawanya terlihat jelas. Sesudah itu, pengkhotbah memulai ceritanya, dengan seksama para (calon) puan menyimak dan menuliskannya, dengan khusyuk mereka mendengarkannya, dengan khidmat mereka melihatnya, mendadak hening di tengah meja pencerita si tuan, bukan hening yang tadi aku sebutkan, bukan hening yang menyayat, melainkan hening yang penuh asmara, pepaya itu sangat romantis, lembut tutur katanya sehingga para (calon) puan bahkan kami yang tidak mendengarkan khotbahnya seaakan ikut terhipnotis padanya. Inilah saat dimana puan memberi pesan, inilah saat dimana puan membagi kasih sayang, membagi asinya pada anak - anaknya. Goresan - goresan yang penuh makna dan cerita, gosokan yang melembutkan layaknya ibu sedang memegang kepala anaknya, warna - warna yang di taruhkan pada bagan cerita seakan melambangkan pengalaman yang akan diturunkan pada anaknya. Ini bukan lagi soal objek atau siapa penkhotbahnya, melainkan kekhusyukan, melainkan kasih sayang pada setiap apa yang di buatnya, rasa iba, rasa iri, rasa kecewa, rasa puas, bahagia yang akan disalurkan pada anaknya kelak. Anak - anak yang esok akan menghadapi dunia yang keras, harus berjuang mandiri agar cerita yang disampaikan ibunya tersampikan dan selamat dari dunia. Dan seketika hatiku tergerak untuk mencobanya, dengan hati - hati aku dengarkan pengkhotbah yang melihatku sinis karena terlambat datang ke depan mimbar. " Sudahlah aku aborsi saja anak ku ini..." kataku dengan lantang
Dari buku Club Etsa; ecthing, sharing, fun Rar Edition 20 April 2016
0 notes
Text
duapuluh enam tahun yang terbungkus rindu
-Januari 1986-
Hari Kelahiran
Seorang wanita tengah gelisah didalam ruang persalinan. Sudah empat jam ia berada didalam. Si bayi tak kunjung keluar. Sampai akhirnya dokter memutuskan untuk mem-vacuum kepala jabang bayi agar bisa keluar dengan lancar. Tepat pukul 8.40 saat mentari sedang bersinar hangat-hangatnya, sang dokter keluar dari ruang bersalin. Berbicara dengan seorang bapak gendut yang sedang duduk di ruang tunggu sambil membaca koran. “selamat, anak Bapak perempuan.” Si bapak tersenyum ceria, sambil menunggu saat ia diperbolehkan melihat bayi perempuan dan isterinya, ia membuka-buka kembali koran, terlihat berpikir lalu ia mengeluarkan secarik kertas dan ballpoin dari tas nya. Mencorat-coret di halaman polos tersebut. Jum’at. Januari. Perempuan. Sekilas melihat headline berita tentang seorang astronot perempuan asal Indonesia. Pratiwi Soedarmono.
Yunawati Pratiwi.
Tangan nya menari rapi di atas selembar kertas itu. Dengan senyum yang masih tersungging, Si Bapak masuk kedalam ruangan bersalin.
————-
-Maret 1990-
Ayunan
Sore itu, aku baru saja dimandikan ibuku. Wangi sabun Camay. Wajahku belepotan bedak tabur Johnson. Aku wangi kayu putih. Lalu ibu menyisir rambut sebahuku yang setengah basah. “Jangan main jauh-jauh”, begitu pesan nya saat aku setengah berlari keluar dan memakai sendal jepitku. Jalan kecil di depan rumahku sudah terlihat ramai, ramai dengan ibu-ibu yang tengah menggendong bayi-bayi mereka sambil menyuapinya dengan nasi tim. Oh tidak, meski umurku hanya beberapa tahun lebih tua dari bayi-bayi yang digendong itu, tapi aku sama sekali tidak berminat bermain atau sekedar menggerecoki mereka dengan menarik-narik kain samping batik yang tersimpul di bahu ibu-ibu itu. Aku punya misi yang lebih penting sore ini. Aku terus berlari. Melintasi tukang baso, tukang es lilin, bahkan tukang kredit baju anak-anak keliling yang tengah membuka gembolan nya dan dikerumuni oleh ibu-ibu dan anak-anak. Biasanya aku selalu tertarik dengan tukang kredit baju keliling tersebut. Aku selalu suka ikut mengaduk-aduk baju, meskipun belum tentu ibuku mau membelikan untukku. Kali ini aku tak menghiraukan nya. Bahkan ketika Pipih, gadis cilik keturunan tiong-hoa yang menjadi sahabatku itu memanggilku dan mengajak main bepe-bepe-an(semacam gambar-gambaran yang kita gunting, dimana kita bisa memasang-masangkan baju dan membuat drama dari gadis-gadis cantik dan berbadan kurus yang terbuat dari kertas tersebut)didepan rumahnya, aku hanya melambaikan tangan sambil terus berlari. Aku belum ingin membagi mainan baruku ini dengan nya. Mungkin besok. Atau minggu depan setelah aku bosan, aku akan mengajak Pipih serta. Jalanan mulai menanjak, aku mulai terengah-engah. Sebentar lagi. Pikirku. Rumah-rumah penduduk mulai tak nampak. Sampai akhirnya aku tiba di sebuah padang rumput yang luas. Di ujung sana, anak-anak lelaki yang lebih besar dariku tengah asyik bermain bola. Mataku terpaku. Tapi tidak kepada abege-abege itu. Mataku terpaku kepada sebuah pohon besar di pinggir tebing. Uhm, mungkin berlebihan kalau kusebut tebing. Namun, apalagi yang bisa merepresentasikan dinding tanah setinggi sepuluh meter itu bagiku, gadis kecil berumur empat tahun. Bukan nya aku tertarik pada pohon tersebut, melainkan pada ayunan yang tergantung di batang kokoh tersebut. Tapi sialnya ada tiga anak lelaki yang tengah bermain disana. Aku geram. Mungkin karena aku datang terlalu sore. Baiklah, besok aku akan meminta ibu untuk memandikan ku lebih awal lagi. Dan sekarang aku akan menunggu. Sampai ketiga bocah itu pergi meninggalkan ayunan itu. Waktu yang kunanti akhirnya tiba juga, sekelompok abege itu memanggil ketiga bocah lelaki untuk bergabung bermain bola bersama mereka. Yess !! setelah mereka pergi, aku pun berjalan menuju ayunan, perlahan menaikinya. Hatiku bergetar. Dari sini aku bisa melihat awan sore nan jingga dan indah,siluet burung-burung terbang di kejauhan. Aku mulai berayun pelan. Semilir angin menggerakan rambut sebahu ku. Aku berayun lebih keras. Dan hatiku semakin mencelos saat kulihat batas tebing beberapa meter didepan ku dan atap-atap rumah di kejauhan. Tapi aku tertawa gembira dalam hati. Ini menyenangkan sekali! Aku kembali berayun. Lagi. Lagi. Dan lagi. Lalu sayup kudengar suara adzan magrib dari toa masjid dikejauhan. Sudah waktunya aku pulang. Ayunan perlahan memelan. Aku lamat-lamat mengecap warna langit yang semakin menggelap. Lalu akupun bangkit. Berlari pulang mengejar anak-anak lelaki itu yang sudah lebih dulu beranjak dari lapangan bola. Besok aku akan kesini lagi.
————-
-Oktober 1990- Pasar Anyar
Aku suka sekali saat hari libur. Karena Bapak ada dirumah. Biasanya beliau akan mengajak ku bermain dan jalan jalan. Seperti pagi ini. Aku tengah naik angkot digandeng Bapak. Tujuan kami adalah Pasar Anyar. Setelah Bapak berbelanja bahan makanan untuk dimasak Ibu, Bapak akan mengajak-ku jalan kedekat stasiun. Ini akan kusebut surgaku. Tumpukan majalah anak-anak bekas itu adalah surgaku. Dan Bapak tau kalau aku suka sekali majalah Bobo. Tidak, aku belum bisa baca. Umurku baru empat tahun. Jaman dulu belum ada yang namanya PlayGroup. Ibu lah yang suka membacakan untuk ku sebelum aku tidur. Aku suka sekali kisah Bona dan Rong-Rong. Aku juga sering bermimpi seandainya aku jadi Nirmala. Dan Ibu ku akan membacakan nya berulang-ulang. Sampai aku hapal diluar kepala, isi dari majalah tersebut. Pernah sekali waktu, teman bapak main kerumah. Namanya Oom Setip.(tentu saja nama aslinya Steve, karna pelafalan ibu yang sangat nyunda, aku pun terbawa. Oom Setip keturunan tiong-hoa juga, seperti Pipih sahabatku.) saat itu Bapak memintaku membawa majalah bobo ke ruang tamu. Lalu aku duduk disebelah Oom Setip yang tengah membelalakan matanya melihatku membawa majalah. Bapak lalu memintaku membacakan cerita untuk Oom Setip. Aku membuka halaman terakhir. Kisah Bona dan Rong-Rong yang sudah kuhapal diluar kepala, aku ceritakan kepada Oom Setip sambil menunjuk-nujuk gambar gajah dan kucing tersebut. Diakhir cerita, Oom Setip terbahak lalu langsung memangku-ku. Ia bilang pada Bapak, harusnya aku langsung masuk kelas 3 SD. Kembali lagi ke Pasar Anyar, setelah membungkus beberapa majalah Bobo bekas yang dibelikan Bapak, aku keluar dari kios dengan hati riang. Tangan kananku menggandeng tangan Bapak yang gendut. Tangan kiriku memegang plastik merah berisi majalah. Lalu Bapak kembali membuatku senang. Ia membelikanku buah favorit. Bukan apel. Bukan jeruk. Tetapi nangka. Aku suka sekali rasa nangka yang manis. Kakek penjual nangka itu juga sudah kenal dengan Bapak, karena tiap ke pasar, pasti Bapak membeli nangka nya yang manis-manis. Di angkot perjalanan pulang, aku biasanya tertidur di paha Bapak. Bermimpi Ibu yang tengah memasak untuk makan siang kami.
————-
-Februari 1991- Rumah Sakit
Bapak sakit. Bapak gak punya uang. Biaya rumah sakit di bayar oleh beberapa kerabat. Bapak keluar dari rumah sakit. Pakai kursi roda. Aku berlari memeluknya. Menangis. “Ngga apa apa” kata Bapak sambil tersenyum dan mengelus kepalaku. Aku memeluk Bapak lagi. Lebih erat. Bapak wangi pe-pe-o.
————-
-Agustus 1991- Saat aku menengadahkan kepala ke langit.
“Bapak, Yuna ikut…” Bapak yang telah pulih berjalan keluar pintu pagi itu. “Jangan, Bapak mau kerja…” Ibu lalu menggendongku yang setengah merengek manja hampir menangis. Bapak berbalik. Menatapku. “Yuna mau titip apa? Nanti Bapak belikan. “ Bapak menjawil kecil pipiku. “Hemm… cokelat silperkuin.” Aku berpikir sebentar lalu mengucap dengan ceria. “Oke, nanti Bapak bawain. Tapi sekarang Bapak berangkat dulu ya…” ujar Bapak. Aku mengangguk lalu mencium tangan nya. “Hati-hati, Pak..” Ibu lalu mencium tangan Bapak. Bapak mengangguk lalu berjalan keluar. Aku digendong masuk oleh Ibu.
Siang nya, ibu tergopoh-gopoh berlari ke pintu depan. “Loh, kirain si Bapak…” katanya sambil lalu karena saat membuka pintu ternyata tak ada siapa-siapa.
Malam nya aku tak bisa tidur. Bapak belum juga tiba di rumah. Terlihat sedikit kecemasan di mata Ibu, tapi ia menutupinya. Akhirnya aku menutup wajah dengan sarung, pura-pura tidur. Padahal aku menangis. Entah kenapa.
Esok pagi nya, seorang lelaki tak dikenal mengetuk pintu rumah. Berbicara serius dengan Ibu. Setelah itu Ibu berkemas seadanya, menggendongku dan pergi meninggalkan rumah mengikuti lelaki itu. Lalu kami sampai dirumah Paman. Rumahnya ramai. Tak seperti biasanya. Ada bendera kuning terpasang di depan rumah. Wajah ibu menegang. Ketika kami masuk, semua orang memeluk Ibu sambil menangis, Ibu tidak menangis. Ia tetap menggendongku. Orang-orang mengusap kepalaku dengan tatapan iba. Kami masuk ke ruang tengah. Ibu bersimpuh dan aku duduk disebelahnya. Bapak tengah tertidur di tengah-tengah ruangan. Matanya terpejam. Bibirnya membiru. Lalu Ibu mulai meneteskan air mata. Ia menangis dalam bisu. Aku menengadahkan kepala ke langit-langit rumah Paman. Nyalang mencari objek yang bisa mengalihkan perhatian ku. Akhirnya kutatap lukisan yang terpasang di dinding. Kuperhatikan gambar nya. Ini bukan pertama kali aku melihat lukisan itu. Namun aku perlu menengadahkan kepala. Supaya air mataku tidak ikut jatuh seperti air mata Ibu. Aku membelai pelan kepala Bapak. Bapak Cuma tidur. Bapak kecapean abis kerja seharian. Besok libur, kita pergi ke Pasar Anyar lagi. Beli majalah Bobo bekas dan beli buah nangka lagi. Bapak akan selalu berkelakar sambil menggendongku. Bercanda dengan Ibu. Nonton bola malam-malam sambil berteriak gol dengan semangat. Bapak akan berangkat kerja sambil tanya aku mau titip apa. Pulang nya Bapak akan membawakan ku sebungkus coklat silperkuin. Anak lima tahun belum cukup mengerti apa itu arti meninggal. Namun aku tau, hidupku takkan lagi sama setelah ini.
Siangnya, Bapak dimakam kan. Setelah adzan menggema didalam liang berukuran dua meter itu, tanah menutup tubuh Bapak.
“Bapak lagi tidur ya… kok nggak bangun-bangun…” ucapku lirih. Sambil menengadahkan kepala ke langit. Menahan airmata yang akan turun. Ibu semakin erat menggenggam tanganku.
Kata orang, Bapak meninggal di trotoar jalan, setelah jatuh dan kepalanya terantuk batu. Bapak sakit jantung. Di tangan kanan nya ia membawa tas berisi radio butut kepunyaan kami dirumah. Ibu bilang, Bapak akan menjual radio itu di pasar. Karena kami tidak punya uang. Karena Bapak sedang sepi Job. Karena Bapak ingin membelikanku silperkuin. Lima tahun umurku. Lima tahun kulewati hari-hari dengan Bapak. Sangat singkat. Tidak banyak yang kuingat, selain betapa baiknya ia. Betapa humorisnya ia. Betapa pekerja keras nya ia. Dan betapa ia sangat mencintai isteri dan anaknya.
Detik itu, Rindu ku yang tak berujung akhirnya dimulai.
————-
-Oktober 1991- Rumah Kakek.
Rumah itu terasa sangat besar. Namun dingin. Rumah kakek. Tidak sehangat kamar kontrakan Bapak di sebuah dusun terpencil bernama Cisarua. Sesak. Hangat oleh suara canda tawa gurauan Bapak kepada isteri dan anak nya. Setelah kepergian Bapak, Ibu memboyongku dan sebuah tas besar berisi baju. Cuma itu yang kami punya. Bapak tidak meninggalkan apapun kecuali sebuah dompet berisi duit tidak seberapa. Kami migrasi kerumah Kakek. Ibu ku selalu bercerita, Kakek adalah orang hebat. Seorang tentara yang betul betul berjuang pada jaman nya. Kakek tegas, keras dan galak pada kedelapan anak nya. Ibu adalah anak kedua sekaligus anak perempuan paling tua. Paling disayang Kakek karena Ibu adalah anak yang sangat manut kepada orang tua. Aku tau Kakek hebat saat kulihat sebuah pigura poto besar tergantung di dinding ruang tamu rumah Kakek. Seorang lelaki gagah setengah baya berdiri menggunakan tongkat dan memakai baju safari hijau dengan pangkat di kanan kiri bahu, pin garis di dada serta topi khas tentara. Aku duduk di ruang tamu. Ibu berbicara pada kakaknya, meminta ijin untuk tinggal. Kakek dan nenek sudah lama meninggal. Dirumah itu hanya tinggal Uwak, Bibi dan Mamang. Ketiga nya adalah kakak dan adik adik Ibu. Mereka masih single. Belum berkeluarga. Bibi menggendongku. Ia bergumam pada Ibu, lusuh sekali baju ku ini. Untung kulitku kuning bagus, begitu katanya. Bibi ingin Ibu dan aku tinggal. Menemani nya. Dan akhirnya Uwak pun setuju. Hari hari kecilku dilalu di rumah besar Kakek di sebuah komplek polisi di Bogor. Aku tidak pernah keluar rumah. Ibu tidak pernah membiarkan ku. Aku hanya menatap iri dari balik pagar, anak anak kecil berlari bermain main di jalan depan rumah. Aku rindu Pipih dengan bepe-bepean nya. Aku rindu Ayunan di dekat tebing. Aku rindu Ibu ibu yang menggendong gendong anak anak nya tiap sore di gang depan. Aku rindu tukang kredit baju beserta gembolan nya. Aku rindu kios majalah bekas dan tukan nangka di Pasar Anyar.
Aku rindu Bapak.
————-
-Mei 2017-
Entah kenapa potongan potongan acak kehidupan itu terus menggulung dalam alam pikirku. Semua kejadian yang sudah ku alami. Suka. Duka. Getir. Kelam. Bahagia, bahkan rasa yang sudah tak lagi mempunyai definisi kata. Yang ternyata membuatku bisa berdiri setegar ini. Berlari sejauh ini. Melompat setinggu ini.
Sudah duapuluh enam tahun sejak kali terakhir aku menyentuh pipi dingin mu sebelum wajah itu ditutup kapas.
Sudah duapuluh enam tahun rindu ini mengkristal dan terbenam damai di salah satu sudut ruang hati.
Rindu lah yang terus menguatkan ku untuk tak lelah merapal harapan dalam balutan doa.
Sampai jumpa lagi, Pak.. Semoga kelak kita bisa berkumpul kembali di Jannah-Nya.
————-
3 notes
·
View notes
Text
Langit Sore Ini
Tak sengaja aku melihat kebiruan di atas duniaku dan semburat garis garis putih yang membentuk awan.
Dan awan itu seperti sayap malaikat yang terbentang dari timur hingga barat.
Seperti biasa, tiba - tiba dari hal sederhana itu, ingatan ku kembali berlari.
Kemanakah ia? Berlari ke sebuah sore, di atas tebing, dimana kau ceritakan bagaimana buih di lautan terbentuk, bagaimana ombak memiliki kekuatan untuk memukul kencang sang karang.
Dan selalu karang itu tetap berada di tempatnya. Ia diam, kuat. Meski ombak menghempaskan dirinya padanya.
Dan itulah aku, karang nya. Dan kau adalah semburat garis putih seperti sayap malaikat.
Dan kita adalah jarak yang terbuat dari keduanya. Aku di bawah bersama ombak dan air laut. Dan kau di langit bersama birunya payung duniaku dan awan.
Serta kenangan adalah lautan luas dan langit luas yang menyatu dalam satu garis bernama cakrawala dalam lukisan-Nya. Kita menyatu namun hanya dalam kenangan. Dan selamanya akan seperti itu.
2 notes
·
View notes
Text
Senja dan Sajak Cinta ~~
Senja adalah semacam perpisahan yang mengesankan. Cahaya emas berkilatan pada kaca jendela gedung-gedung bertingkat, bagai disapu kuas keindahan raksasa. Awan gemawan menyisih, seperti digerakkan tangan-tangan dewa.
Cahaya kuning matahari melesat-lesat. Membias pada gerak jalanan yang mendadak berubah bagai tarian. Membias pada papan-papan reklame. Membias pada percik gerimis dari air mancur. Membias diantara keunguan mega-mega. Maka langit bagaikan lukisan sang waktu, bagaikan gerak sang ruang, yang segera hilang. Cahaya kuning senja yang makin lama makin jingga menyiram jalanan, menyiran segenap perasaan yang merasa diri celaka. Mengapa tak berhenti sejenak dari upacara kehidupan?
Cahaya melesat-lesat, membias, dan membelai rambut seorang wanita yang melambai tertiup angin dan dari balik rambut itu mengertap cahaya anting-anting panjang yang tak terlalu gemerlapan dan tak terlalu menyilaukan sehingga bisa ditatap bagai menatap semacam keindahan yang segera hilang, seperti kebahagiaan.
Langit senja bermain di kaca-kaca mobil dan kaca-kaca etalase toko. Lampu-lampu jalanan menyala. Angin mengeras. Senja bermain diatas kampung-kampung. Diatas genting-genting. Diatas daun-daun. Mengendap ke jalanan. Mengendap ke comberan. Genangan air comberan yang tak pernah bergerak memperlihatkan langit senja yang sedang bermain.
Ada sisa layang-layang dilangit, bertarung dalam kekelaman. Ada yang sia-sia mencoba bercermin di kaca spion sepeda motornya. Ada musik dangdut yang mengentak dari warung. Babu-babu menggendong bayi di balik pagar. Langit makin jingga, makin ungu. Cahaya keemasan berubah jadi keremangan. Keremangan berubah jadi kegelapan. Bola matahari tenggelam di cakrawala, jauh, jauh diluar kota. Dan kota tinggal kekelaman yang riang dalam kegenitan cahaya listrik. Dan begitulah hari–hari berlalu.
Lampu-lampu kendaraan yang lalu-lalang membentuk untaian cahaya putih yang panjang dan cahaya merah yang juga panjang. Wajah anak-anak penjual Koran dan majalah di lampu merah pun menggelap. Mereka menawarkan Koran sore dan majalah ke tiap jendela mobil yang berhenti. Bintang-bintang mengintip dilangit yang bersih. Seorang wanita, entah dimana, menyapukan lipstik ke bibirnya.
Malam telah turun di Jakarta. Dimeja sebuah bar, yang agak terlalu tinggi, aku menulis sajak tentang cinta.
langit muram, kau pun tahu angin menyapu musim, gerimis melintas pada senja selintas, aku tak tahu masihkah ketemu malamku
kamu adalah mimpi itu, siapa tahu dalam jejak senyap semalam menatap hujan, tiada bertanya sedu atau sedan
2 notes
·
View notes