Text
Aku Ingin Egois
Diamku adalah pelarian dari seribu kata hati yang terluka, dari kepenatan yang menjalar bagai belenggu tak kasat mata. Berjalan di antara riuhnya kehidupan, aku rasa seakan inertia tak kasat mata, di mana segala upaya terasa sia-sia, dan kata-kata terasa terlalu murah untuk diperjualbelikan.
Aku menorehkan kesedihan dalam tautan kata demi kata, melukis luka dengan jemari yang gemetar, menjadi prosa yang tersusun tidak seindah cerita dongeng. Prosa ini bukan semata-mata tinta di atas kertas, melainkan airmata yang beku, membekas dalam jiwa yang terkikis.
Kesedihanku, hanyalah pertunjukan monodrama di panggung sunyi, di mana para penonton hanya bisa terhanyut dalam duniaku lewat untaian kata yang sulit mereka rasakan. Aku berkorban, memberi tanpa jeda, seraya jantung ini tersedu menginginkan pengertian, bukan belas kasihan, hanya penghargaan tulus yang sesekali bertamu dalam sepinya hati.
Aku menangis, tetapi isakanku telah tenggelam dalam gema kehampaan, di mana simpati terasa lebih murah dari tawa yang dibeli dengan retorika kosong. Yang ku mau hanyalah sepersekian rasa keberpihakan, namun tak satu pun ada yang menyelimuti dalam pelukan kasih, tak satu pun menawarkan kata-kata yang bisa menumbuhkan semangat.
Benci? Ah, betapa manisnya kata tersebut saat lidahku menelannya. Benci kepada relung-relung hati yang terlalu tulus berbagi, benci kepada rasa yang tak mau hanya menjadi penonton acuh tanpa kepedulian. Benci aku menjadi lembut bagai seruling ditabuh angin, ingin ku peluk egoisme, menjadikannya tameng dari tentangan dunia yang memandang serong jika aku tak selalu menjadi lilin yang meleleh demi kehangatan orang lain.
Ku ingin berontak, menarik simpul-simpul tali yang telah lama melekat, ketika egoismerasa menjadi sandaran hati yang rapuh, jangan kau salahkan aku. Kalian yang tidak mengerti, yang hatinya tertutup rapat dari suara-suara lirih kami yang sibuk berkorban, kalian, sungguh, tidak lebih baik dari apa yang kalian anggap keburukan dalam diriku. Aku hanya minta ruang, minta sedikit hak untuk bernapas layaknya manusia, layaknya kalian, yang memiliki hati dan kehendak untuk tidak selalu menjadi bayang-bayang di dalam kehidupan orang lain.
Dan prosa ini, adalah caraku meneriakkan isi hati yang terlalu sering diabaikan, menjadi puisi yang barangkali bisa menyentuh kalbu, meski hanya selaras hembusan angin lembut di sore yang dingin.
1 note
·
View note
Text
Dadu Semesta
Sepi ini, seperti pelukan yang kuharapkan. Tangan-tangan yang tidak terlihat menyeka air mata yang jatuh membasahi pipi. Aku hanyut dalam doa-doa yang kuselipkan di antara detik-detik waktuku yang berlalu perlahan.
Sakit, ya, aku merasakannya. Tapi bagaimana lagi, hidup memang tak pernah berjalan di atas lantai yang empuk dan ditemani lagu-lagu bahagia. Kadang ia seperti jalan setapak berbatu yang harus aku tapaki dengan kakiku sendiri.
Aku ingin merengkuh sakit ini, bukan untuk diratapi, tapi untuk kukenang sebagai bagian dari perjalanan. Karena nasib, mungkin hanya lemparan dadu semesta, tetapi bagaimana aku menghadapinya, itu adalah puisi yang hendak aku tulis dengan tinta emas di lembaran hidupku.
Rasa syukur ini, biarlah menjadi madu atas lara. Walau sakit, aku ingin perih ini mengajarkanku tentang kekuatan yang tersembunyi. Aku tahu, di balik angin puyuh, ada hembusan angin sepoi yang menanti. Biarlah derai air mata menjadi saksi, bahwa aku belajar, aku mengerti, dan aku tumbuh, menjadi lebih dari apa yang dulu pernah kupikirkan tentang diriku sendiri.
0 notes
Text
Untuk Apa Sayapku?
Dalam kamar ini, aku tak ubahnya seekor burung yang sayapnya tak harus dipentang lebar. Mereka bilang, lautan biru itu menghanyutkan. Menakutkan. Maka, tuan rumah mengunci kerdil hatiku dalam sangkar emas. Seraya berkata, "Di sinilah tempatmu yang sejati, kan ku menjagamu dari badai."
Namun, bukankah hidup adalah tentang terbang menembus mendung? Bukan melulu berteduh dari hujan penantian? Aku bertanya kepada angin, apa artinya sebuah sayap bila hanya untuk berhias dinding. Haruskah aku rela terkungkung dalam kebisuan, menanti garis akhir menjemput?
Bukannya mereka tak berikan kasih yang hangat, aku tahu aku tercinta. Merega menyelimuti dengan kelembutan yang terjaga. Namun, adakah cinta yang sempurna tanpa kemanjaan merasakan debur ombak, tanpa kebebasan meremas awan?
Dunia adalah sebuah panggung dengan jutaan cerita, dan aku, bagaikan burung dalam sangkar, hanya bisa mengintip dari balik jeruji, tanpa suara yang terdengar. Hanya saja, kisah-kisah itu takkan pernah benar-benar kupahami, jika aku tidak pernah mencicip hembusan angin pada bulu-bulu yang merindu.
0 notes
Text
Rindu
Malam ini, aku terbaring lagi, ponselku tergeletak di sisi bantal, seperti telah menjadi ritus sebelum tidur. Sambungan tak terlihat itu, membentang jauh hingga ke nomor yang kini telah menjadi bagian dari napasku.
Dengan deru nafas yang tercampur keluh, aku membagi rasa rindu itu kepadanya. Ada keinginan mendalam untuk berada dalam pelukannya, yang ironisnya, semakin membuat hati ini terasa tercekik. Rindu ini, bagai rantai yang tak ingin lepas.
Hari-hari sebelumnya, suara dari seberang sana cukup menjadi penawar. Namun, entah mengapa malam ini, segalanya terasa begitu berat. Keluh kesah rinduku hanya bisa terdengar tanpa bisa diobati. Dia, di sana, di ujung perjuangannya.
Namun, ada rasa syukur yang tercurah saat dia, dengan penuh kelembutan, merespons rengekan manjaku. Dia juga merindu, kata-katanya itu seperti oase di tengah padang pasir kerinduan. Dia juga merasa tersiksa oleh jarak, ingin memelukku erat.
Oh malam, jadilah saksi bisuku kepada Tuhan. Agar Dia melancarkan rezeki dan senantiasa memberikan kesehatan serta kekuatan kepadanya. Kami berdua, sedang merajut harapan, untuk suatu hari nanti, dapat bersama membangun sebuah istana kecil yang kami sebut rumah.
0 notes
Text
Aku menatap langit yang berarak pelan, menyerupai lukisan yang tak kunjung selesai. Ada duka yang meresap ke dalam tulang, dilepaskan lewat pandangan kosong ke gumpalan putih di atas sana. Awan-awan itu, seperti puzzle hidup yang tak pernah menemukan potongan terakhirnya. Begitu juga dengan keluargaku. Masih satu atap, namun seakan ada dinding tebal yang memisahkan hati kami.
"Broken home," bisikku lirih, sebuah istilah yang terngiang-ngiang bagai denting piano yang sumbang. Di ruang keluarga, suara tawa tak pernah lagi menyapa. Ada yang hilang, bukan hanya percakapan, tapi juga kenyamanan yang seharusnya menjadi temaram sore kita. Kami berjalan melewati satu sama lain, seperti hantu masa lalu yang belum bisa menerima kenyataan bahwa mereka sudah tidak lagi ada.
Dalam duka yang bergaung, aku mencari-cari apakah ada salah satu dari kita yang paling menderita. Dan setiap kali itu, aku sadar bahwa catatan lara itu penuh dengan namaku. Bukan separuh, bukan sepertiga, melainkan seluruh halaman berbicara tentang coretan hitam atas namaku.
Aku tenggelam dalam renungan, melihat bahwa 'broken home' bukan hanya barang milik mereka yang jasmani terpisah. Tetapi juga bagi kami, yang masih menempati ruang yang sama, tetapi dengan hati yang tidak pernah bertemu. Bagi kami yang terkurung dalam kesenyapan, disudutkan oleh kata-kata yang tak pernah terucap, tapi memiliki kekuatan untuk merobek jantung hingga ke serpihan terkecil.
Aku merenung dalam kebiasaanku yang telah lama, mencari hikmah dalam setiap patah hati, mencoba memahami bahwa setiap awan yang berarak, membawa hujan yang akan membasuh, dan suatu hari, mungkin, akan membawa juga kebahagiaan yang telah lama hilang di antara kita.
0 notes
Text
Hati terasa pilu, telah berjibaku dengan keras namun tetap tersakiti. Tiada henti usaha namun tawaran bahagia enggan menyapa. Lemas kini diri, terdampar dalam letih. Kesempatan hadir, namun bagai kaki lumpuh tak mampu bergerak.
0 notes
Text
Di bawah tirai senja yang menyembunyikan luka, kudapati diriku terhanyut dalam narasi duka. Sesosok sahabat yang kukira perlindungan, perlahan mendadak menjadi titik kepedihan. Ironisnya, hati ini teraduk bukan karena cinta yang tak sampai, melainkan dikhianati kepercayaan yang entah kemanakah melayang.
Bukan karena dia merajut benang asmara dengan sang pria yang pernah sekejap kutitipkan hati, melainkan karena topeng pengkhianatan yang dikenakannya begitu rapi—membungkus fitnah dalam tabir kebaikan. Padahal, hasrat hati ini terbilang sederhana; rasa suka yang kugapai hanya mimpi yang tak hendak menjadi nyata.
Betapa sederhana sekiranya dia membuka tabir jujur mengenai hajat hatinya, niscaya aku akan menghaturkan restu dengan tulus. Ternyata, ia menaburkan benih dusta di kebun persahabatan kita, mengairinya dengan pura-pura dan memetik buah pengkhianatan yang hanya mampu bersemi sekejap sebelum layu dan jatuh tak terurus.
Sakit ini tersemat, bukan karena asmara yang kandas, namun karena sahabat yang mencuri kepercayaan dengan senyum yang sembunyi. Mungkin luka ini akan mengering seiring waktu, tapi akan selalu ada cicatrich dingin yang tersisa.
Menggunakan kata "maaf" ibarat hujan yang mencoba menyiram pasir panas; secepat itu pula ia menguap dan tak berarti. Namun, yang bisa kugenggam hanya harapan bahwa bekas luka persahabatan ini akan mengajarkan kebijaksanaan, untuk tidak lagi terbuai dalam sandiwara persahabatan yang tamu.
#galauquotes#sajak galau#life quote#book quote#galaubrutal#sajak patah#sajak puisi#sajakindonesia#sajakliar#sajakpendek#sajaksesak#patah hati#menangis
3 notes
·
View notes
Text
Roda takdir terus berputar, enggan berhenti, meski aku telah kehilangan rasa. Tak secercah keinginan pun tersisa untuk menggenggam bayangannya lagi. Tidak ada rasa benci, tidak ada amarah yang terselip di antara detak jantungku. Yang ada hanyalah saja hantui kenangan yang tak terlepas dari peluk waktu.
Dalam kesunyian, sementara melodi lagu mereguk kesepian, serpihan memori tentang sahabat yang pernah berbagi tawa kini menusuk lirih dari arah yang tidak kuduga, hanya demi seorang lelaki.
Mengenang kembali cerita itu, terkadang membuatku terkekeh dengan getir. Waktu itu, ternyata hati lelaki itu lebih gampang tertambat padaku, dan aku? Mungkin telah tersentuh rasa kagum—namun sekali lagi, mungkin itu hanya khayalan, sebab wajahnya kini telah kabur dalam ingatan.
Ketika kita berselisih, aku acuh, seperti daun yang tak peduli kala musim berganti. Hanya saat jarak memisahkan, barulah kuakui ketertarikan semu itu. Hal itu pun muncul hanya bila ada yang mengingatkanku. Aku bagai memori yang retak, tidak sempurna. Namanya bisa memantik api di dada, namun wajahnya layu, tidak tertanam di sanubari. Sungguh aneh. Aku merasa seperti ini bukan cinta.
Maka tak heran, aku tak mampu memeluk perasaannya dengan tulus. Lebih perih lagi, sahabat yang seharusnya menjadi tempat bersandar malah menyimpan rasa untuknya. Dan kenyataan pahit itu kudapati ketika ia menumpahkan curhatan....
0 notes
Text
Seolah-olah aku tenggelam dalam pantulan diriku sendiri, tatapan dari mata yang refleksinya terpampang dalam cermin yang sama, bertahun-tahun telah menjadi saksi bisuku menghadapi berbagai rasa. Di sana pernah tergambar kesedihan, air mata, kepedihan, amarah, frustrasi, kekesalan—rantai emosi yang tampak lepas satu persatu dari padang pandanganku.
Namun, saat ini terasa berbeda. Tubuhku seolah hanya kulit belaka, tanpa esensi yang memenuhinya.
Air mata telah surut, seakan hati telah letih mengulang luka yang sama berulang kali. Senyum pun tak hendak tercurah, seolah semua kegembiraan tak lebih dari ilusi yang datang dan pergi.
Begitulah, bisa jadi aku telah mencapai batas kelelahan hingga menangis pun rasanya sia-sia.
0 notes
Text
Namun, aku mencoba menemukan harapan dalam arti terbalik dari mitos tersebut. Harapan akan kehadiran seseorang, mungkin?
Suara sapuan peluh ibuku menggema dari samping kamar, membangunkanku dari lamunanku. Aku bertanya padanya tentang tanda-tanda itu, namun jawabannya tak dapat meredakan keraguku. Naluriku membangkang, meyakini bahwa kedipan kelopak atas memang sebuah isyarat akan tangis sedih.
Hingga akhirnya, di hari yang penuh rasa, aku menghela nafas panjang. Tangisan pun tak dapat dipungkiri. Namun, bukanlah tangisan sembarangan. Jiwa yang terguncang, teriris, meratap dalam kehampaan. Mereka yang selalu kucintai, yang kuberikan segalanya, kini menyakitiku. Orang-orang yang harusnya menjadi tempatku pulang, kini menjauhkan hatiku.
Mama dan papaku.
1 note
·
View note