#Koalisi Advokat
Explore tagged Tumblr posts
Text
Tarif PDAM Naik, Koalisi Advokat Peduli DEMAK Buka Posko Pengaduan
Tarif PDAM Naik, Koalisi Advokat Peduli DEMAK Buka Posko Pengaduan
HARIANSOLORAYA.COM, DEMAK || Paska pandemi covid19, ekonomi masyarakat belum juga pulih. Bahkan kecenderungannya harga kebutuhan dasar masyarakat masih mengalami naik turun. Sayangnya, kenaikan ini juga diikuti oleh berbagai tarif layanan publik lainnya, seperti halnya tarif Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Hal inilah yang terjadi di Kabupaten Demak Jawa Tengah. Melalui SK No 690/438 Tahun…
View On WordPress
0 notes
Text
Koalisi Desak ungkap Kasus teror Bom Kantor Media Jubi
JAYAPURA | Koalisi Advokasi Keadilan dan Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua, yang terdiri dari berbagai organisasi pers, advokat, dan lembaga sipil, mendesak Kepolisian Daerah Papua (Polda Papua) serta Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk segera mengungkap kasus teror bom yang menargetkan kantor redaksi Media Jubi pada Rabu, 16 Oktober 2024 dini hari. Insiden teror tersebut terjadi…
0 notes
Text
Masyarakat Hukum dan Profesional Yogyakarta Deklarasi Dukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar
YOGYAKARTA | KBA – Dukungan untuk capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) terus berdatangan. Kali ini, Masyarakat Hukum dan Profesional Yogyakarta mendeklarasikan mendukung pasangan yang diusung Koalisi Perubahan nomor urut 1 ini. Koordinator Masyarakat Hukum dan Profesional Yogyakarta Aprilia Supaliyanto mengatakan, setidaknya ada 200-an advokat dan profesional mendukung…
View On WordPress
0 notes
Text
Bahaya Laten Anti-Intelektualisme*
Oleh Zen RS
[1]
Anti-intelektualisme adalah pandangan, sikap, dan tindakan yang merendahkan ide-ide, pemikiran, kajian, telaah, riset, diskusi, hingga debat. Dalam rumusan Richard Hofstadter, anti-intelektualisme diindikasikan dengan perendahan, purbasangka, penolakan, dan perlawanan yang terus menerus, ajeg dan konstan, terhadap dunia ide dan siapapun yang dianggap menekuninya. Turunan dari hal itu adalah syak wasangka yang akut kepada filsafat, sains, sastra, seni – pendeknya: mencurigai teori.
Secara etimologi, teori meniscayakan kesediaan mempertimbangkan, berspekulasi, menggugat, mempersoalkan (dari kata Itheoria dan theorein dalam Yunani). Teori tak akan pernah lahir dari para “pemeluk teguh” kebenaran, yang memandang segala sesuatu sebagai beleid-beleid, pasal-pasal, ayat-ayat, yang mesti diterima tanpa syarat, juga mesti bulat, tanpa cacat, minus keraguan.
Dalam ilmu pengetahuan, teori selalu merupakan agregasi tiada henti dari berbagai fakta, beragam hipotesa, yang satu sama lain saling berdialog dan kadang bertarung, sampai kemudian dapat ditemukan sebuah rumusan. Dalam perjalanannya, setiap rumusan, katakanlah sebuah teori, juga akan (bukan harus, karena akan mengandaikan sesuatu yang alami, niscaya terjadi) menghadapi tantangan dari fakta-fakta baru, konteks-konteks baru, temuan baru.
Melalui falsifikasi ala Popperian atau patahan paradigmatic ala Thomas Kuhn, teori terus berkembang. Niscaya bertumbuh. Masyarakat yang didominasi sikap anti-intelktualisme, dengan sendirinya, sulit melahirkan ilmu pengetahuan. Masyarakat jenis itu yang tidak cukup memiliki kadar asam-basa yang dibutuhkan bagi merekahnya peradaban.
Sebab hanya butuh seekor angsa berwarna hitam untuk mematahakan “teori” bahwa angsa itu berwarna putih. Kebebalan – yang dicirikan oleh sikap tidak sudi mempertimbangkan lagi dan meninjau ulang; ingat soal etimologi teori dari theoria dan theorein— akan membuat fakta tentang seekor angsa berwarna hitam bisa dibantah dengan rupa-rupa dalih, misalnya: itu bukan warna hitam, karena kadar hitamnya cuma 75 persen.
[2]
Anti-intelektualisme tidak sama dengan anti-logika atau anti-rasio(nalisme). Logika hanyalah salah satu metode penalaran, cara berpikir, dan bukan satu-satunya – apalagi jika logika semata dirujuk kepada silogisme Aristotelian. Seorang bisa tekun ber-uzla, bermeditasi dengan nalarnya, berkontemplasi dengan akal-budai, melalui jalur yang lain. Metode kreatif di kalangan para penyair, misalnya, sangat mungkin tidak bekerja dengan logika macam itu.
Dari situlah menjadi lebih mudah memahami anti-rasio(nalisme). Dirunut jejaknya sejak Yunani kuno, dan menemukan bentuknya yang mapan melalui penahbisan res-cogitan (aku-berpikir) sebagai fakultas puncak kemanusiaan oleh Rene Descartes, rasionalisme sudah ditentang oleh kalangan romantic (terutama dari Jerman) sejak abad 18 dan memuncak melalui Nietzsche.
Melaui pembelahan spirit Dyonisian dan Apollonian, Nietzsche tampil menjadi advokat paling keras kepala dari pandangan yang menganggap bahwa kemabukan – yang diwakili dewa anggur bernama Dyonisius – sebagai cara paling menjanjikan untuk menjalani hidup, dan bukan pandangan Apollonian – yang diwakili dewa matahari dan kedokteran bernama Apollo – yang memuja keseimbangan, tatanan, pengendalian diri, juga pencerahan (yang berporos pada akal-budi dan nalar). Itulah mengapa, bagi Nietzsche, spirit agung Yunani itu terletak pada (drama) tragedy bukan filsafat.
Selain Nietzsche, anti-rasionalisme ini juga banyak “cabangnya”, salah satu di antaranya tentuu saja Sigmund Freud. Dialah “murid” Nietzsche dari lapangan psikologi, walau awalnya metode psikoanalisis Freud yang meneliti mimpi dianggap sebagai pseudo-sains. Melalui Freud, akhirnya, manusia mulai menyadari bahwa banyak hal dalam diri tidak ditentukan atau dipengaruhi secara sadar atau oleh kesadaran, melainkan oleh alam bawah sadar, yang disebut Freud sebagai “id”. Nalar, akal, budi, hukum, hingga agama hanyalah supra-struktur yang ditentukan oleh “id”.
Bukan “saya berpikir maka saya ada” ala Cartesian, melainkan “saya tidak sadar maka saya ada”.
[3]
Anti-intelektualisme sudah ada sejka manusia mengenal kegiatan intelektual. Jika membaca buku Fernando Baez, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, daftar kebencian ide-ide sudah ada sejak zaman sebelum masehi. Dari era Raja Joachim pada 700 tahun sebelum masehi hingga ketika Gramedia memusnahkan buku karena diprotes FPI. Dari penghilangan paksa buku kedua Poetics karya Aristoteles tentang komedi hingga pemusnahan variasi Al-Quran demi kodifikasi Mushaf Ustmani. Dari penhancuran Bait Al-Hikmah di Baghdad oleh balatentara Hulagu Mongol hingga pengeboman perpustakaan Baghdad oleh pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat di awal abad 21. Dari dibumihanguskannya koleksi Pramoedya hingga pembubaran paksa lapak Perpustakaan Jalanan di Dago.
Itu semua bentuk-bentuk anti-intelektualisme yang kasar, telanjang, dan terejawantah dalam laku fisikal yang kasat mata. Yang lebih berbahaya justru anti-intelektualisme yang samar-samar, tidak terasa secara langsung, namun berlangsung secara massif dan sistematis. Untuk yang terakhir ini, banyak literature menyebutkan, sudah dimulai sejak merekahnya fajar revolusi industry.
Revolusi industry mengubah lanskap Eropa dan – pelan tapi dengan tingkat kepastian yang tak tertahankan – juga mengubah wajah dunia. Industri membutuhkan banyak sekali pekerja, dari tingkat para penemu teknologi, direktur, manajer, hingga buruh rendahan. Dan itu membutuhkan pendidikan yang spesifik. Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, pendidikan dirancang untuk menjawab kebutuhan produksi (baca:industry). Pendidikan-pendidikan keteknikan, atau lebih tepatnya: pendidikan bercorak spesialis, berkembang dengan pesat. Dimulai dari revolusi industry inilah ilmu-ilmu bersifat teoritis pelan-pelan dikalahkan, atau kurang diminati, dibandingkan ilmu-ilmu praktis.
Dalam bentuknya yang kiwari, fenomena di atas terwujud dalam – misalnya – pengkondisian agar mahasiswa lulus dalam empat tahu, jika perlu kurang dari empat tahun. Tidak perlu berlama-lama di kampus, pelajari yang penting-penting saja (baca:buku diktat), tidak perlu membaca yang aneh-aneh, tidak penting mendiskusikan tema-tema yang taka da dalam silabus dosen, apa lagi beraktivitas dalam organisasi. Itu semua tidak perlu, mubazir, buang-buang waktu, dan buang-buang uang. Yang pasti-pasti saja: masuk kuliah, masuk laboratorium, kerjakan tugas dari dosen, lalu lulus, kemudian segera mungkin bekerja di perusahaan-perusahaan mapan, lalu kawin, lantas beranak-pinak, dan kemudian koit.
Ijazah, dan turunannya yang bernama: sertifikat(si), menjadi penjinak nasib (buruk). Apakah dalam selembar ijazah itu terhampar pengalaman intelektual yang kaya, penjelajahan pemikiran yang berliku-liku, petualangan ide yang berbahaya, tidak lagi menjadi hal pokok. Ijazah bukan lagi sebagai tanda (bahwa seseorang adalah terpelajar), tapi ijazah telah menjadi pesan itu sendiri, sudah menjelma kualitas itu sendiri. Siapa yang tak punya ijazah, juga tak tersertifikasi, layak dianggap tak kredibel.
[4]
Dari sanalah lahir apa yang disebut dengan “kredensialisme” (diambil dari Bahasa Latin, “credere”, yang berarti “to believe”). Term “kredensial” merujuk pengakuan dari pihak ketiga yang memiliki otoritas tertentu bahwa seseorang memiliki pengetahuan dan izin yang diperlukan terkait bidang tertentu dalam pengetahuan. Secara fisik, kredensial dibuktikan melalui ijazah. Otoritas yang memberi bisa macam-macam: sekolah, perguruan tinggi, lembaga profesi, hingga institusi agama.
Persoalannya menjadi lain ketika sertifikat dijadikan standar untuk menilai validitas argumentasi seseorang. Kredensial, sekali lagi, seharusnya menjadi salah satu rujukan untuk memecahkan persoalan dengan mencari seorang yang dianggap pakar. Tapi hanya berhenti di sana saja! Seorang pakar pun bisa salah berargumentasi, sebagaimana orang awam pun bisa benar membangun argument. Kekokohan argumentasi seseorang diukur dengan koherensi antara data-data dan caranya menarik kesimpulan, bukan berdasarkan selembar ijazah.
Kredensialisme, kira-kira, bisa diwakilkan dengan contoh kalimat: “Aku professor, maka argumentasiku sudah pasti benar. Kau lulusan SMA, sudah pasti argumentasi kau salah.”
Dunia masih dipenuhi para pemuja kredensialisme, tak terkecuali di Indonesia. Ini sangat berbahaya karena, terutama, ilmu pengetahuan dikur semata sebagai formalism yang bercorak birokratik. Dalam bentuknya yang terburuk, kredensialsme bisa menjerumuskan ilmu pengetahuan semata sebagai doktrin dan pemilik kredensial tak ubahnya pemimpin sekte yang selalu benar. Pasal 1: pemilik kredensial tidak bisa salah. Pasal 2: jika pemilik kredensial ternyata salah, maka kembalilah ke pasal 1.
Kredensialisme adalah gejala di mana-mana. Di Indonesia , misalnya, seorang Ph.D., bisa dengan gampang hilir mudik di televise sebagai pengamat. Dianggap pakar karena sudah punya ijazah doctor ilmu politik. Tidak lagi dipersoalkan apakah yang bersangkutan masih rutin melakukan penelitian atau tidak, masih membaca buku-buku terbaru atau tidak, dan apakah masih menulis atau tidak. Tidak penting lagi proses bernalar di belakang layar, yang penting bicara dengan licin di televise. Syukur-syukur punya koneksi dengan faksi-faksi elit politik.
Tidak terlalu keliru jika ada yang mengatakan mewabahnya fenomena pakar/pengamat sebagai gejala anti-intelektualisme.
[5]
Nalar pendidikan yang menempatkan sekolah sebagai pemuas nafsu – semacam dildo dan vibrator – bagi industry ini, bermuara pada apa yang saya sebut di awal sebagai “kecurigaan kepada teori”.
Teori, juga aktivitas mempelajari dan menelaah teori, dianggap sebagai hal yang tidak praktis, mengawang-awang, ndakik-ndakik, tidak membumi, dan tidak memberikan dampak apapun pada kehidupan. Jika pun teori dipelajari, pada awal dan pada akhirnya, itu dilakukan untuk menciptakan penemuan-penemuan baru, atau menjawab persoalan-persoalan, yang dibutuhkan dan dihadapi oleh industry. Teori kadang direndahkan sebagai mimpi basah para pelamun, sebagai takhayul lama yang yak berguna, karena para resi sudah tidak sesuai dengan zaman, dan para empu bisa diciptakan hanya dalam 7 semester.
Dalam konstelasi sejarah politik di Indonesia, khususnya dimulai sejak Orde Baru, dan inilah yang akan menjdai pokok pembahasan kita sore ini, kecenderungan anti-intelektualisme, dan syak wasangka kepada teori, dijadikan alasan untuk mencurigai diskusi, debat, telaah, dan kajian. Studi Daniel Dhakidae yang menghasilkan buku Cendekiawan dan Kekuasaan, memuat banyak sekali contoh kasus bagaimana komunitas-komunitas akademik (termasuk Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial/HIPIIS, dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia/ISEI) seperti menjauhi teori dan sibuk serta sigap menjawab kebutuhan-kebutuhan rezim yang sedang tergila-gila dengan pembangunanisme. Jika pun ada teori, ia lebih menyerupai “bispak”: bisa dipakai untuk melegitimasi kebijakan.
Dengan alasan tidak praktis (persisnya: tidak praktis bagi kepentingan pembangunanisme ala Orde Baru), diskusi-diskusi dicurigai, kajian-kajian yang tidak lazim, hingga debat di parlemen sekali pun dihalangi dan dibatasi. Jangan heran Soeharto selalu menjadi presiden secara aklamasi, sebab mufakat adalah keutamaan, dan ketidaksetujuan sebagai tidak berkepribadian Timur. Teori, sekali lagi, tidak cocok dengan kultus terhadap mufakat, karena teori pada dasarnya membuka diri pada retakan, pada kesalahan, pada fakta-fakta dan temuan baru.
Dengan sendirinya budaya kritik dihambat. Macam-macam caranya: dari mulai interogasi, kemudian ditangkap, diadili dan akhirnya dipenjara – hingga omong kosong slogan “kritik harus bertanggungjawab”, “kritik harus disertai solusi”. Siapa pun yang mengkritik, tapi tak disertai solusi, sering diledek: “Ah, teori!” Ledekan yang begitu santai, sudah jamak dan lazim, seakan angina lalu dan memang dilakukan dengan sambal lalu, namun sesungguhnya mencerminkan sesuatu yang begitu serius.
Slogan “kritik harus bertanggungjawab” dan “kritik harus disertai solusi” ini segendang-sepenarian dengan doktrin yang sampai sekarang masih sering kita lihat di berbagai tempat: “tamu yang menginap lebih dari 24 jam harus lapor kepada RT/RW dan Babinsa”. Semua itu dialasdasari oleh nalar: control! (bisa dihilangkan huruf “r”-nya jika diniatkan memaki Orde Baru).
Mestikah diherankan jika perlawanan sistematis terhadap Orde Baru, dimulai pada awal decade 1980an, dipupuk melalui kelompok-kelompok diskusi. Seakan mengulang apa yang dilakukan para seniornya di Stovia, atau yang dilakukan di rumah Tjokroaminoto di Gang Paneleh, studi klub mewabah di berbagai kota. Dari studi-studi klub inilah, yang mendiskusikan berbagai tema dan isu, bermunculan bibit-bibit perlawanan “konkrit” terhadap rezim Orde Baru.
[6]
Anti-intelektualisme tidak ada urusannya dengan tingkat pendidikan, juga tidak bergantung pada latar belakang militer atau sipil. Sangat banyak contoh, lagi-lagi bisa dimulai dengan menukil fakta-fakta yang disusun Fernando Baez, juga dengan melihat kenyataan sehari-hari di sekitar kita saat ini, yang memperlihatkan dengan telanjang betapa anti-intelektualisme sangat jamak berlangsung di kepala orang-orang yang berpendidikan, juga di kalangan sipil.
Hoax tersebar dengan luas dalam kecepatan tak terhingga, tautan sebuah tulisan/berita disebarkan hanya karena judulnya, politikus diserang karena lingkar perutnya atau karena warna kulitnya, video ceramah pendakwah dibagikan jutaan kali hanya karena lidahnya licin membantah Darwin, serial kultwit dijadikan bahan untuk berdebat seakan telah membaca sebuah jurnal ilmiah yang disunting editor professional dan diperiksa para pembaca ahli sekelas para professor. Segenap perilaku macam itu berlangsung dengan massif, seakan hal biasa saja, namun sesungguhnya merupakan bentuk tak kasat mata dari anti-intelektualisme, sekaligus versi lain dari pembubaran paksa Perpustakaan Jalanan dan pertunjukan teater atau diskusi dan pembakaran buku oleh FPI.
Orang seperti Felix Siauw yang berkampanye perempuan-ibu bekerja sebagai marabahaya, sebagai missal, bukanlah orang yang tidak berpendidikan. Ia bisa menulis buku, dan sampai batas tertentu mampu menngartikulasikan pikirannya dengan cara yang lumayan runtut. Ia sama berpendidikannya dengan, missal yang lain, Letjen (purn) Kiki Syahnakri yang nyambung-nyambungin Aristoteles, materialism, marxisme, dan ateisme atau Jenderal Gatot Nurmantyo yang gagal membedakan kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan (lagi-lagi) dengan ateisme. Juga sepadan dengan Letkol Desi Ariyanto yang ngacapruk perkara buku-buku yang dibawa Perpustakaan Jalan itu sudah “diketahui kredibilitasnya” dan “diijinkan untuk dibaca oleh kaum muda, atau malah buku-buku yang di dalamnya berisi topic yang tidak sesuai”.
Anti-intelektualisme di tubuh militer Indonesia menjadi lebih berbahaya karena mereka memegan bedil. Dengan bedil, dan keterampilan fisik yang terlatih, juga legitimasi politik, militer bisa tak terhentikan ketika bertindak dengan semangat anti-intelektualisme. Situasinya menjadi lebih mudah bagi militer karena, tidak bisa tidak, mereka tak sendirian berdiri di bawah paying anti-intelektualisme. Militer ada di medan energy yang sama dengan khalayak dalam soal anti-intelektualisme ini. Pembubaran diskusi buku-buku kiri olrhmiliter, misalnya, menjadi dimudahkan karena mendapatkan legitimasi social dari khalayak yang masih juga tidak mau peduli dengan temuan-temuan terbaru soal 1965 yang membantah pandangan Orde Baru.
Politik Indonesia hari ini bukan seperti ketika Sjahrir menentang bandul politik Soekarno-Hatta di awal kemerdekaan dengan menerbitkan pamphlet Perdjoangan Kita. Juga bukan lagi zaman ketika Tan Malaka, di dalam penjara, menulis buku tipis berjudul Thesis, yang kemudian dibantah oleh Alimin dengan buku tipis berjudul Analysis. Ini zaman ketika walikota gaul mempromosikan jenderal penculik sebagai calon presiden dengan alasan wajah yang ganteng, saat seorang gubernur pemarah dibela setengah mampus karena mereka setiap rapat-rapat yang dipimpinnya, ketika seorang presiden didukung habis-habisan sebagai representasi wong cilik hanya karena merayap dari bawah sebagai tukang meubel – sekaligus dihinakan karena wajah ibunya dianggap terlalu muda untuk menjadi ibu kandungnya.
Kita sedang hidup di lingkungan anti-intelektualisme, dan ini menjadi alasan yang sangat kuat untuk waspada agar kita tak terjermbab pada lubang serupa. Sebab kadang seseorang tidak tahu kalau dirinya sudah tidak lagi berpikir dengan kritis. Tahu-tahu seseorang, dan semogalah kita tidak termasuk di dalamnya, menjadi pembela sesuatu yang kita tidak tahu persis apa duduk perkaranya. Karena seringkali kita merasa sudah berpikir, padahal yang bekerja sebenarnya hanyalah favoritism, subjektifisme, dan pikiran-pikiran ideologis yang dogmatis dan membeku.
*) Ditulis sebagai pengantar diskusi “Politik dan Maraknya Anti-Intelektualisme” di Co-op Space, Universitas Parahyangan, Bandung, pada 2 September 2016
zen rsessay
See godsfavoritecomedian's whole Tumblr
4 notes
·
View notes
Text
Ulama dan Advokat Datangi Mabes Polri, Berikan Nasehat ke Kapolri Listyo Sigit
Ulama dan Advokat Datangi Mabes Polri, Berikan Nasehat ke Kapolri Listyo Sigit
Rabu (9/2) Koalisi Persaudaraan dan Advokasi Umat (KPAU) bersama sejumlah ulama dan tokoh mendatangi Mabes Polri *untuk beraudiensi dengan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo.* Selain Ketua Umum Ahmad Khozinudin dan Sekjen KPAU Ricky Fattamazaya Munthe, ada perwakilan dari Ormas Pejabat (Pengacara Jawara Bela Umat), Ustadz Abu Hamzah dari Purwakarta, Rizky Awal (Pemerhati Sosial Media),…
View On WordPress
0 notes
Text
Jurnalis Asrul Banding, Melawan Kriminalisasi Pers
Jurnalis Asrul Banding, Melawan Kriminalisasi Pers
BERITA.NEWS, Makassar – Tim penasehat hukum yang tergabung dalam Koalisi Advokat untuk Kebebasan Pers dan Berekspresi, resmi mengirim memori banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Makassar melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri Palopo atas putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Palopo terhadap jurnalis berita.news Muhammad Asrul, pada nomor perkara 46/Pid.Sus/2021/PN Plp. Diketahui majelis hakim…
View On WordPress
0 notes
Text
Jejak Jurkani Dibunuh karena Lawan Tambang Ilegal: Dicegat, Dihujani Batu hingga Dibacok
KONTENISLAM.COM - Jurkani, seorang advokat yang bekerja untuk perusahaan tambang PT Anzawara Satria tewas dibacok saat melakukan advokasi melawan penambangan ilegal di wilayah Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan pada 22 Oktober 2021 lalu. Atas pembacokan itu, Jurkani harus mendapatkan perawatan secara intensif di rumah sakit. Setelah 13 hari di rawat, Jurkani dinyatakan meninggal dunia di Rumah Sakit Ciputra, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan pada 3 November 2021 lalu. Hari ini, tim advokasi Perjuangan Rakyat Kalimantan Selatan Melawan Oligarki (JURKANI) menyambangi kantor Komnas HAM dengan tujuan meminta agar kasus ini diusut secara tuntas. Nama Jurkani juga digunakan sebagai nama koalisi dan dijadikan simbol perlawanan rakyat Kalimantan Selatan dalam melawan oligarki. Anggota tim advokasi, Muhamad Raziv Barokah, seusai proses audiensi dengan Komnas HAM turut menceritakan kronologi pembacokan tersebut. Dalam beberapa bulan terakhir, kata Raziv, Jurkani selaku advokat publik terlibat dalam beberapa penanganan kasus di Kalimantan Selatan. Tercatat, Jurkani sempat mengadvokasi pedagang yang menjadi korban penggusuran di sebuah pasar di kawasan Hulu Sungai Utara. Kemudian, Jurkani juga terlibat dalam kerja advokasi petani sawit di Kotabaru, Kalimantan Selatan yang lahannya diambil paksa oleh perusahaan. Termutakhir, Jurkani terlibat dalam advokasi dalam usaha melawan penambang ilegal di wilayah Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Jurkani diminta untuk menyelesaikan kasus penambangan ilegal di wilayah tersebut terhitung tanggal 26 Juni 2021. "Setahu saya, Jurkani mulai advokasi tambang tersebut sejak 26 Juni 2021," ucap Raziv, Rabu (24/11/2021). Dalam usaha menyelesaikan maraknya penambangan ilegal tersebut, Jurkani sempat menjalin dialog dengan para pelaku penambangan ilegal. Hanya saja, hal tersebut tidak berjalan mulus hingga akhirnya dia melapor ke Polda Kalimantan Selatan. Tim dari Polda Kalimantan Selatan pun sempat turun tangan dan mendatangi lokasi kejadian. Hanya saja, para penambang ilegal itu sudah hilang karena operasi yang hendak dilakukan bocor. Tidak sampai situ, Jurkani juga sempat melaporkan hal tersebut ke Mabes Polri. Aparat kepolisian juga sempat memasang garis polisi guna mencegah aktivitas penambangan ilegal berhenti. "Tapi ketika pihak Mabes Polri ini pulang, police line ini dirusak," beber Raziv. Pangkal konflik ini, kata Raziv terjadi pada 22 Oktober 2021. Jurkani yang sedang melakukan pemantauan tiba-tiba mendapati ada sejumlah alat berat di lokasi penambangan. Jurkani lantas mendatangi pihak penambang ilegal dengan ditemani tim pengaman dari pihak perusahaan untuk berdialog. "Bahwa saudara ini menambang di wilayah kami, artinya saudara menambang tanpa izin," kata Raziv menirukan ucapan Jurkani kepada para penambang ilegal, saat itu. Dialog itu, kata Raziv tidak mencapai titik temu. Hingga pada akhirnya, Jurkani berangkat ke Mapolres Tanah Bambu untuk melaporkan aktivitas penambangan ilegal tersebut. Pada pukul 16.45 waktu setempat, Jurkani memulai perjalanannya ke Mapolres Tanah Bambu. Memasuki pukul 17.30 waktu setempat, mobil yang ditumpangi Jurkani tiba-tiba diadang sekelompok orang tidak di kenal. Kaca mobil yang ditumpangi Jurkani pecah karena di rusak. Total ada empat hingga lima unit mobil yang mengadang mobil yang ditumpangi Jurkani. Mereka, menurut informasi yang dihimpun tim advokasi diperkirakan berjumlah 20 sampai 30 orang. Jurkani yang masih di dalam mobil dilaporkan tidak bisa keluar saat kejadian pengadangan tersebut. Di dalam mobil, kata Raziv, Jurkani sempat menelepon pihak kepolisian serta tim advokat berkaitan dengan pengadangan itu. Beberapa orang dari kelompok yang melakukan pengadangan itu tiba-tiba melihat sosok Jurkani yang masih duduk di dalam mobil. "Oh, ini Jurkani, ada Jurkani." Setelahnya, kaca mobil dipecahkan oleh kelompok orang tidak dikenal tersebut menggunakan batu. Setelahnya, pintu mobil dibuka dan Jurkani ditarik keluar dari mobil, dan pembacokan dilakukan berkali-kali. "Itu sopirnya menyaksikan betul peristiwa itu dan sampai sekarang trauma, tingkat traumanya itu depresi tingkat tinggi jadi sulit untuk memberikan keterangan langsung," ucap Raziv. Desakan Cari Aktor Intelektual Raziv mengatakan, kasus penyerangan yang mengakibatkan Jurkani tewas kekinian ditangani oleh Polres Tanah Bumbu. Bahkan, kepolisian telah mengungkap bahwa motif penyerangan terhadap Jurkani karena ada kesalahpahaman. Dalam kasus ini, dua orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Dua orang itu disebutkan dalam kondisi mabuk, kemudian ada kesalahpahaman dan terjadi pembacokan terhadap Jurkani. "Inilah yang kami ingin buktikan bahwa itu sama sekali dalil yang tidak logis dan tidak benar," kata Raziv. Raziv melanjutkan, pihaknya juga mendorong agar kasus pembacokan terhadap Jurkani tidak berhenti pada pelaku lapangan saja. Merujuk pada informasi yang dihimpun tim advokasi JURKANI, ada sekitar 20 sampai 30 orang yang melakukan pengepungan terhadap Jurkani. Atas hal itu, lanjut Raziv, yang seharusnya dibuktikan adalah kasus pembacokan terhadap Jurkani bukan masalah salah paham sebagaimana yang disebutkan oleh polisi. Kematian Jurkani, kata Raziv, adalah upaya pembungkaman terhadap advokat yang berjuang melawan penambangan ilegal. "Bahwa untuk mencari, mendapatkan aktor intelektual. Karena peristiwa ini tidak hanya Jurkani saja, sebelum-sebelumnya juga sudah banyak sekali kasus-kasus kriminalisasi, intimidasi, bahkan pembunuhan akibat konflik agraria dan sumber daya ini," pungkas Raziv. Respons Komnas HAM Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam mengatakan, pihaknya akan mendalami rangkaian kasus yang berujung pada kematian Jurkani tersebut. Dalam agenda audiensi itu, tim advokasi juga memberikan informasi mengenai kasus penyerangan terhadap Jurkani ke pihak Komnas HAM. Sejumlah bukti berupa foto dan video yang berkaitan dengan kasus penyerangan itu turut diberikan kepada Komnas HAM. Bukti itu, kata Anam, akan dijadikan bekal untuk bahan pendalaman. "Ada video, ada foto, ini yang bakal kami dalami, cuman satu hal yang paling penting adalah peristiwa ini di tempat terang benderang, peristiwa ini memiliki latar belakang yang juga terang benderang," kata Anam. Meski demikian, Komnas HAM belum bisa mengambil kesimpulan apapun berkaitan dengan kasus pembacokan yang berujung pada tewasnya Jurkani. Atas hal itu, Anam berharap agar semua pihak, khususnya kepolisian agar terbuka dalam hal proses penanganan kasus tersebut. "Kami berharap semua pihak terbuka termasuk juga kepolisian. Bagaimana proses penanganan kasus ini," papar Anam. Kepada Komnas HAM, tim advokasi JURKANI menyampaikan jika ada hambatan teknis di tingkat kepolisian sektor dalam hal penanganan kasus. Tim advokasi JURKANI juga mendorong agar kasus tersebut ditangani oleh Mabes Polri. "Kami baru dapat informasi dan sebagainya, belum mendalami. Tapi untuk menjamin prosesnya baik, polisi juga profesional, ya memang semakin ditangani kepolisian di level paling atas, semakin baik prosesnya," pungkas Anam. (suara)
from Konten Islam https://ift.tt/3CQCXhm via IFTTT source https://www.ayojalanterus.com/2021/11/jejak-jurkani-dibunuh-karena-lawan.html
0 notes
Text
Tarif PDAM Naik, Koalisi Advokat Peduli DEMAK Buka Posko Pengaduan
Tarif PDAM Naik, Koalisi Advokat Peduli DEMAK Buka Posko Pengaduan
HARIANSOLORAYA.COM, DEMAK || Paska pandemi covid19, ekonomi masyarakat belum juga pulih. Bahkan kecenderungannya harga kebutuhan dasar masyarakat masih mengalami naik turun. Sayangnya, kenaikan ini juga diikuti oleh berbagai tarif layanan publik lainnya, seperti halnya tarif Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Hal inilah yang terjadi di Kabupaten Demak Jawa Tengah. Melalui SK No 690/438 Tahun…
View On WordPress
0 notes
Text
Dibentuk Koalisi Advokasi Keadilan & Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua
JAYAPURA | Merespon atas insiden teror bom terhadap kantor redaksi media Jubi pada Rabu, 16 Oktober 2024, berbagai organisasi pers, advokat, dan lembaga sipil di Tanah Papua bersepakat membentuk Koalisi Advokasi Keadilan & Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua. Pembentukan koalisi ini menegaskan pentingnya perlindungan terhadap kebebasan pers dan keselamatan jurnalis yang semakin terancam oleh…
0 notes
Text
Advokat Perumahan Rakyat Optimistis Anies Bisa Atasi Backlog 12,7 Juta Rumah
JAKARTA | KBA– Advokat Perumahan Rakyat yang juga Wakil Ketua The HUD (Housing and Urban Development) Institute Muhammad Joni optimistis Anies Baswedan bisa mengatasi persoalan perumahan rakyat kalau mendapat kesempatan untuk memimpin negeri ini pada Pilpres 2024 mendatang. Karena calon presiden dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) tersebut telah memetakan masalah dan menyiapkan solusi…
View On WordPress
0 notes
Text
Koalisi Penegak Marwah Profesi Advokat Minta Perlakuan Hukum Yang Adil
Koalisi Penegak Marwah Profesi Advokat Minta Perlakuan Hukum Yang Adil
Padang, Sumbarlivetv.com – Pada hari ini rabu/28 April 2021 Koalisi Penegak Marwah Profesi Advokat telah melakukan audiensi dengan Kepolisan Daerah Sumbar, Kejaksaan Tinggi Sumbar dan Pengadilan Tinggi Padang, meminta perlakuan hukum yang adil dan penghormatan terhadap marwah profesi advokat. Penetapan Tersangka rekan advokat Didi Cahyadi Ningrat dan pelimpahan berkas penyidikan yang sudah…
View On WordPress
0 notes
Text
SAFEnet: Vonis Hakim Terhadap Jurnalis Asrul Keliru
SAFEnet: Vonis Hakim Terhadap Jurnalis Asrul Keliru
BERITA.NEWS, Makassar – Majelis hakim Pengadilan Negeri Palopo memutuskan bahwa Muhamad Asrul jurnalis berita.news bersalah telah melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan pidana penjara 3 bulan penjara, Selasa (23/11/2021) Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto menyatakan dalam konferensı pers Koalisi Advokat Pembela Kebebasan Pers dan Berekspresi yang digelar daring usai putusan vonis…
View On WordPress
0 notes
Text
Mereka terusik karena RUU Permusikan
Restoran W&S Bottleshop di mal Cilandak Town Square, Jakarta Selatan (4/2/2019), ramai dipenuhi para praktisi musik. Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan jadi penyulutnya.
Saya tiba sekitar pukul 10.00 WIB, sesuai jadwal yang tertera di undangan. Ketika sampai, belum terlalu banyak orang yang hadir. Ruangan masih lowong.
Adib Hidayat, Editor in Chief Billboard Indonesia, ketika melihat saya memelototi buklet pemberian Koalisi Seni Indonesia (KSI) langsung menepuk pundak saya.
"Serius amat sih," katanya tersenyum. Kami bersalaman. Saya menduduki kursi yang masih banyak kosong.
Pemandangan itu berubah seiring bergeraknya jarum jam. Satu per satu bermunculan. Total jenderal 200-an orang. Kebanyakan adalah orang-orang yang berkecimpung di dunia musik.
Mereka yang datang, antara lain musikus, teknisi studio musik, pemilik label musik independen, manajer band, akademisi musik, penyelenggara konser, perwakilan musisi jalanan, hingga penulis cum pengamat. Ramai betul. Mereka terusik oleh munculnya RUU Permusikan.
Ada yang akhirnya memilih duduk menyandar di meja bartender. Atau menempati kursi di area boleh merokok yang terletak di luar ruangan. Agar tetap bisa menyimak jalannya diskusi, pintu kaca yang jadi pembatas sengaja dibuka.
Para personel Gigi, seperti Armand Maulana, Dewa Budjana, dan Thomas Ramdhan terpaksa duduk di sofa belakang yang dihalangi sebuah meja panjang.
Drummer mereka, Gusty Hendy, memilih berdiri agak ke depan bercampur dengan rekan musisi lainnya. Hal yang sama dilakukan kebanyakan orang.
Saya berdiri bersandar dinding, bersisian dengan Arian Arifin (vokalis Seringai), Adyth Nugraha (gitaris Disinfected), Revan Bramadika (drummer Rajasinga), John Paul Ivan (mantan gitaris Boomerang), solis Danilla Riyadi, dan belakangan bergabung Angga Dwimas Sasongko (sutradara/produser dan pendiri Visinema Music).
Alhasil ruangan tengah yang menjadi area diskusi penuh sesak. Glenn Fredly dari Kami Musik Indonesia (KAMI) yang membuka diskusi mengaku kaget melihat keramaian di hadapannya.
Pun Anang Hermansyah, salah satu narasumber mewakili anggota DPR RI dari Komisi X yang ruang lingkupnya meliputi pendidikan, olahraga, dan sejarah.
Sebagai musisi yang menjadi anggota legislatif, Anang pula yang menginisiasi pembuatan undang-undang tentang musik. Itu terjadi Maret 2015 alias setahun setelah duduk sebagai anggota dewan. Awalnya dari Kaukus Parlemen Anti Pembajakan.
"Hari ini adalah momen yang luar biasa. Kita bisa hadir dan ramai. Sungguh melampaui ekspektasi saya," ujar Anang yang juga vokalis kelompok Kidnap Katrina.
RUU Permusikan menjadi ramai karena terkandung banyak masalah di dalamnya. Paling awal dan sering mendapat sorotan adalah pasal-pasal yang bertujuan mengebiri kebebasan berkarya musisi.
Penafsirannya pun sangat lentur laiknya karet sehingga potensial digunakan untuk mengkriminalisasi musisi.
Tak hanya itu, belakangan ditemukan pula kejanggalan dalam penyusunan naskah akademik RUU ini. Tulisan dari laman blogspot dijadikan salah satu acuan.
Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan alias KNTL RUUP yang terdiri dari ratusan praktisi musik kontan menolak.
"Jangan sampai ini disahkan jadi undang-undang. Karena hanya akan menghina kecerdasan musisi Indonesia," tegas Wendi Putranto, manajer kelompok Seringai dan mantan jurnalis musik, yang datang sebagai juru bicara KNTL RUUP.
Hanya ada sedikit kemungkinan mengapa banyak musisi mendatangi sebuah tempat. Biasanya karena menghadiri ajang pemberian apresiasi musik, atau jika ada penyelenggaraan konser amal.
Kali ini berkumpulnya mereka bukan untuk dua urusan tersebut. Tak ada undangan khusus pula yang mampir ke pangkuan sebagai penyulut mendatangi sebuah acara. Semua yang hadir karena keinginan sendiri.
Ruang sunyi yang jadi zona nyaman mereka tinggalkan sejenak demi merespons sebuah rancangan produk kebijakan politik, tak lagi hanya memberikan sokongan lewat akun media sosial masing-masing.
Pemandangan seperti itu yang terpampang ketika mendatangi diskusi RUU Permusikan. Undangannya hanya tersebar melalui media sosial.
Dari kalangan musisi, yang memenuhi ruangan berasal dari lintas usia dan genre musik. Dasawarsa 70-an jadi punya wakil seturut keberadaan Benny Soebardja (vokalis dan gitaris Giant Step) dan Candra Darusman (kibordis Chaseiro).
Era 80-an diwakili Rafika Duri yang setibanya di ruangan langsung disambut Rieka Roeslan dan Lisa A. Riyanto, dua penyanyi dari era 90-an. Mereka duduk menempati kursi bagian terdepan.
Lalu muncul lagi Andien, penyanyi pop jazz yang mulai berkiprah pada dasawarsa 2000-an. Dengan cekatan Lisa mempersilakannya duduk di deretan kursi mereka. Tak ingin melewatkan momen, mereka langsung melakukan swafoto bersama alias wefie.
Saya juga sempat melihat sekilas kehadiran Eva Celia. Penyanyi yang baru saja melepas single "A Long Way" ini bisa dibilang mewakili generasi milenial.
Hadir pula Ratna Listy, sang pelantun lagu-lagu keroncong dan dangdut. Syaharani yang konsisten di jalur jazz juga mencolok mata dengan warna rambutnya yang pirang berpadu baju lengan panjang merah.
Sandy Andarusman saat baru datang dan melihat Rere langsung berjabatan tangan. "Gila, kita pada ngumpul semua di sini. Rasanya seperti Lebaran," ujar Sandy saat memeluk kawan lamanya itu.
Mereka berdua telah berkecimpung di industri musik Indonesia sejak era 1980-an. Hingga sekarang konsisten di jalur musik rock. Sandy awalnya tergabung bersama U’camp dan kini bersama Pas Band. Sementara Rere tercatat sebagai pendiri Grass Rock.
Tidak berselang lama, melihat ada beberapa drummer lain hadir, Sandy bersama Rere mengajak Webster Manuhutu (Saint Loco), Gusti Hendy (Gigi), dan Konde (Samsons) foto bareng.
Melalui akun Instagram miliknya, Rere mengunggah foto tersebut dan menuliskan kapsi "kalau gak gini, gak kumpul".
Walaupun timbul kisruh akibat RUU Permusikan ini, juga silang pendapat dari kalangan yang mendukung, menolak, dan yang belum --atau bahkan tidak-- mengambil sikap sekalipun, ada efek positif yang bisa diambil.
"Momen kemarin itu menyatukan kita semua. Itu yang harus kita syukuri," ujar Marcell Siahaan, 41 tahun, saat kami temui di Lawless Burgerbar, Kemang, Jakarta Selatan (6/2).
Penyanyi dan drummer lulusan ujian advokat 2011 yang diselenggarakan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) itu melihat, selama ini harus diakui masih banyak musikus yang kurang perhatian dan peduli dengan perundang-undangan.
"Nah ketika ini mencuat, pada akhirnya mau enggak mau kita harus memikirkannya. Soalnya menyangkut bukan soal kita doang, tapi juga anak, cucu, dan generasi berikutnya," ujarnya.
Berbekal pengetahuannya di bidang hukum tersebut, Marcell berjanji akan ikut membantu perjuangan rekan-rekannya di Koalisi Nasional untuk membatalkan RUU Permusikan.
"Momen ini semoga meruntuhkan sekat di antara kami semua. Enggak ada lagi yang namanya musisi independen, major label, akademisi, atau praktisi. Karena kita semua ingin mewujudkan satu tujuan bersama," kata Endah Widiastuti dari kelompok Endah N Rhesa yang bergabung dalam KNTL RUUP.
Saya menemui Endah yang ditemani suaminya, Resha Aditya, dalam konferensi pers dilanjutkan sesi diskusi yang diselenggarakan KNTL RUUP di Selatan Cafe, Kemang (6/2).
Mereka berdua memang sangat perhatian dengan RUU ini. Saking aktif dan seriusnya, pasutri ini tak ragu memundurkan jadwal perilisan album terbaru Endah N Rhesa. "Menunggu semua ini kelar," ujar Rhesa.
Diakui Endah, belakangan ini perhatian dan waktu mereka banyak tersita. "Semua bekerja keras menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah versi kami untuk RUU ini. Jadi kurang tidur karena setiap hari bekerja 19 jam," ungkapnya.
Endah melanjutkan, bahwa untuk menyusun DIM, mau tak mau ia harus melihat dan mengkaji lagi undang-undang yang sudah ada terkait industri musik. "Jadi belajar bersama dan berkomunikasi lagi."
Hal serupa juga dilakukan Arian Arifin. Saat kami wawancara di Lawless Burgerbar (6/2), vokalis Seringai itu juga mengkaji kembali isi UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan bersama rekannya sesama musikus, Kartika Jahja.
Beberapa pasal dalam RUU Permusikan sebenarnya termaktub dalam UU Pemajuan Kebudayaan yang mengatur musik sebagai salah satu bagian dari seni.
Semisal pasal 6 dan 7 dalam RUU Permusikan. Sudah diatur lebih terperinci dalam UU Pemajuan Kebudayaan pasal 30-34, 43, dan 44.
Bahkan semangat dalam UU Pemajuan Kebudayaan justru lebih mendukung musisi dan pekerja musik. Pada sisi lain, RUU Permusikan justru membatasinya.
Pasal-pasal lainnya juga sudah ada dalam Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.
Sementara tata kelola industri rekaman di Indonesia yang tadinya justru diharapkan masuk dalam RUU Permusikan justru tak diatur terperinci.
Inisiatif menyelenggarakan berbagai diskusi adalah sisi positif lain yang ditimbulkan RUU Permusikan.
Kesadaran-kesadaran itu muncul dari berbagai daerah. Tak berselang lama setelah KAMI dan KSI mengadakan bedah tuntas RUU Permusikan di Cilandak Town Square, daerah-daerah lain juga menggelar acara diskusi.
Bali, misalnya. Menggelar dialog musik yang isinya mengkaji kompetensi RUU Permusikan di ISI, Denpasar (4/2). Pesertanya terdiri dari para akademisi, seniman, praktisi, dan mahasiswa musik.
Setelah itu menyusul Bandung yang diinisiasi Bumiayu Creative City Forum (5/2), Medan (7/2), Surabaya (8/2), Garut (8/2), Yogyakarta (8/2), Cianjur (9/2), Bogor (10/2), lalu Malang (16/2). Daftar masih akan bertambah panjang jika harus dituliskan semuanya.
Perihal diskusi tersebut kemudian diwarnai perdebatan karena adanya beda pilihan, yang juga melebar hingga ke linimasa, merupakan hal wajar. Biasa saja. Di situ letak indahnya kebebasan bersuara sebagai sebuah ekspresi.
"Tolong jangan dibesar-besarkan sehingga esensinya justru terlupakan," kata Wendi Putranto saat menutup diskusi yang berlangsung setelah KNTL RUUP mengadakan konferensi pers.
Esensi tersebut adalah keinginan mewujudkan satu tujuan bersama demi kesejahteraan musisi dan tata kelola industri musik Indonesia yang lebih baik.
#Musik#DPR#RUU Permusikan#KNTL RUUP#Wendi Putranto#Glenn Fredly#Perhimpunan Advokat Indonesia#Kami Musik Indonesia#DPR RI#anang hermansyah#Komite Seni Indonesia#Marcell Siahaan
0 notes
Photo
13 Mei, Perbaikan Dokumen Judical Revieuw PEPERA 1969 Dimasukan ke MK Yan Christian Warinussy MANOKWARI, Papuabaratonline.com - Koalisi Advokat untuk Keadilan dan Kebenaran Rakyat Papua telah mengajukan Permohonan Uji Materil (Judicial Revieuw) terhadap Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1969 tentang pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.
0 notes
Text
FAPP ; KAMI Bukan Orang Yang Tepat Untuk Menyelamatkan Indonesia
FAPP ; KAMI Bukan Orang Yang Tepat Untuk Menyelamatkan Indonesia
TIMORDAILY.COM – Tanggung jawab menyelamatkan Indonesia adalah hal baik bagi setiap orang warga negara Indonesia, tapi mempercayakan penyelamatan Indonesia sebagai negara yang besar dan berkonstitusi kepada segelintir orang dalam KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), “nanti dulu” karena mereka bukan orang yang tepat, karena apa yang diucapkan berbeda dengan apa yang dibuat.
Menyelamatkan…
View On WordPress
#Forum Advokat Pengawal Pancasila#KAMI Bukan Orang Yang Tepat Untuk Menyelamatkan Indonesia#Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia#Petrus Selestinus#Selamatkan Indonesia#Tim Pembela Demokrasi Indonesia#Timor Daily#timordaily.com
0 notes