#Fakultas Sastra dan Budaya
Explore tagged Tumblr posts
Text
Tingkatkan Kemampuan Public Speaking, FSB UNG Gelar Pelatihan Kelas Berani Berbicara
Hargo.co.id, GORONTALO – Fakultas Sastra dan Budaya (FSB) Universitas Negeri Gorontalo (FSB UNG) terus mengasah kemampuan public speaking mahasiswanya. Salah satunya lewat Pelatihan Kelas Berani Berbicara yang digelar HMJ Bahasa dan Sastra Indonesia (Bastrasia) FSB UNG di Ruang Taleningo FSB UNG, Rabu (17/07/2024). “Kegiatan ini sebagai upaya untuk melatih kemampuan berbicara publik mahasiswa,”…
0 notes
Text
Palestina adalah Puisi (Saras Dewi)
Palestina sebagai kumparan kesadaran adalah ingatan yang kelam tentang kekerasan, pengusiran, dan trauma antargenerasi. Palestina adalah kata yang memuat sejarah kekejian, ratapan kematian, dan penjajahan yang tidak berkesudahan. Palestina juga adalah harapan tentang tanah, bangsa, dan kemerdekaan.
Palestina dalam hati para sastrawan dan penyair adalah metafora yang getir. Itu yang disampaikan oleh Mahmoud Darwish, puisi-puisinya yang terinspirasi perjuangan rakyat Palestina, adalah soal tanah yang tidak terbatas pada bentangan bukit dengan pohon-pohon zaitun, tetapi tanah sebagai kerinduan mereka terhadap keluarga, rumah, dan kedamaian.
Palestina sebagai tanah tidak saja meliputi ruang hidup secara fisik, tetapi di khayalan para seniman, tanah itu adalah diri mereka, yang membentuk dunia kultural mereka. Darwish mengatakan, ”Aku menyadari bahwa tanah itu rapuh..; aku pelajari bahwa bahasa dan metafora tidak cukup mengembalikan tempat pada tempatnya. Tidak dapat mencari tempatku di bumi. Aku berusaha mencarinya dalam sejarah, tetapi sejarah tidak dapat direduksi sebagai kompensasi geografi yang hilang…”
Bagi Darwish, lamentasi kehilangan rumah dan bangsanya adalah kesedihan yang sulit diwakilkan oleh perubahan garis-garis batas wilayah yang tertera dalam peta dunia. Dihilangkannya Palestina, adalah penghapusan keberadaan diri, keterasingan yang selalu ia sebut dalam puisinya. Palestina adalah surga yang malang, dan kecintaan terhadap Palestina adalah cinta sejati kepada yang tidak sanggup dimiliki.
Alangkah sembilu saya pikir, sebab apa yang tidak diberitakan oleh media-media ketika tanah di Palestina diledakkan adalah untaian hidup antara seorang ibu kepada anaknya, seorang kakek kepada cucunya, atau pertalian keluarga dan komunitas dalam suatu pemukiman. Apa yang tampak di layar kaca maupun gawai kita adalah gambar tumpukan puing-puing, debu dan patahan kerangka, yang menimbun peristiwa hidup yang dahulu bahagia dan semarak.
Dunia melupakan Palestina dalam wajah kesehariannya. Diskursus yang diangkat terkait kekerasan yang tengah terjadi, berputar-putar pada kerumitan yang melingkupi diskursus geopolitik. Padahal, di balik itu orang-orang perlu melihat keseharian yang dilenyapkan dalam penjajahan Palestina. Keseharian ini tersimpan dalam karya-karya penting para sastrawan; Mahmoud Darwish, Ghassan Kanafi, Adania Shibli, Susan Abulhawa adalah sebagian penulis yang ingin mempertahankan narasi-narasi yang menyuarakan kehidupan warga Palestina dalam kesehariannya.
Keseharian inilah yang perlu terus dibicarakan. Selain karya sastra, kehidupan di Palestina dapat kita amati melalui karya-karya para sineas. Saya mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Jemaah Sinema Madani Film Festival bekerja sama dengan kampus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI yang menayangkan film-film pendek yang berkisah tentang Palestina. Film Maqloubeh (2012) karya Nicolas Damuni menceritakan tentang lima pemuda yang hidup di Ramallah, mereka memasak hidangan khas Palestina bernama Maqloubeh.
Film itu menyampaikan keadaan yang tragis, bagaimana warga Palestina harus hidup dengan rongrongan kontrol Pemerintah Israel. Normalisasi dan internalisasi kekerasan inilah yang disiratkan dalam film tersebut. Bagi orang-orang Palestina, hidangan ini lekat dengan perjuangan rakyat Palestina. Menikmati Maqloubeh bersama-sama menjadi simbol pembangkangan terhadap kekuasaan penjajahan.
Dukungan masyarakat dan Pemerintah Indonesia terhadap Palestina perlu dimaknai sebagai solidaritas yang melampaui golongan, agama maupun etnis. Begitu pula di mata global, sewajarnya pembebasan Palestina bukan saja tanggung jawab solidaritas dunia Arab, lebih besar dari itu, pembebasan Palestina adalah cita-cita humanitarian yang penting disokong oleh siapa pun.
Filsuf teori kritis dan jender, Judith Butler, menyatakan dengan tegas bahwa kekerasan yang terjadi di Gaza adalah genosida. Butler, seorang filsuf dengan akar ajaran dan budaya Yahudi, menulis dalam renungan filosofisnya yang berjudul ”Parting Ways, Jewishness and the Critique of Zionism”, ia menjelaskan bahwa etika Yahudi perlu dimaknai secara kritis, yang menolak opresi pengambilalihan tanah di Palestina pada tahun 1948, yang menyebabkan eksodus besar-besaran yang dikenal sebagai Nakba.
Samera Esmeir seorang periset dan pengajar di UC Berkley yang fokus pada sejarah politik, hukum, dan HAM di Timur Tengah, ia menulis esai yang menggugah dengan mendedah Palestina sebagai situs kolonialisme modern. Ia menganalisis pengertian tentang Nakba, yang dalam bahasa Arab berarti katastrofe, ia berargumen bahwa terpisahnya orang Palestina dengan tanahnya memengaruhi keseluruhan eksistensinya sebagai manusia.
Itu mengapa kata genosida ataupun penyingkiran etnis tidak memadai menggambarkan apa yang terjadi terhadap orang-orang Palestina, sebab yang terjadi tidak saja penghancuran secara fisik dan biologis, tetapi pembasmian dan pemusnahan ingatan dan sejarah Palestina. Esmeir menguraikan bahwa dengan lensa kritis kita dapat mencermati praktik kekerasan militer yang menyasar pemutusan orang Palestina dari tanahnya dengan cara; iqtila (mencerabut), tarhil (deportasi), tahjir (pengasingan), dan tashrid (pengusiran).
Saya kesulitan menutup tulisan ini, sebab kata-kata ini tidak akan pernah cukup menuturkan duka tapi sekaligus asa untuk Palestina. Beberapa tahun yang lalu saya pernah membaca esai karya seorang guru asal Palestina bernama Refaat Alareer dalam buku yang berjudul Gaza Unsilenced, ia bercerita dengan lirih tentang kerinduannya kepada adiknya yang bernama Hamada. Adiknya terbunuh oleh serangan bom pada tahun 2014, ia mengatakan bahwa Hamada adalah martir nomor 26 di keluarga besarnya.
Awal Desember ini saya membaca bahwa Alareer telah meninggal dunia disebabkan serangan udara yang menimpa wilayah Gaza, ia meninggal bersama 6 anggota keluarga lainnya. Ia meninggalkan dunia yang bengis ini dengan mewariskan sepenggal puisi, ”Jika aku harus mati, kau harus hidup untuk menceritakan kisahku..— Jika aku harus mati, biarkanlah ia membawa harapan, biarkanlah ia menjadi cerita.”
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/12/22/palestina-adalah-puisi
0 notes
Text
Mestika Zed: ASM & ”TEORI BELAH BAMBU”
©MTZ-II-13-08
ASM & ”TEORI BELAH BAMBU”
Oleh Mestika Zed
Kenapa meneer X, sesoedah promosi di negeri Belanda tak pernah membikin publikasi (penjelidikan wetenschappelijk) seoemoer hidoepnja lagi? Lantaran soedah berpangkat, tidak ada tempoh, banjak kerdja, banjak anak, besar tanggoengan, digoda oleh chef, selaloe dipindahkan oleh papa gouvernement, dipergantoengi oleh kaoem famili segerobak...? Amboi, kenapa orang Barat sesoedah ia berpromosi dan berdiploma baroe moelai hidoep, madjoe, menjelidiki, mengeloearkan publikasi tiap tahoen dan lain-lain, walaupoen banjak poela rintangan dari loear jang diderita mereka. Apakah kaoem kita oemoemnja beloem dihinggapi oleh djin (demon) penjelidikan, beloem bernafsoe membikin (scheppen), baroe toekang tiroe mengamin sadja? Atau nafsoe ini bangkit apabila ia hidoep dalam masjarakat sendiri jang tidak biasa structuurnja? Wallahoealam. [cetak miring dai penulis, MTZ].
K
UTIPAN di atas agaknya membingungkan pembaca yang budiman. Tetapi mohon jangan salah faham. Saya mengutipnya sekedar pembuka wacana untuk memahami sekedarnya tentang tempat Pak Ahamd Syafii Maarif (ASM) di antara kaum akademisi Indonesia. Inilah “angle” yang akan saya gunakan untuk berbincang tentang siapa ASM dalam kaca-mata saya. Meskipun saya dapat memastikan sudah mengenal namanya lebih dari dua puluh tahun lalu, tetapi tentu sangat sedikit yang dapat saya ketahui tentang ASM. Terlebih lagi karena perkenalan saya yang agak dekat dengannya baru terjadi belakangan. Rasanya baru sejak pertengahan 1990-an, ketika kami sering bertemu dalam seminar-seminar, forum diskusi Kompas atau sesekali bersua saat beliau “mudik”, pulang kampung ke Sumatera Barat. Kadang beliau juga mengirim “souvenir” kepada saya, yakni berupa buku karya beliau sendiri yang baru diterbitkan. Saya pun demikian, sekali-sekali mengirimkannya juga buku saya. Paling tidak untuk menutup malu agar jangan dicap hanya suka “menerima” melulu, tetapi jarang memberi.
Salah satu buku beliau yang paling berkesan bagi saya ialah berjudul Islam dan Politik. Teori Belah Bambu. Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (1996). Buku itu berasal dari “tesis MA”-nya (1975-1977) di Ohio State University, AS di bawah bimbingan Prof. Dr. William Frederick, yang sekali waktu juga pernah menjadi guru saya saat kuliah di Kampus Bulaksumur, Yogyakarta. Bedanya, beliau berguru dengannya di Amerika, sementara saya cukup di tanah air saja. Kebetulan Dr. William Frederick menjadi guru besar tamu di Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Gadjahmada, tempat di mana saya kuliah di akhir 1970-an. Meskipun kampus kami bertangga -- saya di Bulaksumur dan ASM di Kampus IKIP Karang Malang, di mana ia mengajar -- kami tak pernah bertemu satu sama lain. Soalnya saya mahasiswa dan beliau sudah menjadi dosen. Meskipun begitu waktu itu saya sudah mengenal namanya. Lain tidak. Tetapi alasan mengapa kami tak pernah berjumpa sebenarnya ialah karena saat itu beliau masih melanjutkan studi ke negera Paman Sam, seperti halnya dengan kolega ASM yang lain: Dr. Amin Rais dan Dr. Kuntowijoyo; yang terakhir ini juga dosen saya di Jurusan Sejarah. Ketiganya kemudian menjadi tokoh yang dikenal luas di kalangan aktivis kampus Yogya. Pada umumnya mahasiswa generasi saya di akhir 1970-an dan sesudahnya mengenal ketiga tokoh ini sebagai sosok yang dihormati. Barangkali karena ketiganya bukanlah termasuk golongan ilmuwan seperti “Meneer X” yang diceritakan dalam kutipan di atas.
* * *
Kutipan di atas aslinya berasal kumpulan karangan Dr. Amir (1900-1949), seorang cendikiawan Minang yang menamatkan studinya di bidang kedokteran di Belanda. Kumpulan karangan itu -- yang ditulis untuk berbagai media antara tahun 1923 sampai 1939, diberi judul Boenga Rampai (terbit tahun 1940). Dengan kutipan di atas, Dr. Amir sebenarnya sedang mengutarakan keprihatinannya terhadap kiprah ilmuwan Indonesia yang menamatkan studinya di luar negeri. Waktu itu jumlah tentu masih amat sedikit. Apalagi yang menamatkan degree doktor masih dapat dihitung dengan bilangan jari sebelah saja. Meskipun demikian gejala yang diamati Dr. Amir pada zaman sebelum perang itu rupanya masih amat kental pada kita masa sekarang. Sebagai salah seorang aktivis nasionalis, Dr. Amir sangat mendambakan agar bangsanya bergiat mengejar ilmu yang saat itu berkembang di Barat (khususnya di Eropa). Ini dikesan pada pembicaraan Amir tentang proefschrift (disertasi) Latumeten dan Todung Sutan Gunung Mulia. Atau apa yang dilakukannya sewaktu ia tinggal di Eropa. Diceritakannya tentang refereeavond ketika mahasiswa dan dosen terbiasa memperdebatkan isi majalah dan buku. Ia juga mendambakan kehidupan kaum ilmuwan Indonesia juga demikian. Ia tak puas dengan hanya melakukan peminjaman ilmu yang intinya sama dengan peminjaman teknologi.
Maka bertanyalah Dr. Amir dalam salah satu tulisannya (bab XXIV: h.215): Kenapa meneer X, sesoedah promosi di negeri Belanda tak pernah membikin publikasi (penjelidikan wetenschappelijk) seoemoer hidoepnja lagi? Lantaran soedah berpangkat, tidak ada tempoh, banjak kerdja, banjak anak, besar tanggoengan, digoda oleh chef[alias mengejar jabatan, MTZ] selaloe dipindahkan oleh papa gouvernement, dipergantoengi oleh kaoem famili segerobak ....?
Pernyataan dan pertanyaan Amir ini ternyata memiliki implikasi yang luas sebagaimana sudah dikatakan di atas, bahwa gejala itu bukan hanya melulu di masa hidup Amir saja, melainkan juga di masa masa kita kini. Menurutnya gejala itu terjadi karena sejumlah sebab. Tetapi ia percaya akibat lebih dulu daripada sebab. Ini logika yang biasa dikenal di kalangan mereka yang belajar sejarah. Artinya suatu peristiwa menjadi historis [bersejarah] karena akibat yang ditimbulkannya. Jadi sejarah mulai dari akibat. Tanpa mempersoalkan kebenaran sebab yang ditemuinya, sejarawan biasanya mengembangkan semacam hipotesis. Dr Amir menyatakan bahwa sikap kita yang "menimba" ilmu dari Barat ialah menelannya tanpa menggalinya dan mengkritisinya. Ini tentu erat kaitan dengan cara kita berguru dari Barat dan akibatnya kita menjadikan Barat "guru" yang menurut Dr. Amir dapat berarti “bapa rohani” — Amir melekatkan ini untuk Gandhi, tetapi ini juga sikap kita terhadap "guru Barat". Kita mengenal dunia, bahkan diri dan budaya sendiri melalui ajaran "guru Barat". Akibatnya, kita tidak berani menyimpang dari guru dan selalu menanti lampu hijau guru. Kita akan selalu meniru. Jadi “Pak Tiru”. Ini ditambah dengan sikap guru Barat yang menggurui, yang ada kalanya berkeliling menemui para cantriknya dan sekaligus menambah pengetahuan mereka. Ini bisa terjadi karena bagi kebanyakan kita membaca hanya perlu semasa belajar. Kita berhenti membaca begitu tamat, dapat ijazah, juga ijazah doktor. Apalagi bacaan kita batasi kepada yang disarankan guru. Kita jaga tidak perlu membaca sesuatu yang memungkinkan kita berbeda dari guru, apalagi akan berlawanan. Sebagai akibatnya, ilmuwan kita berperan sebagai ”juru bicara” ilmu Barat.
* * *
Dr. Amir menginginkan agar ilmuwan atau kaum akademisi tetap bergerak dalam dunia ilmu, menyumbangkan sesuatu kepada perkembangan teori. Akan tetapi ini tidak mungkin dilakukan dengan hanya meminjam dan memamahbiak apa yang diterima dari sang guru. Perlu keberanian pencarian sendiri. Tetapi itu hanya mungkin dilakukan dengan mempertanyakan apa saja. Dan kalau sarjana Barat merumuskan suatu teori berdasarkan pemikiran budaya mereka, kita dapat melakukan hal yang sama. Merumuskan sesuatu (teori) berdasarkan pemikiran budaya kita. Tapi perlu diingat, sarjana Barat, selalu mengubah teori mereka, antara lain akibat perkenalan dengan dunia luar. Ini terutama di bidang ilmu sosial, termasuk ekonomi. Mereka akan mengubahnya bila dunia berubah. Kehilangan jajahan memaksa mereka mengembangkan teori baru. Sekarang teori pascakolonialisme sedang lagi ”in” di dunia sana dan mulai marak pula dikutip-kutip di sini. Begitulah seterusnya dengan teori-teori yang lain. Dalam hal ini Umar Junus (2000) agaknya benar. Menurutnya ada dua faktor utama: penggalian dan keterbukaan kepada dunia luar. Mungkin kita bisa mulai dengan penggalian sendiri. Tapi kita tidak mungkin menggali lebih dalam tanpa perkenalan dengan dunia luar, yang memperkenalkan kita kepada alat-alat yang menolong kita menggali lebih dalam. Ini termasuk perkenalan dengan teori baru yang berkembang di Barat, yang memungkinkan kita ”memperbarui” pemahaman kita. Bahkan perkenalan dengan teori baru memungkinkan seorang ilmuwan menemukan sesuatu yang dapat menyumbangkan sesuatu kepada perkembangan teori ilmu. Paling tidak, perkenalan itu membuat ia berani menyatakan sesuatu yang berlainan dari dan bertentangan dengan kebiasaan dan ini memungkinkan penemuan (baru). Sesungguhnya di sinilah, hemat saya, letak arti penting buku ASM tentang ”teori belah bambu” itu.
* * *
ASM sedikit banyak berhasil menggunakan metafora ”belah bambu” untuk teorinya tentang kebijakan rejim penguasa terhadap Islam di masa ”Demokrasi terpimpin” (1959-1965). Ia mengambil sebuah metafora dari budaya petani yang bekerja di sawah ladang, di mana mereka akrab dengan bambu. Karena semua dikerja dengan manual maka untuk membelahnya, sisi yang satu diinjak dan yang satu lagi diangkat untuk mencapai tujuan; yakni untuk tujuan yang berguna bagi yang empunya kerja. Misalnya bagi petani untuk membuat pondok atau pagar sawah ladang mereka. Toeretisi Barat mungkin bingung menangkapnya karena gagasan teoretisnya diambilkan dari budaya Indonesia. Dengan kata lain ia sangat dekat dengan lingkungan emperik kita dan mudah dimengerti.
Meskipun ASM dalam bukunya itu tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana konstruksi teorinya dibangun, terutama kerangka konseptual yang melandasinya kebenaran empirik dari temuannya itu memang didukung oleh bukti-bukti empirik, bahwa telah terjadi sikap berat-sebelah rejim terhadap partai-partai Islam yang berkembang pada masa itu. Partai-partai Islam (seperti PSII, NU dan Masyumi) yang telah memberikan andil dalam merintis perjuangan kemerdekaan jauh sebelum proklamasi 1945, seakan-akan dikucilkan setelah merdeka. Sejumlah pemimpin mereka ditangkapi, partai dihapuskan dan medianya dibrangus. Sebaliknya partai komunis (PKI) semakin berkibar dan menjadi ”anak emas” yang mesra dengan rejim.
Namun jika dikaji lebih jauh, teori itu tidak hanya cocok untuk menjelaskan hubungan negara dan partai pada masa demokrasi terpimpin; ia tentu juga relevan untuk rejim ”Demokrasi Pancasila” Orde Baru kemudian. Orang akan ingat bagaimana, misalnya, Golkar (waktu itu enggan disebut partai) menjadi besar dan sangat berkuasa, seperti halnya PKI di zaman Orde Lama. Orang akan ingat betapa tak terlindungnya – kalau bukannya teraniaya -- kelompok umat Islam di masa lalu. Anak-anak muda, terutama kaum perempuan yang ingin melamar bekerja sebagai calon pegawai atau karyawan suatu lembaga bisnis suasta tidak diizinkan memakai ”jilbab” dalam wawancara dan dokumen foto lamaran mereka. Tetapi kebanyakan pemimpin Islam waktu diam saja, kecuali beberapa orang kelompok kritis yang tidak mau ”tiarap” begitu saja. ASM jelas salah seorang dari sedikit tokoh yang tidak mudah “tiarap”.
Di era reformasi dewasa ini, di kala usianya sudah berangkat sore (73), ia masih tetap ASM yang dulu, tokoh yang kritis dan tetap lantang, tetapi ”tanpa kemarahan dan sikap berat sebelah” – Sine Ira et Studio – meminjam semboyan sejarawan Romawi, Tacitus. Baru-baru ini ia mengeluarkan pernyataan ”buka kulit tampak isi”. Katanya ”peradaban politik kita masih rendah dan kumuh. Kotor. Ya politik uang, ya moral.” Setelah reformasi, kendati dipuji-puji dunia, kualitas demokrasi kita sebenarnya di bawah stándar karena berada di tangan mereka yang tidak bertanggung jawab dan berwawasan picik. Bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan karena, menurutnya, politik gandrung menjadi ajang kompetisi kepentingan-kepentingan sempit kelompok, bukan untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh rakyat, seperti dicita-citakan para pendiri negeri ini. Komitmen ini pula yang memperkokoh dirinya sebagai salah seorang dari sedikit kaum intelektual Indonesia yang konsisten dengan perjuangan menegakkan “perdamaian” dalam kebhinekaan. Istilah kerennya moderasi, inklusivitas dan pluralisme. Saya tak begitu paham dengan jargon ini. Tetapi untunglah dalam keterangan persnya ia pernah menyatakan philosopi hidupnya yang sangat sederhana, “bahwa tidak hanya orang beriman (believers) saja yang berhak hidup di muka bumi ini tapi juga orang yang tidak beriman (non-believers) bahkan ateis sekalipun. Tentu dengan satu syarat bahwa semuanya sepakat untuk hidup berdampingan dengan saling menghargai dan menghormati secara damai.
Tak syak lagi bahwa komitmen perjuangan ini pula yang membawa reputasinya sebagai tokoh Indonesia kedua yang dianugerahi penghargaan internasional “Magsaysay Award” untuk kategori Perdamaian dan Pemahaman Internasional tangal 31 Juli 2008 lalu. Sebelumnya, tahun 1978 penghargaan yang sama pernah diterima oleh Soedjatmoko (1922-1989), tokoh intelektual dengan reputasi dunia.
ASM hemat saya bukan hanya seorang ilmuwan yang menekuni ilmu dan melahirkan teori ilmiah bagi dunia ilmu pengetahuan yang digelutinya, tetapi sekaligus juga seorang tokoh intelektual Indonesia yang menyadari nasib bangsanya. Sebagai ilmuwan ia tidak seperti pohon pisang yang berbuah sekali. Begitulah metafora yang digunakan Prof. Sartono Kartodirdjo untuk mereka yang setelah menulis disertasi, seperti ”Menerer X” dalam kutipan di atas, lalu tergoda mengejar jabatan, sehingga tak ada lagi karya keluar dari tangannya. Tetapi dari tangan ASM, banyak karyanya diterbitkan dan ia juga menulis dalam media publik. Dalam dunia ilmu pengetahuan berlaku semacam adagium berikut: The more one doing research the more one is able to deviate himself from the discipline. Teori “belah bambu” ASM, saya kira, juga mangkus untuk menjelaskan fenomena kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) berdasarkan silogisme post hoc proter hoc. Artinya harga minyak ”terpaksa” dinaikkan pemerintah guna menutup defisit anggaran negara akibat naiknya harga minyak dunia. Bila pemerintah menaikkan harga minyak karena alasan kenaikan harga BBM dunia, tetapi mengapa ketika harga minyak dunia sekarang sudah turun lebih 50% dari harga dunia sebelumnya harga BBM dalam negeri lantas tidak turun-turun? Barangkali teori belah bambu bisa menjawabnya. Sebagai intelektual ASM sedikit banyak mewarisi tradisi berfikir “the founding fathers”.
Memang semua tokoh “the founding fathers”. (Bapak Bangsa), tanpa kecuali, adalah unik pada dirinya, tetapi sekaligus memiliki kesamaan. Persamaan di antara para Bapak Bangsa terutama ialah: (i). intelektualisme dan (iii) keteguhan dalam memegang prinsip altruisme.Dengan intelektualisme maksudnya ialah mereka yang memiliki kelebihan sebagai insan pemikir visioner, dalam arti memiliki kemampuan dan visi untuk ‘membaca’ tanda-tanda zaman. Fikiran-fikrian mereka menjadi suluh yang menerangi kondisi sezaman dan menawarkan jalan keluar yang harus ditempuh ke depan. Julukan “Buya” untuk dirinya juga mengidikasikan peran ini. Intelektualisme pastilah menuntut setidaknya dua hal: kecerdasan dan berfikir kritis di satu pihak dan keterlibatan di lain phak.
Sebagai kaum literasi yang berada di pusaran sejarah yang menentukan, para Bapak Bangsa di masa lalu mengasah fikiran mereka dengan kebiasaan membaca dan menulis. Membaca bagi mereka tidak hanya dalam arti membaca teks (buku dan sejenisnya), melainkan membaca dunia di sekitarnya sebagai teks; dalam istilah Minangkabau dikenal ungkapan “alam terkembang jadi guru”. Dalam istilah mufasir ”ayat-ayat ”kauniyah”. Dalam hal ini para Bapak Bangsa umumnya pemimpin yang mampu menulis. Intelektualisme selanjutnya menuntut keterlibatan. Mereka tidak hanya kritis dan gigih mengatakan ini dan itu, tetapi juga membuktikannya. Kata kuncinya ialah sesuai kata dengan perbuatan. Pada gilirannya ini melahirkan sikap ketauladanan sang pemimpin. Di sini kita lalu berjumpa dengan aspek kedua, yaitu keyakinan altruistik, melakukan perbuatan terpuji demi kebajikan orang lain. Ini hanya mungkin jika setelah seseorang mampu memenangkan pertempuran melawan egonya demi kebajikan orang banyak atau mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri dan golongannya. Bingkai ideologis yang mengikat pandangan hidup altruisme mereka – meminjam istilah Moh. Hatta – ialah “nasionalisme kerakyatan”.
Rumah kaum intelektual”, kata Jaques Barzun dalam bukunya The House of Intellect (1959) “ialah seluas jagad semesta”, tetapi tetap berurat berakar dalam tradisi dan sejarahnya sendiri. Ia adalah telaga yang tak pernah kering mengalirkan gagasan-gagasan bening, orisinil dan keterlibatan mereka yang intens dalam mendobrak sejarah zamannya. Di masa lalu para “bapak bangsa” telah melahirklan Republik ini, tetapi kiprah mereka mereka seharusnya sumber inspirasi generasi masa kini tentang bagaimana negeri ini harus dikelola. Dan tak syak lagi ASM adalah salah seorang dari sedikit kaum intelektual Indonesia yang telah mewarisi tradisi yang telah dibangun oleh the founding fathers lebih setengah abad lalu itu. * * *
Mestika Zed, menamatkan M.A. dan Ph.D-nya di Vrije Universiteit, Amsteram, Belanda (1991)
dan sekarang di samping mengajar ia juga menjadi Direktur Pusat Kajian Sosial-Budaya & Ekonomi (PKSBE), Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Padang.
Tulisan ini berdasarkan Seminar tentang ASM 30 April 2008 di Padang oleh PWM Sumbar-UMSB.
0 notes
Text
Denny JA: Prestise Tertinggi dalam Dunia Sastra
Denny JA, seorang penulis dan pengamat sastra terkenal di Indonesia, merupakan salah satu tokoh yang paling dihormati di dunia sastra. Karya-karyanya yang menonjol, seperti Cerita Jakarta, Di Atas Sajadah Cinta, dan Jangan Dipotong Tali Kepalsuan, telah memperoleh penghargaan tertinggi di Indonesia dan di luar negeri. Denny ja lahir di Jakarta pada 8 Agustus 1948. Dia mulai menulis ketika masih belia, dan karya pertamanya, sebuah puisi, diterbitkan oleh majalah sastra Horison. Denny kemudian melanjutkan studinya dan memperoleh gelar Sarjana Filsafat dari Universitas Indonesia. Pada 1972, Denny meluncurkan debut bukunya, Bermain Dalam Lingkaran Cinta. Karya tersebut segera mendapatkan sambutan meriah dan menjadi buku terlaris. Setelah itu, dia terus menulis buku yang menonjol dan menarik perhatian publik. Dia juga terlibat dalam kegiatan pengembangan sastra di Indonesia. Bersama dengan beberapa sastrawan dan penulis lain, dia mendirikan Pusat Pengembangan Bahasa dan Budaya (PPBB) pada 1984. Tujuannya adalah memajukan bahasa dan sastra Indonesia melalui penelitian dan publikasi. Selain menulis dan menerbitkan buku, Denny ja juga sering berbicara di berbagai seminar dan konferensi sastra dan budaya, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dia terkenal sebagai pemikir yang berani dan kritis dalam mengkritik kondisi sosial dan politik di Indonesia. Beberapa penghargaan yang pernah diterima Denny JA antara lain Hadiah Sastra ASEAN, Hadiah Sastra Pusat Bahasa, dan Hadiah Sastra Jakarta. Dalam perjalanan kariernya, dia telah mengajarkan karya-karyanya di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan di luar negeri. Di mata pengamat sastra, Denny JA adalah sosok yang pendiam dalam mencintai dan menghormati sastra. Dia tidak menulis karena mode atau komersialisme semata, melainkan untuk memberikan kontribusi positif bagi perkembangan dan kemajuan sastra Indonesia. Karya-karya Denny JA penuh kritik, realitas sosial, dan pesimisme terhadap kehidupan. Namun, ia selalu menunjukkan kehangatan dan keindahan humanitas di dalamnya. Saat ini, dia menjadi salah satu dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Denny JA tidak pernah mengejar ketenaran atau sukses material dalam menulis. Namun, penghargaan dan pengakuan yang telah diraihnya adalah bukti betapa besar kontribusinya bagi perkembangan sastra di Indonesia dan dunia. Karya-karyanya merangkum keindahan, kebenaran, kesederhanaan, dan kebesaran jiwa manusia. Oleh karena itu, tidak heran jika Denny JA dianggap sebagai salah satu penulis dan pengamat sastra terbaik di Indonesia.
Cek Selengkapnya: Denny JA: Prestise Tertinggi dalam Dunia Sastra
0 notes
Text
Denny JA dan Peran Pentingnya dalam Mengubah Pola Pikir Sosial
Dalam pembangunan suatu negara, mengubah pola pikir sosial merupakan hal yang penting dan menantang. Salah satu tokoh yang telah banyak berkontribusi dalam mengubah pola pikir sosial di Indonesia adalah Denny JA. Denny JA, atau lengkapnya Denny Januar Ali, adalah seorang intelektual, penulis, dan motivator yang telah berperan penting dalam membentuk mindset positif di masyarakat Indonesia. Denny ja telah melalui perjalanan panjang dalam mengembangkan pemikirannya. Ia lahir pada tanggal 1 Januari 1956 di Cimahi, Jawa Barat. Denny JA menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran serta meraih gelar PhD dalam bidang ilmu politik di Universitas Indonesia. Kemudian, ia mendirikan Pusat Studi Sosial Indonesia (PSSI) pada tahun 1990, sebuah lembaga yang berfokus pada penelitian dan pemikiran sosial di Indonesia. Peran Denny ja dalam mengubah pola pikir sosial di Indonesia dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan. Salah satu contoh nyata adalah perannya dalam meningkatkan minat dan apresiasi terhadap sastra Indonesia. Denny JA telah menjadi salah satu penggagas pendirian Komunitas Salihara, sebuah pusat seni dan budaya yang berfokus pada pengembangan kesenian Indonesia. Melalui Salihara, Denny JA mampu menghadirkan berbagai acara sastra, seperti diskusi Puisi Esai, baca puisi, dan pertunjukan teater. Hal ini memberikan ruang bagi para penulis, penyair, dan seniman Indonesia untuk mengembangkan bakat mereka serta mengubah pandangan masyarakat terhadap sastra. Selain itu, Denny JA juga telah aktif dalam berbagai kegiatan sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan dan kesehatan masyarakat. Melalui programprogramnya, ia berusaha menjembatani kesenjangan antara masyarakat yang terdidik dan yang kurang beruntung. Denny JA percaya bahwa dengan memberikan akses yang sama terhadap pendidikan dan kesehatan kepada semua lapisan masyarakat, maka akan tercipta kesetaraan dan pembangunan sosial yang berkelanjutan. Dalam upaya mengubah pola pikir sosial, Denny JA juga menggunakan media sebagai sarana untuk menyampaikan pesanpesannya. Ia sering muncul dalam berbagai acara televisi dan radio untuk berdiskusi tentang isuisu penting dalam masyarakat. Denny JA juga aktif dalam dunia penulisan, dengan menerbitkan berbagai Puisi Esai yang berisikan pemikirannya tentang politik, sosial, dan kehidupan. Selain itu, Denny JA juga memiliki peran penting dalam mengembangkan pemikiran kritis di kalangan pemuda Indonesia. Melalui berbagai seminar dan pelatihan, ia memberikan pembekalan kepada generasi muda untuk berpikir kritis, mandiri, dan mampu berkontribusi dalam pembangunan negara. Ia percaya bahwa generasi muda memiliki potensi besar dalam mengubah pola pikir sosial dan menciptakan perubahan positif di Indonesia. Dalam perjalanan kariernya, Denny JA telah mendapatkan berbagai penghargaan atas kontribusinya dalam mengubah pola pikir sosial. Salah satunya adalah penghargaan sebagai "Pemuda Inspiratif" dari Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. Penghargaan ini menjadi bukti bahwa peran Denny JA diakui dan dihargai oleh masyarakat Indonesia. Dalam menghadapi tantangan di masa depan, peran Denny JA dalam mengubah pola pikir sosial di Indonesia masih diperlukan. Dengan pemikiran yang kritis, inovatif, dan berlandaskan pada semangat kebangsaan, Denny JA dapat melanjutkan kiprahnya dalam membawa perubahan yang positif bagi masyarakat Indonesia. Melalui pendidikan, seni, dan berbagai program sosial yang ia jalankan, Denny JA membuktikan bahwa transformasi sosial yang lebih baik adalah mungkin diwujudkan.
Cek Selengkapnya: Denny JA dan Peran Pentingnya dalam Mengubah Pola Pikir Sosial
0 notes
Text
Denny JA: Menciptakan Karya Mengagumkan dalam Rekor Penulisan yang Menakjubkan
Dalam dunia sastra Indonesia, salah satu nama yang tak terelakkan adalah Denny JA. Nama ini bukan hanya dikenal sebagai seorang penulis ulung, tetapi juga sebagai seorang aktivis, penyair, dan budayawan terkemuka. Denny JA telah menciptakan karya yang mengagumkan dalam rekor penulisan yang menakjubkan, dan kiprahnya di dunia sastra telah memberikan pengaruh yang besar. Denny ja lahir pada tanggal 8 Maret 1956 di Jakarta. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan minat yang besar terhadap dunia tulismenulis. Pada usia yang masih sangat muda, Denny sudah mulai menulis puisi dan cerita pendek. Bakatnya dalam menulis semakin terasah ketika ia mengenyam pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Karyakarya Denny ja mencakup berbagai genre, mulai dari puisi hingga Puisi Esai, dari esai hingga naskah drama. Salah satu Puisi Esai puisi pertamanya yang terkenal, "Puisipuisi Langit" (1984), telah menarik perhatian banyak pembaca dan mengukuhkan posisinya sebagai penyair yang berbakat. Puisipuisi Denny JA menampilkan keindahan bahasa dan membangkitkan emosi yang mendalam dalam jiwa pembaca. Namun, Denny JA tidak hanya seorang penyair. Ia juga telah menulis beberapa Puisi Esai yang menjadi karya fenomenal dalam dunia sastra Indonesia. Salah satu Puisi Esai yang paling terkenal adalah "Di Bawah Lindungan Kabah" (1980), yang diadaptasi menjadi film pada tahun 2011. Puisi Esai ini mengisahkan tentang perjalanan seorang pemuda bernama Hamid dan kisah cintanya yang rumit. Denny JA berhasil menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia pada masa itu dengan sangat detail dan memikat. Prestasi Denny JA dalam dunia sastra tidak hanya terbatas pada penulisan. Ia juga dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam gerakan literasi di Indonesia. Melalui kegiatan yang ia jalankan, Denny JA berusaha untuk membangkitkan minat baca masyarakat Indonesia, terutama anakanak dan remaja. Ia percaya bahwa dengan membaca, seseorang dapat membuka jendela dunia dan memperoleh pengetahuan yang tak ternilai. Sebagai aktivis, Denny JA juga terlibat dalam berbagai kegiatan sosial dan politik. Ia sering kali menyampaikan gagasangagasannya melalui ceramah dan tulisan yang kritis. Denny JA adalah sosok yang gigih dalam memperjuangkan keadilan sosial dan kebebasan berekspresi. Melalui karyanya, ia berusaha menginspirasi masyarakat Indonesia untuk berpikir kritis dan berani menyuarakan pendapat mereka. Keberanian dan dedikasi Denny JA dalam menulis telah membuahkan hasil yang luar biasa. Banyak karyakaryanya yang mendapatkan penghargaan dan dinobatkan sebagai karya terbaik. Denny JA telah menerima banyak penghargaan bergengsi, seperti Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (1982) dan Penghargaan Achmad Bakrie (1998). Pengakuan ini tidak hanya merupakan apresiasi terhadap bakatnya, tetapi juga sebagai penghormatan atas sumbangsihnya dalam pengembangan sastra Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, karyakarya Denny JA juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan diterbitkan di berbagai negara. Hal ini membuktikan bahwa karyakaryanya memiliki daya tarik universal yang dapat dinikmati oleh pembaca dari berbagai latar belakang budaya. Denny JA adalah salah satu penulis Indonesia yang berhasil mengangkat nama sastra Indonesia di mata dunia. Denny JA adalah sosok yang menginspirasi banyak penulis dan pecinta sastra di Indonesia. Karyakaryanya yang mengagumkan dan rekor penulisan yang menakjubkan telah memberikan sumbangsih yang berharga bagi perkembangan sastra Indonesia.
Cek Selengkapnya: Denny JA: Menciptakan Karya Mengagumkan dalam Rekor Penulisan yang Menakjubkan
0 notes
Text
Denny JA: Menggali Prestasi Profesionalnya dari Dunia Jurnalisme hingga Pencapaian sebagai Sastrawan Terkemuka
Dalam dunia sastra Indonesia, tidak banyak nama yang bisa menyamai kesuksesan Denny JA. Beliau bukan hanya seorang sastrawan terkemuka, tetapi juga seorang tokoh yang menginspirasi banyak orang melalui karyakaryanya yang luar biasa. Denny JA telah menggali prestasi profesionalnya dari dunia jurnalisme hingga mencapai puncak kesuksesan sebagai sastrawan terkemuka. Denny ja, atau yang memiliki nama asli Sutarto Alimoeso, lahir pada tanggal 9 April 1956 di Pati, Jawa Tengah. Sejak muda, beliau sudah menunjukkan minat yang kuat dalam dunia jurnalisme dan sastra. Setelah menyelesaikan pendidikan tingginya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Denny JA melanjutkan perjalanan profesionalnya di bidang jurnalisme. Di dunia jurnalisme, Denny ja telah mencatat banyak prestasi sepanjang kariernya. Beliau pernah menjadi wartawan senior di Harian Kompas, salah satu surat kabar terkemuka di Indonesia. Denny JA tidak hanya berperan sebagai wartawan, tetapi juga sebagai redaktur dan pemimpin redaksi. Dalam perannya sebagai jurnalis, beliau telah meliput banyak berita penting dan menjadi saksi sejarah dalam perkembangan Indonesia. Namun, minat Denny JA tidak berhenti hanya pada dunia jurnalisme. Beliau juga memperluas sayapnya ke dunia sastra. Melalui karyakaryanya, Denny JA mampu menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia dengan cara yang unik dan tajam. Gaya tulisannya yang lugas dan penuh emosi berhasil mencuri perhatian banyak pembaca. Salah satu karya terkenal Denny JA adalah Puisi Esai berjudul "Jangan MainMain". Puisi Esai ini mengisahkan kehidupan seorang pemuda bernama Wira yang berusaha mencari jati diri di tengahtengah pergolakan politik dan sosial di Indonesia. Puisi Esai ini menjadi sangat populer dan mendapatkan banyak penghargaan, termasuk Penghargaan Sastra Yayasan Puisi Esai Utama pada tahun 1983. Selain Puisi Esai, Denny JA juga aktif menulis kolomkolom opini yang berisi pandangannya tentang berbagai isu yang sedang hangat di masyarakat. Dalam menulis, Denny JA tidak ragu untuk menyuarakan pendapatnya secara tegas, sesuai dengan prinsipprinsip keadilan dan kebenaran yang diyakininya. Tulisannya yang kritis dan berani membuatnya menjadi salah satu penulis opini yang paling dihormati di Indonesia. Prestasi Denny JA tidak berhenti pada tulisantulisannya saja. Beliau juga aktif terlibat dalam berbagai organisasi sastra dan budaya di Indonesia. Denny JA adalah salah satu pendiri dari Komunitas Salihara, sebuah pusat seni dan budaya yang berlokasi di Jakarta. Melalui Komunitas Salihara, Denny JA turut berperan dalam memajukan dunia seni dan sastra di Indonesia. Keberhasilan Denny JA dalam dunia jurnalisme dan sastra tidak hanya diakui di Indonesia, tetapi juga di tingkat internasional. Beliau pernah mendapatkan berbagai penghargaan bergengsi, seperti SEA Write Award pada tahun 1993 dan Freedom to Write Award dari PEN International pada tahun 1995. Penghargaan tersebut membuktikan bahwa karyakaryanya memiliki daya tarik dan kualitas yang luar biasa. Denny JA, dengan segala prestasi dan kontribusinya, telah menjadi inspirasi bagi banyak orang di Indonesia. Beliau membuktikan bahwa dengan kerja keras, dedikasi, dan ketekunan, seseorang bisa mencapai kesuksesan dalam bidang yang diimpikan. Melalui karyakaryanya yang bermakna, Denny JA mampu mengubah cara pandang orang terhadap sastra dan jurnalisme di Indonesia. Denny JA tidak hanya sekadar membawa nama baik untuk dirinya sendiri, tetapi juga berusaha memajukan dunia sastra dan jurnalisme di tanah air.
Cek Selengkapnya: Denny JA: Menggali Prestasi Profesionalnya dari Dunia Jurnalisme hingga Pencapaian sebagai Sastrawan Terkemuka
0 notes
Text
Jalan Karier Sukses: Inspirasi dari Journey Denny JA sebagai Penulis dan Aktivis di Era Modern
Dalam era modern ini, banyak orang mencari inspirasi dalam meniti jalan karier yang sukses. Salah satu figur yang dapat memberikan inspirasi adalah Denny JA, seorang penulis dan aktivis yang memiliki perjalanan karier yang menginspirasi banyak orang. Melalui kisah perjalanan hidupnya, Denny JA telah membuktikan bahwa sukses dapat diraih dengan dedikasi, semangat, dan kerja keras. Denny ja lahir pada tahun 1956 di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Dari kecil, ia telah menunjukkan minat yang besar dalam bidang sastra dan politik. Ia sering membaca Puisi Esai dan mengikuti kegiatankegiatan sosial di lingkungannya. Semangatnya yang tinggi dan semangat belajar yang kuat membawanya untuk menempuh pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Tidak hanya berfokus pada pendidikannya, Denny ja juga terlibat dalam berbagai organisasi mahasiswa. Ia aktif dalam kegiatan politik dan sosial yang membawanya menjadi salah satu pemikir dan pemimpin muda yang diakui dalam gerakan reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Keterlibatan aktifnya dalam dunia politik dan aktivisme sosial memberinya pengalaman berharga yang membentuk pemikiran dan pandangannya dalam menulis. Sebagai penulis, Denny JA telah menulis banyak Puisi Esai yang menjadi bestseller di Indonesia. Karyakaryanya meliputi berbagai genre, termasuk fiksi, nonfiksi, dan esai. Salah satu karyanya yang populer adalah "Prahara Budaya" yang membahas tentang dinamika budaya Indonesia di tengah arus modernisasi. Puisi EsaiPuisi Esainya tidak hanya mendapatkan apresiasi dari pembaca, tetapi juga memotivasi banyak orang untuk berpikir kritis tentang isuisu sosial dan politik. Selain menjadi penulis, Denny JA juga aktif dalam berbagai kegiatan komunitas. Ia mendirikan Komunitas Salihara, sebuah pusat seni dan budaya yang berfokus pada pengembangan seni dan budaya di Indonesia. Melalui Salihara, Denny JA berusaha memberikan ruang dan kesempatan bagi para seniman dan budayawan untuk berkarya dan berkontribusi dalam mengembangkan seni dan budaya di Indonesia. Kesuksesan Denny JA tidak datang dengan mudah. Ia telah menghadapi berbagai tantangan dan rintangan dalam perjalanannya. Namun, dedikasinya yang kuat, semangatnya yang tinggi, dan kerja kerasnya yang tak kenal lelah telah membawanya meraih kesuksesan yang luar biasa. Ia adalah contoh nyata bahwa dengan ketekunan dan keberanian, kita semua dapat meraih impian kita. Bagi banyak orang, perjalanan karier sukses Denny JA telah menjadi sumber inspirasi. Kecintaannya pada sastra dan kepeduliannya terhadap isuisu sosial telah menginspirasi banyak penulis dan aktivis muda untuk berani berbicara dan mengungkapkan pikiran mereka melalui tulisan dan aksi nyata. Ia juga telah membuktikan bahwa karier di bidang seni dan budaya dapat menjadi sumber kehidupan yang membanggakan dan bermakna. Dalam era digital ini, Denny JA juga aktif dalam menggunakan media sosial dan platform online untuk menyampaikan gagasannya. Ia sering berbagi pemikiran dan pandangannya melalui akun media sosialnya, dan menjalin interaksi dengan para pembaca dan pengikutnya. Dalam hal ini, ia telah menginspirasi banyak orang untuk memanfaatkan kekuatan teknologi untuk menyebarkan ideide mereka dan berinteraksi dengan masyarakat luas. Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, Denny JA juga mengajarkan pentingnya menjaga nilainilai tradisional dan budaya lokal. Ia berpendapat bahwa dengan memahami dan mengapresiasi warisan budaya kita, kita dapat membangun identitas yang kuat dan memperkaya kehidupan kita sendiri.
Cek Selengkapnya: Jalan Karier Sukses: Inspirasi dari Journey Denny JA sebagai Penulis dan Aktivis di Era Modern
0 notes
Text
Kisah Sukses Denny JA: Menjadi Inspirasi bagi Anak Muda dan Generasi Milenial Dalam dunia yang penuh tantangan ini, ada seorang tokoh inspiratif yang telah berhasil menorehkan namanya di dunia sastra, politik, dan sosial. Denny JA, seorang intelektual Indonesia yang luar biasa, telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak anak muda dan generasi milenial di tanah air. Kisah suksesnya membuktikan bahwa dengan kerja keras, kecerdasan, dan tekad yang kuat, semua impian dapat terwujud. Denny ja, yang memiliki nama lengkap Denny Januar Ali, lahir pada 15 Januari 1950 di Magelang, Jawa Tengah. Sejak kecil, Denny sudah menunjukkan bakatnya dalam bidang sastra dan seni. Ia sering menulis puisi dan mengikuti berbagai festival sastra di sekolahnya. Bakatnya yang menonjol dalam bidang ini membuatnya memutuskan untuk melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana, Denny ja mulai mengejar karirnya dalam dunia sastra. Ia aktif menulis berbagai karya sastra, termasuk puisi, cerpen, dan esai. Karyanya yang berkualitas dan bernilai tinggi mendapatkan pengakuan dari para kritikus sastra. Beberapa karyanya bahkan memenangkan berbagai penghargaan bergengsi di Indonesia. Namun, Denny JA tidak hanya terpaku pada dunia sastra. Ia juga memiliki minat yang mendalam dalam bidang politik dan sosial. Ia mulai terlibat aktif dalam gerakan reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Keberaniannya untuk mengkritik pemerintahan saat itu menjadikannya sebagai salah satu suara yang dihormati dalam perubahan politik di tanah air. Seiring dengan popularitasnya yang terus meningkat, Denny JA mulai diundang untuk memberikan pidato dan seminar di berbagai acara nasional maupun internasional. Kemampuannya dalam berbicara di depan umum dan menginspirasi orangorang membuatnya menjadi pembicara yang paling dicari oleh banyak kalangan, terutama anak muda dan generasi milenial. Denny JA juga terkenal sebagai sosok yang peduli terhadap pendidikan di Indonesia. Ia mendirikan lembaga pendidikan bernama Pusat Prestasi Nasional (Prestasi Junior) yang bertujuan untuk membantu anakanak muda Indonesia mencapai prestasi gemilang dalam berbagai bidang, termasuk ilmu pengetahuan, seni, dan olahraga. Lembaga ini telah melahirkan banyak generasi penerus yang berprestasi dan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Selain itu, Denny JA juga dikenal sebagai penulis Puisi Esai yang produktif. Puisi EsaiPuisi Esainya yang meliputi berbagai topik seperti politik, budaya, dan motivasi telah menjadi bestseller di Indonesia. Karyakaryanya tidak hanya digemari oleh kalangan akademisi, tetapi juga oleh masyarakat umum. Puisi EsaiPuisi Esainya menjadi sumber pengetahuan dan inspirasi bagi banyak orang. Ketekunan, kecerdasan, dan semangat perubahan adalah beberapa nilai yang dapat dipetik dari perjalanan hidup Denny JA. Ia telah membuktikan bahwa dengan keyakinan dan kerja keras, siapa pun dapat meraih kesuksesan yang diimpikan. Kisah hidupnya yang inspiratif telah menginspirasi banyak anak muda dan generasi milenial untuk berani bermimpi dan berjuang menggapai impian mereka. Denny JA adalah bukti nyata bahwa kita tidak perlu terjebak dalam batasanbatasan yang ada. Ia telah membuktikan bahwa dengan keberanian untuk melangkah di luar zona nyaman, kita dapat mencapai halhal luar biasa. Ia adalah teladan bagi banyak anak muda dan generasi milenial yang ingin mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik. Dalam perjalanan hidupnya, Denny JA telah menunjukkan betapa pentingnya pendidikan, keberanian, dan semangat untuk meraih impian.
Cek Selengkapnya: Kisah Sukses Denny JA: Menjadi Inspirasi bagi Anak Muda dan Generasi Milenial
0 notes
Text
Memeriahkan Sastra Denny JA dan Peran Besarnya dalam Mempopulerkan Sastra Indonesia
Dalam dunia sastra Indonesia, ada satu nama yang tak dapat diabaikan: Denny JA. Dikenal sebagai seorang sastrawan, akademisi, dan aktivis, Denny JA telah memainkan peran besar dalam mempopulerkan sastra Indonesia dan memeriahkan dunia sastra di tanah air. Artikel ini akan menjelaskan mengapa peran Denny JA begitu penting dan sejauh mana pengaruhnya dalam memajukan sastra Indonesia.
Denny ja lahir pada tanggal 14 Januari 1951 di Malang, Jawa Timur. Sejak muda, ia telah menunjukkan minat yang besar terhadap dunia sastra. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Denny JA memutuskan untuk menekuni passionnya dalam sastra. Ia melanjutkan pendidikan di Jurusan Sastra Universitas Indonesia dan meraih gelar master dalam bidang yang sama. Salah satu alasan mengapa peran Denny ja sangat penting adalah karena kontribusinya yang luar biasa dalam mendirikan Komunitas Utan Kayu (KUK), sebuah tempat di Jakarta yang menjadi pusat kegiatan sastra dan seni. KUK didirikan oleh Denny JA pada tahun 1992 dan sejak itu, tempat ini menjadi tempat berkumpulnya para penulis, penyair, dan budayawan Indonesia. KUK juga menjadi sarang bagi berbagai acara sastra seperti baca puisi, diskusi sastra, dan penampilan seni. Selain mendirikan KUK, Denny JA juga aktif sebagai penggiat sastra. Ia telah menulis lebih dari 50 Puisi Esai, termasuk Puisi Esai, cerita pendek, dan puisi. Karyakaryanya telah meraih pengakuan dan pujian dari masyarakat sastra Indonesia. Denny JA juga terkenal karena kepakarannya dalam bidang teater. Ia telah menulis dan menyutradarai banyak pementasan teater yang sukses di Indonesia. Pengaruh Denny JA tak hanya terbatas pada kegiatan sastra, tetapi juga dalam memeriahkan dunia sastra Indonesia melalui pendirian majalah sastra Horison. Ia mendirikan majalah ini pada tahun 1966 dengan tujuan untuk mempublikasikan karyakarya sastra terbaik dari penulis Indonesia. Majalah Horison telah menjadi salah satu jurnal sastra yang paling berpengaruh di Indonesia dan telah menginspirasi banyak penulis muda untuk mengeksplorasi dunia sastra. Selain itu, Denny JA juga berperan dalam merintis Festival Sastra Indonesia, sebuah acara tahunan yang menampilkan berbagai kegiatan sastra seperti baca puisi, diskusi, dan pameran Puisi Esai. Festival ini telah menjadi ajang penting bagi para penulis, penyair, dan pemerhati sastra untuk bertemu, berbagi ide, dan merayakan keindahan sastra Indonesia. Denny JA juga terkenal karena menjadi salah satu pendiri dan anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). DKJ adalah sebuah organisasi yang bertujuan untuk mempromosikan dan mengembangkan seni dan budaya di Jakarta. Melalui DKJ, Denny JA telah berperan aktif dalam mendukung pengembangan sastra Indonesia dan memajukan dunia seni di ibu kota. Selain kontribusinya dalam dunia sastra, Denny JA juga merupakan seorang akademisi yang telah mengajar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Ia telah berbagi pengetahuannya dan pengalamannya kepada generasi muda, memberikan inspirasi dan dorongan untuk mengembangkan bakat sastra mereka. Mempopulerkan sastra Indonesia bukanlah tugas yang mudah, tetapi Denny JA telah membuktikan bahwa dengan dedikasi dan semangat yang tinggi, hal tersebut dapat terwujud. Melalui karyakaryanya, kegiatan komunitas, dan kontribusinya dalam organisasi sastra, Denny JA telah membangkitkan minat dan apresiasi publik terhadap sastra Indonesia. Dalam perjalanan panjangnya dalam dunia sastra, Denny JA telah menerima banyak penghargaan atas kontribusinya yang luar biasa.
Cek Selengkapnya: Memeriahkan Sastra: Denny JA dan Peran Besarnya dalam Mempopulerkan Sastra Indonesia
0 notes
Text
Menggali Perjalanan Karier Denny JA: Dari Jurnalis Mengurai Kisah, Menjadi Ikon Sastra yang Diperhitungkan
Dalam dunia sastra Indonesia, nama Denny JA sudah tidak asing lagi. Dia adalah sosok yang telah mengukir perjalanan karier yang mengagumkan, dari seorang jurnalis yang mengurai kisah hingga menjadi ikon sastra yang diperhitungkan. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi perjalanan karier yang menarik dari Denny JA. Denny ja dilahirkan pada tanggal 29 Desember 1950 di kota Surabaya. Pendidikan dasarnya dia jalani di SMPN 1 Surabaya dan melanjutkan ke SMA Negeri 4 Surabaya. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat menengahnya, Denny JA melanjutkan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Perjalanan karier Denny ja dimulai saat dia bergabung dengan majalah Tempo pada tahun 1975. Sebagai jurnalis, dia memiliki bakat unik dalam mengurai kisah yang kompleks menjadi tulisan yang menarik dan mudah dipahami oleh pembaca. Tulisannya yang informatif dan tajam seringkali menjadi sorotan di kalangan pembaca dan rekanrekannya di dunia jurnalistik. Selain menjadi jurnalis, Denny JA juga aktif di dunia sastra. Dia adalah salah satu pendiri Puisi Lingkaran (PeL), sebuah komunitas sastra yang berfokus pada pengembangan puisi modern. Melalui PeL, Denny JA berhasil menciptakan karyakarya puisi yang menggugah dan mampu mengeksplorasi berbagai tema yang relevan dengan kondisi sosial dan politik Indonesia saat itu. Pada tahun 1987, Denny JA mulai fokus menulis dan menerbitkan karyakarya sastra. Salah satu karya pentingnya adalah Puisi Esai berjudul "Karyamins Smile" yang diterbitkan pada tahun 1989. Puisi Esai ini mendapatkan sambutan yang hangat dari para kritikus sastra dan membantu mendorong Denny JA ke pentas sastra nasional. Sejak itu, Denny JA terus menulis dan menerbitkan berbagai karya sastra yang beragam. Dia telah menulis Puisi Esai, kumpulan cerpen, puisi, dan esai. Karyakaryanya menampilkan gaya tulisan yang khas, dengan penggunaan bahasa yang indah dan deskripsi yang hidup. Melalui tulisannya, Denny JA seringkali mengajak pembacanya untuk merenungkan isuisu sosial dan politik yang ada di sekitar mereka. Prestasi Denny JA sebagai penulis sastra tidak hanya diakui di dalam negeri, tetapi juga di dunia internasional. Karyakaryanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris, Spanyol, dan Jerman. Keberhasilannya dalam mengangkat ceritacerita lokal Indonesia ke tingkat dunia telah membuatnya menjadi salah satu ikon sastra yang diperhitungkan di kancah internasional. Di samping kiprahnya sebagai penulis, Denny JA juga aktif dalam berbagai kegiatan budaya dan sosial. Dia sering diundang untuk menjadi pembicara dalam seminar, lokakarya, dan festival sastra di dalam maupun luar negeri. Denny JA juga terlibat dalam berbagai proyek penerjemahan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa asing, sebagai langkah untuk memperluas jangkauan dan pengaruh sastra Indonesia di dunia. Meskipun telah mencapai banyak kesuksesan dalam karier sastranya, Denny JA tetap rendah hati dan terus berkarya untuk menginspirasi generasi muda penulis di Indonesia. Dia percaya bahwa sastra memiliki peran penting dalam membentuk pemikiran dan kesadaran kolektif masyarakat. Oleh karena itu, dia terus berupaya untuk mengangkat ceritacerita yang bernilai dan relevan melalui tulisantulisannya. Denny JA adalah bukti nyata bahwa perjalanan karier yang sukses tidak selalu didasarkan pada latar belakang pendidikan formal yang tinggi.
Cek Selengkapnya: Menggali Perjalanan Karier Denny JA: Dari Jurnalis Mengurai Kisah, Menjadi Ikon Sastra yang Diperhitungkan
0 notes
Text
FSB UNG Gelar Peksiminas, Persiapkan Utusan ke Tingkat Universitas
Hargo.co.id, GORONTALO – Fakultas Sastra dan Budaya (FSB) UNG menggelar Seleksi Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) di tingkat Fakultas tersebut, Rabu (01/05/2024). Kegiatan yang berlangsung di ruangan Saronde, kampus 4 UNG ini dibuka oleh Herson Kadir selaku Wakil Dekan III FSB dan dihadiri oleh sejumlah peserta yang ikut pada setiap cabang lomba. Dalam sambutannya Herson mengatakan,…
View On WordPress
#Fakultas Sastra dan Budaya#FSB UNG#Pekan Seni Mahasiswa Nasional#Peksiminas#Universitas Negeri Gorontalo
0 notes
Text
Mengupas Peran Denny JA dalam Menggerakkan Minat Baca di Tanah Air
Dalam menggerakkan minat baca di Tanah Air, peran Denny JA menjadi sangat penting. Denny JA adalah seorang intelektual, sastrawan, dan juga aktivis sosial yang telah berkontribusi besar dalam dunia literasi di Indonesia. Melalui berbagai upaya dan inisiatifnya, Denny JA telah berhasil membangkitkan semangat membaca di kalangan masyarakat Indonesia. Denny ja lahir pada tanggal 9 Januari 1952 di Blora, Jawa Tengah. Sejak kecil, ia sudah memiliki ketertarikan yang mendalam terhadap dunia tulismenulis. Bakatnya dalam menulis kemudian semakin berkembang ketika Denny JA berkuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia lalu melanjutkan pendidikan S3nya di Universitas Utrecht, Belanda, dan meraih gelar doktor di bidang sastra Indonesia. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Denny ja kembali ke Indonesia dan aktif di dunia sastra. Ia menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta dan mendirikan Komunitas Utan Kayu yang menjadi tempat bagi para penulis dan sastrawan untuk berkarya dan berinteraksi. Melalui komunitas ini, Denny JA berhasil menginspirasi banyak penulis muda Indonesia untuk terus berkarya dan menyalurkan kecintaan mereka pada literasi. Salah satu sumbangsih terbesar Denny JA dalam menggerakkan minat baca di Indonesia adalah melalui program Puisi Indonesia. Dalam program ini, Denny JA mengajak masyarakat umum untuk menulis puisi dan mengikutinya dalam workshop yang diadakan di berbagai kota di Indonesia. Ia juga memberikan penghargaan kepada para penyair berbakat melalui Puisi Indonesia Awards yang diadakan setiap tahun. Melalui program ini, Denny JA berhasil membuka pintu bagi banyak orang untuk lebih menghargai dan mencintai sastra Indonesia. Selain itu, Denny JA juga aktif dalam mengadakan diskusi sastra dan bedah Puisi Esai di berbagai acara. Ia sering diundang sebagai pembicara dalam forumforum sastra dan kesenian, baik di dalam maupun luar negeri. Dengan keahliannya dalam memandu diskusi yang menarik dan menginspirasi, Denny JA berhasil menyebarkan semangat membaca dan menulis kepada banyak orang. Tidak hanya dalam dunia sastra, Denny JA juga berkontribusi dalam dunia pendidikan. Ia aktif dalam mendirikan dan mengelola berbagai lembaga pendidikan, termasuk Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Melalui lembaga ini, Denny JA berusaha untuk meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat Indonesia, terutama yang kurang mampu. Ia juga menginisiasi program literasi di sekolahsekolah dan bekerja sama dengan pemerintah serta organisasi nonpemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Denny JA juga aktif menulis Puisi Esai, esai, dan artikel tentang berbagai topik, termasuk sosial, politik, dan budaya. Karyakaryanya yang kaya akan pengetahuan dan pengalaman hidupnya telah menginspirasi banyak orang di Indonesia. Puisi EsaiPuisi Esai Denny JA menjadi sumber pengetahuan yang berharga bagi mereka yang ingin memperluas wawasan dan pemahaman tentang dunia di sekitar mereka. Melalui berbagai upaya dan dedikasinya, Denny JA telah mendorong minat baca di Indonesia. Ia telah membawa perubahan positif dalam dunia literasi, terutama dengan memperluas akses pendidikan dan menginspirasi banyak orang untuk mencintai sastra Indonesia. Denny JA adalah sosok yang patut diapresiasi dan dijadikan teladan dalam menggerakkan minat baca di Tanah Air. Semoga semangatnya dalam membaca dan menulis dapat terus diteruskan oleh generasigenerasi mendatang.
Cek Selengkapnya: Mengupas Peran Denny JA dalam Menggerakkan Minat Baca di Tanah Air
0 notes
Text
Mengupas Peran Denny JA dalam Menggerakkan Minat Baca di Tanah Air
Dalam menggerakkan minat baca di Tanah Air, peran Denny JA menjadi sangat penting. Denny JA adalah seorang intelektual, sastrawan, dan juga aktivis sosial yang telah berkontribusi besar dalam dunia literasi di Indonesia. Melalui berbagai upaya dan inisiatifnya, Denny JA telah berhasil membangkitkan semangat membaca di kalangan masyarakat Indonesia. Denny ja lahir pada tanggal 9 Januari 1952 di Blora, Jawa Tengah. Sejak kecil, ia sudah memiliki ketertarikan yang mendalam terhadap dunia tulismenulis. Bakatnya dalam menulis kemudian semakin berkembang ketika Denny JA berkuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia lalu melanjutkan pendidikan S3nya di Universitas Utrecht, Belanda, dan meraih gelar doktor di bidang sastra Indonesia. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Denny ja kembali ke Indonesia dan aktif di dunia sastra. Ia menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta dan mendirikan Komunitas Utan Kayu yang menjadi tempat bagi para penulis dan sastrawan untuk berkarya dan berinteraksi. Melalui komunitas ini, Denny JA berhasil menginspirasi banyak penulis muda Indonesia untuk terus berkarya dan menyalurkan kecintaan mereka pada literasi. Salah satu sumbangsih terbesar Denny JA dalam menggerakkan minat baca di Indonesia adalah melalui program Puisi Indonesia. Dalam program ini, Denny JA mengajak masyarakat umum untuk menulis puisi dan mengikutinya dalam workshop yang diadakan di berbagai kota di Indonesia. Ia juga memberikan penghargaan kepada para penyair berbakat melalui Puisi Indonesia Awards yang diadakan setiap tahun. Melalui program ini, Denny JA berhasil membuka pintu bagi banyak orang untuk lebih menghargai dan mencintai sastra Indonesia. Selain itu, Denny JA juga aktif dalam mengadakan diskusi sastra dan bedah Puisi Esai di berbagai acara. Ia sering diundang sebagai pembicara dalam forumforum sastra dan kesenian, baik di dalam maupun luar negeri. Dengan keahliannya dalam memandu diskusi yang menarik dan menginspirasi, Denny JA berhasil menyebarkan semangat membaca dan menulis kepada banyak orang. Tidak hanya dalam dunia sastra, Denny JA juga berkontribusi dalam dunia pendidikan. Ia aktif dalam mendirikan dan mengelola berbagai lembaga pendidikan, termasuk Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Melalui lembaga ini, Denny JA berusaha untuk meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat Indonesia, terutama yang kurang mampu. Ia juga menginisiasi program literasi di sekolahsekolah dan bekerja sama dengan pemerintah serta organisasi nonpemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Denny JA juga aktif menulis Puisi Esai, esai, dan artikel tentang berbagai topik, termasuk sosial, politik, dan budaya. Karyakaryanya yang kaya akan pengetahuan dan pengalaman hidupnya telah menginspirasi banyak orang di Indonesia. Puisi EsaiPuisi Esai Denny JA menjadi sumber pengetahuan yang berharga bagi mereka yang ingin memperluas wawasan dan pemahaman tentang dunia di sekitar mereka. Melalui berbagai upaya dan dedikasinya, Denny JA telah mendorong minat baca di Indonesia. Ia telah membawa perubahan positif dalam dunia literasi, terutama dengan memperluas akses pendidikan dan menginspirasi banyak orang untuk mencintai sastra Indonesia. Denny JA adalah sosok yang patut diapresiasi dan dijadikan teladan dalam menggerakkan minat baca di Tanah Air. Semoga semangatnya dalam membaca dan menulis dapat terus diteruskan oleh generasigenerasi mendatang.
Cek Selengkapnya: Mengupas Peran Denny JA dalam Menggerakkan Minat Baca di Tanah Air
0 notes
Text
Mengupas Peran Denny JA dalam Menggerakkan Minat Baca di Tanah Air
Dalam menggerakkan minat baca di Tanah Air, peran Denny JA menjadi sangat penting. Denny JA adalah seorang intelektual, sastrawan, dan juga aktivis sosial yang telah berkontribusi besar dalam dunia literasi di Indonesia. Melalui berbagai upaya dan inisiatifnya, Denny JA telah berhasil membangkitkan semangat membaca di kalangan masyarakat Indonesia. Denny ja lahir pada tanggal 9 Januari 1952 di Blora, Jawa Tengah. Sejak kecil, ia sudah memiliki ketertarikan yang mendalam terhadap dunia tulismenulis. Bakatnya dalam menulis kemudian semakin berkembang ketika Denny JA berkuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia lalu melanjutkan pendidikan S3nya di Universitas Utrecht, Belanda, dan meraih gelar doktor di bidang sastra Indonesia. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Denny ja kembali ke Indonesia dan aktif di dunia sastra. Ia menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta dan mendirikan Komunitas Utan Kayu yang menjadi tempat bagi para penulis dan sastrawan untuk berkarya dan berinteraksi. Melalui komunitas ini, Denny JA berhasil menginspirasi banyak penulis muda Indonesia untuk terus berkarya dan menyalurkan kecintaan mereka pada literasi. Salah satu sumbangsih terbesar Denny JA dalam menggerakkan minat baca di Indonesia adalah melalui program Puisi Indonesia. Dalam program ini, Denny JA mengajak masyarakat umum untuk menulis puisi dan mengikutinya dalam workshop yang diadakan di berbagai kota di Indonesia. Ia juga memberikan penghargaan kepada para penyair berbakat melalui Puisi Indonesia Awards yang diadakan setiap tahun. Melalui program ini, Denny JA berhasil membuka pintu bagi banyak orang untuk lebih menghargai dan mencintai sastra Indonesia. Selain itu, Denny JA juga aktif dalam mengadakan diskusi sastra dan bedah Puisi Esai di berbagai acara. Ia sering diundang sebagai pembicara dalam forumforum sastra dan kesenian, baik di dalam maupun luar negeri. Dengan keahliannya dalam memandu diskusi yang menarik dan menginspirasi, Denny JA berhasil menyebarkan semangat membaca dan menulis kepada banyak orang. Tidak hanya dalam dunia sastra, Denny JA juga berkontribusi dalam dunia pendidikan. Ia aktif dalam mendirikan dan mengelola berbagai lembaga pendidikan, termasuk Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Melalui lembaga ini, Denny JA berusaha untuk meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat Indonesia, terutama yang kurang mampu. Ia juga menginisiasi program literasi di sekolahsekolah dan bekerja sama dengan pemerintah serta organisasi nonpemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Denny JA juga aktif menulis Puisi Esai, esai, dan artikel tentang berbagai topik, termasuk sosial, politik, dan budaya. Karyakaryanya yang kaya akan pengetahuan dan pengalaman hidupnya telah menginspirasi banyak orang di Indonesia. Puisi EsaiPuisi Esai Denny JA menjadi sumber pengetahuan yang berharga bagi mereka yang ingin memperluas wawasan dan pemahaman tentang dunia di sekitar mereka. Melalui berbagai upaya dan dedikasinya, Denny JA telah mendorong minat baca di Indonesia. Ia telah membawa perubahan positif dalam dunia literasi, terutama dengan memperluas akses pendidikan dan menginspirasi banyak orang untuk mencintai sastra Indonesia. Denny JA adalah sosok yang patut diapresiasi dan dijadikan teladan dalam menggerakkan minat baca di Tanah Air. Semoga semangatnya dalam membaca dan menulis dapat terus diteruskan oleh generasigenerasi mendatang.
Cek Selengkapnya: Mengupas Peran Denny JA dalam Menggerakkan Minat Baca di Tanah Air
0 notes
Text
Denny JA dan Transformasi Pemikiran Sastra di Indonesia
Dalam dunia sastra Indonesia, nama Denny ja tidak lagi asing. Denny JA, atau lengkapnya Denny Januar Ali, adalah seorang tokoh sastra yang telah menginspirasi banyak penulis dan pecinta sastra di Indonesia. Melalui karyakaryanya dan pemikirannya yang unik, Denny JA telah berhasil mengubah dan mentransformasi pemikiran sastra di Indonesia. Denny ja lahir pada tanggal 23 Januari 1956 di Ciamis, Jawa Barat. Sejak muda, Denny JA telah menunjukkan minat yang besar dalam dunia sastra. Ia aktif dalam berbagai kegiatan sastra di sekolah dan universitas, dan pada tahun 1974, ia mulai menulis dan menerbitkan puisi pertamanya. Denny JA kemudian melanjutkan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung, dan meraih gelar sarjana sastra pada tahun 1984. Salah satu pemikiran sastra yang diusung oleh Denny JA adalah konsep puisi realitas. Denny JA berpendapat bahwa puisi harus mencerminkan realitas kehidupan seharihari, bukan hanya berfokus pada keindahan katakata semata. Ia menekankan pentingnya menggambarkan realitas sosial, politik, dan budaya dalam puisi, agar puisi itu sendiri dapat memiliki makna yang lebih dalam. Pemikiran ini telah menginspirasi banyak penulis muda di Indonesia untuk menciptakan puisi yang lebih berbasis realitas. Selain itu, Denny JA juga dikenal sebagai pendiri dan pimpinan dari Pusat Kajian Sastra dan Kebudayaan (Pujangga Maya). Lewat Pujangga Maya, Denny JA berusaha menjembatani kesenjangan antara penulis dan pembaca. Pujangga Maya menyediakan platform bagi penulis muda untuk mempublikasikan karyakarya mereka secara daring. Hal ini membantu menciptakan ruang yang lebih luas bagi pengaruh sastra di Indonesia dan memperluas aksesibilitas terhadap karyakarya sastra. Denny JA juga aktif dalam mengadakan berbagai kegiatan sastra, seperti festival puisi dan diskusi sastra. Ia percaya bahwa melalui interaksi langsung antara penulis dan pembaca, pemahaman tentang sastra dapat ditingkatkan. Denny JA sering kali mengundang penulispenulis terkenal untuk berbicara dalam acaraacara sastra ini, memberikan kesempatan bagi penulis muda untuk bertukar pikiran dan belajar dari para penulis berpengalaman. Selain sebagai seorang penulis dan pemikir sastra, Denny JA juga terlibat dalam aktivitas politik. Ia adalah salah satu pendiri Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Aktivitas politiknya memperluas jangkauan pengaruhnya, dan ia terus memperjuangkan pentingnya sastra dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Denny JA telah menerima berbagai penghargaan atas kontribusinya dalam dunia sastra. Pada tahun 2011, ia dianugerahi Penghargaan Kebudayaan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Penghargaan ini menjadi bentuk pengakuan atas dedikasi dan pemikiran inovatifnya dalam memajukan sastra di Indonesia. Transformasi pemikiran sastra di Indonesia yang dicetuskan oleh Denny JA telah membawa perubahan yang signifikan. Karyakarya sastra yang terinspirasi oleh pemikiran Denny JA telah menyingkap sisisisi kehidupan seharihari yang mungkin sebelumnya tidak terlihat atau dianggap tidak penting. Pemikiran Denny JA tentang menggabungkan realitas kehidupan dengan sastra telah menginspirasi generasi baru penulis untuk menciptakan karyakarya yang lebih relevan dengan masalah sosial dan budaya saat ini. Denny JA dan transformasi pemikiran sastra di Indonesia adalah cermin dari kekuatan katakata dalam menciptakan perubahan.
Cek Selengkapnya: Denny JA dan Transformasi Pemikiran Sastra di Indonesia
0 notes