#Cerpen Utarakan
Explore tagged Tumblr posts
Text
Lagi belajar buat nulis cerpen lagi. Kemudian menyadari, bahwa selama ini dialog yang aku ciptakan terlalu bertele-tele. Seharusnya lebih banyak diisi dengan kata kerja. Sewajarnya pula dipenuhi dengan aksi heroik.
Karena sekarang, dunia tak lagi terpikat dengan banyaknya kata yang di utarakan.
6 notes
·
View notes
Text
Cerpen : Utarakan
Entah kenapa hari yang begitu cerah tiba-tiba menjadi mendung, membuat sebagian orang mempercepat langkahnya dan membuat sebagian orang tergesa-gesa untuk menyelsaikan pekerjaanya. Seharusnya bulan ini tak ada hujan. Juni, mungkin hujan ini terjadi karena cuaca sudah tidak jelas disebabkan pemanasan global, atau hujan bulan juni ini hujan yang menandakan awal kesedihanku.
Aku masih duduk di bangku stasiun menunggu kereta tujuan stasiun pondok cina. Sore yang seharusnya indah berubah menjadi mendung dan di guyur air hujan yang sangat deras. Tapi perasaanku tidak lah segelap sore ini, aku harus tersenyum hari ini, lalu memberikan apa yang ku genggam sekarang. Cincin ini aku membelinya dengan tabungan travelling ku. Aku sadar bahwa cinta bukan hanya dikatakan, aku sadar bahwa cinta bukan hanya menuliskan orang yang kita sayang di buku harian kita. Tapi cinta harus kita buktikan, maka aku akan membuktikannya hari ini. Sebenarnya aku ingin bersama denga orangtuaku untuk melamarnya, tapi apa daya orangtuaku ada kesibukan lain.
Terdengar dari kejauhan masinis menyalakan klakson kereta, pengeras suara memberi tahu bahwa kereta tujuan pondok cina akan segera tiba. Aku pun berdiri bersiap untuk memasuki kereta. Penumpang tak begitu ramai sore ini, karena kereta menuju arah jakarta selalu ramai di pagi hari. Aku pun bisa duduk di kursi kereta untuk memikirkan kata-kata yang akan aku ucapkan nanti ketika bertemu orangtuanya. Sebenarnya aku sudah dekat dengan orangtuanya yang kebetulan adalah dosenku dulu di UI. Tapi perihal memberi tahu perasaanku kepada anaknya adalah suatu hal yang gamang menurutku. Aku telah menelponnya tadi pagi dan memberi tahu bahwa aku bermaksud untuk bersilaturahmi kerumahnya, dan kebetulan pada malam hari mereka berada di rumah.
Kereta pun mulai melambatkan laju roda-rodanya, dan berhenti pas di stasiun pondok cina yang diapit oleh dua universitas, yaitu Gunadharma dan Universitas Indonesia. Penumpang mulai berhamburan keluar dari kereta, termasuk aku. Banyak sekali penumpang yang baru saja pulang dari tempat kerjanya dan bergegas menemui keluarganya.aku harap aku pun bisa seperti itu, bisa pulang menemui keluarga kecilku kelak. Hujan masih saja turun tapi tak sederas tadi. Jam lima sore langit yang biasanya berwarna oranye berubah menjadi abu-abu gelap. Tapi itu tak menyurutkan semangatku. Dari pada menunggu lama hujan reda, aku memutuskan untuk membeli payung saja.
Aku mulai berjalan menuju rumahnya yang tidak begitu jauh dari stasiun. Kendaraan mulai menyalakan lampunya, perkiraanku matahari mulai sedikit menjauh walau tak terlihat. Hari semakin gelap, suara tilawah Al-quran mulai terdengar dari pengeras suara masjid, adapun lampu lampu rumah mulai dinyalakan. Aku berjalan memasuki gang yang lumayan besar. Di ujung jalan sana, rumah merah besar berada. Dan itulah tujuanku hari ini, memasuki rumah lalu sedikit berbincang. Entah kenapa aku gugup kali ini padahal aku sudah sering mengunjungi rumah ini, terlebih ketika pak edo menjadi dosen pembimbingku ketika skripsi dulu. Oh iya, dari tadi aku bercerita belum memperkenalkan gadis yang akan aku pinang dan siapa orangtuanya, sebelum aku melamarnya aku akan memperkenalkan ia pada kalian.
Atikah namanya, perempuan yang membuat ku kikuk saat pertama kali memandangnya. Ketika aku sedang mengurus skripsi, ia sedang belajar di Al-azhar Kairo mengambil jurusan syariah. Kala aku bertemu, kebetulan ia sedang pulang ke indonesia. Satu hal yang membuatku kagum kepadanya, ia tak berani memandangku ketika bertemu denganku. ia terus menundukan kepalanya. Dan anehnya jantungku berdetuk kencang ketika mencoba melihatnya, terdengar lebay memang tapi itulah yang aku rasakan. Kebetulan waktu itu kami bertemu di sebuah rumah makan. Aku sedang bersama keluargaku dan dia hanya berdua bersama pak edo ayahnya. Siang itu aku menyapa pak edo, lalu ia mengenal kan putrinya kepadaku. Entah ingin menjodohkan atau hanya memperkenalkan saja, yang jelas aku mulai menyukainya. Lambat laun aku pun sering berkunjung ke rumah pak edo bermoduskan konsultasi akan skripsi padahal dalam hati hanya ingin bertemu dengan atikah. Sampai akhirnya atikah harus kembali ke Mesir dan aku fokus kepada skripsiku.
Dua tahun berselang, aku rasa ini waktu yang tepat untuk meminangnya. Ia baru saja lulus dari Al-azhar 3 bulan lalu. Aku tidak tahu apakah dia menyimpan perasaan untukku atau tidak, tapi aku akan tunjukan kepadanya bahwa aku benar-benar mencintainya.
Aku mematung di depan rumahnya, rasa gugup terus meyerangku. Aku terus mengatur nafasku, kupejamkan mata, “Bismillah” kataku dalam hati. Aku pun menyalakan bel yang terpasang di pagar rumahnya. Tak lama kemudian keluarlah seorang perempuan paruh baya. Mbok sup aku memanggilnya. Beliau sudah lama bekerja di rumah atikah, bahkan ia tau seluk beluk bagaimana sifat atikah. Dan biasanya aku selalu bertanya akan atikah kepada mbok sup. Mungkin juga hanya mbok sup yang tau aku menyukai atikah.
“ eh ada mas fairuz, masya Allah rapih banget. Mau ada apa toh?” Sapanya kepadaku sambil membukakan gerbang
“ ah mbok masih basa-basi niih, aku mau menyelsaikan perjuangan mbok.” Jawabku dengan nyengir sambil menunjukan sebuah cincin.
Mbok sup membalasku dengan tersenyum dan mengacungkan jempol. Lalu ia menuntunkun menuju rumah. Sebetulnya jika ada tamu, keluarga pak edo selalu meneriman tamu di depan teras rumahnya yang di sulap menjadi ruang tamu, tapi kebetulan keluarga pak edo sudah mengenalku, jadi aku selalu di persilahkan untuk memasuki rumahnya.
Aku pun duduk dengan rasa gugup. Kulantunkan terus shalawat, tasbih dan tahmid agar Allah meridhoi apa yang aku lakukan. Beberapa menit kemudian pak edo menghampiriku.
“ assalamualaiakum pak, bagaimana kabarnya?” sapaku sambil mencium tangannya.
“ waalaikum sallam alhamdulillah sehat ruz, tumben kamu rapih banget ada urusan apa nih?” tanyanya.
Aku makin bingung apa yang harus aku katakan, apakah akan aku katakan lansung atau basa-basi terlebih dahulu.
“ atikah sehat pak?” aku terkejut mengapa bisa pertanyaan itu terlontar dari mulutku.
“ atikah alhamdulillah sehat, tumben nanyain atikah. Bapak harus siaga satu nih” jawab pak edo sambil tertawa. Selain cerdas, pak edo pun dikenal sebagai dosen yang bersahabat dengan para mahasiswa. Tak heran banyak mahasiswa yang senang belajardi kelasnya.
“Rencana atikah kedepan bagaimana pak? Ingin melanjutkan kuliah atau apa?”
“ Oh bapak serahkan sama dia ruz, toh dia juga sudah dewasa. Sudah harus bisa menentukan hidupnya sendiri.”
“Jadi makusid saya kesini......”
Belum selsai aku berbicara tiba-tiba bel pintu berbunyi, terlihat wajah pak edo begitu sumringah. Aku pikir itu adalah atikah yang baru saja pulang, tapi ternyata dugaanku salah.
Ketika mbo sup membukakan pintu, masuk lah dua orang laki-laki. Yang satu sebaya denganku satu lagi sebaya dengan pak edo, entalah aku tak tahu siapa mereka. Satu hal yang aku tahu, melihat dari cara mereka berpakaian sepertinya ada hal penting yang akan dibicarakan.
Pak edo menyapa mereka dengan hangat, tampak keakraban telah terjalin sudah lama diantara mereka. Aku pun menyalami mereka. Pak edo mengenalkan mereka kepadaku dan begitu sebaliknya.
“Pak surya perkenalkan ini fairuz, murid saya dulu.”
Aku pun tersenyum kepada laki-laki yang sebaya dengan pak edo. Lalu mereka pun duduk, kami saling berhadap-hadapan. Aku heran, aku yang semenjak tadi gugup berubah menjadi kesal. Entah kenapa perasaan itu berubah secara tiba-tiba. “Semoga semuanya baik-baik saja”, ucapku dalam hati. Karena sepertinya ada urusan penting, akhirnya aku ijin untuk menunggu terlebih dahulu di teras rumah.
“Jadi begini pak edo, seperti yang saya katakan tadi siang di telphone. Maksud dan tujuan saya datang kesini ingin melamar atikah dengan anak pertama saya kukuh. Alhadulillah sekarang kukuh membuka usaha konveksi di dekat rumah kami, dan kukuh ini alumni dari madinah.” Walau pelan suara itu sangat jelas terdengar.
Benar saja dugaanku, semua ini berjalan baik-baik saja hanya saja hatiku berubah menjadi tidak baik. aku berusaha tetap tenang walau hatiku tidap tenang. Aku bingung apa yang harus aku lakukan pergi membiarkan ia bersamanya atau berbicara apa adanya. Hatiku tecampur aduk oleh rasa kesal,sesal dan takut. Aku buru-buru saja mengahampiri mbok sup menanyakan siapa kukuh itu. Benar saja firasatku, ternyata memang kukuh adalah laki-laki yang akan dijodohkan dengan atikah sudah dari lama. Orang tua kukuh adalah teman dekat pak edo semenjak SMA.
Aku bingung, bertanya-tanya dalam hati. “Apa yang harus ku lakukan ? Apa yang harus aku perbuat ?” akhirnya aku melangkan kaki untuk mengambil wudhu mencoba untuk menenangkan diri. Aku putuskan sudah apapun yang terjadi, niat baikku ini harus aku katakan kepada pak edo. Diterima atau ditolak itu sudah menjadi resiko.
Beberapa lama kemudian kukuh dan orangtuanya terlihat tertawa lalu bersalaman bersama pak edo. “In sya Allah kita doakan saja semoga atikahnya mau” suara pak edo terdengar jelas, entah kenapa kalimat itu menumbuhkan sedikit rasa percaya diri. Kalian tau berapa lama aku menunggu mereka berbincang ? Hampir satu jam aku menunggu, aku hanya duduk dengan begitu banyak pertanyaan yang mengganggu pikiranku.
Kukuh pun keluar dari rumah, tersenyum sedikit kepadaku lalu bersamalam. Disusul oleh orangtuanya dan melakukan hal yang sama. Pak edo mengantarkan mereka menuju gerbang, dan aku masih duduk di bangku teras.
“Aduh maaf ya fairuz kamu jadi nunggu lama, biasalah ada sedikit urusan” Pak edo berjalan kepadaku sembari senyum. “ Jadi ada hal apa nih fairuz dateng ke rumah ?”.
Aku sedikit menarik nafas, ku lafalkan basmalah tiga kali lalu ku utarakan saja. “Mohon maaf pak edo jika saya telah menggangu waktu bapak istirahat. Ada hal penting yang harus saya katakan dan tak bisa saya tunda. Jujur saja pak edo tujuan saya datang ke rumah bapak untuk “ aku diam sejenak, ah sial pikirku mengapa kata itu susah sekali untuk aku katakan. Aku diam beberapa detik.
“Untuk apa fairuz ?” Pak edo mengejar.
“Untuk melamar anak bapak, jujur saja perasaan ini sudah saya simpan semenjak beberapa tahun yang lalu. Dan malam ini saya utarakan saja niat baik saya. Mohon maaf pak edo orangtua saya juga tidak bisa datang menemani saya karena ada beberapa alasan. Saya tadi sudah dengar niat teman bapak yang akan menjodohkan anaknya dengan atikah. Tapi saya pun mempunyai niat yang sama untuk melamar atikah. Saya pohon keputusan ini bisa di bicarakan dengan atikah langsung dan pikirkan baik-baik. Mohon maaf atas kelancangan saya, tapi saya pun tidak bisa diam atau malah pergi menyerah begitu saja atas keadaan ini”. Jujur saka berbicara itu seperti sedang di kejar seekor anjing saja, keringat mulai keluar, aku sedikit gemetar dan nafasku tersengal-sengal. Tapi hatiku sudah lega.
Pak edo tersenyum sambil geleng geleng lalu dilanjutkan dengan sedikit tertawa. “ Nekat kamu ruz ruz, sudah malam sekarang. Baiknya kamu pulang terlebih dahulu. Banyak doa saja”.
“Baik terima kasih pak” lalu aku pun pamit kepada pak edo dan perlahan mulai keluar dari rumah, mbok sup tersenyum sambil memberi jempolnya padaku. Aku pun berpamitan jua kepada mbo sup.
Selanjutnya aku tidak tahu apa keputusan pak edo dan atikah, akankah mereka menerimaku atau menerima kukuh itu. tidak ada yang bisa aku lakukan sekarang kecuali tawakkal kepada-Nya. Mulai saat ini doa-doa harus sering aku panjatkan. Kebaikan harus lebih banyak aku lakukan. Banyak kemungkinan yang terjadi, dan aku tidak tahu. Bisa jadi hujan yang turun sore tadi menandakan kesedihanku atas perginya atikah. atau hujan itu adalah kebaikan karena hujan rahmat, bisa jadi hujan tadi menandakan semua ini akan berjalan baik. Aku ulangi lagi aku tidak tahu. Doakan saja, semoga ini berjalan dengan baik dan sesuai dengan apa yang diinginkan.
0 notes
Text
Dia 16
Atas banyak hal yang terjadi
Aku menahannya hanya ingin mengungkapkan kekesalanku
Kepada akun twitterku
Karena aku berifkir tak ada seorangpun
yang memperhatikanku disitu
“aku menyerah” kutulis dalam cuitanku itu
Memang benar tak ada yang merespon
Namun larut malamnya “Dia” membalas cuitan itu
Untuk menanyakan maksud yang ku tulis
Dan “Dia” bersedia jika aku ingin bercerita ,ujarnya
Namun, aku tak memilih pada akun cuitan burung itu
Aku menekan ponselku dan mencari nama kontaknya
Dan bertanya memastikan maksudnya dalam whatsapp
Ya benar,”Dia” mempersilahkan aku untuk berbicara
Ratusan kata ku susun, serta seperti cerpen
Untuk kekesalanku saat itu, ku utarakan padanya
“Dia” menanggapinya dengan bijak dan apa adanya
Beda dengan ku tutur Bahasa ketik dari jemarinya
Sungguh bijaksana dan apa adanya, tidak emosial seperti ku
Terima kasih untuk beberapa kali
selalu membantuku
Aku tak tau, harus dengan apa aku membalasmu
Terlebih aku bertanya
“Apa maksud 4gambar potret diriku?”
“Boleh aku mengetahuinya??”
Namun aku tak memaksa, tapi aku akan terus berkata
Terima kasih untuk hal yang pernah diberi
Dan terutama waktu untuk semuanya
0 notes
Photo
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/1a7ebf01ceb0c32926c1bee4fb52d372/tumblr_oy7rygihAR1rsh3tmo1_540.jpg)
Bagiku, menulis berarti mengumpulkan hikmah-hikmah, memaknai perasaan dan pelajaran-pelajaran hidup yang sederhana untuk berbagi kebaikan.
Sejak SMP, menulis menjadi aktivitas yang terasa begitu menyenangkan. Menulis membantuku mengekspresikan imajinasi yang entah datangnya dari mana. Menulis adalah bentuk luapan perasaan yang saat itu belum pantas aku utarakan.
“Nit, kok Si Amu jahat sih?” “Nit, udah ada lanjutannya belum?” “Nit, Fitri mau baca dong!”
Setiap kali jeda jam pelajaran, aku segera mengeluarkan buku big boss lusuh milikku. Menuangkan segala pikiran menjadi beberapa paragraf, melanjutkan karangan fiktif yg aku buat. Ini adalah cerita kedua buatanku. Yang akhirnya ku izinkan untuk dibaca Fitri, satu-satunya teman kelas yg paling setia membaca bundel karanganku.
Beranjak SMA, aku yg tak pernah suka membaca, tiba-tiba jatuh cinta dengan sebuah novel fiktif yang dikarang oleh salah satu penulis ulung, Tere Liye. Bukan hanya alur ceritanya, tapi diksi kalimatnya, dan bagaimana beliau mengaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lain yang membuat hatiku rasanya teraduk-aduk. Aku tergerak, ingin juga bisa membuat karya seperti milik beliau. Aku lantas melahap habis buku karyanya yg lain, memperhatikan kata demi kata yg beliau tulis. Mencoba memaknai jalan ceritanya. Mencoba meniru semuanya.
Entah seberapa banyak tulisan yang aku buat hingga hanya menjadi draft dalam folderku. Pernah satu waktu, temanku yg tau mengenai hobi menulisku, mengajakku untuk mengikuti kompetisi menulis cerpen. Betapa aku tergoda untuk mencobanya. Bukan karena hadiah, aku hanya ingin mengukur seberapa besar nilai yang bisa aku dapatkan dari hasil karyaku sendiri. Dan.. Aku gagal!
Aku terus mencobanya. Menulis, membaca ulang, merevisi kembali apa-apa yang perlu direvisi. Aku kembali mengikuti beberapa kompetisi baik yang diselenggarakan dari luar maupun dari dalam sekolah. Hingga ada satu momen dimana guru Bahasa Indonesiaku mengajakku berbicara mengenai hasil tulisanku yang beliau nilai. Betapa terkejutnya aku atas tanggapan yang beliau berikan. Tak hanya itu, salah satu guru BK ku, yg saat itu juga menjadi juri dari kompetisi itu, memberikan masing-masing perserta surat yang berisi evaluasi penilaiannya. Aku tersenyum kecil membacanya. Setidaknya ini adalah bukti bahwa hasil belajar menulisku tidak sia-sia.
Di akhir kelas 12, salah seorang temanku mengajakku dalam sebuah project menulis. Dia mengenalkanku pada penulis hebat yg lain, memberikanku majalah sastra, dan merekomendasikanku buku bacaan menarik hasil kolaborasi dua penulis. Tapi sayangnya, niat baik itu belum bisa terealisasikan hingga sekarang.
Baru-baru ini temanku yg lain, akhirnya menghubungiku. Mengajakku bergabung dalam writting project yg ia buat untuk memperingati hari ayah. Tanpa pikir panjang, aku segera mengiyakan. Aku membuka kembali draft dalam folderku, mencari tulisan yang sesuai dengan tema yang dia inginkan, membaca ulang, merevisi dan menambahkan beberapa kalimat agar menjadi lebih bermakna.
Tentang Ayah
Meski sejujurnya aku sedikit ragu dengan semua ini. Siapa sih aku? Sok sok an banget mau self publishing padahal ilmunya aja cetek. Masih bagus juga tulisan-tulisan temanku yg lain. Isi tumblr juga banyaknya curhaaatt aja Aku pun nanya lagi ke diriku,
“Kenapa keukeuh mau nulis? Kenapa rela ngeluarin uang banyak buat self publishing?”
Tapi aku akhirnya sadar, setelah ngurus semua ini. Karena aku gatau, barangkali, lewat tulisan ini, lewat buku ini, (semoga) ada kebaikan yg bisa aku kasih ke sekitarku, meski kecil, meski ga seberapa. Barangkali, setelah baca buku ini, ada orang yg ternyata dpt hidayah dan jadi lebih berbakti sama kedua orang tuanya, terkhusus ayahnya. Atau malah, dia dpt hidayah dan bisa belajar, “Ohh kriteria ayah yg baik tuh yg kayak gini ya”. Trs dia bisa praktekin itu di kehidupan rumah tangganya. Barangkali, (semoga) ini jd ladang amalku ketika aku ga lagi hidup di dunia.
Bismillah.
Kota Hujan Ahad, 22 Oktober 2017
6 notes
·
View notes
Text
CERPEN : Akhir Perjalanan Ep - 02
Namanya Selly, wanita yang selalu bisa membuat saya ingin memberikan segala hal yang ada di dunia untuknya. Saya bersungguh-sungguh. Sejak bertemu dengannya, entah kenapa bagi saya, Selly adalah wanita yang luar biasa. Wanita yang bisa memnerima kekurangan saya untuk dilengkapi olehnya, wanita yang mampu membuat saya menjadi pria paling beruntung karena disayang olehnya.
Selly yang dengan segala sifat ajaibnya mampu membuat saya yang dingin menurut teman-teman saya berasa jadi ‘hangat’ jika didekatnya, segala hal yang diperbuat olehnya mampu menyihir saya dan membuat saya lebih bergairah dalam menjalani hidup. Selly mampu mengubah hidup saya yang monoton. Walaupun, sesekali dia juga mampu menunjukkan sikap dewasanya di depan saya jika kami sedang membicarakan hal-hal serius.
Malam ini saya merindukannya, sungguh….
**
“Aku bosan yank hidup di Bekasi”, ucap selly sambil meletakkan kepalanya dibahu saya.
Malam ini, kami sedang berada disalah satu cafe yang ada di Bekasi, cafe yang merupakan tempat favorit Selly dalam melepas penat. Dan sekarang, cafe ini nuga jadi tempat favorit bagi saya, karena Selly hampir tiap seminggu sekali mengajak saya kesini.
“Bosan kenapa sayang”, tanyaku.
“Iya, bosan aja yank. Kota ini terlalu ramai”, jawabnya.
“Loh, ya wajar saja namanya juga kota besar”, jawabku singkat.
“Ihhh sayaanngg”, Selly mencubit kedua pipi saya dengan gemasnya sampe menimbulkan warna merah.
Hal inilah yang selalu dia lakukan jika jawaban saya tak sesuai dengan ekspektasinya. Maksud saya, jika dia merasa jawaban saya tidak singkron dengan pernyataan yang dia lontarkan.
“Aww!! Sakit taukk!”, keluhku.
“Hehehe maaf yah, nyubitnya kekencengan”, dia nyengir sambil mengusapa kedua pipiku dengan manja seakan-akan ingin mengobati sakit tadi sehabis dicubit olehnya.
“Maksud aku begini, aku butuh ketenangan, aku butuh kesunyian”, ucapnya lagi.
“Lalu?”, tanyaku.
“Aku ingin setiap pagi dibangunkan oleh suara burung-burung berkicauan, udara khas pedesaan, pemandangan alam yang memanjakan mata, senja yang indah, lalu bintang yang bertaburan di malam hari”, dia menerangkan sedangkan saya terdiam mendengar penjelasan Selly dan berusaha menyimaknya denga seksama.
“Hal yang sepertinya mustahil didapatkan disini yank, di Bekasi yang notabene deket sama kota pusat pemerintahan dan Ibukota, yang makin hari penuh sesak dengan popullasi manusia yang menggantungkan harapan serta cita-cita mereka”, dia masi menjelaskan.
“Yank?”, panggilnya.
“Yankk”, panggilnya lagi.
“Yaaaannkkk. Ihhhh”, dia jadi sebel karna ngga kugubris.
“Maaf maaf sayangg, aku sedang mengkhayalkan apa yang barusan kamu utarakan. Lalu maumu gimana?”, jawabku.
“Aku pengen, suatu hari nanti kelak jika aku dan kamu menikah lalu punya anak, kita pindah dari kota ini menuju ketempat yang membuat kita bisa memperkenalkan anak kita dengan alam sayang”, ucapnya jelas.
“Lalu??”, tanyaku antusias mendengar setiap kata yang terucap dari bibrnya yang manis.
“Jika nanti anak kita perempuan, aku akan mengajarkannya menyulam, menjahit, lalu akan kuajarkan dia memasak masakan kesukaanmu, dan mengajaknya pergi kesawah…”, terang dia.
“Kalau laki-laki?”, tanyaku.
“Kalau laki-laki, kamu bisa mengajaknya berburu ikan dilaut, naik gunung, mebajak sawah, bahkan mengajarkannya bermain suling bambu”, jawab dia sambil tertawa kecil.
“Hah?! Aku kan tidak bisa melakukan itu semua, bagaimana nanti aku bisa mengajarkannya”, aku bingung.
“Ohh, iyaa yahh. Ya udah nanti aku yang mengajarkannya saja”, dia tertawa.
“Memangnya kamu bisa?”, tanyaku.
“Engga juga sih”, jawabnya singkat.
“Lah terus gimana?”, tanyaku lagi.
“Ahh ya udah pokoknya gitu, ihh kamu inii”, Selly mengacak-acak rambutku, karena menganggap aku telah mengacaukan imajinasinya.
“Hahaha, kamu diapain aja tetep ganteng ngga”, dia nyengir.
“Iya dong. pacarnya siap dulu”, aku nyengir.
“Pacarnya selly dong”, lalu mencubit lenganku.
“Btw, gimana hubunganmu dengan dia?”, ucapnya pelan tapi aku tak menjawab
“Engga kok, engga. Aku cuma pengen tau aja rangga”, dia tersenyum. Meskipun aku tau senyumnya itu karna dipaksakan.
“Ya udah deh, kita pulang aja yuk ngga. Udah malem nih”, ajak selly.
“Selly?”, kupegang tangannya.
“Hayukk, aku engga mau kta kemaleman. Kasihan kamu nanti terlaluu larut pulangnya”, Selly berdiri mengajakku.
“Iya udahh yuk”, jawabku datar.
**
Saya masih ingat setiap detik percakapan yang kita buat Sell. Segalanya berjalan begitu lambat, sejak kepergianmu. Hingga meninggalkan luka yang menganga, yang entah kapan dapat ditutupi dengan rasa yang pernah ada. Segalanya berubah Sell, hanya ada hitam, kelabu. Pekat lebih tepatnya.
Mungkin benar kata Faisal Reza, “ada beberapa hal yang tidak bisa dipaksakan di dunia. Kita, salah satunya.”
Tapi Selly, jika suatu saat semesta berbaik hati mempertemukan kita lagi dalam keadaan tidak disengaja, saya pastikan bahwa saya akan baik-baik saja ditinggalkanmu, dan saya tidak akan berfikir dunia ini berakhir meski tanpa kamu. Tapi kamu juga pasti sudah tau bahwa, paragraf terakhir adalah sebuah kebohongan.
4 notes
·
View notes
Text
Dila Hanya Dila
[Cerpen]
Aku Dila. Wanita yang cukup usia untuk menumpukan dosa-dosanya pada lelaki yang akan menjadi takdirnya. Sangat cukup untuk menjalani hidup yang katanya indah padahal aku lihat sendiri bagaimana orang tuaku di rumah. Sudah cukup untuk menunggu setelah hati kembali terjahit.
Dia Nazar. Baru sekali ketemu dan langsung turun ke hati, macam telenovela. Tapi memang, wanita adalah aurat. Karena, dia jatuh hati padaku dalam satu kali tatapan, ngeri memang. Tapi dia laki-laki pertama yang bertemu orang tuaku. Setelah itu, kami jalani proses bernama ta’aruf.
Yang ingin kuceritakan adalah ini.
“Dil, aku mau cerita. Tapi kamu juga harus cerita ya”
“Cerita apa ? Masa lalu?”
“Hahaha kok ketebak ? Iya biar kita sama-sama tahu”
“Dil, aku perlu dengerin ini ga nih ?” kata Mala, sepupuku.
“Dengerin aja, biar ada saksi mata hehe” ujarku.
“Aku ga pernah pacaran, tapi aku pernah suka sama seseorang. Itu saat SMA. Dia namanya Dini. Dia baik, aktif, pendek-pendeknya seperti kamu. Sama juga pakai kerudungnya panjang dan kadang berkacamata. Aku dulu pernah ditolong sama dia saat aku nyaris tidak bisa naik kelas. Dia ketua kelas dan membujuk wali kelas untuk menaikkan kelasku. Jaminannya, dia akan mengajariku agar aku bisa sedikit pintar ... ” dan berbagai bahasan yang dia utarakan dengan mata berbinar-binar. Aku biasa saja, karena kupikir dia hanya mengenang.
Dua bulan kemudian, bersama sepupuku lagi.
“Menurut kamu, kalau desainnya begini gimana ?” tanyaku
“Bagus banget, Dil ! Kamu jago banget desainnya, mirip Dini.” Aku cukup tau saja.
Bulan depannya.
“Aku sebenarnya ga suka kalau Nazar main malam-malam. Kayak anak nakal gitu” kataku di chat.
“Hahaha iya iya, kamu cerewet banget. Kayak Dini aja haha “ Aku mulai tidak suka.
Seminggu kemudian, di rumahku untuk membicarakan tahap selanjutnya.
“Alhamdulillah, tinggal sedikit lagi ya persiapannya. Ini kue darimana, Dil ? Enak loh.”
“Aku yang buat, lagi suka bikin bolu-bolu gitu”
“Wah, hobinya mirip ...”
“Dini ?!” aku menyela. Aku kesal.
“Nazar, kenapa kamu dulu ga pacaran sama Dini atau khitbah dia ?” akhirnya aku luapkan pertanyaan itu.
“Bukan gitu, Dil. Mmm karena menurutku dia sudah nyaris sempurna. Aku tidak cukup pantas buat dia, makanya aku pilih kamu yang mirip dengannya.”
Aku, hancur.
1 note
·
View note
Text
Cerpen: Matahari Sudah Terbenam
Aku mengenalnya dari pertama kali ketika aku dan mama mengetuk pintu rumahnya. Kala itu kami baru saja pindah rumah tepat di hadapan rumahnya. Dan mama membuat kue untuk semua tetangga di dekat rumah, “untuk salam perkenalan” kata mama.
Hari itu, aku ikut mama kerumahnya. Mama mengetuk pintunya dan mengucapkan salam. Tak lama kemudian pintu dibuka oleh seorang anak perempuan kecil yang rambutnya dikuncir kuda. Matanya bingung menatap aku dan mama. Mama menyapanya sambil tersenyum lembut. Tak lama kemudian, terdengar suara wanita dari dalam rumah bertanya pada anak kecil itu siapa yang datang.
Dan pada hari itu, pertemanan kami dimulai.
Namanya Matahari Aisha Putri dan aku memanggilnya Tari. Tak terhitung bilangan waktu kami lalui bersama. Dari berangkat sekolah, pergi bimbingan belajar sampai bermain. Dia tak terlihat seperti anak perempuan manja bagiku. Bahkan menurutku dia itu lebih kuat dariku. Dia yang mengajariku asyiknya mengayuh sepeda laju-laju ketika turun gunung dan merasakan sejuknya angin menerpa wajah. Dia juga yang mengajakku bermain layang-layang ditengah terik matahari. Dia pula yang membagi rahasia kecilnya padaku, bahwa katanya bintang-bintang di langit itu adalah peri yang selalu memperhatikan apa yang kita lakukan. Dan membantu anak-anak kecil yang baik hati untuk mewujudkan mimpi.
Ketika SMP, Tari pernah menangis karena diganggu oleh anak laki-laki kelas sebelah. Ternyata anak laki-laki itu suka padanya. Tapi dia tidak suka dan risih dengan sikap anak laki-laki itu, dia malu ketika anak laki-laki itu datang padanya dan memberinya sebatang coklat lalu teman-teman sekelasnya semuanya mengejeknya. “Aku tidak suka, yan” Adunya padaku ketika kami berdua duduk di taman belakang sekolah. Aku tertawa dan Tari malah memukulku.
Ketika SMA, Tari berubah menjadi lebih mempesona. Aku ingat benar, hari itu bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas tahun. Hari itu, seperti hari-hari setiap tahun sebelumnya. Kami selalu merayakan ulang tahun kami bersama-sama. Dan malam itu aku sudah duduk manis di ruang tamu rumahnya dengan membawa sebuah kado ditanganku.
Malam itu Tari mengenakan gamis berwarna hitam dengan jilbab berwarna kesukaanny. Dengan polesan wajah sederhana khas dia. Bedak tipis dan lipstik natural sesuai warna bibirnya. Aku terpesona. Tak menyangka anak kecil yang dulu membukakan pintu rumahnya itu kini berubah menjadi bidadari di mataku. Jilbab yang dia kenakan membuatnya terlihat lebih anggun. Tari tersenyum lalu menghampiriku, “bagaimana?” katanya. Dan aku masih terdiam menatapnya.
“Hey, Rian. Jangan melototin aku aneh gitu deh. Gimana? Cocok nggak?”
Aku tersadar langsung menjawab, “Cantik”.
Tari tersipu. Lalu buru-buru aku lanjutkan perkataanku, “Cantik jilbab dan bajunya. Kamunya nggak”.
Senyum di wajah Tari langsung lenyap berubah cemberut khasnya. Aku tertawa. Ya Allah, mana mungkin aku jujur padanya bahwa sungguh dia sangat cantik memakai pakaian takwa. Mana mungkin aku jujur padanya jika aku sedang bersusah payah mengatur getaran dalam hatiku.
Dan mulai malam itu, aku mendapati Tari yang baru. Tari yang tertutup tapi lebih anggun. Tari yang rajin pergi ta'lim setiap hari senin dan jum'at pada sore harinya. Lalu pergi mengaji pada hari minggunya. Tari yang menjaga diri dari bukan mahramnya.
Dan kepadaku, suatu hari Tari pergi bertamu ke rumahku setelah lama dia tidak muncul di hadapanku. Hari itu minggu pagi, aku baru saja pulang dari berolahraga dan mendapati Tari sudah membantu mama membuat kue di dapur. Ketika melihatku datang, dia menghampiriku sambil tersenyum. Kami mengobrol di teras belakang.
“Maaf ya yan, aku sekarang sering sibuk sendiri. Udah nggak bisa kayak dulu lagi berteman sama kamu. Kita sudah beranjak besar dan aku sedang belajar taat kepada Allah”.
Aku hanya diam mendengar Tari berbicara panjang lebar. Tapi satu yang aku sadari, kami tidak akan bisa seakrab dulu lagi.
“Aku masih temanmu kok. Hanya saja sekarang ada batasan-batasan yang harus aku jaga. Untuk kebaikan aku juga kamu. Kamu jangan marah sama aku ya? Aku harap kamu mengerti keputusanku.”
Aku pun masih terdiam mendengarkan semua perkataannya. Tak ingin menjawab apapun.
Tari menatapku lalu tersenyum dan dia menyerahkan sebuah buku padaku. “Baca ya” katanya. Setelah itu dia pamit pulang kerumahnya.
Semenjak hari itu, batasan-batasan yang Tari katakan dan aku coba pahami itu pun terlaksana. Kebersamaan kami tak seintens dulu. Walaupun terkadang kami masih mengobrol dan mengerjakan tugas bersama atau belajar bersama untuk persiapan ujian nasional, tapi itu tidak pernah benar-benar berdua. Selalu ada mama Tari atau kakaknya atau papanya yang menemani kami.
Aku pun mulai menpelajari apa yang Tari pelajari. Tentang cara pergaulan laki-laki dan perempuan dalam islam. Tentang tanggung jawab sebagai seorang muslim. Aku juga belajar untuk menjaga sholat dan ngajiku. Aku juga ikut majelis-majelis ilmu. Semua aku lakukan bukan untuk Tari, tapi aku juga ingin menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Tari berubah menjadi baik, masa aku begini-begini saja.
Hari ini kami menjalani ujian nasional. Sebelum masuk ke dalam ruang ujian aku bertemu Tari. Dia tersenyum padaku dan berkata, “Bismillah ya Rian. Semoga Allah memberikan kemudahan pada kita dalam menjawab soal-soal ujian”. Aku mengaminkan.
Selama sepekan kami melangsungkan ujian. Hingga menunggu pengumuman ujian itu dikeluarkan. Aku dan Tari sibuk dengan urusan kami masing-masing. Kami mulai mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas. Dari mama aku mendengar cerita katanya Tari diterima di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Bahasa Indonesia. Sedang aku sendiri diterima di Fakultas Tehnik Jurusan Tehnik Lingkungan. Tapi ada rahasia yang belum aku ceritakan kepada Tari.
Malam hari setelah pengumuman ujian nasional dikeluarkan. Keluargaku dan keluarga Tari mengadakan makan malam bersama di rumahku. Sebagai acara syukuran atas kelulusan kami. Keluargaku dan keluarganya pun sudah sangat akrab, bagaimana tidak, banyak bilangan waktu dan hari yang kami lewati bersama.
Dan malam ini, setelah selesai makan malam. Ketika mamaku dan mama Tari membereskan ruang makan, papaku dan papa Tari mengobrol di ruang tamu, dan kakakku dan kakak Tari sedang bermain play station. Aku menghampiri Tari yang duduk di lantai, dia sedang bermain dengan adikku. Aku ikut bergabung disana.
“Keterima di FKIP Bahasa Indonesia ya? Selamat ya?” kataku.
“Kamu tahu aja. Pasti tante Rini yang bilang ke kamu kan?”
Aku mengangguk.
“Kamu keterima juga kan di tehnik?” Tanyanya.
“Iya. Tapi bukan di universitas di kota kita” jawabku.
Tari yang daritadi meladeni bicaraku tanpa melihat wajahku, kini memalingkan wajahnya padaku dan menatap mataku, “jadi dimana?” katanya.
“Di Malang” Jawabku.
Lama aku melihat Tari terdiam. Lalu perlahan-lahan dia tersenyum, senyum yang mengiris hatiku. “Selamat ya. Hati-hati ntar di sana. Ah kita bakal jarang banget ketemu ya. Kamu jaga diri baik-baik ntar. Kuliah yang bener. Jangan kebanyakan main” katanya sambil tertawa.
Tapi aku tahu dia menyimpan kecewa. Allah, jika boleh ingin sekali rasanya memeluk perempuan ini.
“Kamu juga kuliah yang bener. Jaga diri baik-baik. Kalo di ganggu cowok jangan nangis soalnya aku jauh nggak bisa jagain kamu lagi” kataku datar.
Tari tertawa, tapi aku melihat ada genangan di sudut matanya. “Nggak. Nggak akan ada laki-laki yang berani menggangguku” katanya.
Sehari sebelum keberangkatanku ke Malang. Aku mengajak Tari berjalan-jalan. Kami ditemani kakaknya dan adikku. Kami tertawa, bercanda, makan ice cream dan yang penting aku ingin berlama-lama menikmati waktuku bersamanya.
Sebelum senja kami pulang ke rumah. Sebelum Tari masuk ke pagar rumahnya, aku panggil dia. Dan aku memberikan sebuah kotak berwarna jingga, warna kesukaannya.
“Ini apa?” kata Tari.
“Hadiah” Jawabku. “Biar kamu nggak lupain aku”.
Tari tertawa. “Baiklah. Aku buka di dalam ya. Makasih ya” Katanya.
Dia pun berjalan memasuki rumah. Aku masih berdiri menatapnya.
*******
detik ini, akan ku bagi kau satu rahasia tentang seseorang yang menyimpan cinta dan memupuk rindu pada malam-malam syahdu
Di antara desau angin pengantar mimpi Dia memilih tuk tetap terjaga Di antara lantunan doa dalam hening yang panjang Dia serahkan seluruh rasa
“Allah Maha Segalanya” pikirnya.
*****
Aku serahkan rasaku untuk Tari pada Allah. Aku kembalikan seluruh rasa pada-Nya. Aku pinta Allah jaga dia. Jika dia memang untukku, akhir nanti kami akan bersama.
Selama menjalani hari-hari di Malang, aku tidak berani menghubungi Tari. Aku sering menanyakan kabarnya melalui mama. Lalu menitip salam untuknya agar sehat selalu dan baik-baik saja disana. Aku tidak ingin perasaan ini merajaiku. Jadi sebisa mungkin aku membentengi diriku agar tidak menghubunginya.
Tidak mudah memang. Tidak mudah apalagi jika aku tengah merindukannya. Aku hanya mampu beristighfar dan menenggelamkan diri dalam doa. Mendoakan kebaikan-kebaikannya.
*****
Hari ini aku diwisuda. Mama, Papa dan kakak datang menghadiri wisudaku. Aku bahagia ketika Mama memelukku dan berucap syukur. Yang lebih membuat bahagia, kali ini aku bisa pulang dan membawa kebanggaan untuk Tari. Aku ingin melamarnya.
Niatku ini sudah aku utarakan pada Mama dan Papa. Mereka menyetujuinya.
Dan pada hari dimana matahari bersinar cerah, aku melangkahkan kakiku memasuki halaman rumah Tari. Meneguhkan hati dan mengucap basmallah.
Ku ketuk pintu rumahnya tiga kali dan mengucap salam. Jantungku rasanya tak keruan. Ya Allah bagaimanakah rupanya sekarang. Sungguh sudah lama sekali aku tidak melihatnya.
Pintu dihadapanku pun terbuka, gadis berjilbab jingga terlihat di pantulan kedua mataku. Aku tersenyum dan dia terkejut melihatku.
“Masya Allah Rian. Kapan datang. Ya Allah apa kabar? Ya Allah Rian, lama banget nggak liat kamu. Jahat ih nggak pernah pulang kalo liburan” cecarnya. Aku melihat ada genangan air di sudut matanya.
Aku tersenyum, “Aku nggak disuruh masuk nih” kataku.
“Ya Allah lupa. Ya Allah aku terlalu senang lihat kamu dihadapanku. Yuklah masuk yan.”
“Ma. Mamaaaaaa. Ada Rian datang ma” katanya memanggil mamanya.
Aku mengikuti Tari masuk ke dalam rumahnya. Dengan isyarat tangannya dia menyuruhku mengikutinya hingga ke dalam rumah. Menemui mamanya di dapur. Kami pun mengobrol di meja makan.
“Sudah wisuda ya, Rian?” Tanya mamanya.
“Sudah tan. Alhamdulillah”.
“Rian makin ganteng ya tante lihat-lihat. Dapat calon nggak disana”.
Aku melirik Tari ketika mendengar mamanya berbicara begitu. Tari tersenyum lalu berkata, “Ah paling nggak ada yang mau sama dia ma”.
“Eh enak aja. Adalah tapi ya aku belum mau”.
“Uh gaya beneeeeeer”.
Dan sungguh aku sangat merindukan saat-saat bercanda seperti ini dengannya.
“Tari kemarin di lamar yan, gaya dia udah jadi calon istri” kata mamanya memecah tawa kami.
Aku terkejut dan langsung menatap wajah Tari, meminta penjelasan. Tari sadar akan tatapanku dan langsung duduk di samping mamanya yang duduk di hadapanku.
“Iya, yan. Kemarin kakak tingkat di kampusku, ketua organisasi islam, melamarku. Aku mengenalnya dari awal aku bergabung di organisasi itu. Dia orangnya baik, menjaga dan yang penting dia mencintai Allah”.
Aku hanya diam mendengar penjelasan Tari.
“Jadi kapan akad nikahnya dilaksanakan?” aku memberanikan diri bertanya.
“Bulan depan yan. Seminggu setelah aku wisuda”.
“Selamat ya” kataku. “Akhirnya ada yang mau sama cewek bau matahari sepertimu” kataku menambahkan sambil tertawa.
“Apaan sih kamuuuuu. Kamu pikir nggak ada yang suka sama aku” katanya.
Aku mengangkat bahu, “Siapa tau” kataku.
Tari melemparku dengan tisu. Aku tertawa terbahak. Mana tahu dia ada kembang api yang menyesakkan meledak-ledak dalam dadaku. Aku kecewa.
Iya. Sekuat apapun aku menjaganya dalam doa jika dia bukan untukku maka aku tidak akan memilikinya. Aku memang tidak akan pernah tahu hal baik seperti apa menurut Allah untuk hidupku. Tapi aku selalu yakin bahwa ketetapan-ketetapan-Nya adalah pasti. Aku hanya harus terus berjalan lagi.
Hari ini, ketika matahari terbenam. Aku menyaksikan wanita satu-satunya yang aku cintai dari awal aku mengenal cinta sedang bahagia dalam genggaman laki-laki lain.
Aku menghela nafas. Demi Allah, aku rela jika dia bahagia.
cc: @tumbloggerkita @kitakalimantan @ariqyraihan
43 notes
·
View notes
Text
CERPEN
tahun 2018, bulan maret tanggal 13. terlihat seorang pemuda dari kejauhan. ia berjalan melewati gelapnya malam ditengah lorong kampus, hanya separuh dari mukanya yang terlihat, terhampar cahaya lampu yang temaram namun menyilaukan mata, sosok itu. berambut panjang bergelombang, dilihat dari dekat, terlihat matanya, tajam menyimpan misteri yang begitu dalam bak teka teki, perawakannya sedang dengan badan yang tegap. ia bernama lemos, seorang mahasiswa tahun ke 3. ia dikenal sebagai sosok yang sangat digemari oleh para wanita, karena kecerdasannya dan juga tutur katanya dalam berbicara, ia juga merupakan mahasiswa yang berprestasi, ia berkontribusi untuk trofi lomba berdebu yang ada di koridor kampusnya. siapa yang tidak kenal dirinya?
Tahun 2018, bulan maret tanggal 14, di sore hari yang kelabu, lemos terlihat sedang duduk bersama temannya di koridor kampus, ia duduk bersimpuh dengan sebatang rokok ditangannya, matanya melirik kekiri dan ke kanan, memperhatikan orang di sekitarnya dan tanpa sadar rokok itu tanpa dihisapnya apinya sudah hampir sampai keujung jari jemarinya. sore hari menjelang petang, jemari tangan kirinya terlihat mulai mengetuk ngetuk kursi kayu yang ia duduki, sembari ia menggetarkan kakinya, menghentak hentakkan sepatunya ke lantai. pada saat itu, semua gerakan yang ia buat terhenti, ia tertegun menuju ke satu arah, matanya yang sedari tadi melirik lirik, mulai fokus ke satu titik, ke sebuah tangga, melihat seorang mahasiswi berparas cantik bernama ayu, seorang mahasiswa tahun pertama, turun dari tangga dengan pelan. berjalan dengan anggun menyusuri tangga, mata lemos tidak satu kali pun melirik ke arah lain. mungkin dia menyukainya siapa yang tau?
setelah ayu turun dari tangga, lemos menghampirinya secara berhati hati. mata mereka pun bertemu, terlihat lemos mengeluarkan dua bilah kata lalu mereka berjalan beriringan ke arah gerbang, berjalan dengan pelan, keduanya mencoba untuk berjalan dengan kecepatan yang sama, tanpa sepatah kata. hari yang sudah sore menjadi malam, gelap dan dingin yang menusuk kulit, mereka berdua makan ditempat yang sama, berhadapan, saling tukar pandangan satu sama lain, lemos pun terlihat gugup dan canggung, mulutnya seakan terbuka tetapi akhirnya tertutup lagi, seakan akan ada kata yang sukar untuk disampaikan, sepertinya ia menunggu momen yang tepat.
lalu, setelah itu, setelah semua gundah lemos terungkap, pipinya yang memerah dan mukanya yang sedikit demi sedikit memalingkan pandangan malunya dari ayu, dan jari jemarinya yang mengetuk kursi yang ia duduki, menantikan reaksi dari wanita yang telah ia utarakan gundahnya. namun, tiba tiba ekspresi lemos berubah, sekarang muka yang memerah itu seakan tambah memerah, alisnya mengernyit setelah ia melihat foto di ponsel ayu yang diletakan di atas meja, sebuah foto lelaki yang sebaya dengannya, lemos pun mengenalinya. setelah ayu mengutaran tiga patah kata, seakan tak percaya akhirnya lemos menyudahi makan malam mereka berdua dan ia mengantar ayu pulang. lemos pun mengutarakan satu hal, ayu pun menyanggupi
tahun 2018, bulan maret tanggal 17, hari masih siang, sudah tiga hari lemos tidak bertemu dengan ayu, ia menantikan kedatangannya, seperti biasa, ia duduk di koridor, namun sekarang ia hanya sendiri, menantikan munculnya ayu, sepertinya ia telah membuat janji dengannya, tangannya memegang tripod kamera, dan tiga lampu kamera berada disampingnya. setelah itu tidak lama ayu datang dari atas gerbang, tanpa pikir panjang lemos menggandeng ayu menuju kendaraannya. setelah sampai di sebuah rumah, didalam pikiran ayu terbersit pikiran negatif, ia pun mengutarakannya ke lemos, ia menanyakan keberadaan teman teman yang akan menemaninya. namun ia menenangkan ayu, ia berkata bahwa teman temannya sedang menuju kesini. sembari menunggu ia menyarankan ayu untuk bersiap siap untuk pemotretannya, sementara lemos pun bersiap siap juga. sembari menunggu lemos menyiapkan kameranya, memasang kamera di atas tripod dan mengarahkannya ke arah ayu, sementara dengan rasa cemas, ayu berdiri membelakangi jendela tidak sabar akan kedatangan orang lain. sementara itu lemos memakai sarung tangan, dan bersiap untuk memakai kameranya, ia memotret ayu dari belakang, dan ia menekan tombol merah yang ada dikameranya. dan mengambil pisau yang diletakkan di tas ranselnya.
0 notes
Text
Flash Fiction: Lupa
Kaca terpal yang nyaris tak terlihat itu menjadi satu-satunya pembatas yang membuat perempuan itu tak basah. Di luar sana rinai hujan menari-nari, mengetuk-ngetuk kaca seakan mengundangnya keluar untuk menari bersama. Si perempuan tersenyum.
Ritual berbagi kebisuan dengan hujan, katanya. Hal yang tak pernah bosan ia lakukan. Meskipun yang ia lakukan hanyalah duduk diam sambil memandang rinai-rinai hujan yang menari di luar.
Sementara aku, hanya bisa menarik nafas dalam sambil menemani di sampingnya. Alasan itu bohong. Ia bukan memandang rinai-rinai hujan. Ia sedang menggali kenangan. Ia memanfaatkan efek psikologis dari hujan untuk membangkitkan kenangannya yang perlahan memudar.
.
Namanya Rein, singkatan dari Reinaldo. Aria yang memberi nama panggilan itu. Katanya, laki-laki itu mirip hujan.
Aku tertawa ketika mendengarnya pertama kali. Apa maksudnya, mirip hujan? Mana mungkin ia menyamakan manusia dengan fenomena alam?
Namun kenyataannya memang seperti itu. Pendeskripsiannya akan laki-laki itulah yang membuatku yakin. Laki-laki yang bisa memberikan ketenangan hanya dengan berada di sampingnya. Laki-laki yang bisa menghadirkan rasa sejuk hanya dengan melihat sosoknya. Ia bahkan tak perlu berbicara. Layaknya menikmati hujan, berbagi kebisuan saja sudah cukup.
Aria nampak sangat bahagia ketika ia bersama dengan Rein. Aku pun turut bahagia.
Sampai takdir berkata lain.
Rein menghilang. Layaknya kemarau yang menggantikan musim penghujan. Ia lenyap begitu saja, dan tak pernah kembali.
Aria yang sejak awal memiliki mental yang lemah kehilangan satu-satunya penstabil emosinya. Ia menjadi kacau. Nyaris tak terselamatkan. Meraung-raung setiap hari, memanggil-manggil nama Rein.
Satu-satunya penenang baginya hanyalah hujan. Ia akan benar-benar diam untuk memandang hujan dengan khidmat dari balik kaca terpal yang menjadi dinding kamarnya itu. Hanya saat itulah aku bisa mendekat padanya.
Seperti saat ini.
Dengan segala keanggunan yang melekat pada dirinya, Aria menoleh. Rambut hitam panjangnya bergoyang sedikit, menutupi salah satu matanya. Tanganku pun bergerak pelan, menyampirkan helaian rambut itu ke belakang telinganya. Kedua bola matanya yang berwarna cokelat membulat sempurna, dan nampak berbinar.
Entah karena apa, setelahnya senyum tipis terkembang di wajahnya. Ia pun menolehkan kepalanya lagi, ke arah kaca terpal. Melanjutkan memandang hujan.
Dulu, jika hujan seperti ini Aria akan menyeduhkan dua cangkir cokelat hangat. Dilanjut dengan menyeret selimut tebal super besar favoritnya dari kasur, lalu menyuruhku menemaninya duduk di sampingnya. Di atas sofa merah marun yang sangat empuk, ia akan berceloteh riang sambil menyeruput cokelat hangatnya. Persis di depan kaca terpal ini. Meringkuk di balik selimut, memandang hujan.
Atau, jika aku dan dia sedang beruntung, ditambah dengan sepotong kue. Entah itu kue cokelat, cheesecake, apple pie, tiramisu, cupcake, atau apa pun.
“Makanan yang enak akan selalu membuatmu bahagia. Orang bilang, hujan itu identik dengan hal sedih. Jika ditemani makanan enak, maka kita tidak akan sedih kan?”
Bahkan aku sampai ingat ceramah singkatnya yang selalu ia utarakan tiap kali kami ‘menonton’ hujan bersama.
Aku tersenyum pahit mengingatnya. Aria yang kini berada di depanku, masih dengan segala keanggunan dan kecantikannya, nampak sangat hampa seperti boneka porselen. Kenapa seperti ini? Ke mana Aria yang dulu?
Pluk.
Tanpa kusadari Aria sedang memandangku dengan tatapan cemas. Sebelah tangannya menepuk-nepuk pundakku, seakan mencoba menenangkan. Aku terkejut.
“Sudah kubilang kan, Do? Orang tak akan pernah mendapat kembali apa yang sudah ia sia-siakan. Begitu juga denganku. Aku tak akan pernah mendapatkan Rein lagi.”
Aria mengucapkannya dengan suara yang sangat jernih, dan sorot mata yang menyiratkan ketegaran yang dalam. Entah sudah berapa lama berlaul sejak aku merasa Aria se-‘manusia’ ini.
Ponselku bergetar. Aku merogoh sakuku, mengambilnya. Sebuah SMS.
Reinaldo, sudah saatnya kau menyuntikkan obat bius pada Aria. Hujan ini tak akan berhenti dalam waktu singkat. Pasien retrogade amnesia harus banyak istirahat.
Aku mengangguk, lalu bangkit dari sofa. Aria hanya memandangku berjalan menuju laci tanpa berkata apa-apa. Sementara aku mengambil jarum suntik dengan gerakan pelan, sebisa mungkin mencegahnya melihatnya.
Aku kembali. Aria masih menatapku, kali ini dengan senyuman.
Dari Reinaldo menjadi Rein. Dari Rein menjadi Aldo. Dari sumber segala kebahagiannya menjadi penghancur hidupnya. Dari segalanya baginya menjadi bukan siapa-siapa.
Dengan gerakan cepat namun lembut aku menusukkan jarum suntik ke lengannya. Aria meringis. Perlahan ia menyandarkan badannya ke badanku.
“Aria, mungkin kelupaanmu ini memang hukuman untukku. Aku tidak seharusnya menghilang. Ar, kumohon maafkan aku... kembali... pulang... Ar...”
Hening selanjutnya. Aria tertidur sepenuhnya. Hanya terdengar dengkurannya.
Mungkin ini memang hukuman untukku. Akan tetapi... untuk berapa lama? Perlukah semenyakitkan ini?
Aria... pulang.
Kumohon.
---
Diikutsertakan untuk suatu kompetisi menulis flash fiction (cerpen yang sangat pendek dengan kurang lebih hanya 800 kata) dengan tema merindu tanpa kata rindu. Saya lupa lombanya diadakan di mana, kalau tidak salah saya terpilih sebagai salah satu pemenang... This is back on year 2012 maybe?
But anyway here you go and thanks for reading.
0 notes
Photo
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/110c49e9a5906bb7b3696c8e6dd54c53/tumblr_oyzliazWRT1sudg93o1_540.jpg)
Sambutan
Holla, ini ga penting banget sih. Tapi, akhirnya setelah 2013 ini tumblr kembali dibuka hari ini. Di cuaca Kota Bandung yang aduhai lembab, gerah sana-sini, ketek keringetan terus. Dibawah tangga Gedung B (makin ga jelas), dimulai lagi apa yang udah kalo kata orang “mati suri”, stuck. meski, iya meski sebetulnya semua post saya private sebab dulu ga tau mesti apa yang di share disini. Dan yang di share juga ga penting-penting amat (emang sekarang penting? we..)
Oke, sebelumnya inilah blog saya yang se-simplenya. Masih belum tau mau dikasih judul gimana. Suka-suka lah saya sebagai yang ngelola ini saja.
Foto pertama yang saya upload juga ga tau makna nya apa. Setau pikiran bawah sadar saya saat ini cuma kangen ngerasain udara sejuk di Cikole, Lembang sembari makan bekal dari Mama sambil hiking dan bawa-bawa kompas plus peta. Memaknainya ga serius-serius amat kan. Intinya saya sih hanya ingin nulis kembali setelah pada jaman esema (alay bener, bu...) tulisan saya sering ditolak atau gagal masuk nominasi juara pas kompetisi menulis, jadi males kan. Cuma, dipikir lagi yaelah gue, baru begitu aja udah stop, ga bakal maju lagi kan seterusnya. Dan, berhubung kemarinan sudah beberapa orang yang saya temui merekomendasikan agar saya kembali menulis, apa kek tulisan berupa cerpen, puisi, atau ga usah ribet-ribet kayak jurnal harian atau semisal nge-post di Instagram terus kasih cerita di balik foto tersebut. Simpel dan cobalah untuk nulis terus, no matter what people say, alay kek, ga runut kek, sebodo. Gitu katanya. Maka mulailah saya dengan apa yang akhirnya saya mulai juga. M.E.N.U.L.I.S.
Mengenai kenapa ini akhirnya pula dinamai PuspaKelana, mungkin sebagian dari kalian menyangka kalau ini itu nama Grup Musik Dangdut Puspa Kelana yang di Kendal itu, sebetulnya saya ga kepikiran kesana juga sih. Sampai memutuskan mencari nama ini exist atau engga, dan walaupun awal-awalnya agak ogah buat ngegunainnya gara-gara itu, toh akhirnya nama PuspaKelana ini rasa-rasanya kok me-representasikan apa yang ingin saya utarakan melalui blog ini. Oke jadi, begitu sedikit basa-basi di awal tulisan saya.
0 notes
Text
Ungkapan Penuh Motivasi Terbaik Dari Quote Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer atau lebih akrab biasa dipanggil Pram merupakan salah seorang sastrawan besar yang pernah dimiliki oleh Bangsa Indonesia, secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia.. Putra pertama dari seorang kepala sekolah Institut Budi Oetomo ini sudah menghasilkan lebih dari 50 karya sastra dan berhasil diterjemahkan dalam 41 bahasa asing. Ia juga telah meraih berbagai penghargaan prestisius seperti Centenario Pablo Neruda, Chili pada tahun 2004. Sebenarnya nama aslinya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, seperti yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Dikarenakan nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan olehnya terlalu aristokratik, akhirnya ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya Ananta Toer , lahir di Blora Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun. .Ia telah menghasilkan artikel, puisi, cerpen, dan novel sehingga melambungkan namanya sejajar dengan para sastrawan dunia. Berikut beberapa kutipan dari hasil karyanya :
Berterima kasihlah pada segala yang memberi kehidupan ⇛Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia * Mengingatkan kita agar tak lupa bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat kehidupan dari-Nya
Kami memang orang miskin. Di mata orang kota kemiskinan itu kesalahan Lupa mereka lauk yang dimakannya itu kerja kami. Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca (1988) Memberi sentilan bagi orang kaya yang selalu meremehkan orang miskin Dalam hidup kita cuma satu yang kita punya Yaitu keberanian… Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini? ⇛Pramoedya Ananta Toer
* Memberi motivasi untuk berani dalam menjalani apapun jalannya hidup
Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh Dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. ⇛ Pramoedya Ananta Toer * Tak ada yang benar jika kerjaan manusia hanya saling meremehkan
Yang harus malu itu mereka karena mereka takut untuk bekerja Kau kan kerja, kau tidak boleh malu Mereka yang harus malu, tidak berani kerja Semua orang bekerja, itu adalah mulia Yang tidak bekerja tidak punya kemuliaan. ⇛ Pramoedya Ananta Toer, Saya Ingin Lihat Semua Ini berakhir (2008)
* Mulianya hidup seseorang saat dia bisa menafkahi hidupnya dan keluarganya, tanpa harus selalu berharap dari pemberian orang lain
Kalian pemuda.. Kalau kalian tidak punya keberanian Sama saja dengan ternak Karena fungsi hidupnya hanya beternak diri. ⇛ Pramoedya Ananta Toer * Nasehat untuk generasi muda agar selalu berani dalam menghadapi hidup
Kau akan berhasil dalam setiap pelajaran Dan kau harus percaya akan berhasil Dan berhasillah kau Anggap semua pelajaran mudah Dan semua akan jadi mudah Jangan takut pada pelajaran apa pun Karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua ⇛ Pramoedya Ananta Toer
* Inilah prinsip dalam belajar, tanamkan dalam pikiran bahwa pelajaran itu semua mudah dan otak akan meresponnyapun menjadi mudah
Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit. ⇛ Pramoedya Ananta Toer, Child of All Nations * Ya inilah hidup.. kadang ceria kadang sedih. Ini yang normal
Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain ⇛ Pramoedya Ananta Toer
* Hasil keras sendiri memang lebih baik dan tanpa memohon belas kasihan orang lain
Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga Yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi Dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya ⇛ Pramoedya Ananta Toer, House of Glass * Inilah yang dinamakan kekuatan niat, orang yang hidupnya penuh niat tujuannya akan lebih mudah ditemukan
Kita semua harus menerima kenyataan Tapi menerima kenyataan saja adalah Pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru Maka “kemajuan” sebagai kata dan makna Sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia ⇛ Pramoedya Ananta Toer, House of Glass
* Motivasi agar tak gampang menyerah dan putus asa
Tak ada manusia hidup tanpa persahabatan dan kebaikan Karena yang bukan demikian bukan manusia ⇛ Pramoedya Ananta Toer, House of Glass * Mengingatkan agar menjaga hubungan baik antar sesama
Tidak semua kebenaran dan kenyataan perlu dikatakan Pada seseorang atau pada siapapun ⇛ Pramoedya Ananta Toer, Arok Dedes
* Setiap orang punya ranah privasi masing-masing, tak selalu harus semua orang tahu
Mbok, kau mau lawan kejahatan ini dengan tanganmu, tapi kau tak mampu Maka itu kau lawan dengan lidahmu. Kaupun tak mampu. Kemudian kau cuma lawan dengan hatimu Setidak-tidaknya kau melawan. ⇛ Pramoedya Ananta Toer, Gadis Pantai * Berani melawan kejahatan dengan segenap kemampuan, bahkan jika tak mampu cukup lewat doa saja
Orang berilmu, berpengetahuan, dan berbakat itu tak boleh punah ⇛ Pramoedya Ananta Toer, Arok Dedes
* Karena ilmu tak boleh berhenti mengalir dan hilang ditelan tanah (mati)
Kau terpelajar, Minke.. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, Apalagi dalam perbuatan.. Itulah memang arti terpelajar itu ⇛ Pramoedya Ananta Toer * Orang yang berilmu harus sepatutnya juga berakhlak baik
Selama orang masih suka bekerja Dia masih suka hidup Dan selama orang tidak suka bekerja Sebenarnya ia sedang berjabatan tangan dengan maut ⇛ Pramoedya Ananta Toer, House of Glass
* Karena yang pemalas adalah orang yang mendekatkan diri dengan kehancuran
Bersikap adillah sejak dalam pikiran Jangan menjadi hakim bila kau belum tahu duduk perkara yang sebenarnya ⇛ Pramoedya Ananta Toer * Mengajarkan sabar dan tidak main hakim sendiri
Jangan hanya ya-ya-ya. Tuan terpelajar, bukan yes-man Kalau tidak sependapat, katakana Belum tentu kebenaran ada pada pihakku .. ⇛ Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
* Berani utarakan pendapat, karena belum tentu keputusan yang diambil berpihak pada keadilan
Sahabat dalam kesulitan adalah sahabat dalam segala-galanya Jangan sepelekan persahabatan. Kehebatannya lebih besar daripada panasnya permusuhan. ⇛ Pramoedya Ananta Toer, Child of All Nations * Mengingatkan agar selalu menjaga hubungan persahabatan karena itu adalah sumber kekuatan maha dasyat
Sekilas info , pada tahun 1950an Pramoedya Ananta Toer bergabung menjadi salah satu tokoh penting disebuah organisasi berafiliasi pada PKI yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) . Lekra yaitu salah satu organisasi kesenian sayap kiri yang dituding tentara terlibat Gerakan 30 September yang menewaskan enam jenderal Angkatan Darat. Sejak bergabungnya Pramoedya ke dalam Lekra membuat gaya tulisannya banyak berubah, dia jadi mulai rajin mengkritik pemerintahan Soekarno dan yang cendrung bersikap apriori terhadap sosok atau tokoh Islam. Namun, kumpulan quote diatas tak menjurus kearah komunis, SARA atau kritik pemerintahan. Sengaja dipilihkan hanya yang bersifat umum dan yang memberi motivasi kehidupan. Karena inilah yang dirasa lebih mamfaat diluar dari sejarah masa lalu penulisnya. Kita hanya mengambil hal-hal yang baik saja, semoga ini memberi inspirasi. Sumber : goodreads dan beberapa sumber lainnya
0 notes
Photo
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/bf67f1236f79698fcb6e0b2db5eda3ac/tumblr_owxsjpQwUn1ufcu7ho1_500.jpg)
PENYIHIR. Tahun 2012 saya berkesempatan ikut prosesi pemakaman salah satu kerabat dekat di kampung. Ada pendeta yg memimpin kebaktian berkotbah dengan sangat menarik. Beliau menyinggung ttg arwah dlm perspektif org Mollo dan konsep #fatubian. Sebenarnya beliau ingin meluruskan apa yg sdg terjadi. Diandiam ada konflik internal dlm keluarga, ada dugaan om sy ini mati penasaran (maet mone), akibat sihir menyihir dst. Dan setelah itu ada yg lebih menarik, para lelaki setengah mabuk yg menggotong peti jenazah sembari berlari dan menggoyanggoyangkan peti dgn tujuan memisahkan roh dari fisik. Ada rasa takjub, ngeri, dan imajinasi sy semakin liar setelah itu. Sy ingin jadi penyihir 😂. Diandiam melihat dunia yg riuh dr mata seorang penyihir. Sy kemudian menulis Maet Mone, yg dlm kepala sy waktu itu adalah serangkaian skenario film pendek, semacam road movie. Ide ini kemudian sy utarakan ke kawan baik sy Manuel Alberto Maia, sutradara film Nokas. Dua kali kami bertemu di IRGSC Kupang dan menulis skenario Maet Mone bersamasama. Entah kapan jadi produksi. Sy kemudian bikin versi cerpennya. Cerpen itu ada di buku terbaru sy Sai Rai yg akan ada di toko buku pekan pertama Oktober 2017. Sai Rai berisi 18 cerpen ttg penyihir, hantu dan kematian-kematian yang ganjil. Karena rasanya masih mustahil jadi penyihir betulan, sy coba jd penyihir dlm cerita fiksi. Tapi saya ingin jadi suanggi. Nah lho!😂
0 notes
Text
Membaca Anak-anak
Membaca tulisan anak-anak tanpa latar belakang penulis atau suka membaca fiksi, tentunya menjadi hal menarik bagi beberapa orang dewasa atau (yang hampir) dewasa sepertiku. Tetep ya, ngotot pokonya gamau ada unsur dewasa dalam diriku. Pada acara wisuda SMP di salah satu sekolah swasta adikku, menjadi hal unik karena kegiatan itu semacam hal sakral yang bisa disamakan dengan kelulusan diploma, sarjana, atau semacamnya. Bukan sekedar wisuda pelepasan siswa yang dijadikan formalitas semata atau gengsi sekolah, tapi benar-benar dijadikan sebuah kesan yang mengena bagi wali murid. Salah satu yang menarik adalah adanya kumpulan cerpen karya angkatan yang lulus saat itu. Aku sempat tertawa karena kok niat banget gini, penyuntingan bukunya bener-bener rapi kaya novel yang dijual mahal. Lepas dari tata letak dan penulisannya, mari bahas isinya. Tulisan dari ratusan anak yang belum tentu semuanya pernah membaca fiksi seperti ini tentunya menjadi hal menarik untuk dicerna konsep apa yang rata-rata mereka ambil. Tentu saja yang paling banyak adalah curhat atau yang sedang melanda pikiran mereka saat itu, yang paling lama mereka kenang. Tulisan mereka apa adanya, tanpa unsur 'pembaca harus tertarik pada tulisanku'. Sehingga, sangat terlihat ketulusan anak-anak saat menceritakan pemikirannya yang tak sempat mereka utarakan lewat ucapan. Kayanya, memang sudah jarang ada tulisan-tulisan yang bener-bener tulus, tanpa memaksa pembaca, tapi pembaca selalu tertarik. Walaupun ceritanya terlihat nyata, tapi lagi-lagi sebagai pembaca kita harus terus mengulang prinsip bahwa karya fiksi hanyalah fiksi, bukan buku curhat sekalipun penulisnya memang curhat. Karya-karya seperti itu juga bisa dijadikan kenangan yang cukup baik. Menyimpan kejadian cukup aman tanpa harus sibuk foto lalu mencetaknya menjadi ratusan album. Kita juga jadi tahu, semua orang bisa menulis, semua orang berhak menulis. Sering mendapat pertanyaan, gimana sih caranya nulis? Padahal jawabannya gampang, ya tinggal ditulis aja. Rata-rata, mereka selalu memikirkan apa yang harus dimulai dalam sebuah tulisan, mana yang harus diakhiri dalam sebuah tulisan, di otak ini udah ada tujuan mau nulis tentang apa, penuh malah, tapi bingung. Padahal semuanya jalan pada diri kita sendiri, bukan dari teori-teori. Bacaan ini misalnya, gimana aku bisa nulis gini? Ya caranya ditulis aja. Aku juga ga mikir, kapan tulisan ini selesai. Tulisan kan ga harus rapi kaya di novel-novel, penulisnya dibantu penyunting tulisan, bro.. Wkwk. Tp yaaa diperhatikan juga tulisannya, biar ga pusing yang baca. Sebenarnya kita bisa belajar dari anak-anak yang menulis. Caranya dengan menulis sesuai dengan pemikiran kita, tulus dalam menyampaikan, tidak memaksa pembaca tertarik (ini bikin gak nulis-nulis), tulisan itu nyaman menurutmu, mood lagi bagus-bagusnya buat nulis, gak maksa diri harus nulis detik itu juga, gak nunda waktu saat kamu lagi ada ide(sekalipun itu di dalam kelaa), bisa dibaca, dan yang pasti adalah mulai dengan segera MENULIS. Awalnya, menulis untuk diri sendiri, menghibur diri sendiri. Sekalipun belum bisa berguna untuk orang lain, setidaknya, esok hari mungkin, kenangan yang pernah terjadi pada diri kita dan tidak sempat dipotret oleh kamera, tersimpan baik dalam tulisan. Mulailah menulis.
0 notes
Text
NightMare
Semalam gw mimpi buruk ketemu setan, entah dalam klasifikasi setan apa ini yang saya temui, mungkin kategori kuntilanak.
Jadi begini kronologisnya, ( saya buat sedikit seperti cerpen ya )
Malam itu saya tidur dan bermimpi sedang jalan kaki menuju ke rumah saya pada sore hari, lebih tepatnya setelah maghrib dan hari mulai gelap, lokasinya ada di dalam sebuah komplek yang tidak terlalu padat, jalanannya cukup luas bisa dilalui 2 mobil dengan aspal yang sedikit bergelombang, dan masih ada beberapa lot di komplek itu yang berupa tanah yang ditumbuhi rumput dan pohon pohon.
di perjalanan saya bertemu seorang gadis cantik, rambutnya panjang hitam lurus, mengenakan baju putih transparan. sungguh sangat menggoda untuk saya sebagai seorang laki-laki. Gadis muda ini berjalan menuju arah berlawanan dari saya atau sedang berjalan menuju ke arah saya dengan mendorong semacam gerobak dengan sepeda, gerobaknya terbuat dari besi dengan cat warna biru yang sudah mulai terkelupas, isi gerobaknya adalah barang-barang loakan. Ketika dia berada di depan saya, dengan jarak sekitar 200 meter, gadi itu membuka bajunya, memperlihatkan punggung yang sedikit tertutup rambut hitam panjang yang terikat, pantat, dan kakinya yang jenjang dan putih mulus. ( seharusnya jika dia berjalan ke arah saya yang saya lihat adalah tubuh bagian depannya, tetapi yang saya lihat tubuh bagian belakang ) Dalam hati berkata sayang sekali gadis secantik ini dilewatkan begitu saja, saya pun menghampirinya menanyakan menjual barang apa saja, mungkin ada yang bisa saya beli untuk dipakai dirumah, setelah melihat-lihat barangnya hanya besi besi dan barang yang rusak saya bilang mau gak menginap dirumah saya, karena hari juga sudah malam dan saya utarakan maksud untuk tidur bersama, dia pun menyangupi, karena ternyata dia sudah biasa dengan tawaran itu, dan dia juga sebenarnya menjual tubuhnya. Akhirya di dapat dengan harga 100 ribu dia akan menemani saya, Dia pun berjalan disebelah saya (saya sedikit di depan dan dia dibelakang) posisi saat ini, setelah dari titik pertemuan di jalan yang lurus itu, jalan ini mentok dan bercabang 2, kanan dan kiri, saya pun berjalan ke kiri, setelah melewati beberapa rumah besar, ada 1 lot yang belum ada bangunan dan hanya diisi rumput tinggi dan pohon besar.
Tepat disebalah tanah kosong tersebut lah rumah yang akan saya masuki, sesaat sebelum masuk saya merasa ada sesuatu di tanah kosong tsb yang berwarna putih, kemudian saya berpikir untuk di hiraukan saja dan langsung masuk ke rumah, namun rasa penasaran saya membuat saya memundurkan langkah dan melihat ke arah tanah kosong, dan di dekat pohon besar tersebut terlihat sosok wanita dengan baju putih kebesaran, rambut panjang hitam acak acakan, dengan muka yang hitam dan seram, dia tertawa tapi tidak mengeluarkan suara, sebagian badannya tepatnya disebelah kanan makhluk tersebut sedikit transparan atau tembus pandang ( seperti tidak ada) dari arah bahu ke paha kanan, termasuk dengan tangan kanannya. Tubuhnya melayang diam sambil tertawa melihat saya, saya pun langsung terkejut dan kaku, saya menatap tajam wajahnya dan dari atas sampai bawah, kemudian saya pun melihat wanita yang menemani saya tadi, dia masih ada di sebelah saya dan hanya diam dan menunduk saja, tidak bergerak, tidak berkata-kata. Saya saat itu shock, badan di alam mimpi dan alam nyata kaku, kalimat pertama yang saya sebut adalah Astagfirullah, saya sebutkan berulang kali, sampai saya tahu (atau mungkin kembali) kebadan saya -sehingga saya tahu bahwa badan asli saya yang sedang tidur juga sedang kaku/kejang- saya ucapkan terus Astagfirullah, dalam hati saya ingin mengucapkan audzubillahiminasyaitonirojim namun entah bagaimana kata itu tidak bisa tersebut dalam hati, akhirnya saya membaca ayat kursi, sempat beberapa kali salah baca dan terbata-bata. namun akhirnya setelah membaca 3 kali saya pun baru ingat untuk pelafalan audzubillahiminasyaitonirojim , dan ini saya sebut berkali kali, setelah itu saya bisa memindahkan tubuh asli(yang sedang tidur) saat itu sedang menghadap ke kanan jadi telentang keatas, posisi masih meluk guling) sambil tetap mengucapkan 3 kata kata tersebut bergantian, berulang kali. Membuka mata sesaat kemudian menutupkan kembali namun saya masih ditempat itu terpaku menatap makhluk tersebut, tetapi dengan kondisi badan sudah rileks, tidak kaku, dan sudah bisa bernafas.
Setelah beberapa kali membuka dan menutup mata mimpinya kembali kesana, dalam hati tetap membaca ayat kursi, doa sebelum tidur, istighfar dan audzubillahiminasyaitonirojim , akhirnya saya pindah tempat, ke sebuah tempat yang gelap gulita tetapi ada sinar sinar yang terus melintas, saya buka, lalu tutup kembali mata saya tetap terliihat sinar sinar tersebut melintas di ruang gelas, ada banyak ada yang berupa garis lurus, dan ada juga yang terang sekali seperti titik yang melintas, Bila diumpamakan seperti kita berada dalams sebuah gerbong kereta yang sedang melintasi terowongan gelap gulita, kemudian ketika kita melihat ke jendela, lampu lampu yang ada di terowongan itu bergerak cepat. kurang lebih seperti itu. Setelah itu saya sempat terjaga sebentar, kembali menutup mata saya melihat.merasakan makhluk seperti lintah besar dengan ukuran sekitar 1-1,5 yang sangat gemuk sedang berjalan jalan di antara dinding ke plafon, dia bergerak persis seperti lintah, sesaat saya berfikir mungkin ini yang membuat kamar saya terus lembab, dan suka bocor. Masih dalam keadaan mata tertutup saya meminta kepada Allah, tolong jangan dibukakan mata atau indra lainnya, saya merasa sudah cukup hanya merasakan saja, tidak mau melihat lagi. Dan juga mendadak saya ingatperkataan nenek saya, yang jika kamu bisa melihat makhluk alam gaib kamu akan melihat banyak sekali makhluk tsb disekitar kita yang bentuknya bermacam-macan dan berserakan di jalanan. Saya terbangun kembali, lalu buka handphone dan setel surat Ar Rahman, yang sempat membuat saya ingin menangis ( entah kenapa jika setiap diingatkan akan nikmat yang Allah berikan saya selalu merasa ingin menangis ) Ketika saya membuka mata kembali, sudah sampai surat Al Waqiah. time frame : mimpi ini terjadi setelah saya sholat tahajud sekitar jam 3, jadi kemungkinan mimpi ini pada jam 4 atau waktu subuh, sangat sebentar sekali sebenarnya ketika saya terbangun pagi jam 5.30, tetapi pada saat terjadi terasa seperti berjam-jam. أعوذ بالله من الشيطان الرجيم بسم الله الرحمن الرحيم audzubillahiminasyaitonirojim bismillahirohmanirohim Saya berlindung dengan Allah dari (kejahatan) syaithan yang terkutuk dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang
0 notes
Photo
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/07cc23c00b40ef7dd91a87b834c7b0f0/tumblr_oknggmW1dE1w3l6kgo1_540.jpg)
Aku menyukainya terlebih dulu, namun tidak aku utarakan. Tidak berani bicara. Tidak berani menyatakan. — Pemain Biola, Desi Puspitasari. Are you craving for sumthing sweet, tapi sedang diet atau malah pantang gula? 😜 Sila baca cerpen "Pemain Biola" - Desi Puspitasari yang dimuat di Majalah Femina, September 2015. . . (klik) http://blog.puspitadesi.com/2015/09/cerpen-majalah-femina-no-36-pemain-biola.html?m=1 Atau simply (klik) blog.puspitadesi.com. #throwback #cerpendesi #desipuspitasari #majalahfemina #pemainbiola
0 notes
Photo
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/aa514d0fe305caf6829d58f31f8a3933/tumblr_ok44svwwBH1w3l6kgo1_540.jpg)
Aku menyukainya terlebih dulu, namun tidak aku utarakan. Tidak berani bicara. Tidak berani menyatakan. #Cerpen PEMAIN BIOLA - Desi Puspitasari #majalahFemina @FeminaMagazine 12 - 18 September 2015. Selamat membaca. | www.puspitadesi.com #DesiPuspitasari #Maztrie #Puspitadesi #sketch #colouring #ilustration #klipingsastra
#sketch#maztrie#klipingsastra#majalahfemina#puspitadesi#desipuspitasari#ilustration#cerpen#colouring
0 notes