hildasah
hildasah
Day dreaming
189 posts
Hildasah | Sehat dengan menulis
Don't wanna be here? Send us removal request.
hildasah · 2 months ago
Text
Tujuan suatu pekerjaan adalah untuk memudahkan kehidupan sesama
Dari yang terlihat dan berwujud, hingga yang di balik layar dan hanya terasa hasilnya saja
Tiada lain salah satu modalnya adalah ketulusan
Yang nantinya rasa tenang dan senang jadi upah tanpa batas
2 notes · View notes
hildasah · 3 years ago
Text
Teman,
semakin dewasa definisinya sedikit berbeda. Dia adalah orang-orang yang mengenal dengan sangat baik, bukan sekedar tau saja. Dan sekarang mungkin bisa dihitung jari teman yang dimiliki. Tidak banyak, tidak selalu komunikasi, tidak selalu bertemu dan tidak juga saling tau kegiatan satu sama lain.
Meski berjauhan, tapi dalam diri masing2 meyakini, jika ditanya mengenai teman maka mereka yang akan disebut namanya. Jika ingin melepas penat, mereka yang dituju. Ketika kesulitan mereka yang dicari, begitupun saat senang mereka yang paling terdepan dikabari.
Semakin dewasa teman memang tidak banyak, tapi sedikit itu dapat mengubah hidup pelakunya. Pola pikir hingga saling kontribusi dalam hidup masing-masing bukan tidak mungkin terjadi. Pantas jika disuruh mencari teman yang baik, yang mengajak pada kebaikan, dan harus memegang erat tangannya. Karena genggamannya akan terbawa sampai tua nanti.
2 notes · View notes
hildasah · 3 years ago
Text
Perasaan gelisah, takut, deg-degan pasti pernah dirasakan. Ketika ingin masuk ke perguruan tinggi yang dituju, ingin lolos di suatu pekerjaan, ingin diterima oleh calon pasangan seumur hidup, rasa tak karuan itu membuat kesal, tapi bersemangat. Membuat gelisah, sembari berdoa kencang-kencang. Ingin disudahi, tapi ini yang diharapkan. Mau menyerah, tapi juga semakin berusaha keras. Serumit itu, bahkan bingung diucapkan.
Lalu, bagaimana rasanya jika yang dituju adalah pintu Syurga ?
Seberapa gelisah, takut, dan ciut untuk meraihnya. Dan dengan keputus asaan itu, bukankah amalan demi amalan seharusnya diperbanyak, diperkuat, dan ditingkatkan kualitasnya ? Berbeda dengan ujian kelulusan atau pencarian jodoh yang waktunya ditentukan atau tidak berkejaran, jalan ke pintu Syurga selalu mengejar tanpa tau kapan akan sampai.
Jadi seberapa khawatir untuk bisa masuk ke sana?
1 note · View note
hildasah · 3 years ago
Text
Dear My First Son,
A year ago, i never thought something can changed me a lot, all of my life. Someone, who loved before coming out, made me anxiety but happy, got a lot of caring from everyone, he came to me to be my everything.
Until today, I regret that I couldn't give you the best, the perfect things that write on the literature, said by the experts, the professional one, or something that other mom can do for their love, but i can't.
Struggling to accept my regret feeling, trying again but sometimes it doesn't work and blaming myself again all over this year. Honestly, its hard when the things is about how am I thinking, my mindset, and my mental health. But I am still grateful that mindfullness always come in the right time.
Today, I just want to say, to you my son, and to me for sure,
I've tried my best this year, even though its not perfect. And I will give my best next years, for the perfect one.
2 notes · View notes
hildasah · 3 years ago
Text
Stigma
Lahir caesar, susu formula, mpasi instan.
Beberapa dari banyak hal yang dihindari ibu-ibu karena katanya kurang baik dan pendapat lain sebagainya. Sebagai ibu, aku akui ada yang lebih baik dari tiga hal tadi. Bahkan saking mengakuinya, aku yang mengalami sendiri masih susah menerima ketiga hal tersebut beserta perintilan lainnya, yang membuat orang lain bahkan diriku sendiri berkata "kok tidak sesuai ekspektasi", "kenapa seperti ini".
Sampai hari ini, memang tidak ada orang yang berkata secara langsung bahwa caesar, susu formula, dan mpasi instan itu buruk padaku. Tapi dari obrolan dan gelagat serta perlakuan pada anakku, aku tau betul bahwa apa yang aku jalani ini tidaklah baik menurut sebagian orang.
Jika dibilang, usahakan dulu, dicoba dulu. Aku benarkan bahwa yang terjadi hari ini adalah akibat dari kondisi yang Allah beri sebelumnya. Betul, dan aku sangat berterima kasih untuk nasihatnya. Mungkin yang terlihat bukanlah sebuah usaha, tapi biarlah aku yang tau dan Allah yang menilai usaha itu.
Seberat dan serumit apapun, semua yang sudah dialami sampai hari ini, adalah proses yang penting. Meski penyesalan tidak pernah terhapus, cuma ditumpuk yang nantinya bisa terbongkar kembali, tapi dari penyesalan itu banyak hal yang disyukuri, dipelajari, dan harus diperbaiki. Terutama bagaimana caraku berpikir tentang hal-hal diluar ekspektasi, cara ikhlas serta sabar yang ternyata diasah dengan proses ini.
Sungguh Allah mengetahui bahwa ini yang aku butuhkan, dengan proses ini aku semakin yakin bahwa yang aku butuhkan hanya ketenangan dan bersandarnya hati, terlepas dari segala kondisi yang rumit.
Lahir normal, asi, dan mpasi buatan sendiri memang yang terbaik. Tapi yang kujalani hari ini tidaklah buruk. Aku bahkan sangat bersyukur dengan proses ini. Sedikit sedikit diperbaiki, dan insyaa Allah usaha tidak mengkhianati hasil meski tidak dirasakan di dunia ini.
4 notes · View notes
hildasah · 4 years ago
Text
Bubur buatan Ibu
Ibuku memasak bubur untuk anakku. Tapi yang merasakan 'khasiat bubur' itu bukan hanya anakku.
Bubur itu ibuku buat untuk anakku dengan bahan pilihan dan cinta, tentu demi sehat jiwa raganya.
Bubur itu ibuku buat agar aku tidur sejenak, istirahat sebentar dari peran 'ibu' dalam hal memasak bahkan lebih lainnya.
Bubur itu ibuku buat agar menantunya tenang, tidak khawatir dengan masakan istrinya yang baru menyandang gelar ibu.
Bubur itu ibuku buat agar bisa menyuapi anakku bersama kakeknya, seraya bermain di taman dan berjemur di bawah sinar pagi.
Bubur itu buatan ibuku untuk anakku dengan segala manfaatnya, yang juga dirasakan olehku.
0 notes
hildasah · 4 years ago
Text
Jalan Kembali
Jalan untuk kembali sudah berbagai wujud. Dari hati yang runtuh, pikiran kalut, badan remuk dan masalah berturut-turut. Tapi masih saja dirimu inginnya dirayu, biar cuek dan pura-pura luput, supaya tidak hanyut pada rumitnya hidupmu. Tau-tau sudah terlewat jauh dari hidup yang kamu mau.
Padahal semua ini jalan kembali yang ditunggu hatimu, yang kau pintakan di setiap sujudmu, berharap hidayah dan jalan lurus dari Dia yang sering kau bujuk.
Inilah jalan itu.
Sulit,
tentu.
Mengeluh,
Tidak bisa dihitung.
Tapi sekali lagi, semua ini tidak boleh dibiarkan berlalu. Rasakan, renungi, ambil pelajaran yang kamu tau. Usahakan yang bisa dilakukan tubuhmu, yang bisa ditopang hatimu, sesakit apapun yang dirasa olehmu.
Dan mungkin jalan itu akan lebih mulus, dengan ikhlas dan sabarmu yang diasah terus, dengan pertolongan-Nya yang mengiringi selalu,
Kamu, bisa lalui itu.
-17062, ayokmaju!
0 notes
hildasah · 4 years ago
Text
Perempuan yang Seharusnya
Suatu ketika, seorang pria mengatakan bahwa perempuan itu harus berada di dalam rumah untuk mengurus anak dan rumah tangga. Urusan mencari nafkah biar menjadi tugas sang suami saja.
Di lain waktu, seorang pria lain berkata bahwa perempuan itu harus punya penghasilan sendiri agar tidak bergantung sepenuhnya kepada nafkah suami. Toh, akan lebih banyak manfaat yang bisa perempuan berikan jika ia punya penghasilan sendiri.
Dua nasihat itu berseberangan, tetapi punya satu kesamaan: Sama-sama disampaikan oleh seorang laki-laki (meski saya tidak menyebut nama, keduanya benar-benar terjadi). Dan, menurut saya itu menarik, sih. Apakah perempuan tidak punya pikiran dan penghayatan terhadap hidupnya sendiri sehingga dua laki-laki itu merasa perlu memberi "keharusan" pada perempuan? Akan tetapi, itu bukan poin utama dari tulisan ini.
Sebagai perempuan, saya tidak sedang menjadikan salah satu nasihat itu sebagai pemuas ego saya untuk merasa lebih benar dari orang lain—meskipun dorongan untuk melakukannya akan selalu ada.
"Tuh, kan, saya yang benar karena jadi IRT."
"Nih, udah bener saya jadi wanita yang punya penghasilan sendiri."
Saya hanya tergelitik untuk mengungkapkan isi hati saya dengan jujur:
Kenapa ada banyak sekali tuntutan terhadap perempuan—termasuk tuntutan dari sesama perempuan dan perempuan itu sendiri? Sejujurnya, standar-standar tentang "perempuan yang seharusnya" sudah ada di level yang memuakkan.
Dan, saya yakin, saya bukan satu-satunya yang merasa muak. Kebanyakan perempuan sudah dididik sedari dini untuk menjadi "perempuan yang seharusnya": harus cekatan, harus bisa multitasking, harus tahu cara mengurus rumah, dsb. Saat perempuan sudah berkeluarga, keharusan-keharusan itu semakin beranak pinak.
Saya enggak bicara ideologi. Kubu "kanan" maupun "kiri" sama-sama membuat standar "perempuan yang seharusnya" dengan ego yang besar. Kenapa saya menggarisbawahi pada ego yang besar? Karena sering kali keduanya hanya ingin menunjukkan kekuatan ideologinya masing-masing saja, bukan untuk menyelesaikan persoalan nyata yang ada di depan mata.
Saya rasa kita perlu menyadari bahwa tuntutan pada perempuan sudah terlalu bising, kecuali kita memang sedang mewajarkan budaya perfeksionisme menjangkiti kepala setiap perempuan dan menjadikannya rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Ya, kecuali kita memang sedang melakukan audisi untuk mencari para superwoman untuk menyelamatkan dunia, saya rasa kita perlu mengurangi tuntutan dan perasaan bahwa diri kita dituntut untuk menjadi seorang wanita serbabisa, super, bahkan kalau bisa sempurna: tampil aduhai sebagai seorang istri, hebat sebagai ibu, jago masak, jago atur duit, cekatan dalam beberes rumah, punya gaji besar, bermanfaat secara sosial, dan selalu terlihat glowing.
Perempuan bukan manusia super yang bisa melakukan semua yang dilakukan laki-laki, ditambah bisa hamil, melahirkan, dan menyusui. Namun, perempuan juga bukan manusia lemah yang tidak boleh punya pilihan, pikiran, dan keinginan. Kita tak butuh berkubu-kubu untuk membicarakan perempuan, kita hanya butuh memanusiakan perempuan.
Ia bisa kuat, ia bisa lemah. Ia bisa berhasil, ia bisa gagal. Ia bisa hebat, ia bisa tumbang. Ia bisa tersenyum, ia bisa menangis. Ia yang sederhana dalam kerumitannya, ia yang rumit dalam kesederhanaannya. Ia yang bisa berpikir dan mengenali dirinya sendiri, ia yang bisa bingung dan kehilangan dirinya sendiri.
Sebagai gantinya, marilah kita para perempuan lebih banyak menelaah diri kita masing-masing (bukan menelaah orang lain). Mari kita hayati keinginan dan kebutuhan kita sendiri. Nilai apa yang kita utamakan, keyakinan apa yang kita percayai, hidup seperti apa yang kita cintai, hal apa yang paling penting untuk kita. Dari situ kita akan menemukan standar kita sendiri. Pilihan apa pun yang kita ambil, selama itu lahir dari penghayatan kita terhadap diri kita sendiri, bukan karena dipaksa atau dituntut orang lain, itu layak kita perjuangkan.
Jikalau ada satu keharusan, maka itu adalah: perempuan harus tahu bahwa tidak semua keharusan yang dikatakan orang lain padanya harus ia anggap sebagai tuntutan yang serius. Jika itu tiba-tiba mengusik hidup yang berjalan damai, biarkan suara itu tenggelam. Seperti sebuah batu yang dilemparkan ke danau, ia hanya memberi riak-riak sejenak, sebelum tenggelam ke dasar danau. Dan, danau itu lambat laun menjadi tenang kembali seperti sediakala.
814 notes · View notes
hildasah · 4 years ago
Text
Kita tau kita tidak sempurna
Apalagi jika sudah membandingkan dengan yang kelihatan sempurna
Tapi jangan menambah beban dengan pikiran itu
Meskipun menerima ketidaksempurnaan kita adalah hal yang tidak mudah
0 notes
hildasah · 4 years ago
Text
Jika kamu terus menjaga hati orang lain, lalu kapan kamu menjaga hatimu sendiri ?
-sedang tidak enak hati, 29 jan 2021
0 notes
hildasah · 4 years ago
Text
Serial orang tua (4) : Ikhlas
Ikhlasnya kami sangat luas, tidak terbatas. Sejak dalam kandungan, ada yang mulus dan ada yang berjuang mati-matian. Tapi keikhlasannya tetap diuji, karena siapa yang tau apa yang akan terjadi pada janinini besok, bahkan hari ini.
Proses melahirkan, merawat dan memelihara bayi merah, pasti berbeda pada setiap ibu dan ayah. Tapi intinya sama, ikhlas akan prioritas yang berubah, waktu yang bukan lagi milik kita, akal dan hati yang penuh dengan buah hati.
Semakin besar semakin menantang. Setiap anak yang belajar akan menemui kegagalan, entah itu jatuh saat mencoba berdiri, terbentur saat mencoba lari, tersedak saat mencoba makan sendiri. Lagi-lagi ikhlasnya kami diuji, untuk membiarkannya belajar dari kegagalan, meski itu sakit dan menyakiti hati kita.
Ikhlas tidak sampai disitu. Sampai mereka sekolah, mulai memilih apa yang mereka suka, apa yang mereka kira benar, apa yang mereka bilang salah dan bertemu dengan dunia barunya. Ikhlas yang lebih luas lagi, karena hidup mereka tidak lagi dalam kendali kita. Hingga mereka memiliki pasangan dan menjadi kita, kita tetap belajar lagi dan lagi untuk ikhlas melepaskan mereka dan kembali berdua dengan pujaan hati.
Tidak ada yang benar-benar dalam kendali kita. Sesudah berusaha terbaik dan berdoa sepanjang hari, hanya ikhlas yang mampu tenangkan diri.
0 notes
hildasah · 4 years ago
Text
Serial Orang Tua (3) : Ibu Muda
Untukmu ibu muda,
Yang bahagia dan menikmati peran barunya. Tapi tidak sedikit yang lelah berlarut-larut sampai lupa untuk menghibur dirinya. Semua hal yang pertama kali akan butuh adaptasi, terlebih peranmu menjadi ibu di usia ini.
Ibu dengan cuci piring, nyapu, ngepel, masak dan cuci bajunya.
Ibu dengan laptop dan rapat di kantornya.
Ibu dengan kertas dan makalah tugas kuliahnya.
Ibu dengan anak dan selalu membersamainya.
Tidak ada yang mudah dan tanpa proses pembiasaan. Belum jika lelahmu semakin bertambah, dengan lirikan mata pada teman sebaya yang muda, bebas, dan berkarya. Tidak apa-apa, sesekali boleh untuk menyemangati agar kelak semakin berdaya.
Karena peran ibu di usia ini adalah hal yang hebat. Mencuri start untuk belajar lebih dewasa, bertanggung jawab, dan mengatur hidupmu dengan lebih bijak. Terseok-seok dan terjatuh itu wajar, belajar lagi dam berproses lagi, nanti akan ada masanya untuk berbunga. Dirimu hebat dengan peranmu saat ini.
1 note · View note
hildasah · 4 years ago
Text
Serial Orang Tua (2) : "Dek..."
"Dek.. kalo nanti umi tiba-tiba stres dan selalu merasa bersalah, tetap kuat ya. Jangan goyah dan selalu sehat, meski tidak mudah.
Umi bukan orang yg sempurna, sebelum ada adek pun umi sering seperti ini. Merasa diri paling salah atas segala kesalahpahaman. Disisi lain umi suka menanyakan kenapa umi seperti itu, sudah sejak gadis selalu mempertanyakan itu.
Aneh ya umi? Hal sepele dibuat stres. Umi cukup merasa aneh dengan diri umi.
Adek mau menerima dan berjuang sama umi dan abi kan ?
Abi sering mendengarkan umi, menyimak meski jenuh karena yg diceritakan itu lagi dan itu lagi. Lucu memang haha.
Deek, maaf ya umi sering curhat yang tidak baik. Umi janji umi akan lebih bahagia setelah ini, mengendalikan emosi umi sendiri menjadi lebih positif, untuk keluarga kecil kita dan adik-adikmu nanti.
Deek, makasih banyak udah mau dengerin umi, adek tetap sehat ya "
-halusinasisenja
2 notes · View notes
hildasah · 4 years ago
Text
Rindu mengobati diri dengan menulis. Tapi sadar jika yang dimampu tidak seperti dulu
0 notes
hildasah · 5 years ago
Text
Serial Orang Tua (1) : Menua
Baru terasa lagi, baru sadar lagi. Mereka benar-benar menua, begitupun aku yang menjadi dewasa.
Tapi manjanya aku sebagai anak dan mereka sebagai orang dewasa yang identik harus mengerti, masih sangat melekat. Padahal keadaan sedikit-sedikit berbalik. Mereka berangsur lemah seperti saat aku kecil, ingin dimengerti dan dituruti meski bingung dan keliling-keliling. Ingin diasuh dengan penuh kasih meski tidak terucap oleh bibir.
Kadang kala lupa dengan pengalaman hidup yang keras, lupa bahwa mereka orang dewasa. Tapi begitulah adanya usia senja.
Tatapan kosong keluar jendela sering ku lihat. Bosan dan jenuh sudah jadi teman, bukan lagi keluhan. Kegiatan berulang setiap harinya, namun capek dirasa jika keluar dari zona nyaman. Belum lagi aku yang masih menganggap, aku adalah anak kecil yg harus dituruti, dimengerti, dan diiyakan. Tidakkah dulu cukup untuk mereka mengerti dan sekarang gantian meski tidak diminta ?
Duduk berdua di depan rumah, menikmati lalu lalang orang dengan gorengan hangat dan seduhan kopi sachet. Akan ada masanya nanti salah satu akan duduk sendiri. Ada masanya nanti tersisa kursi itu sendiri, yang mungkin aku duduki nanti.
Aku, coba sadarkan diri. Mumpung waktu masih diberi.
-setelahlihatkakek2duduksendiri, 22/6/20
1 note · View note
hildasah · 5 years ago
Text
4 Hormon Kebahagiaan
4 Hormon yang menentukan kebahagiaan manusia.
1. Endorfin,
2. Dopamin,
3. Serotonin, dan
4. Oksitosin.
Penting bagi kita untuk memahami hormon-hormon ini, kita membutuhkan keempatnya untuk tetap bahagia.
Endorfin.
Ketika kita berolahraga, tubuh melepaskan Endorfin.
Endorphin membantu tubuh mengatasi rasa sakit. Kami menikmati berolahraga karena Endorfin ini akan membuat kami bahagia.
Tertawa adalah cara lain yang baik untuk menghasilkan Endorfin.
Kita perlu 30 menit berolahraga setiap hari, baca atau menonton hal-hal lucu untuk mendapatkan dosis Endorfin hari kita.
Dopamin.
Dalam perjalanan hidup kita, kita menyelesaikan banyak tugas kecil dan besar, melepaskan berbagai tingkat Dopamin.
Ketika kita dihargai untuk pekerjaan kita di kantor atau di rumah, kita merasa puas dan baik, karena itu melepaskan Dopamin.
Ini juga menjelaskan mengapa sebagian besar ibu rumah tangga tidak bahagia karena mereka jarang diakui atau dihargai atas pekerjaan mereka.
Sekali, kita gabung kerja, kita beli mobil, rumah, gadget terbaru, rumah baru dan sebagainya. Dalam setiap contoh, ia melepaskan Dopamin dan kami menjadi bahagia.
Sekarang, apakah kita menyadari mengapa kita menjadi bahagia saat berbelanja?
Hormon ketiga Serotonin dilepaskan ketika kita bertindak dengan cara yang bermanfaat bagi orang lain.
Ketika kita melampaui diri kita sendiri dan memberi kembali kepada orang lain atau kepada alam atau kepada masyarakat, itu melepaskan Serotonin.
Bahkan, memberikan informasi yang bermanfaat di internet seperti menulis blog informasi, menjawab pertanyaan orang di grup Facebook akan menghasilkan Serotonin.
Itu karena kita akan menggunakan waktu kita yang berharga untuk membantu orang lain melalui jawaban atau artikel kita.
Hormon terakhir adalah Oksitosin,
dilepaskan ketika
kita menjadi dekat dengan manusia lain.
Ketika kita memeluk teman atau keluarga kita, Oxytocin dilepaskan.
Demikian pula, ketika kita berjabat tangan atau merangkul bahu seseorang, berbagai jumlah oksitosin dilepaskan.
Jadi, sederhana saja, kita harus berolahraga setiap hari untuk mendapatkan Endorfin,
kita harus mencapai tujuan kecil dan mendapatkan Dopamin,
kita harus bersikap baik kepada orang lain untuk mendapatkan Serotonin dan akhirnya
peluk anak-anak kita,
teman, dan keluarga untuk mendapatkan Oxytocin dan kami akan senang.
Ketika kita bahagia, kita bisa menghadapi tantangan dan masalah kita dengan lebih baik.
Sekarang, kita dapat memahami mengapa kita perlu memeluk seorang anak yang memiliki suasana hati yang buruk.
Jadi untuk buat anak Anda semakin bahagia hari demi hari ...
1. Motivasi dia untuk bermain di tanah
-Endorfin
2. Hargai anak Anda atas pencapaian kecilnya yang besar
-Dopamin
3. Menanamkan kebiasaan berbagi melalui Anda kepada anak Anda
-Serotonin
4. Peluk anak Anda
-Oxytocin
Memiliki Hidup yang sangat Bahagia
` Selamat Petang...! 🕊
2K notes · View notes
hildasah · 5 years ago
Text
Renungan Pribadi Soal Takwa
Disclaimer: ini bukan tulisan edukasi tentang konsep takwa. Ini sepenuhnya refleksi pribadi saya. Tidak disarankan untuk menjadikannya referensi. Mohon diproses dengan pikiran sendiri, tidak ditelan bulat-bulat. Jika tergelitik, silakan lakukan penelitian dan perenungan sendiri.
* * *
Pasti kita udah sering denger terminologi “takwa”.
Kalau ditanya apa itu takwa, kebanyakan orang akan menjawab: “Menaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya.”
Saya ngga pernah puas dengan definisi itu. Maaf ya, izinkan saya jujur secara brutal, definisi itu normatif dan ngga inspiring. Ngga menggugah selera untuk bersemangat mendapatkannya. (Pahami bahwa saya bukan bilang takwa itu ngga menarik, tapi pemaknaan/penafsiran kita atas konsep takwa yang belum memuaskan).
Iya, menurut saya, kalau sesuatu itu penting menurut sunnatullah (atau hukum alam, versi bahasa universalnya), maka secara alamiah pasti kita akan tertarik ke arah sana. Maka, saya curiga, jangan-jangan ada definisi yang lebih dalam, lebih menggugah, lebih membuka kesadaran daripada yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Misalnya, siapa sih orang waras, berakal yang dalam hidupnya ngga pernah bertanya “Kenapa aku ada?”, “Untuk apa aku ada?”, “Apa yang penciptaku inginkan dengan menciptakan aku ke alam ini?”. Saya percaya ini pertanyaan yang universal, yang kalaupun ngga diajarkan di sekolah, secara alamiah kita akan mempertanyakan ini, cepat atau lambat.
Pertanyaan-pertanyaan itu penting. Mereka akan mendorong kita mencari Tuhan, memahami diri kita, mencari petunjuk dari Sang Pencipta–yang semua jawabannya sudah dipersiapkan oleh Allah untuk kita temukan. Karena itu, Allah sudah tanamkan stimulusnya berupa rasa penasaran yang instingtif. Kita tertarik untuk mengenali pencipta kita secara alamiah.
Nah, takwa itu disebutkan di berbagai ayat Al-Quran, menjadi tujuan dari berbagai perintah–yang salah satunya puasa di bulan Ramadhan, maka pastinya penting. Kalau penting, pastinya insting alamiah kita akan bereaksi secara positif (tergugah, terinspirasi) jika kita memahaminya dengan cara yang seharusnya.
Temuan Saya Akan Makna Takwa
Singkat cerita, saya menemukan definisi takwa yang memuaskan bagi hati saya. Saya menemukannya dalam tafsir Al-Quran “The Message of the Quran” karya Muhammad Asad. Definisinya:
Kesadaran akan kemahahadiran-Nya dan keinginan seseorang untuk membentuk eksistensinya berdasarkan kesadaran ini.
Atau sederhananya, takwa adalah “kesadaran akan hadirnya Allah”.
Buat saya, definisi ini lebih memuaskan daripada yang selama ini saya terima. Coba kita tempatkan kedua definisi takwa dalam konteks perintah puasa Ramadhan.
Dalam definisi takwa pertama, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dalam definisi takwa kedua, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan agar kita selalu sadar akan kehadiran Allah.
Kita tempatkan juga kedua definisi takwa itu dalam konteks ayat permulaan Al-Baqarah.
Dalam definisi pertama, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.
Dalam definisi kedua, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang sadar akan kehadiran Allah. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.
Gimana?
Apa lebih bisa dipahami? Apa lebih membuka kesadaran? Apa lebih menggugah? Kalau buat saya, iya banget.
Contoh Implementasi Pemaknaan Takwa
Ketika berpuasa, kita bisa aja minum atau ngemil di siang hari, selama ngga ada manusia yang liat. Tapi yang menahan diri kita apa? Kesadaran akan hadirnya Allah, yang mungkin ngga begitu kita ingat kalau kita ngga puasa.
Ketika berbuka, kita seneng banget tuh, kita berdoa sebelum berbuka, “Ya Allah, terimalah puasaku dan segala amal ibadahku hari ini”. Lagi-lagi, kita distimulasi untuk menghadirkan kesadaran bahwa apa yang kita lakukan ini disaksikan oleh Allah.
Dari situ, sebenarnya kita bisa lihat bahwa menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (khususnya shaum Ramadhan) adalah jalan menuju kesadaran akan kehadiran Allah.
Dengan syarat, ketaatan dalam perintah dan larangan-Nya dilakukan dengan benar ya: kalau shalat khusyu’, kalau puasa ikhlas (mindful, aware, niat dari dalam hati), kalau sedekah bukan untuk ngebuang recehan.
Nah, kesadaran akan kehadiran Allah juga akan memperkuat kemampuan seseorang untuk menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (”Oke, mau menghadap Allah nih, masa’ aku shalat pake baju bekas bobo?”). Jadi, saya pikir ini seperti continuous feedback loop.
Tips Mengasah Kesadaran Akan Kehadiran Allah
Oke, meskipun ini perenungan pribadi, karena ini dipublikasikan maka saya tetap harus bertanggung jawab menutupnya dengan baik.
“Mengasah kesadaran akan kehadiran Allah” adalah closing yang berat, tapi paling engga saya bisa bagikan beberapa usaha saya untuk melatihnya.
Pertama, bangun mental model hubungan antara kita dan Allah yang lebih personal. Alih-alih berpikir bahwa kita cuma satu makhluk yang ngga signifikan dan mungkin ngga Allah pedulikan karena Dia “sibuk” dengan alam semesta dan manusia lain yang istimewa, ingat bahwa Allah juga Maha Dekat, Maha Tahu, Maha Mendengar, Maha Menyayangi, Maha Memperhatikan sehingga kamu bisa berkomunikasi secara personal dengan Allah.
Dia tidak seperti manusia yang kalau banyak kerjaan pusing dan skip, Dia menunggu kamu untuk datang kepada-Nya. Berkomunikasi, berterima kasih, meminta maaf, berharap, menangis.
Ingat juga bahwa Dia available setiap waktu, ngga cuma di waktu shalat–misalnya. Lagi kerja, lagi ngasuh anak, lagi beberes rumah; lagi senang, lagi marah, lagi sedih; kamu bisa berkomunikasi dengan Allah tentang hal seremeh apapun.
Kedua, pahami bacaan dan doa-doa dalam ibadah. Iya, misalnya bacaan shalat, coba dipahami. Caranya jangan cuma baca artinya secara keseluruhan, tapi pelajari kata per kata.
“Rabbi”–wahai Tuhanku, “ighfirli”–ampuni dosaku, “warhamni”–sayangi aku, “wajburni”–cukupilah aku, “warfa’ni”–tinggikan derajatku, “warzuqni”–berilah aku rezeki, “wahdini”–berilah aku petunjuk, “wa’afini”–sehatkan aku, “wa’fu’anni”–maafkanlah aku.
Bisa pelajari juga akar katanya, misal “ighfirli” dari kata “ghafara”, yang artinya “mengampuni”, asal maknanya “menutup”. Wah ini bisa didalami lebih jauh lagi, silakan cari sendiri ya.
Sedikit belajar Bahasa Arab, biar setiap kita mengucapkan doa dalam shalat, hati kita tahu betul kita sedang berkomunikasi apa dengan Allah.  Biar setiap beristighfar, bertasbih, bertahmid, hati kita benar-benar mean it.
Ketiga, sering-sering mikirin what this life is all about. Bayangin setelah membaca ini kamu terkena serangan jantung lalu meninggal, kamu ngerasa siap apa engga? Kalau engga, kenapa? Karena ngga ada amal yang bisa dibanggakan? Kalau gitu itu PR kamu, segera bikin amal yang bisa kamu banggakan saat dihisab nanti.
Atau karena banyak dosa? PR kamu adalah taubat + mengubur dosa-dosa dengan amal baik yang banyak.
Kalau ingat bahwa kita belum siap dihitung amal dan dosanya di hadapan Allah, kita jadi bisa melihat apakah karir, bisnis, investasi yang kita upayakan itu adalah sarana mempersiapkan diri atau menjadi distraksi dari apa yang benar-benar penting.
Coba bikin daftar yang harus kamu siapkan agar jika suatu hari kamu terbaring di rumah sakit, sadar ga lama lagi kamu akan mati, hati kamu ngerasa tenang dan siap menghadap Allah, seperti yang dideskripsikan di Al-Fajr:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”
Misalnya, jika profil kamu adalah seorang ayah dan suami:
1. Sedekah rutin untuk anak yatim (misalnya ini amal andalan kamu) 2. Istri dan anak yang siap ditinggalkan secara mental dan bertekad untuk menyusul saya di surga (melanjutkan berbagai amal sholeh sepeninggal kamu) 3. Rumah untuk anak dan istri biar mereka punya tempat bernaung 4. Passive income untuk menafkahi keluarga meski saya ngga ada, biar mereka ngga susah dan menyusahkan orang lain (3 dan 4 sekilas materialistis, tapi tujuannya bernilai amal sholeh)
Itu daftar simplistik dan contoh aja.
Poinnya adalah sering-sering melatih diri kita mengingat apa yang paling esensial dalam hidup (yaitu siap ketika sudah saatnya kita menghadap Allah) dan mengkalibrasi terus menerus kesibukan kita supaya selalu dalam kerangka membuat Allah ridha sama kita.
So, mari kita membangun, mengasah, dan menjaga kesadaran kita akan ke-Maha-Hadiran Allah.
Wallahu’alam.
2K notes · View notes