#Berani Coba?
Explore tagged Tumblr posts
Text
Mikirin Soal Sistem dan Takdir
Ini sebuah pemikiran yang lumayan liar ke mana-mana, tapi setelah dipikir mendalam, memang hubungan satu sama lain kayak nggak bisa dinafikan.
Apakah kalian percaya bahwa kemiskinan dan ketidakberdayaan seseorang (khususnya di negeri ini sebaga contoh terdekat) itu adalah sebuah bentuk yang sistematis? Kalau bahasa kekiniannya kemiskinan struktural, memang kondisi yang secara sistem disengajakan.
Mengutip dari google : Menurut Selo Soemardjan (1980), kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakt itu sehingga mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia untuk mereka. Orang bekerja sekeras mungkin, dia tetap kesulitan untuk bisa keluar dari jurang kemiskinan.
Dan kondisi ini juga diperparah dengan sistem sosial yang menuntut anak harus membiayai seluruh anggota keluarga. Anggota keluarga membiayai saudara. Dan berbagai macam bentuk ketergantungan finansial akut yang membuat seseorang makin sulit untuk keluar dari lingkaran setan gali lubang tutup lubang.
Ditambah dengan sekolah yang kualitasnya bagus, biayanya tidak terjangkau oleh masyarakat yang rentan ekonomi. Sehingga, output dari pendidikan tidak bisa menjawab masalah dasar yang sebenarnya bisa dientaskan dari pendidikan, yaitu pola pikir.
Lalu, ketika dewasa ini. Kita dihadapkan pada beragam kondisi yang membuat diri kita tersadar bahwa ternyata bisa jadi kita ada dalam kondisi rentan. Sementara akses-akses tertentu, hanya bisa didapatkan oleh teman kita yang lain. Kita sebut itu sebagai privilese, sebagai bahasa kerennya. Tapi sebenarnya, kalau kita kulik lebih dalam, itu adalah bentuk sistem yang memang membuat seseorang tidak bisa mengakses hal tersebut.
Sebagai contoh sederhana, kalau teman-teman ingin membuat sebuah usaha dalam skala kecil tapi legalitas bener. Itu malah ribet banget, terhalang sana sini untuk bisa berkembang. Beda cerita kalau teman-teman memiliki modal kapital yang besar. Cenderung lebih lancar. Seolah-olah, jurang antara usaha kecil kita dengan usaha besar yang udah establish itu gak bisa dijangkau sama sekali. Karena akses untuk ke sana, tidak dibuat lebih mudah. Termasuk untuk inovasi, dsb.
Privilese itu riil banget dan produk dari sebuah sistem. Bayangkan kalau akses-akses pendidikan berkualitas itu bisa diambil oleh siapapun. Buku-buku yang kubeli tiap bulan ratusan ribu itu tersedia di mana-mana untuk bisa dibaca di perpustakaan yang selalu update bukunya. Tontonan yang disajikan di televisi di rumah-rumah orang sebagus channel-channel yang bisa kita akses melalui TV Internet., bahkan bisa kita pilih sendiri salurannya terserah kita dari seluruh dunia. Mata pelajaran soal manajemen finansial bisa diberikan sejak dibangku sekolah, tidak dijual sebagai program-program kelas di usia dewasa. Mata kuliah wirasusaha, bisa diuji coba sejak sekolah dengan akses modal yang lebih mudah.
Kesimpulan dari tulisan ini, ingin menyadarkan kepada teman-teman bahwa kita punya kesempatan untuk memilih takdir yang baik. Kalau kondisi di keluargamu, di lingkunganmu, di pertemananmu, di tempat saat ini kamu berada ternyata semencengkeram itu untukmu bisa maju, mengentaskan diri dari ketidakberdayaan. Kamu bisa memilih dan perlu untuk berani membuat pilihan tersebut. Hijrah kepada takdir yang lebih baik :)
91 notes
·
View notes
Text
Write Your Own Story
Kadang, hidup tuh kayak buku yang halamannya udah diatur sama society. Ada aturan nggak tertulis yang harus kita ikuti, kayak checklist yang katanya bakal bikin hidup kita “benar.” Harus begini, nggak boleh begitu. Kita tumbuh dengan narasi, kalau nggak ikutin aturan mainnya, ya gagal. But honestly, is that even true?
Cerita orang lain itu penting buat pelajaran, sure, tapi bukan berarti kita harus terus-terusan jadi copy-paste versi mereka. Like, come on, hidup ini cuma sekali. Masa iya mau dihabisin buat jadi figuran di cerita orang lain?
Mungkin kamu ngerasa cerita yang ada sekarang cukup aman. It’s predictable, nggak bikin ribet, dan kelihatan stabil. Tapi deep down, ada suara kecil yang bilang, “I wanna do something different.” Nah, suara itu yang harus kamu dengerin. Itu tanda kalau kamu punya cerita sendiri yang nunggu buat ditulis.
Nulis cerita sendiri itu nggak gampang, sih. Kadang kamu bakal salah langkah, bikin keputusan yang kelihatan bodoh, atau bahkan ngerasa hopeless. Tapi bukankah itu bagian dari serunya hidup? Yang bikin beda, itu perjalananmu. Nobody else’s. And trust me, that’s where the magic happens.
Jadi, apa pun yang sekarang lagi kamu jalanin, coba tanya lagi ke diri sendiri: “Is this my story?” Kalau iya, good for you. Tapi kalau nggak, it’s time to take the pen and start writing. Nggak usah takut kalau ceritamu beda dari yang lain. Hidup ini bukan soal siapa yang paling mirip, tapi siapa yang paling berani jadi dirinya sendiri.
So, stop settling for someone else’s narrative. Write your own. Be the main character. And let the world read the masterpiece that is your life.
#loveyourself#prosa#kamu#cerita#motivasi#tulisan#prose#quotes#islam#puisi#positivity#positive suggestions#positive vibes
56 notes
·
View notes
Text
Rapor Adek, Rapor Merah Mama
Jumat kemarin adalah waktu ambil rapor anak-anak. Seperti biasa, aku mendengarkan progress yang disampaikan gurunya. Guru adek kali ini cukup singkat menyampaikan rapor akademik adek. Seingatku beliau hanya mengatakan, "Progress Mbak Yara bagus bunda, sudah bisa mengikuti KBM dengan baik, hafalan dan ngajinya juga lebih kalau dibandingkan rata-rata teman sekelasnya."
Yang membuatku lama duduk di ruangan itu karena Ustadzah menyampaikan hal lain. Jujur rasanya nggak karuan saat menyimak penyampaian ustadzah terkait progress adek yang lain...
Anak keduaku ini termasuk anak yang mudah berbaur, cukup behave dan nggak rewel. Tapi ternyata dibalik rasa mudah yang dia berikan, ada catatan besar yang membuatku merasa ini rapor merah untukku.
"Bunda coba nanti di rumah ngobrol dan bonding lagi dengan Mbak Yara ya bun. Minta tolong diajarkan untuk mempertahankan haknya." DEGG. "Saya itu sampai bilang sama Mbak Yara, Mbak coba belajar untuk bilang enggak dan pertahankan kemauan Mbak Yara."
Ustadzah melanjutkan ceritanya, "Misalnya ya bun, Yara awalnya duduk sebelah saya. Ada temannya tiba-tiba bilang kalau mau duduk di situ, Mbak Yara pasti mengalah. Ini kejadian berkali-kali dengan case beda-beda. Ada temannya nabrak dia sampai jatuh, saya tahu Mbak Yara ini kaget dan sakit. Tapi dia bangun, diem aja. Saya bilang, Mbak Yara marah dan nangis sesekali boleh lho... Mbak Yara boleh juga meminta temannya untuk meminta maaf karena sudah melakukan kesalahan. Mbak Yara ga harus diam saja, Kalau mau nangis boleh, mau sama ustadzah boleh, mau tegas boleh. Mbak Yara bilang yaa, mbak Yara nggak papa pertahankan haknya! Saya sampai berulang kali bilang seperti itu bun... saya takutnya nanti malah nggak baik buat perkembangan psikkologisnya."
Sumpah dalam hati aku sebagai ibu pengen banget nangis... paham ga sih kaya arrrgggghhh. Apakah selama ini pola asuhku salah? Kenapa kejadian gt? Dibalik dia yang sangat mudah anaknya...apakah adek menyimpan beban itu sendirian? Apakah dia kebiasa mengalah sama kakaknya? Apakah aku kurang adil?
Karena jadi people pleaser itu ga enak... berusaha menjaga perasaan orang lain dan mengorbankan perasaan sendiri itu ga enak..
Bukan nggak mau berbuat baik, bukan. Tapi kita juga harus berani memperjelas batasan supaya nggak ada yang kebablasan.
Momen rapotan ini jadi momen aku 'terima rapor' juga...
Kaya ditunjukkan aja, belum waktunya nambah anak. Kemarin-kemarin minta petunjuk kan sama Allah? langsung dijawab kan?
Mama minta maaf ya adek...
Terima kasih ustadzah, alhamdulillah masih banyak waktu untuk kita perbaiki ya dek insyaAllah :"") Alhamdulillah Allah kasih perantara ustadzah yang perhatian sama adek. huhuhuhu
Bismillah semoga anak-anak kita jadi anak yang sehat lahir batin, tahu batasan, dan tetap berhati baik yaaaa <3
281 notes
·
View notes
Text
kita dan duka kita masing-masing
Pasti ada banyak sekali hal yang tidak pernah kita ceritakan ke siapapun: masa lalu kita, luka-luka yang belum sembuh, perasaan yang tak tersampaikan, atau mimpi-mimpi yang terpaksa kita relakan. Kita memilih menutupinya rapat-rapat dengan cara kita masing-masing—menjadi pribadi yang lucu dan menghibur, introvert, workholic, atau mungkin melarikannya pada banyak hal yang seringkali orang-orang menganggapnya sebagai hal yang negatif.
Menghabiskan kesedihan kita dengan menggulir media social. Berusaha melupakan hal-hal yang membuat kita tertekan dengan menenggelamkan diri dalam satu postingan, ke postingan yang lain. Membuka satu konten ke konten berikutnya, mencari hal yang bisa membuat kita sejenak lupa dengan beban yang kita rasakan, terus mencari sesuatu yang bisa membuat kita terhibur, tertawa, dan juga tersenyum meski barang sebentar. Atau barangkali mencari-cari perasaan kita pada tulisan orang lain. Bersama media sosial, kesedihan dan kesepian kita menemukan tempatnya. Namun alih-alih merasa lebih baik, kita lebih sering berakhir dengan perasaan yang memburuk, juga dengan kekosongan yang semakin membesar.
Tiap orang punya pemikiran yang berbeda tentang kita. Tergantung bagaimana kita menampilkan dan membawa diri kita di hadapan mereka. Kita di hadapan keluarga, sahabat, teman-teman terdekat, orang asing, dan kita di hadapan Tuhan seringkali tak sama. Orang-orang tidak pernah tahu usaha apa saja yang telah kita coba dan lakukan untuk bisa pulih dari duka yang kita bawa, untuk bisa sembuh dari apa-apa saja yang tak terlihat dan tak pernah kita beritahu kepada siapa pun. Usaha-usaha yang kita jalani dengan kesendirian dan kesepian, uang yang dihabiskan, tenaga yang dikeluarkan, dan juga air mata yang sudah tak terhitung lagi berapa kali kita jatuhkan.
Beberapa dari kita mungkin lebih berani untuk mengungkapkannya pada kertas, pada puisi-puisi, pada akun sosial media yang terprivat dengan nol followers atau dengan nama yang disamarkan, pada sujud yang lama, pada air mata yang jatuh dalam hening, pada isak di atas bantal, atau pada orang-orang profesional.
Sampai kapan pun, tidak akan ada orang yang bisa mengenali apalagi mengerti kita dengan sangat baik melebihi Tuhan dan diri kita sendiri. Sampai kapan pun, akan ada banyak sekali hal yang tidak pernah sanggup kita bagikan. Dan mungkin sampai akhir hayat pun, kita akan terus hidup dengan duka kita masing-masing.
@milaalkhansah
32 notes
·
View notes
Text
menyembuhkan
beberapa waktu lalu ngetren istilah "healing". hmm katanya sih, healing ini maksudnya kegiatan yang bisa menyembuhkan luka atau trauma hati. ada yang melakukannya dengan jalan-jalan, makan-makan, leyeh-leyeh sebentar--eh ini tuh self reward bukan healing nggak sih?
saya nggak punya latar belakang psikologi dan nggak tahu healing yang sebenarnya itu apa. saya pernah beberapa kali ke psikolog, mungkin saat itu psikolog yang saya temui nggak cocok jadi saya nggak merasa healed. saya coba juga tuh melakukan jalan-jalan makan-makan dan leyeh-leyeh tapi yang ada boros bukan healing. jadi sebenarnya healing itu ngapain?
hal-hal sederhana seperti nyuci piring, ngosek kamar mandi, merapikan kamar, mandi, atau minum teh katanya juga bisa menjadi ajang healing. menulis juga katanya bisa menjadi media untuk healing. tapi... rasanya belum deh. belum dan bukan itu semua.
sampai suatu ketika, saya baca buku-buku parenting dalam rangka memperbaiki cara mengasuh Mbak Yuna dan sekaligus menyongsong lahirnya anak kedua (Mas Yasa). saya kaget banget menemui diri saya nangis sesenggukan karena baca buku parenting--saat itu yang paling membuat air mata tumpah ruah adalah The Book You Wish Your Parents Had Read. suatu waktu lain, saya baca buku Nicole Lepera, ternyata mbak ini juga mengalami yang saya alami wkwk nangis sampai kamiseseken karena buku parenting.
ternyata menyembuhkan diri itu perjalanan hati ya? hanya bisa dilakukan oleh diri kita sendiri dan caranya adalah dengan menemui diri kita sendiri, anak kecil dalam diri kita, inner child kita. cung yang kalau dengar lagu Satu Satu nya IDGITAF meleleh! nah.
saya bersyukur meskipun agak menyesal mengapa perjalanan menyembuhkan hati ini baru benar-benar terasa dimulai ketika saya baca buku yang seharusnya saya baca bertahun sebelumnya. tapi, ah saya bersyukur sekali sudah akhirnya berani menemui diri saya di masa kecil. memaafkan semuanya.
karena buku-buku parenting itu, sekarang saya hampir selalu rindu membaca. semacam bahagia sekali ada seseorang di luar sana yang bisa mengartikulasikan yang kita rasakan dengan lebih baik, membuat benang kusut di kepala ini terurai.
prompt 3.
apakah ada momen dalam hidupmu yang membuatmu merasa perjalanan menyembuhkan dirimu dengan sadar dimulai? momen apa? apa kegiatan healing favoritmu?
89 notes
·
View notes
Text
"Dik, kok mas rasanya ga tenang gini ya". Aku yang sedari tadi membuka-buka file materi, akhirnya berani bersuara. Dia menatapku sambil tersenyum, "coba pejamkan mata, terus tarik nafas dalam dan hembuskan perlahan mas"
Dan anehnya ku turuti saja perintah itu.
"Mas ingat ga? Dulu pernah cerita, punya senior yang lagi sekolah spesialis neuro, trus sama persis mau ujian kaya gini" aku yang sedari tadi masih memejamkan mata, sambil bernafas dalam, perlahan membuka mata dengan nafas yang lebih tenang. Dan reflek kujawab "oh iya, kok kamu ingat!"
"Astaghfirullah bikin kaget, tadi masih merem sekarang udah melotot" caranya menjawab membuatku lebih tenang dari sebelumnya. "Tentu aku ingat, beliau kan mentormu mas, iya to?" Aku mengangguk.
"Ya cerita jenengan pas itu kan, beliau mau maju ujian, juga agak panik, tapi ditenangkan oleh istrinya; jika gagal bisa diulang lagi, jika berhasil ya, alhamdulillah" sekarang aku lebih tenang, karena itu sebagai tanda, tidak masalah jika semua tidak sesuai dengan harapan terbaik kita
"Ummi kan juga pernah bilang; gak apa-apa to, walaupun tetap berharap yang terbaik"
"Lagi pula mas, manusia itu pasti selalu menginginkan kebaikan bagi dirinya. Namun, Allah Maha Melihat dan Maha Mentakdirkan Sesuatu; yang jauh lebih baik dari harapan kita" aku menyimak dengan seksama. "Hanya saja karena kita punya nafsu, kadang yang sudah ditakdirkan Allah berupa kebaikan, bisa jadi dianggap sebagai keburukan; begitulah manusia"
"Ah cerdas sekali kamu". Gantian dia yang melotot, namun sambil tersenyum aneh.
"Mas sudah berusaha semaksimal mungkin, walaupun pasti ada kurangnya juga. Tinggal sekarang perkuat tirakat doa, amal, dan istighfar. Supaya dosa dari kesalahan yang kita perbuat, tidak menjadi hambatan untuk mendapatkan cahaya ilmuNya Allah"
Sekarang aku mendapat suntikan energi yang luar biasa, ku pejamkan mata sekali lagi, sambil menarik nafas lebih dalam, dan mengeluarkan secara perlahan.
Telingaku mendengar air mulai turun dari langit yang bertabrakan dengan genting rumah. Namun kembali tersadar dengan ucapannya lagi, "itu aku kirim ucapan Gus Baha lewat whatsapp, semoga menambah ketenangan, bukan cuma buat jenengan tapi buat kita semua, bismillah ya mas!"
29 notes
·
View notes
Text
Terlalu takut untuk memulai, mencoba, dengan alasan takut untuk gagal. Padahal, jika tidak berani mencoba sama sekali, justru sudah gagal dari awal. Gagal melawan rasa takut untuk mencoba. Sementara jika sudah berani mencoba, maka kemungkinannya ada dua, berhasil atau gagal.
Tapi, dari dua kemungkinan itu, sebenarnya justru yang paling penting adalah proses. Kalau seandainya berhasil, berarti prosesnya sudah benar. Pun, jika belum berhasil, prosesnya bukan berarti salah, melainkan perlu dibenahi, perlu coba lagi, karena tidak tau kan di titik mana akhirnya berhasil?
Seperti kisah Thomas Alfa Edison yang setelah percobaan ribuan kali membuat formula lampu, jatah gagalnya lebih banyak dari berhasilnya. Coba, kalau hanya sekali coba lalu gagal dan dia memilih menyerah, mungkin hari ini kita dapati malam gelap gulita tanpa lampu, kan?
Just trust yourself. Percaya aja, kalau kamu itu bisa. Percaya aja kalau kamu jauh lebih keren dari yang kamu pikirkan. Percaya aja, kalau upaya-upaya kamu itu adalah bentuk syukur atas apa yang sudah Allah berikan. Sungguh, mulia sekali bukan?
Pada setiap proses itu, jangan lupa selalu libatkan Allah. Minta pertolongan. Minta dimampukan. Minta dijaga. Minta dikuatkan. Minta diberkahi. Minta diberikan kemudahan-kemudahan. Karena, terlalu sombong kalau kita hanya mengandalkan diri kita sendiri.
Terakhir, jangan terlalu banyak dengar kata orang. Berapa banyak kamu selama ini selalu dengar kata orang terus-terusan? Sementara penilaian manusia ke kamu tidak bisa dikontrol. Mengejar kepuasan penilaian manusia itu lelah, karena tidak akan pernah ada ujungnya. Cobalah, dengarkan isi hatimu sendiri, ya.
Aku cuma mau bilang, selamat berproses! Niatkan semua dalam rangka ibadah agar lebih ringan jalannya. Agar tak sia-sia semuanya.
Selamat berproses, selamat berjuang di jalan-jalan kebaikan! Selamat meniti jalan-jalan perjuangan!🤍🌥️
35 notes
·
View notes
Text
Nyampah
Udah lama nggak nulis, pikiran rasanya penuh banget. dan di tulisan kali ini cuma pingin nyampah aja. dan sudah di pastiakn bahwa tulisan ini nggak karuan isinya. Hanya ingin mengeluarkan uneg-uneg di kepala.
disclimer, kata-kata dalam tulisan ini akan sangat tidak tertata
Ini adalah minggu ketiga aku di diamkan bapak. Iya, bapak mendiamkanku tiga minggu yang lalu. rasanya nggak enak banbget, tapi aku pun nggak berani mengawali pembicaraan. Bila sudah seperti ini rasanya trauma -trauma masa lalu banyak bermunculan.
Jadi semua berawal pada senin sore itu, sepulang kerja, aku duduk di sofa depan kamar, ibu nonton tv sambil menyetrika baju, dan bapak duduk di kursi putar. Saat itu ibu menanoton Program tv kesuakaannya. dan bapak memutar HP dengan volume sangat kencang hingga mengganggu ibu yang sedang menonton TV. Ibu sudah menyuruh bapak untuk membawa HPnya ke kamar atau memakai headset supaya tidak mengganggu ibu yang tengah menonton tv. tetapi bapak tidak bergeming. tetap saja memutar HP (saat itu lagi nonton debat capres atau apalah yang berbau politik) dengan volume yang sangat kencang. Ibu berusaha menasihatinya. Namun tanggapan bapak ke ibu sungguh sangat tidak mengenakkan. Kata-kata kasar keluar dari mulut beliau.
Aku sebagai anak yang sudah tidak tahan dengan perlakuan bapak ke ibu, akhirnya bangun juga. ku coba meminta bapak dengan baik-baik untuk memelankan volume hpnya, atau membawa ke kamar atau menggunakan headset. Karena kasihan ibu, biar ibu menikmati menonton TV. Ibu sudah mengerjakan pekerjaan rumah seharian dan hanya TV hiburannya. btw ibuku orang yang sangat lugu, beliau nggak bisa hp (tidak mau belajr sih katanya, toh sudah tua, malas juga) jadi TV adalah hiburan bagi beliau.
Kembali lagi, karena bapak tidak bergeming juga, akhirnya ak mengambil remot TV dan memperbesar volume TV secara full sebagai bentuk protesku dan pembelaanku pada ibu atas bapak.
Namun apa yang disangka ? bapak mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitkan bagiku bahkan memakai dalil agama kalau anak dan istri bisa menjadi musuh.
apakah aku salah membela ibu ? aku hanya kasihan dengan ibuku. dan biarkan ibuku mendapat hiburan setelah seharian lelah dengan rutinitas rumah tangga yang melelahkan. Cukup menghardik ibu dengan kata-kata kasar.
Dalam hal ini, yang kulakukan hanya itu. tidak ada bantahan atau bentakan apapun. Namun ternyata hingga saat ini bapak masih betah mendiamkanku. Bahkan beliau nggak mau makan makanan yang aku beli.
Rasanya sakit tentu saja. semua kenangan buruk, luka masa lalu perihal perlakuan bapak padaku dan ibu berputar silih berganti. trauma terasa semakin nyata.
nulis ini pun dada masih terasa begitu sesak.
10 notes
·
View notes
Text
Bunga Di Karang Part I
-Mengenang- Sudah sewindu, tepat bulan ini. Sewindu dari sekian windu, kita bertemu kembali waktu itu. hari ini terkenang saat pertama-tama kita bertemu. lebih tepatnya kau lebih berani dan lebih mencari dari pada aku. disitulah kekuatan cinta dari mu yang sedari dulu tidak pernah aku miliki. namun, soal rasa dan keinginan memiliki aku tidak kalah soal itu. ini kisah 24 tahun yang lalu, aku akan coba mengingatnya, setelah dari 14 tahun kita tidak bertemu. kau harus pergi meninggalkan desa terpencil itu mengikuti keinginan ayah mu, kita bertemu kembali di desa kecil terpencil itu. jauh sebelum itu, kita coba untuk saling menghubungi. namun surat-surat dari mu itu, hanya bisa aku baca tanpa bisa aku balas. pertama, karna tulisan ku cukup jelek untuk membalas surat mu, kedua aku tiada arah untuk bisa menanyakan kepada siapa, cara membalas surat mu. tentu saja surat itu bukan surat cinta, karena berisi pertanyaan kabar dan cerita-ceritamu. aku tak ingat betul tentang surat itu. namun aku ingat betul moment itu. surat ke-2 dan ke-3, karna kemajuan teknologi, kau melampirkan nomor telpon ayahmu, aku membaca dan menyembunyikan. kau tidak sama sekali bertanya kenapa aku tidak membalas surat mu. tapi aku tahu dari surat mu itu, kau tidak sama sekali marah karna tidak ada upaya dan daya membalas suratmu. terlihat kau melampirkan nomor telpon ayah mu, dan barang tentu aku akan menghubungi. pasti pikirmu begitu kan?. Saat itu, telepon selular sangatlah mahal, tidak semua yang bisa memilikinya. saat itu juga, masuklah telpon rumah dan warun telokomunikasi (warte) ke desa terpencil itu. tentu saja dari apa yang kau lampirkan itu, aku berusaha menghubungimu. namun satu hal yang aku tidak ketahui, bahwa biaya nya sangat mahal. Tentu saja, itu bukanlah halangan dan rintangan berarti bagi lelaki berusia belasan tahun. aku menghubungi mu, aku menelepon beberapa kali, namun tahu kah kau? jantung ku berdetak 10X lipat dari biasanya, yang aku baru tahu bahwa kondisi itu disebut, gugup teramat sangat. aku menelepon dan diangkat ayahmu, namun aku tutup kembali telponku. lalu aku ulangi sampai beberapa kali, dan ayahmu mengangkatnya lagi, namun aku tidak berbicara, dan aku mmatikannya untuk menenangkna diriku yang saat itu masih berdetak jantung yang hebat. Sampai, esoknya, aku coba menghubungi kembali, dan satu malam cukup bagiku untuk mengumpulkan kekuatan keberanian berbicara kepada siapapun di balik telepon itu. tentu saja aku menjalankan niat itu sesudah pulang sekolah, waktu itu sekitar jam dua siang. aku kembali menelepon kenomor yang tidak mudah diingat itu. dan tentu saja ayahmu mengangkatnya, berkat kekuatan dan keberanian yang aku kumpulkan satu malam itu, sepatah kata terucap kepada ayahmu. " halo, apakah ada Dyah?,", " halo, ini ayahnya, ia ada apa?", " maaf om, saya temannya dyah, apakah dyah nya ada?", " o, dyah sedang disekolah, saya lagi kerja, nanti telepon balik ya jam 5 sore, setelah sampai dirumah.", " ok, om, ". telepon dimatikan, entah siapa dahulu yang menutupnya. namun yang jelas, jantung ku tidak lagi berdetak 10X lipat, namun berhenti sejenak. seakan mati. Tentu saja, waktu sudah menunjukkan di jam 5 sore, dari halaman jembatan yang aku lalui, langit telah berwarna antara merah dan kuning. aku terpanah melihat langit waktu itu, sekaligus bimbang, apakah aku kembali kerumah mengangkat telepon ku, dan mencoba menelepon ke nomor yang kau sisipkan di surat waktu itu atau terus terpanah melihat langit sore itu. Seperti biasa, aku memilih mejadi pengecut, dan melanjutkan lamunan ku di bawah langit berwarna antara merah dan kuning dini sore itu.
9 notes
·
View notes
Text
Puluhan tahun tinggal bersama orangtua, tidak pernah kita ditagih biaya kontrakan rumah. Jika merujuk pada harga kontrakan rumah saat ini yang mungkin kisaran standar, senilai 25 juta per tahun di Depok. Coba dikalikan dengan 26 tahun. Akan ketemu angka 650 juta. Sedap. Baru tempat tinggal. Belum sewa furniture, layanan makan, listrik, wifi, keamanan, transportasi.
12 tahun bersekolah di sekolah swasta, tidak pernah kita ditagih biaya SPP ataupun biaya pendidikan lainnya oleh orangtua. Estimasi setiap tahun membutuhkan biaya 1.5 juta untuk SD. Kalikan dengan 6, ketemu angka 9 juta. Sebentar, itu baru biaya SPP. Peralatan operasional, ongkos antar jemput, uang saku.
Belum lagi biaya ketika sekolah di pesantren. Dulu SPP sekitar 500k/bulan, kalikan dengan 6 tahun. Dapat angka 36 juta. Ditambah dengan masa SD, 45 juta. Baru SPP, apakabar uang awal tahun, tas dan sepatu baru, kiriman logistik untuk anak pesantren. Selama 6 tahun. SELAMA 6 TAHUN.
Ngga berani buat lanjutin "hitung jasa" mereka, takut ketemu angka yang terlalu fantastis. Itu baru satu anak.. Bahkan jika memberikan cash tunai 1 milyar kepada orangtua, belum juga bisa melunasi apa apa yang mereka telah beri pada kita.
Satu hal yang harus dipegang di fenomena yang marak saat ini, yaitu sandwich generation adalah, jangan pernah buat hitung-hitungan angka dengan orangtuamu. Ditambah dengan isu tentang kesehatan mental yang sedang marak, jangan asal melabeli orang tuamu toxic. Jatuh bangun mereka perjuangkan dirimu semasa bayi agar bisa tetap hidup. Ingat itu selalu ya.
48 notes
·
View notes
Text
Sebuah Afirmasi Positif: Aku Berani Karena Aku
Ketika aku dihadapkan pada sebuah keputusan yang membuatku ragu untuk melangkah entah karena perasaan khawatir, ketakutan tentang masa depan, atau bahkan kecemasan pada hal-hal yang telah terjadi—aku coba berkaca pada yang sudah-sudah.
Kurenungi kembali perjalanan hidup kurang lebih lima tahun belakangan. Kuingat-ingat kembali dalam kurun waktu itu ada banyak sekali "mejikuhibiniu dan nano-nano" kehidupan yang aku rasakan dan aku bisa melewati itu semua. Pada akhirnya, aku bisa juga sampai berada di titik ini.
Lalu aku bertanya kepada diriku, lantas apa yang membuatku ragu untuk beranjak dan melangkah? Padahal aku sudah terbiasa dengan roller coaster kehidupan.
Aku mulai membentuk energi positif dari dalam diriku, menarik napas panjang, seraya berkata dalam hati:
Aku bisa, aku mampu, aku berani, aku kuat, aku sanggup, aku tidak sendiri— aku punya Allah Sang Pemilik alam semesta.
Pikiran positif yang muncul dari dalam diriku lah yang mendorongku untuk berani melangkah dan melawan rasa takut. Toh, aku punya Allah. Lalu untuk apa aku takut perihal duniawi?
.
Afirmasi positif yang muncul dari dalam diriku sendiri itu pada akhirnya membuat aku bangkit dan berani beranjak.
Satu pelajaran yang dapat aku petik kali ini, bahwa support sistem terbaikku, adalah diriku sendiri.
127 notes
·
View notes
Text
Kesempatan
Nggak semua kesempatan bisa kita dapatkan, kalau kemudian ada orang yang membukakan atau memberi kesempatan. Kata guruku, coba aja dulu meski kita nggak yakin, kerjakan semaksimalnya kita, soalnya kalau orang lain berani ngebukain dan ngasih kesempatan itu tandanya mereka bisa melihat sesuatu di dalam diri kita yang gak kita sadari, yang kita sendiri juga gak tahu. Tapi, mereka percaya dan berani bertaruh atas kesempatan yang diberikan itu. Cobalah untuk berupaya sekuat tenaga, tunjukkan upaya yang maksimal, karena itu yang bisa kita kendalikan, soal hasil biar urusan nanti. Paling tidak, kita menunjukkan bahwa kita sesungguh-sungguh itu, kita berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan, kita nggak sia-siain kesempatan yang udah dibukain, yang udah dikasih.
Sebab, banyak dari mereka yang membuka dan memberi kesempatan itu tidak hanya melihat hasilnya, tapi juga upaya kita. Nggak menutup kemungkinan, besok-besok kita akan terus diberikan kesempatan baru. Kesempatan yang akhirnya membuat kita berkembang melebihi apa yang kita pikirkan selama ini. Karena keterbatasan pengetahuan kita melihat diri sendiri.
Suatu hari kita bisa menjadi orang yang memberi kesempatan, membukakan jalan bagi orang lain. Kalau saat kita, kita sedang dibukakan jalannya. Jangan tutup jalan itu dengan kemalasan, nggak niat ngerjainnya, ngilang, menyalah-nyalahkan orang lain, dan berbagai hal yang membuat pintu kesempatan berikutnya tidak lagi terbuka. Pada kondisi yang tertekan, biasanya orang akan menunjukkan bagaimana respon dan coping mechanism nya. Kalau respon kita merugikan, coping mechanism kita tidak memecahkan masalah. Barangkali sudah cukup. Kapasitas kita memang hanya sedemikian aja, nggak bisa lebih dari itu. Kalau mau lebih dari itu, maka kita harus bisa mengelola diri kita sendiri dengan lebih baik terlebih dahulu.
Kalau kita berharap memegang hal-hal besar, maka risiko - konflik - dan berbagai macam tantangannya akan semakin besar. Kalau ingin berkembang lebih jauh, pasti nggak enak, nggak nyaman, gak menyenangkan sama sekali.
Apakah kamu pernah menutup jalan yang pernah dibukakan orang lain untukmu?
442 notes
·
View notes
Text
Mencari Ketenangan
Yang paling bernilai dalam hidup adalah ketenangan, dan rasa tenang tidak dapat dibeli dengan uang, ia hanya dapat diperoleh dengan ilmu.
Esensi dari ilmu nafi adalah rasa takut kepada Allah. Semakin berilmu semakin seseorang takut kepada Allah dan anehnya semakin takut kepada Allah semakin tenang hidup seseorang.
Karenanya mereka yang Paling Takut kepada Allah adalah para Ulama (Orang2 yang berilmu)
Mereka yang takut pada Allah tidak akan bermaksiat, tidak akan melanggar syariat, tidak akan bergibah, tidak akan lalai dalam ibadah, tidak akan curang dan menyulut perang, tidak akan berdusta dan berprasangka...
Sebaliknya semakin tidak takut kepada Allah semakin seseorang berani berbuat dosa sehingga efeknya semakin tidak tenang dan aman hidupnya, hatinya gelisah dan senantiasa diliputi duka cita, penuh coba yang tiada henti2nya.
(Ust. Nuzul Zikri, Lc Hafidzahullah)
#selfreminder#sabar#islamic quotes#syukur#inspiration#ikhlas#islamic reminders#surga#neraka#tawakal#istiqomah#lailatulqadar#lailatul qadr#bahagia#jodoh#ramadhan#lebaran#pernikahan#taubat#doa#qanaah#zuhud#tawadhu#nuzul zikri
97 notes
·
View notes
Text
siang tadi ada salah satu adik kelas yg curhat via dm, bahwasannya di lingkungan dia yg baru, dia merasa tidak bisa mengikuti standar hidup teman-temannya dari berbagai sisi. satu hal yang paling bikin dia sedih adalah.. dia merasa stuck, ga bertumbuh dan justru ovt dengan dirinya sendiri.
jujur setelah baca chat itu satu hal yang aku pikirkan.
"wah, ternyata banyak ya yg berfikir gini, padahal kalo dr pov aku sebagai teman, aku rasa dia sudah bertumbuh jauh tanpa dia sadari"
bisa jadi.. sebenarnya kamu itu bertumbuh, hanya saja kamu ga sadar. seringkali yg bisa ngenilai diri kita justru orang lain. bertumbuh tidak melulu soal angka dan seberapa banyak penghargaan yg kamu dapatkan. tapi lebih dari itu.
kehidupan itu kompleks, kamu bisa survive aja itu udah keren bgt menurut aku.
kamu yg dulunya hanya seorang anak kecil yg selalu minta uang jajan ke ortu, dan sekarang justru kamu yg ngasih uang bulanan untuk ortu, i think itu adalah sebuah pencapaian.
kamu yg berada di lingkungan orang-orang awam, tp tetep bisa shalat 5 waktu dengan ontime dan ngejaga baca quran min sehari satu halaman deh, i think itu juga sebuah pencapaian yg luar biasa.
kesalahan terbesar kita adalah ga bisa melihat detail nikmat-nikmat yg udah allah beri.
kalo lagi ngerasa stuck, ketinggalan jauh sama teman-teman kita, inget lagi kalo startpoint masing-masing kita itu beda-beda. dirimu yg sekarang sama dirimu yg dulu, aku yakin banyak banget kok hal-hal yg bisa dibanggain.
kalo kamu aja ga bangga sama diri kamu sendiri, trs siapa lagi yg kamu harapkan?
banyakin baca buku, ikut kegiatan volunteer, berani coba hal baru, perbanyak relasi, dan dengerin podcast-podcast yg ber-value. aku yakin kamu akan tumbuh jadi seseorang yg sangat menghargai dirimu sendiri. percayalah, self awareness sepenting itu buat kamu bisa bertahan hidup di zaman yg serba cepat ini.
2 notes
·
View notes
Text
Bukan 'New Year, New Me': Mengapa Perubahan Tidak Perlu Menunggu Tahun Baru
“Perubahan tak butuh momen megah, ia hanya butuh satu langkah kecil yang berani.”
Setiap Desember, dunia seperti sibuk berganti kulit. Resolusi ditulis, kaleidoskop dibuat, seolah-olah pergantian kalender mampu menyulap hidup. Nyatanya, berapa kali kita memulai "tahun baru" tapi tetap terjebak di pola lama?
Perubahan Tak Perlu Momen, Ia Hanya Perlu Niat
Kita seringkali terjebak dalam romantisme momen. Tahun baru, ulang tahun, tanggal "cantik" seperti 02-02-2024, semua dianggap sebagai portal magis menuju kehidupan yang lebih baik. Padahal, perubahan tidak pernah memilih tanggal. Ia datang ketika kau siap, tak peduli apakah itu hari Senin atau Kamis, Januari atau Juli.
Perubahan tidak butuh perayaan. Ia butuh keberanian. Keberanian untuk mengakui bahwa kita salah. Keberanian untuk meminta maaf pada diri sendiri. Keberanian untuk bangun dari kasur lebih pagi meski tak ada yang menyuruh.
Jika perubahan menunggu momen, maka seharusnya hidup kita sudah sempurna sekarang. Sebab bukankah kita telah melalui belasan, bahkan puluhan pergantian tahun? Nyatanya, perubahan terbesar justru datang di hari-hari biasa — saat kita memutuskan untuk bangkit dari kekecewaan, saat kita akhirnya membalas chat yang kita takutkan, atau saat kita memilih berhenti menyalahkan dunia.
Resolusi Itu Seperti Janji di Atas Kertas Basah
Coba renungkan, berapa banyak dari kita yang menuliskan "2023: Hidup Lebih Sehat, Rajin Olahraga, Baca 20 Buku, Tabung Rp 5 Juta" di awal Januari, hanya untuk melupakannya di Februari? Resolusi itu indah, tapi sering kali ia hanya janji-janji manis yang disusun rapi lalu dilupakan begitu saja.
Kenapa? Karena kita sibuk fokus pada target besar, tapi lupa bahwa perubahan tidak terjadi dalam sekali loncatan. Perubahan sejati datang dari langkah-langkah kecil yang konsisten. Alih-alih menunggu pergantian tahun, kita bisa memulainya dari hal-hal remeh. Dari menutup ponsel 10 menit lebih cepat sebelum tidur. Dari memilih membaca satu halaman buku saat menunggu antrean. Dari menegur diri sendiri, "Cukup rebahan, waktunya bergerak."
Perubahan tidak butuh daftar panjang yang terlihat keren di Instastory. Ia hanya butuh langkah pertama. Dan langkah pertama itu tak perlu menunggu 1 Januari.
Hidup Bukan Sebuah Babak Baru, Ia Adalah Jalinan Benang Panjang
Setiap kali kita berkata, "Tahun depan aku akan mulai dari nol, "kita lupa bahwa hidup ini bukan seperti video game yang bisa di-reset. Tidak ada tombol "New Game" yang memungkinkan kita menghapus semua kesalahan dan mulai dari awal. Luka tetap ada, kenangan buruk tetap tinggal, dan PR hidup tetap harus diselesaikan.
Jadi, buat apa menunggu Januari jika kita bisa memulai dari sekarang? Jika merasa lelah, istirahatlah. Jika ingin berubah, ubahlah. Jangan menunggu bunyi kembang api untuk memberi kita izin. Sebab kembang api, seindah apapun, hanya menyala beberapa detik sebelum kembali menjadi gelap.
Sebaliknya, perubahan sejati adalah lentera yang menyala pelan-pelan. Kadang, ia kecil, redup, dan nyaris padam. Tapi jika kita jaga dengan ketekunan, cahayanya tak akan pernah mati.
Bukan "New Year, New Me", Tapi "Every Day, Better Me"
Barangkali, bukan "Tahun Baru, Aku yang Baru" yang kita butuhkan. Mungkin, yang kita perlukan hanyalah "Hari Ini, Aku Lebih Baik dari Kemarin."
Hari ini. Ya, hari ini.
Bukan Januari, bukan hari Senin, bukan tanggal kembar yang cantik di kalender. Hari ini, dengan semua kelelahan dan kebingungan yang kita bawa, adalah panggung yang cukup besar untuk perubahan. Kita tidak butuh kembang api, tidak butuh countdown, tidak butuh tagar #Resolusi2024. Kita hanya butuh satu langkah kecil.
Mulailah dari mana saja. Tutup satu tab media sosial, buka tab buku digital. Matikan alarm snooze, bangun lebih awal. Alih-alih menyimpan dendam, kirim pesan maaf yang tak pernah berani kau kirimkan. Langkah-langkah kecil ini mungkin tak viral, tapi ia nyata. Ia mungkin tak membuatmu merasa seolah-olah hidupmu "baru", tapi ia akan membuatmu merasa lebih utuh.
"Karena perubahan sejati tidak pernah butuh momen besar. Ia hanya butuh kita — kita yang siap untuk melangkah meski tanpa sorak-sorai."
Kam, 19 Desember 2024
#tulisan#motivasi#self development#inspirasi#lifestyle#self care#growth#tahun baru#project 2025#hiteccblog
3 notes
·
View notes
Text
Aku bukan orang yang sempurna. Bahkan terkadang rapuh, hingga harus dipaksa dan ditambal sana sini.
Kemarin, saat aku ditawari menjadi penerjemah, aku sebenarnya senang bukan main karena aku dihadapkan pada kesempatan yang sudah lama aku nanti. Tapi, aku bimbang, apa aku bisa? Apa aku pantas? Gimana kalau aku banyak salah dan bikin malu? Apalagi dengan predikat orang rantau di negeri berbahasa arab.
Aku butuh beberapa saat dan jawaban orang lain hingga sampai pada kata 'ya' untuk menjawab tawaran itu.
Adikku yang kuminta saran, ia dengan tegas berkata, "Terima! Kalau aku jadi kamu, aku pasti terima. Itu kesempatan ga datang dua kali. Apa aku bisa atau nggak, itu masalah nanti. Mending kamu terima daripada kamu nyesel nanti kalau kesempatan itu diambil oleh orang lain. Dia makin bagus sementara kamu nangis di pojokan, menyesal, kenapa aku ga ambil itu... Dari pada kamu nyesel, mending terima!"
Akhirnya, aku terima tawaran itu. Aku banyak belajar malam itu, melihat bagaimana orang lain menerjemahkan. Dan ternyata, nggak seburuk yang aku kira. Bahkan, mereka dengan kemampuan yang kurasa sama denganku berani dan tidak malu. Lalu, kenapa aku harus malu padahal aku juga nggak buruk-buruk amat?
Besoknya, well done. Kita menyelesaikan masalah itu dengan baik dan aku senang sekali bisa mengambil kesempatan berharga itu. Terima kasih semuanya!!!
----
Lusanya, aku kembali merefleksikan diri sendiri. Mengenal betul bahwa diri ini suka sekali insecure dan ngerasa nggak pantas. Aku coba menanyakan itu pada orang lain yang mungkin bisa memberikan jawaban bijak.
Kamu tahu dia jawab apa?
[4/2 22.33] org yg seperti itu biasanya punya pertimbangan pikiran yang cukup banyak, sehingga alhasil ia merasa insecure dan tidak pantas, padahal dia yang paling pantas di antara yg ada, atau setidaknya ia tak buruk² amat dibanding yg ada.
[4/2 22.35] org yg seperti itu, perlu support dari org yg terdekat dia dan yg ia percaya untuk memproduksi kepercayaan ditengah banyak org.
Cukup bijak, karena dia tidak men-judge orang lain, dia bahkan berusaha membesarkan hatinya bahwa itu sesuatu yang bagi sebagian orang memang sulit. Tak lupa dia beri solusi yang sangat solutif, haha.
Lagi-lagi, terimakasih karena telah berusaha meningkatkan kepercayaanku. Semoga aku selalu bisa bertemu dengan orang-orang baik lainnya.
[6/2/2024]
9 notes
·
View notes