Tumgik
#Aqidah Filsafat Islam
aliviazahra · 1 month
Text
Serahin saja sama Allah :)
Ada sebuah pertanyaan malam itu ketika perkuliahan Sekolah Pemikiran Islam (SPI) di kelasnya Ust. Wido Supraha. Pembahasan malam itu terkait Islamic Worldview, ada seorang ikhwan bertanya ke ustadz yang intinya kurang lebih seperti ini: Allah menaikkan derajat orang yang berilmu beberapa derajat, beliau suka belajar Fisika, akhirnya memutuskan untuk ambil jurusan Fisika namun ketika lulus dibenturkan kenyataan sulit mencari kerja dan banyak yang pekerjaannya tidak linier. Bagaimana cara memandang dari worldview Islam?
Ust. Wido memberikan jawaban yang sangat bikin adem. Beliau menyampaikan, bahwa Allah menyuruh kita belajar yaa belajar saja, bukan untuk mencari pekerjaan. Jadi kalau mau belajar yaa belajar saja niatkan untuk mencari Ridho Allah dan mengimplementasikannya. Allah juga ngga nyuruh linier juga kok. Gak harus S1 fisika s2 fisika s3 fisika, bahkan kalau kita lihat ilmuwan Islam, Ibnu Sina misalnya, beliau tidak hanya ahli kedokteran, namun juga belajar filsafat, aqidah dll. Beliau juga menceritakan kisah hidupnya, yang kurang lebih hampir sama dengan Ust. Akmal yang berkuliah di berbagai disiplin Ilmu, S1 Teknik Elektro, S2 Kajian Timur Tengah, S3 Pemikiran Islam… Tidak ada yang salah dengan belajar, Belajar beda dengan mencari uang. Dan Islam mencontohkan mencari uang dengan menjadi pengusaha. Dan cara cepat mendapat uang yaa pengusaha. Terkait keilmuan yang kita miliki mau diimplementasikan dimana itu juga serahkan pada Allah, pasti akan ada saja dan pasti Allah tolong ilmu kita tersalurkannya lewat mana. Dan pelajari ilmu yang kita suka serta dibutuhkan ummat. Ust. Wido juga menambahkan, usia 20 an memang lagi galau2nya itu wajar tapi jangan takut… Nanti kalau usianya sudah diatas 45 kalau di refleksikan kembali di masa muda, ketika menggantungkan semuanya ke Allah tanpa sadar Allah yang tolong dan permudah semuanya.
Dari cerita diatas jadi keinget hal-hal kecil yang terjadi 2 minggu kebelakang. Kejadian pertama berawal dari dua minggu lalu, aku dan Anggit memutuskan untuk mengikuti perkuliahan SPI tiap Rabu malam. Di awal pertemuan baru tau ternyata ini kegiatan se serius itu, bukan kajian series biasa. Ada 2 tahap masing-masing tahap 10 kali pertemuan offline tiap Rabu malam, jika 3 kali tidak datang maka akan gugur dan tiap pertemuan di minta untuk membuat Karya Tulis Ilmiah Sederhana, dan nanti di akhir ada Karya Tulis Akhir (semacam skripsi). Disitu aku ada kepikiran, bisa ngga yaa yaaAllah bantuin aku :”) Takut juga kalau ada kerjaan ke luar kota gimana, karya tulisnya tiap pekan lagi bisa gak yaa? Tapi entah kenapa, rasa semangat itu kalah sama rasa takut, dan tetap sampai sekarang minta tolong ke Allah untuk dipermudah. Dan tiba-tiba esoknya di hari Kamis, di kantor ada penugasan baru dari Bu Direktur. Tugasnya apaa?? Bikin karya tulis dan review jurnal digilir tiap hari per orang gaesss dan di post di grup kantor buat di diskusikan… asli aku merinding, kayak Allah tuh kasih wadah buat belajar, lalu Allah juga kasih implementasi ladang dakwahnya dan itu cuma selang sehari. Tapi aku masih mikir sih implementasi nilai-nilai Islam di bidang Statistik Pemerintahan/Ekonomi/Perencanaan itu kayak gimana perlu banyak baca lagi, semoga Allah kasih pertolongan, petunjuk, dan bimbingan buat bisa ngerjain ini yaa…
Kejadian kedua terkait Kajian Muslimah Kantor. Aku mendapat amanah buat koordinir Kajian Muslimah di Kantor dari bulan Januari lalu, namun di bulan Mei tiba-tiba anggarannya tidak ada, dan harus nunggu revisi anggaran dahulu. Aku mengakui aku lalai siih disini, aku merasa tidak mengusahakan yang terbaik. Tau berita tidak ada anggaran itu sempat ngusahain apa talangi dulu pakai uang pribadi yaa… tapi akhirnya ngga jadi, dan 3 bulan berlalu begitu saja. Bulan Juli sempat di tanya Bu Direktur, kenapa kok pending dan tetap diminta mengadakan namun banyak ke skip nyaa… yaaAllah ampuni hamba yang kurang amanah inii.. Tiba-tiba Selasa malam kemarin kaya diingatkan kembali di semangatin lagi sama Allah, lewat mentoring online sama ibu-ibu liqo, ditanya “Kamu pernah ngadain kajian kan ya di kantor? Gimana kabarnya?” ceritalah kalau gaada uang dll… Lalu dikenalkanlah aku dan dimasukkan Grup Kajian Muslimah Kantor se-Jakarta udah kaget aja “waduh grup circle apa inii ibu ibu” tapi maasyaallah beliau-beliau supportif sekali buat diskusi bareng, sharing-sharing tentang Kajian Muslimah di tempat masing-masing. Dan besoknya hal lain yang bikin merinding adalah, di kantor tiba-tiba out of nowhere di lift ketemu Mba Ami (bagian SDM yang pegang uang kajian) bilang “Dek uangnya udah ada lagi nihhh ayo bikin kajian lagi” aku merinding gaes, lagi-lagi Allah yang bantu kasih inputan sumberdaya (berupa anggaran uang kajian) dan support system dari luar (grup perkumpulan Kajian Muslimah Perkantoran) ituuu… udah ter yaaAllah yaaAllah… Dari dua hal kecil yang bikin merinding tadi jadi keinget Ust, Wido lagi, kalau kita serahkan semua ke Allah lantas apa lagi yang kita resahkan? Kalau niatnya dakwah, Allah langsung yang kasih ladangnya… menghubungkan satu orang ke orang lainnya… yang mungkin di nalar manusia gaakan bisa sampai kesana…
Akhir-akhir ini ada dua orang yang nanya ke aku Anggit dan Wanda dengan pertanyaan hampir sama, “Kalau misalkan nih yaa kita gatau kedepan gimana, kalau kamu gak tinggal di Jakarta, apakah kamu akan kecewa ninggalin zona nyaman dengan fasilitas super lengkap kajian dimana-mana ini?”… Kalau berkaca pada kejadian, kejadian tadi aku akan dengan yakin menjawab, “Apapun itu asalkan Allah bersama gak bakalan takut, mau tinggal di desa mau di kota mau di luar negeri mau di hutan, hidayah Allah akan datang ketika kita mau mencari dan mau minta tolong ke Allah… jika pada akhirnya gak di Jakarta lagi gak bisa kajian-kajian offline yang banyak pilihannya yaudah, pasti Allah kasih pengganti, hidayah akan datang dari manapun dengan bentuk apapun…. Lah wong yang di Jakarta yang banyak kajian dan event2 juga ga semua orang mau untuk menjemput kan… semua tergantung kita mau atau ngga menjemput hidayah…”
Allah jangan tinggalin aku yaa... keinget ayah yang selalu ngulang-ngulang pengingat hadits ini ke aku
"Jika seorang hamba mendekati-Ku sejengkal, niscaya Aku mendekatinya satu hasta. Jika dia mendekati-Ku satu hasta, niscaya Aku mendekatinya satu depa. Jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan kaki, niscaya Aku mendatanginya dengan berlari kecil."   Hadis sahih - Diriwayatkan oleh Bukhari
last but not least… aku suka sama doá memohon pertolongan Allah ini
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا
Artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Maha Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata mendapat pertolongan dari-Mu selamanya.
1 note · View note
dzikra-yuhasyra · 1 year
Photo
Tumblr media
[Part III Day 18] Day 18 #22HBB Vol. 2 (8 April 2023) 5 - 64 – Dzikra Yuhasyra ⚽ 📚 FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer - Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag. – hlm. 24-52 / 296 Insight/rangkuman/catatan: Ketiga, grafik perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam ternyata tidak senantiasa naik dan mulus, tetapi juga mengalami pasang surut; pertama-tama disambut dengan baik karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi pemikiran-pemikiran ‘aneh’, tapi kemudian dicurigai karena ternyata tidak jarang justru digunakan untuk menyerang ajaran agama Islam sendiri yang dianggap telah baku, khususnya pada masa Ibn Hanbal. Setelah itu, filsafat dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina , kemudian jatuh lagi karena serangan Al-Ghazali; bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd tapi akhirnya tidak terdengar suaranya, sampai sekarang, kecuali dalam mazhab Syi`ah. Keempat, kecurigaan dan penentangan yang dilakukan oleh sebagian tokoh Muslim terhadap filsafat, seperti yang dilakukan Ibn Hanbal, bukan semata-mata disebabkan bahwa ia berasal dari luar Islam, tetapi lebih didasarkan atas kenyataan bahwa saat itu gerakan filsafat dinilai mengandung dampak yang berbahaya bagi aqidah masyarakat. Misalnya, pemikiran Ibn Rawandi (827–911 M) dan Al-Razi (865–925 M) yang sampai menolak kenabian karena mengikuti filsafat, atau perilaku oknum tertentu yang meremehkan ajaran agama dengan berdasarkan atas nama filsafat pada masa Al-Ghazali. Akan tetapi, yang harus juga dicatat adalah bahwa hal itu bukan berarti menunjukkan bahwa seluruh filosof dan ajaran filsafat adalah salah. Adalah suatu keputusan yang tidak arif dan tidak tepat jika kita menjatuhkan putusan hanya karena adanya beberapa kasus yang tidak signifikan dan melupakan jasa-jasanya yang besar. (Lanjut Part IV) @salmanreadingcorner @fimbandung @fimtangerangraya @22haribacabuku (at Kota Bandung) https://www.instagram.com/p/CqxSdzBvtPT/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
karlotapost · 2 years
Text
Jurusan S1 Pendidikan Islam
Jurusan S1 Pendidikan Islam
Karlotapost.com – Untuk lulus dengan gelar sarjana pendidikan Islam setelah menyelesaikan studi Anda, Anda biasanya akan belajar di S1 ​​Sarjana Pendidikan Islam selama 4 tahun, atau 8 semester. Jurusan Pendidikan Islam akan memberikan gelar Sarjana Pendidikan kepada lulusannya. Nah, tahukah Sobat Karlota? Islam adalah ilmu yang sangat luas. Berbagai program akademik, termasuk Aqidah dan Filsafat…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
alfuwisdoms · 3 years
Text
SEKULARISASI atau ISLAMISASI?
Bro sis simak ya penjelasan Ustadz Dr. Adian Husaini, pernyataan beliau ini fair… “Para ilmuwan Muslim terdahulu juga bersentuhan dengan pemikiran kebudayaan asing, mereka juga mengadopsi dan mengadaptasi pemikiran asing. Namun, tentu sesudah mereka menguasai benar tradisional intelektual dalam pandangan hidup Islam. Sehingga, yang terjadi justru Islamisasi konsep-konsep asing.” “Demikian pula…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
admherlambang · 2 years
Text
Standarisasi Ulama
Berikut pandangannya tentang standar seorang bisa dinamakan ulama. Apa standarnya? Yaitu menguasai 12 cabang ilmu, memahaminya, mengaplikasikannya serta mengetahui dan menghapal seluruh dalilnya. Kemudian mempertahankan dalilnya dari kritikan (an-nudhar). Saat tahap itu telah dicapai maka mereka akan diberi gelar al-'allamah oleh ulama yang telah mencapai tahap itu terlebih dahulu. Sedangkan bagi yang baru mencapai tahap menghapal dan menguasai 12 cabang ilmu, namun hanya satu cabang ilmu saja yang dikuasai dan dihapal setiap detail dalilnya, serta bisa mempertahankannya dari kritikan (an-nudhar), maka mereka dijuluki 'alim saja. Seperti sebutan faqih (dalam fiqih), ushuly (dalam ushul fiqh), adib (bahasa arab), muarikh (dalam sejarah dan sirah), mutakalim (dalam aqidah dan mantiq), muhadis (dalam hadis), mufasir (dalam tafsir), dan qura (dalam ilmu qiraat). Level di bawah itu dinamakan al-ustadz, yakni mereka yang berhasil menguasai dan menghafal 12 cabang ilmu dan mengaplikasikannya tapi tidak mengapal seluruh dalil dan istinbatnya dengan detail. Intinya belum mencapai tahap an-nudhar. Tapi untuk mencapai level ini saja butuh waktu belasan tahun. Di bawah itu dinamakan thalib (santri), sedangkan yang belajar satu cabang ilmu secara mendasar disebut mustaqaf (mempunyai wawasan), sedangkan orang biasa disebut awam. Inilah standar ulama dahulu, makanya Syaikh Hasan Habannakeh ketika ada orang memuji terlalu berlebihan jika ada murid yang cerdas dengan kata "Masyaallah dia seorang alim," beliau menyela "Cukup katakan; thalib yang berbakat," bukan karena tidak mau memuji, tapi beliau sedang mengajari kita untuk menaruh sesuatu pada tempatnya, karena semua gelar itu sudah jelas standarnya. Gelar-gelar ini tidak hanya milik ulama Damaskus, tapi ada dimana-mana, seperti di Al-Azhar, madrasah Hijaz, dan lain-lain. Sayangnya sejak gelar ini mulai dikikis dengan munculnya gelar baru seperti profesor, doktor, master, license, dan semacamnya, standarisasi keilmuan semakin tidak jelas.
-----
Klasifikasi ilmu secara umum:
Klasifikasi ilmu Syari’at, ada 3: 1. ilmu fiqh; 2. ilmu tafsir; dan 3. ilmu hadits.
Klasifikasi ilmu Adab, ada 14: 1. Ilmu Lughoh; 2. Ilmu Etymology; 3. Ilmu tashrif; 4. Ilmu Nahwu; 5. Ilmu Ma’any; 6. Ilmu Bayan; 7. Ilmu badi’; 8. Ilmu 'arudh/ untuk mengetahui benar tidaknya pola puisi arab; 9. Ilmu Puisi / Rhymes; 10. Ilmu Syi’ir/ poetry; 11. Ilmu Insya’ dan Natsr; 12. Ilmu Kitabah /tulis menulis huruf arab; 13. Ilmu Qiro’at/ Cara membaca; 14. Ilmu Muhadhorot/ mengajar, pidato, berbicara di depan umum. Masing-masing ilmu tersebut ada penjelasan sejarahnya.
Klasifikasi ilmu Olah Spiritual dan Fisik (spiritual and physical exercise) ada 10: 1. Ilmu Tashawuf; 2. Ilmu Teknik (Engineering; Geometries; Geometry); 3. Pendidikan Jasmani; 4. Ilmu Pengajaran (didaktik); 5. Ilmu Hisab/hitung (Arithmetic); 6. Ilmu Al-Jabar (mathematics); 7. Ilmu Musik; 8. Ilmu Politik; 9. Ilmu Akhlaq; 10. Ilmu kerumahtanggaan (Domestic science).
Klasifikasi ilmu Mentalitas (mentality) ada 20: 1. Ilmu Mantiq (logika/ Logic); 2. Ilmu Dilektika; 3. Ilmu Ushul Fiqh; 4. Ilmu Ushuluddin; 5. Ilmu Theology dan Ilmu Alam (natural and Theological); 6. Ilmu Kedokteran; 7. Ilmu Miqat; 8. Ilmu Nawamis (istilah kedokteran dan biologi dekat dengan bionomy, histonomy, anthroponomy, Nomology); 9. Ilmu Filsafat; 10. Ilmu Kimia; 11. Ilmu Aritmatika; 12. Ilmu Agrikultur; 13. Ilmu hewan/binatang; 14. Ilmu Pertanian/ cocok tanam; 15. Ilmu magic; 16. Ilmu Thilasmat (perjimatan/Talisman); 17. Ilmu Firasat; 18. Ilmu Ahkamun Nujum.
Klasifikasi ilmu Agama Islam:
Ilmu Tauhid: Ilmu agama islam yang mempelajari iman dan taqwa kepada Allah, menyerupai keesaan Allah, nama-nama yang baik Yang Mahakuasa (Asma'ul Husna), Sifat wajib dan tidak mungkin Yang Mahakuasa dan segala  sesuatu yang bekerjasama dengan ibadah kepada Allah.
Ilmu Aqidah: Ilmu agama islam yang mempelajari perihal keimanan secara lengkap yaitu 6 rukun iman, lebih lengkapnya lagi keyakinan serta kepercayaan seorang muslim serta bagaimana menyikapinya dalam perbuatannya.
Ilmu Fiqih: Ilmu agama islam yang mempelajari tata cara beribadah kepada Yang Mahakuasa terutama menjalankan 5 rukun islam, menyerupai Sholat dan tata cara sholat yang benar, baik memenuhi rukun dan syarat sah sholat serta yang membatalkannya dan sudah masuk rukun dan tata cara penyembelihan hewan dan banyak sekali tata cara yang lainnya sesuai syariah islam dalam menjalankan ibadah.
Ilmu Akhlaq: Ilmu yang mempelajari tingkah laris insan dan cara berperilaku yang baik dan benar sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW, membahas segala aspek kehidupan untuk budpekerti dan sopan santun menyerupai yang diajarkan Rasulullah menyerupai adab makan minum, budpekerti tidur, budpekerti berperilaku terhadap orang renta dan tetangga serta kaum muslim yang lainnya.
Ilmu Tajwid: Ilmu yang mempelajari bagaimana membaca Al Qur'an yang baik dan benar, menyerupai bentuk makhraj dan sifat abjad AlQuran yaitu izh-haar, idghaam, iqlaab, ikhfaa, qalqalah, waqaf dan madd.
Ilmu Faraidh: Ilmu yang mempelajari aturan waris baik ketentuan maupun pembagian, menyerupai ketentuan dan pembagian warisan keluarga.
Ilmu Mushtalahul Hadits: Ilmu dalam agama islam yang membahas derajat hadits yaitu apakah sebuah hadits shahih, hasan, dhaif atau mutawatir.
Ilmu Alat: Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab, menyerupai membaca kitab gundul tanpa harakat. Cabang ilmu alat : Shorfun, Nahwu, Khottun, 'Arudl, Bayanun, Ma'ani, Qofiyatun, Syi'run, Isytiqoqun, Insyaau, Munadhoroh, Lughot.
Ilmu Al-Quran / Ulumul Quran: Ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang bekerjasama dengan Al Alquran menyerupai segi keberadaan Al Alquran sebagai Firman Yang Mahakuasa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW untuk seluruh alam semesta, dan juga dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung dalam Al Quran. Cabang dari Ilmu Al Alquran yakni  ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang bekerjasama dengan mempelajari Al-Qur’an.
-----
Klasifikasi Pakar Syariat Islam:
Al Hafidh adalah ahli hadits yg sudah hafal 100 ribu hadits dgn sanad dan hukum matannya.
Al Hujjah adalah ahli hadits yg sudah hafal 300.000 hadits dgn sanad dan matannya,
Al Hakim adalah yg lebih dari itu dan menguasai kedalaman ilmu hadits
Al Musnid adalah orang yg banyak menyimpan sanad hadits dari diri beliau hingga Rasul saw, misalnya, dariku, dari guruku fulan, dari ayahnya, dari gurunya…., sampai pada Imam Bukhari misalnya, lalu diteruskan sampai Rasul saw. almusnid adalah yg memiliki sanad hadits seperti ini
Al Imam adalah guru guru dari para pakar hadits di zamannya, sebagaimana Imam berarti pemimpin, maka ia adalah pemuka/pemimpin ulama di masanya.
-----
Urutan: Al-'allamah, 'Alim, Al-ustadz, Thalib, Mustaqaf, Awam. 
Al-'allamah: menghafal dan menguasai 12 cabang ilmu secara detil [memahaminya, mengaplikasikannya serta mengetahui dan menghapal seluruh dalilnya (istinbath), dan mempertahankan dalilnya dari kritikan (an-nudhar)].
'Alim:  menghafal dan menguasai 12 cabang ilmu, tetapi hanya 1 cabang ilmu yang detil penguasaannya [memahaminya, mengaplikasikannya serta mengetahui dan menghapal seluruh dalilnya (istinbath), dan mempertahankan dalilnya dari kritikan (an-nudhar)].
Al-ustadz:  menghafal dan menguasai 12 cabang ilmu tetapi tidak ada yang detil penguasaanya [memahaminya, mengaplikasikannya, tetapi tidak lengkap dalam pengetahuan dan penghafalan seluruh dalilnya/ instinbath] dan tidak sampai pada tingkat an-nudhar. 
Thalib: santri/ murid.
Mustaqaf: belajar satu cabang ilmu secara mendasar.
Awam: orang biasa.
Level Al-allamah (ulama besar) berhak memakai 'surban putih dan ikat pinggang' [bukan level sembarangan].
-----
Sumber: 
https://www.ngopibareng.id/read/begitu-mudahkan-seseorang-disebut-ulama-ini-standarnya-2563824
http://www.piss-ktb.com/2017/06/5159-macam-dan-cabang-ilmu-menurut-islam.html
http://belajarislamnow.blogspot.com/2017/09/macam-macam-pembagian-cabang-ilmu-agama.html
4 notes · View notes
frasa-in · 3 years
Text
instagram
Islamic Psychotherapy
"Ketauhilah bahwa kunci mengenal Tuhan adalah mengenal diri sendiri. Tidak ada sesuatu yang lebih dekat denganmu daripada dirimu sendiri. Maka jika kau tak mengenal dirimu sendiri, bagaimana kau dapat mengenal Tuhanmu?” Imam Al Ghazali dalam Kitab Kimiya'us Sa'adah.
Assalamu'alaikum, Sisters & Good People! :)
Perasaan insecure, minder, resah dan gelisah mungkin banyak dari Sisters dan Good People yang merasakan. Beberapa dari perasaan itu berkembang menjadi stress, trauma masa lalu pada beberapa orang yang kemudian menjadi depresi atau gangguan emosional yang menyerang mental lainnya. Browsing sana sini untuk mendapatkan jawaban, menyembuhkan jiwa dan luka. Tapi bukannya sembuh, hati justru semakin gelisah, pikiran semakin kalut.
Berangkat dari kegelisahan tersebut, Islam Minds berkolaborasi dengan komunitas Frasa menyelenggarakan kelas Islamic Psychotherapy (Mengenal Hakikat Jiwa & Penyembuhan Jiwa dalam Islam).
Kita akan belajar mengenai hakikat jiwa dan penyembuhan jiwa dalam Islam. Bagaimana proses kebahagiaan, pengobatan dan terapi hati secara ilmiah dengan mempelajari kitab-kitab klasik para ulama. Ilmu yang dipelajari diambil dari para ahli di bidang Psikologi, Aqidah, dan Filsafat Islam, pada:
📅 14 Agustus - 26 September 2021
⏰ Jam dan jadwal lengkap cek link pendaftaran
📍Via Aplikasi Zoom
Dengan pengajar:
Dr. Bagus Riyono, M.A. Dosen Psikologi UGM. President of International Association of Muslim Psychologists (IAMP).
Dini Rahma Bintari Ph.D. Psikolog Klinis. Dosen Fakultas Psikologi UI. S3 Psikologi Transpersonal, Universitas Sofia, USA.
Dr. Abas Mansur Tamam. Dosen Pascasarjana Pendidikan Islam UIKA Bogor. Dosen Pusat Studi Kajian Timur Tengah & Islam Pascasarjana UI.
Dr. Fahruddin Faiz. Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. UIN Sunan Kalijaga. S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga.
Syarat Pendaftaran:
Follow instagram Islam Minds instagram.com/islaminds dan Frasa instagram.com/frasa.in
Membagikan poster di IG story atau status WhatsApp
Membagikan informasi ini ke 3 grup WhatsApp
Membayar biaya komitmen ke nomor rekening 0698202071 (BNI Syariah) a.n. Ulya Millatina Ralesty, simpan bukti pembayaran.
Mengisi link pendaftaran bit.ly/KelasIP dan bagi yang ingin mendaftar paket dengan kelas Women in Marriage isi juga link bit.ly/DaftarWIM
Pilihan Biaya Komitmen:
a. Rp100,000 (Islamic Psychotherapy)
b. Rp175,000 (Paket Kelas Islamic Psychotherapy & Women in Marriage)
Pastikan Sisters & Good People telah membaca dan memahami tata tertib kelas yang tertera di buku panduan (bit.ly/BukuPanduanWSAFrasa) yaa :)
CP: +6285813499021
_______________
In collaboration
Islam Minds: Good Changes Come From Good Minds
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
33 notes · View notes
leadmetojannah · 3 years
Text
Maksiat Intelektual
Pernah gak sih, kalian bertanya-tanya, misalnya: “Eh, dia anak pesantren loh, tapi kok lepas-pasang kerudung?” atau mungkin: “Eh, dia hafidz Quran loh, tapi kok pacaran?”
Pertanyaan yang hampir serupa dan mengandung “tapi kok” ini juga dulu tak pernah berhenti hinggap di kepala saya. Meski saya pernah membaca bagaimana aktivitas-aktivitas dan gerakan liberalisasi Islam di Indonesia, tapi dulu selalu ada beberapa hal yang membuat saya heran dan meninggalkan tanya.
Mengapa banyak dosen di kampus-kampus Islam, aktivis di ormas-ormas Islam, dan santri alumni pesantren-pesantren bisa memiliki pemikiran-pemikiran yang menyimpang dan logika berpikir yang keliru? Padahal banyak orang muslim yang intelektualitasnya biasa-biasa saja atau muslim yang awam tentang Islam atau muslim yang bukan dari background pesantren, tapi masih waras dan berpikir rasional.
Mengapa liberalisasi konsep wahyu yang menggugat otentisitas Al-Quran Mushaf Utsmani dan as-Sunnah begitu mudah diterima oleh para intelektual muslim yang saya sebut di atas? Bukankah sejak kecil dan di pendidikan formal kita selalu diajarkan sedikit-banyak tentang apa itu Al-Quran dan bagaimana isinya? 
Mengapa liberalisasi syariah yang menghancurkan hukum-hukum Islam dan menghapus keyakinan umat terhadap “syariah problem solving” bagi segala permasalahan kehidupan manusia begitu mudah diterima mereka? Bukankah kita sering dijejali pemahaman “Islam adalah solusinya”? Dan bukankah harusnya mereka paham bahwa Islam memiliki ciri khas istinbath tersendiri? Mengapa mereka seenaknya ber-ijtihad via Orientalis?
Mengapa pluralisme agama dengan mudahnya oleh mereka dijadikan bentuk toleransi beragama? Bukankah dengan bersyahadat berarti kita sudah paham atas konsekuensinya bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan paling sempurna?
Mengapa mereka dengan mudahnya tergiur memandang dan memahami Islam dari kacamata Orientalis?
Mengapa mereka semudah itu terpengaruh doktrin ‘isme-isme’ yang merupakan karangan manusia?
Kalo virus 'isme-isme’ itu menjangkiti orang muslim yang minim pondasi dan pengetahuan Islamnya—misalnya saja selebritis—itu masih wajar menurut saya. Tapi kalo itu menjangkiti para intelektual muslim yang saya sebutkan di awal, rasanya sulit dipercaya atau gak make sense. “Kok bisa ya?”.
Bukankah para intelektual muslim itu harusnya memiliki pondasi aqidah dan pemahaman syari’at yang lebih baik ketimbang muslim yang awam? Logika saya masih belum bisa menerima. Sebab saat mereka tersentuh dengan berbagai aliran-aliran pemikiran dan filsafat, harusnya mereka lebih bisa membendung dan membentengi diri ketimbang muslim yang awam.
Bukan itu saja. Mereka (terutama santri dan alumni pesantren) yang punya bekal beberapa fan ilmu dan ilmu-ilmu dasar lainnya harusnya lebih bersikap kritis dan mau effort untuk menelaah ‘isme-isme’ itu dari sisi historisnya. Padahal sudah ada contohnya, misalnya ideologi feminisme. Lihat saja, aliran-aliran feminisme Barat yang mengandalkan kekuatan akal manusia sudah terbukti gagal dan gak mampu membawa masyarakat ke dalam keadilan dan keharmonisan. Kan lucu, mereka pengen berkiprah di ranah publik dan lepas dari tanggung jawab domestik, tapi justru mempekerjakan wanita sebagai pembantu di rumahnya. Adil gak tuh? Wqwq
Mengapa mereka latah terhadap Barat dan menganggap teori-teori yang ditawarkan oleh para Orientalis adalah suatu hal yang bergengsi?
Mengapa oh mengapa~
Kemungkinan besar jawabannya adalah:
Mengikuti hawa nafsu
Jiwa yang sakit
Nalar yang sakit
Emosi yang super labil
Ya Rabb, tunjukkanlah kami jalan yang lurus.
Jember | Sabtu, 23 Oktober 2021
15 notes · View notes
hellopersimmonpie · 4 years
Text
Membuat Konten dengan Ilmu
Hari ini saya mendengarkan podcast. Di podcast tersebut,  guest star-nya bahas tentang pendidikan di Indonesia sambil sedikit nyerempet-nyerempet ke agama. Beliau bilang bahwa orang-orang relijius punya sisi yang nggak dia suka. Salah satu contohnya adalah kepasrahan kepada takdir sampai mengabaikan peta realita.
Di hari yang lain, saya ngelihat postingan Instagram dari kawan saya yang membahas filsafat Islam vs Barat. Ujung-ujungnya, dia bilang:
“Barat nggak mengizinkan Al Qur’an menjadi sumber ilmu tapi mereka memaksa orang mengimani Teori Darwin“
Saya iseng menjawab dia:
“Nggak ada yang nyuruh orang mengimani Teori Darwin. Sampai saat ini, Teori Darwin banyak disanggah dan Darwin nggak pernah benar-benar bilang bahwa nenek moyang kita adalah kera. Kita yang menyimpulkan sendiri“
Kalau kita baca lagi tentang konsep Teori Evolusi, teorinya memang cuma berbunyi:
Semua spesies di dunia berasal dari common ancestor (nenek moyang yang sama) dan terus berkembang dari waktu ke waktu.
Banyak orang yang akhirnya hanya berfokus ke common ancestor lalu berpikir konspiratif bahwa Charles Darwin ingin menghapus iman. Padahal teori ini tidak banyak berkembang ke arah “Siapa nenek moyang kita” melainkan ke hal apa saja yang membuat makhluk hidup bisa berevolusi (berkembang dari waktu ke waktu). Dari sana kita akhirnya kenal dengan hereditas, mutasi DNA, seleksi alam dan penyebab mutasi yang lain. Dari sini, kita juga pelan-pelan mengenal ilmu rekayasa genetika yang manfaatnya banyak banget. Salah satunya adalah pembuatan vaksin.
Enggak ada yang nyuruh kita mengimani teori Darwin. Teori itu masih bisa difalsifikasi.
Balik lagi ke guest star podcast yang mengeluh tentang orang yang tidak mengerti realita hehe. Dalam Islam, takdir juga tidak seperti itu. Syaikh Ash Shallabi menjelaskan bahwa Allah itu menciptakan sunnatullah berwujud hukum-hukum alam dan hukum sebab akibat. Sunnatullah ini sejalan dengan peta realitas. Kalau ingin mendapatkan sesuatu, kita harus berusaha. Justeru agak aneh kalo tiap hari manusia mendapatkan mukjizat yang tidak sejalan dengan sunnatullah. Manusia akan kesulitan menghadapi banyak hal karena kejadian-kejadian yang dia hadapi udah nggak ada polanya lagi :D
Saya dulu juga ketawa-ketawa aja pas temen saya nanya:
“Kalo bolpoin kamu di rumah, kamu bisa doa biar bolpoin itu dateng ke sekolah ga?“
Konsep iman itu nggak kayak gitu wkwk. Saya memahami sunnatullah sebagai anugerah terbaik dari Allah kepada manusia sehingga manusia bisa menjalani hidup dengan baik. Dengan adanya sunnatullah, hidup ada polanya.
Saya nulis ini bukan buat membela orang-orang relijius atau membela pandangan barat.
Hanya kadang saya ngerasa pembahasan Islam vs Barat sering dibawa ke Nature Science. Padahal dalam Nature Science, saya ngerasa hampir tidak ada pertentangan kecuali kalo kita ngomongin mukjizat para Nabi. Itu sudah di luar cakupan Nature Science alias udah masuk disiplin ilmu lain. Mukjizat itu sudah wilayah Aqidah karena yang terjadi bertentangan dengan hukum alam yang banyak kita temui.
Islam sama Barat justeru mengalami banyak pertentangan ketika kita membahas Social Science seperti pembahasan tentang hukum, psikologi dan Public Policy. Cabang-cabang dari social science ini banyak dibahas content creator di media sosial untuk memberi opini tentang kejadian aktual. Sayangnya, bekal kita dalam hal ini tidak memadai. Alih-alih menjelaskan dengan pendapat yang jelas asalnya, para content creator di bidang dakwah malah cenderung menggunakan opini pribadi.
Saya agak susah nyari buku ulama yang benar-benar membahas Public Policy. Saya juga jarang menemukan podcast tentang isu aktual yang benar-benar mendatangkan narasumber ulama dari disiplin ilmu yang benar-benar sesuai.  Mungkin referensi tentang Social Science dalam islam memang hanya menjadi disertasi di kampus jadinya cuma tersebar untuk kalangan tertentu. Padahal kita butuh banyak sekali buku yang populer di bidang ini.
Ketika kita bicara tentang hukum, public policy dan cabang-cabang ilmu sosial lainnya, kita bakal banyak berkeringat karena kepikiran:
“Pandangan mana yang paling maslahat?“
Contoh paling simple adalah ketika kita membahas tentang LGBTQ. Mungkin kita nggak setuju dengan praktik LGBTQ sebagai individu. Tapi apakah LGBTQ harus benar-benar dikriminalisasi? 
Atau ketika kita bicara tentang penyelesaian permasalahan korban perkosaan yang hamil? Kalau misal si ibu belum siap punya anak dan trauma, bayinya dikemanakan? Apakah boleh diaborsi atau tidak?
Hal-hal seperti ini butuh ilmu. Kita tidak bisa memvonis hasil akhirnya hanya dengan pandangan pribadi dari otak kita yang isinya tidak seberapa.
Mungkin Social Science tidak banyak dibahas dalam Islam vs Barat karena kita kadang menganggap bahwa peristiwa yang seharusnya dikomentari dengan kaidah ilmu Social Science itu bisa dikomentari menggunakan opini pribadi. Akhirnya, bahasan kita dalam hal ini dangkal banget.
Makanya saya suka mewanti-wanti diri sendiri. Kalau bahas fenomena sosial, jangan ngambil dari sumber-sumber anekdotal. Coba cari penelitian yang di lapangan. Fenomena sosial itu luas. Nggak bisa dilihat dari satu sample di depan mata kita saja.
Saya kadang suka rewel ke temen-temen saya kalau misal bahasan mereka anekdotal. Bukan buat memuaskan naluri debat tapi pengen lebih mengkritisi metode dalam menulis dan ngasih awareness bahwa yang disebut Science itu bukan cuma Nature Science tapi ada juga Social Science. Sesuatu disebut science karena punya perangkat metodologi lengkap untuk menyusun sebuah teori serta menguji kebenaran teori tersebut.
Terkadang, ketika saya membaca buku-bukunya INSIST, ada beberapa hal yang belum saya terima. Tapi karena saya melihat yang ditulis tuh runtut dan referensinya jelas, saya jadi menelan semuanya dulu. Saya paham bahwa yang menulis lebih berilmu dari saya. Jadi bisa aja rasa tidak terima di hati itu sumbernya dari kebodohan saya sendiri 😂
Saya bukan mengkultuskan metodologi 😄 Tapi metodologi itu memang SOP yang harus diikuti untuk menguji teori atau hipotesa yang kita ajukan. Hasil dari pengujian ini yang kita harapkan bisa mendekati kebenaran ☺
Dalam filsafat ilmu barat, sumber ilmu berasal dari pengamatan dan nalar.
Dalam filsafat ilmu Islam, sumber ilmu berasal dari pengamatan, nalar, Al Qur’an dan Hadist.
Saya ambil satu contoh pembahasan tentang feminisme. Ketika kita membahas feminisme, kita bisa menjabarkan setidaknya dua hal:
1. Apa saja hak perempuan?
2. Apakah perempuan sudah terpenuhi haknya?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, filsafat ilmu barat akan memerintahkan kita untuk merujuk ke hak asasi manusia. Sedangkan islam akan memerintahkan kita untuk merujuk ke Al Qur’an.
Untuk menjawab pertanyaan kedua, yang perlu kita lakukan adalah:
1. Melakukan survey lapangan dengan sample yang memadai.
2. Membandingkan hasil di lapangan dengan acuan kita untuk menentukan hak perempuan. Kalau dalam islam mengacunya ke Al Quran, kalo barat mengacunya ke HAM.
Seringkali, ketika membahas feminisme atau fenomena-fenomena sosial, kita langsung ke nomor dua dan meloncati nomor satu. Kalaupun kita mengambil langkah kedua, kita hanya sekedar membaca buku sambil lalu dan tidak terlalu faham konteksnya. Akhirnya bahasan kita agak-agak above the cloud. Mengawang, tidak menapak ke bumi. Atau lebih buruk lagi bakal misleading 😂 Saya sudah mengalami fase dimana saya mengutip sesuatu secara misleading dan saya malu sendiri.
Ini cuma uneg-uneg aja sih hha. Biar kita punya awareness bahwa isu-isu aktual di media harusnya masuk disiplin ilmu tertentu. Jadi kalau kita menulis tentang topik tersebut, kita harus memanami konsep dan memperhatikan metodologi penelitian di disiplin ilmu tersebut biar apa yang kita sampaikan tidak hanya opini tanpa dasar yang jelas.
Kita memang tidak sampai harus menulis seperti jurnal. Memahami metodologi itu mencegah kita untuk tidak serampangan memilih narasumber. Kita juga tidak serampangan dalam menuliskan opini kita.
Saat ini kita dikelilingi oleh content creator yang banyak banget. Sayangnya, gara-gara itu, waktu kita dalam menulis jadi pendek. Soalnya kalo tulisan kita lama, kita bakal kalah aktual. Akhirnya, berita dan jurnalisme hanya berisi kutipan-kutipan tokoh. Bukan opini atau features yang ditulis dengan perenungan mendalam.
Dulu, jurnalis itu ada spesialisasinya masing-masing. Ada jurnalis teknologi, jurnalis olahraga, jurnalis makanan. Semua faham seluk beluk dunia masing-masing sehingga ketika seorang food journalist mereview makanan, mereka tidak sekadar bicara:
“Enak banget, kejunya banyak banget, coklatnya kerasa banget“
Seorang food journalist harus punya wawasan tentang hidangan dari banyak daerah, tentang resep, tentang cara memasak. Dengan wawasan tersebut, mereka bisa mengeksplore berbagai macam cara untuk menceritakan profile rasa. Ada berbagai macam sumber rasa manis, rasa asin, rasa asam dan rasa-rasa lain. Rasa asam dari asam jawa tentunya berbeda dengan rasa asam tomat, belimbing wuluh atau jeruk. Itulah mengapa, di mata saya, belum ada food vlogger zaman sekarang yang lebih baik dari pak Bondan.
Ini tadi ceritanya jadi merembet kemana-mana yak :D Tujuan saya menulis ini biar kita lebih punya awareness aja sih dalam menulis.
Sebenernya referensi tentang Social Science dalam Islam itu bukan nggak ada kok. Cuman kita emang perlu menggali lebih dalam, mengunjungi narasumber yang mumpuni, membaca referensi berkali-kali. Itu pekerjaan jurnalis zaman dulu ketika menulis atau membuat konten.
Hari ini, kadang kita sudah mengundang narasumber yang mumpuni. Tapi kita sendiri kadang-kadang belum menguasai bidang sehingga pertanyaan yang kita susun juga tidak tajam.
79 notes · View notes
hafidz341 · 5 years
Photo
Tumblr media
MUNAFIQ . © Doni Riw . Di antara manusia, ada yang mengaku beriman, tetapi mereka bukan termasuk orang beriman. . Jika dikatakan pada mereka; Jangan berbuat kerusakan! Mereka menjawab; Justru kamilah orang-orang yang melakuakan perbaikan. . Mereka merasa sedang memperbaiki agama ini dengan standar modernisme barat; humanisme, pluralisme, ham. Tetapi tanpa sadar, sejatinya mereka justru sedang merusak aqidah mereka sendiri. . Mereka menginterpretasi Islam dengan standar filsafat dan hermeneutika barat. Jika diingatkan untuk kembali kepada tafsir & ushul fiqih ulama terdahulu, mereka berkata; "Kami tidak perlu meminjam kaca mata ulama masa lalu". . Mereka mengaku beriman. Tetapi ketika berangkul mesra dengan kafirin, mereka mengatakan; "we choose rahma". Sementara pada sesama muslim, galak bak anjing penjaga. . Di dalam dadanya ada penyakit hasad. Sehingga semua yang dilakukan saudara muslim lain yang tak segolongan, harus dibubarkan!. . Kemudian Allah menambah penyakit hasad itu agar semakin menjadi. . Allah mengunci hati dan pendengaran mereka. Sedangkan matanya dibutakan dari kebenaran. Mereka menjual petunjuk dengan kesesatan. Suatu perniagaan yang sangat merugikan. . Mereka bermaksud menipu Allah dan muslimin, tetapi sesungguhnya mereka tidak menipu suapapun kecuali diri mereka sendiri. . (Q.S. Al Baqarah 2; 8 - 16) . Jogja 3919 @doniriw t.me/doniriw_channel fb.me/doniriwchannel . #munafiq #doniriw https://ift.tt/2PCyw6z
1 note · View note
shofieashfiya · 5 years
Quote
munculnya para pakar ilmu, akan membuat islam kembali berjaya diatas muka bumi
makanya kamu juga harus semangad kuliahnya!!
ilmu syar’i adalah satu kesatuan, tidak bisa dipisah-pisah, karena saling berkaitan meskipun temanya fikih muamalah, akan berimplikasi juga pada aqidah dan akhlak seseorang. jadi emang satu dan g ada kata mana yang lebih unggul, jadi filsafat yang salah jika pemahamannya terus seperti itu. 
2 notes · View notes
alhidayatkarpet · 3 years
Link
Supra natural atau sering juga disebut metafisika. Ya, untuk faham yang satu ini juga sering dipaksakan seakan faham ini berasal dari Islam. Atau setidaknya berkesesuaian dengan Islam.
0 notes
fanirfan26 · 3 years
Video
youtube
Ilmu Filsafat Perusak Aqidah Islam | Pengaruh Filsafat Yunani Terhadap F...
0 notes
ephibydeeyah · 5 years
Text
Suatu saat ketika kamu akan kuliah.
Jenjang pendidikan yang tidak semua orang bisa mengecap. Ya, itulah Sarjana. Bisa S1, S2, atau S3 bahkan Professor.  Istilah pembelajaraanya pun sudah berbeda yakni kuliah atau perkuliahan. Kuliah diartikan bermacam-macam oeh mahasswa. Ya, lagi-lagi prestigious sekali, panggilan seseorang yang belajar di perkuliahan adalah mereka yang disebut mahasiswa. Kembali lagi ke arti perkuliaan. Secara umum memang berarti proses pembelajaran dikampus. Tapi, bagi sebagian lain adalah proses mendengarkan ceramah dosen . Dialah, sang mahaguru, guru dari segala guru.
Aku mempunyai cerita singkat bagaimana akhirnya aku memutuskan masuk di jurusan filsafat. Jurusn yang langka dan orangnyapun dianggap tak biasa. Aku baru tahu opini seperti itu setelah beremu dengan beberapa teman jurusan lain. seketika mereka kaget, takjub atau heran akupun tidak mengerti. Dari testimoni merekalah aku tahu bahwa jurusanku memeng bisa dibilang “something” sekali.
Ketika aku mendaftar mandiri aku kira q bisa mencantumkan 3 jurusan yang memang aku pilih. Tetapi,  dugaanku salah besar.  Aku sudah melewati batas minimal seseorang berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri. Sudah tiga tahun kelulusan, padahal syaratnya 2 tahun lulusan. Di dapatkanlah keterangan dari salah satu fakultas yang masih membuka pendaftaran bagi siapa saja dijurusan tertentu di fakultas itu. Ushuluddin dan Dakwah, disitulah akhirnya nasibku ditentukan. Petugas akademik saat itu bilang bahwa aku harus tetap ikut jalur formal tes mandiri. Bisa memilih jurusan apa saja, tapi pada akhirnya saat penyaringan nilai kemudian administrasi akan langsung gagal. Kecuali, jika aku memilih salah satu jrusan di fakultas FUD. Bingunglah aku disitu, aku yang ingin masuk managent bisnis harus banting setir ke jurusan agama. Tapi, kemudian aku berfikir lagi, jika aku tak ambil kesempatan ini kapan lagi. Apa iya ada PT negeri yang mau menunggu aku untuk masuk tahun depan.
Siang itu sekotar bulan Juli aku menghubungi keluarga, abahku terutama. Aku tanyakan jurusan mana yang bisa memungkinkan untuk aku dalami dengan basic anak sma negeri. Beliau pun memilihkanku Aqidah dan Filsafat Islam. Menurutnya, asalkan mau belajar jurusan itu bisa didalami. Tapi, jika jurusan lain seperti Alquran Tafsir, Hadis, atau tasawuf aku akan menemui kesulitan mendalami karena minimal di jurusan itu harus sudah menguasai bidang ilmu keagamaan. Setelah melewati tes masuk dan melengkapi administrasi akhirnya pada tanggal 5 september 2016 resmilah aku  menjadi mahasiswa.
Dari cerita singkat itu aku ingin berbagi pengalaman. Selama berkuliah aku merasakan adanya dikotomi yang kental antara mereka yang NU dan Muhammadiyah. Keduanya menjadi dominan dalam pembelajaran, proses kehidupan kampus hingga terkadang menimbulkan gejolak. Aku bingung waktu itu harus menghadapinya bagaimana. Aku berusaha untuk senetral mungkin walaupun keluargaku kebanyakan NU. Tapi toh abahku sendiri tak pernah menyematkan identitas NU dalam dirinya. Abahku adalah seorang akademisi, dulu beliau pernah mengenyam pendidikan di UNDIP dan UIN Walisongo. Jadi beliau tahu persis bahwa keduanya adalah ormas bukan aliran. Dan abah ketika dalam keseharianpun sering bertegur sapa dengan mereka orang Muhammadiyah yang di desaku kadang dikucilkan. Abahku adalah awal pecerahan bagiku. Iapun tak pernah kuatir ketika aku pergi ke Solo seperti kuatirnya mamakku kalo pulang dari solo akan memakai cadar. Baginya itu amat ekstream.
Setelah 3 tahun aku berproses aku menemukan sebuah titik dimana aku belum sepenuhnya belajar dengan sunggguh-sungguh. Aku belum menemukan sosok guru yang layak aku jadikan panutan. Namun aku sadar betul untuk menemukan guru aku harus juga mengikhlaskan ego untuk menerima kekurangan dan kelebihan guru. Bukan hanya berorientasi pada ekspektasiku tentang guru. Hal lain adalah aku mulai ingin menguji apa yang selama ini aku lakukan apakah sudah tahu maksud dan tujuannya sehingga menyadari betul kenapa aku melakukan atau hanya sekedar ikut-ikutan. Mulai mengerjakan sesuatu dan mencari passion hingga akhirnya bisa menemukan ikigai. Suatu kondisi yang menerminkan terpenuhinya dimensi kehidupan manusia.
Satu hal penting dan mungkin jadi inti dari yang akan aku sampaikan adalah mengenai bagaimana seharusnya seseorang memilih jurusan. Aku menulis tulisan ini berharap suatu saat aku bisa memberikan perspektif lain buat siapapun terutama anakku ketika akan memilih jurusan saat kuliah. Pertama, dari beberapa artikel tentang tips bagaimana memilih studi hal yang selalu diuang adalah pilihlah jurusan atau bidang dimana kamu benar-benar tertarik dan suka dengan bidang itu. Tak salah, namun tak sepenuhnya benar juga. Ketertarikan itu penting, tapi aku pikir mempertimbangkan bakat juga sama urgensinya. Bakat bukanlah sesuatu skil yang terperinci dalam suatu perilaku. Dalam diri manusia ada 8 bakat yang jika diketahui mana bakat yang dominan maka dapat mengarahkan dia ke suatu bidang.  Kedepalan jenis bakat tersebut adalah : Matematis/logis, intrapersonal, interpersonal, kinestetik, visual spasial, music, natural, dan lingustik. Untuk mencari tahu cara mendeteksinya bisa berkonsultasi dengan psikolog atau mengetes sendiri dengan bantuan chanel youtube seorang dokter bernama Dr. Aisa Dahlan. Mengetahui bakat akan mengarahan kita pada aktivitas-aktivitas yang sejatinya disukai oleh diri kita, yang terkadang kita bahkan tak menyadarinya. Maka itu penting mendeteksi bakat sebegai jembatan untuk memilih studi.
Kedua, kita perlu tahu jurusan yang ingin kita masuki atau jurusan yang membuat kita tertarik terletak di perguruan tinggi mana saja. Catatan penting dalam proses pembelajaranku adalah sebaiknya kita tahu kampus seperti apa yang akan kita masuki, apakah lembaganya berbentuk institut, universitas, sekolah tinggi, akademi, juga basisnya apakah ada agama atau tidak. Karena akan berbeda penekanan pembelajaran dari kampus berdasarkan basisnya. Ketika memilih jurusan di PT agama maka secara otomatis kita juga akan dibebani dengan kewajiban matakuliah terkait agama. tapi jika basisnya negeri maka tidak ada pembebanan seperti di PT agama. hal tersebut juga yang terkadang membuat kualitas kedalaman ilmu seseorang terkait jurusannya akan berbeda. Jika mau focus maka pilihlah di PT negeri yang tak berbasis agama. Namun, jika ingin memperkaya pengetahuan terutama agama maka masuklah di PT agama. Hal tersebut adalah hal sepele, tapi aku menemukan kesadaran akan hal itu setelah lama berkuliah dan berproses. Awalnya aku sama sekali tak tahu jika ada perbedaan pembebanan matakuliah atau administrasi antara dua basis PT.  Oleh karenanya disini patut dipertimbangkan terkait status dari kampus tersebut. Selain beban matakuliah yang berbeda, seseorang juga akan dihadapkan pada situasi, dinamika dan gejolak yang berbeda di kampus. Di PT agama kan sangat kental nuansa aliran, mddzhab dan hal-hal sejenis selain nuansa pembelajaran. Bukan hanya status, letak kampuspun juga harus diperhatikan. Dikembalikan lagi apakah kita memilih untuk istilahnya “laju” dari kampus ke rumah. Atau mau sekalian merantau sehingga memilih kampus yang letaknya jauh dari rumah.
Terakhir, yakini apa yang  telah di putuskan. Mengikuti kata hati dan meneguhkan hati untuk bersedia menjalani proses pembelajaran di kampus dan jurusan yang  telah dipilih. Don’t listen a rumour or myth about your study. Hindari mempercayai rumor atau kabar yang belum tentu kebenarannya. Dan juga mitos terkait  jurusan dan pembelajaran. Hadapi apa yang memang harus dihadapi. Sekali lagi yakinlah terhadap kata hati sehingga setiap usaha yang dilakukan dapat dijalankan dengan ikhlas dan bersyukur sampai menemui garis finish. Yakni, terwujudnya tujuan-tujua n dalam pembelajaran dan pemenuhan tugas akan ilmu.
Sekian dari aku, semoga apa yang ku tulis bisa bermanfaat. Atau paling tidak bisa buat bahan bacaan saja. See you
1 note · View note
ramul007 · 4 years
Photo
Tumblr media
Bismillah, repost @raehanul_bahraen #Sikap Pertengahan Terhadap Ibnu Sina . Abu Ali Al Husain bin Abdillah al-Balkhi (wafat 427H), lebih dikenal dengan nama Ibnu Sina, adalah seorang ilmuwan ahli di bidang kedokteran, bidang filsafat, kimia dan berbagai macam ilmu lainnya. Beliau terkenal cerdas dan menguasai cukup banyak bidang ilmu. Beliau juga belajar agama, akan tetapi pelajaran agama beliau banyak terpengaruh oleh ilmu filsafat Yunani dan terpengaruh ajaran-ajaran yang menyimpang akidah Islam. Bahkan penyimpangan-penyimpangan yang ia lakukan sampai pada level mengeluarkan pelakunya dari Islam. Beliaupun ikut mendakwahkan akidah menyimpang ini, dan menulis beberapa kitab filsafat diantaranya “asy-Syifa”, “al-Isyarat”, “al-Qanun”, dan yang lainnya. Inti dari tulisan kami adalah sikap pertengahan terhadap Ibnu Sina terkait status beliau sebagai ilmuwan dan akidah beliau yang sangat jauh keluar dari Islam. Ada beberapa poin yang perlu kita perhatikan: Pertama: Banyak ulama yang sudah menganggap beliau keluar dari Islam karena akidah yang sangat melenceng dari Islam. Mungkin ini hal ini membuat “kaget” sebagian kaum muslimin di Indonesia karena selama ini mereka mengira bahwa Ibnu Sina adalah Islam dan ilmuwan Islam. Kami akan nukilkan perkataan-perkataan ulama yang menyatakan hal ini, terutama ulama yang terkenal dari mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab mayoritas di Indonesia semisal Adz-Dzahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan Ibnu Katsir. Masih banyak penjelasan ulama lainnya terkait akidah Ibnu Sina ini. Kedua: Status beliau sebagai seorang ilmuwan, maka kita pun memperlakukan beliau sebagaimana ilmuwan non-muslim lainnya. Tidak haram mengambil ilmu dunia bermanfaat dari beliau, selama hal itu tidak ada kaitannya dengan agama. Ketiga: Ada pendapat yang lemah (karena kebenarannya belum bisa dipastikan) bahwa beliau telah bertaubat dari akidah yang menyimpang tersebut ketika akan meninggal. Tentu kita sangat berharap ini benar. Namun demikian, pendapat ini lemah, dan yang terpenting bagi kita adalah tetap berlepas diri dan mengingatkan umat dari akidahnya yang sangat melenceng jauh dari aqidah Islam. https://muslim.or.id/58618-sikap-pertengahan-terhadap-ibnu-sina https://www.instagram.com/p/CLBwZZUDo5m/?igshid=cegzikfamsf1
0 notes
alfuwisdoms · 4 years
Text
Worldview Islam
Hasil perkuliahan dengan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi M. A, M. Phil
Alvin Qodri Lazuardy, S.Ag
Tumblr media
Pendahuluan
Sebelum memasuki pembahasan tentang Worldview Islam, alangkah baiknya memulai pembahan ini dengan beberapa pertanyaan agar memberi kemudahan dan pembatasan dalam pembahasan kali ini. Apa definisi Worldview, Bagaimana proses Worldview itu lahir, Apa definisi Worldview dalam Islam dan…
View On WordPress
0 notes
mandryanf · 4 years
Text
Tumblr media
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Hai everybody, Nama saya Muhammaf Andryan Fitryansyah, bisa dipanggil iyan. Dengan NIM 11190530000126, kelas Manajemen Dakwah 3 C.
Di catatan dari tugas mata kuliah Filsafat Dakwah, saya akan membahas tentang problematika atau segala hal yang makna, hakikat dan tantangan dakwah sekarang dan masa depan dalam perspektif saya
Dakwah adalah proses penyampaian atau ajakan manusia supaya masuk ke jalan Allah (sistem Islam) secara kaffah dalam segala aspek kehidupan guna mencari ridha Allah. Cara penyampaian ajaran Islam dari seseorang kepada orang lain atau masyarakat agar Islam menjadi jalan hidup bahagia dunia dan akhirat bagi manusia. Baik formal maupun informal dan individu maupun kelompok. Seperti mengajak atau mengingatkan manusia mengerjakan shalat, puasa, zakat, bersedekah, dan berbuat baik terhadap sesama karena dalam agamalah manusia diperintahkan untuk saling menasehati antara satu dengan yang lainnya.
Hakikat Dakwah adalah mengubah suatu keadaan menjadi lebih baik dalam aspek ajaran agama Islam. Sebagai contoh Rasulullah telah menyebarluaskan dan menyempurnakan Islam dengan cara berdakwah baik lisan maupun perang, dimulai dari keluarga sehingga Islam berkembang ke seluruh wilayah Mekkah sampai ke Madinah bahkan ke seluruh penjuru dunia. Kita sebagai umat Islam harus mencontoh Rasulullah, karena beliau sebagai seorang teladan yang perlu diteladani. Hakikat dakwah kita dengan melanjutkan perjuangannya Rasulullah Saw dengan berdakwah untuk umat Islam (tidak melenceng dari aqidah dan syariat). Jika tidak ada dakwah, maka bisa hancur aqidah umat Islam sekarang, karna banyak yang tidak mengetahui hal-hal (ilmu) perkara agama yang banyak belum diketahui sebelumnya.
Tantangan dakwah sekarang seperti ketika menjadi pendakwah, banyak orang yg tidak mau mendengarkan dan acuh terhadap dakwah dari para ustadz da'i dan para ulama. Tetapi di masa yg akan datang kita bisa mempersiapkan semua itu dengan berbagai metode dakwah seperti dengan mempelajari manajemen, mempelajari tantangan dakwah yang sebelumnya lalu mencari solusinya. Dakwah di masa depan dapat melalui media sosial, (tidak harus didepan umum) agar bisa tersebar secara keseluruhan apalagi untuk sekarang ini makin canggih ilmu teknologi dan informasi.
Jadi kita harus tetap menyampaikan dan melanjutkan perjuangannya Rasulullah Saw dalam berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Dan memperbaiki akidah dan iman serta memantapkan diri dengan iman kita melalui dakwah para ulama.
0 notes