#Akane Kikaku
Explore tagged Tumblr posts
Text
バブリーダンス 登美丘高校ダンス部 (Tomioka Dance Club), September 16, 2017
Choreographed by Akane Kikaku
Music:
Banarama - "Venus"
Yōko Oginome - "Dancing Hero (Eat You Up)"
MAXIMIZOR (Yasuhiko Hoshino) - "CAN'T UNDO THIS!!"
Dead or Alive - "You Spin Me Round"
Arabesque - "Heart On Fire"
Earth, Wind & Fire - "Fantasy"
Akemi Ishii - "CHA-CHA-CHA"
youtube
This video will forever live in a free space in my brain
#Tomioka Dance Club#1980s#city pop#nostalgia#dance#2010s#21st century#pastiche#Akane Kikaku#Japanese#music#fashion#period dress#Bananarama#Yoko Oginome#maximizor#Dead or Alive#Arabesque#Earth Wind andFire#Akemi Ishii
8 notes
·
View notes
Video
youtube
オバチャーン (Obachaaan) - “Oba Funk Osaka”, 2019
Featuring Tomioka Dance Club, choreographed by Akane Kikaku.
#オバチャーン#Obachaaan#Osaka#G20#music#music video#21st century#musical interludes#surreal#Japanese#Japan#advertising#2010s#dance#Tomioka Dance Club#Akane Kikaku
5 notes
·
View notes
Text
1 note
·
View note
Text
Baki Boys' Love Book Gets Live-Action TV Treatment on WOWOW
Fans who appreciate the gentler side of Baki, a long-running and hyper-violent martial arts manga by Keisuke Itagaki, will soon be able to look at the series in an entirely new way, because "Grappler Baki" wa BL dewanaika to 1-Nichi 30-jikan 300-bi Kangaeta Shoujo no Kiroku ("The Chronicle of a Maiden Who Thought that Grappler Baki is BL 30 Hours a Day for 300 Days"), a non-fiction book by sociologist and BL scholar Junko Kaneda, is being adapted into a fictionalized TV drama that will broadcast on WOWOW in September of 2021.
The live-action TV drama is entitled Grappler Baki wa BL dewanaika to Kangaesuzuketa Shoujo no Kiroku ("The Chronicle of a Maiden Who Continued to Think that Grappler Baki is BL"), and the main staff for it includes:
Original work: "Grappler Baki" wa BL dewanaika to 1-Nichi 30-jikan 300-bi Kangaeta Shoujo no Kiroku by Junko Kaneda (published in Japan by Kawade Shobō Shinsha)
Director: Santa Yamagishi
Screenplay: Makoto Ueda (Europe Kikaku)
Starring: Honoka Matsumoto
Music: Oh Shu
Production Cooperation: Nikkatsu
Production development: Django Film
Planning cooperation: Akita Shoten
Production: Grappler Baki wa BL dewanaika to Kangaesuzuketa Shoujo no Kiroku Production Committee
In Grappler Baki wa BL dewanaika to Kangaesuzuketa Shoujo no Kiroku, actor Honoka Matsumoto (pictured above) stars as Akane Kojima, an unassuming women who works as a clerk in a stationery store and who is secretly a huge fujoshi. Kojima discovers the Baki series by Keisuke Itagaki and falls in love with its dramatic presentation of muscular martial arts men, but her simple life grows complicated when she gets caught up in the troubles of Takeno (a junior employee at her workplace), Kajiwara (Kojima's boss), and Shibamoto (her former classmate).
Grappler Baki wa BL dewanaika to Kangaesuzuketa Shoujo no Kiroku is scheduled to broadcast in Japan on WOWOW beginning in September of 2021. The series will run for 7 episodes.
Source: Comic Natalie
Copyright notice: ©1996-2021 WOWOW INC.
---
Paul Chapman is the host of The Greatest Movie EVER! Podcast and GME! Anime Fun Time.
By: Paul Chapman
1 note
·
View note
Video
HERO 登美丘高校ダンス部 (Tomioka Dance Club), January 17, 2017
Choreographed by Akane Kikaku
Music: Bonnie Tyler - "Holding Out for a Hero"
youtube
#Bonnie Tyler#1980s#2010s#dance#Tomioka Dance Club#21st century#nostalgia#Akane Kikaku#Japanese#music#pastiche#period dress#soundtrack
1 note
·
View note
Text
WAR (RAW)
warning: • Cerita ini adalah fiksi. Kendati demikian, penulis memuat unsur tokoh ternama berdasarkan sejarah Keshogunan Kamakura. Tanpa mengurangi rasa hormat penulis terhadap para Ybs, semoga kisah ini tidak menyinggung pihak manapun. • Konten dewasa. words: 8,466 estimated reading time: 42 minutes, 19 seconds language: Indonesian
⠀⠀ “𝐒𝐄𝐌𝐁𝐈𝐋𝐀𝐍 𝐆𝐄𝐍𝐄𝐑𝐀𝐒𝐈 𝐇𝐀𝐌𝐏𝐈𝐑 𝐒𝐀𝐌𝐏𝐀𝐈 bagi para Hōjō dan mereka tak pernah terkalahkan sekali pun! Para samurai dan ninja manakah yang mereka gunakan?” ⠀⠀ “Totoya! Pelankan suaramu!” ⠀⠀ “Hah? Persetan! Mana mungkin adaantek mereka di tempat minum kumuh seperti ini! Oi! Tambah lagi!” ⠀⠀ Hentakan gelas berukuran besar pada meja terdengar lantang. Masami mengembuskan napas melihat aksi Totoya; ia merasa malu, tapi sebenarnya setuju. Bagaimana mungkin keluarga Hōjō dapatmengalahkan Kaisar Go-Toba dalam perperangan Jōkyū masihlah sebuah misteri. Dari catatan sejarah yang is baca, itu semua berkat aliansi dengan para politikus dan anggota kerajaan yang tak suka dengan sang kaisar. Namun, ia masih merasa canggung akan fakta tersebut. ⠀⠀ “Totoya, kau sudah terlalu banyak minum! Istrimu menunggu di rumah. Ayo bangun, kuantar kau pulang!” ⠀⠀ Masami meletakkan sepuluh koin pada meja, menaruh lengan kawannya di sekitar leher, lalu menuntunnya keluar. Bau alkohol begitu kentara dari pria yang sehari-harinya berprofesi sebagai pedagang sayur. Oh, Dewa, sudah pasti istrinya akan menggerutu. ⠀⠀ “Totoya, gerakan kakimu!” ⠀⠀ “Aku mengantuk!” ⠀⠀ “Sialan. Aku tidak menemanimu minum lagi!” ⠀⠀ “Masami, kau pelit! Oh, kenapa kau berhenti melangkah?” ⠀⠀ Perlahan mata Totoya berkejap. Sekitar lima langkah dari mereka, berdiri tegak satu figur samurai. Tampangnya tertutup kain hitam, tapi maniknya berkilat kuning keemasan. Benarkah yang dilihat oleh Totoya? ⠀⠀ “Aku tahu apa yang ada di pikiranmu.” ⠀⠀ Masami meneguk ludah. Jantungnya berdebar cepat akibat adrenalin dan rasa takut. ⠀⠀ “Jangan pernah membicarakan para Hōjō lagi. Ini adalah peringatan untukmu. Simpan kisah malam ini hingga ke kuburmu.” ⠀⠀ “Hah? Apa maksudmu?” tanya Totoya sempoyongan. ⠀⠀ “Totoya!” peringat Masami tercekat seraya memeganginya. Jikalau mereka mati malam ini, maka semua adalah salah si Dungu Totoya. “Aku menge—“ ⠀⠀ Pria itu menghilang. Tanpa suara apapun, ia padam bersama malam. ⠀⠀
⠀⠀ 𝐆𝐎-𝐃𝐀𝐈𝐆𝐎 𝐌𝐄𝐍𝐆𝐆𝐄𝐑𝐀𝐌 𝐏𝐄𝐍𝐔𝐇 𝐀𝐌𝐀𝐑𝐀𝐇. Wajahnya merah, seakan-akan seluruh darah pindah ke sana, dan dahi mengerut membuat beberapa lipatan tebal. Dia sedang berpikir keras ‘tuk meruntuhkan tirani kemiliteran Hōjōyang sudah meludahi kekaisaran selama sembilan generasi. Ia terheran-heran atas kekuatan mereka. ⠀⠀ “Yang Mulia, Anda belum makan siang.” ⠀⠀ “Aku harus tahu rahasia mereka. Panggilkan Nitta-san untukku. Ada tugas yang harus ia kerjakan.” ⠀⠀
⠀⠀ “𝐁𝐀𝐆𝐀𝐈𝐌𝐀𝐍𝐀 𝐁𝐈𝐒𝐀 𝐊𝐀𝐔 mengetahui rahasia para Hōjō? Sistem keamanan mereka luar biasa sulit ditembus. Samurai-samurai mereka adalah yang terbaik di bagian timur Jepang.” ⠀⠀ Nitta Yoshisada mengembuskan napas, memainkan jenggotnya lalu melirik kerumunan di luar. “Aku pun tidak tahu. Namun, ini adalah titah Yang Mulia. Apakah tidak ada seseorang yang rela berkhianat?” ⠀⠀ Hibari menumpuk pakaian terakhir. Setelah dua jam akhirnya ia menyelesaikan baju ‘tuk para pelayan istana. “Ini hanya rumor saja. Aku mendengarnya dari beberapa pria yang mengunjungi tempat minum. Mereka berkata ada bekas samurai Hōjō di wilayah Kanto. Ia merawat orang tuanya yang lumpuh karena kecelakaan kerja. Mungkin kau bisa menemuinya dan menggali informasi. Meski sebenarnya aku tidak yakin dia akan mengatakan sesuatu mengenai Hōjō. Entah bagaimana caranya, mereka selalu tahu orang-orang yang membicarakan mereka. Syukurnya kita tidak tinggal di daerah timur. Sungguh tirani yang menakutkan.” ⠀⠀ Tiga hari percakapan itu kering, Yoshisada memacu kudanya menuju suatu desa di daerah Kanto bersama lima orang ajudan. Kedatangannya membuat seluruh penduduk desa mengintip dari balik jendela. Mereka takut dan penasaran pada satu waktu. ⠀⠀ “Permisi, di manakah rumah pria yang merawat kedua orang tuanya?” tanya Yoshisada kepada sekelompok pria peternak. ⠀⠀”Hou? Orime-kun? Rumahnya paling ujung. Apakah kalian Hōjō?” ⠀⠀ Kikaku menginvestigasi atribut para pengendara kuda saksama. Tampaknya sih bukan. ⠀⠀ “Terima kasih. Ayo!” ⠀⠀ “Orang-orang dari kota memang sombong,” komentar Moronobu yang kemudian diamini oleh Kikaku dan lainnya. ⠀⠀ Pintu kayu ringkih berdecit pelan saat Orime menggesernya. Pria itu gagah dan parasnya manis. Dia terlihat seperti pria desa yang lugu. Namun, jangan lupakan bahwa ia jua ialah mantan samurai para Hōjō. Kemampuan bertarungnya tak bisa dipandang sebelah mata; Yoshisada menjadi siaga. ⠀⠀ “Kaisar,” ujar Orime menunjuk medal pada pakaian si Nitta. “Maaf, tapi kedatangan kalian sia-sia.” ⠀⠀ “Aku butuh informasi darimu.” Yoshisada melepaskan pelindung kepalanya. “Berapa koin emas yang kau inginkan? Kami bisa menyediakannya.” ⠀⠀ Orime tersenyum ramah. “Mohon maaf, tapi aku sudah bersumpah. Silakan pulang. Aku harus menyediakan makan siang untuk kedua orang tuaku.” ⠀⠀ Kala dirinya ingin menutup pintu, Yoshisada segera memberikan selembar kertas. “Ini berisi nama dan alamatku. Andaikan kau berubah pikiran, maka kirimilah aku pesan.” ⠀⠀ Kedua mata pria itu menengok ke dalam rumah Orime. Nyata dua insan renta terbaring lemah pada lantai yang keras. ⠀⠀ “Kau adalah anak yang baik. Pertimbangkan penawaranku.” ⠀⠀ “Terima kasih. Semoga Anda sekalian selamat sampai tujuan,” tutur Orime kemudian lekas menutup pintu.
⠀⠀ 𝐃𝐔𝐀 𝐏𝐄𝐊𝐀𝐍 𝐁𝐄𝐑𝐒𝐄𝐋𝐀𝐍𝐆 𝐓𝐀𝐍𝐏𝐀 kabar. Go-Daigo mulai hilang kesabaran. Ia memanggil seluruh ahli perang terbaiknya—tidak juga sebab mereka selalu kalah—dan melakukan rapat dalam rangkah menjatuhkan kekuasaan keshogunan Kamakura. ⠀⠀ “Kumpulkan para pemuda dari seluruh wilayah. Hanya menggunakan prajurit kita tidak akan cukup,” ujarnya seraya mengetuk-ketuk peta Kyoto keras. ⠀⠀ Sementara di kediaman Nitta, Yoshisada menutup kitab suci lalu beranjak hendak ke ruang makan. Kaisar menganggap dirinya tak kompeten dan ia jua percaya hal itu. ⠀⠀ “Yoshisada-sama! Ada surat untuk Anda dari seseorang bernama Orime!” ⠀⠀ Shunsuke menyodorkan objek yang dimaksud. Dia terengah-engah sebab berlari dari pintu masuk. ⠀⠀ “Oh, Kami-sama!” ⠀⠀ Go-Daigo membaca paragraf yang ditulis rapi oleh Orime berulang kali. Habis masa sejam baginya ‘tuk benar-benar yakin dengan apa yang matanya temukan. ⠀⠀ “Kau yakin pria ini waras?” ⠀⠀ “Sangat, Yang Mulia. Sayangnya ia mengakhiri hidup ketika orang tuanya wafat. Semua tertera di surat yang Anda pegang,” tutur Yoshisada. Sungguh anak yang baik dan mengenaskan. ⠀⠀ Go-Daigo menaruh sepucuk kertas itu di atas buku kenegaraan. “Aku tidak tahu harus percaya atau tertawa. Mungkinkah aku sudah kehilangan seluruh akal sehatku? Aku percaya kata-kata pria malang ini.” ⠀⠀ Yoshisada mengangguk. Sebagaimana sang raja, ia jua merasakan gejolak batin yang sama. Namun, dia pun tak bisa mengonfirmasi hal itu sebab Orime telah memutuskan menyusul mendiang Ayah dan Ibunya. ⠀⠀ “Baiklah, Nitta-san. Anggap sudah jelas musuh kita ialah bukan kaum manusia. Seberapa banyak pemuda dan prajurit yang aku kerahkan, tetap tiada kemenangan di tangan. Kita harus terjun di medan yang sama.” ⠀⠀ “Maksud Anda ... kita menggunakan bantuan seperti para Hōjō?” ⠀⠀ “Tepat. Tunggu sebentar, aku memiliki sesuatu yang tak ada satu pun cendekiawan istana mau sentuh.” ⠀⠀ Satu buku tebal dari dalam kotak kayu cokelat dikeluarkan Go-Daigo. Pada sampulnya tertulis judul “DIA YANG ABADI”. Setiap lembarnya tertulis apik disertai ilustrasi visual yang membuat Yoshisada bergidik ngeri sekaligus kagum. Tokoh utama dari hikayat ini dikatakan tak memiliki nama yang pasti. Bentuknya pun dijabarkan bisa berubah dari seperti manusia hingga binatang buas. ⠀⠀ “Serupa dewa, tapi terkutuk,” ujar Go-Daigo. “Hanya sedikit dari leluhurku yang percaya akan keberadaannya. Aku sendiri memutuskan untuk tidak mengambil pusing. Namun, hal ini harus dipertimbangkan.” ⠀⠀ Fokus Yoshisada terhenti pada kalimat kutipan yang berbunyi: ⠀⠀ “Aku tidak sendirian. Di luar sana banyak kaum kami yang kalian tidak ketahui.” ⠀⠀ Entah siapa yang menulis cerita ini; awanama tertulis di lembar terakhir. Ia bahkan tak berani menyentuh sebab buku itu nyata jauh berumur darinya. ⠀⠀ “Hidup di dalam gunung yang asri, kerajaannya berada di atas air dan di kelilingi hamparan bunga. Mencapai ribuan tahun, ia tak pernah berpindah,” ujar Go-Daigo mengulang kalimat dari buku. “Kakekku pernah bilang ia ialah Fuji-san.” ⠀⠀ “Maksudnya makhluk ini bermukin di gunung Fuji?” ⠀⠀ “Sepertinya begitu sebab sang penulis mengutip teks dari abad kesembilan mengenai adanya seorang dewa yang lahir di tempat itu; antara surga dan dunia.” ⠀⠀ “Dewa Kuninotokotachi,” ucap Yoshisada. ⠀⠀ “Nitta-san, bawalah banyak prajurit dan bahan makanan. Kita harus segera bergerak dan mengakhiri masa keshogunan Kamakura. Kerajaan harus kembali berjaya. Selayaknya apa yang diajarkan oleh leluhur.”
⠀⠀ 𝐏𝐄𝐑𝐉𝐀𝐋𝐀𝐍𝐀𝐍 𝐌𝐄𝐍𝐂𝐀𝐑𝐈 𝐒𝐄𝐒𝐔𝐀𝐓𝐔 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐓𝐀𝐊 𝐏𝐀𝐒𝐓𝐈 𝐊𝐎𝐍𝐊𝐑𝐄𝐓𝐍𝐘𝐀 adalah perkara berat. Sudah empat matahari tidur, tetapi Yoshisada dan sepuluh samurai terbaik kerajaan belum menemukan titik terang. Di manakah makhluk ini tinggal? Sejauh mata memandang hanya keindahan gunung Fuji di relung mata. ⠀⠀ “Buat tenda dan api, hari sudah semakin gelap,” tegas Yoshisada seraya mengikat kuda pada pohon. ⠀⠀ Masing-masing individu melaksanakan tugas mereka tanpa protes. Ada yang memasang tenda, pergi berburu, dan menyiapkan bahan makanan kering. Sementara itu, Yoshisada memeriksa area menginap hari ini. ⠀⠀ Sekitar lima menit, ia mendengar kegaduhan di pos. Saat dirinya kembali, para prajurit tampak syok. Kawan mereka yang bertugas memburu hewan terkapar di dekat tenda setengah jadi kehabisan darah. ⠀⠀ “Siapa yang membawanya?” Yoshisada memeriksa tubuh kaku sang adam. ⠀⠀ “Dia berjalan sendirian meminta tolong. Tak lama terjatuh dan berhenti bernafas,” tutur Doppo. ⠀⠀ Bekas cakaran dan gigitan begitu nyata pada jisim di sana. Kemungkinan besar adalah binatang liar yang kelaparan. ⠀⠀ “Angkat pedang kalian. Kita harus mengamankan tempat istirahat kita.” ⠀⠀ Bunyi ranting pohon bertabrakan satu dengan lainnya segera membuat para prajurit kebingungan. Tak ada angin, tapi dedaunan begitu ribut. Ada apa sebenarnya? ⠀⠀ Di momen itu Yoshisada langsung paham. Otaknya segera memikirkan mengenai makhluk di dalam buku. Apakah mereka akan bertemu? ⠀⠀ “Iya. Kau benar, Pak Tua. Tidak aku sangka masih ada yang percaya ada makhluk lain selain para dewa dan manusia.” ⠀⠀ Kilatan ujung katana diarahkan ke sosok pria /terlihat/ muda yang berdiri di samping pohon. Di seluruh mulutnya terdapat darah segar menetes. ⠀⠀ “Kalian nyata,” kata Yoshisada sedikit kasar. Ia marah karena anggotanya gugur. Namun, dia tahu itulah pengorbanan demi misi sukses. ⠀⠀ “Lebih dari yang kau duga. Hmm, sepuluh, baguslah. Itu artinya aku tidak perlu makan selama tiga bulan.” ⠀⠀ Seringai mengerikan menampilkan deretan gigi tajam makhluk itu. Warna matanya pun kini serupa ular; kuning keemasan dan diiringi hawa lapar serta pembunuh. ⠀⠀ Bagaikan angin, ia lalu berlari menuju Yoshisada. Pakaiannya yang lusuh bergerak serampangan menunjukan bagian-bagian tubuh pucat penuh luka. ⠀⠀ Lincahnya sang pemuda membuat Yoshisada kewalahan. Seakan-akan saat ini dirinya yang mengejar. Mereka dijadikan mainan. ⠀⠀ “Selamat makan!” seru adam itu memekik. Mulutnya menganga kelewat lebar ingin menggigit dan mengoyak lapisan kulit Yoshisada; meminum buliran darah merah yang mengalir kencang dalam nadinya. ⠀⠀ Kendati demikian, semua itu terhenti ketika suatu siulan membuat seluruh burung terbang menjauh, dan rasa sakit tak tertahankan di sekujur tubuh sang pemangsa. Sialan. Betul-betul sialan. ⠀⠀ Bagi Yoshisada dan lainnya, siulan itu tak berarti apa-apa. Mereka kembali bingung dan waspada. Lagi, apa yang sedang terjadi? Samar-samar semua rambut di tubuh naik. Yoshisada bahkan spontan mundur dengan perasaan cemas berlebih. Ia belum melihatnya, tapi sesuatu di sekitar mereka jauh lebih menyeramkan dibandingkan makhluk yang kini lidahnya menjulur kering dan tatapan mata hampa; mati. ⠀⠀ “SUDAH EMPAT HARI SEJAK KALIAN MEMASUKI FUJI-SAN. SELAMA ITU PULA KAMI MENGAMATI. SEGENAP PEMIKIRAN MENGENAI KEABADIAN SELAIN DEWA PUN KAMI KETAHUI.“ ⠀⠀ Suara itu terdengar begitu dekat. Bahkan rasanya ada di sebelah diri. Namun, tak terlihat. ⠀⠀ “SIAPAKAH YANG KALIAN CARI? KATAKAN DAN KAMI AKAN MEMANDU KALIAN.” ⠀⠀ Dengan tubuh yang bergetar dan peluh dingin tak berhenti mengucur, Yoshisada membuka mulut ‘tuk berkata, “Ia yang namanya tak pasti.” ⠀⠀ “BAIKLAH. IKUTI RUSA MERAH DI DEPAN KALIAN SEBELUM BULAN TIBA. SEKARANG.” ⠀⠀ Entah dari mana binatang berkaki empat itu muncul. Sudah pasti ketakutan mereka membuyarkan ketajaman diri. Namun, itu tak penting. Mengejar rusa yang kini berlari menggunakan bantuan kuda dari istana, meninggalkan kawan yang sudah hilang nyawa, telah menjadi tugas utama. ⠀⠀ Yoshisada dan anak buahnya hanya menatap ke depan. Mereka tak lagi menengok ke kiri lalu ke kanan sebab hanya rusa merah yang mengeluarkan cahaya keemasan itulah pandu jalan sejati. ⠀⠀ Perasaan berat tiba-tiba menghantam dan rasanya mereka memasuki dunia baru. Semesta yang lebih gelap, tapi banyak bunga berwarna merah mekar menjadi kawan perjalanan. Tak jarang dijumpai berbagai macam hewan yang familiar, tapi sebagaimana rusa itu, mereka semua memancarkan kirananya masing-masing. ⠀⠀ Kala Yoshisada kembali menatap ke depan, matanya membulat lebar, dan rahang menganga. Kerajaannya di atas air yang mengalir deras dengan hamparan bunga di sekitarnya. Bangunan megah itu nyata dan ada. Melebihi rasionalitas manusia. Layaknya kediaman seorang dewa. ⠀⠀ Laju kuda otomatis terhenti ketika sang rusa menapaki jalan setapak yang membawa ke atas menuju istana. ⠀⠀ “TINGGALKAN KUDA KALIAN DAN BERJALAN KAKILAH.” ⠀⠀ Suara itu lagi. Walhasil, mereka patuh dan melangkah dengan antusias. Ketakutan mereka banyak berkurang karena indahnya alam di sekitar. Identik lukisan magis seorang seniman di abad ketujuh—tunggu, jangan-jangan? ⠀⠀ “Selamat datang.” ⠀⠀ Seorang pria dewasa bermanik tajam dan hidung mancung berdiri tegak di puncak jalan. Tangannya mengelus wajah rusa merah dan memberi makan menggunakan tangan lainnya. ⠀⠀ “Kalian pasti lelah. Silakan ikuti saya,” tambahnya. Taring pada gigi mengintip; Yoshisada dan anak buahnya kembali was-was. ⠀⠀ “Saya bisa merasakan kekhawatiran kalian. Namun, bisa saya jamin kami bukan seperti makhluk yang kalian temui beberapa hari yang lalu.” ⠀⠀ “Beberapa hari?” beo Yoshisada. Seketika tubuhnya merasa lemah dan terjatuh. Penglihatannya menjadi kabur dan berangsur gelap. Sekilas ia bertanya: apakah ini akhir dari perjalanan hidupnya?
⠀⠀ 𝐀𝐑𝐎𝐌𝐀 𝐌𝐀𝐒𝐀𝐊𝐀𝐍 𝐅𝐀𝐌𝐈𝐋𝐈𝐀𝐑 mengetuk hidung Yoshisada. Perutnya yang kelaparan memaksa kedua mata terbuka. ⠀⠀ “Yoshisada-sama! Akhirnya Anda bangun! Ayo makan!” ⠀⠀ Dengan semangat prajurit, Yoshisada dibantu melahap varian hidangan yang tersedia pada meja panjang. Sekitar sepuluh menit barulah ia sadar bahwa pria yang menyambutnya sedarti tadi mengamati. Matanya menunjukkan kilat keemasan, tapi rona merah ada di pinggirannya. Sedikit berbeda dari makhluk menjijikan yang ditemui. ⠀⠀ “Orang-orang memanggil saya Azuma,” ucapnya tiba-tiba. Ia membaca pikiran Yoshisada. ⠀⠀ “Oh. Senang... bertemu dengan Anda.” ⠀⠀ “Saya sudah menceritakannya kepada kawan-kawan Anda. Perjalanan menuju dunia ini adalah tiga hari yang artinya Anda tidak makan dan minum selama periode tersebut. Efek dari kurangnya persiapan adalah seperti Anda; hilang kesadaran. Bagi manusia, hal ini sangat memberatkan. Oleh sebab itu, hanya mereka yang terpilih bisa berkunjung.” ⠀⠀ Yoshisada meneguk air dan sedikit terperanjat sebab sensasinya yang sungguh menyegarkan. Ia belum pernah menikmati minuman semenenangkan ini. ⠀⠀ “Minuman kami berasal dari mata air di bawah istana. Para dewa meminumnya juga,” jelas Azuma. ⠀⠀ “Pantas saja. Apakah Anda seorang dewa?” ⠀⠀ “Ya dan tidak. Pada dasarnya leluhur kami adalah dewa, tapi dikutuk sehingga menjadi /monster/. Kami yang sering manusia sebut sebagai orang buangan. Namun, untuk kasus golongan saya, sedikit lebih beruntung.” ⠀⠀ Yoshisada mengangguk. Azuma dan makhluk naas sebelumnya meski dari ras yang sama, mereka beda kelas. Sebagaimana kaumnya; bangsawan dan non-bangsawan. ⠀⠀ “Kalau begitu, apakah Anda yang kami cari?” ⠀⠀ Azuma menggeleng. “Tuan saya.” ⠀⠀ Detak jantung Yoshisada berhenti sekitar dua detik. Sejak kejadian di hutan, ia mengalami banyak pengalaman rasa yang asing. Pemicunya tak perlu kejadian mendebarkan. Bahkan sebatas tatapan mata saja mampu mendorongnya merasa begitu tak nyaman. Betapa berbedanya manusia dan /dewa/. ⠀⠀ “Kalian semua akan bertemu DIA ketika kondisi tubuh sudah stabil. Jika kalian beristirahat dengan baik, maka besok pasti akan bertemu. Pasti.” ⠀⠀
⠀⠀ 𝐊𝐄𝐓𝐔𝐑𝐔𝐍𝐀𝐍 𝐋𝐀𝐍𝐆𝐒𝐔𝐍𝐆 𝐃𝐀𝐑𝐈 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐃𝐈𝐊𝐔𝐓𝐔𝐊 selalu membuat para dewa mendesis karena iri. Parasnya yang indah dan bentuk tubuh yang didesain sebagai penghancur serta pelindung adalah perbincangan utama di setiap pertemuan langit. ⠀⠀ “Jikalau saja dia tinggal di atas sini, maka sudah pasti aku akan berkunjung setiap hari.” ⠀⠀ “Jagalah ucapanmu! Suamimu merupakan dewa yang terhormat! Tapi ... betul juga.” ⠀⠀ “SHINKU.” ⠀⠀ Dari balik kain hitam yang menutupi wajahnya, obsidian merah menyala. Pria bersurai keemasan—yang terkadang diganti menjadi menyerupai temaramnya semesta—mendekati Amaterasu. ⠀⠀”ANAKKU.” ⠀⠀ Kepala Shinku menunduk. ⠀⠀ “JAGALAH TEMPAT DI ANTARA SURGA DAN BUMI. JANGAN MENJAUH DARINYA KARENA KEKACAUAN BESAR AKAN TERJADI. DIAMLAH DI TEMPATMU. HANYA KELUAR ATAS RESTUKU.”
⠀⠀ 𝐆𝐄𝐋𝐀𝐊 𝐓𝐀𝐖𝐀 𝐏𝐄𝐑𝐄𝐌𝐏𝐔𝐀𝐍 𝐌𝐄𝐌𝐄𝐍𝐔𝐇𝐈 bagian privat taman istana. Suara air dipercikkan menjadi harmoni di sela bunyi girang tersebut. Mereka semua sedang berendam, menikmati air hangat alami yang diciptakan oleh sang pemilik dunia; suami mereka. ⠀⠀ “Oh, oh, oh! Katanya Kumiko masih dendam,” bisik Ichiha seraya menaikkan kedua alisnya. ⠀⠀ Tama mendesis. “Pengkhianat patut dibuang.” ⠀⠀ “Aku tidak pernah melihat Shinku-dono semarah itu. Lima ratus tahun berlalu begitu cepat,” komentar Yura. ⠀⠀ Konami memunculkan kepalanya dari dalam air. Dua telinga kucing dikibaskannya kuat. ⠀⠀ “Kona-chan!~” ⠀⠀ “Nakal sekali!” ⠀⠀ “Tunggu pembalasanku!” ⠀⠀ Tawa kembali membahana. ⠀⠀ Di belakang pintu yang menutupi adegan itu, Nao mengembuskan napas. Matanya memandangi lantai dan jemari kakinya memainkan handuk kotor. Berapa lama perempuan-perempuan itu berniat mandi? Sungguh membosankan. ⠀⠀ Sementara itu di kamar, sembilan buntut rubah berkilauan merah tampak sayu di sekitar ranjang. Pemiliknya beringsut ke dalam dekapan seorang pria bersurai emas yang sedang menonton kegiatan Yoshisada beserta prajuritnya melalui sebuah cermin. ⠀⠀ “Apakah itu mereka?” tanya Sukey sembari memainkan kuku-kuku tajamnya pada dada di bawah. ⠀⠀ “Hm. Aku akan menemui mereka besok.” ⠀⠀ Sukey mengerucutkan bibir, mendekap tubuh besar milik suaminya, lalu berkata, “Anda berjanji menghabiskan tujuh hari bersama saya. Jika besok dihabiskan untuk bertemu mereka, maka habislah sudah waktu saya!” ⠀⠀“Hanya sebentar.” ⠀⠀ “Bagaimana jika tidak sebentar? Saya ini yang termuda dari mereka dan paling sebentar waktunya bersama Anda. Bisa-bisa menunggu seratus tahun!” ⠀⠀ Satu buntut Sukey mengibas penuh amarah. Mengakibatkan sebuah guci pecah. ⠀⠀ “Sukey.” ⠀⠀ Telinga sang rubah otomatis menunduk. Wajahnya pun suram. ⠀⠀ “Apa yang sedang ramai dibicarakan kaummu atau para dewi di atas sana?” ⠀⠀ “Riasan dari Taira-san dan kimono milik Murasaki-san. Mereka bilang peralatan rias Taira-san sangat cantik karena butiran mutiaranya datang dari timur. Ryū-sama mengizinkan Taira-san mengambil yang terbaik. Kalau Murasaki-san, benang kimononya diberikan oleh Esumi-san. Benang itu dipintal dari rambut domba yang dijadikan simbol tahun baru.” ⠀⠀ “Begitu rupanya. Sebagai ganti harimu, aku akan memberikan mutiara dan benang yang lebih indah. Para dewi akan membicarakan hal itu selama seratus tahun.” ⠀⠀ Sukey bangun dan duduk pada perut suaminya. “Benarkah?” tanyanya berkobar-kobar. ⠀⠀ Menjadi bahan perbincangan para dewa dan dewi adalah pencapaian fantastis. Dirinya berimajinasi perhatian dengki mereka; bagaimana mungkin seekor iblis rubah lebih memesona dibandingkan yang dipuja? Khayalan itu memenuhi ego Sukey.
⠀⠀ 𝐁𝐔𝐋𝐀𝐍 𝐏𝐔𝐑𝐍𝐀𝐌𝐀 𝐃𝐈 𝐀𝐋𝐀𝐌 ini kentara berbeda di dunia manusia. Bentuknya kolosal dan pinggirannya tak rata. Sinarnya berma dengan pendar pelangi; sungguh ajaib, pikir Yoshisada. ⠀⠀ “Apakah kalian sudah siap?” tanya Azuma. ⠀⠀ Kepala Yoshisada dan prajuritnya teralih dari jendela ke sosok Azuma yanh secara magis muncul. Kedua kakinya bersimpuh dan tangan memegang pinggiran pintu geser. Tunggu, bukankah tadi dia ada di kamar? Kenapa tiba-tiba ada di suatu bilik besar padat pernak-pernik khas Jepang? Beberapa objeknya pun seperti Yang Yoshisada pernah lihat di kamar sang kaisar. ⠀⠀ “Kami siap,” ujarnya mantap. Inilah saat yang sudah dinanti sejak dahulu. Sumber kekuatan para Hōjō. ⠀⠀ “Biarkan saya persembahkam kepada Anda, penjaga Fuji-san—gerbang antara bumi dan surga—keturunan Ōhirume-no-muchi-no-kami dan Yamata no Orochi; Dewi Matahari jua Alam Semesta dan Ular dari Koshi, SHINKU-DONO.” ⠀⠀ Ketika nama itu digaungkan, tubuh Yoshisada serta pasukannya spontan bersujud. Manik mereka tak kuat menyorot kirana asfar keemasan dari yang disebut asmanya. ⠀⠀ “Bangunlah.” ⠀⠀ Maka mereka bangun dan menatap perwujudannya. Obsidian semerah buah ceri musim dingin, surai serupa sinar matahari, dan gading yang sedikit mencuat dari mulut. Itu hanya wajahnya saja. Jika jisimnya harus dijelaskan, maka tipis visibel sisik pelangi pada tangan. Mereka tak begitu terlihat karena ditutupi kimono hitam penuh corak bunga sakura. ⠀⠀ “Dewa,” ujar Zeshin tanpa sadar. ⠀⠀ Shinku memiringkan kepala, membuat surai emasnya bergoyang kecil, dan anting-antingnya bergerak maju-mundur. “Tidak juga,” sahutnya dengan seringai. Otomatis membuat semua orang merinding karena kilau taringnya. ⠀⠀ “Jadi,” ia menegapkan badan, “kalian mencariku. Sudah hampir tujuh ratus tahun tiada manusia yang datang dengan iktikat itu. Jelaskan,” tegasnya. ⠀⠀ Yoshisada mengatur napas. Semua demi kekaisaran Jepang. ⠀⠀ “Apakah Anda membantu makmurnya keshogunan Kamakura?” tanyanya hati-hati. ⠀⠀ “Keshogunan Kamakura?” ⠀⠀ “Di belahan timur Jepang kini dikuasai Hōjō. Mereka bertahan selama sembilan generasi, menyingkirkan anggota kerajaan, dan terus melebarkan sayap tirani. Seorang mantan samurai mereka berkata bahwa kekuatan Hōjō diberkati atas kekuatan gelap,” jelas Yoshisada menggebu. ⠀⠀ Azuma menangkap sosok sang tuan. Perjanjian antara /dewa/ pun iblis dengan manusia adalah ihwal lazim. Namun, sebuah regulasi sekitar tiga ratus tahun lalu mengecam seluruh makhluk dunia atas dan bawah ‘tuk mengikat persepakatan bersama insan bumi. ⠀⠀ “Lanjutkan.” ⠀⠀ “Dia berkata kekuatan gelap itu meneguk darah manusia. Setiap bulannya pengorbanan harus dilakukan.” ⠀⠀ Tangan Shinku diangkat, sebuah cahaya putih muncul darinya perlahan membentuk kaca; Yata no Kagami digenggam erat. Dari permukaannya menyeruak pemandangan wilayah timur Jepang. Mata mengiringi setiap kegiatan para Hōjō. Sesuatu jelas tak biasa dari mereka. Aura familiar dirasakan Shinku dan binar ain mengerling tatkala mendapati dua figur di bawah bayangan. ⠀⠀ “Kalian ingin bantuanku.” ⠀⠀ “Kami sudah putus asa, Shinku-dono,” kata Yoshisada. Ia sungguh tak tahu harus bagaimana agar rezim Hōjō runtuh. ⠀⠀“Aku harus berdiskusi lebih dulu. Pulanglah dan berikan kabar itu kepada Go-Daigo. Bawa satu Yasakani no Magatama ini bersama kalian sebagai bukti.” ⠀⠀ Nur merah melayang menuju Yoshisada lalu menyelip di antara jemarinya. Perhiasan itu seperti batu giok; tengahnya berlubang. Menurut sejarah, dia pernah digunakan ‘tuk memancing Amaterasu keluar dari gua. ⠀⠀ Sesuatu yang tajam kemudian menusuk lapisan kulit dan daging Yoshisada. Dilihatnya kini Shinku berada di hadapan sembari menenggelamkan satu kuku jari pada telapak tangannya. ⠀⠀ Sayup didengarnya Shinku merapal mantra. Seketika bunyi petir dahsyat membahana; semua menjadi legam. Memori terakhir Yoshisada adalah obsidian merah sang tuan membara dan bibir menyeringai berucap, “Sampai jumpa.” ⠀⠀
⠀⠀ 𝐃𝐔𝐍𝐈𝐀 𝐀𝐓𝐀𝐒 𝐆𝐄𝐌𝐏𝐀𝐑 𝐊𝐄𝐓𝐈𝐊𝐀 tujuh kapal udara berlambang bunga kamperfuli dikelilingi ular mendarat di dermaga. Kedatangan ini tak diketahui para penduduk langit. Bahkan para dewa dan dewi jua tak menyana kunjungan mendadak dari mereka. ⠀⠀ Ketika tangga diturunkan, puluhan pelayan wanita yang wajahnya ditutupi kain hitam membuka /janomegasa/ serentak. Mereka mengangkat payung itu lalu melangkah pelan dengan formasi dua memanjang ke belakang. ⠀⠀ “Shinku-dono tiba, Shinku-dono tiba, Shinku-dono tiba, Shinku-dono tiba ....” ⠀⠀ Mereka berbisik dalam harmoni mengujar kata tersebut. Suatu pemandangan yang jarang terjadi. ⠀⠀ “Ibu, ibu, ibu! Coba lihat!” ⠀⠀ Jari telunjuk mungil seorang anak laki-laki diarahkan kepada sosok pria di tengah iringan. Sebagaimana para wanita itu, kain hitam transparan menutupi parasnya. Satu seringai tercipta saat manik mereka bertemu. ⠀⠀ Di depan gerbang tempat berkumpulnya para dewa dan dewi tertinggi, rombongan itu berhenti; mereka berpisah ‘tuk meluaskan jalan sang tuan. Payung ditutup sempurna. ⠀⠀ “Shinku,” ujar Gennai sambil melangkah mendekatinya. “Kau tidak memberitahu kedatanganmu. Urusan apakah yang ingin kau lakukan di sini? Siapa yang menjaga Fuji-san?” ⠀⠀ “Tenang.” Shinku tersenyum. “Aku perlu berdiskusi dengan Amaterasu mengenai sesuatu. Ialah yang mengundangku ke sini. Kemudian, jawaban atas pertanyaan keduamu adalah Azuma. Panglima terbaikku. Kau pun khatam akan kebolehannya.” ⠀⠀ “BIARKAN DIA MASUK.” ⠀⠀ “Ōhirume-no-muchi-no-kami... Ōhirume-no-muchi-no-kami... Ōhirume-no-muchi-no-kami ....” ⠀⠀ Gennai membungkukan badannya pada gerbang lalu membuka jalan ‘tuk Shinku. Seluruh rombongan itu kembali melangkah. Kendati demikian, kali ini sang tuan yang memandu. ⠀⠀ “MASUK DAN BIARKAN PELAYANMU DI RUANG UTAMA.” ⠀⠀Tanpa harus menutur perintah, para wanita yang membawa sajian dan payung segera bergerak menuju bilik yang dimaksud. Sementara Shinku menghilang di balik pintu megah milik Amaterasu. ⠀⠀ “Ōhirume-no-muchi-no-kami.” ⠀⠀ “Buka tudungmu.” ⠀⠀ Shinku melepaskan kain yang menutupi diri kemudian menatap Amaterasu. Dewi berparas jelita itu menyentuh tampang sang adam. ⠀⠀ “Matamu sangat indah. Seperti miliknya.” ⠀⠀ “Terima kasih.” ⠀⠀ “Duduklah. Mari kita bicarakan mengenai masalahmu.” ⠀⠀
⠀⠀ 𝐆𝐎-𝐃𝐀𝐈𝐆𝐎 𝐌𝐄𝐌𝐀𝐍𝐃𝐀𝐍𝐆𝐈 𝐏𝐑𝐀𝐉𝐔𝐑𝐈𝐓𝐍𝐘𝐀 dari serambi. Semenjak kepulangan Yoshisada, mereka semua berlatih lebih keras dibandingkan biasanya. ⠀⠀ “Pertahanan di perbatasan semakin kuat,” ujar Moronobu memberikan laporan. ⠀⠀ “Bagus. Kita harus tetap konsisten hingga yang ditunggu memberikan kabar.” ⠀⠀ Sementara itu di wilayah timur, muktamar darurat sedang dilaksanakan oleh para Hōjō. Nagatoki selaku /shikken/ terlihat tenang sembari memainkan pion berwujud kuda. ⠀⠀ “Mereka ingin memulai perang,” ujar Hisayuki. ⠀⠀ “Kumpulan orang bodoh. Seberapa kerasnya mereka mencoba, tentu saja akan pulang dengan tangan kosong. Meski begitu, ini tentu akan menguntungkan kita. Bayangkan jumlah manusia yang skan mereka kirim. Sudah pasti cukup memberi makan tentara istimewa.” ⠀⠀ “Betul, Kamakura-dono. Namun, apakah Anda ingin mengadakan patroli? Setelah sekian lama diam, saya khawatir mereka menggunakan taktik perang baru.” ⠀⠀ Hisayuki mengamati sang tuan cemas. ⠀⠀ “Tingkatkan penjagaan. Arahkan para istimewa jika perlu. Ambil saja para gadis desa sebagai sumber makanan mereka.” ⠀⠀ “Dimengerti, Kamakura-dono.” ⠀⠀ Di area belakang kediaman Hōjō, suara melengking akibat rasa sakit silih berganti menyahut. Tumpukan tubuh tak bernyawa terlihat menggunung di pinggir kediaman; sebagian bahkan telah membusuk mengundang lalat menghinggapi wajah pucat mereka. ⠀⠀ “Bisakah mereka lebih pelan? Suaranya begitu mengganggu,” ucap seorang wanita dari balik tirai merah. Kuas gincunya diturunkan lalu senyum dipasang ketika manik bertemu kaca. ⠀⠀ “Maklumi saja. Ini merupakan makan perdana mereka setelah tiga bulan,” ujar Kuri sambil mengintip kegiatan anak buahnya. ⠀⠀ “Merawat manusia yang diubah menjadi hewan buas selalu penuh tantangan. Syukurnya aku berpengalaman. Omong-omong, di mana punyaku?” Wanita itu menjilat ujung bibirnya lalu taringnya. Ia sudah tak sabar ‘tuk meneguk makan malamnya. ⠀⠀
⠀⠀ “𝐀𝐍𝐓𝐀𝐑𝐊𝐀𝐍 𝐒𝐔𝐑𝐀𝐓 𝐈𝐍𝐈 𝐊𝐄 𝐃𝐔𝐍𝐈𝐀 𝐌𝐀𝐍𝐔𝐒𝐈𝐀. Hanya Yoshisada dan Go-Daigo boleh membacanya atau kutukan perih akan menimpa siapa saja yang berusaha mengintip isi surat.” ⠀⠀ Rusa merah mengangguk patuh. Matanya yang besar mengamati wajah Shinku dengan rasa kasih. ⠀⠀ “Aku akan menunggu kedatanganmu.” Sebuah kecupan singkat tertanam pada dahi sang rusa. Tak seberapa lama, jalan setapak ke arah bulan kolosal tercipta. Saatnya ‘tuk menyampaikan berita. ⠀⠀
⠀⠀ “𝐇𝐘𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀!!!” ⠀⠀ Barang-barang jatuh akibat tubuh menubruk pintu terlampau keras membuat seluruh penghuni rumah berkumpul. Setiap dari mereka membawa katana tajam; siap menebas apapun yang membuat kegaduhan di tengah malam. ⠀⠀ “Rusa merah,” ujar Yoshisada. ⠀⠀ “I-ini apa? Maksudku... kenapa bisa ada rusa di rumah kita?! Masuk dari mana?!” ⠀⠀ Hibari menatap binatang itu horor. Bahkan bunyinya tak terdengar. ⠀⠀ “Kau diperintahkan Shinku-dono, benar?” ⠀⠀ Rusa itu mengerjapkan mata cantiknya kemudian mendekati Yoshisada santai. Seolah bukan dirinya penyebab keributan di pukul satu pagi. ⠀⠀ Ketika mereka saling berhadapan, sinar biram menyelimuti mereka begitu pekat. Perlahan seorang perempuan elok berdiri di depan Hibari dan Yoshisada. Kedua matanya bagaikan berlian merah muda dan rambutnya seperti habis dicelup tinta para kaum intelektual kerajaan. ⠀⠀ “Salam. Namaku Yura—istri ketiga Shinku-dono. Senang bertemu kalian,” ujarnya sambil membungkuk. “Sebuah surat untuk Nitta Yoshisada telah datang. Hanya kau dan Go-Daigo yang boleh membacanya. Apabila orang lain berusaha ingin tahu isinya, maka mereka akan dilimpahkan dengan banyak kutukan manis.” ⠀⠀ Yoshisada menerima surat yang diberikan Yura. Kertas itu sungguh nirmala; aroma bunga sakura mencuat darinya jua. ⠀⠀ “Ano,” Yura tersenyum, meminta perhatian kedua orang di sana yang masih terkesima, “bolehkah aku menumpang tidur? Akhir-akhir ini badanku lebih lelah dari biasanya. Besok pagi aku akan segera kembali ke rumah.” ⠀⠀ Hibari lekas merapikan pakaian seraya berdiri. “Tentu, Kami-sama!” ⠀⠀ Yura tertawa santun. “Terima kasih banyak.” ⠀⠀ Sesuai perkataannya, siluman rusa merah itu menghilang ketika rawi muncul di ufuk timur. Yoshisada pun tak ingin membuang waktu dan segera bertolak ke istana ‘tuk melanjutkan kabar yang didapatnya. ⠀⠀ “Saya belum membuka surat ini, Yang Mulia,” ungkap Yoshisada. Ia membiarkan Go-Daigo membaca tulisan dari Shinku. Kedua mata sang kaisar lantas berbinar cerah. Raut puas terlukis indah pada paras. Begini isi secarik kertas itu: ⠀⠀ “AKU MENULIS UNTUK NITTA YOSHISADA DAN KAISAR GO-DAIGO. JIKALAU ADA MANUSIA ATAU MAKHLUK LAIN YANG MEMBACA SURAT INI, MAKA JIWA MEREKA AKAN DIKUTUK DENGAN KEMALANGAN YANG BESAR: MENJADI PENGIKUTKU HINGGA DUNIA HANCUR. ⠀⠀ SAAT AIR LAUT BERADA PADA PUNCAKNYA, GERAKAN PRAJURIT-PRAJURIT KALIAN MENUJU WILAYAH TIMUR. HINDARI GOKURAKUJI DAN KEWAIZAKA. SERANGAN DARI DARAT HANYA MENGHASILKAN MALAPETAKA BAGI KALIAN. ⠀⠀ PERGILAH MELALUI LAUT DI SEBELAH BARAT KAMAKURA: SAGAMI. BERDOALAH AGAR DEWA RYŪJIN—SANG PENJAGA TUJUH LAUTAN—MEMBERIKAN KALIAN BERKAH. JANGANLAH LUPA MEMBERIKAN PERSEMBAHAN YANG RUNCING UNTUKNYA. ⠀⠀ KETIKA KALIAN TIBA, SERANGLAH PARA SAMURAI HŌJŌ DENGAN CEPAT. IMBAU SELURUH PRAJURIT KALIAN AGAR TIDAK MENENGOK KE BELAKANG. APAPUN YANG TERJADI. BAKAR KERTAS INI MENGGUNAKAN API DARI KAMAR KAISAR. LARUTKAN ABUNYA DI KOLAM KOI ISTANA.” ⠀⠀ ⠀⠀ Kala Go-Daigo mengikuti instruksi tersebut, api dari lentera yang berwarna kuning keoranyean tiba-tiba berubah biru dan merah. Lantas segera ia berlari ‘tuk menebar abu ke kolam. Tanpa ragu, ikan-ikan melahap hasil bakaran kertas hingga tak ada sisa. ⠀⠀
⠀⠀ 𝐃𝐄𝐁𝐈𝐓 𝐀𝐈𝐑 𝐋𝐀𝐔𝐓 𝐁𝐄𝐑𝐀𝐃𝐀 𝐃𝐈 𝐏𝐔𝐍𝐂𝐀𝐊 tertingginya. Bulan pun bersinar terang sehingga para penduduk merasa takut ‘tuk keluar rumah. Hawa yang tak biasa menyelip di antara relung hati para manusia. ⠀⠀ Nagatoki tahu bahwa perang akan segera terjadi. Setiap pos penjagaannya ditempati hingga sepuluh orang; jumlah yang tak pernah ia duga. ⠀⠀ Di menara pengawas, Kuri mengeratkan penutup wajahnya. Corak keemasan dari sebelah ainnya berkilau. Tak ada satu orang asing pun yang bisa melenggang bebas dari pemantauannya. Meski begitu, ia tak bisa membohongi diri bahwa ada suatu energi besar dari barat yang sedang bangun. ⠀⠀ Di wilayah Kaisar Go-Daigo, Yoshisada menaikki kuda setelah mengenakan atribut samurainya. Lambang kekaisaran bergelantung pada pelana. Dalam diam, ia menarik pedang emasnya dan menghunus ke depan. ⠀⠀ “DEMI KAISAR!” ⠀⠀ “DEMI KAISAR!” ⠀⠀ Suara ribuan prajurit di belakangnya menyeru keras. Mengamini spirit yang memacu adrenalin. ⠀⠀ Seperti petuah dari Shinku, mereka menghindari perbatasan barat dan langsung menuju area barat Kamakura di mana ombak berdebur. ⠀⠀ Teluk Sagami terlihat tenang dan dalam. Akankah Dewa Ryūjin mendengarkan doanya? Yoshisada ragu, tapi ia tetap turun dari kuda, melepaskan helm, dan mendekati air. ⠀⠀ “Dikatakan bahwa penguasa Jepang sejak awal, Amaterasu Ōmikami, yang diabadikan di Ise Jingū, bersembunyi di dalam /Vairocana/ dan muncul sebagai Ryūjin dari lautan biru yang luas. Tuanku, Kaisar Go-Daigo, adalah keturunannya, dan melayang di atas gelombang laut barat karena pemberontak. Aku, Yoshisada, dalam upaya untuk melayani sebagai manusia yang layak, akan mengambil kapan saya dan menghadapi garis musuh. Keinginan itu adalah untuk membantu bangsa dan membawa kesejahteraan bagi rakyat.” ⠀⠀ Dengan kekuatan penuh, Yoshisada melemparkan pedang emasnya ke teluk sebagai persembahan. Hanya barang itulah yang pantas ‘tuk diberika kepada Ryūjin, sang dewa laut. ⠀⠀ Sekitar tiga menit berlalu tiada perubahan terjadi pada air. Para prajurit menjadi gelisah. Apakah doa mereka kurang tulus? ⠀⠀ Ketika keraguan memenuhi dada, buih-buih kecil bergejolak di bibir teluk. Mendorong Yoshisada mundur hingga menyentuh kudanya. Dewa Ryūjin menunjukkan kekuatannya. ⠀⠀ Air terbelah menjadi dua sisi. Jalan setapak menuju Kamakura akhirnya terbuka. Dengan sora sukacita, pasukan Kaisar Go-Daigo melanjutkan perjalanan dengan Yoshisada sebagai pemimpin. ⠀⠀
⠀⠀ 𝐊𝐔𝐑𝐈 𝐌𝐄𝐍𝐆𝐆𝐄𝐍𝐆𝐆𝐀𝐌 𝐀𝐍𝐆𝐈𝐍. 𝐒𝐄𝐒𝐔𝐀𝐓𝐔 𝐁𝐄𝐍𝐀𝐑-𝐁𝐄𝐍𝐀𝐑 menuju ke wilayah para Hōjō. Dalam sekali lompatan, pria itu meloncat dari satu atap ke atap lainnya. Begitu ringan layaknya bulu. ⠀⠀ “Kuri!” seru Nagatoki saat bertemu pandang dengannya. ⠀⠀ “Tentara Kaisar Go-Daigo tengah menuju ke sini. Aku akan mengomando anak buahku di garda kedua.” ⠀⠀ “Berapa banyak prajurit manusia yang kau butuhkan?” ⠀⠀ Kuri mengerutkan ruang di antara alisnya. Ia mencoba menaksir jumlah. ⠀⠀ “Berikan seribu pasukanmu. Kali ini Kaisar Go-Daigo membawa banyak samurai—dan mungkin yang lainnya.” ⠀⠀ Setelah berujar, Kuri pesat menghilang. Dirinya tak tahu bahwa kalimat itu membuat Nagatoki syok, terkejut, dan takut. Apakah Kaisar Go-Daigo sudah mengetahui rahasianya? ⠀⠀ “Ibu ....” ⠀⠀ Rengek anak kecil di setiap rumah mulai terdengar ketika lonceng perang berbunyi. Teriakan dan tangis menyusul tatkala para suami, ayah, dan saudara laki-laki dipaksa turun ke medan pembantaian. ⠀⠀ “Buka tenda medis! Kerahkan anak-anak agar diam di gedung sekolah. Ambil para wanita untuk memasak dan merawat tentara yang terluka!” ⠀⠀ Kamakura siaga. Setiap rumah dikosongkan dan kegiatan dagang lenyap. Kesunyian itu nyata saat matahari menyapa. Hanya posko perang yang ramai dengan para pimpinan regu saling berdiskusi. ⠀⠀ Dua puluh kilometer dari Kamakura, pasukan Yoshisada bersembunyi di antara rimbun pohon dan belukar. Sebagaimana Hōjō, mereka pun berdialog mengenai strategi penyerangan. ⠀⠀ “Kado, timmu menyerang dari sayap kiri. Lalu, Giichi dari sayap kanan. Joben, kau bersamaku. Sadatake, pastikan kelompok pemanah kokoh.” ⠀⠀ “Dimengerti, Yoshisada-sama!” ⠀⠀Langit mulai diwarnai pastel. Yoshisada menikmati kinerja para dewa sejenak sebelum menoleh pasukannya yang sudah siap berperang. Orang-orang ini berharga bagi keluarga mereka dan bangsa. ⠀⠀ “Apapun hasilnya, aku senang bisa bertempur bersama kalian.” ⠀⠀ Suasana haru seketika mendominasi. Namun, mereka menahan air mata, dan membungkuk penuh hormat kepada Yoshisada. Mengabdikan diri seutuhnya agar kerajaan mendapat wijaya. Mati adalah taruhan utama dan mereka sudah siap ‘tuk probabilitas tersebut. ⠀⠀ Kuri menyipitkan mata. Aroma darah ribuan manusia menusuk hidungnya; mereka mulai datang. “Nyalakan lentera dan tutup gerbang utama,” tuturnya. ⠀⠀ Tanpa menunggu respons penjaga, ia berlari menuju posko pusat. Kakinya berhenti tatkala menemukan Nagatoki sedang meneguk sake bersama para jenderal dan beberapa wanita. ⠀⠀ “Kuatkan pasukanmu di sayap kanan dan di sayap kiri. Mereka akan menyerang kuat pada seluruh sudut,” ujarnya. ⠀⠀ “Norio! Kerahkan mereka yang menjaga kota agar ke bagian kiri dan kanan!” ⠀⠀ “/Ha’i/, Kamakura-dono!” ⠀⠀ “Mereka akan menyerang saat malam. Bukankah ini keuntungan besar?” tanya Nagatoki sembari menyeringai. ⠀⠀ Kuri mengobservasi sang tuan. Rupanya ia lupa atas apa yang diucapkannya tempo hari. Sepertinya karena pengaruh alkohol. ⠀⠀ “Kira-kira begitulah.” ⠀⠀ Temaram dan kabut hasil pembakaran obor serta api unggun membuat suasana semakin mencekam. Kuri mengawasi pasukannya satu per satu. Sebagian dari mereka tampak kurang sehat. Rupanya sesi makan beberapa hari silam belum mampu memenuhi energi mereka. ⠀⠀ Nagatoki selalu memerintahkan Kuri ‘tuk mencetak mesin pembunuh baru setiap bulannya; sedangkan jumlah makanan semakin berkurang. Manusia memiliki keterbatasan reproduksi. Menggunakan binatang sebagi sumber tenaga pun tak maksimal. Darah manusia, terutama yang masih muda, adalah kelas premium yang tiada lawan. ⠀⠀ “Lapar ... lapar ....” ⠀⠀ “Aku tahu. Sebentar lagi kalian bisa makan. Berterima kasihlah kepada Kaisar Go-Daigo yang murah hati membawakan hidangan,” ucap Kuri lalu memandangi pepohonan tajam. ⠀⠀ Satu kirana api melesat cepat. Detik berikutnya menjadi puluhan. Pasukan Yoshisada memulai serangan mereka. ⠀⠀ Terompet perang dikumandangkan pengawas menara, mengisyaratkan agar para serdadu ‘tuk menyerang. Maka mereka berlari sembari memegang katana menebas setiap panah api sebelum berhadapan dengan musuh. ⠀⠀ Akhirnya katana saling beradu; sedangkan para pemanah memacu kuda menuju sisi selanjutnya. Perang dimulai. ⠀⠀ “Apapun yang terjadi, jangan pernah menengok ke belakang!” seru Kado sembari mendorong katananya lalu menebas leher prajurit Hōjō. ⠀⠀ Di gerbang utama, pertumpahan darah jua berlangsung. Joben melemparkan shurikennya sebagai pengalihan ketika Yoshisada menebas setiap lawan. Dia tak tahu cara menjelaskan perasaan ini, tapi keberanian yang luar biasa muncul dari dada; menyuruhnya terus maju. ⠀⠀ “Gerbang utama akan hancur!” seru pengawas lalu turun dari poskonya. Ia ikut berperang. ⠀⠀ Para jenderal Kamakura, termasuk Nagatoki, menggunakan perlengkapan tempur mereka. Mereka tak menduga pasuka Kaisar Go-Daigo kali ini begitu kuat. Jika sudah begini, maka tentara istimewa pun akan memulai aksi mereka. ⠀⠀ “Bersiap,” ujar Kuri. Di belakangnya terdapat seratus makhkul penghisap darah hasil kreasinya. Mereka dulunya ialah manusia yang ditorehkan racun. Ketahuilah tak semua kaum Kuri memiliki benda itu. Dirinya beruntung. ⠀⠀ Kala gerbang terbuka, Kuri menaikkan tangannya dan serdadu berpencar ke penjuru kota. ⠀⠀ “Semua! Serang!” seru Giichi saat melihat pasukan baru berlari lincah. Ini sungguh aneh, mereka tak serupa samurai sebelumnya. ⠀⠀ Teriakan memekik dari prajuritnya membuat Giichi ternganga. Mereka datang tanpa senjata dan hanya bermodalkan gigi. Giichi belum pernah melihat tipe prajurit seperti itu; mengisap kering darah lawannya dan membuang mayat mereka seolah kantong makanan tanpa arti. Mereka ini—apa? ⠀⠀ Lima menit berlalu, pasukan Kaisar Go-Daigo tertatih-tatih berkumpul. Dari ribuan insan, mereka kini tersisa kurang dari seratus. Berbanding jauh dengan prajurit keshogunan Kamakura, terlebih di antaranya bukan manusia. ⠀⠀ Yoshisada menggenggam kapak erat. Darah hitam bercucuran dari pinggiran pisaunya; ia telah menebas tujuh kepala /anak/ Kuri. ⠀⠀ “Oh, ternyata Nitta-san,” kata Nagatoki. Di sampingnya Kuri berdiri sembari memegang pedang. ⠀⠀ “Itukah tentara gelapmu?” ⠀⠀ “Butuh sembilan generasi agar sang kaisar sadar? Bodoh. Bagaimana mungkin aku merelakan diri diperintah seseorang yang lamban?” ⠀⠀ “Jaga mulut sialanmu,” ujar Joben. ⠀⠀ “Anjing harusnya diam saja.” Nagatoki tersenyum meledek. “Sudahlah. Kalian ditakdirkan kalah. Sebagaimana para pendahulu yang mati terhormat. Kuri, habisi mereka. Jangan sampai ada yang lolos.” ⠀⠀ Kepala pria itu mengangguk. “Hancurkan!” ⠀⠀ Serdadu istimewa berlari menuju pasukan Kaisar Go-Daigo. Mereka menganga, menunjukkan taring, dan meloncat ‘tuk menerkam. ⠀⠀ Joben, Yoshisada, Giichi, dan Sadatake mengeratkan barisan bersama prajurit lainnya. Mereka membentuk benteng pertahanan; siap menebas makhluk-makhluk pengisap darah sialan itu. ⠀⠀ Nagatoki yang tertawa sebab merasa kemenangan telah berada di sisinya tiba-tiba bergeming. Kepala tentaranya ajaib penggal; bergelimpangan di jalan terpisah dengan tubuh. ⠀⠀ Dari belakang kelompok Yoshisada, segerombol wanita bertopi memegang lentera. Kiranya ada ratusan dari mereka dan parasnya tak visibel karena kain hitam yang menutupi. ⠀⠀ “Shinku-dono tiba ... Shinku-dono tiba ... Shinku-dono tiba ....” ⠀⠀ “Kalian bersekutu dengan para makhluk kegelapan juga, hah?” tanya Nagatoki geram. “Kuri, katakan bahwa kau lebih kuat dibandingkan mereka! Ku... Ku-ri! Kenapa kau diam?!” ⠀⠀ “Selamat malam.” ⠀⠀ Azuma melangkah di antara mayat begitu leluasa. Ketika bertatap mata dengan Yoshisada, ia menyuruh pasukan itu ke pinggir. Walhasil, mereka mematuhi ujaran sang pria tanpa protes. Sebagian yang mengikuti perjalanan ke Gunung Fuji sudah mengetahui identitas dirinya. ⠀⠀ “Biarkan saya persembahkan kepada Anda, penjaga Fuji-san—gerbang antara bumi dan surga—keturunan Ōhirume-no-muchi-no-kami dan Yamata no Orochi; Dewi Matahari jua Alam Semesta dan Ular dari Koshi, SHINKU-DONO.” ⠀⠀ Dengan raut datar dan tak tertarik atas perperangan yang terjadi, Azuma berkumpul bersama gerombolan Kaisar Go-Daigo. Matanya melirik tajam pada sisa tentara gelap Hōjō; ‘aku-bisa-membunuh-kalian-di-waktu-yang-sama’, begitulah makna tatapannya. ⠀⠀“Omong kosong macam apa ini?!” teriak Nagatoki sambil menatap Kuri bengis. ⠀⠀ Pria itu melepaskan helmnya dan menurunkan kain penutup wajah. Ia membuang pedangnya lalu menatap ke depan. Memandangi gemerlap bulan yang semakin terang karena jalan baginya telah terbuka. ⠀⠀ Di langit, sosok transparan bersurai selegam malam dengan aksen putih berkilau pada beberapa helainya menuruni tangga dari kumpulan bunga sakura. Perlahan wujudnya sempurna dan Yoshisada menemukan manik familiar yang seindah buah ceri musim dingin. Namun, ia tak datang sendirian. Seekor burung bangau, rusa merah, harimau putih, dan rubah merah mengikuti. Ketika menginjak bumi, mereka berubah menjadi empat sosok wanita berparas jelita. Masing-masing memegang kipas dan mengamati para Hōjō begitu dingin. ⠀⠀ “Berlutut.” ⠀⠀ Maka berlututlah setiap makhluk yang ada di sana tanpa terkecuali. ⠀⠀ “Sialan,” ujar Nagatoki sambil memukul-mukul kakinya. ⠀⠀ “Hōjō Nagatoki. Kau kalah. Jepang akan dikuasai oleh Kaisar Go-Daigo sejak malam ini hingga seterusnya. Seluruh keturunanmu harus mematuhi mandat ini.” ⠀⠀ “Siapa yang memberikanmu wewenang?!” ⠀⠀ “Amaterasu. Ia juga berkata andai kau tidak mendengarkan kebijakan ini, maka aku boleh menghabisi seluruh keturunanmu. Percayalah aku sangat profesional dalam urusan itu.” ⠀⠀ Nagatoki menyorot jijik dan benci kepada Shinku. Ia tak akan membiarkan warisan keluarganya dihancurkan semudah ini bahkan oleh para Tuhan. ⠀⠀ “Aku bisa membaca pikiranmu.” ⠀⠀ Shinku menjulurkan tangan, menunjukkan kuku-kuku tajamnya lalu menunjuk kumpulan tentara gelap Hōjō. Bibirnya bersiul, membuat mereka mengerang kesakitan di tanah. Darah mengalir dari mulut mereka sebelum sukma hilang dari raga. ⠀⠀ Pemandangan ini seperti kejadian di Gunung Fuji. Lidah yang terjulur dan mata hampa. Namun, orang itu, Kuri? Ia hanya terengah-engah dan Azuma tak bereaksi sama sekali. ⠀⠀ “Keluargamu tinggal di rumah besar itu,” kata Shinku. “Kalian tidak ada bedanya. Keshogunan pun kekaisaran. Hancur.” ⠀⠀ Lentera-lentera yang dipegang para pelayan melesat menuju kediaman Hōjō. Mereka membakar seluruh sisi bangunan itu menggunakan api biru. ⠀⠀ Nagatoki berteriak. Urat lehernya visibel, mungkin akan putus tak lama lagi. Dia lalu berdiri, tapi tak mampu. Menggunakan kedua tangan, diseretnya jisim menuju Shinku. Begitu keras ia menarik juluran kimono sang /dewa/ lalu mengayunkan katana kepadanya. ⠀⠀ “Manusia dungu,” ucap Shinku lalu mencekik leher Nagatoki. “Darah tirani sepertimu selalu pahit. Terlalu banyak dosa.” ⠀⠀ “Kau ... s-sialan ....” ⠀⠀ Adegan selanjutnya terlalu mengerikan bagi antek Nagatoki. Tuan mereka dikoyak lehernya menggunakan taring. Dagingnya yang robek bergelantungan, darah muncrat dari trakea, dan bola mata terbalik. ⠀⠀ “Bau sekali,” komentar Sukey sembari menutupi hidung. ⠀⠀ “Jiwanya busuk,” tambah Tama datar. ⠀⠀ Jasad Nagatoki dilempar ke tumpukan sampah. Shinku kemudian menyeka bibirnya menggunakan sapu tangan dari balik kimono. ⠀⠀ “A!” seru Yura tertahan. “Aku merajut sapu tangan itu.” ⠀⠀ Konami mengusap punggung Yura yang kini sedikit tersedu. “Atta~ Yu-chan, jangan terlalu dipikirkan. Kau bisa merajut sapu tangan lainnya.” ⠀⠀ “Kau harusnya mengkhawatirkan hal lain.” Tama mengusap perut Yura. ⠀⠀ Sukey menggerak-gerakkan sembilan ekornya lalu membiarkan satu mengusap kepala Yura. ⠀⠀ Yoshisada menemukan pemandangan itu—unik. Tentu ia tahu si Rusa Merah, tapi yang lain asing baginya. ⠀⠀ “Mereka adalah istri Shinku-dono,” kata Azuma. ⠀⠀ “Bisakah Anda tidak membaca pikiran saya?” ⠀⠀ Kilat merah netra Shinku berubah semakin gelap tatkala sesosok ular putih keluar dari kediaman Hōjō. Saat dia mendekat, wujudnya berubah menjadi seorang wanita muda yang tak kalah jelitanya. ⠀⠀ “Istri pertama, tapi hubungannya rumit.” ⠀⠀ Yoshisada mengembuskan napas. “Tolong jangan baca pikiran saya, Azuma-sama.” ⠀⠀ Kuri berdiri lalu berlari ke arah wanita itu. Ia bersembunyi sembari menundukkan kepala. ⠀⠀ “Apakah ini reuni keluarga? Menyenangkan sekali. Bukankah ini mengingatkanmu dengan masa lalu, Shinku-dono? Ah, menghancurkan satu desa ke desa lainnya. Meneguk darah manusia tanpa henti. Kita dulu begitu kuat. Bahkan penduduk langit takut. Tapi, selalu harus ada orang yang mengacaukan kesenangan itu. Seperti Amaterasu.” ⠀⠀ “Menggunakan keserakahan manusia. Strategimu berkembang pesat, Kumiko.” ⠀⠀ “Setiap kali kau menyebut namaku, rasanya aku ingin mencabik tubuhmu.” ⠀⠀ “Kau selalu mengatakan itu, tapi tidak jua melakukannya.” ⠀⠀Kumiko mengepal kedua tangannya seraya menyorot figur Shinku penuh kebencian. Seumur hidupnya, penghinaan yang pria itu lakukan tak akan pernah ia lupakan. ⠀⠀ “Malam ini kau akan mati di tanganku,” geramnya. “Kuri, menjauhlah. Ibu akan menghabisi bajingan ini.” ⠀⠀ Shinku menaikkan tangannya, merapal mantra lalu lenyap bersama Kumiko. Azuma langsung berdiri dan air wajahnya panik. Hal itu buruk. ⠀⠀ “Yoshisada. Selamat atas kemenanganmu,” ujarnya cepat. ⠀⠀ Pria bermanik kuning kemerahan itu kemudian membuka jalan setapak menggunakan cahaya bulan. Tanpa kata, para nyonya segera berlari ‘tuk menyusul suami mereka diekori pelayan-pelayan yang tak memiliki emosi. ⠀⠀ “Kuri, kau juga,” kata Azuma tegas. Romannya serius dan gusar. ⠀⠀
⠀⠀ 𝐊𝐄𝐋𝐎𝐏𝐀𝐊 𝐁𝐔𝐍𝐆𝐀 𝐒𝐀𝐊𝐔𝐑𝐀 berguguran ketika angin bertiup keras. Sosok Shinku berdiri di atas permukaan air sembari mengamati Kumiko di antara hamparan bunga. ⠀⠀ “Lima ratus tahun aku meninggalkan tempat ini, tak banyak berubah, ya? Apakah para istrimu itu tidak kreatif?” ⠀⠀ “Serahkan dirimu,” kata Shinku tenang. ⠀⠀ “Tidak! Aku begitu bebas dan bahagia. Kau tidak mengerti. Kau tidak pernah mau mengerti! Kau memiliki darah dewa. Aku tidak. Kita berbeda. Kau tidak akan mengerti.” ⠀⠀ Kumiko menggenggam kimononya erat. ⠀⠀ “Penderitaan manusia adalah kebahagiaanku. Melihat mereka hancur dan terluka terus membuatku hidup. Bukankah dulu kau merasakan hal yang sama? Banyak nyawa hilang di tangan dan bibirmu. Ingat rasanya.” ⠀⠀ “Kau melupakan peristiwa seribu tahun silam.” Shinku menatap Kumiko lekat. “Di pinggir laut kelima, kau kehabisan darah setelah bertarung dengan Hachiman. Kaburkah memori itu dari kepalamu bahwa kau hampir mati jika bukan karena Amaterasu bermurah hati kepadamu? Sebagai imbalannya, ia meminta kita untuk menjaga Fuji-san, berhenti membuat kekacauan di bumi, dan menyembahnya selama empat ribu tahun. Aku sangat takut kehilanganmu pada saat itu. Hanya kau yang aku miliki setelah Susanoo-no-Mikoto membunuh Yamato no Orochi, Ayahku. Dan kau ... kau tidak mampu berpuasa dari kemalangan manusia. Haruskah kau hancurkan satu desa begitu bengis? Menggantung mayat para penduduk dan membiarkan anak-anak mereka menyaksikan kegilaanmu? Kau bahkan merobohkan kuil Suijin dan melukainya. Selapar itukah dirimu?” ⠀⠀ Kumiko melesat menuju Shinku. Kilat sakit hati terpancar dari obsidian merahnya. ⠀⠀ “Aku selapar itu. Kehidupan sebagai penjaga Fuji-san sungguh membosankan. Setiap hari aku harus berdoa, berdoa, dan berdoa untuk menebus kesalahan. Lalu apa yang aku dapatkan? Kebun bunga sialan dan menyaksikan para dewi membuang harga diri mereka di hadapanmu? Dulu kau hanya milikku. Sekarang, heh, kau milik Amaterasu, Fuji-san, istri-istrimu, dan manusia juga? Tidak ada tempat untukku.” ⠀⠀ Roman Shinku melunak. Ia meneliti paras Kumiko ‘tuk mencari penebusan. Namun, wanita itu tak menyesali perbuatannya. ⠀⠀ “Kumohon serahkan dirimu.” ⠀⠀ “Dan dikurung dalam penjara Amaterasu? Terima kasih banyak. Aku memilih kematian.” ⠀⠀ Manik Kumiko berubah seperti obsidian ular. Bentuk jasmaninya pun kini seutuhnya hewan tersebut. ⠀⠀ “AKU AKAN MENGHABISIMU.” ⠀⠀ Percikan api biru dan merah berkobar di sekitar Shinku. Sebuah pedang bernama Kusanagi-no-Tsurugi turut muncul di antaranya. ⠀⠀ Ketika Kumiko memulai serangan, Shinku berlari sembari melepaskan kimono luarannya yang bergerak menjadi kendaraan ‘tuk membawa diri sejajar dengan manik sang wanita. Jika kalian membayangkan seekor ular putih berukuran sedang, maka kalian salah. Tingginya melebihi bulan kolosal dan lidah terus mendesis menyalurkan amarah. ⠀⠀ “GUNAKAN WUJUD ASLIMU.” ⠀⠀ Shinku tak mengindahkan ucapan-ucapan Kumiko. Ia terus menangkal serangan yang diberikan ekor sembari terus berusaha mendekati wajah sang nyonya. ⠀⠀ Pertarungan itu disaksikan Azuma, Nao, Kuri, dan para nyonya di halaman istana. Meski mereka berada di lokasi yang sama, Shinku telah membangun dimensinya sendiri ‘tuk menghalau kehancuran riil. ⠀⠀ Kumiko melesatkan wajah sembari membuka mulut; dirinya ingin meneguk Shinku. Namun, hal itu dimanfaatkan sang tuan. Alih-alih menjadi santapan, Shinku menancapkan Kusanagi pada pinggiran pipi Kumiko dan mengayunkan tubuh agar mendarat di atas kepalanya. ⠀⠀ Dengan keras Kumiko menggerakkan kepala ke kiri lalu ke kanan berharap Shinku jatuh. Ia mendesis nyaring lalu melemparkan ekornya melewati kepala. ⠀⠀ Kendati demikian, Kumiko membatu. Ekornya digenggam ular biru berbentuk cakra. “KAU KEPARAT! KEPARAT! KEPARAT!” ⠀⠀ Seolah penahanan itu tak cukup, Shinku meletakkan telapak tangannya pada dahi Kumiko kemudian mengucap beberapa kata. Jeritan menyayat hati lantas datang dari sang nyonya. Sukey, Tama, Yura, dan Konami serempak menutup telinga; mereka menangis tersedu mendengar suara itu. ⠀⠀ “Ibu... Ibu... Ibu ... Ibu!” Kuri berlari menuju Shinku dan Kumiko, tetapi terpental. Tubuhnya ditangkap Azuma dan Nao. Mereka melarang pria itu bergerak. ⠀⠀Kala jeritan menjadi senyap, Shinku mencabut pedangnya, dan meloncat. Kedua kakinya mendarat di atas danau lalu tangan menyambut tubuh Kumiko yang berwujud manusia. ⠀⠀ Sebuah batu permata putih melayang segera digenggam Shinku. Kumiko menatap objek itu nanar. Matanya terasa panas lalu bulir air mata mengalir deras. ⠀⠀ Perlahan kedua kaki Shinku turun, membiarkan tubuh lemah Kumiko beristirahat dalam pelukannya. Luka pada pipi wanita itu kemudian dijilatnya hingga kering. ⠀⠀ “Kenapa?” tanya Kumiko parau. ⠀⠀ “Beristirahatlah dengan tenang lalu bereinkarnasilah sebagai manusia. Hidup dengan damai dan lupakan penderitaan di kehidupan sebelumnya.” ⠀⠀ Kumiko kembali menjerit, air matanya tak mau berhenti mengalir, dan badannya bergetar. Ia mengutuk Shinku. Sangat mengutuknya. ⠀⠀ “Maafkan aku,” lanjut Shinku. “Maafkan aku.” ⠀⠀ “Tanganku,” ujar Kumiko. “Letakkan pada wajahmu.” ⠀⠀ Shinku bergeming. Ia tahu apa yang akan wanita itu perbuat. ⠀⠀ “Biarkan aku mengingatmu.” ⠀⠀ “Tidak.” ⠀⠀ “Aku mohon.” ⠀⠀ “Tidak. Itu tugasku.” ⠀⠀ Kumiko membuka mulut. Dadanya sesak sehingga sulit bernapas. Menggunakan energi terakhirnya, ia menggenggam tangan Shinku sebelum berlayar ke dunia roh. ⠀⠀ Permukaan danau membuat ombak kecil ketika buliran air mata Shinku jatuh; membentuk mutiara berkilau pelangi. Begitu cantik dan menyedihkan.
⠀⠀ 𝐋𝐄𝐌𝐁𝐀𝐑𝐀𝐍 𝐊𝐈𝐓𝐀𝐁 𝐃𝐈𝐁𝐀𝐂𝐀 𝐒𝐀𝐊𝐒𝐀𝐌𝐀. Kuri terus merapal kalimat yang tertulis di sana berulang kali. Di hadapannya, Amaterasu mengamati sambil mengoreksi kesalahan. ⠀⠀ “Terima kasih, Amaterasu,” ucap Kuri ketika sesi belajar berakhir. ⠀⠀ “Sama-sama.” ⠀⠀ Kuri tersenyum lalu memandangi bukunya. “Saya memiliki pertanyaan.” ⠀⠀ “Aku tahu.” ⠀⠀ Kepala pria itu terangkat. “Kalau begitu, apakah Anda akan menjawabnya?” ⠀⠀ “Aku menghukum Ayah dan Ibumu selama empat ribu tahun. Setelah mereka menyelesaikan masa itu, mereka boleh meninggalkan Fuji-san dan hidup damai di bumi. Namun, Ibumu mengkhianati sumpahnya dan malapetaka terjadi. Awalnya, aku akan menghukum Ibumu selama sepuluh ribu tahun di tempat paling mengerikan dan kau akan kukurung kawah Fuji-san selama lima ribu tahun.”
⠀⠀ “𝐊𝐀𝐔 𝐌𝐀𝐒𝐈𝐇 𝐌𝐄𝐌𝐈𝐍𝐓𝐀 keringanan untuk mereka? Jelas aku terlalu murah hati kepadamu, Shinku.” ⠀⠀ “Maafkan kelancangan saya.” ⠀⠀ “Aku tidak bisa meringankan sanksi untuk Kumiko. Wanita itu terlalu banyak melakukan kemungkaran.” ⠀⠀ “Maksud Anda, hukuman bagi Kuri bisa dipertimbangkan?” ⠀⠀ “Apa yang bisa kau tawarkan sebagai gantinya?” ⠀⠀ Shinku menundukkan kepalanya di hadapan Amaterasu. “Kesetiaan saya. Seumur hidup, saya akan menyembah Anda dan menjaga Fuji-san. Hanya itu yang bisa saya berikan kepada Anda.”
⠀⠀ “𝐀𝐊𝐔 𝐑𝐀𝐒𝐀 𝐃𝐈 𝐌𝐀𝐍𝐀 𝐒𝐀𝐉𝐀, orang tua selalu lemah ketika berbicara ihwal anak mereka. Ayahmu pun sama, Kuri.” ⠀⠀ Dengan punggung lengannya, Kuri mengusap air mata sembari terisak. Ia sebenarnya tahu Shinku tak pernah /membuangnya/ seperti apa yang Kumiko bilang. Namun, sewaktu melihat Ibunya diusir, Kuri tak bisa berpikir jernih. Memilih antara mereka adalah perkara rumit; ia terjebak di antara kepentingan keduanya. Walhasil, Kuri dengan segala kebingungannya pergi bersama Kumiko. ⠀⠀ Teriakkan Shinku yang terus memanggil namanya bahkan di bibir Gunung Fuji tak jua meredakan kegalauan hati Kuri. Oh, dia pun tahu bahwa sang ayah tak bisa sesuka hati keluar dari sana atau Raijin akan menyambarnya. Bahkan ketika ia pergi bersama Kumiko, langit di atas Fuji-san tak pernah segelap dan semenakutkan waktu itu. ⠀⠀ Tungkai kaki Kuri melangkah lesu menjejaki tangga menuju /rumah/. Terkadang dirinya masih merasa asing. Padahal, ia meninggalkan tempat ini hanya untuk lima ratus tahun. ⠀⠀ “Harimu berat?” ⠀⠀ Kuri terlonjak hingga buku-bukunya hampir terjatuh. Shinku berdiri sembari mengisap cerutu. Di sampingnya tampak Yura tersenyum ramah. ⠀⠀ Kilauan emas surai pria itu mengingatkannya dengan cahaya yang dipancarkan Amaterasu. Shinku mode perang dan di kehidupan sehari-hari memiliki penampilan berbeda. ⠀⠀ “Tidak,” ujar Kuri sambil mendekat. ⠀⠀ “Apakah kau sudah makan, Kuri-chan?” Yura mengusap kepala sang adam. ⠀⠀ Hangat. Terasa hangat. ⠀⠀ “Belum.” ⠀⠀ Kuri menatap malu. Dalam perhitungan rasnya, ia masihlah seorang remaja. ⠀⠀ “Kalau begitu, ayo makan! Aku hari ini memasak sesuatu yang lezat. Sebenarnya kami menunggu kedatanganmu, lho!” ⠀⠀ Yura merangkul Kuri lalu melangkah bersamanya. Ah, wanita itu terlalu hangat. Apakah karena perutnya yang sedikit besar? Kuri bisa merasakan kehidupan baru di sana. ⠀⠀ “Terima kasih, Yura-sama. Oh ....” ⠀⠀ Kepala Kuri menoleh ke belakang. Shinku masih mengisap cerutu; mata memandangi kumpulan binatang di hamparan bunga. ⠀⠀ “Ayah,” panggilnya bergetar sembari mencengkram buku. “Ayo makan.” ⠀⠀ Ada keheningan dua detik sebelum Shinku membuka mulut lalu berkata, “Ayo.”
0 notes
Text
Performances From 2018 MBC Plus X Genie Music Awards
수연 | Published November 11th, 2018
Many of the year’s most popular Korean artists performed at the 2018 MBC Plus X Genie Music Awards!
The event was held on November 6 at Namdong Gymnasium in Incheon. Performers included BTS, TWICE, Wanna One, Charlie Puth, Celeb Five, Akane Kikaku, Vibe, Ben, and Generations. The show featured 3D augmented reality graphics on performances such as the collaboration between Charlie Puth and BTS, as well as Wanna One’s performance, and it also included TWICE’s first television performance of their new song “YES or YES.”
Check out the full list of winners here, and watch many of the performances below!
BTS and Charlie Puth – “We Don’t Talk Anymore” and “Fake Love”
youtube
YELLOW is BTS / BLUE is other group/solo artist
Charlie Puth – “See You Again”
Vibe and Ben – “I Can’t,” “Love, ing,” and “Please Come Back Again”
TWICE – “Heart Shaker,” “What Is Love,” and “Dance the Night Away”
TWICE – “YES or YES”
Wanna One – Performance Medley by New Units, “Light,” and “Beautiful”
BTS – “Save Me,” “I’m Fine,” and “IDOL”
What was your favorite performance of the night?
#KPOP#BTS#bangtan#bangtanboys#bangtansonyeondan#kim namjoon#kim seokjin#min yoongi#jung hoseok#park jimin#kim taehyung#jeon jungkook#A.R.M.Y#Big Hit Entertainment#Love Yourself: Her#Love Youself: Tear#Love Yourself: Answer#Beyond The Scene#Like#Follow#btsfanpage#hiphop#Seoul#Korea#LOVE#cute#music#dance#BTS News Letter#BTS Weekly News Letter
0 notes