#5ccday1
Explore tagged Tumblr posts
Text
Secondary Option
“Kalau kamu cuma jadiin aku back up plan kamu, mending kita akhiri aja semua. Berhenti menghubungiku!” - aku mematikan teleponnya.
Rasanya hari ini lelah banget, emosiku terkuras gegara pria tidak jelas itu. Hari ini ada janjinya yang dibatalkan lagi gegara sepupu wanitanya butuh bantuannya, dan ini udah yang kesekian kalinya. Awalnya aku berusaha menerima sepupunya, mengganggap mereka sebatas saudara. Aku bersikap biasa dan menganggap si saudara sepupu yang memang sepantaran denganku sebagai temanku juga.
Namun, belakangan aku sadar ada yang berbeda, ditambah seiring dengan bertambahnya pemahamanku, kalau saudara sepupu itu bukan termasuk muhrim, bisa saja mereka menikah.
Malam harinya, dia menghampiriku, membawakanku dark coklat dan sate padang Ajo yang menjadi langganan kami. Dia menatapku dan menjelaskan semua. Aku luluh, dan selalu bisa meredakan emosiku. Matanya teduh, suaranya lembut, dan wajahnya yang selalu aku rindukan. Lagi-lagi aku lupa kesalahannya. Aku lupa kalau dia udah batalkan 3 kali janji dalam minggu ini.
Besoknya kami berencana menonton konser. Inget banget perjuangan saat “war ticket” untuk nonton idola kami. Aku ga sabar banget nikmatin konser ini. Kebayang nyanyiin lagu favorit kami ketika lagi jalan di mobil, dan sejenak lupain deadline tugas kuliah yang naudzubillah.
Ponselku bergetar, ada pesan masuk.
“Dek, aku udah di depan. Kamu ke mobil langsung yaa, jangan lupa kunci kosannya.”
Aku langsung keluar kosan, ngunci pintu dan gerbang, lalu sedikit kaget karena dia tidak sendiri.
“Maaf aku gabisa ikut kamu nonton ya, tiketnya buat Rini aja, kalian nonton berdua ya, kesian nih adik sepupu aku ngefans berat tapi ga kebagian tiket, kamu jagain dia ya, sambil ngelus kepalanya.”
Tetiba kepalaku pusing, dan kemudian aku robek tiketnya, lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Kita putus.
9 notes
·
View notes
Text
Mencintai adalah penerimaan secara utuh. Menerima dengan segala kelebihan dan kekurangan. Kita akan saling melindungi, saling mengisi, saling berbagi dan saling menerima.
Mencintaimu itu, membuat diriku begitu ingin tahu segala hal tentangmu. Bagaimana kabarmu di tempat kerja hari ini? Bagaimana perasaanmu hari ini? Apakah kamu juga memendam keingintahuan yang sama seperti diriku padamu?? Itu juga salah satunya.
Mencintaimu itu penuh drama dan intrik, dramanya ketika aku bertanya 'mau makan apa hari ini?', jawabmu 'terserah' tapi tidak satupun pilihan yang aku berikan menjadi pilihanmu. Intriknya ketika apa yang aku anggap penting hanyalah hal sepele bagimu. Itu membuatku jengkel dan kesal, tapi bagimu biasa saja tuh.
Mencintaimu itu membuat diriku ingin mempersembahkan yang terbaik, penampilan terbaik, tutur kata terbaik dan sikap terbaik ketika sedang bersama. Namun tidak begitu bagimu, kamu hanya ingin aku tampil apa adanya dihadapanmu. Begitu sederhana dan menawan, cukup dengan wajah tanpa riasan sedikitpun, polos dan menggemaskan.
Mencintaimu itu tak bisa dibendung, cinta menuntut perhatian, cinta meminta tatapan hangat dan cinta menginginkan sikap yang nyata.
Sehingga membuatku tersadar, kita akan menemukan kesulitan jika berjauhan dan kita akan mudah menjaga cinta ketika selalu berjumpa dan berdekatan. jangan memaksakan diri menerima seseorang untuk dicintai jika tidak mampu mendampingi raganya atau melepas dan menyambut kepulangannya dalam jangka waktu yang tidak lama. Ya, tidak lama adalah ukuran waktu yang tidak baku bagi setiap orang bukan. Jika tidak mampu, maka rindu akan bekerjasama dengan prasangka untuk menggerus cinta dan menghabisi berat badan dalam sekejapan.
Catatan kecil di tanggal 14 Januari 2020 setelah banyak disunting malam ini. Foto ketika pertama kali kamu ke rumah, 02 Januari 2022.
10 notes
·
View notes
Text
Benarkah keputusanku ini?
Hari itu aku menyaksikan sekelompok burung membelah langit diatas hamparan tanaman hehijauan. Ya kala itu sedang musim panen sepertinya. Pandangan itu ku lihat dari balik kaca gerbong yang akan membawaku ke suatu tempat yang sama sekali tidak aku pikirkan akan ketempat itu. Jiwaku tidak utuh membersamai perjalanan ini. Mataku mulai berkaca-kaca hingga akhirnya menteskan titik demi titik air mata pada surat yang kau berikan saat itu dan juga buah tangan yang kau berikan padaku.
Apakah aku egois untuk mengejar mimpi-mimpiku dengan meninggalkan orang-orang terkasih? Aku rasa iya dan tidak. Entahlah aku pun bingung dengan perasaanku sendiri. Semakin aku resapi rasa ini, semakin sesak dada ini. Aku putuskan untuk menghentikan kekhawatiran yang tak berujung. Aku pun terlelap disandaran bantalku dan akhirnya aku berhasil tidak memikirkan hal itu (untuk sementara).
Tak terasa sampai juga di tempat pemberhentian akhir. Aku harus segera bergegas untuk melanjutkan perjalanan yang masih sangat panjang ini. Saat aku pergi ke tempat dengan minimnya fasilitas, harapanku aku bisa bertahan dengan segala kondisi saat berada di tempat itu. Ada rasa ragu saat mulai melalui hamparan lautan yang entah butuh berapa waktu untuk aku bisa melihat daratan lagi. Apakah keputusanku ini adalah keputusan yang tepat?
Namun raguku mulai memudar saat ku melihat notifikasi di gawaiku yang berisi "Semangat ya, aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Aku percaya kamu pasti bisa melaluinya. Saat kau ragu, khawatir, sedih segeralah selipkan doamu pada Sang Kuasa".
Terima kasih balasku.
9 notes
·
View notes
Text
Di Depan Cermin
Ditatapnya lamat-lamat tubuhnya di depan cermin itu. Belum kering air matanya sisa menangis semalam. Hanya di ruangan inilah dia bebas menumpahkan air mata, saat hanya kesendirian yang menemani. Sebab jika ketahuan kalau dia menangis diam-diam, mereka akan semakin menertawakannya, lebih keras, lebih ganas.
Terbayang olehnya ucapan orang-orang yang ditemuinya beberapa hari yang lalu. "Yang ini beda, ya, sama kakak-kakaknya. Hidungnya pendek, kulitnya legam." "Yang bagus-bagus udah diambil kakak-kakaknya semua, sih."
Deg. Perkataan itu menancap tepat ke jantungnya. Melintas berbagai ingatan sejak dia kecil. Tentang teman SD-nya yang menghasut teman lainnya agar tidak mau berteman dengannya karena warna kulitnya yang gelap. Tentang dia yang diolok-olok "kutilang darat", kurus - tinggi - langsing - dada rata. Tentang laki-laki yang kata orang-orang suka dengan perempuan yang cantik, manis, ayu, menawan, yang tidak dia miliki sama sekali kriteria itu. "Tahu diri, dong. Masa sukanya sama idola di sekolah. Harusnya, kan, laki-laki yang lebih gelap warna kulitnya daripada perempuannya. Bukan sebaliknya. Nggak cocoklah."
Terbayang juga olehnya bahwa setiap pulang, yang ditanya keluarganya bukan soal masalah apa yang dia temui, apakah dia bahagia atau tidak. Sering kali, pertanyaan mereka justru makin membuatnya ingin menciut, menghilang ditelan bumi. "Kok sekarang makin jerawatan, sih? Kamu nggak jaga kebersihan diri, ya? Jadi anak gadis tuh yang bener jaga badan." Tidakkah mereka mengerti, ini adalah masalah hormonal, normal. Nanti juga lama-lama hilang. Justru tekanan yang dia dapatkan membuatnya semakin stres, dan jerawatnya semakin menjadi-jadi. Bekas-bekasnya pun semakin jelas, bahkan di kulit wajahnya yang tidak berwarna terang.
Di depan cermin, ditatapnya lagi tubuhnya. Wajahnya yang sendu, hidungnya yang pesek, giginya yang tidak simetris, rambutnya yang acak-acakan bak rambut singa karena menangis semalaman. Lalu, ke tubuhnya yang tidak mencerminkan lekuk tubuh yang ideal. Benar kata orang-orang, dia dapat sisa-sisa. Kualitas tubuh yang bagus dari ayah dan ibunya sudah habis diambil kakak-kakaknya. Siapa bilang anak bungsu itu selalu jadi yang tercantik, terpintar, terbijaksana seperti di dongeng-dongeng yang sering dia baca? Nyatanya, dia hanya mendapatkan sisa-sisa. Benar kata orang-orang, orang cantik itu separuh masalah hidupnya selesai. Sementara orang-orang di bawah standar garis kecantikan seperti dirinya, harus berjuang lebih keras. Sementara sekarang, dia merasa energinya sudah terkuras habis untuk terus berjuang. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi. Bisakah dia bertahan menghadapi semua ini? Persetan omongan orang bijak yang mengatakan bahwa jangan menilai buku dari sampulnya. Toh, pasti mereka melihat sampulnya duluan sebelum melihat isinya. Bahkan, banyak yang lebih peduli dengan sampul daripada isinya. Di depan cermin, dia kembali menangis. Diam-diam, dalam-dalam.
Sumber gambar: unsplash
20230115 Bukan #10HariBercerita
7 notes
·
View notes
Text
Persimpangan 20-an Part #23: Dating Apps
"Haloo"
Itu adalah kalimat andalanku sejak aku memutuskan untuk mengunduh dan menggunakan aplikasi kencan daring yang marak di kalangan teman-temanku. Aku selalu menyapa orang lain dengan kalimat tersebut.
Awalnya sungguh sangat terasa canggung. Tetapi, seperti salah satu penggalan lagu, if we never try how will we know?
Jadilah aku memberanikan diri untuk terjun dalam aplikasi ini. Aku bertekad untuk menjadikan ini sebagai salah satu bagian dari usahaku menemukan teman hidup sampai surga.
Ah, gaya betul sok-sokan bawa surga?!
---
Jujur, aku memutuskan begini bukan tanpa pertimbangan. Mengingat kembali diriku yang kesehariannya hanya berkutat pada pekerjaan, rasanya sulit untuk bisa mengalokasikan diri dan waktu khusus hangout atau sekedar bertemu dengan teman-temanku.
Senin sampai Jumat selalu bekerja dari pagi sampai sore, bahkan tidak jarang aku pulang kantor hampir tengah malam. Sungguh, aku merasa kurang waktu istirahat sehingga akhir pekan selalu kuhabiskan dengan me-time di kamar. Itu kulakukan demi mengisi tangki energiku yang mudah habis saat berkumpul bersama orang lain. Apalagi kumpul-kumpul tanpa tujuan yang jelas.
Seringkali aku berpikir, lantas kalau kehidupanku seperti ini, bagimana caranya aku bisa menjemput teman hidup itu?
Sebetulnya tidak ada yang mendesakku untuk segera menemukan pasangan. Respon orang tuaku terhadap hal ini sangat santai. Katanya, mereka selalu mendoakan yang terbaik dan akan mengikuti bagaimana kesanggupanku dalam menerima orang lain. Di lain sisi, aku pun sadar dengan usiaku yang sudah melebihi seperempat abad beserta karakterku dan kriteriaku yang cukup menantang itu butuh usaha tersendiri untuk bisa menjemput rezeki yang satu ini.
Aku percaya kalau jodoh itu rezeki yang sudah ditentukan. Tetapi, rezeki itu tidak akan datang cuma-cuma kan?
Sebagai manusia, aku merasa harus berusaha juga untuk menjemput dengan cara yang baik. Selain belajar ilmu-ilmu terkait hubungan dengan lawan jenis, parenting, kedewasaan emosional, dan lainnya, aku merasa perlu mempelajari karakter orang ini juga. Orang yang nantinya menjadi salah satu pilihan terbesarku dalam hidup. Lalu, tidak bisa tiba-tiba nanti akan aku terima begitu saja tanpa ada chemistry. Kalau sudah begini, kemungkinannya antara kembali melihat lingkungan terdekat (anggaplah kamu sudah pernah mengenalnya, jadi untuk mengenal lebih dalam tidaklah sesulit dengan orang baru) atau mengenal orang lain yang benar-benar asing.
Untuk kembali melihat lingkungan terdekatku, sejauh ini lebih tidak ada harapan. Semua teman dekatku perempuan dan jumlahnya bisa dihitung hanya dengan satu jemari. Kebanyakan dari mereka juga belum memiliki pasangan. Lagian, manusia itu dinamis. Perubahan itu hal yang wajar dan tidak dapat dihindari. Berapa banyak temanku yang dulunya anak lembaga dakwah dengan 'alimnya, senyumnya yang ramah, tingkah lakunya yang sopan, sekarang sudah berubah menjadi anak bar yang hobinya minum alkohol dan main perempuan?
"Eh kalo lo punya temen cowo yang sekiranya bisa klop sama gue, bisalah dikenalin ya?"
"Ah elu mah boro-boro. Gue aja belom kebagian! Gue dulu lah ahaha"
"Ya semoga ketika gue menemukan seseorang itu, gue inget lo duluan ya, bukan diri gue sendiri. Tapi kemungkinannya kecil sih kaya gitu hahaha"
Lalu, untuk berkenalan dengan orang baru? Why not?
Semenjak aku terjun dalam kegiatan peer support grup di salah satu platform media kesehatan mental, aku menemukan kenyamanan baru dalam berinteraksi dengan orang asing. Bagi sebagian orang, kenalan dengan orang asing yang kita tidak tau kondisi hidupnya dan latar belakangnya seperti apa itu cukup menakutkan. Mungkin, orang-orang yang beranggapan begitu belum tau ya, betapa menyenangkannya saling bertukar cerita dan membicarakan banyak hal secara rinci dengan orang asing tanpa adanya stigma atau anggapan tertentu, yang mengikuti suara mayoritas. Ketulusan orang lain tuh terasa sekali dalam ruang percakapan. Inilah yang mendorong aku untuk lebih berani menghadapi orang asing dengan berbagai macam sikap dan sifatnya di luar sana. Tidak kupungkiri, pasti ada saja yang kelakuannya bikin heran geleng-geleng kepala.
Jadi, keduanya sama aja toh? Sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri.
Tapi aku percaya, kalau aku terus berusaha jadi orang baik, aku akan bertemu orang baik juga dimanapun dan kapanpun. Termasuk dalam kasus dinamika kisah cintaku kali ini.
---
Tidak lama kemudian, aku tidak sengaja menjatuhkan smartphone yang sedang kugenggam. Kaget tiba-tiba benda ini bergetar.
Aku buru-buru mengambilnya untuk memeriksa notifikasi.
Abe sent you a message
Dia adalah Abe, lelaki kesekian yang match denganku. Jika dilihat dari profilnya, dia jauh dari kriteria idamanku.
Eh sebentar. Tidak sebegitunya juga sih, buktinya dia tidak merokok dan tidak pernah minum-minum (berdasarkan profilnya ya, semoga saja dia tidak salah memasukkan informasi).
Hari ini adalah hari ke-9 kita masih terus saling berbalas pesan melalui aplikasi kuning ini. Jujur, ini rekor paling lama untukku sepanjang penggunaan aplikasi!
Entah sampai kapan kita akan bertahan untuk terus melanjutkan kisah, aku tidak mau berekspektasi lebih.
5 notes
·
View notes
Text
Pagi ini, kota Bandung sangat cerah sekali, mentari menyinari kota ini dengan penuh energi semangat, beraktivitas seperti biasa dilakukan diminggu pagi. Berolahraga dengan niat menata hati yang ntah kenapa beberapa hari ini tidak bisa diajak kerjasama. Ini hatiku tetapi kenapa tidak bisa kukendalikan? mungkin ini seperti yang dirasakan ibuku punya anak sendiri tapi tidak bisa diatur, oh yah bu “maaf”. Tapi tau tidak menyembunyikan sesuatu yang membuncah dihati itu sangat menyesakkan, banyak hal yang membuat kamu ketakutan dan khawatir, banyak pertanyaan yang sampai sekarang belum ada jawaban bahkan mungkin tidak ada jawabannya sama sekali dan pada akhirnya membuatmu menangis ketika sendiri dan tertawa ketika bertemu banyak orang. xD
Suatu ketika teman berkata “tau ga her, didekat kamu aku selalu mendapatkan energi positif” aku termenung dan tersenyum, dalam hati aku menjawab “tau ga kamu, seberapa besar aku memendam banyak energi negatif dari diri ini supaya tidak keluar sampai mempengaruhi orang lain” benteng yang kubangun setinggi dan sekeras itu.
Aku harap aku bisa kuat sampai akhir cuerita perjalananku disini. Aku haraaaap
6 notes
·
View notes
Text
RUMAH TEMPAT PULANG
Mei 2022, Pagi yang cerah langit berwarna biru di kelilingi awan putih, Handphone ku berdering cukup keras hingga aku mencari dimana Handphone ku berada, setelah ku temukan Handphone ku, aku angkat telfon dari seseorang perempuan ( tidak kusebut namanya). Rasanya membuat aku penasaran “apa yang akan disampaikan pesan melalui telfon itu?”. Ku dengarkan benar-benar pesan yang disampaiakan perempuan tersebut, aku terkejut dengan pesan yang diutarakan oleh perempuan itu sehingga membuat ku terasa lemas dan tidak tahu harus berbuat apa.
Aku sangat shcok mendengar pesan itu, rasanya semua tubuhku berasa tidak memiliki tulang dan semua keceriaan ku dihari itupun hilang seketika. Aku sendiri takut menghadapi semua ini. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Setelah semua pesan yang diutarakan oleh perempuan itu selesai, aku seketika menutup mintu kamar dan mematika lampu kamar ku disitu aku menangis tanpa henti. Hari itu rasanya aku hancur sekali merasa sudah tidak ada tenaga dan tidak memiliki semangat untuk menjalani aktivitas ku kembali. Seharian aku hanya berdiam didalam kamar sambil menyesali atas perbuatan ku itu, tapi semua sudah terjadi.
Keesokan harinya aku mejalani aktivitas keseharian ku seperti biasa, tapi ada yang berbeda dari biasanya semangat yang setiap pagi muncul sebelum melakukan aktivita itu hilang, aku menjalankan aktivitas terasa sangat hampa. Rasa ketakutan ku bertemu dengan orang-orang, bahkan berbicara dengan rekan kerja membuat saya tidak nyaman. Beberapa hari aku mengalami hal seperti itu, kondisi ku saat itu sangat tidak baik-baik saja. Rasanya sudah hampir satu minggu tetapi kondisi ku tak kunjung membaik, bahkan menjdi lebih parah aku sering murung, nafsu makan ku sempat berkurang dan ketakutanku bertemu orang-orang.
Aku merasa ada yang tidak baik dari diriku. Aku memutuskan untuk konseling dengan dokter spesialis kejiwaan ternyata aku di diagnosa depresi ringan. Rasanya hancur sekali aku menangis tiada henti didalam ruangan itu, sampai aku tidak bisa mengeluarkan satu katapun dari mulut ku, aku hanya bisa menangis. Dokter yang menangani ku memberikan resep obat untuk mengurangi rasa ketakutan yang aku alami, namun aku menolaknya karena aku takut nanti hanya membuat ku menjadi ketergantungan obat-obatan. Aku hanya butuh tempat untuk meluapkan semua isi kepala ku.
Dalam lamunaku, aku tersadar bahwa aku tidak sendiri, aku bersama Allah Swt. Ia akan senantiasa memberikan pertolongan kepada hamba-nya. Aku ambil air wudhu, selepas sholat aku bersujud dihadapanny, ku ceritakan semua permasalahanku kepada-nya, rasanya hati ini menjadi lebih tenang. Semua ketakutan ku dan semua kecemasanku perlahan hilang. Dengan kuasa Allah Swt, aku dipermudahkan dalam menyelesaikan permasalahan ini. Ini bukan suatu kebetulan melainkan takdir ketetapan Allah Swt. Ketika kita telah menyerahkan diri kepada sang penciptanya dan mengikuti ketetapannya, kita sudah menyerahkan kendali hidup kita kepada Allah Swt, merasakan kenikmatan dan kepasrahan yang amat sangat nyaman. Ada hikmah yang aku ambil dari permasalahan yang kualami ini. Aku menjadi lebih dekat dengan sang pencipta.
2 notes
·
View notes
Photo
Tiba-tiba Puti keluar dari dalam kamar menuju dapur, sepertinya ia kelaparan setelah mengurung diri seharian di kamar. Matanya sembab, terlihat jelas kesedihan dari pancaran wajahnya. Laki-laki yg diam-diam ia dambakan ternyata pagi ini mengkhitbah wanita lain yg tidak asing lg baginya, Lia namanya. Walaupun Puti tidak terlalu akrab dengan wanita itu, tp tetap saja rasanya hancur. Bukan, bukan sedih karna Lia yg di khitbah oleh laki-laki idamannya, tp Puti sedih karna ia belum sempat mengutarakan keinginannya mengajak ta'aruf laki-laki itu. "Makan yg banyak nduk, kamu itu dari pagi di kamar terus" Ucap bu Lek Sumi sambil menaruh tempe goreng ke piring Puti. Ya.. sejak SMA, Puti tinggal bersama bu Lek Sumi. Ibu Puti bekerja menjadi TKW di Hongkong, sedangkan Bapak Puti tidak tau kemana perginya sejak ia masih SD. Sekarang ini hanya bu Lek Sumi yg menjadi tempat keluh kesah Puti. "Mas Fariz sudah mengkhitbah wanita lain, bu Lek" Lirih Puti sambil menyuapkan sendok ke mulutnya. "Hidup ini akan terus berjalan walau kamu ga sama orang yg kamu inginkan, Allah paling tau apa yg baik untuk Puti. Bu Lek selalu mendoakan Puti". "Iya bu Lek, Puti gapapa kok, Puti baik-baik saja" Peluk Puti kepada bu Lek. #5CC #5CCday1 #diorama #careerclass #bentangpustaka https://www.instagram.com/p/CnuLeDpylqZ/?igshid=NGJjMDIxMWI=
2 notes
·
View notes
Text
Kegagalan
“Bu, aku gak lolos lagi”
Kalimat pembuka percakapan via telepon ini terasa tak asing bagiku. Satu tahun lalu aku pernah mengatakan hal yang sama kepada orang yang sama pula. Kegagalan itu kembali hadir menyapa takdir. Aku duduk melemas di samping tempat tidur, berusaha menahan aliran air jatuh ke pipi sembari melanjutkan percakapan dengan ibu di seberang. Sungguh luas hati wanita tersayangku ini, tidak ada getar kecewa dalam suaranya. Justru kalimat penyemangat serta permintaan sabar yang disampaikan.
Tes
Air mata itu akhirnya jatuh dan mulai membuat aliran tak beraturankarena menderas. Aku tak kuasa menjawab perkataan ibu. Menutup mulut rapat dengan tangan kiri agar isakannya meredam. Lagi dan lagi aku membuatnya kecewa.
“nangisnya malam ini saja ya nduk, segera istirahat biar ndak sakit. Besokkan harus kuliah lagi.”
Klik. Sambungan telepon itu benar-benar dimatikan dan aku semakin menangis terisak mendengar kalimat terakhir ibu. Perasaanku sungguh berantakan, rasa kecewa, gagal, marah atas diri sendiri memelukku erat.
Malam itu menjadi saksi atas runtuhnya rasa percaya diri, ku biarkan diri ini tertidur karena lelah menangis semalaman. Yang ku tak tau, air mata itu juga mengalir dari mata indah wanita tersayangku.
Ibu, maafkan anakmu belum mampu membuatmu tersenyum bangga atas pencapaianku.
3 notes
·
View notes
Text
Cemas
Hanya satu kata, namun bisa luar biasa mengganggu keadaan tubuh manusia ini.
Teringat perkataan guru ku saat belajar, "Manusia akan diuji atas nasihat yang pernah diberikan".
Memori dahulu muncul, Aku pernah memberi nasihat "Di setiap ikhtiar, terkadang ada Tawakal yang terlupa".
Apa saat ini aku sedang diuji oleh Yang Maha Kuasa?
Apa aku sedang ditegur karena menjadi manusia sombong yang lupa berserah diri?
Apa aku tidak percaya akan janji dan su'udzon atas kehendak Nya?
Tubuh mungil ini berusaha berpegang teguh pada yang tersisa.
Berjalan perhalan dibanding yang lain dan mengatur nafas lebih teratur sambil memperhatikan sekitar. Mencoba mencapai tujuan perlahan dalam keadaan selamat.
2 notes
·
View notes
Text
Jarak Pandang
Semakin panjang kaki, maka langkahnya semakin lebar. Semakin ringan beban, maka perpindahannya semakin cepat.
Ini teori fisika yang kupahami dalam logikaku.
Tapi kenapa org itu berjalan cepat sekali. Kenapa sulit sekali menyamai langkahnya? Adakah yg salah dengan caraku berjalan?
Ku perhatikan lagi rupa fisik dan beban jinjingan kami.
Serupa!
Ku perhatikan lagi dengan seksama, dan.. dalam sekejap ku terjembab ke tanah.
Saat ku terjatuh orang itu menoleh kebelakang. Moment yang seharusnya kugunakan utk merutuki diri kuganti dengan rasa malu.
Dihadapannya ku lihat ia menggenggam map lengkap dengan rute perjalanan dan penunjuk arah.
Ah, ternyata aku lupa membawa map ku.
Pantas saja ku tertinggal, karna aku menjadikan orang itu sebagai 'tujuan'.
Sudah pasti salahku bukan ia jadi yg memimpin di depan?
2 notes
·
View notes
Text
[RESAH]
"Rayna, sore ini kau ada waktu untuk bertemu? Ada yang ingin aku ceritakan padamu." Begitulah isi chat dari teman karibku yang kubaca pagi ini saat pertama kali aku membuka gawaiku.
Setelah sejenak termenung, lalu aku memutuskan untuk membalas chatnya, "Maaf sekali Fieza, hari ini aku belum bisa menemuimu. Lain kali saja ya, tapi aku janji akan mendengarkan semua ceritamu."
Lantas aku bergegas menuju wastafel di kamar mandi untuk membasuh wajah, dan kudapati pantulan di cermin yang menampakkan wajah begitu sembab dengan hidung kemerahan. Ternyata tangisan sepanjang malam tadi masih juga menyisakan bekas di wajah ini.
Alih-alih merasa lebih tenang, justru rasa kecewa itu kurasakan semakin dalam. Dan tanpa terasa, aku kembali menitikkan air mata. Setelah sekian lama, rasanya baru kali ini aku menolak untuk mendengarkan cerita orang lain. Padahal biasanya aku selalu paling antusias dan berusaha menjadi pendengar yang baik.
Sesaat setelah bersiap pergi, aku melangkah menuju pintu ruang tamu dengan pikiran yang masih berkecamuk dan tatapan kosong.
"Kak, tumben kamu lesu dan gak semangat. Ada apa? Sini, cerita sama ibu!" suara ibu cukup mengagetkanku. "Gak papa kok bu, hanya saja kepalaku sedang sedikit pusing. Kakak pergi kuliah dulu ya bu, Assalamu'alaikum." Jawabku sambil melontarkan senyum dan mencium tangan ibu.
"Wa'alaikumussalam.." lirih suara ibu terdengar dari balik pintu. Akupun melangkah pergi.
Ya, aku belum siap bercerita, sekalipun itu pada ibu.
#5CC #5CCDay1 #fiksi
@kurniawangunadi
@bentangpustaka-blog
3 notes
·
View notes
Text
Sebuah malam yang gelap
Hujan di malam hari yang deras, jantungku berdegup kencang saat malam itu. Rasa gelisah menyelimuti hatiku.
Aku bertanya-tanya, "kenapa aku seperti ini?"
Ku coba selami pikiranku, ku coba kontrol pikiran liarku. Aku merasa ketakutan saat hujan turun dengan derasnya, seperti aku telah mengalami suatu hal yg besar saat hujan turun.
Ku duduk terdiam, termenung dan gemetaran.
Kembali teringat kenangan-kenangan buruk itu, aku merasa ketakutan dan merasa ingin memukul.
Ku coba kendalikan pikiranku, tenangkan diriku, dan berujung pada tangisan. Iya, aku akhirnya menangis, hanya itu yang bisa aku lampiaskan.
Aku lelah, sungguh.
3 notes
·
View notes
Text
Dalam waktu kurang dari sebulan lagi. Usiaku bertambah, secara angka.
Tapi masih banyak ketakutan dan kekhawatiran yang terlintas di kepalaku. Semacam banyak sekali pikiran yang mengelabuhi diriku sendiri.
Apakah aku bisa?
Apakah aku mampu?
Bagaimana kalau ternyata semua hal yang terjadi belum sesuai ekspetasiku?
Kenapa penghasilanku belum sebanyak dua kali lipat usiaku nanti?
Ahh, sesekali atau bahkan sering aku bicara pada diri sendiri tentang kekhawatiran di masa yang akan datang. Yang sebenarnyapun belum terjadi. Sampai akhirnya aku lelah dan menyadari bahwa jalani saja dulu. Karna masa depan kita masih cerah, masih bisa direncakan dengan segala hal baik di dunia ini.
Usia hanya sebatas angka. Tapi menjadi dewasa adalah suatu proses penerimaan tentang apa yang telah terjadi dan merencanakan hal-baik dan menakjubkan serta menjadi berkah di dunia dan akhirat kelak. Aamiin yra 🤲🏻
3 notes
·
View notes
Text
Beda Hari Raya
"Mas, Umi ngajakin salat id sama makan-makan lebaran hari pertama besok di rumah Umi Abi. Kita ikut, ya. Tahun lalu kan, di rumah Ayah Ibu kamu. Gantian, ya." kataku kepada suamiku usai bersantap sahur. Di awal pernikahan, kami memang sepakat kalau bakalan selang-seling lebaran hari pertama tiap tahun di rumah orang tuaku, lalu di rumah orang tuanya.
"Kita tunggu sidang isbat dulu nanti malam, ya, Dek. Kan belum pasti hari rayanya besok atau lusa." suamiku menanggapi.
Benar juga. Hanya saja, orang tuaku bisa dipastikan akan melaksanakan salat id besok. Dari dulu, di kampung kami memang menerapkan sistem hisab untuk menentukan awal bulan kamariah. Sementara suamiku dari kecil dididik orang tuanya untuk ikut sistem pemerintah, menunggu keputusan sidang isbat. Dulu, kupikir perbedaan ini tidak akan terlalu berarti dalam kehidupan pernikahan kami. Dalam hati, aku berdoa agar hasil sidang isbat sama dengan hisab: besok hari raya.
Selepas berbuka, Umi menelepon lagi. "Jangan lupa ke sini besok pagi, ya. Kalau takut telat, sekalian aja nginap di sini malam ini." titah Umi. "Insyaallah, Mi." jawabku diplomatis.
"Telah diputuskan melalui sidang isbat bahwa Idulfitri di Indonesia adalah lusa." suara reporter televisi itu menyita perhatianku.
Aku mencari suamiku dan kusapa dengan lembut. "Mas…." "Iya, kenapa, Sayang?" Jawaban dan tatapan matanya yang teduh membuat kata-kata yang ingin kusampaikan tersangkut di tenggorokan….
20230122
Bukan 30 Hari Bercerita
4 notes
·
View notes
Text
Membenci bukannya perlu alasan?
Aku tidak pandai menyampaikan perasaanku kala itu, yang aku tau hanya bertahan setiap hari menjalani masa koasku di tahun kedua. Mungkin satu yang aku ingat hanyalah rasa lelah, sampai seseorang sebagai partnerku membenciku tanpa alasan. Aku yakin bukan tanpa alasan, sebagaimana aku yakin bahwa tidak ada perasaan yang muncul tiba-tiba tanpa pencetus. Memutar otakku melihat ke belakang pun, tak membuatku menemukan adanya interaksi antar kami, tapi tak kunjung meredam pikiran dalam kepala “Mengapa ya seseorang itu membenciku?”. Tanpa sadar membiarkan pertanyaan itu mengular sampai aku menanyakan diriku sendiri “Apa aku memang layak dibenci?”. Aku tanpa sadar mempertanyakaan keberhargaan diriku.
Iya, kebencian itu bukan hanya perasaanku. Rasanya mungkin kalaupun seseorang itu tidak menyampaikannya di khalayak umum, aku pun tidak akan pernah sadar. Pernyataan terang-terangan sampai membuat teman-temanku terheran, dan mencari konfirmasi. Anehnya, aku tidak mendapat perlakuan kebencian itu secara langsung, tapi perlahan di belakangku ceritaku bak diubah 360 derajat, menceritakan kesalahanku ke tiap penjuru rumah sakit kala itu. Aku, tau tiap cerita itu tapi aku memutuskan untuk tetap biasa saja, tak menghiraukan bak seolah tidak terjadi apa-apa.
Sampai di suatu sore, air mataku tanpa jeda menyapu pipi. Bagaimana tidak, kesalahan yang seutuhnya direncanakan dan diperbuatnya diceritakan ulang sebagai aku lah pelakunya. Entah apa yang membuat air mataku mudah luruh kala itu, bukankah selama ini kuat tertahan jika aku tidak sendirian. Rasa marah, kesal, sedih dan malu rasanya bercampur aduk kala itu. Alarm berbunyi, mengharuskanku melangkahkan kaki menuju bangsal anak untuk pemeriksaan ulang beberapa anak yang sedang dirawat, mau tidak mau ku henti paksa air mataku, namun sesak rasanya. Ya, aku menepuk pundakku menyemangati diri sendiri “atas nama profesionalisme.”
Aku kembali ke markas, dan salah satu partner jagaku saat itu menyampaikan kalimat yang begitu hangat sambil memastikan aku sudah jauh lebih baik. “Kamu tau gak, kalau kamu itu orang baik? Masih inget gak pak satpam tadi itu menyapa kamu duluan. Rasanya kalau kamu bukan orang yang baik, beliau juga gak akan sesumringah itu menyapa kamu duluan. Tenang, kita percaya kamu kok. Aku juga seneng jaga sama kamu.” dan kalimat lain yang menghangatkan tapi semakin pudar untuk kuingat. Ujung mataku terasa berat kembali menahan aliran air mataku. Kalimat yang nampak sederhana, tapi begitu hangat untukku yang perasaannya terluka kala itu.
Selang 3 tahun setelahnya, teman baikku bercerita. “Kenapa ya dia dulu sebenci itu sama kamu?”, sembari tertawa aku pun menyahutinya “haha gak tau, dari dulu sampai sekarang aku juga gak tahu, kenapa tiba-tiba tanya?” temanku bilang “ya karena dia tiba-tiba tanya ke aku, kok aku bisa temenan deket sama kamu?” dan membuatku semakin tertawa. Wah, cukup menggelitik rasa penasaranku nih “kamu tanya gak kenapa dia tanya gitu ke kamu?”, “iya, terus dia jawab ya pokoknya gitu, terus melengos.” dan kami pun bertukar tawa.
Untukku, di masa 3 tahun yang lalu. Aku masih ingat betapa beratnya hari-hari itu, betapa kelamnya pikiranmu dan betapa kalutnya hatimu. Aku ingat, betapa rasanya menahan tangis saat berangkat koas adalah salah satu bentuk perjuangan. Tak apa, jika orang lain pun tak tahu kesuluruhan ceritanya, tapi aku tahu dan itu cukup. Aku ingin kamu tahu, bahwa di hari-hari sekarang kita adalah pribadi yang terbentuk dari hari-hari kala itu, hari-hari yang tidak baik. Hebatnya, kita bertumbuh dan belajar dari apapun yang pahit di masa-masa itu. Sungguh, mungkin jika kuceritakan jika aku bisa menertawakan apapun yang kita alami, mungkin kamu tidak percaya. Ternyata melewati masa dibenci kala itu, membuat resiliensi kita bertumbuh, mungkin tidak satu-dua hari setelahnya tapi entah bagaimana aku disini jauh lebih kuat dari kita yang dulu.
Untukku, di masa-masa koas. Aku menyesal tidak mengenal dan mempelajarinya sedari dulu, tapi tak apa, kini kita telah mengenal stoicism. Ya, kita belajar bahwa apapun yang menjadi respon, perilaku, pemikiran, perkataan maupun sikap dari orang lain sepenuhnya di luar kendali kita. Terimakasih jika di saat itu, kamu memutuskan untuk tidak goyah. Sejujurnya, kini aku telah lupa bagaimana tepatnya rasa sedihmu kala itu, setiap kali aku teringatnya aku hanya bisa tertawa. Untukmu, kubuktikan bahwa kita telah menyembuh.
Bukan aku tidak pernah menerima kebencian lagi, tidak banyak hanya satu-dua, tapi kali ini aku pastikan itu hanya lewat sebagai pewarna kehidupan, dan percayalah mereka telah menjadi bahan tertawamu beberapa kali. Kini, kita telah menjadi pribadi yang lebih mengenal dan yakin terhadap diri sendiri, jika nanti pun saat dirimu pernah ragu kembali, lihatlah sekitar bahwa nyatanya kini kita mempunyai support system yang cukup (banyak) untuk memvalidasi.
Nb: Bullying itu nyata, efeknya pun bukan semata-mata. Mereka menjadikan korbannya mempertanyakan dirinya, dipenuhi dengan ketakutan dan kegelisahan, serta menurunnya self-esteem.
2 notes
·
View notes