#5CCDay5
Explore tagged Tumblr posts
Text
Kemarahan
Salah seorang temanku bercerita bagaimana buruknya hari yang dilaluinya saat itu, ia menceritakan bagaimana partner kerjanya seakan menusuknya dari belakang. Lalu, saat aku menanyakan perasaannya, dia kebingungan dan bertanya balik “sedih?”, bahkan ia kebingungan mendefinisikan perasaannya. Setelah lega ia menumpahkan emosinya dan menuangkan detail-detail tiap ceritanya, dia mengkonfirmasi kembali “Apa yang aku rasain itu apa bener sedih ya? tapi aku tuh kesel liat orangnya.”
Aku menanyakannya kembali “kalau sedih, darimana dong tenaga buat bercerita berapi-api seperti tadi?”
Setelah pertanyaan demi pertanyaan, akhirnya dia sampai di titik mengakui kemarahannya “iya ya, aku tuh marah. Kesel gitu, ngerasa annoying lihat orangnya.”
Kadang butuh perjalanan lebih panjang untuk seseorang mengakui bahwa dirinya sedang marah. Sebagian dari kita bertumbuh dengan doktrin “gak boleh marah.”, “marah itu gak baik.”, “kalau marah nanti jadi temennya setan.”, lupa mengajarkan bahwa marah adalah bagian dari perasaan manusia yang wajar. Karena kata dilarang inilah, kita lupa diajarkan bagaimana meregulasinya dengan baik. Alih-alih dilatih bagaimana menyalurkan marah dengan baik, perasaan marah dianggap sebagai hal negatif yang harus dihindari, ditekan atau dihilangkan. Lucunya, cara kerja marah seperti halnya emosi lain, tidak bisa dihindari, semakin dicoba untuk ditekan atau dihilangkan pun malah membuat manusia jatuh dalam kubangan frustasi.
Acap kali “aku sedih” lebih mudah diucapkan daripada “aku marah”, seakan jika kesedihan adalah hal yang lumrah dalam kisah hidup manusia, sedangkan kemarahan membuat turunnya nilai manusia. Padahal tidak. Kemarahan tampaknya membuat manusia kalah oleh dirinya sendiri, lupa bahwa kemarahan hanyalah emosi, amat sangat manusiawi. Bukan kemarahan yang patut disalahkan atas tindakan seseorang yang keliru, tetapi karena rasionalnya yang kalah atas kemarahannya.
Bukankah manusia tidak dihukum hanya karena ‘merasa’? Namun, karena bertindak salah, apapun alasannya termasuk jika hal itu didorong atas dasar kemarahannya. Rasa marah menjadikanmu tidak sempurna, sejatinya membedakanmu dengan Sang Kuasa.
Izinkanlah dirimu mengakui kemarahan yang ia rasa, menyedihkan rasanya jika ia tak mendapat validasi dari dirinya sendiri.
14 notes
·
View notes
Text
Pertemuan Terakhir
Perkenalanku dengan Ibu Inah berawal dari sebuah kegiatan pengabdian masyarakat yang ku ikuti. Sebagai perwakilan salah satu programnya, aku meminta bantuan Beliau selaku Ibu Ketua Majelis Ta’lim untuk menjadi Narasumber. Beliau adalah orang yang sangat ramah, setiap kali kami bertemu selalu terlihat senyumnya yang tulus, rasanya hangat sekali. Semenjak kami berdua menyimpan nomor whatsaap masing-masing, aku bisa melihat keaktifan Beliau lewat foto-foto yang di share melalui story-nya. Semangat Beliau untuk berbagi, berdakwah, membangun sebuah yayasan, telah menjadi inspirasi bagiku.
Bulan Desember tahun tahun lalu, aku dan beberapa teman berkunjung ke rumah Bu Inah setelah mendengar kabar sakit tentangnya. Di Bulan September, Beliau divonis mengidap leukimia. Saat kami berkunjung, Bu Inah sudah menyambut di depan pintu rumahnya dengan sapaan dan senyuman hangat seperti dulu, meski kali ini aku bisa merasakan energi Beliau yang tidak sebesar sebelumnya. Pertemuan hari itu seperti menjadi sebuah lingkaran ilmu. Kami yang hadir sedang belajar tentang penerimaan akan takdir berdasarkan true story dari kehidupan Bu Inah.
Sakit itu hadir tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Bu Inah hanya merasakan lemas beberapa kali hingga harus menerima transfusi karena kadar Hemoglobin yang rendah. Setelah 3 kali transfusi, dari yang sebelumnya hanya berjeda 1 bulan sekali menjadi hitungan minggu. Sampai akhirnya dilakukan tes darah tepi dan diketahui bahwa Bu Inah mengidap leukimia. Bu Inah akhirnya memutuskan menerima perawatan di rumah sakit; mendapat kemoterapi, suntikan leukogen, dan berkali-kali transfusi. Beliau mendapat banyak sekali bantuan dari orang-orang baik, khususnya untuk biaya pengobatan yang tidak sedikit.
Di tengah kondisinya, Beliau menjadi pasien favorit dokter disana, karena semangatnya yang tinggi untuk bisa sembuh. Namun di sisi lain Beliau juga mempersiapkan diri jika situasi terburuk terjadi.
Aku tidak bisa membayangkan di posisi Beliau. Sungguh Allah memberikan sesuatu sesuai dengan kesanggupan hamba Nya. Beliau adalah orang yang kuat, bersama Allah dan Al-Qur’an yang tidak pernah Beliau tinggalkan.
Bulan Maret menjadi pertemuan terakhir kami. Kali ini aku menemui Bu Inah yang sudah sebulan di rawat di rumah sakit. Di saat sakitnya, Beliau masih memikirkan amanah-amanah yang ditinggalkannya selama ini. Mempersiapkan segala sesuatunya jika takdir berpisah dari dunia harus terjadi. Sebelum aku berpamitan pulang, Beliau banyak mendoakanku; dari mulai kesuksesan study ku sampai doa tentang pasangan hidup.
Aku belajar, bahwa sebesar apapun kebutuhan Hamba, Allah yang akan mencukupkan.
Sesakit dan selemah apapun kondisi kita, Allah yang akan menguatkan.
Beliau memang sudah kembali kepada Allah, tapi legacy yang Beliau tinggalkan terus mengalirkan kebermanfaatan dan diteruskan untuk diperjuangkan.
7 notes
·
View notes
Text
Kita (5)
Ada banyak hal yang ingin kita lakukan bersama.
Ada banyak cerita yang kita ingin tuliskan bersama.
Ada banyak rasa yang ingin kita salurkan bersama.
Tapi, apa daya?
Kita tidak lagi menjadi kita.
Kamu tidak lagi menyebut kata "kita" di ucapanmu.
Aku tidak lagi menulis kata "kita" dalam pesan singkatku.
Kita sama-sama mundur, dan pelan-pelan menjauh.
Kita, yang dulunya pernah bermimpi akan menghabiskan waktu bersama.
Kita, yang dulunya pernah berjanji untuk tetap berusaha bersama.
Kita, yang sekarang sudah tidak lagi bertegur sapa.
Haruskah aku melepaskan kita?
Kamu.
Bagaimana menurutmu?
./.
7 notes
·
View notes
Text
Utang
Seorang stand-up comedian pernah berkata, "Gue gak mau punya utang dan piutang kepada orang, karena bisa jadi hal yang ribet".
Hari ini, hati ku berat saat harus membantu saudara yang perlu uang untuk biaya kuliah anaknya. Berat karena nominalnya cukup besar.
Bertanya-tanya kenapa tidak mengajukan keringanan biaya? Kenapa mereka sangat pasif? Kenapa mereka tidak bisa menyisihkan sebagian penghasilan untuk kuliah anaknya?
Aku merasa berat karena takut jika suatu hari hubungan kami tidak akur, tentunya karena perkara utang. Faktanya, sulit untuk ku ikhlas memberikan pinjaman yang bersumber dari tabungan ku dengan tujuan pasti.
Tau hal yang lebih ku benci? Sekarang aku terlihat seperti orang pelit yang tidak mau membantu sanak saudaranya.
Mencoba menghibur diri dengan kalimat rezeki sudah ada yang atur, tidak akan kemana-mana.
Tapi, hati ini masih merasa berat dan kesal.
Memang praktek ilmu ikhlas itu sulit
7 notes
·
View notes
Text
Rinai
Kurasakan sesak di ulu hatiku. Jalanku patah-patah. Rasanya sulit sekali untuk sampai ke rumah. Malam ini tepat satu tahun perjalanan kita untuk bertumbuh, berproses bersama untuk jenjang pernikahan. Begitulah komitmen yang telah kita sepakati sebelumnya. Namun, apa yang kau lakukan hari ini benar-benar tidak ku sangka sebelumnya.
"Din, maaf aku ngga bisa lanjutin proses kita. Terimakasih untuk semua pembelajaran dan hal-hal baik yang pernah kita perjuangkan."
Dalam satu tahun ini, aku jarang sekali melihat ekspresi wajahmu. Aku selalu membatasi diriku sendiri agar tidak cinta terlalu jauh sebelum komitmen pada Yang Maha Agung terucap sambil menggenggam erat tangan waliku. Namun hari ini ku putuskan, ku lihat wajahmu tanpa keraguan mengucapkan kata-kata itu.
"Kenapa Mas? Apa ada yang salah dari perilaku ku? Apa ada hal lain yang tidak bisa kamu toleransi?" Suaraku bergetar, aku mohon kali ini jangan keluar terlebih dahulu air mataku, aku mohon. Demikianlah doa dalam batinku.
"Kamu orang baik Din, percayalah. Tidak ada yang salah dari perilakumu. Tidak ada juga value yang bersebrangan diantara kita. Hanya saja aku tidak bisa melanjutkan proses ini."
"Mas Ahmad Hafidz, saya serius. Kalau saya tidak salah apa-apa, kenapa Mas mau berhenti dari proses ini? Setidaknya beri saya penjelasan." Kali ini air mataku luruh juga. Segera ku usap ia, aku tak ingin terlihat lemah dihadapan mas Ahmad.
"Maaf Din, saya sudah di jodohkan oleh keluarga. Saya tidak bisa menolak hal ini karena sudah ada perjanjian dari bapak (Allahu yarham) sama sahabatnya." Ku lihat wajah mas Ahmad tertunduk lesu. Kali ini suaranya juga bergetar.
"Maafkan saya Din, saya tahu hal ini mungkin menyakitimu. Tapi saya juga berterimakasih atas semuanya. Kamu memberi saya pelajaran banyak hal. Termasuk mencintai diri sendiri sebelum bertumbuh menggenap. Terimakasih juga atas project-project kebaikan yang memberi saya pelajaran kalau hidup bukan hanya untuk diri sendiri. Saya berharap kamu bisa bertemu dengan laki-laki baik yang bisa membantumu bertumbuh dan memperjuangkan bersama mimpi-mimpi kalian. Saya pamit dulu ya Din."
Belum sempat ku jawab pernyataan itu, mas Adam sudah menarik kursi dan beranjak dari kafe itu. Satu jam yang panjang untuk pertemuan hari ini.
"Aku harus bagaimana mas Ahmad, aku sudah terlanjur ngomong sama ibu berproses sama kamu. Di umurku yang sudah seperempat abad lebih ini. Aku sudah capek untuk bertemu dengan orang baru lagi. Kenapa baru sekarang kamu menyadari dan tahu kalau kamu dijodohkan? Salahku juga, terlalu berharap pada proses ini." Kurang lebih begitulah monolog ku dengan angin malam dan rintik hujan yang mulai membasahi bumi.
Jalan pulang kali ini ku pilih untuk berteman dengan rintik- rintik hujan. Pilihan terbaik untuk menyamarkan genangan air mata yang sudah mengalir sedemikian derasnya.
Izin tag Mas @kurniawangunadi, tim @careerclass dan tim @bentangpustaka-blog
12 notes
·
View notes
Text
Menjadi yang paling peka di setiap kejadian, tingkah laku, nada bicara seseorang, bisa menjadi menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam waktu yang bersamaan. Menyenangkan karena kamu menjadi tahu batasan dimana harus berhenti berbicara dan melakukan sesuatu. Tidak menyenangkan ketika kamu juga merasakan marah, sedih, kecewa dari orang tersebut.
Seiring berjalannya waktu perasaan itu bukannya makin menghilang justru menguat. Kamu yang lebih sering menjadi pendengar, membuatkamu terus belajar tentang sudut pandang yang mungkin saja selama ini tidak kamu sangka. Menjadi pendengar artinya kamu telah menjadi tempat sampah bagi beberapa orang yang membutuhkan validasi.
Sesimple, kamu ada, ya karena mereka ada. Walaupun sesekali menjadi ikut lelah, namun melihat respon mereka yang seolah memiliki tempat berteduh sementara, menyenangkan sekali. Udah kaya superhero menyelamatkan bumi rasa rasanya.
Sesekali cobalah menjadi pendengar yang baik, disana kamu akan banyak belajar berbagai sudut pandangan yang asing, aneh, dan tak terduga. Selamat menyelam lebih dalam dikehidupan :)
8 notes
·
View notes
Text
Kuatin lagi “why”-nya
Awal tahun 2023 ini banyak hal-hal baru yang sudah banyak aku lalui dan banyak harapan agenda dan pencapaian baru lainya. Dan semua itu sangat menyita waktu menenggelamkan diri dalam kepadatan aktivitas. Apa kabar? Lelah, capek ya? Mungkin saat ini kamu ingin menyerah, berfikir nggak akan sanggup menjalani kenyataan. Tapi buktinya kamu masih kuat bertahan.
Mungkin tak mudah bagiku untuk melanjutkan langkah. Namun, akan lebih tidak mungkin jika aku menyerah begitu saja. Bukankan sudah sejauh itu dirimu melangkah? Maka, teruskanlah.
Saat kau sedang lelah, istirahatlah sejenak. Kita manusia biasa yang tau kapan harus berhenti atau beranjak. Nikmati saja semua prosesnya. Apa-apa yang sedang kau kerjakan, tak melulu harus dikejar secepatnya. Yang penting tepat pada waktunya. Tapi kalau harus berjalan perlahan itu lebih tepat dibandingkan jalan ditempat.
Jalani hari ini dengan sebaik-baiknya. Berjuang dengan semampumu. Mungkin rintangannya akan lebih sulit dari kemarin. Ngak apa-apa yakin saja, kalau kamu pasti bisa menaklukannya. Telah banyak hari-hari sulit yang kamu lewati, tapi kamu bisa melaluinya dengan baik bukan? Kamu sudah mau bertahan samapi saat ini. Itu sudah cukup membuktikan kalau ternyata kamu memang kuat.
Tetap semangat ya, manusia-manusia hebat
2 notes
·
View notes
Text
Pertanyaan Sulit
Kopi dan rintik hujan adalah perpaduan apik untuk menikmati sore. Sambil meneguk kopi, Aku memutuskan membuka media sosial untuk mencari hal menarik. Tiba-tiba Aku tertarik dengan salah satu unggahan bergulir dari seorang konsultan pernikahan yang berjudul “12 pertanyaan dasar yang harus dijawab sebelum kamu menikah”.
Sebagai seorang perempuan yang berusia 25 tahun dan belum menikah, unggahan ini cukup menggelitik dan membuatku ingin mencoba menjawab setiap pertanyaan untuk mengetahui apa aku sudah pantas untuk menikah? Ku buka halaman kedua pada unggahan tersebut yang berisi pertanyaan pertama : seperti apa kepribadian dan karaktermu? Aku berhenti lama pada halaman kedua. Ini baru pertanyaan pertama dan Aku tidak bisa menjawab.
Sembari menatap rintik air hujan yang membasahi tanah, Aku merenung. Ternyata Aku tidak mengenal siapa diriku? Bagaimana karakterku? Seperti apa kepribadianku? Rupanya pertanyaan ini sulit sekali untuk dijawab. Aku teringat salah seorang teman pernah bilang, “kenali dirimu sebelum kamu mengenal orang lain”. Aku semakin merasa tersudut, bagaimana Aku mau menikah jika Aku saja belum mengenal siapa aku? Apa mauku? Bagaimana kriteria pasangan jika aku tidak memahami apa yang diperlukan oleh diriku sendiri? Sore itu, Aku memulai pembicaraan paling sulit yaitu berbicara dengan diri sendiri.
Halo diri, izinkan Aku mengenalmu ya. Aku ingin belajar untuk mencintai diriku sendiri sebelum Aku mencintai partner hidupku nanti.
2 notes
·
View notes
Text
Aku Juga Takut
Kueja namanya yang muncul di layar telepon pintarku. Hanifa, sahabatku sejak zaman kuliah. Atau sahabatku saat kuliah? Karena setelah aku bekerja dan dia lanjut S2 di seberang benua, rasanya interaksi kami semakin berkurang. Namun, bukankah tiap orang ada masanya, dan tiap masa ada orangnya? Hanya karena seseorang berada di fase yang berbeda dengan kita, bukan berarti dia menghilang dari kehidupan kita. Aku tetap mengikuti Hanifa dari kiriman yang dia bagikan di laman media sosialnya, dari tulisan-tulisan kritisnya di media massa, dan dari cerita orang-orang tentangnya. Aku tetap bangga padanya, sejak dulu hingga sekarang. Hanya saja, kata orang-orang, hanya saja….
"Minggu depan aku pulang. Ketemuan di kafe dekat perpustakaan, ya? Nggak nerima alasan, pokoknya!"
Ah, Hanifa masih seperti Hanifa yang dulu. Straight to the point, tanpa basa-basi. Aku tersenyum membaca pesannya. Ah, sahabatku mau pulang!
"Siap, Ibunda Ratu! Hamba siap menjalankan titah Ibunda!" demikian balasku, sambil tersenyum lebih lebar.
Hari yang dijanjikan pun tiba. Kami berdua termasuk orang yang sama-sama tepat waktu. Jadi, tidak ada drama saling menunggu atau mengomel karena pihak lain belum datang. Kami bersalaman, berpelukan, bertukar kabar dan mengobrol berbagai topik sampai rasanya waktu seharian pun tidak cukup. Hanya jeda waktu salat yang berhasil menghentikan obrolan kami sejenak. Hingga sekitar 15 menit menjelang kafe tutup, Hanifa berkata padaku
"Bun, kamu nggak berubah ya, luar dan dalam. Masih aja betah pakai kostum kayak gini. Kok, kamu bisa bertahan, sih? Aku aja nggak sanggup, meskipun sebenarnya aku mau."
Kalimat panjang keluar dari bibirnya yang bersapu produk olahan perona bibir. Hanifa yang kukenal dulu, memang bukan begini penampilannya. Ternyata benar, apa yang dikatakan orang-orang tentang dia. Hanifa yang kukenal dulu, terlihat anggun dengan pakaiannya yang menutup aurat secara sempurna. Hanifa yang kulihat di hadapanku sekarang, terlihat cantik dan bergaya. Pakaian longgarnya sudah berganti kemeja yang cukup membentuk lekuk tubuh. Roknya entah ke mana, berganti celana. Kaus kaki dan manset tangan sudah tak ada. Demikian pula jilbab tebal dan lebarnya, kini berganti penutup kepala tipis, sekadar menutup rambut dan melilit di lehernya. Kudengar-dengar, dia mulai pacaran pula. Ah, Hanifa, aku selalu berharap kamu bisa hidup seperti namamu, hanif, menjadi orang yang lurus, yang hatinya cenderung kepada kebaikan dan kebenaran.
"Hmmm, sekarang kamu duluan. Aku mau dengar langsung dari kamu, kenapa sekarang kamu jadi begini? Ayolah, Fa. Kamu tahu aku nggak mau dengar dari cerita orang-orang." kataku menghela napas, berpikir, dan menatap dalam ke matanya.
"Embun, awal-awal kita lulus S1 dulu, aku masih mencoba kayak kamu. Lama-lama, aku merasa susah diterima di lingkungan aku. Kamu tahu nggak sih, orang-orang kayak kita dulu itu kesannya eksklusif. Aku takut nggak diterima lingkungan. Aku takut nanti aku nggak nikah-nikah kalau nggak pacaran. Jangankan pacaran, salaman sama cowok aja nggak mau kan, dulu. Emangnya kamu nggak takut, apa?" Kata demi kata meluncur dari mulut Hanifa.
Ya ampun Hanifa, kupikir belajar di negeri orang akan lebih membukakan mata dan pikiranmu. Untuk soal yang satu ini, tidak, ternyata~
"Oke, sekarang giliranku," kataku menimpali.
"Takut sih, sebenarnya aku takut juga. Perasaan kamu valid, kok." ujarku.
"Tapi, Fa, ada yang lebih aku takutkan daripada penilaian manusia. Aku takut, Allah mencabut rasa nikmatnya beribadah dari dalam diriku. Kamu ingat rasa nikmatnya saat kita dulu sama-sama nangis di masjid kampus, merasa bahwa hidayah itu indah sekali? Setiap merasa tergoda, aku mengingat-ingat saat itu, kembali ke rasa manis itu. Dengan tetap begini, aku merasa ada benteng yang Allah ciptakan untuk melindungiku dari hal-hal buruk. Kalau tebersit keinginan atau diajak teman ke karaoke atau nonton konser, masa aku pergi dengan kostum begini, sih? Aku merasa tenang, Fa. Aku merasa terjaga. Aku rasa, kamu juga paham bahwa dengan kondisi lingkungan yang tidak ideal, kita bisa saja membaur, tapi jangan melebur. Aku mencoba untuk mengalahkan rasa takutku dengan rasa takut yang lain. Aku takut Allah murka. Dan aku membayangkan, seberapa banyak pun temanku di dunia tipu-tipu ini, kalau Allah tidak rida, maka tidak ada gunanya. Kamu paham kan, maksudku?"
Aku melihat Hanifa mengangguk, matanya berkaca-kaca.
"Hei, janji ya, kamu jangan menjauh mentang-mentang sekarang tampilan kita berbeda. Toh, tetap ada banyak hal yang bisa kita lakukan bersama, kok! Kalau butuh teman cerita, aku siap mendengarkan. Kalau butuh teman makan, aku siap makan dibayarin teman." kataku.
"Idih. Kalau soal makan emang jagonya! Oke, minggu depan kita lari keliling Rotunda. Habis itu, kulineran di sepanjang Pondok Cina, ya?" kata Hanifa. Tampaknya dia ingin bernostalgia dengan kehidupan kampus kami dulu.
"Siap, Paduka!" kataku diiringi toyoran Hanifa.
Fa, seandainya kamu tahu. Aku selalu mendoakanmu. Tidak hanya untuk selalu menjadi sahabatku, tetapi juga agar nanti kita bertetangga di surga. Aku juga takut kehilangan kamu.
20230119
Bukan 30 Hari Bercerita
3 notes
·
View notes
Text
DELEGASI
Tahun ini rasanya nano-nano, rame rasanya.
Hampir satu tahun aku membersamai Mama untuk mengurus segala keperluan administrasi pembangunan sekolah. Seringkali wara-wiri ke balai desa, kantor kecamatan, notaris, dinas pertanahan, dll. Kini, semua mulai terlihat hasilnya. Meskipun progresnya masih sangat jauh, aku sangat mensyukuri hal itu. Tuhan telah mengabulkan doaku satu per satu.
Aku yang sebelumnya anak kantoran, terpaksa belajar menjadi anak lapangan. Sungguh bertolak belakang dari duniaku. Hari demi hari aku belajar hal baru. Kini relasiku menjadi bertambah, kemandirianku semakin terasah. Aku sadar, waktu bermainku menjadi berkurang. Jika teman-teman seusiaku healing dengan nonton konser, wisata, atau nongkrong di tempat ramai, bagiku membersamai Mama jauh lebih istimewa.
Di waktu makan siang, Mama terlibat pembicaraan dengan Pak Tukang.
“Nanti tinggal Mbak Rahmi yang meneruskan, Bu.”
“Iya, dia sudah saya tugaskan.” Mama menepuk pundakku sambil tersenyum. Kemudian beliau mengecek segala sudut ruangan.
Mendengar hal itu, aku teringat suatu hal. Dulu aku sering mendengarkan guru-guruku berpesan demikian pada anaknya. Putra-putrinya-lah yang akan didapuk meneruskan bisnis, tugas, dan sejenisnya. Lalu, tidak lama berselang, guruku yang mengatakan hal itu meninggal dunia. Seperti firasat. Ya, semestinya aku tidak perlu takut berlebihan. Pasalnya, kita tidak pernah tahu kan siapa yang akan meninggal lebih dulu?
Hanya saja, masih ada kekhawatiran dalam benakku, “Pantaskah aku?” tanyaku dalam hati.
Jika Mama yang usianya hampir 70 tahun, berupaya menabung bekal terbaik, membangun sekolah sebagai amal jariyah, sering membantu orang tanpa sepengetahuanku, lantas bagaimana denganku?
Rasanya bekalku belum cukup.
5 notes
·
View notes
Text
Rintangan
Kamis, 19 Januari 2023
*************************
“Ku duduk sambil menikmati suasana saat ini, suasana yang aku syukuri, dimana aku bisa melihat semua pemandangan dibawah, melihat awan yang berubah dari gelap menjadi terang, hawa dingin yang menjadi hangat, kabut yang semakin menipis dan tidak lengkap jika tidak ditemani suara burung yang bersaut-sautan. Kapan lagi aku bisa merasakan suasana ini. Suasana yang bisa aku nikmati jika di atas Gunung.
Tidak terasa, sudah 5 tahun aku tidak naik gunung, rasanya sangat menyenangkan meskipun perjalanan yang di tempuh sangat lama dan berat. Banyak sekali rintangan yang di lewati, dari jalan yang naik, licin, berbatuan, melewati pohon2 tinggi, harus menginap sampai 2 malam dan yaa sudah pasti sangat lelah. Tapi hal itu benar-benar terbayarkan dengan pemandangan se indah ini. Aku tidak menyesal.”
“Tau ga sih kamu, Hal itu mungkin sama halnya dengan hidup kamu saat ini.
berat untuk terus berdiri,
berat menangung semua ini,
lelah,
ingin menyerah,
ingin menyudahi
Tapi apakah kamu tidak penasaran? Apa yang menanti di depanmu?
Bukankah perjalanan ini adalah niatmu dari awal? kenapa menyerah?
Bertahan lah sedikit lagi, jangan fokus dengan kesedihan, jika berat melihat tujuan yang masih jauh, maka fokuslah dengan langkah kedepan, langka selanjutnya.
Tidak apa-apa gagal
Tidak apa-apa salah
Asalkan kamu sudah berusaha dan menjadikan kesalahan itu menjadi pembelajaran dalam hidup untuk melanjutkan langkah selanjutnya.
Jika lelah, maka beristirahatlah. Fokus pada dirimu sendiri, jangan bandingkan dirimu dengan orang-orang diluar sana.
Kamu adalah kamu
Mereka adalah mereka
Jadi semangat yaa, aku disini.
Aku akan terus mendukungmu dari sini.
Aku akan terus bersamamu dalam duka suka.
Aku akan terus menjadi penyemangatmu.
Aku juga akan terus mendorongmu.
Teruskan langkahmu ke depan sampai garis finish.”
Dari aku untuk diriku.
5 notes
·
View notes
Text
Mulai Sadar Diri
"Kamu mencari sosok suami seperti apa?" tanya pemuda itu kepadaku
"Seperti apa ya, hmm mungkin sosok yang bisa membimbingku dalam kebaikan. " Jawabku
Ternyata aku juga belum bisa mendefiniskan pendamping hidup seperti apa yang sebenarnya aku cari. Pemuda itu terus menanyaiku berbagai lontaran pertanyaan terkait masa depan yang aku sendiri tidak tahu jawaban pastinya. Aku pun jawab seadanya yang muncul dipikiranku kadangkala aku mengalihkan pertanyaan.
Sepulang dari pertemuan itu, aku semakin berpikir, sosok seperti apa sebenarnya yang aku cari. Aku tahu tapi tidak bisa mendefinisikan dengan kata kata. Sadarlah aku jika masih miskin ilmu pernikahan.
Sejak saat itu pemuda itu sudah tidak lagi menghubungiku dan beberapa bulan kemudian aku mendapatkan kabar bahwa pemuda itu akan menikah. Kejadian seperti ini bukanlah kejadian 1 atau 2 kali. Ada masanya aku rendah diri, setidak pantaskah aku ini dipersunting orang. Tapi aku sadar, aku sendiri juga belum merasa siap dan belum mempersiapkan dengan matang.
Sepertinya aku membutuhkan wadah untuk aku mencari ilmu. Sejauh ini aku hanya bertanya kepada temanku yang sudah berani memilih menempuh hidup berumah tangga. Aku selalu heran bagaimana bisa orang bisa yakin dengan seorang lelaki untuk membersamai selama sisa hidupnya. Sedangkan ku rasa aku sendiri belum selesai dengan diriku.
Aku suka sekali belajar dari pengalaman orang-orang lain. Ada banyak pesan yang bisa aku ambil. Sejak kecil aku memang belum pernah memiliki hubungan khusus pada lawan jenis. Banyaknya teman bercerita tentang kisah percintaanya kepadaku, membuatku kadang heran kok bisa gara gara cinta bisa jadi orang yang gak logis. Mungkin nanti aku juga seperti itu juga ya.
Bucin bucin halal kan lebih syahdu hihi
5 notes
·
View notes
Text
Agenda kami selesai lebih cepat, kami sudah bisa pulang. Jarum di jam tangan menunjukkan 14.43, pasti beberapa menit lagi adzan. Mendung membuat aku ragu, akan sampai rumah pukul berapa kalau terjebak hujan di jalan. Akhirnya kami mampir ke masjid terdekat sebelum pulang.
“Duduk sana, yok!” ajakku sambil menujuk arah pilar besar dekat kolam ikan.
“Duluan sana, aku mau mindah sepatu dulu ke loker, mendung soalnya. Khawatir nanti jadi perahu” celetuknya. Omongannya kadang suka ngelantur, tapi sering benar juga.
Beberapa saat kemudian dia kembali. Duduk bersandar di pilar besar. Sementara aku disampingnya asik melihat-lihat Ikan Koi di kolam. Masjid sore ini belum begitu ramai. Kami juga bersantai – santai disini sembari melemaskan otot – otot yang tegang.
“Eh, liat deh, Ikan Koinya bagus ya?” kataku mencoba membangun obrolan.
“Hmm.. suasana enak banget disini…” jawabnya tidak nyambung.
“Apa ikan – ikan itu bisa berbicara ya?” tanyaku iseng.
“Gawat sih kalo mereka bisa bicara, nanti mereka engga mau barengan lagi,” tuturnya sambil merem.
“Kok gitu?” Aku terpancing jawabannya.
“Liat tuh, corak mereka beda-beda tho.. Entar mereka ngeributin perbedaan corak itu lagi,” jawabnya masih sambil merem.
“Serius amat sih jawabanmu. Masa iya gitu?” Aku menggerutu.
“Lhooh, iya thoo bener, perbedaan corak mereka yang bikin lebih menarik. Ada yang corak hitamnya lebih banyak, corak putihnya dominan. Bahkan, corak merah mereka kadarnya juga engga sama. Kalo mereka sama semua coraknya, bukan Ikan Koi sih namanya,” balasnya agak kesal.
“Iya sih yaa..” balasku.
“Tapi aku pernah denger atau baca kisah gitu, ikan-ikan itu meskipun berbeda-beda, mereka selalu bertasbih ke penciptanya lho..” tutur dia.
“Oh ya? ini kamu gak lagi mau nyindir aku kan?” jawabku curiga.
Tidak ada suaranya lagi menjawab kecurigaanku itu. Pandanganku teralihkan ke arahnya. Ternyata gelombang otaknya telah berubah menjadi Beta, alias tertidur. Agak kesal, tapi bagaimana lagi. Ubin masjid yang sejuk, suara murottal jelang adzan dan gemercik air kolam membuatnya tak bisa mempertahankan kesadaran.
Sesungguhnya aku tersindir ucapannya tadi. Entah kenapa. Sepertinya teman sambatku ini menangkap kegelisahanku. Belakangan ini, aku sering sekali membanding-bandingkan diri. ‘Rumput tentangga terlihat sangat-sangat lebih hijau daripada rumputku.’ Pandangan diriku jadi negatif terus-menerus. Aku menyadari sesuatu. Membanding-bandingkan diri ini kadang jadi kecenderungan pada sebagian manusia, kan ya? Kecenderungan ini sedang sering mampir di diriku. Rasanya, kok jadi semakin sulit saja mencintai diri sendiri ya? Aku memandangi lagi kolam sambil merenung.
“Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah…” Tiba-tiba mulutku mengeluarkan suara itu, hatiku merasa ada sikapku yang kurang pas.
Aku mencoba untuk membuang perbandingan-perbandingan yang sempat menguasai pikiran. Khawatir semakin membawa dampak yang tidak baik. Seketika aku ingin jadi seperti ikan-ikan itu saja. Mereka tetap bertasbih pada Sang Pencipta. Terlihat tidak terlalu memperdulikan perbedaan diantara mereka. Tidak terlampau silau melihat yang lainnya memiliki ini, dan diri sendiri memiliki itu. Mencoba menerima, bagaimanapun kondisi, bagaimanapun bentuk saat ini. Lalu muncul pertanyaan kembali dalam hati. Kira-kira kenapa ya, Sang Pencipta menciptakan aku begini, seperti ini? Tanda tanya besar dalam hidup.
3 notes
·
View notes
Text
Bersikaplah kamu apa adanya.
Tak perlu susah payah memasang wajah bahagia padahal hari-harimu sedang menderita.
Tak perlu susah payah berkata kamu baik-baik saja padahal hatimu merintih pedih.
Pun susah payah kamu menyembunyikannya, satu bumi ini aku rasa tidak ada yang peduli.
Mereka sudah bising dengan isi kepala masing-masing. Tak akan sempat dan tak akan menyempatkan untuk peduli dengan harimu bagaimana.
6 notes
·
View notes
Text
Pertanda
Sunset hari ini tampak lebih indah daripada hari-hari sebelumnya. Kamu tau apa yang membuat lebih indah? Alasannya, karena didepanku berdiri seorang lelaki yang pagi tadi mengucap janji suci. Pasir putih, angin pantai yang bertiup lembut, langit yang jingga merata, semuanya serasa menjadi milik berdua. Lelaki ini berjalan kearahku membelakangi sunset. Gelap, hanya siluet postur tubuhnya yang terlihat jelas. Suamiku gagah sekali. Tiba-tiba suara bising dan memekakkan telinga datang tanpa permisi mengganggu suasana ini. Alarm dan suara anak tetangga memainkan latto latto membuatku sontak bangun dengan mata terbelalak. “Ah, hanya mimpi” sesalku.
Namaku Gita, usiaku 28 tahun. Seorang anak tunggal dari pasangan Bapak Siswandi dan Ibu Yunia . Aku seorang MUA (Make-up Artirst) newbie khusus acara kondangan. Aku jomblo sejak lahir. Sudah lelah dengan perjodohan, dan sekarang sangat malas untuk berkenalan dengan orang baru. Terutama lelaki. Sarapan pagiku adalah omongan tetangga yang sedang sama-sama menyapu halaman depan rumah.
“Eaaalaah, nduk ayuuu. Gek ndang nikah! Emane ayu-ayu rung nikah. Wes 28 tahun loh. Ndak selak ra payu,” (Eaaalaaah, anak cantik. Segera menikahlah! Sayang cantik-cantik belum menikah. Sudah 28 tahun loh. Nanti keburu tidak laku) ucapnya dengan nada ramah.
“Nggih budhe, nyuwun pangestune nggih. Mugi ndang ketemu jodohe,” (Iya budhe, minta doanya yaa. Semoga segera ketemu jodohnya) jawabku.
Heran aku. Orang ibuku aja engga pernah segitunya buru-buru supaya aku segera menikah. So sweet sekali memang tetanggaku ini. Perhatiannya padaku overload.
Hari ini aku ada job merias pengantin yang acaranya malam hari. Sampai nanti siang aku free. Sekarang mau leha-leha dulu. Aku beritahu tutorial leha-leha. Pertama, rebahkan punggungmu di Kasur atau kalau punya bean-bag lebih enak lagi. Kedua, ambil smartphonemu dan bukalah Instagram. Untuk Langkah kedua disesuaikan minatmu ya. Kalau kamu suka baca buku, silahkan ambil bukumu dan bacalah.
Baru membuka beranda Instagram kujumpai DM dari temanku yang sama-sama MUA. Kemarin kami kerja ditempat yang sama. “Git, ini temanku SD mau minta ijin buat kenalan sama kamu. Kemarin, yang kita habis ngerjain proyek bareng dia liat Instagram storyku yang ada kamunya. Terus dia pengen kenalan. Sorry yaa Git. Kemarin aku langsung kasih Instagrammu,” tulis temanku.
“oiya, gapapa Mel. Makasih yaa udah di kasih tau,” jawabku.
Dan ku lihat di tab permintaan pesan, ada satu pesan darinya. Ramasmarandhana nama usernamenya. Kubuka profilnya 0 postingan. Seperti akun bodong. Lalu ku Buka DMnya. “Assalamualaikum, Mbak Gita.. Saya Rama teman SD Melly,” tulisnya.
Pesan itu tidak aku gubris selama 7 hari. Di hari ke-7 aku buka DM dan terkejut ada banyak pesan darinya.
“Assalamualaikum, Mbak Gita.. Saya Rama teman SD Melly, mau berkenalan dengan mbaknya”
“Assalamualaikum, Mbak Gita.. Saya Rama teman SD Melly, saya ada yang bisa disampaikan….”
“Assalamualaikum, Mbak Gita.. Saya Rama teman SD Melly, boleh ijin untuk kenal dengan Mbak Gita?”
Dan 4 pesan lain yang bertema serupa namun berbeda kalimat. “Annoying,” batinku kesal.
Aku bercerita tentang hal ini kepada ibuku. Lalu ibuku menanggapi,”Gapapa Mbak, siapa tau butuh MUA untuk acara keluarganya.” Akhirnya aku balas pesan itu. “Ya, gimana? Ada yang bisa aku bantu mas?” tanpa basa-basi Rama membalas pesan yang panjang.
“Mbak, saya sudah tahu tentang mbak Gita lewat Melly. Dan saya sudah yakin kalo teman saya ini orang baik, berarti temannya juga orang yang baik. Mbak, saya berniat untuk berkenalan untuk lebih lanjut. Bukan untuk main-main, namun untuk arah jenjang yang serius.”
Aku masih bengong membaca pesannya. Tak lama kemudian aku balas pesannya, ”Mas Rama terimakasih sudah memberanikan diri untuk mengutarakan maksud. Mas, kalau mau ke jenjang serius, silahkan hubungi murabbi saya. Saya mau jalur ta’aruf lewat murabbi saya.”
Lalu ku klik send.
"Halah paling cuma main main, mana berani dia," batinku.
Kulihat sudah langsung dibaca pesanku. Lalu dia mengetik.
“Sebelum saya menghubungi murabbi Mbak Gita. Kalau diijinkan boleh tidak saya mengajukan pertanyaan?”
“Boleh.”
“Kalau Mbak Gita dihadapkan situasi, dimana calon suami tinggal bersama ibu dan adik perempuannya yang mana dia adalah tulang punggung keluarganya, lalu mbak Gita kalau sudah menikah dalam kondisi harus tinggal bersama mertua dan adik ipar, kira kira bagaimana?”
“Dalam keluarga saya, diajarkan kalau dihadapkan hal seperti itu bukanlah suatu masalah. Saya pun juga tinggal bersama orang tua. Jadi kalau saya diposisi tinggal dengan mertua juga ga masalah. Beliau juga saya anggap orangtua saya.”
“Baik, mbak Gita, saya ijin menghubungi murabbi Mbak Gita.”
-
Kamu tau? Dari aku membalas pesan itu berlanjut ke tahap pertemuan keluarga. Kami bertemu untuk pertama kali. Sosok mas Rama tinggi dan rambutnya hitam legam. Matanya tajam dibagian sudut. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya di tata rapi sekali dengan dahi terlihat jelas seperti habis di styling. Suaranya deep seperti Kim Taehyung – BTS . Begitu, mendengar mas Rama mengucap salam, hatimu akan ikut menjadi lembut.
“Apa iya, sosok se ganteng ini adalah jodohku, Ini bukan mimpi part II sunset pantai dulu itu kan?,” gumamku.
Tak lama dari pertama pertemuan ini, kami berlanjut mengenal satu sama lain selama 2 minggu. Lalu 2 bulan berikutnya kami menggelar acara pernikahan.
-
Usai acara pernikahan, dan menjamu tamu kami kelelahan dan langsung tidur saja. Lagi-lagi aku bermimpi sunset itu lagi. Namun ada yang berbeda. Laki-laki sebelumnya tidak ada didepanku. Kutoleh kanan dan kiri tidak ada. Tiba-tiba, ada yang memelukku dari belakang.
“Sayaang,” ucapnya lembut
Ku tengok belakang. Dan ternyata dia adalah suamiku yang mengucap janji suci tadi pagi.
@bentangpustaka-blog @kurniawangunadi
4 notes
·
View notes
Text
Tentang Caranya
Kemarin selesai sholat dzuhur di masjid kantor, aku dan teman kerjaku dibuat tergesa oleh pesan singkat takmir masjid. Pesannya, 'mbak, jangan lama-lama. Itu sudah ditunggu sama mas-nya.' Kening kami berkerut. Rekan kerja laki-laki seruangan maksudnya? Setelah sampai di teras masjid bukan hanya rekan kerja seruangan yang duduk di sana.
Tadi malam pesan whatsapp masuk. 'Ta, kalau besok yang tugas denganku adalah orang itu, gantiin aku ya. Kita tukeran tugas.' Pesan dari teman kerjaku yang belakangan ini sedang terang-terangan disukai oleh seseorang di kantor.
Orang tua, saudara, teman, hingga orang yang baru kenal berpesan bahwa jangan bersikap tidak baik pada laki-laki. Lebih-lebih pada laki-laki yang menaruh hati padamu. Sebagai perempuan kita diminta untuk tetap sopan, dan santun. Sayangnya hampir tidak pernah ada yang memberikan nasihat bahwa perempuan boleh memasang batasan secara terang-terangan, boleh menolak secara tegas, boleh menunjukkan ketidaknyamanan ketika dihadapkan pada situasi di atas misalnya.
Tidak hanya satu dua laki-laki yang sangat percaya diri memperlihatkan rasa sukanya melalui ucap dan sikap. Menceritakan bahwa dia sedang memperjuangkan si A kepada hampir semua orang yang ditemuinya, lebih-lebih kalau yang diajak cerita adalah teman dari si A. Seluas samudra ceritanya. Mendadak mengambilkan cemilan di sebuah acara di depan banyak orang, tersenyum senang ketika orang-orang dalam ruangan bersorak menyemangatinya. Dia lupa bahwa reaksi si A yang lebih penting untuk diperhatikan. Lalu sederet cerita lainnya. Yang laki-laki boleh melakukannya dengan caranya namun perempuan akan dicerca habis-habisan apabila melakukannya.
Perihal suka menyuka nyatanya masih sepelik ini untuk perempuan. Meski banyak yang bercerita bahwa jaman sudah berubah, tapi nyatanya tidak keseluruhan perubahannya. Dalam beberapa hal perempuan masih saja belum sebebas itu mengungkapkan apa yang membuatnya tidak nyaman dan penting untuk dilakukan.
"Ta," Suara serak menyadarkanku dari lamunan. Aku menatap teman kerjaku yang mendadak berdiri di depanku. "Aku tidak kuat diperlakukan begini." Tangisnya pecah.
2 notes
·
View notes