#CareerClass
Explore tagged Tumblr posts
Text
Anak Kedua
Mungkin menjadi harapan, mungkin juga tidak diharapkan. Menjadi yang tidak terlalu dinanti seperti yang pertama. "Sebelumnya emang susah, tapi yang kedua pasti mudah." Bukan menjadi cucu yang diberi warisan atau bukan menjadi anak kesayangan. Menjadi yang kadang lupa dijemput, menjadi yang kurang diprioritaskan. Sampai lahir lagi anak ketiga, keempat. Anak kedua merawat, bermain, dan menjaga.
Jika ada anak pertama yang sangat dinanti, atau anak ketiga yang sangat dimanja, anak kedua menjadi yang terlupa. Sehingga ia menjadi anak yang hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Menangis sendiri, terluka dan mengobati dirinya sendiri. Merayakan ultang tahun di tempat rantau sendiri. Menahan keinginan diri, mendapat yang sudah usang dari kakaknya, dan memberi yang dimiliki untuk adiknya.
Pada akhirnya anak kedua hanya berharap, hadirnya dinanti dan dirindu. Pada akhirnya anak kedua hanya berharap, untuk sesekali dipeluk. Pada akhirnya anak kedua hanya berharap, mendapat kasih, mendapat perhatian. Pada akhirnya anak kedua hanya berharap, mendapat yang kakak atau adiknya dapatkan.
Kepadamu anak kedua,
Jika semuanya terlalu berat sekarang, semoga kamu bisa menyandarkan pundakmu sejenak. Memaafkan dan mengikhlaskan. Jika semuanya terlalu berat sekarang, yakinlah bahwa Pelaut ulung tidak lahir dari laut yang tenang. Bersabarlah, Anak Kedua.
17 Nov 23
79 notes
·
View notes
Photo
Akad nikah itu benar-benar terjadi, setelah saksi berkata “sah” maka jatuh pula tanggung jawab Sabila kepada seorang pria bernama Arya Firdaus Andi Manggala. Laki-laki pendiam yang dewasa pemikirannya. Sabila akhir nya sadar bahwa laki-laki itu adalah penulis artikel yang tempo hari lalu Ia baca. Semua orang mulai menitipkan doa dan pesan, begitu juga dengan Ayah yang tersenyum bahagia melihat putri semata wayangnya itu menikah. Di Dalam hatinya, kini ia bisa pergi dengan tenang, karena tanggung jawabnya di dunia telah usai.
Kamar rawat inap hari itu jadi kelabu, napas Ayah sesak tepat satu jam setelah mereka menikah. Dokter masuk ke ruangan dengan tergesa, di tengoknya jalan napas dan kondisi tubuh Ayah. Tapi takdir berkata lain, Tuhan lebih sayang kepada Ayah hingga meminta nya dari sisi Sabila begitu cepat. Sabila dan ibu memeluk tubuh Ayah nya yang sudah tak bernyawa, tubuhnya masih hangat seperti sedang tertidur namun jiwa dan raga nya telah terpisah.
“Yang sabar Bil, Ayah sudah bahagia karena kamu, Ia pergi dengan tanggung jawab yang telah usai.” Arya merangkul pundak wanita yang baru saja Ia nikahi satu jam lalu itu.
“Kamu nggak ngerti rasanya jadi aku!” Sabila menepis rangkulan itu, Arya kaget dan terdiam. Mungkin istrinya hanya belum terbiasa dengannya.
Arya keluar ruangan itu, disana sudah ada Alby yang sedari tadi menunggu diluar. Alby mengulurkan tangan pada Arya seraya mengucapkan selamat. Kini usai sudah tugas Alby menemani Sabila, sekarang Ia akan baik-baik saja bersama Arya.
“Jangan pernah sakiti Bila ya Ar, dia sahabat gue. Dia pasti sangat kehilangan sosok Ayah, jadi lu harus pastikan jadi pengganti Ayah yang bisa dia andalkan.” Alby memeluk Arya dan menepuk pundaknya seraya menyelipkan satu pesan penting baginya.
“Pastii, pasti By.” Alby menyimpan semua ini dari Arya, dia tidak boleh tahu terkait perasaannya pada Sabila, kini wanita yang Ia cintai telah menjadi istri orang lain.
***
1 Tahun Kemudian…..
Satu tahun setelah kepergian ayah, hari-hari Sabila kembali normal, namun tidak dengan rasa cinta nya pada suami yang ternyata belum juga Ia rasakan. Sabila masih sering pergi seorang diri, pulang larut malam karena pekerjaan, dan masih merasa enggan untuk mengakui bahwa kini Ia sudah membangun rumah tangga. Arya paham bahwa itu butuh waktu untuknya, mengalah dan meredam emosi istrinya dengan cara menuruti dahulu apa yang Ia mau. Namun sebagai seorang pria, kerap kali Ia merasa ingin diperlakukan dan diperhatikan layaknya seorang suami. Disambut ketika pulang dari kantor, disiapkan makan dan kebutuhannya, menjadi teman diskusi sebelum tidur, serta hal-hal lain yang wajar dilakukan oleh suami istri.
“Kamu mau kemana?” Sabila melewati meja makan begitu saja tanpa sapa dan pamit kepada Arya yang duduk disana.
“Kerja dong, kan kantor aku nggak kaya kantor mu yang bisa work from everywhere.”
“Aku antar ya?” Arya menawarkan hal itu bukan untuk yang pertama kali, walaupun Ia sudah tahu jawabannya adalah “Tidak” tapi dia akan terus berusaha.
“Nggak usah, biasanya juga nggak pernah nganterin.”
“Ya aku nggak pernah nganter karena selalu kamu tolak kan?” nada bicara Arya kali ini mulai meninggi, Ia merasa tidak dihargai,
“Aku bisa ke kantor sendiri, kamu kan juga harus kerja, kita punya urusan masing-masing, jadi selesaikan urusan masing-masing aja. Aku nggak mau bergantung sama kamu.” Sabila menjawab ketus, Ia masih kekeh dengan kemauannya untuk tidak mau bergantung pada laki-laki itu.
“Mau sampai kapan kamu kaya gini? Aku selama ini berusaha yang terbaik buat kamu Bil, aku berusaha ngasih seluruh apapun yang aku bisa. Tapi kamu sama sekali nggak menghargai perasaanku sebagai suamimu. Kamu tahu? Mungkin ketika ayah masih ada dan melihat hubungan kita yang seperti ini, beliau juga akan sedih. Ini bukan pernikahan yang beliau harapkan.”
Sabila terdiam, secara cepat bayangan momen di saat terakhir bertemu Ayahnya itu hadir merasuki ruang-ruang kerinduannya.
“Kenapa kamu masih nggak bisa menerima aku? Apa yang salah dari usaha ku selama ini Bil? Tolong bilang, tolong komunikasikan sama aku biar aku tahu. Biar aku bisa terus menjaga amanah Ayah kamu. Putri yang sangat dia cintai.”
Sabila tertegun, Ia mencari pembenaran sejauh yang Ia bisa, namun tidak ditemukan apa salah suami nya itu. Yang ada hanyalah Ia yang belum mampu menerima Arya sehingga terus mencari kesalahannya, alih-alih membuat suaminya itu menjadi benci, Ia malah tidak menemukan celah itu. Sabila sadar bahwa selama ini hanya Arya yang berusaha mencintainya. Sabila lanjut berjalan, meski kini tiba-tiba air matanya turun, Ia tetap berangkat ke kantor tanpa diantar oleh Arya.
***
Jam menunjukkan pukul dini hari, Sabila belum juga menunjukkan batang hidung nya. Ini kali pertama Sabila pulang begitu larut. Arya mulai gelisah dan berkali-kali menengok jendela depan yang mengarah ke arah gerbang. Di genggamannya terdapat ponsel yang dari tadi Ia gunakan untuk terus menelpon Sabila. Namun hasilnya nihil, pesan tidak terkirim dan panggilan tersebut masih juga belum berhasil. Pikiran Arya mulai melanglang buana, Ia sangat khawatir apakah ini ada hubungannya dengan konflik mereka tadi pagi. Apakah bicara nya terlalu keras sehingga membuat Istri nya sakit hati dan enggan pulang kerumah.
Tidak lama setelah itu terdengar suara klakson mobil, Arya segera bergegas, barangkali itu Istri nya. Ternyata itu mobil Alby yang didalamnya juga terdapat Sabila. Sabila nampak tidak merasa bersalah, Ia langsung masuk ke dalam rumah tanpa memberikan komentar apapun termasuk mobil nya yang entah kemana sehingga Ia harus diantar oleh teman kecil nya itu. Alby turun dari mobil dan memberikan sedikit penjelasan pada Arya.
“Tadi Sabila minta tolong sama gue, mobil Sabila mogok jadi dia telpon gue untuk minta bantuan dan minta diantar pulang.”
Tanpa menjawab sepatah kata pun, Arya langsung memasuki rumah itu. Emosi nya sudah diujung tanduk, namun tidak mungkin diekspresikan di saat semua tetangga nya sedang tertidur pulas. Ia menutup pintu dan segera bergegas menemui Sabila, sementara Alby Ia abaikan begitu saja.
“Aku kecewa banget lho Bil sama kamu, kamu lagi dalam kesulitan tapi yang kamu hubungi malah laki-laki lain? kamu lupa kalau kamu punya suami hah?!”
“Aku tuh tadi……” Belum juga terjawab lengkap pertanyaan suami nya itu, Arya kembali berkata,
“Terus pulang se larut ini? Aku khawatir sama kamu Bil. Kamu sengaja mematikan ponsel mu? kenapaa?”
“Bisa nggak dengerin aku jelasin dulu?? Hari ini aku banyak kerjaan, aku pulang juga sudah malam, di jalan pulang mobil aku mogok. Soal kenapa aku nggak ngehubungin kamu yaa karena aku pikir kamu sudah tidur, jadi aku nggak enak mau ganggu.”
“Kenapa nggak enak sih Bil? Aku kan suami kamu, kamu bisa minta tolong apapun.”
“Ah sudahlah, aku capek berantem terus sama kamu!!”
Sabila pergi dengan kesalahannya sementara Arya merasa kecewa karena bukan Ia yang hadir disaat Sabila memerlukan bantuannya.
[Bersambung]
20 notes
·
View notes
Text
Ketakutan Aruna
Dua puluh dua tahun, tepat bulan lalu di tanggal dua puluh dua, Aruna bertambah usia. Sudah memasuki usia dewasa,dan senangnya semua ini berjalan sesuai mimpinya. Lulus kuliah tepat waktu dan tidak lama setelah wisuda, dia diterima disalah satu perusahaan baru di ibu kota, ‘StartUp’ begitu kata teman-temannya. Tidak masalah, karena dia menyukai latar belakang perusahaannya, meski baru Aruna yakin perusahaan ini akan berkembang. Bos dan teman-temannya di perusahaan ini sangat baik dan cerdas, meski Aruna dari kota kecil mereka tidak pernah mengganggapnya remeh, karena ayolah Aruna merupakan salah satu mahasiswa cukup baik, meski bukan lulusan cumlaude, dia merupakan sekretaris himpunan mahasiswa selama dua tahun masa jabatan. Singkatnya, Aruna cukup aktif semasa kuliah. Kehidupan sebagai orang dewasa ini tepat seperti keinginannya, tinggal sendiri ‘meski masih indekos’, memiliki pekerjaan, dan tentu memiliki uang ‘meski masih sedikit karena toh dia baru saja bekerja’. Aruna yakin, bisa seperti Alfin yang membanggakan bapak, hingga semua kebahagiannya hilang karena Aruna baru saja kehilangan pekerjaannya, pekerjaan pertamanya.
-bersambung
9 notes
·
View notes
Photo
Kebayang gak sih seorang Sabrina ikut kelas menulis, Gak kebayang sebelumnya bakal ikut kelas ini. Pengalaman menulis sebelumnya belum pernah ada, kecuali menulis skripsi hehehe 😂 Mimpi jadi penulis juga belum kepikiran. Insight apa aja dari kelas ini? Mari kita bedah satu persatu. #bentangpusaka #writtingclass #careerclass https://www.instagram.com/p/CpAps6BJotZ/?igshid=NGJjMDIxMWI=
12 notes
·
View notes
Text
👋🏻 Hai guyssss! Dalam masa pre-event, ada special offer buat bundling buku!!!! Ini bundlingnya oke banget karena ada sesi deeptalk dan voucher konseling di Mental Hub Indonesiaaaa (yang bahkan harganya berkali-kali lipat dari bukunyaaahh). This is a good opportunity! Grab your seat!!!!! Dan btw ini bisa kolektifffff. Misal satu kota mau barengan belinya, bisa banget ini tuhhhh!
2 notes
·
View notes
Text
Harapan Yang Bersinar Seperti Bintang #Bagian1
12 Februari 2023
*******************
Menjadi orang yang dibanggakan adalah harapan dan kebahagian bagi semua orang pastinya. Bangga akan kehadiranmu di kehidupan ini. Bangga akan semua yang ada dalam dirimu. Bangga atas semua pencapaianmu. Apalagi jika kehadiranmu menjadi kebanggaan orang tua. Setiap anak pasti menginginkan hal itu, termasuk juga bagi seorang anak perempuan yang saat ini tinggal di Ibu kota Jakarta. Dia adalah Jaselle Helen Lange.
“Selamat Pagi Bibi” Sapanya, saat memasuki ruang makan keluarga
“Selamat Pagi juga Nona Helen” Sapa bibi May yang sedang sibuk menyiapkan sarapan
Yap itulah nama panggilannya, Helen. Panggilan nama itu bukanlah sekedar nama yang tercantum di namanya tapi karena memang memiliki arti yang sangat indah. Sehingga setiap orang yang memanggilnya dapat sekaligus mendoakannya. Tapi bukan berarti kata lain di dalam namanya tidak memiliki arti indah. Semua kata di namanya sangat memiliki arti indah, apalagi jika digabungkan bersama.
Jaselle memiliki arti orang yang dijanjikan
Helen memiliki arti bersinar seperti bintang
Lange nama keluarganya yang diambil dari nama ayahnya
Jadi jika digabungkan Jaselle Helen Lange memiliki arti orang yang dijanjikan bersinar seperti bintang di dalam keluarga Lange. Arti nama yang sangat indah itu mengandung harapan dan doa dari kedua orang tuanya untuk dirinya. Helen pun sangat bersyukur memilikinya dan sangat berterima kasih pada kedua orang tuanya atas pemberian nama tersebut.
Helen adalah anak dari sepasang suami istri yang bernama Pen Lange dan Jean Margaret. Sepasang suami istri yang berbeda warga negara, karena ayah helen adalah warga negara Jerman sedangkan ibunya adalah warga negara Indonesia. Karena itulah helen memiliki paras cantik dengan penampilan fisik dan wajahnya yang dominan ke orang Jerman dibandingkan Indonesia, memiliki mata besar dan indah berwarna hazel, kulitnya yang terang, rambut kecoklatan dan wajah tirus. Wajah dan perawakannya mirip artis Indonesia yaitu Cinta Laura. Hal itu mungkin karena mereka sama - sama merupakan campuran antara Indonesia dan Jerman.
Meskipun dirinya sering dibilang mirip dengan artis Indonesia tersebut, tapi kehidupannya sangat berbeda 180 derajat.
“Non, sarapannya sudah siap yaa” Kata Bibi May, setelah dirasa semua sarapan sudah selesai dan disediakan di meja makan
“Bibi, lanjut beres – beres dulu dibelakang yaa Non” imbuh bibi May
“Okey Bi, Terimakasih atas makanan hari ini” jawab helen kepada bibi may sambil tersenyum dan mengacungkan dua ibu jari tanda jempol
Helen mengedarkan matanya melihat satu persatu seluruh makanan yang tersedia diatas meja.
“Menu sarapan hari ini ternyata dominan ke nuansa jerman” kata helen
Di atas meja makan tersedia susu coklat kesukaannya, Roti Brotchen (Roti yang sangat disukainya juga karena tekstur keras di bagian luar tapi lembut dan gurih didalamnya), Roti Toastbrot atau roti yang di iris tipis dengan pilihan olesan dan isian rotinya yang sangat bermacam - macam yaitu mentega, krim kacang, krim coklat, selai alpukat atau biasa disebut Guacamole (alpukat yang dihaluskan, lalu ditambahkan potongan paprika, bombay, dan tomat yang kemudian diracik dengan bumbu rempah. Ini juga merupakan kesukaannya), kemudian ada irisan daging, keju dan sayur. Tidak lupa juga terdapat sup, salad sayur - sayuran dan buah - buahan.
Sarapan yang selalu lengkap setiap harinya, terkadang bernuansa jerman, terkadang bernuansa Indonesia dan terkadang bernuansa campuran jerman-indonesia.
Helen pun mulai meracik – racik untuk lapisan rotinya sesuai dengan kesukaannya. Dan segera menikmatinya selagi masih hangat. Sarapan yang enak dan lengkap ini rasanya tetap terasa sama setiap harinya dan tidak banyak berubah. Selalu terasa kurang dan hampa.
“Hari ini pun sama” kata helen se-lirih mungkin.
“Sepi” imbuhnya lagi sambil menghela nafas panjang
Bersambung ……
****************
Apa yang sebenarnya helen rasakan? kenapa dia merasa hampa? Nantikan kelanjutan cerita Harapan Yang Bersinar Seperti Bintang #Bagian2
11 notes
·
View notes
Text
RUMAH RAHASIA
Pernahkah kamu menyembunyikan suatu yang besar dari orang lain? Takut untuk diketahui banyak orang. Takut tidak diterima keberadaannya. Takut mengecewakan orang-orang. Perasaan itulah yang dirasakan Akmal saat ini. Adalah Akmal (singkatan dari Anak Kemarin Malam). Mahasiswa Teknik di kampus ternama asal kota Waigeo itu adalah anak sulung dari dua bersaudara. Karena suka bergaul, humoris, dan berprestasi, ia menjadi dikenal banyak orang. Siapa sangka ada hal tersembunyi yang masih ia simpan saat ini. Rahasia yang tidak pernah diceritakan bahkan pada sahabatnya sendiri.
Kampus Akmal tak jauh dari rumahnya, hanya sekitar satu jam perjalanan. Namun, ia lebih memilih tinggal di kos-kosan. Katanya biar lebih mandiri. Sesekali, ia pulang ke rumah sebentar untuk memastikan bahwa keluarganya baik-baik saja.
“Bro, besok gue main ke rumah loe ya!” pinta Aji selaku Komting angkatan.
“Gue aja yang main ke tempatmu. Biar ga usah transport,” kata Akmal.
“Lah, kan udah sering ke rumahku! Sekali-kali gantian ga apa-apa, kan?” lanjut Si Komting.
“Rumah gue masih renovasi. Udah ke sini aja,” sambil menunjuk kantin Kampus. Akmal melambaikan tangan dan segera berpamitan.
Sudah berulang kali, Akmal menolak jika ada temannya yang hendak ke rumahnya. Entah kenapa, seperti ada rahasia besar yang disembunyikan. Bahkan, KTPnya saja disimpan sangat rapi dalam dompetnya. Kalau ada orang yang hendak mengantar Akmal ke rumahnya, ia selalu minta agar diturunkan di gang depan. Tidak ada yang tahu benar atau tidaknya dia tinggal di kawasan itu. Rumah Akmal masih tanda tanya.
***
Tahun telah berganti. Akmal berhasil lulus kuliah dengan waktu 3,5 tahun, lebih cepat dari teman seusianya. Teman-teman satu gengnya ingin merayakan kelulusan yang membanggakan itu. Paling tidak, sebagai ucapan selamat dan tasyakuran kecil-kecilan. Namun, Akmal masih memegang teguh prisnip itu. Tak ada seorang pun yang diperbolehkan ke rumahnya, kecuali sahabat kecilnya, Sellin. Permintaan Sellin menjadi satu-satunya yang dikabulkan oleh Akmal. Itupun setelah perdebatan panjang.
“Oke, Sel. Kamu boleh datang ke rumah. Asal…” kalimat Akmal terhenti.
“Asal apa?” tanya mahasiswi Psikologi itu sambil membetulkan kacamatanya.
“Saat ke rumahku, jangan berkomentar apapun. Janji!” Nada Akmal yang tadinya lirih, berubah intonasi.
“Gampang. Itu saja kan syaratnya?” Sellin mengakhiri pembicaraan.
***
Setelah mendapatkan alamat rumah Akmal, keesokan harinya Sellin berangkat seorang diri. Sesuai gmap, Sellin sampai di depan rumah sederhana. Tidak terlalu besar atau kecil. Tampak Cyndy, adik Akmal, membukakan pintu lalu menyambut kedatangannya. Dari balik pintu itu, Akmal terpaku.
Saat itu, rumahnya hanya ada Ibu dan adiknya saja, sedangkan ayahnya sedang ada urusan di luar. Akmal mendadak mati kutu. Keringat dinginnya mulai bercucuran. Rumahnya telah diketahui. Ia tidak bisa melarikan diri lagi.
“Silahkan masuk Sell.”
Sellin masuk ke ruang tamu. Ia diam seribu bahasa sambal memperhatikan sekitar. Rumah itu penuh sampah. Perabotan kumal, benda-benda tak layak ada di mana-mana.
“Jangan kaget ya. Sekarang kamu tahu kondisi rumahku,” kata lelaki 22 tahun itu.
Seperti janjinya, Sellin tidak akan banyak berkomentar. Saat itulah, Akmal mulai nyaman bercerita pada Sellin, lebih tepatnya seperti sesi konsultasi. Ditemani Ibu dan Cindy, ia bercerita keseharian dalam keluarganya. Rupanya selama ini Akmal menyembunyikan rahasia besar. Ketakutannya itu disebabkan karena hoarding disorder yang dialami ayahnya.
Dua jam berlalu, saatnya Sellin berpamitan pulang.
“Sekarang kamu tahu kenapa alasannya? Apakah kamu masih mau berteman denganku?”
Tak terasa, mata Akmal mulai berkaca-kaca. Apa yang disembunyikan Akmal bertahun-tahun itu memang berat untuknya. Sellin menghela nafas panjang. Ia baru paham, selama ini Akmal yang terlihat bijaksana ternyata menyimpan luka.
“Semua ini bukanlah salahmu, Mal. Jangan khawatir, kamu tetap menjadi teman baikku.”
Sebuah kata penutup yang meneduhkan. Penanda persahabatan.
10 notes
·
View notes
Text
Utang
Seorang stand-up comedian pernah berkata, "Gue gak mau punya utang dan piutang kepada orang, karena bisa jadi hal yang ribet".
Hari ini, hati ku berat saat harus membantu saudara yang perlu uang untuk biaya kuliah anaknya. Berat karena nominalnya cukup besar.
Bertanya-tanya kenapa tidak mengajukan keringanan biaya? Kenapa mereka sangat pasif? Kenapa mereka tidak bisa menyisihkan sebagian penghasilan untuk kuliah anaknya?
Aku merasa berat karena takut jika suatu hari hubungan kami tidak akur, tentunya karena perkara utang. Faktanya, sulit untuk ku ikhlas memberikan pinjaman yang bersumber dari tabungan ku dengan tujuan pasti.
Tau hal yang lebih ku benci? Sekarang aku terlihat seperti orang pelit yang tidak mau membantu sanak saudaranya.
Mencoba menghibur diri dengan kalimat rezeki sudah ada yang atur, tidak akan kemana-mana.
Tapi, hati ini masih merasa berat dan kesal.
Memang praktek ilmu ikhlas itu sulit
7 notes
·
View notes
Text
Rinai
Kurasakan sesak di ulu hatiku. Jalanku patah-patah. Rasanya sulit sekali untuk sampai ke rumah. Malam ini tepat satu tahun perjalanan kita untuk bertumbuh, berproses bersama untuk jenjang pernikahan. Begitulah komitmen yang telah kita sepakati sebelumnya. Namun, apa yang kau lakukan hari ini benar-benar tidak ku sangka sebelumnya.
"Din, maaf aku ngga bisa lanjutin proses kita. Terimakasih untuk semua pembelajaran dan hal-hal baik yang pernah kita perjuangkan."
Dalam satu tahun ini, aku jarang sekali melihat ekspresi wajahmu. Aku selalu membatasi diriku sendiri agar tidak cinta terlalu jauh sebelum komitmen pada Yang Maha Agung terucap sambil menggenggam erat tangan waliku. Namun hari ini ku putuskan, ku lihat wajahmu tanpa keraguan mengucapkan kata-kata itu.
"Kenapa Mas? Apa ada yang salah dari perilaku ku? Apa ada hal lain yang tidak bisa kamu toleransi?" Suaraku bergetar, aku mohon kali ini jangan keluar terlebih dahulu air mataku, aku mohon. Demikianlah doa dalam batinku.
"Kamu orang baik Din, percayalah. Tidak ada yang salah dari perilakumu. Tidak ada juga value yang bersebrangan diantara kita. Hanya saja aku tidak bisa melanjutkan proses ini."
"Mas Ahmad Hafidz, saya serius. Kalau saya tidak salah apa-apa, kenapa Mas mau berhenti dari proses ini? Setidaknya beri saya penjelasan." Kali ini air mataku luruh juga. Segera ku usap ia, aku tak ingin terlihat lemah dihadapan mas Ahmad.
"Maaf Din, saya sudah di jodohkan oleh keluarga. Saya tidak bisa menolak hal ini karena sudah ada perjanjian dari bapak (Allahu yarham) sama sahabatnya." Ku lihat wajah mas Ahmad tertunduk lesu. Kali ini suaranya juga bergetar.
"Maafkan saya Din, saya tahu hal ini mungkin menyakitimu. Tapi saya juga berterimakasih atas semuanya. Kamu memberi saya pelajaran banyak hal. Termasuk mencintai diri sendiri sebelum bertumbuh menggenap. Terimakasih juga atas project-project kebaikan yang memberi saya pelajaran kalau hidup bukan hanya untuk diri sendiri. Saya berharap kamu bisa bertemu dengan laki-laki baik yang bisa membantumu bertumbuh dan memperjuangkan bersama mimpi-mimpi kalian. Saya pamit dulu ya Din."
Belum sempat ku jawab pernyataan itu, mas Adam sudah menarik kursi dan beranjak dari kafe itu. Satu jam yang panjang untuk pertemuan hari ini.
"Aku harus bagaimana mas Ahmad, aku sudah terlanjur ngomong sama ibu berproses sama kamu. Di umurku yang sudah seperempat abad lebih ini. Aku sudah capek untuk bertemu dengan orang baru lagi. Kenapa baru sekarang kamu menyadari dan tahu kalau kamu dijodohkan? Salahku juga, terlalu berharap pada proses ini." Kurang lebih begitulah monolog ku dengan angin malam dan rintik hujan yang mulai membasahi bumi.
Jalan pulang kali ini ku pilih untuk berteman dengan rintik- rintik hujan. Pilihan terbaik untuk menyamarkan genangan air mata yang sudah mengalir sedemikian derasnya.
Izin tag Mas @kurniawangunadi, tim @careerclass dan tim @bentangpustaka-blog
12 notes
·
View notes
Text
Menjadi yang paling peka di setiap kejadian, tingkah laku, nada bicara seseorang, bisa menjadi menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam waktu yang bersamaan. Menyenangkan karena kamu menjadi tahu batasan dimana harus berhenti berbicara dan melakukan sesuatu. Tidak menyenangkan ketika kamu juga merasakan marah, sedih, kecewa dari orang tersebut.
Seiring berjalannya waktu perasaan itu bukannya makin menghilang justru menguat. Kamu yang lebih sering menjadi pendengar, membuatkamu terus belajar tentang sudut pandang yang mungkin saja selama ini tidak kamu sangka. Menjadi pendengar artinya kamu telah menjadi tempat sampah bagi beberapa orang yang membutuhkan validasi.
Sesimple, kamu ada, ya karena mereka ada. Walaupun sesekali menjadi ikut lelah, namun melihat respon mereka yang seolah memiliki tempat berteduh sementara, menyenangkan sekali. Udah kaya superhero menyelamatkan bumi rasa rasanya.
Sesekali cobalah menjadi pendengar yang baik, disana kamu akan banyak belajar berbagai sudut pandangan yang asing, aneh, dan tak terduga. Selamat menyelam lebih dalam dikehidupan :)
8 notes
·
View notes
Text
Persimpangan 20-an Part #24: The Packages
Terdengar ada motor berhenti, disusul suara lantang dari depan rumahku. Sepertinya itu suara kurir paket yang biasa mengantar ke area kompleks ini. Aku buru-buru mengeceknya langsung lewat jendela dapur.
"Pakeeett"
Wah, betul ada Pak Aris datang!
Dengan sigap, aku langsung berlari mengambil kerudung ke kamar dan menuju ke pintu kecil di samping dapur. Saat hendak membuka pintu, aku baru ingat kalau belum membawa minuman dingin!
"Yaaa Pak Aris! Tunggu sebentar yaa"
"Oke, Mbaaa! Santai ajaa"
Begitu selesai mengambil minuman di kulkas, aku langsung keluar menghampiri Pak Aris. Beliau adalah kurir paket andalan komplek sini, yang kedatangannya selalu ditunggu banyak orang, termasuk aku salah satunya. Apalagi di awal bulan seperti sekarang, kantung besar di kiri-kanan motornya membawa banyak sekali paket yang muatannya lebih tinggi dari hari-hari lainnya. Barangkali orang-orang pada gajian di akhir bulan, ujar Pak Aris beberapa waktu yang lalu.
"Bapaaak! Gimana kabarnya hari ini, sehat semua?"
"Selamat pagi duniaa! Hehe alhamdulillah, Mba. Lihat nih bawaan saya hari ini"
"Bukan main emang yah, banyak betul hahaha... Oiya Pak, ini saya ada minuman dingin buat seger-seger aja"
"Waduh dapat hadiah lagi saya. Sering-sering jajan aja ya Mba, jangan lupa untuk selalu cek jasa pengirimannya. Pilih si merah ya, biar semakin sering saya dapat minuman gratis sebesar ini hehehe...
Eh ini pada kemana sih, Mba? Sepi amat komplek, tumben"
"Hahaha siapp. Iya bapak nih yang tumben, datangnya siang jam segini. Biasanya datang pagi kalau kesini"
"Sekarang jam berapa memangnya, Mba?"
"Jam setengah 11 ini pak, waktunya ibu-ibu pada masak, atau jemput anak pulang sekolah, Pak. Makanya sepi"
"Weh, kudu atraksi ini kalau begitu"
"Hahaha sudah lama ya nggak atraksi, Pak? Duduk dulu, diminum sedikit sebelum atraksi"
Pak Aris hanya tertawa mendengar perkataanku barusan. Ia mulai bersiap dengan smartphone-nya sambil berdeham, untuk memastikan tenggorokannya tidak serak.
Sebentar lagi, atraksi akan dimulai...
Kamu mau tau nggak? Atraksi apa yang sering Pak Aris lakukan?
---
Suatu hari di grup pesan instan "Sistah Syantik Cemara", yang berisikan total 56 ibu-ibu kompleks, ada nomor tidak dikenal yang mendadak dimasukkan dalam grup. Bu Cintya sebagai admin grup, yang juga merupakan istri dari Ketua RW 11, terpantau mulai mengetikkan sesuatu...
"Bu ibuuk, ni ak izin mskin pak aris yh. Kurir paket kebanggan kt smwa!"
"Welcome Pak Arizz"
Seketika, pesan di grup bermunculan satu persatu, penuh dengan banyak anggota grup yang menyambut Pak Aris. Kala itu, beliau bingung. Masa kurir paket aja sampai segininya dimasukkan dalam grup ibu-ibu kompeks? Kayak penyusup mesum aja gituu, jadi satu-satunya lelaki dalam grup ibu-ibu?
"Walah bu kok sampai dimasukkan kesini"
"Gini Pak Arz, kt ni ibu2 dimarih srg ktemu bpk anter paket pas lg kmpul di Bu Iyem jg. Nah biar lbh gampil aj gt kaann ketimbng bpk dikit2 brenti, ntr kt ktmuan aj di jln kamboja, di dpn bu Iyem kt bagi2 paket hihihi kumahow pak?"
Jujur, sewaktu Pak Aris menunjukkan pesan di grup ini ke aku, mataku pusing banget membaca pesan di atas. Sudah kalimatnya panjang, ketikannya... Hadeeeh hahaha tapi lucu sih.
"Oalaah, berarti ini paketnya diambil di warung Bu Iyem ya? Kita ketemuan dan bagi2 paket di sana?"
"Y btul pak. Enak kaann? G ush keliling hihihi"
"Oke boleh deh buibu. Matur suwun sanget* lho"
"Hihi stju yhh pak! Ketok palu pokok e!"
---
Sejak saat itulah, Pak Aris seringnya berhenti mengatar pake hanya sampai Jalan Kamboja, jalan pertama dari pintu gerbang komplek. Jalan yang sama dengan lokasi rumahku. Di ujung jalan ini, ada sebuah warung yang menjual sayur mayur dan kebutuhan pokok sehari-hari. Warung Bu Iyem namanya.
Warung ini sudah seperti pusat peradaban kompleks Cemara karena barang-barang yang dijual cukup lengkap, ditambah dengan kisa-kisah hidup manusia disekitarnya. Kayaknya, sesingkat apapun waktuku bertransaksi di sana, selalu ada saja gosip atau kabar terkini yang kubawa pulang. Padahal seringnya aku hanya beli bawang bombai.
---
Kulihat Pak Aris baru saja mengirim pesan di grup Sistah Syantik Cemara.
"Sudah woro-woro, Pak?", ujarku pada beliau.
"Yang ini sudah Mba. Sekarang tinggal sisanya..."
"Bapak sih baru datang jam segini, biasanya kan pagi jam 8. Ini sudah jam 11 lewat, Pak. Waktunya ibu-ibu fokus masak sama jemput anak pulang sekolah"
"Woalaah pantesan haha sek coba yaa"
Tak berselang lama, Pak Aris langsung membunyikan klakson khas dari motornya sambil memanggil tetanggaku satu persatu.
"Bu Jen ada paket niiihh"
"Bu Gayaa pakeeett"
"Mba Citra, Bu Kiya, paketnya borong nihhh"
"Bu Cokroo, weh harume masak opoo? Paket pakeeett"
Tiba-tiba, Bu Iyem berlari keluar pagar dan memanggil Pak Aris.
"Heeeey. Paketku ono oraaa?" **
Pak Aris melambaikan tangannya, disusul dengan isyarat menyilangkan tangan sambil menggelengkan kepala.
Ketika sudah berjalan sampai ujung jalan, Pak Aris kembali lagi menghampiri motornya. Ibu-ibu yang sudah dipanggil tadi, satu persatu keluar dari rumahnya.
Saat sudah kembali ke motornya, aku berkata, "Yah, Bu Iyem kecewa tuh Pak hahaha". Beliau menjawab sambil cekikikan, "Lho ya memang nggak ada paketnya buat Bu Iyem, Mba"
---
Bu Cokro menghampiri Pak Aris yang sedang mengeluarkan beberapa kotak paket dari kantung besarnya di motor.
"Pak udah lama nunggu ya? Sampai ada bunyi-bunyian segala"
"Iya Bu, panas lho aku nungguin. Tumben sepi banget jalan ini"
"Kamu sih datangnya siang banget. Aku lagi bertempur tadi, goreng ikan jadi nggak bisa ditinggal"
"Welehh hahaha ini Bu paketnya"
"Asyikk, makasih banyak yaa Pak Aris. Oiya Pak, ini saya ada sayur asem buat bapak hehe tolong diterima ya Pak"
"Aduh kok repot-repot, Bu"
"Heh cepetan ini diterima? Saya belum bikin sambel nih, mau lanjut lagi"
"Yaudah, Bu. Terima kasih banyak yaa"
"Sama-sama, Pak. Semangat!!!", kata Bu Cokro sambil mengepalkan jemarinya untuk Pak Aris.
---
Setelah itu, muncul Mba Citra dan Bu Jen yang secara bersamaan keluar dari kediamannya masing-masing. Namun, Mba Citra yang lebih dulu menghampiri Pak Aris.
"Oi Pak! Mana paketku sama mamah, Pak?"
"Cieee borong jajan 4 kotak ya kali ini"
"Ehehehehe iya, Pak. Mumpung ada bonus dari kantor. Sikaaat!"
Saat Mba Citra mengecek informasi paketnya sejenak, ada Bu Jen yang baru datang.
"Weh Cit, paketmu banyak banget. Tak bilangin mamahmu lho nanti"
"Eh, ada Bu Jen! Ini adil lho, Bu. Dua kotak punya mamah, duanya lagi punya aku. Bu Jen jajan apa tuhh?"
"Lipstik sama bedakku habis, Cit. Ini kemarin pas lagi ada promo online, jadi cus langsung pencet hape"
"Weits, sudah canggih ya sekarang jadi sering pencet-pencet. Awas lho keranjang penuh..."
Lalu Bu Jen memotong pembicaraan Mba Cita dengan sigap, "tapi dompetku kan tipis, Cit. Nggak megang m-banking juga. Jadi saldo buat jajan ya tetep segitu-gitu aja, ngikut transferan si ayang"
Kami mendadak geli mendengar Bu Jen mengatakan hal tersebut.
"Guayaaa sekarang manggil si bapak pakai ayang-ayangan segala", goda Pak Aris. Sontak, kita tertawa bersama.
"Biar kayak anak muda gitu lho, ih kalian mah.
Eh iya, Ibu habis bikin roti gandum sama selai srikaya banyak tuh. Sebentar ya, jangan pada pergi dulu, tunggu sini", ujar bu Jen sambil membalikkan badan dan masuk ke dalam rumahnya.
Selang beberapa menit kemudian, saat aku sedang asyik mengobrol dengan Mba Cita dan Pak Aris, Bu Jen keluar dengan membawa tiga kantung plastik besar untuk kami.
"Ini anak-anakku. Roti dan selainya masih fresh, baru matang hari ini"
Aku dan Mba Cita serempak mengucapkan terima kasih kepada Bu Jen, sambil mengambil kantung plastik itu dari tangannya. Bu Jen tersenyum senang melihat kami yang girang mendapatkan makanan gratis.
"Aku balik dulu yaa, terima kasih Pak Aris", kata Mba Cita.
"Saya juga ya, Pak Aris. Makasih banget kalau naruh paket di teras tuh pelan banget. Nggak ngagetin kucing saya"
"Iya, sama-sama semuanya", balas Pak Aris dengan senyum dan suara yang lembut.
---
"Ini paket lainnya banyak yang punyanya orang komplek sini, Pak?"
"Iya hampir semuanya, Mba. Nih di grup baru pada kasih info, benar kata Mba. Lagi pada masak dan jemput anak sekolah. Paketnya minta dititip ke Bu Iyem aja katanya. Paling besok baru bisa diambil sambil belanja sayur"
"Oooh okedeh, Pak. Pak, saya baru ingat itu ada titipan dari bunda. Sekardus susu ultrra mumi, buat Rangga, Pak"
Pak Aris mendadak kaget dan memegang pelipis dengan jemarinya, "Duh Gustiii". Sontak aku tersenyum sambil menjawab, "Kenapa, Pak? Gapapa ini buat bapak, rezekinya Rangga, Pak."
"Mba, kok mesti orang sini tuh mau repot-repot sama saya"
"Lhoo kok gitu? Haha enggak, Pak. Nggak ada yang merepotkan. Kita senang banget kenal bapak. Bapak sudah banyak bantu kita kalau ada pengembalian barang-barang. Tolong diterima ya, Pak"
Mata Pak Aris berkaca-kaca. Beliau menyalami tanganku sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Tidak, punggung tanganku sudah basah. Sepertinya beliau menangis. Aku tidak berani menatapnya. Aku pura-pura lihat langit aja. Ah, aku jadi ingin ikut menangis juga kan?!
Pak Aris menaruh kardus itu di sela pijakan kaki pada motor matic-nya. Beliau pamit pergi untuk melanjutkan pekerjaannya dengan mata yang sedikit sembab.
---
Orang-orang komplek ini sudah tau kalau beliau hanya tinggal berdua dengan anak satu-satunya yang bernama Rangga. Istrinya sudah lama meninggal dunia, bersama bayi pertama yang dikandungnya.
Rangga adalah anak laki-laki yang ditemukannya di semak belukar empat tahun lalu, saat Pak Aris sedang membantu tetangganya untuk mencari rerumputan pakan kambing. Kala itu, Pak Aris masih berduka atas kepergian istri dan anaknya. Beliau pernah berkata, barangkali Rangga itu rezeki dari Allah untuk menghibur hatinya. Sejak saat itu, Pak Aris memutuskan untuk memasukkan Rangga dalam kartu keluarganya yang baru, bersamaan dengan kerelaan hatinya untuk menghapus nama sang istri.
Nama Rangga adalah nama pemberian dari beliau. Walaupun Rangga bukan anak kandungnya, bahkan sampai sekarang kita semua juga tidak tahu siapa orang tuanya, beliau sangat menyayanginya.
P.s
*) terima kasih banyak
**) paketku ada nggak?
7 notes
·
View notes
Text
Bintang-Bintang
Semakin dewasa, pandangmu terhadap segala hal menjadi lebih luas. Memang tidak mudah menjadi dirimu di usia saat ini. Tak jarang melihat kanan kiri, merasa tertinggal dan terlampau jauh.
Teman-temanmu sudah diwisuda dengan nilai yang memuaskan, ada yang sedang merintis usaha barunya, membeli rumah dari tabungannya sendiri, memberangkatkan haji kedua orangtuanya, menghidupi keluarga hangat dan mendidik anak-anak yang lucu.
Pada akhirnya, kamu sadar. Bahwa orbit setiap insan berbeda. Selagi kamu berjalan di orbitmu, kamu tetap layak disebut seorang pejuang, bukan pecundang. Sebab, bukan tentang siapa yang lebih dulu berjuang. Namun, tentang siapa yang bisa terus berjuang dalam garis-garis orbit yang telah Ia tetapkan.
Meski berada pada langit yang sama, kelap-kelip bintang tidak bersinar terang bersamaan. Ada kalanya ia redup, namun tetap nampak terlihat. Ada kalanya ia berkelap-kelip seolah mengajak kita berkenalan semakin erat.
Setiap detik, bintang mampu mengubah empat juta ton materialnya sendiri menjadi panas dan cahaya melalui reaksi fusi nuklir. Cahayanya sangat terang karena suhu inti bintang bisa mencapai jutaan derajat celsius.
Bintang-bintang yang kamu lihat itu seperti dirimu. Kamu bisa selalu memancarkan cahayamu, tetapi tidak bisa melihat cahayamu sendiri. Hanya orang-orang di sekitarmu yang mampu melihatnya.
Tetap bersinar di garis orbitmu, ya! ^^
(Fsa)
225 notes
·
View notes
Photo
Sabila dan Arya terus melanjutkan perjuangan mereka untuk bisa memiliki keturunan. Mereka memulai dari awal kembali perjalanan cinta yang sebelumnya hambar tak berasa. Sabila perlahan mengerti bahwa setelah menjadi istri, Ia bukanlah Sabila yang dahulu. Berambisi akan segala cita-cita tinggi nya. Bahkan, tidak ada orang tua yang benar-benar menuntut anaknya untuk bisa sukses sampai tak sempat bahagia, merelakan segala hal yang seharusnya bisa dinikmati dengan santai tanpa terburu-buru dan terkejar oleh dunia.
Arya mungkin adalah satu dari sekian ratus laki-laki baik yang masih tersisa di bumi, jika pepatah mengatakan wanita tercipta dari tulang rusuk yang bengkok. Arya tidak serta merta meluruskan apa-apa yang bengkok itu dengan ego nya, dengan senang hati, perlahan tapi pasti, kini Ia menuai apa-apa yang telah diperjuangkannya selama satu tahun lebih menjadi suami yang tak dianggap bagi Sabila. Arya percaya bahwa hati tak selama nya keras, perasaan tak selama nya membeku. Dengan segala usaha yang Ia bisa, memberikan seluruh perhatiannya dan menjalani suka duka nya, Ia paham bahwa tidak ada perjuangan tanpa hasil nihil.
Di proses perjuangan mereka, Sabila dan Arya memaknai bahwa anak adalah karunia terindah yang diberikan oleh Tuhan. Hal itulah yang membuat mereka benar-benar memaknai makna menjadi orangtua, walau sulit namun mereka mengusahakan yang terbaik, termasuk Sabila yang akhir nya memilih resign dari pekerjaannya untuk lekas menyembuhkan penyakitnya dan bisa segera menjalani program hamil. Itu adalah keputusan yang berat baginya, namun Arya selalu bisa membuat Sabila menurunkan ego nya.
“Assalamuallaikum.”
“Waalaikumussalammmmm. Selamat datanggg istrikuuu.”
“Hah apaan ini kok banyak balon-balon dan ucapann? Ada kue juga? Siapa yang ulang tahun?”
“Nggak ada, tapi aku mau kasih kejutan penyambutan buat kamu di hari terakhir kamu pulang kerja.”
“Kejutan macam apa iniiii? Kejutan untuk menyemangati aku karena besok-besok akan jadi ibu-ibu yang penuh kesibukan kerjaan rumah ya?”
“Yang jelas dimata aku kamu nggak berubah sama sekali, tetap Sabila yang keren dan penuh pencapaian. Makasih yaaa kamu udah mau berjuang bukan untuk kamu saja, tapi untuk kita.”
“Hehehehe, jujur rasanya lebih legaaaaa. Aku pernah ketemu quote bagus banget,bunyi nya gini: kalau jadi ibu yang bekerja muncul nya perasaan bersalah, tapi kalau jadi ibu rumah tangga muncul nya perasaan nggak berharga. Tapi perasaan itu rasanya nggak terlalu penting karena ada kebahagiaan banyak orang yang menyertai, terutama kebahagiaan kita.”
“Yang penting kamu melakukannya bukan karena terpaksa yaa, semoga Tuhan melihat perjuangan kita ini.”
Kepututusan besar itu akhirnya diambil oleh Sabila, tidak pernah terbayangkan oleh nya bahwa sosok Sabila itu bisa mengambil keputusan yang menantang ini, semua demi kesembuhannya dan segera memperoleh apa yang mereka usahakan. Sabila menyadari, di hidup ini tidak selamanya akan sesuai atas apa yang dia rencanakan. Terkadang hidup tentang mengalah atas segala rencana yang kita rancang. Tidak semua ingin harus terwujud begitu juga tidak semua harap harus terkabul.
Sesi penyembuhan, perbaikan pola hidup, dan terapi Sabila jalani. Progress nya sangat baik dari kategori PCOS stadium akut menjadi stadium ringan dalam waktu 6 bulan saja. Selanjutnya Arya dan Sabila siap menjalani program hamil dan tidak disangka-sangka proses nya juga serba dimudahkan. Sabila hamil pada program mereka yang pertama. Sabila sangat terkejut karena ternyata Sabila mengandung anak kembar. Ini sebuah bayaran nikmat tiada terkira untuk Sabila karena telah berjuang dengan sungguh-sungguh tanpa tapi untuk kehidupan anak manusia. Ia mungkin merelakan mimpi-mimpi nya, namun Ia menghidupkan mimpi-mimpi baru untuk kedua calon anaknya itu. Ia bisa menjadi lebih fokus dalam menjaga dan merawat kedua buah hatinya kelak.
—
“Keputusan yang terbaik adalah keputusan yang diambil dengan hati yang lapang dan diskusi yang tenang”
Diluar sana pasti banyak sosok wanita seperti Sabila, yang pasti apapun itu segala keputusannya akan menjadi baik jika tidak memelihara perasaan bersalah pada semua pihak. Semoga dari cerita ini, dapat diambil pelajaran bahwa merelakan bukanlah akhir dari segala nya.
[TAMAT]
18 notes
·
View notes
Text
Bab 2: “Mulai Menatap Masa Depan”
Sekarang aku sedikit tak perlu khawatir, ada Wiliam yang akan menjadi support systemku. Mimpiku sejak kecil adalah membuka sebuah restaurant terbaik di kota ini dan Tuhan ntah mengapa mempertemukan aku dengan tuan Priscot. Diberi sebuah tanggung jawab besar untuk menjalankan toko rotinya.
“Lilac, saya sudah tidak tahu mau mewariskan toko roti ini kepada siapa. Tidak ada yang saya percayai selain dirimu untuk menangani toko roti ini. Lilac kamu tahukan kalau usiaku tidak muda lagi dan saat ini saya mulai merasa bahwa badan ini tidak fit seperti sediakala. Toko roti ini adalah mimpi istri saya dan saya ingin mempertahankan toko roti ini meskipun saya sudah tiada kelak.” Ucap tuan Priscot yang membuat diriku menerima semua keputusannya. Kala itu saat tuan Priscot memutuskan memberikan toko roti ini padaku. Aku berbaik sangka pada Tuhan, apakah kali ini Tuhan mendengar doaku? Mendengar doa-doa dari orang sebatang kara ini. Harapan-harapanku terus aku panjatkan pada Tuhan meskipun ntah doaku keurutan berapa yang Tuhan kabulkan dan kali ini, sesuatu yang membuatku menangis terharu. Ternyata Tuhan tidak lupa dengan diriku yang malang ini.
"Bermimpilah setinggi mungkin, jangan takut terjatuh. Ada aku yang membantumu untuk bangkit kembali" ucap Wiliam saat aku menangis sendiri.
Sebuah support system terbaik sangat dibutuhkan saat ini. Wiliam adalah hal terbaik yang diberi Tuhan untukku.
Hari ini toko roti ramai seperi biasa, banyak pelanggan dari dalam dan luar kota untuk membeli roti. Aku dan Wiliam sibuk untuk melayani pelanggan dengan pelayanan terbaik kami. Semua menu utama habis dalam waktu 2 jam saja, aku sangat bersyukur 2 tahun ini toko roti berkembang semakin baik.
Bulan kemarin aku mendapatkan sebuah informasi bahwa di kota ini ada sebuah perlombaan membuat pastry dan hadiah untuk juara utama adalah pendanaan usaha dan sekolah pastry ke Swiss. Aku sangat senang mendapatkan kabar ini dari tetanggaku Ms. Raina. Aku sudah memberitahu Wiliam mengenai rencanaku untuk mengikuti perlombaan ini dan dia sangat mendukung sekali.
Aku semangat untuk mempersiapkan pendaftaran dan juga berlatih untuk lomba nanti. Semua jenis partry aku coba untuk dipraktekan dari pastry khas negara ini sampai pastry dari negara lain semua aku coba praktekan. Aku belajar teknik dasar sampai skill tertentu dalam pembuatan pastry. Aku tak mau melewatkan kesempatan ini, sehingga aku belajar sungguh-sungguh. Wiliam membantuku dalam menyiapkan kebutuhan belajar aku, disamping memanage toko roti. Ia tak henti-hentinya menyemangatiku
Hari itu waktu perlombaan dimulai, ternyata peserta tidak hanya dari negaraku saja bahkan ada dari luar negeri. Seketika itu nyaliku ciut. Aku pikir skillku tak mumpuni untuk mengalahkan mereka. Perlombaan di bagi jadi 2 hari, hari pertama dilakukan ujian teori meliputi dunia pastry. Disini keahlian kita dalam ilmu pastry di uji, apakah kita tahu dasar teori bahkan asal negara bahan-bahan pembuat pastry disini diujikan. Di hari kedua dilaksanakan ujian pastry dengan 3 cabang berbeda dan semua peserta harus bisa melewati 3 bagian itu. Semua berdasarkan waktu dan rasa serta ketepatan dalam pembuatan. Semua teknik pastry dinilai disini.
Aku berhasil melewatkan semua dengan tepat waktu. Aku lega meskipun tadi ada sedikit kendala karena ada 1 resep yang aku tak tahu sama sekali dalam pembuatannya. Semoga aku tak melakukan kesalahan terlalu besar. Aku berjalan keluar menuju tempat Wiliam menunggu. Dia mendukungku 2 hari ini.
“Bagaimana sukses?” Ucap Wiliam begitu aku duduk disampingnya dan ia tak lupa untuk memberi minuman dingin untukku. Aku mengambil minuman itu dari tangannya dan menegak minuman itu sampai habis
“Aku melakukan sebuah kesalahan, huh. Aku gak tau satu resep tadi.” Cerocosku
“Anggaplah itu membelajaran buatmu, berarti sekarang kamu tahu kan didunia ini ada makanan seperti itu” Ucap Wiliam
“Iyah sih, hah. Semoga hasilnya membuatku senang yah hehe” Ucapku berharap
Hasil dari perlombaan itu diumumkan 1 minggu kemudian, dan kami harus setia menunggu untuk itu.
#tugaswritingcareerclass#5CC#CC#careerclassxbentangpustaka#careerclass#bentangpustaka#writingworkshopcareerclass#cerita pendek#fiksi
3 notes
·
View notes
Text
#23 Mereka Berhak Tau
Jalan hidup seseorang memang tidak ada yang pernah tau. Akan mengalami apa atau bertemu dengan siapa. Kali ini semesta mempertemukan Raina dengan seseorang yang tidak pernah kusangka akan mewarnai harinya, sebut saja Aksara. Aksara, laki laki yang mampu menggoyahkan tembok pertahanan Raina yang dengan sengaja dibangun agar tidak sembarang orang bebas masuk ke dalamnya.
Raina, duduk di dalam kamarnya, Ia membuka ponselnya, membaca percakapan whatsapp dengan sahabatnya. Di bacanya berulang kali “Iya Raina, lo bener banget. Kali ini lo harus cerita ke Bapak dan Ibu”
Bercerita ke Bapak Ibu bagi orang lain barangkali menjadi hal yang begitu mudah untuk memulainya. Tapi bagi Raina, hal itu menjadi salah satu hal yang sulit untuk dimulai -walau akhir akhir ini Raina sudah lebih terbuka dengan orangtuanya-. Apalagi tentang laki – laki, belum pernah sebelumnya laki – laki menjadi topik pembicaraanya dengan bapak dan ibunya. Rasanya canggung untuk membahas
Raina beranjak keluar dari kamarnya menuju ruang tamu, bapak dan ibunya sedang berbincang bincang ditemani dua cangkir teh hangat dan roti kelapa favorit keluarganya.
“Pak, Bu …” Raina berjalan mendekat dan mencoba memulai pembicaraan
“Iya nduk sini duduk, kenapa?
Raina berjalan dan duduk tepat di samping Ibunya. “ndak papa Pak, Bu aku mau mengerjakan tugas dulu” katanya sambil bergegas berjalan lagi menuju kamar tanpa melihat ke belakang.
“Pak, kayaknya Raina ingin menyampaikan sesuatu tapi ndak jadi, apa ya, atau sedang ada masalah” Kata Ibunya yang keheranan sekaligus khawatir melihat tingkah Raina.
“Ah ndak papa, kita kasih waktu dan kesempatan dulu untuk Raina menyampaikan, besok atau lusa kalau belum menyampaikan, nanti baru kita tanya”. Ayah Raina mencoba menenangkan Ibunya.
Raina duduk di kursi kerjanya di dalam kamar. Di bacanya lagi pesan whatsapp sahabatnya. “ Ra dari sudut pandangku kamu harus bilang sama orang tua, terbuka aja ndak papa kok, sampaikan tentang dia seperti apa, pekerjaanya, sifatnya, keluarganya, orang tuamu menurutku berhak untuk tau lhoo Ra. Kalau kamu susah, pelan pelan aja. Tapi pokoknya sebelum melangkah lebih jauh, kamu harus. Harus ya, harus “
“Harus Ra, harus Ra, harus bilang” Raina menyakinkan dirinya sendiri. “Oke besok aku akan coba lagi untuk bilang ke Bapak dan Ibu” kata Raina dalam hatinya.
3 notes
·
View notes
Text
Buku Mewarnai Aurora (Bagian 3)
BAB 3: Permulaan
Perjalanan panjang baru akan dimulai. Rasanya? Menakutkan sekaligus menyenangkan, bukan? Dadamu akan berdegup lebih kencang, keringat dingin dengan bulir sebesar biji jagung membasahi diri, tak apa. Nikmati saja!
Aurora menyiapkan lembaran kertas itu dengan rapi dalam amplop coklat biasa orang-orang pakai untuk mengirimkan lamaran kerja. Awalnya ia ingin membuat kejutan. Menaruhnya di meja tamu, pura-pura tak tahu, lantas terkejut dan bersorak setelah membaca isinya. Namun niatnya diurungkan. Orang-orang rumahnya bukan tipikal penyuka kejutan.
Aurora baru saja memasak tumis kangkung ketika Abang tiba dan bersingkut untuk mandi. Lantas jahil merecokinya yang sedang memasak.
“Kurang garam, Ra.” ucap Abang setelah menyendokkan kuah sayur untuk dicicipi. Lantas menuangkan kaldu jamur di panci yang berisi sayur.
“Ikan asin kemarin goreng lagi ya, Ra. Sama masakin sambal bawang ya.” Abang mengusap kepalaku. Membuat rambut ikalku berantakan.
“Banyak maunyaaaa,” selorohku sembari tertawa. Ruang dapur yang sempit terasa lega.
***
Aku baru saja memberikan lembaran itu ke bapak. Bapak sudah membacanya tuntas–aku yakin itu, dari gerak gerik matanya dan helaan nafas yang berat. Tak ada tapi, izin merantau kali ini akan segera aku kantongi.
Aku bertukar pandang dengan Abang sedari tadi. Tapi abang lebih banyak diam sesekali memainkan jemarinya di ujung cangkir.
“Ini sudah ditanggung semuanya, Ra?” Akhirnya. Suara bapak yang kutunggu-tunggu terdengar juga.
“Iya, Pak.” Aku mengangguk mantap.
Seleksi gelombang dua kampus swasta itu rumornya lumayan sulit. Aku hampir menyerah. Tapi di saat bersamaan, Lia mengenalkanku pada Luter, sepupunya yang berkuliah di sana untuk memberikan soal ujian tahun lalu. Tak banyak yang sama, namun sedikit-banyak membantuku belajar untuk ujian masuknya.
“Tapi, nilai adek harus stabil. IPK minimal 3,50 setiap semesternya agar beasiswa tidak dicabut.” Aku menghela nafas berat. Aku sudah tahu konsekuensinya ketika mendaftar.
“Terus kalau gak nyampe gimana? bayar sendiri?” tanya bapak lagi.
Aku mengangguk. “Nanti di Jakarta adek sambil kerja, Pak.”
“Kerja apa?” Bapak menatapku sinis.
“Kamu berkendara aja gak bisa. Hidup di ibu kota itu keras.” kata bapak lagi.
“Nanti Abang bantu-bantu buat kirim adek juga, Pak.” kali ini abang buka suara.
“Bang, kamu perlu menabung untuk hidupmu juga,” suara bapak melunak.
“Ra, usaha Wak Dolah lagi sepi bakda pandemi ini. Kau lihatlah abangmu itu ampe kerja jadi kurir paket. Siang-malam nganter barang, kerja ini-itu. Bapak juga sudah tua. Kau gak berbakti kali gak mau ngurus bapak dan abangmu ini,”
Aku dan abang terdiam.
“Apa yang kau cari di ibu kota hah?” tanya bapak lagi.
“Kau mau kerja apa? Kau mau jadi kayak ibumu?” tanya bapak lagi.
Abang sudah menundukkan kepalanya, membuang muka. Kami sudah hafal tabiat bapak kalau sudah meracau panjang lebar.
“Pak, izinkan adek ngomong,” ucapku akhirnya memberanikan diri.
“Bukan soal jakartanya, Pak. Dimanapun sekolahnya, adek mau. Asal di jurusan yang adek pengen. Adek mau mengubah nasib, Pak. Bantu abang dan bapak juga.”
“Bantu apa?”
“Bantu apa dengan pergi meninggalkan bapakmu yang lumpuh ini? Bantu buat melihat bapakmu cepat mati?” Bapak memegang dadanya. Mukanya mulai meringis. Aku sudah hafal betul tabiat ini. Abang segera menghampiri bapak yang berada di kursi rodanya.
“Istirahat yuk, Pak. Besok kita ngobrol lagi.” Abang menuntun bapak ke kamarnya sambil matanya mengisyaratkan untuk tenang.
***
Aku segera membereskan meja makan dengan perasaan kalut. Tiga hari lagi batas akhir pendaftaran ulang. Bapak tak ingin menemuiku setelah malam itu. Ia lebih banyak mengurung diri di kamarnya. Abang juga menenangkanku bahwa bapak akan baik-baik saja. Siang tadi, Lia datang ke rumahku menanyakan apakah aku jadi berangkat dengannya. Bibinya sudah menyiapkan travel untuk keberangkatannya besok sore.
Aku duduk di beranda rumah. Memperhatikan putik buah jambu air yang mulai merekah. Sebentar lagi akan panen. Biasanya anak-anak akan berteriak meminta jambu air dari depan pagar atau undangan makan rujak bersama di warung bu Ipeh. Biasanya aku akan membawa sekantong besar jambu air yang matang serta buah-buah lainnya.
Abang tiba tiga puluh kemudian. Memarkirkan motornya di ruang tamu. Sudah lama aku tidak memperhatikan abang sedekat ini. Waktu kecil, ia seringkali menjagaku saat bermain di lapangan. Meskipun ia juga teramat jahil padaku. Pernah suatu hari, abang menggendongku dan menyangkutkanku begitu saya di atas pohon asam ketika sedang bermain petak umpet. Barulah menjelang magrib aku ditemukan warga karena mendengar suara parau ku menangis. Abang dengan santai bilang lupa menaruhku di sana. Warga sudah heboh mengira aku diculik hantu.
“Nih,” Abang memberiku sebuah amplop putih tebal. Aku membukanya pelan. Isinya sebuah tiket bus ke Jakarta dan uang dua juta rupiah.
“Abang belum bisa kasih banyak. Kau harus janji belajar yang rajin. Jangan aneh-aneh di ibu kota.”
Abang merogoh kantong kemejanya. Memberikanku sebuah kotak telepon genggam.
“HP-mu sudah rusak layarnya kan ya? Ini hadiah kelulusanmu. Abang bangga padamu, Dek. Selamat ya,”
Aku memeluk abang dengan tangis yang tidak bisa kutahan lagi. Air mataku sudah tumpah ruah sempurna. Abang menenangkanku.
“Besok abang coba bilang ke bapak. Semoga bapak bisa memahami ya,” Abang mengusap air mataku. Aku mengangguk.
“Jelek kali mukamu, Dek. Sudah kusam, sembab pula sekarang.” goda abang. Aku menabok bahu abang dengan amplop berisi gepokan uang yang ia berikan. Lumayan keras juga ternyata bunyinya. Kami tertawa bersama.
***
Perjalanan dimulai!
Apa yang kau takutkan dari sebuah perjalanan? Bukankah ini awal petualangan yang menyenangkan?
Entah apa yang disampaikan abang kepada bapak, pagi-pagi benar bapak sudah duduk di meja makan. Masih dengan diam yang membuat suasana lebih mencekam. Aku menyiapkan sarapan tanpa gesa. Bakda subuh, abang bilang akan mengantarku berangkat siang nanti ke terminal. Abang memintaku untuk berkemas dan mempersiapkan apa saja yang dibutuhkan selama di Jakarta. Juga berkas-berkas persyaratan kuliahku. Ajaibnya, surat pernyataan orang tua juga sudah ditanda tangani oleh bapak. Aku memastikan tidak ada yang tertinggal di tas bawaanku.
Meja makan lebih senyap daripada biasanya. Abang tidak bekerja hari ini. Mungkin ia bertukar shift kerja atau entahlah. Biasanya abang akan memakai kaus ekspedisi tempat ia bekerja. Pagi ini abang hanya memakai kaos partai lusuh bekas pemilu bupati beberapa bulan lalu. Aku bersiap merapikan meja makan ketika semuanya sudah selesai makan bersamaan dengan bapak menegurku untuk mendekat duduk di sampingnya.
Bapak menatapku lekat. Aku bisa memperhatikan seksama raut wajah bapak yang kian menua. Guratan tangannya yang mulai mengendur. Matanya yang kian sayu meski tanpa kaca mata. Memori masa lalu berdesakan datang. Memutar bak radio usang ingatan ketika kali pertama bapak menggendongku, kali pertama bapak mengajariku mengendarai sepeda hingga aku tersungkur setelah menabrak pagar rumah, dan kenangan heroik lainnya. Air mataku hampir tumpah. Aku segera bersimpuh di kaki bapak.
“Maafin adek, Pak.” ujarku penuh penyesalan. Entah kapan terakhir kali aku berbincang dengan bapak sedekat ini. Kami selalu makan malam bertiga, namun meja makan lebih banyak senyap beberapa tahun belakangan.
“Bapak tau adek sangat spesial. Bapak yang minta maaf selalu memaksakan kehendak bapak,” Bapak mengusap punggungku. Menenangkanku yang terisak.
“Dek, berjanjilah jaga diri dengan baik di sana ya.” ucap bapak lagi.
Bapak membantuku duduk kembali. Mataku sudah sembab. Bapak memberikan sebuah tas kecil berwarna putih kusam kepadaku.
“Eman-eman ya. Kalau kurang, nanti bilang ya. Bapak akan bantu kirimi lagi.” Bapak mengusap kepalaku lembut. Seperti yang biasa ia lakukan ketika mengantarku pergi sekolah waktu kecil.
“Belajar yang bener di sana,” kata bapak lagi. Aku mengangguk takzim.
Abang sudah berdiri di sampingku. Bersiap memakai jaketnya. Memberi isyarat untuk segera bergegas. Jam sudah pukul dua. Sementara busku berangkat pukul empat.
“Berkabaran selalu ya, Dek.” ucap bapak lagi. Aku menangguk mantap.
Aku segera bangkit lalu memeluk bapak erat. Seakan tidak ingin waktu memisahkan kami cepat.
***
Kami tiba di terminal tepat waktu. Abang memesankan bus eksekutif. Sangat nyaman untuk perjalanan darat hampir 30 jam lebih mendatang. Abang juga membekaliku beberapa cemilan dan makanan ringan untuk teman perjalanan. Ini perjalanan darat terjauh pertamaku. Seumur hidup, dari SD hingga SMA, aku tidak pernah bepergian keluar kota. Jangankan untuk ikut acara study tour dari sekolah. Uang makan saja kami harus mengaturnya dengan baik. Lia sudah mengirimkan pesan alamat bibinya padaku. Ia sudah berangkat lebih dahulu. Aku menatap langit senja yang berwarna jingga terang. Lambaian tangan abang, pelukan hangat bapak, dan semua kenangan disini akan menjadi penguatku untuk berjuang di ibu kota.
Namanya, Jun.
Aku memulai bulan-bulan pertama perkuliahan dengan cukup kewalahan. Proses daftar ulang dan segala beluk kampus terbantu oleh Luter sepupu Lia. Meskipun kami berbeda fakultas, teman-teman Luter ternyata lebih banyak yang satu jurusan denganku. Awalnya aku tinggal bersama Lia di rumah bibinya. Ruko tepatnya. Terdiri dari tiga lantai. Lantai dasar digunakan untuk salon, lantai dua untuk keluarga bibinya, dan lantai tiga sebenarnya gudang–yang sekarang menjadi tempatku dan Lia tinggal. Bibi Lia menerima kami dengan baik. Mengajari kami seluk beluk persalonan, mulai dari cuci rambut, potong rambut, blow, dan segala macamnya. Lia dengan mudah belajar. Aku tidak. Puncaknya, pekan ketiga aku tumbang. Setelah dihantam kegiatan kampus yang lumayan padat untuk mahasiswa baru juga sore hari membantu bibi Lia di salonnya.
Aku izin untuk pindah kos dekat kampus pada pekan setelah UTS setelah mencoba berdamai dengan suasana bising di ruko salon Bibi Lia. Terlebih, aku tidak banyak membantu di salonnya karena energi sudah habis mengurus perkuliahan.
“Adek ga berantem sama Lia kok, bang. Suer tekewer-kewer deh!” Aku mengacungkan dua jari berbentuk peace.
“Sudah babak belur dihajar asistensi.” lanjutku lagi
“Adek ketinggalan jauh banget, Bang. Ini untung teman-temannya baik, gak sombong. UTS kemarin kami sekelas ngerjain bareng dan nginep di studio kampus!” ceritaku antusias.
Abang bercerita banyak hal soal rencana menikahnya dalam waktu dekat. Bapak juga sibuk menggoda abang. Mencari kesana-kesini, akhirnya abang terpincut dengan Fani, anak bi Ipeh tetangga tempat kami biasa belanja di warungnya. Aku menutup panggilan video itu setelah Ica, teman sekelasku mengajak untuk bersiap masuk ke kelas berikutnya.
“Ra, kamu liat cowok berambut ikal sweater ijo kelabu itu?” tanya Ica berbisik.
“Arah jam 10,” katanya lagi.
Aku mengedarkan pandang. Mataku tertuju pada lelaki berbadan atletis, cukup tinggi, dengan rambut ikal dan memakai sweater ijo dengan buku-buku dan tabung gambar di bahunya. Penampilannya khas anak teknik pada umumnya.
“Kenapa dengan dia, Ca? kamu naksir?” tanyaku sambil melirik Ica.
Ica ber-hus padaku. “Namanya Jun. Kata ana-anak, dia bisa pergi ke masa lalu.”
Aku mendelik. Menatap tak percaya. Hellow? udah abad 21, berita macam apa ini? Ica mengajakku bergegas setelah melihat Pak Sar, dosen mata kuliah rupa dasar dua dimensi menuju ruang kelas. Bisa berabe kalau telat barang satu detikpun. Alamat tidak bisa ikut belajar di kelasnya.
***
#kambingwangi#misskambingwangi#careerclass#5cc#bentangpustaka#cerpen5cc#tugaswritingcareerclass#writingworkshopcareerclass
3 notes
·
View notes