#5CCday4
Explore tagged Tumblr posts
Text
RUMAH RAHASIA
Pernahkah kamu menyembunyikan suatu yang besar dari orang lain? Takut untuk diketahui banyak orang. Takut tidak diterima keberadaannya. Takut mengecewakan orang-orang. Perasaan itulah yang dirasakan Akmal saat ini. Adalah Akmal (singkatan dari Anak Kemarin Malam). Mahasiswa Teknik di kampus ternama asal kota Waigeo itu adalah anak sulung dari dua bersaudara. Karena suka bergaul, humoris, dan berprestasi, ia menjadi dikenal banyak orang. Siapa sangka ada hal tersembunyi yang masih ia simpan saat ini. Rahasia yang tidak pernah diceritakan bahkan pada sahabatnya sendiri.
Kampus Akmal tak jauh dari rumahnya, hanya sekitar satu jam perjalanan. Namun, ia lebih memilih tinggal di kos-kosan. Katanya biar lebih mandiri. Sesekali, ia pulang ke rumah sebentar untuk memastikan bahwa keluarganya baik-baik saja.
“Bro, besok gue main ke rumah loe ya!” pinta Aji selaku Komting angkatan.
“Gue aja yang main ke tempatmu. Biar ga usah transport,” kata Akmal.
“Lah, kan udah sering ke rumahku! Sekali-kali gantian ga apa-apa, kan?” lanjut Si Komting.
“Rumah gue masih renovasi. Udah ke sini aja,” sambil menunjuk kantin Kampus. Akmal melambaikan tangan dan segera berpamitan.
Sudah berulang kali, Akmal menolak jika ada temannya yang hendak ke rumahnya. Entah kenapa, seperti ada rahasia besar yang disembunyikan. Bahkan, KTPnya saja disimpan sangat rapi dalam dompetnya. Kalau ada orang yang hendak mengantar Akmal ke rumahnya, ia selalu minta agar diturunkan di gang depan. Tidak ada yang tahu benar atau tidaknya dia tinggal di kawasan itu. Rumah Akmal masih tanda tanya.
***
Tahun telah berganti. Akmal berhasil lulus kuliah dengan waktu 3,5 tahun, lebih cepat dari teman seusianya. Teman-teman satu gengnya ingin merayakan kelulusan yang membanggakan itu. Paling tidak, sebagai ucapan selamat dan tasyakuran kecil-kecilan. Namun, Akmal masih memegang teguh prisnip itu. Tak ada seorang pun yang diperbolehkan ke rumahnya, kecuali sahabat kecilnya, Sellin. Permintaan Sellin menjadi satu-satunya yang dikabulkan oleh Akmal. Itupun setelah perdebatan panjang.
“Oke, Sel. Kamu boleh datang ke rumah. Asal…” kalimat Akmal terhenti.
“Asal apa?” tanya mahasiswi Psikologi itu sambil membetulkan kacamatanya.
“Saat ke rumahku, jangan berkomentar apapun. Janji!” Nada Akmal yang tadinya lirih, berubah intonasi.
“Gampang. Itu saja kan syaratnya?” Sellin mengakhiri pembicaraan.
***
Setelah mendapatkan alamat rumah Akmal, keesokan harinya Sellin berangkat seorang diri. Sesuai gmap, Sellin sampai di depan rumah sederhana. Tidak terlalu besar atau kecil. Tampak Cyndy, adik Akmal, membukakan pintu lalu menyambut kedatangannya. Dari balik pintu itu, Akmal terpaku.
Saat itu, rumahnya hanya ada Ibu dan adiknya saja, sedangkan ayahnya sedang ada urusan di luar. Akmal mendadak mati kutu. Keringat dinginnya mulai bercucuran. Rumahnya telah diketahui. Ia tidak bisa melarikan diri lagi.
“Silahkan masuk Sell.”
Sellin masuk ke ruang tamu. Ia diam seribu bahasa sambal memperhatikan sekitar. Rumah itu penuh sampah. Perabotan kumal, benda-benda tak layak ada di mana-mana.
“Jangan kaget ya. Sekarang kamu tahu kondisi rumahku,” kata lelaki 22 tahun itu.
Seperti janjinya, Sellin tidak akan banyak berkomentar. Saat itulah, Akmal mulai nyaman bercerita pada Sellin, lebih tepatnya seperti sesi konsultasi. Ditemani Ibu dan Cindy, ia bercerita keseharian dalam keluarganya. Rupanya selama ini Akmal menyembunyikan rahasia besar. Ketakutannya itu disebabkan karena hoarding disorder yang dialami ayahnya.
Dua jam berlalu, saatnya Sellin berpamitan pulang.
“Sekarang kamu tahu kenapa alasannya? Apakah kamu masih mau berteman denganku?”
Tak terasa, mata Akmal mulai berkaca-kaca. Apa yang disembunyikan Akmal bertahun-tahun itu memang berat untuknya. Sellin menghela nafas panjang. Ia baru paham, selama ini Akmal yang terlihat bijaksana ternyata menyimpan luka.
“Semua ini bukanlah salahmu, Mal. Jangan khawatir, kamu tetap menjadi teman baikku.”
Sebuah kata penutup yang meneduhkan. Penanda persahabatan.
10 notes
·
View notes
Text
Mencari penggantimu. Sanggupkah?
Hari ini adalah tepat dua tahun kepergian istriku dan juga tepat dua tahun usia anakku. Aku lewati dua tahun yang berat ini bersama anak semata wayangku. Istriku meninggal saat melahirkan Saka, anakku.
Sungguh menjadi ibu dan ayah dalam satu waktu bukanlah hal yang mudah. Amat sangat tidak mudah. Orang tuaku dan mertuaku sudah lama meninggal. Saudaraku dan saudara dari istriku ada di Pulau yang berbeda dari tempat tinggalku. Sehingga Saka aku titipkan pada penitipan anak saat aku bekerja dan aku rawat saat aku pulang kerja.
Tepat hari ini, aku sengaja mengambil cuti dan mengajak Sakauntuk mengunjungi ibunya di pusara. Dia belum begitu paham bahwa ibunya sudah tiada dan tidak akan bisa memeluk, menyiapkan sarapan pagi, mengantarkan ke sekolah, hingga berfoto keluarga saat dia wisuda. Kami berdua menaburkan bunga mawar merah diatas makam istriku. Aku ajak Saka menyapa ibunya dan berdoa bersama.
Sungguh dua tahun ini adalah pelajaran cukup menyedihkan namun sangat berharga. Tidak bisa dipungkiri kesedihan masih menyelimuti hatiku. Belum bisa ada sosok lain untuk menggantikan istriku dihatiku. Sudah lima tahun lamanya kami bersama berjuang bersama membangun rumah tangga dan juga menanti sang buah hati.
Namun, istriku berpesan untuk mencari ibu untuk Saka supaya Saka bisa memiliki kasih sayang dari seorang ibu. Namun tidak semudah itu bagi aku. Terkadang memang ada rasa kasihan dengan Saka, Saka yang tidak memiliki peran ibu semasa hidupnya. Suatu saat dia pasti akan menanyakan perihal ini. Haruskah aku segera mencari ibu untuk Saka?
7 notes
·
View notes
Text
Elegi
Rumah ini selalu gegap gempita di pagi hari. Bunyi spatula beradu dengan penggorengan untuk menghasilkan nasi goreng istimewa dilakukan oleh ibu. Disusul dengan riuh tawa hewan peliharaan bapak yang meminta makanan satu persatu, mulai dari kucing, burung dan ayam jago kesayangan Ucok. Tak lupa rebutan kamar mandi ala Bang Adam dan Aku sendiri.
Rasanya kami tidak akan berhenti adu mulut jika ibu tidak mengeluarkan nyanyian menggelegar "Bang Adam duluan yang mandi Din, bang Adam cuma mandi bebek, begancanglah mangko dak telat." Begitulah kami mengisi pagi hari, dengan segala rutinitas dan cerita-ceritanya.
Siapa sangka pagi ini adalah pagi terakhir gegap gempita di rumah itu. Pasalnya, siang ini, tepatnya saat bel jam istirahat berakhir, ibu menelpon. Tidak seperti biasanya, ibu menelpin saat aku masih di sekolah. Hatiku mulai was-was, apa yang terjadi. Ku angkat telpon itu, diseberang sana ibu mengawali dengan tangisan disusul dengan hembusan nafas yang berat.
"Din, bapak kecelakan. Nanti bang Adam yang jemput kamu di sekolah. Kamu sekarang siap-siap dan minta izin ke guru piket untuk pulang lebih awal ya. Nanti bang Adam juga yang bantu ngomong sama wali kelas kamu. Ibu tutup dulu ya." Deg. Aku terdiam beberapa saat. Aku bahkan tidak menjawab salam penutup dari ibu. Kaki ku terasa lemas. Setelah sepersekian menit aku mulai sadar, segera ku kemas buku-buku ku ke dalam tas. Kebetulan bang Adam juga sudah sampai ke kelas untuk meminta izin kepada guruku. Aku bergegas memeluk bang Adam dan ke rumah sakit. Di perjalanan kami saling diam. Sesuatu yang sangat jarang terjadi dalam hidup kami. Kami membiarkan satu sama lain untuk berdialog dan menenangkan diri sendiri.
Sesampainya di rumah sakit, ibu segera memeluk kami. "Ucok, Dina, Abang, bapak sudah berpulang. Bapak mengalami gagal pernapasan karena kecelakaan itu." Ku lihat ibu langsung luruh ke lantai. Ucok kebingungan karena dia masih berumur empat tahun, bang Adam berlari ke ruangan bapak. Lalu bagaimana dengan aku? Aku diam mematung, lima menit kemudian ku peluk ibu dan ku gendong ucok untuk menemui bapak. Kami berempat saling memeluk bapak sebelum jenazah beliau dibawa pulang ke rumah.
Selama ini, aku tidak pernah melihat ibu dan bang Adam menangis sedemikian adanya. Karena itu pula ku putuskan untuk mengambil tas ibu dan mengurus administrasi bapak. Ucok masih kebingungan, aku juga bingung bagaimana menjelaskannya. Ku putuskan untuk mampir ke kantin, membeli susu coklat dan jajanan kesukaan Ucok.
"Nanti, kak Dina akan jelasin ke Ucok tentang bapak. Sekarang Ucok nurut ya sama Kak Dina, Kakak sayang Ucok." Ku peluk erat ucok sambil menahan tangis.
Aku harus menjadi perempuan kuat untuk saat ini dan seterusnya. "Aku harus bisa bantu ibu dan bang Adam. Aku harus kuat." Demikianlah yang ku katakan pada diriku sendiri. Kehilangan bapak sekaligus cinta pertamaku, sesak sekali rasanya hati ini.
Izin tag mas @kurniawangunadi, tim @careerclass dan tim @bentangpustaka-blog
12 notes
·
View notes
Text
TUMBUH : Sedang berlangsung, Terjeda atau Terhenti ???
Masih ingat tren memelihara tanaman hias saat pandemi? Ibu yang suka bercocok tanam tidak mau ketinggalan tren ini. Beberapa tanaman dibeli, seperti Janda Bolong, Lidah Mertua, Kuping Gajah, Gelombang Cinta, Sirih Gading, Aglonema dan beberapa tanaman lain yang tidak aku ketahui apa namanya. Banyak ya? Merawat tanaman-tanaman ini menjadi pengisi rutinitas kami di rumah. Berkurangnya kegiatan saat pandemi tentu membuat sedih, namun aktivitas merawat tanaman ini ternyata mendatangkan kesenangan.
Tanaman-tanaman Ibu tumbuh subur, bahkan si Aglonema berkembang biak dengan baik. Ibu memberi PR merawat 5 anakan Aglonema kepadaku. Mungkin sedang menguji apakah sense merawat tanaman dengan baik kumiliki atau tidak. Hmm, aku meragukannya. Ini kali pertama aku diberi tugas seperti ini. PR itu aku terima. Bertekad memberikan perawatan seperti yang Ibu lakukan sebelumnya. Watering yang rutin, mengatur penempatan agar mendapat sinar matahari yang cukup, dan memberi pupuk.
Beberapa pekan berjalan. Aku sepertinya menikmati aktivitas ini. Bahkan aku memberi mereka nama, AG1, AG2, AG3, AG4, dan AG5. Suka sekali melihat mereka tumbuh segar. Batang-batang baru tumbuh. Daun-daun muda bermunculan. Warna daunnya cantik, hijau dan merah muda. Apakah ini tanda aku berhasil merawat mereka? Rasa percaya diriku jadi meningkat karena merasa bisa merawat, hehehe. Aku mengamati mereka setiap hari, menghitung batang dan daun yang baru. Aku juga menulis catatan pertumbuhan mereka. Sungguh hal ini sangat mengisi waktu kosongku.
Suatu hari, aku menyadari sesuatu. Satu dari lima Aglonemaku menunjukkan sesuatu yang berbeda. AG1, daunnya terlihat sedikit layu. Mencoba mengingat apa yang tidak aku lakukan. Aku merasa sudah memberikan perawatan yang sama setiap harinya. Aaah, Aku jadi ingat. Sudah tiga hari rupanya, aku tidak menulis catatan pertumbuhan mereka. Kesibukan dunia hybrid mulai mendistraksi rutinitas yang aku lakukan pada Aglonema ini. Aku memeriksa mereka satu-persatu dan membuka lagi catatan tumbuh itu. Mulai menuliskan kondisi terkini, membandingkan dengan kondisi sebelumnya.
Hasil pengamatan terkini, batang AG1 ternyata tidak sekokoh yang Aglonema lainnya. Ternyata daunnya pun tidak layu saja, ada beberapa yang menguning. Jumlah daun barunya juga tidak sebanyak yang lainnya. Aku bertanya-tanya, kenapa bisa begini? Aku mencoba memeriksa detail, diliputi rasa penasaran. Tidak ada ulat. Tidak ada gulma. Jadi kenapa ya, AG1 ini? Aku bertanya pada Ibu, beliau juga tidak mengerti.Lalu, aku cari di internet penyebab kondisi ini. Aku baca artikel tanaman satu-persatu. Mungkin ada hama yang luput dari pandangan kami.
Busuk Akar. Ya, mungkin akar AG1 yang tidak terlihat itu sedang busuk. Masalah serius jika menyangkut akar.“Busuk akar adalah penyakit tanaman yang susah ditangani.” Antara peduli dan tidak membaca kalimat itu di internet. Aku tetap mencari cara menyelamatkannya. Ketemu! Ada beberapa hal yang harus dilakukan. Tanaman harus dicabut dulu dari media tanam. Langkah selanjutnya, menggunting semua akar busuk dengan gunting steril lalu buang akar-akar busuk. Lalu, cuci akar dengan air hangat. Buang daun-daun yang menguning. Langkah terakhir, tanam kembali.
Langkah-langkah penyelamatan AG1 bbaru bisa aku lakukan di hari berikutnya. Tidak memiliki gunting steril jadi sebab hal ini tertunda. Agak khawatir memikirkan harus mencabut AG1 dari media tanam dan menggunting beberapa bagian tubuh tanaman ini. Kalau tidak dilakukan, malah bisa mati nanti. Aku melakukan langkah-langkah penyelamatan dengan sangat hati-hati. Sambil selalu berbisik, “hidup AG1, hidup AG1, hidup AG1” dengan penuh semangat. Berimajinasi dia mendengarnya, mau hidup dan tumbuh seperti teman-temannya lagi nanti. Setelah beberapa menit, sampai juga pada langkah terakhir. Menanamnya kembali. Sekali lagi aku berbisik pada AG1, “semoga kamu hidup lagi dengan baik.”
Aku tidak mau melewatkan lagi menulis catatan tumbuh mereka. Hal apa saja yang aku lihat, perlakuan apa saja yang diberikan. Sedetail mungkin aku tulis, termasuk cerita penyelamatan itu. Pikirku, itu sangat membantu untuk mendeteksi apa yang terjadi dan segera mendapatkan penanganan yang seharusnya jika terjadi sesuatu. Tidak sadar, aku juga menuangkan perasaanku. Sedih melihat salah satu dari mereka tidak tumbuh seperti yang lainnya. Aku akui ada yang luput dari perhatian, dan hal itu cukup fatal. Hmm.. masalahnya juga tidak terlihat di pandangan sih ya, di akar yang tertanam didalam. Itulah yang membuat tidak segera tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Entah kenapa pikiranku melayang ke lain hal. Seperti terlalu meresapi proses tumbuh mereka. Aku membayangkan sesuatu. Bagaimana jika itu terjadi pada kita, manusia? Pikiranku melayang jauh rupanya. Aku jadi mengingat-ingat, adakah orang – orang disekitarku yang ternyata mengalami hal serupa AG1? Tak disadari proses tumbuhnya, berlangsung baik atau tidak. Sedang tumbuh, terjeda, atau bahkan berhenti, terhambat oleh hal-hal yang tidak terlihat. Kondisi yang mungkin tidak disadari diri sendiri maupun orang lain. Sedih juga membayangkannya. Berefleksi dari penyelamatan AG1 membuat aku mengingat-ingat lagi, "adakah hal-hal yang luput ku perhatikan dari orang-orang sekitarku?" Tiba-tiba aku kepikiran. “Jangan-jangan aku sendiri yang sedang terjeda atau bahkan berhenti tumbuhnya?”
Pertanyaan hasil refleksi itu menggelayuti pikiranku berhari-hari. Aku coba mencari-cari indikator tumbuh itu apa saja, dan bagaimana. Kekhawatiran juga menyelimuti perasaan dan pikiranku. “Bagaimana kalau ternyata itu terjadi padaku ya?” “Lalu, jika aku tidak tumbuh baik, maka aku harus melakukan langkah penyelamatan seperti yang terjadi pada AG1, begitukah?” Masalahnya, ini terjadi pada manusia. Proses itu terlihat menyakitkan, tidak menyamankan, melelahkan juga mungkin. “Bagaimana jika setelah langkah-langkah penyelamatan itu, ternyata tak kunjung juga hasil tumbuh baik itu hadir?” Bayang-bayang pikiran aneh hasil refleksi itu belum mau pergi. Sampai saat ini, belum juga aku temukan kepastian jawabannya.
3 notes
·
View notes
Text
langkah kakiku perlahan menuju ke sudut meja yang salah satu kursinya sudah diduduki oleh wanita yang telah aku kenal hampir setahun lamanya.
“udah cape banget ya? mukanya sampai lemes gitu?”, candaku kepadanya sambil menyodorkan kebab yang baru saja aku beli.
“aku masih kepikiran koper yang tadi, tapi masih ragu mau dibeli atau nggak.”, ucapnya.
“kenapa ragu? kan ukurannya sudah sesuai, bisa dibawa kemana-mana kalau mau bepergian dengan pesawat.”
“iya, sudah sesuai. tapi masih mau cari lagi yang lebih cocok.”
“ya sudah, tapi nanti gak bisa ditemenin lagi.”
Setelah jawabanku itu, kami memilih diam dan menikmati kebab sambil memperhatikan hiruk pikuk jalanan di depan kami.
“abang gojeknya sudah sampai”, ucapnya memecah keheningan sambil menunjuk ke salah satu motor yang mulai mendekati kami.
“aku pamit ya. assalamualaikum.”
“waalaikumsalam.”
Aku melambaikan tangan, melepas kepergiannya. Mataku tak lepas dari punggungnya hingga perlahan menghilang ditutup padatnya kendaraan. Aku sadar bahwa ni adalah saat terakhir bagiku untuk melihat wanitaku itu, karena kata “pamit” yang tadi diucapkan adalah salam perpisahan diantara kami berdua.
3 notes
·
View notes
Text
Penyesalan
Rabu, 18 Januari 2023
************************
“Mas, hiks hiks…..” suara yang gemetar dan menahan tangis dari seberang telfon
“Kenapa de? kenapa kamu menangis, Ada apa? “ kataku agak tegas
“mamah mas… hiks”
“Mamah kenapa de? kenapa?” kataku dengan sedikit mengeraskan suara
“Mamah udah ga ada mas” kata adikku memperjelas
Mendengar itu, aku pun jatuh terdiam. Seolah mencerna apa yang barusan di dengar. benarkah?
“De, jangan bercanda yaa, ga lucu tau” kataku sambil marah dan mengerasakan suara
“Adek ga bohong mas, hiks… mamah beneran udah ga ada” jawab adikku sambil menangis
Tangisanku pun pecah dan tak ingin mempercayai kata-kata itu. Rasanya dunia serasa hancur saat itu juga. Orang yang sangat aku sayangi, meninggalkan aku untuk selama-lamanya. Tanpa ada sepatah kata perpisahan.
Aku tau, kematian adalah takdir untuk setiap manusia, termasuk diriku. Tapi tetap saja, aku tidak bisa menahan kesedihanku.
Kehilangan ini adalah kehilangan yang terberat dalam sejarah hidupku di usia 35 tahun. Separuh hidupku hilang. Pelangi hidupku hilang. Dan sedihnya, saat-saat terakhir itu aku tidak ada disana dan tidak menemaninya.
“Mah, maafkan mas yaa, mas ga bisa nemenin mamah disaat saat terakhir, mas menyesal mah, kenapa ketika mamah minta pulang, mas ga langsung pulang. Maafkan mas yaa mah. mas berharap mamah tenang dan bahagia disana”
Dari anakmu tersayang, Anggara Rasya.
2 notes
·
View notes
Text
Sudah basa-basinya?
Maaf. Aku tidak punya banyak waktu untuk semua omong kosong ini. Melayani semua rasa penasaranmu tentangku. Kamu pikir aku perempuan yang bagaimana? Aku sudah hapal betul, setelah rasa penasaranmu terpenuhi, kamu akan pergi, sama seperti yang lain.
Sebercanda inikah kamu memandang perempuan? Aku melihatmu sama seperti nelayan yang sedang menyebarkan jaringnya. Tak lebih dari itu.
3 notes
·
View notes
Text
#20 Tokoh Dalam Ceritaku
Aku tidak sendiri dalam cerita kehidupanku. Ada manusia-manusia silih berganti datang, menjadi tokoh dalam kehidupanku. Ada yang datang lalu menjadi kawan. Ada yang datang dan berselisih paham. Ada yang datang, kemudian menjadi rekan. Ada yang datang lantas menjadi pasangan.
Manusia-manusia itu adalah manusia-manusia yang membantu proses bertumbuhku. Terlepas apapun perannya dalam cerita kehidupan kita, protagonis, ataupun antagonis. Pada akhirnya dari mereka aku belajar tentang banyak hal. Kebersamaan, sabar, bertanggungjawab, memilih, tegas, dan hal lainya.
Teruntuk mereka manusia-manusia yang pernah menjadi tokoh dalam cerita kehidupanku. Aku berterimakasih untuk hal-hal yang mungkin tidak kalian ketahui, di masa yang lalu, masa sekarang, dan mungkin di masa depan nanti.
Teruntuk mereka manusia-manusia yang pernah menjadi tokoh dalam cerita kehidupanku. Aku meminta maaf, untuk kesalahan-kesalahan yang mungkin tidak aku sadari, di masa yang lalu, masa sekarang, dan mungkin di masa depan nanti.
4 notes
·
View notes
Text
Terkadang
"Belajar dari kamu, aku jadi ngerti kalo telinga dan puk-pukan terkadang lebih dibutuhkan daripada ratusan nasehat buat tipe-tipe kaya aku yang lagi terpuruk" ucapku dengan berkaca-kaca
"Akupun lagi belajar juga sebenarnya, terkadang kamu itu udah tahu ko solusi dari masalahmu itu apa. Cuma karena kamu lagi panik makanya butuh dibantu untuk diurai satu persatu masalahnya apa aja, iya kan?" Balasmu santai
"Btw, makasih ya udah berbagi cerita sama aku, aku tahu untuk ceritain hal ini pasti bukan hal yang mudah buat kamu."
Makin deraslah airmataku mendengar hal itu
Jakarta, 18 Januari 2023
#5cc#5ccday4#coretanpembelajar#sitinurhabibah#refleksiperjalanan#selfreminder#writingforhealing#deeptalk#kontemplasi#tulisan#self improvement#selftalk#fiksi
2 notes
·
View notes
Text
Kapan Merasa Cukup?
"Kehidupan mu itu sudah Allah jamin. Rezeki yang seringkali membuat mu khawatir itu sudah Allah cukupkan jauh sebelum penciptaanmu. Lalu masih resah saat upaya yang terus menerus dikerahkan itu telah selesai kau lakukan? Hei, ini kamu butuh apa rasa cukup mu yang belum selesai?" Suara itu menghakimi ku lagi.
"Oke kali ini aku setuju dengan mu. Tapi ya, gapapa dong kalau Nurita mau usaha yang lain lagi?" Oh tidak, sisi yang lainnya juga sedang beradu pendapat.
"Usaha, sih, usaha bos, tapi tetep dong hatinya harus tau rasanya merasa cukup." Suara mba-mba bijak didalam kepalaku menimpali lagi.
"Oke berhentiii!" Aku mengeram tanpa ekspresi. Menyadari isi kepalaku sedang beradu satu sama lain.
Aku memproses adu pendapat didalam kepala ku. Yaa, usahaku memang harus terus menerus, tapi rasa cukup dalam tubuh ku harus singgap memberi jeda waktu.
Kemudian semuanya senyap mengetahui kesimpulan dalam kepala ku.
(nw)
3 notes
·
View notes
Text
Persimpangan 20-an Part #26: The Special One
Kania sedang sibuk membereskan mainan Bani, anaknya yang berusia 3 tahun. Ia juga harus memilah mainan mana yang perlu dimasukkan dalam tas dan mana yang akan tetap ditinggal di rumah. Sementara itu, di kursi sofa ruang tengah, ada suaminya, Indra, sedang memakaikan celana panjang untuk Bani.
Mereka bersiap untuk kembali melakukan rutinitas mingguan. Rutinitas yang sampai hari ini masih terasa sangat sulit untuk diterima oleh seluruh anggota keluarga ini.
"Bani, Bani tolong dengar dan lihat Ibu ya, Nak. Hari ini kita mau main lagi ke Rumah Bunda", ujar Kania sambil mengelus pundak Bani dengan matanya yang berkaca-kaca.
Sejenak Bani terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin bukan apa-apa karena sepersekian detik setelah itu ia tertawa dan bertepuk tangan. Setelah selesai dipakaikan celana, Bani langsung berlari menuju garasi.
Indra menengok ke arah Kania. Bersama dengan matanya yang teduh, ia mencoba menyakinkan dirinya dan istrinya kalau semua akan baik-baik saja. Kania membalasnya dengan senyuman. Tiba-tiba air matanya menetes.
"Nggak apa-apa, Kan. Tenang, kita berjuang sama-sama. Kamu, aku, dan Bani. Keadaan pasti akan semakin membaik. Kita sudah mendengar profil perkembangan Bani minggu lalu. Hasilnya cukup baik, Kan."
"Bani bisa kan ya, Mas? Apakah yang sudah kita lakukan ini yang terbaik? Aku nggak kuat kalau mengingat bagaimana Bani di dalam kelas", ucap Kania terbata-bata. Suaranya mendadak parau. Dadanya terasa sesak.
"Kita belum berangkat, Kan. Kamu sama aku harus sama-sama semangat biar energinya bisa kita bagi ke Bani. Kita usahakan semaksimal yang kita bisa. Sudah yuk? Hari ini kan kita mau lihat Bani yang lebih baik lagi", jawab Indra sambil memeluk istrinya.
Sesungguhnya aku juga ingin ikut menangis, Kan. Aku juga takut. Perasaanku selalu tidak tenang setiap akhir pekan. Tapi nanti kalau aku ikut jatuh, siapa yang akan menguatkan kamu dan Bani?
Terdengar suara Bani yang entah sedang berceloteh apa di garasi. Semakin lama, semakin kencang. Seperti sedang memukul sesuatu. Astaga, aku lupa belum membuka kunci mobilnya!
"Adududuuh, Bani sudah nggak sabar ya ketemu Bunda? Sekarang sudah dibuka pintu mobilnya. Maaf ya kalau tadi Bani menunggu lama. Lain kali, tolong panggil Ayah ya, Nak, kalau pintu mobilnya masih terkunci"
Sesaat setelah Bani naik ke dalam mobil, Kania melihat masih ada sepatu Bani di dekat sandalnya. Ia kemudian mengambilnya dan memakaikan sepatu itu dengan sigap.
"Ibu?", tanya Bani tiba-tiba.
"Iya, Nak? Bicara saja ya. Ibu masih mengikat tali sepatu kamu", jawab Kania.
"Bani sayaaaang sekali sama Ibu"
Kania tertegun mendengar kalimat yang dikatakan Bani barusan. Ia menatap Bani sambil melempar senyum. Duh, jadi ingin menangis lagi... Tidak, tidak kali ini dan tidak di hadapan Bani.
Perjalanan ditempuh selama 45 menit untuk sampai di rumah Bunda. Rumah yang istimewa untuk Bani.
Sesampainya di rumah Bunda, Bani bertemu dengan Bu Hani, guru yang telah membantu kami dalam mengenali dan melatih tumbuh kembang Bani sejak satu setengah tahun yang lalu. Bani diharuskan masuk dalam ruang kelas. Hanya ia satu-satunya murid di sana. Lalu, Kania dan Indra akan mengamati segala aktivitasnya dari jendela, tanpa luput sedetik pun. Pasalnya, Bani akan lebih sulit untuk fokus kalau selama pembelajaran tidak menemukan Ayah-Ibu berdiri di sana.
Bu Hani pernah mengatakan kalau orang tuanya adalah energi terbesar untuk Bani memiliki kenyamanan belajar di sini.
Suatu hari, Indra izin pada Kania, ingin pergi ke kamar mandi. Kania menyetujuinya, toh selama ini Bani tetap bisa kooperatif walaupun hanya datang ke sini berdua dengan Kania.
Namun, hari itu tali sepatu Kania lepas sehingga membuatnya harus merunduk dan duduk sebentar untuk memperbaiki tali tersebut. Tidak lama kemudian, terdengar teriakan amarah Bani yang tidak karuan. Bani mulai melempar benda-benda disekelilingnya. Bani berusaha keluar dari kursi kayu yang membatasi geraknya, untuk mencari Ayah-Ibu yang tidak terlihat di jendela. Indra yang baru saja keluar dari kamar mandi dan melihat Kania sibuk dengan tali sepatunya, langsung berlari ke arah istrinya. Indra berusaha mengirim kode dengan mimik wajahnya... Bani nggak akan bisa lihat kamu kalau posisimu seperti itu, Kan!
Astaga, kenapa aku nggak kepikiran?!, batin Kania. Sontak, ketika ia berdiri, Bani sudah tidak ada di kursinya. Bani berhasil memutar kunci dan membuka pintu kelas. Kania dan Indra mendapati anaknya sedang marah besar kepada mereka. Bani mengepalkan tangan seraya berteriak, memukul kedua orang tuanya.
Sejak saat itu, Kania dan Indra sepakat untuk tidak lagi menggunakan sepatu bertali saat pergi kemanapun bersama anaknya.
2 notes
·
View notes
Text
Menjalani fase terrible two like roller coaster. Jadi istilah terrible two ini diartikan sebagai usia dua tahun anak yang sedang mengalami perubahan besar pada motorik, intelektual, sosial dan emosionalnya. Mulai adanya penolakan, perubahan suasana hati, dan tentu saja tantrum.
Sebagai Ibu yang menjalani fase ini wow sungguh menguras emosi jiwa raga terutama kesabaran, bisa bertahan menahan amarah menahan ego untuk tidak ikut meledak juga sungguh hal yang selalu diupayakan. Alhasil ketika sang Ibu sudah terlalu banyak terpapar emosi negatif dari anak baiknya minggir dulu berjeda.
Emosi-emosi ini perlu direlease juga, biar tidak menumpuk. Kalau dibiarkan huh ngeri setan akan lebih mudah masuk dan menggerogoti, dahlah bisa bestian sama syaiton. Astagfirullah. Peran Ayah sebagai support sistem Ibunya memegang peranan penting dikondisi ini. Siap sedia sebagai tempat keluh kesah Ibu, mendengarkan curahan hati dimanapun kapanpun.
Sebenarnya ini hal yang normal di pertumbuhan dan perkembangan anak, jadi dijalani saja seraya banyak mendoakan kebaikan untuk anak. Mendoakan dan menjaga diri sendiri juga untuk tidak melakukan hal-hal yang kelak akan berpotensi untuk disesali. Semangat para Bunda!
4 notes
·
View notes
Text
Membeli Kenyamanan~
3 tahun 3 bulan. Aku berhasil menyelesaikan S1 ku dengan baik. Hari ini aku sudah mulai mengurus berkas untuk wisuda. Aku tidak menyangka bisa melewati ini dengan baik dan lebih cepat dari teman-teman seangkatanku. Banyak teman seangkatanku yang meminta diajari menulis skripsi, beberapa adik tingkatku ingin juga lulus cepat sepertiku, aahhh aku tidak menyangka bisa sampai di titik ini.
Seharian mengurus berkas wisuda, aku kembali ke kamas kos ku. Aku memandangi kamar kos yang sudah ku huni selama 3 tahun 3 bulan ini. Aku bergumam, "kenyamanan yang ku beli selama ini, akan segera berakhir”. Setelahnya, aku jadi mulai berpikir, setelah ini membeli kenyamanan dimana lagi yaa?
Teringat beberapa bulan yang lalu saat masih mengerjakan skripsi. Dilema melanda antara ingin lulus cepat dan tidak ingin lulus cepat karena tidak ingin pulang ke rumah. Memilih untuk lulus cepat berarti aku tidak perlu pulang segera ke rumah yang berantakan itu. Tapi memilih tidak lulus cepat juga, hmmm, aku sudah terlalu muak mengerjakan skripsi ini.
Pada akhirnya, aku memilih untuk segera menyelesaikan skripsiku secepat yang aku bisa, pulang ke rumah dengan segera, dan bergegas menentukan langkah selanjutnya. Aku tidak mungkin berada di rumah. Aku tidak mungkin berada di tengah-tengah ketidaknyamanan rumah ini. Aku harus pergi dan membeli kenyamananku sendiri. Pergi ke kota manapun, asalkan tidak disini. Pergi ke kota yang (kalau bisa) jauh dari rumah, ke kota yang bisa menjadi langkah baru untuk perjalananku, menyewa sebuah kamar yang jauh lebih nyaman dibanding kamarku di rumah, dan menata ulang hidupku.
5 notes
·
View notes
Photo
{Belajar Bijaksana} Ayah adalah sosok pemimpin yang keras dan juga fleksibel. Terkadang aku tidak bisa memahami betapa ayah selalu mengutamakan orang lain daripada keluarganya sendiri dan keinginannya sendiri. "Ayah, kenapa dulu ayah menolak menjadi kepala desa padahal banyak orang yang mendukung ayah," tanyaku penasaran. "Ayah tidak ingin memiliki jabatan dunia. Ayah lebih baik memilih mengurus masjid daripada harus terjun di dunia politik," jawab ayah. "Tetapi itu tidak ada bayaran yang besar, Yah. Bagaimana bisa nanti kita hidup sehari-hari?" Aku sedikit menaikkan nadaku karena tidak dapat menerima keputusan ayah. "Mbak, jangan pernah menganggap jabatan adalah harta dunia. Jabatan adalah tanggungjawab yang besar. Dan jangan pernah sekalipun meminta untuk dipilih, biarkan orang yang menilai kualitas diri mbak sendiri ketika nanti menjadi pemimpin. Pemimpin yang baik adalah dia yang tidak banyak bicara, namun dia memberikan teladan untuk selalu menginspirasi orang lain berbuat baik," nasehat ayah yang selalu membekas hingga sekarang. Ayah selalu menjadi contoh bagi kami. Selalu bangun di tengah malam untuk pergi ke masjid dan beribadah, kemudian mengumandangkan adzan saat subuh telah tiba. Memang mungkin sangat sederhana, tidak dikenal oleh banyak orang. Tetapi, apa yang dilakukan bisa jadi membuat iri para penduduk langit karena kedekatan ayah kepada Tuhan-Nya. "Hidup tidak perlu terkenal di dunia, namun jadilah penduduk bumi yang namanya terkenal di langit," kata ayah menutup pembicaraan. #5cc #5ccday4 @careerclass_id @kurniawan_gunadi @alia.aryo https://www.instagram.com/p/CnjiyQjymWu/?igshid=NGJjMDIxMWI=
2 notes
·
View notes
Text
Di Upacara Kematian
Aku mendengar bunyi pesan masuk dari telepon pintarku. Tanganku yang sibuk mengetik seketika terhenti. Kemudian beralih mengambil telepon pintar yang barusan berbunyi.
'Mbak, Mbok Sri baru saja berpulang'
Sepenggal pesan singkat dari adik membuatku terjeda dari aktivitasku bekerja. Aku menghela napas panjang, berdoa, baru setelahnya kukirim pesan balasan. Lalu mulai berkemas untuk segera pulang ke rumah. Aku berharap tidak melewatkan proses merawat hingga mengantarkan jenazah sampai liang lahat.
Harapku terwujud, aku mengikuti serangkaian proses merawat jenazah. Selesai memandikan aku beranjak untuk menemani proses pengkafanan. Sebab begitu banyak orang yang menemani proses ini, aku menepi. Berdiri menyaksikan prosesi itu dari belakang orang-orang yang sudah 'sepuh'.
“Benarkan ceritaku”. Seseorang yang berdiri tepat di depanku berbisik. Memastikan bahwa cerita yang disampaikannya benar adanya.
"Iya. Kasihan, ya."
Kemudian berlanjut percakapan yang tidak elok untuk diucapkan, lebih-lebih di upacara kematian.
Sedari tadi mendengarkan percakapan itu aku tahu mereka sedang membicarakan siapa. Sesuatu yang aku risih mendengarnya, namun aku tidak bisa melakukan apa-apa.
Di sepanjang proses pengurusan jenazah sisanya, pikiranku penuh. Didominasi oleh banyak pertanyaan. Mulai pertanyaan sederhana hingga pertanyaan yang membuatku pusing kepala. Akankah, bisakah, dan lain sebagainya.
“Mbak, mari pulang. Besok kita bisa ke makam lagi.”
Adik menyentuh lenganku, membuatku tersadar bahwa proses pemakaman dan doa setelahnya telah selesai. Ku lempar segumpal tanah ke makam almarhumah. Kemudian beranjak pulang ke rumah.
2 notes
·
View notes
Text
Menjalani Mimpi Orang Lain
Namaku Angkasa. Umurku 18. Aku ingin sekali kuliah di jurusan desain grafis atau sastra. Sayangnya, Ibu dan Bapak tidak merestui keinginanku. Kata mereka, ambil jurusan administrasi saja, yang lebih jelas jalur kerjanya. Demi menyenangkan Bapak dan Ibu, aku pun menjalani perkuliahan setengah hati. Syukurnya, aku tetap bisa mengerjakan hobi desain dan menulis di sela-sela kuliahku. Dapat cuan pula. Syukurnya pula, berkat bantuan teman-teman serta warisan otak yang lumayan moncer dari Bapak dan Ibu, aku berhasil lulus tepat waktu.
Namaku Angkasa. Umurku sekarang 22 tahun. Purna jadi sarjana, Bapak dan Ibu memintaku untuk tes CPNS dan mengambil formasi di kotaku. Kata mereka, biar masa depan aman, nanti pensiunnya terjamin. Bapak dan Ibu memang merupakan abdi negara yang bertugas di sekolah. Bagi mereka, menjadi ASN adalah kebanggaan tersendiri. Bagi mereka, pekerjaan hakiki adalah pekerjaan kantoran nan berseragam, berangkat pagi pulang sore. Mereka tidak menganggap pekerjaan kreatif yang tak mengenal jam kerja, bisa dikerjakan dari mana saja, dan berhadapan dengan dunia maya, sebagai sebuah pekerjaan. Demi menyenangkan mereka, aku pun mendaftar dan ajaibnya, lulus dalam sekali coba.
Namaku Angkasa. Umurku sekarang 44. Orang-orang menyebutku sebagai salah satu orang paling beruntung di dunia. Sudah kuliah magister dibiayai negara, punya istri nan jelita, beranak dua. Pegawai negeri dengan masa depan dan masa tua terjamin, pula. Sungguh banyak orang yang ingin menjalani hidup sepertiku. Mereka tidak tahu, sejak dahulu, aku punya rencana.
Tahun depan, aku ingin mengajukan pensiun dini. Jika dihitung masa pengabdian dan usiaku saat ini, cukup sudah persyaratannya. Cukup sudah aku mengabdi di sini. Ketika membicarakannya dengan atasanku, beliau mewanti-wanti "Angkasa, pikir-pikir dulu. Nanti kamu menyesal. Sebentar lagi kamu bahkan bisa jadi Kepala Bagian, lalu jadi Kepala Dinas, lho. Tidak banyak anak muda progresif seperti kamu di sini." Ucapan beliau cukup bijak. Ketika menyampaikan niat kepada kolega, macam-macam reaksi mereka. Ada yang mendukung, ada pula yang menentang. Salah satu yang paling kuingat, begini bunyinya "Harusnya kamu itu bersyukur. Banyak banget orang yang mau jadi pegawai. Kamu baru lulus kuliah, langsung lulus tes. Sekarang mau pensiun dini. Nanti, hidupnya gimana? Dapat uangnya dari mana? Kamu nggak takut, hidup dari uang pensiun dini yang nilainya tentu tidak sebesar kalau pensiun penuh? Sabar sedikit lagi napa, sih. Palingan juga 20 tahun lagi. Nggak berasa. Mau malas-malasan di rumah, ya? Banyak lho, yang pengen kayak kamu, berada di posisi kamu."
Ingin kujawab bahwa bukan dapat uang dari mana yang kutakutkan. Bukan akan melakukan apa setelah pensiun, yang kutakutkan. Karena semuanya sudah kupikirkan matang-matang, sedari dulu, sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di kantor ini, memasuki dunia birokrasi ini.
Aku takut, semakin lama aku berkecimpung di sini, aku akan semakin kehilangan diriku sendiri. Jiwa kreatif yang ada dalam diriku memberontak, terbunuh oleh kakunya birokrasi dan administrasi. Unggah-ungguh dengan atasan, berkata manis di depan, saling membicarakan di belakang, aku takut suatu saat akan terbawa arus dan tenggelam. Belum lagi mutasi dan demosi yang menghantui, tergantung siapa yang sedang menapaki pucuk pimpinan tertinggi. Daripada terus maju dan tenggelam, lebih baik aku mundur pelan-pelan.
Dan, soal banyak yang ingin berada di posisiku saat ini, aku lebih takut lagi. Aku takut menjalani mimpi orang lain, hingga aku mengubur mimpiku sendiri. Maka, sebelum aku mati, aku ingin kembali menyiram mimpiku yang telah lama layu, memupuknya hingga subur dan berbunga, serta menyerahkan mimpi orang lain ini kepada yang lebih berhak memiliki.
Hai, kukenalkan lagi. Namaku Angkasa. Umurku sekarang 45. Aku percaya bahwa nama adalah doa. Seperti namaku, aku punya mimpi yang tinggi mengangkasa. Di umur segini, sejujurnya aku cukup takut untuk mewujudkannya. Namun, aku lebih takut lagi jika seumur hidup harus menjalani mimpi orang lain. Besok aku ingin mengajukan permohonan pensiun dini ke atasan. Doakan aku, ya!
20230118
Bukan 30 Hari Bercerita
6 notes
·
View notes