eckojr-blog
eckojr-blog
little son island
397 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
eckojr-blog · 6 years ago
Video
@creampiemuffleryogyakarta @arvracingjogja #vforce3 #ninjar #minininjas (at Tanjungpandan, Sumatera Selatan, Indonesia) https://www.instagram.com/p/Bp1BYzkgck-R32HH_C6KTDt3B76eldhx9wWqO00/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=tbkxiumhqo5z
4 notes · View notes
eckojr-blog · 7 years ago
Text
Lucu urang tue itu hahahaha
Pula e ki macam biak alus jaberrrr 😂
0 notes
eckojr-blog · 7 years ago
Text
Salah orang kao nak bemain 😊
1 note · View note
eckojr-blog · 7 years ago
Text
Tumbler diblok hahaha
Masih bisa pake VPN
1 note · View note
eckojr-blog · 7 years ago
Text
Nobody Else
Tumblr media
.
Meski saat itu suasana sedang sepi sekali, tapi kami berdua malah jadi ribut sendiri. Mbak Adele masih mepet-mepet kaya tonggeret sambil memaksa untuk memeluk tangan gue. Sedangkan gue berkali-kali ngedorong jidatnya biar menjauh tapi ini anak malam ini udah mirip banget sama perangko sobek, lengket bener.
“Lifa! Lepasin!” Teriak gue sambil ngedorong jidatnya sekali lagi.
“NGGAK MAU!! KITA KAN SEKARANG UDAH RESMI!” balasnya.
“Resmi gundulmu!”
Dia cuma cengengsan seraya masih asik ngegandol di tangan gue. Lama kelamaan gue makin risih sama ini bocah. Gue harus cari cara. Gue memberhentikan langkah gue dan otomatis mbak Adele langsung terlihat penasaran.
“Eh, itu apaan di pohon?” gue menunjuk ke arah pohon di sebelah kanannya.
Mbak Adele langsung menengok. Melihat sekarang dia lengah, dengan gegas gue tarik tangan gue dari pelukannya lalu lari begitu aja ninggalin dia sendirian di lorong gelap.
“RYAAAAAAAN!!!!!!!!!!!!” teriaknya kenceng banget sambil berusaha menyusul gue saat itu.
Sudah sisa dua hari lagi sebelum acara baksos dimulai. Ini mengartikan gue dan mbak Adele jadi lebih sering ngumpul sama anak DKM buat ngebahas rencana baksos nanti. Ini adalah kali pertama di mana mbak Adele ikut rapat, karena biasanya setiap kami rapat dia selalu terhalang kelas. Kami duduk di foodcourt tepat sehabis buka puasa bareng. Rapat masih belum dimulai, beberapa anak DKM ada yang izin sholat dulu sehingga sisanya kebanyakan masih ketawa-ketawa. Saat itu mbak Adele masih asik ngobrol dengan beberapa anggota cewek yang lain sedangkan gue duduk dipojokan dekat tangga utama kampus sendirian. Beberapa kali gue sempat melihat anak-anak kampus berlalu-lalang sehabis keluar kelas, hingga kemudian telinga gue menangkap beberapa kata-kata yang sudah tak asing lagi di telinga.
“Eh cuy lo kan kemarin penasaran bentuk ayam kampus kaya apa? Noh liat noh yang duduk di meja kedua dari tembok, rambut pendek, pakai blush putih.” Ucap salah seorang mahasiswa yang baru turun dari lantai dua.
“Anjiiiiing… itu sih kelas wahid! Cakep bener bray.” Saut temannya yang lain.
Tidak hanya itu saja, beberapa anak fakultas lain pun sempat gue dengar membicarakan mbak Adele. Bahkan terang-terangan menyebut nama Lifana. Sesekali gue dapati ada mahasiswa yang nekat manggil nama Lifana sambil teriak terus pura-pura ngobrol sama temannya yang lain. Mbak Adele cuma bisa celingak-celinguk merasa ada yang memanggil namanya. Gue menghela napas panjang sekali lagi. Terlebih ketika gue mendengar ada mahasiswi yang baru turun dari tangga dan turut ikut ngomongin aib mbak Adele. Gue kira gossip ini hanya beredar di kalangan cowok doang, tapi ternyata gue salah.
Gue lihat mbak Adele dari jauh. Lagi-lagi terulang lagi kejadian yang sama. Ketika dia sedang bahagia dan tertawa seperti itu, tanpa sadar di belakangnya ada banyak mata dan mulut yang mengomentari masa lalunya. Apakah menjadi cantik lalu tidak perawan adalah aib buat seorang wanita?
Gue bangkit dari tempat duduk gue lalu mendatangi mbak Adele yang saat itu masih asik ngumpul sama teman-teman barunya di DKM.
“Lifa, bisa ngobrol bentar?” Tanya gue ketika ada di sebelahnya.
Keep reading
524 notes · View notes
eckojr-blog · 7 years ago
Text
Falling Away with You
Tumblr media
.
Karena keadaan kamarnya yang gelap, alhasil gue terlelap cukup lama. Adzan Ashar berkumandang dan gue baru bangun. Gue kira mbak Adele udah bangun duluan, tapi ternyata dia masih molor di sebelah gue. Kepala gue pening sekali, gue bangun dan langsung buru-buru wudhu, lalu kemudian sholat.
Setelah nyawa terkumpul, gue bangunkan mbak Adele karena gue harus pulang ke kost sekarang takutnya Budi belum datang. Mbak Adele masih aja nggak mau bangun hingga dengan terpaksa gue gotong dia ke dalam mobil dan melemparnya di kursi belakang dengan pakian yang masih seadanya. Masih pakai kemeja tanpa BH dan celana dalam doang.
Sesampainya di kost, gue langsung masuk ke dalam kamer membiarkan mbak Adele masih asik tiduran di mobilnya sendiri. Biarin deh, ntar kalau kepanasan juga dia bangun sendiri. Sukurin lagi puasa begini terus ketiduran di dalam mobil di bawah terik matahari, biar dia mimpi lagi di neraka, itung-itung latian sebelum meninggal. Hal pertama yang gue lakukan ketika kembali ke kamer sudah pasti beberes alias nyapu dan ngepel. Gue lepas pakaian gue dan kini hanya mengenakan celana panjang saja. Seperti yang sudah gue bilang dulu di awal, gue paling gak suka keadaan kamer yang kotor, makanya gue sekarang beres-beres meski tenggorokan lagi haus banget.
“Ryaaaan!!!!” Ada teriakan dari lantai bawah sambil berlari ke lantai dua.
“Ryaaan!! Gue haus banget!!” Katanya sambil menutupi dadanya.
“Ya minum aja.” Balas gue tanpa melihat ke arahnya.
“Lo gila?! Gue kan puasa.”
“Yaudah tahan kalau gitu. Gitu aja kok repot.”
“Astaga!! Lo ngapain bugil gitu sih, Yan?! Lagi puasa ini!” Protesnya lagi sambil kemudian masuk ke kamer gue dengan kaki kotornya.
Melihat hal itu gue langsung kesel setengah mati. Baru aja gue pel ini kamar udah main injek aja.
“Tapi Yan,” Dia melihat ke arah gue dari atas hingga ke bawah, “..Badan lo bagus juga ya kalau diliat-liat. Ini baru pertama kali gue liat lo tanpa baju gini.” Katanya yang baru keluar dari kamar mandi lantaran gue usir untuk cuci kaki lebih dulu.
Gue masih diem tidak menanggapi dan lebih asik nyapu sisa kotoran yang sudah kering karena sempat gue pel tadi. Dengan mengendap-endap, mbak Adele datang menghampiri lalu tiba-tiba menempelkan telapak tangannya di perut gue. Sontak gue kaget.
“DINGIN WOI!!” Teriak gue sambil megangin perut yang jadi basah karena mbak Adele baru beres cuci tangan.
“Ih gue mau pegang!”
“Pegang perut lo sendiri kan bisa!”
“Nggak mau. Nggak kotak-kotak. Diem dulu, Yan!”
“…”
“Wuih, keras juga. Lo sering nge-gym?” Tanyanya sambil masih asik ngelus-ngelus perut gue udah macam kucing aja.
Gue tampis tangannya, dan dia cuma terkekeh doang. “Gue dulu nge-gym hampir tiap hari. Gue juga sempat ngelamar jadi instruktur. Jadi ya beginilah.” Balas gue sambil kemudian meneruskan nyapu di depan pintu kamer.
Mbak Adele berdecak kagum, “Wuih, pantes aja lo bisa ML sama banyak cewek. Siapa juga yang tahan kalau liat badan beginian. Badan udah kaya diphotoshop gitu.”
“…”
Mbak Adele kemudian rebah di kasur gue yang baru saja gue ganti spreinya. Aduh rasanya kesel banget gue, tiduran di kasur yang baru diganti spreinya itu adalah kenikmatan yang hakiki, dan sekarang tempat gue malah diambil duluan sama dia. Ck!
Setelah beres nyapu dan menaruhnya di bibir pintu, gue kemudian duduk di kursi belajar gue seperti biasa untuk main game online. Meski gue berada di kampus minoritas, tapi kampus punya kebijakan untuk meliburkan semua Mahasiswanya ketika hari pertama puasa. Jadi sekarang gue nggak ada kegiatan sampai besok.
Gue melihat sekali ke arah kasur, “Lo bukannya punya kamer sendiri? Sana gih tiduran di kamer lo aja.” Tukas gue ketus.
Mbak Adele tidak menjawab dan malah asik baca komik sambil ketawa-ketawa sendiri di atas kasur gue.
“Woi. Pindah gih!” Teriak gue.
“Ih! Pelit amat! Emang gue nggak boleh tiduran di sini?”
“Ya kan lo punya kamer sendiri.”
“Nggak mau. Di sana sepi.”
Lah terus buat apa dia ngekost di sini kalau gitu? Ngeselin amat. Ketika sedang kesal melihat mbak Adele asik dengan dunianya sendiri di atas kasur gue itu, tiba-tiba dari ujung lorong ada anak kost yang mendatangi kamer gue sambil membawa laptopnya.
“Mas Iaaann!!” Katanya sambil sedikit berlari.
“Kenapa, Rin?” Tanya gue.
“Mas, Laptopku mendadak mati, mas. Ini kenapa ya? Aku lagi ada tugas ini. Gimana dong.”
“Innalillahi.. padahal kemarin gue masih ketemu loh. Umur emang nggak ada yang tau ya..” balas gue.
“Garing!” Teriak mbak Adele dari atas kasur gue berusaha ikut campur.
“Eh ada Lifa. Apa kabar, Lif.” Tanya Arin ramah yang tampaknya sudah kenal sama mbak Adele.
Mbak Adele hanya nyengir lalu kemudian kembali sibuk dengan aktifitasnya lagi.
“Sempat bluescreen nggak?” Tanya gue sama Arin.
“Nggak, mas. Tiba-tiba mati aja.”
“Hmm.. Gue cek dulu deh.”
“Asik makasih ya mas Ian. Nanti aku traktir buka puasa deh.”
“Oke-oke, ambil aja abis maghrib nanti ya.”
“Siap mas. Aku tinggal dulu yaaa. Lifa.. Aku duluan yaa.”
“Iya Rin hati-hati!” balas mbak Adele.
Setelah Arin pergi, gue ambil peralatan elektronik dari laci meja belajar lalu mulai serius membuka baut laptop itu satu persatu. Belum sempat gue buka semua, tiba-tiba dateng anak kost yang lain lagi.
“Mas..” Katanya sambil nongolin kepala dari pintu.
“Kenapa, Lin?” Jawab gue sambil masih serius ngotak-ngatik laptop.
“Kemarin aku kena tilang.” Tukasnya pelan.
“Terus?”
“SIM-ku ditahan mas..”
“Loh kok bisa?”
“Ndak tau mas.. Tolongin Linda dong mas, Linda nggak tau harus gimana lagi ini. Baru pertama kali Linda gini. Takut mas.” Rengeknya.
“Sidang?”
“Nggak tau.”
“Kamu bawa kertas tilangnya?” Tanya gue.
Kemudian Linda masuk ke dalam pintu sambil menyodorkan slip biru surat tilang dari polisi. Gue lihat-lihat sebentar dan mengecek jadwal sidangnya.
“Jumat habis jumatan tuh sidangnya. Di Jalan Jawa.”
“Ih mas! Temenin please mas. Aku takut, aku nggak tau harus ngapain di sana. Aku takut kalau sidang mas. Masa nanti harus nyewa pengacara.”
Mendengar hal itu gue langsung ketawa, “Ngapain juga dah sidang tilang pake pengacara. Kebanyakan nonton film warkop sih kamu. Ini tinggal dateng aja, nanti disuruh bayar, udah deh beres.”
“Ih temeniiiinnnn!!”
“Yaudah. Ingetin aja Jumat nanti. Jangan lupa tapi ya, kalau sidangnya kelewat, kamu harus buat SIM baru soalnya.”
“Siap Mas! Nanti Linda ingetin. Makasih ya mas!!” Balasnya sambil memeluk gue yang masih terduduk lalu kemudian pergi meninggalkan kamer gue.
Mbak Adele yang melihat hal itu kemudian bangkit dari tidurnya dan melihat ke arah lorong kost. Sambil masih terdiam, dia kemudian menutup pintu lalu menguncinya dari dalam.
“Lah?! Ngapa lo kunci?! Panas woi! Nggak ada udara nih kamar gue jadinya!” Kata gue yang saat itu masih belum mengenakan pakaian apa-apa.
“Yan.. Lo emang selalu gini ya?” Tanyanya sambil kemudian mendekat lalu duduk di sebelah gue.
“???” Gue cuma nengok dengan muka keheranan.
.
                                                        ===
.
Lagu Muse – Falling Away With You masih mengalun menggema di ruangan gue yang kini pintunya sudah tertutup itu. Gue tidak terlalu serius menatap mbak Adele dan lebih memilih membenarkan laptop kepunyaan Arin barusan. Setelah gue lihat-lihat, ternyata laptop ini mati terus cuma gara-gara motherboardnya goyang. Itu doang. Pas gue nyalain lagi sih langsung bener tuh laptop.
“Yan..”
“Hmm..” Gue masih serius masangin baut laptop.
“Jawab kek, malah dicuekin gini.”
“Paan?”
“Lo selama ini emang gini ya?” katanya, “Pantes aja jadi sering ML.” Lanjutnya.
“Hah?! Apa hubungan sama ML dah tiba-tiba?”
“Iya.. Elo mengayomi gini ke semua cewek, gimana mereka nggak pada luluh coba. Pantes aja. Gue jadi baru ngerti apa maksud temen lo waktu di toko kemarin-kemarin itu. Elo emang berbahaya.”
“Yeee… Mereka itu anak kost, udah jadi tanggung jawab gue buat ngebantu masalah mereka.”
“Beda! Sikap lo itu beda! Itu bukan tanggung jawab, itu lebih ke care tau nggak. Liat aja tadi mereka gimana manjanya sama elo. Padahal kan kalau minta tolong bisa baik-baik, nggak harus ngerengek gitu.”
Gue melirik, “Bukannya elo juga sama kaya mereka? Ngerengek mulu.”
“Nah! Itu tuh gara-gara elonya sendiri berarti!”
“Bodo amat. Udah sana lu mending balik ke kamer lu terus cuci muka biar bener lagi otaknya.”
Mbak Adele cuma mendengus lalu kemudian rebah lagi di kasur gue. Ada cukup lama kami sibuk dengan dunia kami masing-masing sebelum kemudian dia nyeletuk lagi sambil tiduran.
“Yan.. Ajarin gue ML dong.” Katanya.
“…” Mouse yang lagi gue pegang langsung gue lepas begitu aja waktu ngedenger tuh bocah ngomong kaya barusan. Astaga.
“Yan, gue jadi penasaran deh. Kalau cowok paling suka di-blowjob yang kaya gimana sih biar cepet keluar?”
“…”
“Disedot? Dijilat? Terus gue denger-denger katanya cowok suka ya kalau spermanya ditelen sama pasangannya? Emang begitu ya, Yan? Alasannya apaan emang? Rasanya sperma apaan sih? Gue belum pernah nyoba.”
“Strawberry.” Jawab gue asal sambil masih menahan rasa kesal.
“Lu kira permen karet. Yan, elo kan katanya udah sering ML tuh, lo tau nggak Yan kalau cewek itu paling gampang orgasmenya kalau di posisi..”
“WOI!!” Tiba-tiba gue memotong ucapannya, “Please Lifa, tunda percakapan ini satu jam lagi bisa nggak?! Gue nggak mau puasa gue batal cuma gara-gara dengerin bacotan elo barusan.” Tukas gue sambil menunjuk ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore.
“Kok jadi marah sih? Gue kan cuma lagi curhat. Lagian ini bukan ngomong jorok kok. Ini cuma ngomong BI-O-LO-HIS.” Balasnya sambil mengeja kata-kata bilogi terakhirnya tadi.
“…”
Saking keselnya dan daripada puasa gue batal di hari pertama, gue puterin aja lagu Opick – Maha Melihat di laptop kepunyaan Arin pake volume yang paling besar hingga kemudian mbak Adele cemberut karena nggak bisa ngelanjutin cerita pornonya barusan. Lagian heran deh ini anak kenapa demen banget bahas selangkangan di depan gue sih? Maksudnya apa coba? Ini gue rasa kalau otaknya gue bedah, di dalam sana isinya tisu mejik semua.
Akhirnya masjid di sekitar kost sudah mulai bersiap mengumandangkan Adzan, karena hari ini duit gue terbatas, gue lebih memilih masak telor di dapur bawah daripada harus beli makanan di luar. Selama gue pergi ke arah dapur, mbak Adele selalu ngikutin gue terus. Nggak tau dah ini bocah belakangan ini udah kaya anak ayam aja.
“Ih telor lagi?! Tadi pagi kan sahurnya pake telor, masa buka puasa pake telor juga?!” Ucapnya kaget ketika melihat gue masak telor.
“Siapa juga yang ngebuatin elo. Ini mah buat gue. Elo mau buka puasa pake ujung sprei juga gue mah nggak peduli.”
“Astaga! Jahat banget sih lo, Yan.” Balasnya.
Ia lalu mematikan api kompor gue dengan tiba-tiba. Melihat hal itu, gue langsung kesal namun sebelum berbalik dan memarahinya, ia sudah menunjukkan dompetnya ke depan muka gue.
“Ayo buka puasa di luar. Gue yang traktir.”
Mendengar kata traktiran, gue langsung diem dan nurut aja. Lumayan nih, sebenernya gue juga udah bosen makan telor sama nasi doang. Untung aja Tuhan lagi baik hati. Sore itu kami buka puasa bareng di daerah yang agak cukup jauh dari tempat kost karena jarang banget ada warung makanan yang buka di hari pertama puasa seperti ini, terlebih ini daerah minoritas, jadi masyarakat di sini juga kebanyakan nggak puasa. Gue memesan soto babat sedangkan mbak Adele memesan ayam goreng.
Di warung tenda yang kami datangi, beberapa kali gue sempat bertemu dengan anak-anak psikologi yang lain. Tapi kebanyakan cewek. Karena selama gue jalan sampai ke warung tenda ini banyak banget cewek yang nyapa, si mbak Adele jadi penasaran. Namun kemudian ia bisa mengerti ketika gue memberitahu bahwa di angkatan gue, anak cowok di fakultas psikologi cuma ada 14 biji doang. Dan itu juga jarang ada yang bener, kalau nggak lekong ya anak rumahan yang jarang nongkrong di kampus. Makanya gue cukup dikenal sama anak seangkatan yang lain.
.
                                                   ===
.
Hari kedua puasa, gue sudah ada jadwal ngampus lagi. Hari ini jadwal kelas gue dari jam tujuh sampai jam sembilan malam. Alhasil gue terpaksa harus mabal taraweh. Begitupun dengan mbak Adele, kalau nggak salah dia juga ada jadwal kelas malam. Ngebedah mayat katanya.
Kampus saat itu sudah lumayan sepi, di foodcourt lantai satu tak lagi banyak anak nongkrong. Di sana cuma ada beberapa unit kegiatan yang sedang berlatih seperti taekwondo, karate, dan sejenisnya. Awalnya gue sempat mau pulang langsung sebelum kemudian salah satu temen psikologi gue ngajak buat main ke kostannya. Main PS katanya. Karena nggak ada kerjaan dan lagi bosen, gue milih ikut ke kostnya meski sebenarnya gue paling males berada di tempat orang lain.
Kami bermain PS cukup lama, ada lebih dari sejam gue di sana sebelum kemudian muncul seseorang dari bawah tangga yang menghampiri kami. Kata temen gue, itu anak kost di sini dan angkatan 2010 juga. Dia masih menggunakan jas lab yang gue langsung tau kalau dia anak kedokteran. Dia langsung masuk ke dalam, kenalan sama gue, lalu ikut main PS. Karena sudah agak sempit, gue memilih untuk duduk di dekat pintu. Temen-temen gue dan anak kedokteran barusan masih asik main PS sebelum kemudian si anak kedokteran ini rebah di pinggir kasur dan mulai membicarakan sesuatu yang nggak asing lagi di telinga gue.
“Tadi gue ketemu si Lifana.” Celetuk si anak Kedokteran ke dua temen psikologi gue yang masih asik main PS.
Mendengar nama Lifana, gue langsung nengok ke arah si anak Kedokteran. Anak kedokteran itu pun menyadarinya,
“Lo kenal Lifana, Yan?” Tanyanya.
Gue geleng-geleng, “Enggak. Siapa tuh?” Tanya gue pura-pura.
“Wuih lo belum tau, Yan?” Celetuk temen psikologi gue.
“Ceritain bray! Lo wajib denger nih Yan.” Kata temen psikologi gue yang satu lagi.
“Ada cerita apa nih?” tanya gue.
“Oke biar gue cerita,” Kata si anak kedokteran sambil mulai membenarkan posisi duduknya dan menyulut sebatang rokok. “Di angkatan gue, ada satu anak kedokteran namanya Lifana. Bodinya beuuuh gila banget. Bikin sange orang! Wajahnya cakep, apalagi sekarang doi rambut pendek. Lehernya cupang-able banget, yan!” Katanya antusias.
Sedangkan gue cuma angguk-angguk doang.
“Dan lo tau, Yan? Dia ini cewek bisa dipake! Anjing nggak tuh?! Hahahaha, Gue sih mau aja bayar dua juta juga biar bisa ngentot tuh anak. Kelas wahid soalnya, ayam kampus banget. Gila bodinya mulus putih gitu sih gue yakin udah sering jadi bahan coli anak-anak kampus. Tul nggak coy!” Katanya sambil menendang pelan temen psikologi gue yang masih main PS.
“Iya hahahaha bener banget. Gue aja pernah coli mikirin dia. Terus denger-denger juga doi emang udah sering dipake sama kakak kelas cuy, lu tau cerita itu nggak?” Tanyanya.
Si anak Kedokteran mengangguk, “Iya gue tau cerita itu. Dia mah emang udah terkenal cewek gampangan kali, lo deketin sebentar aja pasti gampang baper tuh bocah. Lo peluk dia terus lo grepe pantatnya juga dia nggak akan nolak, malah kesenengan. Oi Yan! Gue saranin lo mending deketin dia, Yan. Lumayan perek geratis.” Tukasnya sambil tertawa terbahak-bahak.
Gue hanya ikut tertawa pura-pura.
“Ada cerita juga dari kakak kelas yang pernah bawa dia ke kostnya, katanya waktu udah dicipok sekali, si Lifa langsung horny terus ngajak ngewe duluan. Bayangin aja, cewek ngajak ngewe duluan. Udah becek pasti tuh.” Lanjutnya lagi.
Gue diam. Ini cerita bener kagak ya? Soalnya dia juga pernah ngajak gue ML duluan. Kok bisa pas ya ceritanya?
Anak Psikologi temen gue menaruh stik PSnya lalu kemudian berbalik menghadap ke arah kami berdua, “Eh denger-denger sebelum puasa ini dia dibawa naik mobil terus diewe di basement. Terus katanya ketawan satpam. Hahaha goblok banget. Udah gatel banget tuh lobang sampai nggak sempat nyewa hotel.”
“Eh ngomong-ngomong soal hotel, lo denger nggak cerita yang katanya.. Katanya sih.. Si Lifana ini pernah ke Majestic. Doi sempat hamil terus ngegugurin di sana.” Balas temen gue satu lagi.
Majestic adalah nama salah satu Apartemen di deket kampus gue yang dulu sempat terkenal karena isu bisa ngegugurin kandungan di sana.
“Ya.. wajar sih bro kalau doi gitu. Udah ngewe sama banyak orang pasti pernah nggak sengaja keluar di dalem. Pasti udah longgar banget tuh. Hahahahaha..”
Tiga orang itu tertawa puas banget tapi tidak dengan gue. Gue hanya menghela napas seperti sudah merasa cukup mendengarkan ocehan orang yang nggak tau apa-apa tentang mbak Adele ini.
“Gue kan sering ya sekelas sama dia. Dia itu jarang masuk kampus, tapi selalu lulus terus. Nilainya kalau nggak B ya A. Bayangin aja gimana caranya orang jarang ngampus tapi bisa dapet nilai segitu? Ya kalau nggak ngeperek sama dosennya sih apa lagi namanya..” Lanjutnya sambil mempraktekan gerakan orang lagi ML dan temen-temen gue yang lain ketawa keras banget.
Gue cuma ikut ketawa dikit lalu bangkit dan bersiap pergi.
“Lo mau ke mana, Yan? Masih jam segini masa mau balik?” Tanya temen gue.
“Gue ke balkon dulu bentar, mau nelpon temen cuy.”
“Oke oke..”
Gue pergi ke balkon kostnya yang berada tidak jauh dari sana. Dari bangunan tinggi ini, gue bisa melihat lurus ke arah gedung kampus gue yang letaknya tak jauh dari sana. Gue menghela napas panjang. Cerita-cerita barusan masih jelas terbayang di kepala gue. Meskipun kalian yang bacanya sedikit merasa kesal, tapi kebanyakan kalau cowok lagi ngumpul sama cowok lain emang bahasannya nggak jauh dari masalah selangkangan. Tapi gue rasa ini sudah keterlaluan. Di antara cerita mereka dan cerita mbak Adele sendiri, gue lebih percaya sama cerita mbak Adele waktu kemarin di rumahnya. Cerita yang baru gue denger barusan tak lebih dari imajinasi kotor orang-orang yang tidak bisa mendapatkan mbak Adele saja. Gue yakin itu. Pecundang!
Gue keluarkan ponsel gue dan menelepon seseorang dengan nama Mbak Adele di ponsel gue itu. Tak butuh waktu lama, telepon itu langsung diangkat olehnya.
“Ryaaaaaaaaan!!! Tumben ih nelepon! Kangen ya sama gue?!” Katanya tanpa ada ucapan salam lebih dulu.
Mendengar hal itu gue hanya ketawa, “Lo di mana sekarang?”
“Cieeee tumben nanya. Lagi di kampus nih. Masih di kelas.”
“Lifa..” Panggil gue pelan.
“Eh tumben manggil nama gue. Ada apa, Yan?”
“Kelasnya di mana?”
Dia diam seperti sedang berpikir, “Di deket ruang unit kegiatan tau nggak? Di lantai duanya. Ruangan C03.”
“Pulang kapan?”
“Bentar lagi kok. Kenapa nanya-nanya? Mau jemput gue yaa? Rindu yaa? Ryan gue lapeeeer banget, makan yuk udah ini. Gantian tapi lo yang traktir.”
“Telor ceplok sama nasi lagi aja ya?” Balas gue.
“Idih! Lo miskin bener sih, Yan. Hahahahaha. Tapi yaudahlah, masakin gue tapi ya.”
Gue cuma ketawa pelan, “Lo pulang sendiri?” Tanya gue lagi.
“Iya.”
“Mau bareng? Kebetulan gue lagi deket kampus.”
“EH SERIUS?! MAUUUUUUUUUUUUU!!!!!!!” Jawabnya antusias dengan setengah teriak.
“Iya, gue jalan ke sana kalau gitu. Tunggu ya.”
“IYAAAA!!! HAHAHAHA ASIIK.”
Kemudian telepon itu ditutup begitu saja. Gue kemudian pamit ke temen-temen gue lalu kembali berjalan ke dalam kampus. Sepanjang perjalanan pikiran gue melayang-layang jauh.
Apa kalian sadar? Lifana tadi terlihat ceria sekali waktu gue telepon. Tawa serta ucapannya seperti seorang anak kecil yang gembira ketika mengetahui akan diajak jalan-jalan oleh orang tuanya. Tapi, wanita yang terdengar sangat ceria tadi, tanpa ia ketahui, di belakangnya ada banyak sekali orang-orang yang sekarang mungkin tengah membicarakan tubuhnya. Tengah memperkosa badannya dengan imajinasi-imajinasi kotor di kepala mereka masing-masing. Wanita yang tengah ceria saat gue telepon barusan tanpa ia sadari juga tengah dihina habis-habisan, dicemooh, dimurahkan, dipandang rendah, dianggap sebuah mainan yang bisa dipakai oleh siapa saja.
Kalau gue pikir-pikir lagi, kasihan sekali mbak Adele ini. Tanpa ia ketahui, di luar sana banyak orang yang merendahkan namanya serendah-rendahnya. Menyebar-luaskan berita tidak benar hasil karangan kepala kotor mereka sendiri ke orang lain yang mengakibatkan orang-orang mulai berpandangan kotor terhadap mbak Adele juga. Apa sih sebenarnya salah mbak Adele sampai harus dibicarakan seperti itu? Kesalahan apa yang sudah ia perbuat sama temen-temen gue tadi sampai-sampai mereka membicarakannya seakan seperti sedang membalas dendam kepadanya dengan kata-kata?
Wanita baik-baik yang menurut gue masih suci itu, di belakangnya, tengah diperkosa oleh ribuan kata-kata yang terlontar bahkan oleh teman-teman terdekatnya sendiri. Tubuhnya dijadikan bahan imajinasi masturbasi. Nama baiknya dijadikan keset untuk topik pembicaraan ketika berkumpul bersama teman-teman. Apakah seorang Lifana Ladiana tidak berhak bahagia juga? Apakah hanya karena seseorang pernah melakukan hubungan badan lantas ia harus dikucilkan dari masyarakat? Apakah ketika seseorang harus mengambil keputusan di masa lalu karena terpaksa itu harus dihina habis-habisan dan tidak diperbolehkan untuk hidup selayaknya manusia biasa? Kenapa orang-orang itu seakan-seakan tengah menghakimi seseorang yang bahkan mereka tak kenal?
Sekarang gue sedang membayangkan di kelas mbak Adele malam ini, pasti ia sedang dibicarakan diam-diam tanpa ia ketahui oleh teman-temannya sendiri. Bahkan mungkin ketika ia ceria mengangkat telepon dari gue barusan, teman-temannya pasti ada yang membuat gossip baru tentangnya. Mungkin bisa jadi ada yang menyangka mbak Adele sedang menelepon seseorang yang mau membookingnya buat dipakai malam ini.
Dengan gegas gue berjalan ke gedung anak kedokteran yang berada di ujung komplek kampus. Suasananya sudah gelap, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Meski terlihat seram dan juga harus melewati bangsal kamar mayat, gue tetap tidak peduli dan berjalan lurus menuju ke kelasnya. Di salah satu area kelas gue lihat di koridor depannya cukup terang dan ada banyak anak-anak kedokteran dengan jas putih khasnya sedang duduk-duduk di sana.
Tanpa pikir panjang gue menghampiri mereka.
“Permisi..” Tanya gue, dan sontak mereka semua langsung melihat ke arah gue.
“Boleh tanya di mana kelas C03?” Tanya gue.
“Ini di sini kok.” Salah satu anak kedokteran yang cantik itu menjawab.
“Oh baiklah. Kapan kira-kira kelasnya bubar kalau boleh tau?”
“Sebentar lagi kok. Mau cari siapa?” Tanyanya penasaran.
“Lifana.” Jawab gue tegas, “Lifana Ladiana,”
Mereka semua sempat terkejut ketika mendengar gue menyebut nama itu. Mungkin sekarang di kepala mereka sedang berpikir bahwa gue ini cowok yang mau booking mbak Adele barusan. Dan gue tampak tidak peduli akan hal itu. Bukannya gue mau narsis atau apa ya, tapi badan gue ini tegap dan cukup besar karena keturunan dari bapak gue yang asli ambon dan sekarang jadi tentara itu. Lalu karena dulu sempat jadi instruktur Gym, badan gue juga jadi sangat bagus jika dibandingkan dengan anak-anak seangkatan gue lainnya. Atletis kalau istilah orang zaman sekarang. Temen gue yang namanya Dimas juga pernah bilang sama gue, bahwa gue ini nggak perlu ngomong sepatah kata apa pun hanya untuk ngebuat seorang cewek mau gue ajak pulang ke kamar. Gue cukup pasang badan aja dan mereka semua udah pasti bakal naksir. Juga Rara, Rara sering banget ngewanti-wanti gue untuk tidak tampil rapih dan berlaku baik sama siapa aja, karena itu bisa bikin orang lain jadi baper melihat postur dan tampang gue yang bisa dibilang di atas rata-rata.
Tapi ya gila aja, masa gue disuruh tampil kaya gembel terus gue ngomong gagap? Enak aja. Kalau gue ngajak ngomong orang terus orang itu baper, ya itu salah dia kenapa gampang banget baper sama orang. Kenapa juga harus gue yang disalahin?
Nah dari penjelasan gue barusan, sudah tentu gue menjadi perhatian anak-anak kedokteran cewek yang jumlahnya cukup banyak di sana. Gue sengaja tampil sopan dan bertanya dengan manner yang bagus dengan satu buah alasan, nanti gue ceritakan.
Tak lama kemudian mbak Adele keluar dari kelasnya dan langsung terkejut ketika melihat gue ada di sana. Ada senyum manis terukir di wajahnya ketika melihat gue, dan gue juga tersenyum melihatnya. Kami berdua tiba-tiba menjadi sebuah tontonan tersendiri buat orang-orang di sekitar sana.
Mbak Adele menghampiri gue, “Udah lama, Yan?” Tanyanya ceria.
Gue mengangguk lalu mengambil goodiebag yang lagi ia bawa, “Biar aku yang bawain.”
Mbak Adele cukup kaget melihat hal ini. Masalahnya adalah, gue yang selama ini cuek banget dan bahkan menjauh dari dia setiap harinya mendadak terlihat lebih perhatian seakan gue ini adalah kekasihnya. Mana sekarang gue ngomong pake bahasa aku-kamu pula. Dia terlihat penasaran tapi langsung gue alihkan perhatiannya agar tidak banyak bertanya dulu. Gue membawakan barang bawaannya, juga tak lupa gue sibahkan poni rambutnya yang berantakan,
“Gimana kuliahnya? Capek?”
Mbak Adele cuma diam tak menjawab dengan mimik muka yang kaget. Sumpah, sebenarnya gue pengen ngakak ngeliat muka dia yang keliatan kaget barusan, tapi sengaja gue tahan.
“Ayo pulang.” Balas gue dan mbak Adele masih diam saja.
Belum sempat pergi, tiba-tiba salah satu teman mbak Adele memanggil dan kami berdua nengok,
“Lifa. Ini siapa?” tanyanya penasaran.
Mbak Adele melihat ke arah gue sebentar lalu dengan sigap langsung mengalungkan tangannya di lengan gue dan memeluknya erat, “PACAR GUE!! HEHEHEHE..”  Balasnya cepat.
“Yaudah, teman-temannya Lifa, kami duluan ya. Maaf sudah ganggu waktunya.” Balas gue sambil menunduk kemudian pergi dan mbak Adele mengikuti sembari masih ngegandeng tangan gue.
Di sepanjang koridor kelas, mbak Adele tidak henti-hentinya menanyai gue dengan berbagai macam pertanyaan perihal kenapa gue malam ini tiba-tiba jadi romantis. Dia sempat takut gue kesurupan. Sedangkan gue yang tadi sempat memasang wajah cowok baik-baik di depan teman-temannya, kini setelah jauh dan merasa keadaan sudah sepi, gue langsung kembali memasang tampang cuek lagi dan melepaskan pelukan tangan mbak Adele.
Tumblr media
Ini ekspresi gue sekarang dan tiap ada mbak Adele di deket gue.
.
Tapi mbak Adele nolak, dia malah terus memaksa untuk memeluk lengan gue sesering apa pun gue mengusirnya. Alhasil gue harus jalan pulang ke kost sambil miring sebelah lantaran tangan gue ditarik sama dia yang postur tubuhnya lebih pendek dari gue itu.
Malam ini, gue tengah berjalan malam-malam dengan seseorang. Seorang wanita yang sebenarnya tidak sekotor perkataan orang-orang. Bahkan masih sangat suci masa depannya. Ada alasan kenapa gue harus melakukan hal-hal seperti tadi di depan teman-temannya, tak lebih karena gue ingin memulihkan nama baik mbak Adele. Gue tidak akan segan-segan membuat semua teman-temannya iri dengan bagaimana cara gue memperlakukannya.  Gue akan memperlakukan orang yang menurut mereka kotor ini dengan sebaik-baiknya seperti seorang tuan putri sehingga mereka semua bakal iri. Gue akan memaksa mereka untuk berpikir bahwa seorang Lifana yang menurut mereka kotor itu saja masih bisa didampingi sama seorang lelaki sekelas gue. Dan masih diperlakukan istimewa layaknya wanita luar biasa.
Namun apabila mereka semua berpikir bahwa gue tak lebih dari cowok yang bakal memakainya demi kepuasan nafsu semata, biarlah, gue tidak peduli. Biarlah mereka semua mau berpikir sekotor apa pun, yang penting mereka tak merusak nama baik mbak Adele sendirian. Mulai sekarang, serusak apa pun nama seorang Lifana di mata orang-orang, akan ada nama seorang Ryan juga di sana. Seorang Ryan yang berani bersumpah mampu dengan mudah membuat anak-anak kedokteran mana pun yang ia mau untuk menanggalkan bajunya tapi tidak dengan seorang wanita bernama Lifana.
Karena semenjak hari itu, Lifana Ladiana, sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab gue sekarang.
.
.
.
                                                     Bersambung
748 notes · View notes
eckojr-blog · 7 years ago
Text
More Than Friends
Tumblr media
.
Alarm yang sudah gue atur sebelumnya berbunyi. Lagu dari band The Likes of Us yang berjudul More Than Friends mengalun kencang, gue yang emang nggak bisa tidur kalau ada suara sekecil apa pun ini otomatis langsung bangun dan melihat ke arah jam. Gue mengumpulkan nyawa sebentar lalu berjalan ke arah kamar Mbak Adele dan membuka pintunya yang semalam gue kunci dari luar.
Gue nyalakan lampunya dan ia masih terlelap pulas di kasurnya sambil selimutan. Waktu  gue buka perlahan selimutnya, gue lihat dia masih belum mengenakan apa-apa. Tapi sprei di bawah pantatnya basah. Ini cewek ngapain dah semalem sampai basah begini. Dasar. Gue goyang-goyangkan badannya untuk bangun.
“Hei Lifa. Bangun. Sahur dulu ayo.”
“Ngg? Jam berapa sekarang?” Jawabnya masih setengah terpejam.
“Jam empat.”
“Hah?!” Dia langsung terbelalak, “Imsak jam berapa?” tanyanya.
“Setengah lima.”
“GIMANA SIH?!” Dia langsung bangun dan mendorong gue keluar dari kamarnya lalu menutup pintu.
Tak lama kemudian ia keluar dengan mengenakan kemeja kedodoran transparan yang parahnya gue masih bisa melihat kedua payudaranya dari luar. Sedangkan bagian bawah, dia hanya memakai celana dalam saja berwarna hitam. Dia mengikat rambut pendeknyanya dan dicepol ke atas lalu duduk di meja makan.
“Apa lo nggak masalah pake baju tembus pandang gitu?” tanya gue sambil mengambilkannya nasi ke atas piring.
“Ini?” Dia membuka kerah kemejanya, “Lo mau liat ini? Mau?” tanyanya sambil menunduk dan menunjukan isi kemejanya ke gue yang ada di sebelahnya.
“Euh. Selama hidup gue, ini pertama kalinya gue sahur sambil ngeliat onderdil orang lain.” Gue cuma geleng-geleng, “Noh makan.” Gue geser piring berisi nasi itu ke arahnya.
Mbak Adele kaget waktu melihat apa yang ada di atas piring tersebut.
“Hah? Telor ceplok doang? Sahur pertama pakai telor ceplok doang?” Protesnya.
Gue langsung kesel, “Udah untung gue masakin. Kalau nggak mau sana bikin sendiri. Atau minum energen sereal aja.”
Meskipun ngedumel, namun pada akhirnya dia tetap memakan nasi kecap + telor ceplok itu tanpa protes. Dia mengambil remote dan menyalakan tivi. Kami berdua makan bersebelahan sambil menonton acara lawak di tivi yang sebenarnya nggak lucu-lucu amat. Mbak Adele tertawa sesekali sedangkan gue lebih asik main hp.
“Kenyang ah, Yan!” Dia mendorong piringnya menjauh.
“Astaga, nasinya aja masih sisa setengah. Itu nasinya dikit banget loh. Nih liat gue aja makan sebakul.” Gue menunjukkan tempat makan gue yang langsung dari panci mejikjernya.
“Ya itu kan elo. Kenyang ah. Mau ngemil aja. Chiki kemarin lo taruh mana?” tanyanya sambil melenggang pergi.
“Kamar lo.” Jawab gue.
Tak lama ia kembali lagi dan duduk bersandar di bahu gue yang masih serius makan sahur. Dia ketawa-ketawa sambil melipat kaki di kursi meja makan, dan gue dengan terpaksa menghabiskan sisa makanannya yang tidak habis barusan. Sayang soalnya. Nggak baik ngebuang makanan gitu aja. Ketika acara Tv sudah memasuki kuis dan semakin membosankan, mbak Adele mengecilkan volume tivinya lalu terdiam bersandar di sebelah gue.
“Yan..” tanyanya.
“Hmm..”
“Ini pertama kalinya loh gue puasa.”
“Hah?” Gue kaget.
“Bukan gitu. Maksudnya, ini pertama kalinya gue puasa lagi setelah sekian lama nggak puasa.”
Gue cuma diem aja membiarkan dia berbicara.
“Biasanya tiap puasa, keadaannya kaya begini. Cuma bedanya, elo nggak ada. Alias gue harus melewati sahur pertama sendirian. Gue nggak suka keadaan sepi, gue dulu pernah coba sahur tapi berakhir gue nangis sendirian di kamar karena kesepian. Makanya, gue lebih memilih gak sahur dan gak puasa. Orang tua gue udah jarang pulang. Dan karena sekarang ada elo di sini, ini kali pertama di mana gue sahur nggak sendirian lagi. Thanks ya, Yan.”
“Hmm..”
“Maafin soal yang kemarin juga.” Katanya mengungkit kejadian bugil kemarin.
“Hmm..”
“Lo jangan cuma hmm hmm aja dong, cerita kek.”
“Cerita apaan? Gue masih ngunyah ini.”
“Kalau elo sendiri gimana?”
“Sama kok. Gue selalu puasa sendirian. Kan lo tau, gue nggak pernah sosialisasi sama siapa-siapa.”
“Bahkan anak kost?”
“Bahkan anak kost.”
“Terus gimana? Nggak merasa kesepian?” tanyanya penasaran.
“Enggak. Justru gue seneng. Sepi. Tenang. Nggak ada yang menganggu.”
“Jadi? Maksud lo, gue ini ganggu?”
“Banget.”
“Sialan.” Gerutunya, “Tapi elo puasa terus walau sepi kaya gitu?”
“Iya lah. Tamat terus gue.”
“Kok bisa?”
“Ya karena gue miskin.”
“Maksudnya?”
“Karena gue miksin dan gak punya duit buat makan makanya gue mending puasa aja. Hemat.”
Dia ketawa.
“Denger-denger dari Rara, lo sering jualan kolak pas puasa ya?” tanyanya lagi.
“Iya.”
“Nggak malu?”
Gue nengok, “Lo pikir mana yang jauh lebih memalukan, jualan kolak atau jualan minuman alkohol?”
Dia angguk-angguk, “Masuk akal juga.”
Kami terdiam lagi. Bunyi Imsak sudah berkumandang, ini tandanya 10 menit lagi subuh. Gue langsung bergegas ke kamar mandi untuk gosok gigi sebelum kemudian gue lupa gue lagi di rumah orang. Mbak Adele datang menghampiri dan menawari sikat giginya sendiri. Gue diem.
Gila apa? Lo bayangin aja gue harus sikat gigi pake bekas punya orang. Buat gue, itu sesuatu yang lebih menjijikan daripada cunnilungus. Hahaha aneh ya? Tapi ya gimana lagi. (btw jangan ngegoogle arti dari kata-kata barusan. Kalau nggak kuat ya jangan. Kalau kuat ya silakan.)
“Ini belum gue pake.” Kata mbak Adele.
Setelah mendengar hal itu gue langsung menyambarnya dan menyikat gigi langsung. Tapi di tengah gue lagi sikat gigi dia malah nyeletuk kalau itu udah sering dia pakai dan sontak gue langsung memasang tampang bete sedangkan dia cengar-cengir sendiri. Setelah selesai sikat gigi dan membilas sikat giginya, dengan parahnya mbak Adele menyambar sikat gigi gue tadi dan memakainya sendiri.
Gue cuma bisa geleng-geleng. Udah ah, percuma gue nasehatin juga. Udah terlalu capek gue mah. Gue langsung melenggang dan duduk di sofa tengah disusul dengan mbak Adele yang langsung duduk di sebelah gue lagi.
“Yan, gue mau nanya. Hal-hal pribadi tapi. Boleh nggak?” Tanyanya iseng.
“Nggak.” Jawab gue.
“Lo pernah ML?”
“…” Bukannya tadi gue udah bilang enggak ya?
“Yan! Jawab!”
“Udah.” Akhirnya gue ngejawab juga.
“Sering?” Tanyanya lagi.
“Menurut lo?”
“Sering.”
“Yaudah.”
“Loh kok gue yang jawab sih. Sering nggak?”
“Sering. Dulu.”
“Hooo..” Dia angguk-angguk, “Sama cewek?”
“Ya iya lah lu kira sama tamagochi?!” Gue bete.
“Hahahaha..” Dia ketawa, “Kapan pertama kali ML?”
“…” Gue diam tidak menjawab.
“Kalau gue sih pas kuliah semester pertama.”
“Nggak nanya.”
“Ya gue ngasih tau biar lo mau ngasih tau juga. Kapan ih, Yan?”
“Hmm.. lupa gue.”
“Bohong!”
“Ya ngapain juga diinget-inget? Kalau nggak salah sih SMA.”
“SMA? Umur?”
“17”
“Wuoooo… udah pengalaman banget dong?”
“…” Gue melirik ke arahnya, “Lo nanya-nanya beginian sambil duduk di sebelah gue dengan baju neplak gitu apa lo nggak takut?”
“Kenapa? Lo mau? Kita mau ngebatalin puasa pertama nih? Yuk Yan!”
“Gila.”
“Hahaha tenang, gue kaya gini cuma sama lo doang, Yan.”
“Hah?” Gue nengok, lobang idung gue pindah ke pipi saking kencangnya gue nengok.
Dia menghela napas, “Gue dulu ML juga bukan karena kemauan gue..”
Gue sedikit diam sebentar, “Eh? Maksud lo.. Rape?” tanya gue mencoba hati-hati menanyakan hal yang menurut gue tabu itu.
“Nggak juga, tapi saat itu gue lagi nggak mau dan dia terus-terusan maksa gue. Karena gue sayang dan merasa dia yang selalu ada buat gue di kala orang tua gue nggak pernah ada buat gue, akhirnya dengan sangat terpaksa gue mau buka baju juga.”
“Siapa?”
“Mantan gue yang dulu-dulu.”
“Udah sering dong?”
“Enggak. Baru dua kali malah.”
“Loh?”
“Hehehe nggak ngerti ya? Gue cuma pernah sekali ML sama pacar gue yang dulu, setelahnya gue selalu nolak ketika dia minta lagi. Dan ML yang kedua gue lakuin sama pacar gue yang kemarin, yang elo hajar di depan kost itu loh. Itu pun karena dipaksa dan karena gue udah cerita sama dia perihal masa lalu gue. Waktu gue ceritain, dia merasa nggak terima kalau pacarnya udah pernah ML sama orang lain, makanya dia minta hal yang sama. Tapi kemudian setelah itu dia malah ngancam bakal ngebuka aib gue ke orang-orang kampus ketika gue menolak untuk ML. Dia gitu biar gue mau ML lagi sama dia. Tapi gue tetap nolak, dan brengseknya gue jadi harus terima ketika gossip nggak bener itu menyeruak di kampus. Dan inilah gue sekarang, cewek nggak suci dengan segala prasangka orang-orang yang menghina gue habis-habisan.”
Gue masih menatap ke arahnya yang bercerita sambil terus memadang lurus ke arah tivi. Gue cukup kaget dengan penjelasan dia sekarang. Sebuah penjelasan yang sangat berbeda dari semua gossip yang pernah gue dengar tentangnya.
“Jadi? Lo baru ML dua kali?” Tanya gue serius.
Dia nengok, “Iya. Kotor ya gue.” Balasnya pelan.
Sontak gue ketawa keras. Benar-benar ketawa keras. Ini adalah kali pertama di mana gue bisa ketawa selepas ini. Mbak Adele kaget, dia nyangka gue kesurupan jin ifrit.
“Lo kenapa ketawa?!” katanya kaget.
“Astaga!! Hahahahahaha, gobloooook… Ryan goblok!” Gue mengatai diri gue sendiri.
“…”
“Hahahaha maaf maaf, jadi lo baru ML dua kali? Bener?” Gue mencoba bertanya sekali lagi, mecoba memastikan.
Dia angguk-angguk ragu.
“Astaga! Gue udah kemakan gossip nggak bener ternyata.” Gue ketawa lagi sambil geleng-geleng.
“Hah?” Dia bingung.
“Gue kira dari cerita orang-orang, elu udah sampai menyentuh tahap ML hingga ke level yang aneh-aneh. Tapi ternyata elo baru ML dua kali doang toh.” Gue terkekeh.
“Ih! Tapi tetap aja gue udah gak perawan!”
“Ya so what? Cewek naik sepedah aja bisa pecah selaput dara kok. Astaga Lifana, orang baru ML dua kali mah sama aja kaya anak SD baru pegangan tangan terus dia malu sama temen-temennnya karena udah pernah melakukan sesuatu yang menurutnya tabu. Padahal lo nggak tau, yang lo lakukan itu masih sebatas pegangan tangan doang, dan masih banyak lagi tahap di atasnya yang lebih parah seperti ciuman, pelukan, tidur bareng, petting, flirting, cunnilungis, hingga sex. Jadi asal lo tau, yang lo lakukan itu mah masih kecil pisan atuh! Astaga.. Gue kira lo dah ngapain aja. HAHAHAHAHAHAHA..” Gue ketawa lagi sampai air mata keluar di pelupuk mata.
“Hah?” Mbak Adele masih kaget atas penjelasan gue barusan.
“Intinya, dari semua orang yang pernah gue kenal. Lo itu masih termasuk suci. Aduuuh, terus lo ngapain bugil depan gue kemarin malem?” Tanya gue masih nahan ketawa.
“Ya… Ya…” Mbak Adele bingung, “Ya karena gue anggap gue udah lepas perawan, jadi nggak masalah gue mau ML sama siapa aja.”
“Terus kenapa lo nawarin sama gue? Kenapa dulu waktu pacar lo minta malah nggak lo kasih coba?”
“Nggak tau, gue juga heran sendiri.”
“Lah?”
“Iya. Bahkan anehnya, gue nggak malu untuk buka baju di depan lo kaya kemarin. Dan rasanya gue nggak akan nolak kalau misalnya ML sama lo. Bahkan kalau lo minta sekarang juga gue nggak masalah.”
“…” gue cuma melihat ke arahnya dengan tatapan penuh tanya, “Aneh lo.”
“Iya gue juga ngerasa gue aneh.”
Adzan subuh berkumandang, gue melihat ke arah jam dan ternyata sudah memasuki pukul setengah lima. Dengan cepat gue ambil air wudhu lalu menawari mbak Adele untuk sholat subuh bareng dan dia langsung mengiyakan. Meski kotor, tetapi tetap ingat Tuhan. Itu motto hidup gue hahaha.
Gue sebagai Imam, dan dia ada di belakang mengaminkan tiap gue berdoa. Selesai sholat, kami duduk di sofa bareng lagi, dan kini dia masih mengenakan mukenanya. Bagus deh, dia sadar diri kalau sekarang udah puasa. Jadi gue nggak perlu ngerasa was-was untuk nengok ke arahnya seperti sebelumnya.
“Yan..” Dia manggil lagi sambil bersender di sebelah gue.
“Hmm..”
“Gue kira selama ini gue udah kotor loh. Thanks ya. Setidaknya denger penjelasan lo barusan gue jadi punya semangat hidup lagi. Ternyata, gue ini masih belum ada apa-apanya dibanding orang lain.” Sambungnya lagi.
“Bagus deh.”
“Yan..”
“Hmm?”
“Lo tadi bilang udah pernah ML dari sejak SMA. Kok bisa?”
Gue berpikir bentar, “Dulu kejadiannya waktu temen sma gue ulang taun sweet seventeen. Gue sama temen-temen yang lain datang ke rumahnya tengah malam ngasih selamat. Pas yang lain udah pulang, gue ditahan sama dia. Dan ya.. terjadilah.”
“Hoo…” Dia hanya menjawab singkat, “Yan..” Tanyanya lagi.
“Hmmm..”
“Lo udah pernah ML sama Rara?” Tanyanya,
Gue kaget, tapi gue masih berlagak sok cool, “Kenapa?”
“Apa temen yang ultah sweet seventeen dulu itu..” ada jeda sebentar sebelum ia melanjutkan pertanyannya, “..Rara?” Sambungnya lagi.
“Kenapa lo mikir bahwa itu Rara?” Balas gue.
“Hmm.. nggak tau, tapi kalau gue liat dia deket banget sama elo. Bahkan dia juga nggak keberatan buka baju di depan lo.”
“Selain Rara, gue udah sering liat cewek ganti baju di depan mata kepala gue sendiri kok.”
“Lo dah ML berapa kali sih, Yan?” Dia menatap heran.
“Ya ngapain juga gue itung. Nggak ada kerjaan banget. Udah ah balik sono ke kamar lo. Gue harus tidur.”
“Ih Ryan! Jawab dulu pertanyaan gue!!”
“Ogah! Awas gue mau tidur!” Gue mendorong badannya agar menjauh.
Sofa saat itu sengaja nggak gue buka dan lebarkan menjadi kasur seperti sebelumnya. Gue terlalu males, gue lebih milih tidur di sofa yang masih dalam bentuk sofa sambil menghadap ke punggung sofa. Namun brengseknya si Mbak Adele yang masih semangat ini malah langsung nyempil di antara punggung sofa dan muka gue sampai tubuh gue kedorong dan hampir jatuh ke lantai.
“Gue mau tidur di sini juga!” Ucapnya.
“ASTAGFIRULLAH YA ALLAH!!! WOI LIFA BISA NORMAL SEDIKIT KAGA SIH?! PINDAH KE KAMAR LO SANA!!”
“Gue mau tidur di sofa! Ini kan sofa gue!”
“Astaga!” Gue memilih untuk tidak protes dan langsung tidur di lantai.
Tapi tiba-tiba dia nyempil di lantai juga tepat di depan muka gue. Bener-bener sumpah deh ini anak kenapa sih jadi hyperaktif gini kalau lagi di rumahnya?!
“ASTAGA DRAGON!!! Lifana Ladiana! Gue harus tidur tau nggak!!”
“Nggak boleh tidur kalau habis subuhan, pamali!” balasnya.
“Terserah! Badan gue ini udah kebiasaan bangun dari malem sampai subuh, kalau gue nggak tidur pas pagi hari, gue bisa drop selama seminggu total! Lo mau gue sakit?! Please, Lifa! Gue mau tidur!” Bentak gue.
“Yaudah,” Akhirnya dia mengalah sambil memajukan bibirnya seperti sedang menggerutu.
“Di kamar gue aja, di sana ada kasur sama selimut.” Lanjutnya.
Tanpa pikir panjang gue langsung masuk ke kamarnya dan rebah di atas kasur sambil menarik selimutnya. Mata gue langsung terpejam. Akhirnya! Kasur! Rasanya rindu banget tidur di kasur dengan keadaan tenang gini ya Tuhan. Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan~
Setelah sempat lima menit terlelap, tiba-tiba gue harus terbangun karena merasa ada gerakan di dekat gue. Gue langsung nengok dan ternyata itu mbak Adele lagi narik selimut lalu tidur di sebelah gue. Gue melihat ke arahnya dengan tatapan kesal tapi dia malah cengengesan.
“Aku juga ngantuk, Yan. Boleh ya? Nggak akan ganggu kok. Sumpah. Hehe.”
Gue cuma mendengus lalu kemudian berbalik dan tidur menghadap ke tembok. Gue mencoba merem lagi tapi sulit sekali karena si mbak Adele grasak-grusuk mulu seperti sedang mencari posisi yang nyaman. Gue cuma bisa istigfar di dalam hati.
“Yan..”
“Ryaan..”
“Udah tidur ya?”
“Ini pertama kalinya gue tidur nggak sendirian lagi. Seneng deh.” Ucapnya pelan seperti sedang bisik-bisik.
“…”
“Rasanya nyaman..”
“…”
“Rasanya aman..”
Gue melek. Terdiam menatap ke arah tembok di depan gue. Kami sekarang sedang saling memunggungi di satu kasur yang sama. Gue sempat teringat percakapan subuh tadi, tentang segala hal buruk yang harus dia lalui selama ini. Kasian juga dia harus jadi bahan gunjingan orang-orang sendirian. Mirip seperti kisah gue dulu, tapi bedanya dia ini perempuan. Kalau gue sih setidaknya masih tahan karena laki-laki. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, dia sendirian di rumah sebesar ini dengan keadaan di mana orang-orang menghina dan mencemooh dengan panggilan yang tidak pantas seperti itu, rasanya kasian juga. Pantas ia sering melukai diri sendiri seperti itu.
Gue nengok ke sebelah dan melihat belakang kepalanya yang berada di satu bantal yang sama dengan bantal yang tengah gue pakai sekarang. Pelan-pelan gue bangun lalu duduk di kasur, mbak Adele yang sadar akan hal ini langsung menengok ke arah gue.
Gue menatapnya, “Pindah gih.” Tuaks gue yang langsung turun dari kasur.
“Eh?”
“Bukan pindah tempat, tapi pindah posisi. Sana lo yang mepet ke tembok.” Balas gue pelan dan ia langsung nurut.
Setelah ia berada di posisi dekat tembok, gue lalu tidur di sebelahnya. Kini posisi kami bergantian. Dia masih memunggungi gue, lalu pelan-pelan tangan gue masuk ke area pinggangnya dan memeluknya dari belakang. Dia sempat kaget dan mau menengok sebelum kemudian gue tahan.
“Udah tidur aja.” Balas gue pelan sambil terpejam. “Gue ada di sini kok.” Bisik gue di belakang lehernya.
Mbak Adele tidak menjawab. Ia hanya memundurkan badannya agar semakin melekat ke tubuh gue. Pagi itu, kami berdua tidur di satu kasur yang sama. Gue memeluknya dari belakang, kepala gue ada di tengkuk lehernya, tangan gue memeluk tubuh kecilnya dengan mudah. Dan harus gue akui, wanita ini wangi sekali pagi ini. Hari itu, kami berdua terlelap cukup lama.
Hari pertama puasa, Gue lalui dengan bobo bersama.
Luar biasa.
*tepuk tangan*
.
.
.
                                                           Bersambung
522 notes · View notes
eckojr-blog · 7 years ago
Text
You Give Me Something
Tumblr media
.
Sebenarnya kalau boleh jujur, gue juga lupa jalan ke tempat baksos yang dulu itu lewat mana. Gue keceplosan ngajak dia ke tempat baksos karena nggak tau lagi cara yang paling baik agar dia tidak melanjutkan kalimat terakhirnya barusan. Gue udah bilang ke Rara, ke si Dimas, ke si Ikhsan juga, bahwa tragedi kamar sebelah dulu ngebuat gue sebisa mungkin harus jaga jarak dengan orang lain. Dan yang lebih tainya lagi adalah, hal yang paling gue takutkan malah terjadi juga. Gue nggak mau kejadian kaya dulu keulang lagi. Apa yang sempat Rara nasihatin ke gue untuk selalu hati-hati ketika dekat dengan siapa saja ternyata sekarang terjadi juga. Usaha gue untuk tidak dekat dengan siapa pun terlepas dari apa gendernya ternyata pada akhirnya pecah telor juga.
Gue jalankan mobil ini pelan sambil kebingungan harus ke mana pagi-pagi buta begini. Jalanan ke tempat baksos juga entah lewat mana gue lupa. Kalau siang sih mending, lah sekarang gelap gini gimana gue bisa ngeliat? Untung bacotan gue tentang setan barusan bisa ngebuat nih cewek jadi lebih diem. Karena bingung mau dibawa ke mana, gue mampir di warung pinggir jalan di dekat pasar Lembang. Di sana ada warung ketan bakar yang selalu gue datangi dari semenjak pertama ke Bandung dulu.
“Ngapain berhenti di sini?” Tanya mbak Adele kaget sambil celingak-celinguk ke area sekitar.
“Laper gue. Mau sahur.”
“Lah puasa kan baru besok?”
“Gapapa, latihan dari sekarang.” Kata gue sekenanya.
Gue memesan sebuah ketan bakar dan teh manis hangat, sedangkan mbak Adele hanya duduk sambil terus memeluk dirinya karena kedinginan. Sesekali dia ngambilin ketan bakar gue dan gue cuma diem aja. Diem berpikir gimana caranya ngabisin waktu biar nggak ditanya-tanya lagi. Setelah beres, gue langsung cabut lagi memutar dan turun ke arah bawah dan belok ke pom bensin 24 jam sebentar.
“Loh? Nggak jadi ke tempat baksos?” Tanyanya lagi.
“Besok-besok aja deh, jalannya suka berubah kalau udah malem.”
“…”
“Lifa..” Sapa gue dan dia langsung nengok, “Gue tidur dulu ya. Ngantuk berat. Belakangan ini gue nggak tidur lama sehabis pulang kerja.”
“Loh terus? Gue nungguin elo tidur gitu maksudnya?”
“Ya terserah sih. Kalau lo mau nyetir balik ke kost juga silakan.”
“Yaudah, gue aja yang nyetir daripada harus nunggu di sini. Tukeran tempat duduk kalau gitu.”
Gue mengangguk. Tapi belum sempat gue membuka sabuk pengaman dan keluar pintu, si mbak Adele malah berusaha duduk di tempat gue tanpa mau keluar dari mobil lebih dahulu. Kalau orang masih waras sih dia bakal keluar, berjalan muterin mobil, terus tukeran tempat duduk. Nah cewek ini beda, dia nggak mau keluar mobil. Alhasil muka gue diinjek-injek sama kaki polosnya.
“Geser!!” Katanya sambil sibuk merangkak di tubuh gue.
“YA TURUN DULU NGAPA?! LO NGGAK NYADAR BADAN GUE UDAH KAYA GARDU LISTRIK GINI?! SEMPIT WOI!”
“Males dingin. Elo aja geser cepet.” Sanggahnya.
“ASTAGA LIFA!”
Jduak! Selangkangan gue dinjek. Sontak gue teriak histeris.
Tuas buat senderan kursi mendadak keinjak oleh si mbak Adele hingga secara spontan senderan gue langsung turun ke belakang sampe leher gue kesentak. Udah goblok banget lah ini keadaannya, mana kakinya si mbak adele nyangkut satu di sabuk pengaman yang belum gue lepasin pula. Karena oleng dia langsung jatuh dan pantatnya menghajar muka gue. Sekarang dengan enaknya dia dudukin muka gue gitu aja.
“YA ALLAH!!! CEPETAN PUASA AJA YA TUHAN BIAR INI SETAN SATU IKUTAN DIKURUNG DI NERAKA!!”
“BERISIK!! DILIATIN ORANG-ORANG JADINYA TAU GAK?! MOBIL KITA JADI GOYANG-GOYANG INI!!”
“YANG SALAH KAN ELO ASTAGA!!”
Akhirnya setelah agak tenang, gue memilih untuk mendorong tubuh gue ke belakang dan akhirnya gue ngejengkang di kursi belakang, sedangkan mbak Adele di kursi depan cuma ngedumel sambil membenarkan posisi kursinya lagi. Bener deh, kalau bukan karena ngantuk, udah bakal iseng gue masukin persenelingnya biar mobil ini jalan terus masuk ke jurang sekalian. Biarin dah. Jihad.
Gue tidur di kursi depan, sedangkan mbak Adele gantian yang nyetir. Dia sempat izin untuk memutarkan lagu dan gue diem aja nggak ngejawab. Dia nyetel satu lagu dari James Morrison yang judulnya You Give Me Something. Dan yang bikin gue lebih bete lagi adalah itu lagu dia ulang-ulang terus sampai gue hapal liriknya.
.
                                                            ===
.
Sinar mulai masuk ke dalam jendela mobil membuat mata gue yang tadi masih merem akhirnya perlahan terbuka. Gue kumpulin nyawa sebentar sebelum kemudian gue baru sadar kalau sekarang gue bukan lagi ada di kostan. Mobil ini terpakir di salah satu halaman rumah orang yang nggak gue kenal. Gue tengok ke sebelah, si mbak Adele juga udah nggak ada. Gue lepas seatbelt gue dan beranjak keluar sambil mencoba menelaah pelan-pelan di mana gue berada sekarang.
Lagi berdiri sambil celingukan, tiba-tiba pintu rumah dibuka dan ada mbak Adele dari sana keluar dengan baju yang sudah berbeda lagi.
“Di mana nih?” tanya gue masih dengan mata merem sebelah karena ngantuk berat.
“Rumah gue.” Jawabnya polos sambil mengupas pelan-pelan pisang yang lagi dia pegang. Gue mendadak ngilu.
“…”
Gue nggak mau protes, capek. Jadi daripada marah-marah karena gue dibawa ke rumahnya tanpa seizin gue, gue lebih memilih untuk masuk lagi ke dalam mobil untuk pulang ke kostan sebelum kemudian mbak Adele menghampiri dan menahan tepat ketika gue mau membuka pintu mobil.
“Mau ke mana ih?!” Tanyanya.
“Umroh.”
“Serius!”
“Emang ada umroh yang nggak serius?!”
“Lo mau pulang?”
“Nah tuh tau.”
“Jangan! Di sini dulu aja!”
“Ogah. Mau tidur gue.”
“Di rumah gue juga ada kasur.”
“Ya gue juga tau. Lu kira rumah lu masjid.”
“Abis sarapan deh. Kita sarapan dulu aja. Ok? Masa lo mau ninggalin gue di sini sendiri? Nanti kalau mantan gue dateng terus gue dihajar lagi siapa yang mau nolongin gue? Kalau gue pendarahan gimana?”
“…” Ini cewek ada aja akal bulusnya, “Yaudah, abis sarapan ya.” Balas gue.
Saat itu gue diajak masuk ke dalam rumahnya. Rumahnya besar, tapi kosong. Bahkan satpam yang dulu nganterin gue juga nggak tau sekarang ke mana. Di sepanjang dinding gue lihat banyak foto yang gue tau itu foto keluarganya. Gue rasa rumah kosong begini nggak mungkin ada sarapan di meja makannya. Dan ternyata benar, di atas meja makan cuma ada sehelai taplak doang. Mbak Adele nyuruh gue bikin makanan sendiri di dapur. Pas gue buka kulkas, isinya cuma ada botol coca-cola yang isinya malah kuah pempek. Lah anjir terus gue sarapan apa ini?!
Gue cek lacinya ternyata ada Indomie, yaudah gue masak aja deh daripada nggak ada makanan. Gue duduk di ruang tengah sambil nonton tivi yang isinya iklan melulu. Sesuai janji, beres sarapan gue bergegas untuk pulang sebelum kemudian lagi-lagi gue ditahan. Namun kali ini alasannya beda ketimbang pagi tadi.
“Gue mau taraweh di sini.” Ucapnya sambil masih memegang lengan gue, “Ini kan hari pertama taraweh. Gue pengen taraweh di sini. Orang tua gue selalu ngajak gue taraweh di sini, gue nggak mau di tempat lain. Please..”
Gue menatapnya dingin, “Yaudah.” Balas gue polos.
“Temenin gue ya, yan.” Pintanya lagi.
“Yaudah kita taraweh bareng.”
“Serius?”
“Iya, tapi masjidnya beda. Elo di sini, gue di kost.”
“Kan! Ayo dong, Ryan. Liat, satpam gue aja udah pulang kampung. Gue sendirian di sini. Lo tega ninggalin gue sendirian di sini? Terus kalau nanti ada setan gimana?”
“Bulan puasa setan dikurung semua sama Tuhan.”
“Ya kan besok bulan puasanya bukan hari ini.”
“Bener juga.”
“Ayolah, please?”
“…” Gue masih diam berpikir.
“Untuk kali ini aja kok, Yan. Nanti pas puasa hari pertama lo boleh pulang. Dan gue nggak akan ganggu-ganggu lo lagi.”
Gue kaget, wuih dia ngasih jaminan yang menarik nih. Tapi enggak ah, gue kapok sama omongan nih bocah. Banyak bohongnya.
“Sekali aja?”
“Iya, sehari aja.”
“Yaudah. Gue mau tidur kalau gitu. Lo jangan ganggu. Badan gue lagi nggak enak dari kemarin. Jangan pernah sekali-sekali ganggu gue kalau gue lagi tidur atau bangun-bangun nanti itu mulut di muka lo gue tuker sama mulut di selangkangan. Ngerti?” Ancam gue.
Dia cuma angguk-angguk doang. Gue kemudian masuk ke dalam rumahnya lalu rebah di sofa depan tivi yang bisa dilebarkan menjadi kasur. Gue emang gitu, kalau gue nggak tidur di pagi hari, seminggu ke depan badan gue bisa drop total. Mungkin karena sudah terlanjur terbiasa melek sampai subuh di toko kali ya. Dengan badan yang sudah lelah sekali, gue terbangun tepat pas adzan magrib berkumandang. Gue bangun dengan kepala yang pening sekali, gue pergi ke kamar mandi untuk wudhu lalu mencari arah kiblat ke mana. Mau tanya si mbak Adele tapi gue nggak tau dia lagi di mana sekarang.
Alhasil gue sholat menghadap ke kulkas. Karena biasanya kulkas menghadap ke arah kiblat. Entah ini teori dari mana. Gapapa deh. Yang penting niatnya udah sampai duluan ke Tuhan. Detik demi detik berlalu dan akhirnya ceramah taraweh pertama dimulai. Ini adalah kali pertama di mana gue sholat taraweh di tempat lain setelah beberapa taun silam. Karena seperti yang sudah kalian tau sebelumnya, gue nggak pernah pulang tiap lebaran atau hari pertama puasa ke Cianjur. Bahkan ulang taun ibu sendiri aja gue gak pulang.
Gue ketuk pintu kamar mbak Adele dan di sana dia masih tertidur nggak tau sejak kapan. Akhirnya gue bangunkan saja. Lagian gue nggak tau di mana letak masjidnya. Walau agak ngeyel tapi pada akhirnya ini cewek bangun juga. Gue suruh cepat-cepat pakai mukena. Dia izin mau mandi tapi gue larang soalnya waktunya udah terlalu mepet, sampai-sampai gue nggak sempat nyari sendal buat taraweh dan terpaksa harus pake bakiak yang entah kepunyaan siapa. Lo bayangin aja aing sholat pake bakiak ke masjid. Bunyinya berisik banget sampe orang-orang pada nengok.
Beres sholat tarawih kira-kira jam sembilan malam, ada satu sms masuk ke hp gue, dari Lifana yang tetap saja nama dia di hp gue adalah “mbak Adele”
“Di mana? Gue di luar.” Katanya.
“Bentar, lagi minta tanda tangan imam.” Jawab gue.
“Emang lo anak SD?! Cepetan, gue laper!”
Lah yang laper situ ngapa gue yang repot dah? Dan ternyata benar, dia minta ditemenin buat cari makan malam. Bahkan gue nggak dibolehin untuk ganti sendal dulu. Kaki gue yang segede panci presto disandingkan dengan sendal bakiak yang karetnya ngepas banget ini benar-benar menyiksa. Gue nggak bisa jalan jauh, bahkan yang masuk ke dalam bakiaknya cuma 3 jari doang. Dua jari sisanya offside di luar karet. Karena sulit jalan, gue memilih untuk makan di tempat terdekat aja. Warung tenda nasi goreng sebrang komplek.
“Eh neng Lifa. Kemana aja neng? Jarang keliatan belakangan ini.” Sapa tukang nasi goreng yang kayaknya udah akrab banget sama nih cewek.
Mbak Adele cuma ketawa aja, “Kang aku mau yang biasa satu ya. Telornya ceplok.”
“Siap, neng. Nah ini aa-nya mau pesen apa?” tanyanya ke arah gue.
“Karedok ada kang?”
“Ya ga ada atuh. Ini mah tukang nasi goreng.”
“Adanya apa?”
“Nasi goreng.”
“Tapi saya lagi pengen karedok eui kang.”
“Yah gak ada ‘A itu mah. Di sini cuma sedia nasi goreng doang paling.”
“Wah sayang sekali. Jadi cuma ada nasi goreng ya?”
“Iya.”
“Karedok?”
“Nggak ada.”
“Nasi goreng ada?”
“Ada.”
“Yaudah nasi goreng satu.”
Mbak Adele yang denger percakapan ini cuma ngeliatin gue dengan tatapan yang seakan bilang, ngapain-sih-anjir-pake-dialog-nggak-penting-segala.
“Ini pacarnya neng Lifa yang baru?” tanyanya lagi waktu gue baru aja narik kursi plastik buat duduk.
“Bukan. Supir.” Jawab gue enteng dan si kang nasgor cuma ketawa gitu aja.
.
                                                            ====
.
Beres dari makan nasgor badan gue ditarik masuk ke dalam Indomart. Katanya mau beli bahan buat sahur besok. Padahal kaki gue udah nggak kuat banget ini cenat-cenut. Akhirnya terpaksa gue buang aja itu bakiak ke tempat sampah dan gue memilih nyeker ke dalem indomart. Sampai kasir indomart ngeliatin gue terus karena menyangka gue ini gembel tapi nggak berani buat negor.
Sesampainya di rumah, gue langsung rebahan sambil mijetin kaki. Awalnya gue berniat langsung pulang, tapi kaki gue sakit banget. Nanti deh agak maleman gue bali ke kost. Lagian gue tetap harus balik ke kost apa pun keadaannya, di kost gue nggak ada siapa-siapa, Budi lagi mudik. Jadi takutnya nggak ada yang gembok gerbang.
“Taroh mana nih?” Kata gue sambil berdiri kemudian bingung mau naruh di mana kresek belanjaan si mbak Adele.
“Taruh kamar gue aja.”
“Elo mau ke mana?” Tanya gue lagi.
“Mau mandi, belum mandi dari kemarin gue. Lo jangan balik, awas aja!” ancamnya.
Dia pergi mandi di salah satu kamar mandi yang ada di dekat kamarnya. Sedangkan gue setelah menaruh kresek ini memilih untuk tidak cepat-cepat pergi ke ruang tengah dan justru menghabiskan waktu melihat kamar ini cewek. Gue bisa tau apa sifat dan seluk beluk mengenai pribadi seseorang dari kamarnya. Oleh sebab itu gue telaah satu-satu semua benda di kamar mbak Adele ini. Dari boneka yang dia simpan di kasurnya. Gantungan-gantungan di jendela. Warna kamar. Terus gue perhatikan meja belajarnya juga, ada mainan apa. Bagaimana cara dia meletakan buku. Buku apa saja yang ia baca. Bagaimana cara dia menyimpan baju, dilipat atau digantung. Semuanya gue teliti satu persatu sambil mengunyah pisang lemes yang gue ambil dari meja makan.
Gue duduk di kursi belajarnya dan mengambil salah satu mainan figure captain amerika yang kepalanya bisa goyang-goyang. Lagi asik mainin benda-benda yang ada di sana, mbak Adele tiba-tiba masuk ke dalam kamar sambil masih andukan doang. Kepalanya diikat oleh handuk, dan badannya ditutupi oleh handuk yang lainnya. Melihat dia sudah masuk, gue langsung menaruh mainan itu kembali ke tempatnya dan bersiap untuk pergi. Sebelum tiba-tiba ia mengunci pintu kamarnya dan membuat gue yang tadinya mau berdiri menjadi urung lalu menatap ke arahnya.
“Duduk.” Katanya sambil menatap kesal.
Gue tidak menjawab dan masih tetap duduk di kursi belajarnya.
“Lo udah ngeliat semuanya kan beberapa hari lalu?” Tanyanya lagi.
“…”
“Lo juga udah tau apa yang terjadi sama gue kan? Semua gossip dari orang-orang di kampus, juga tentang semua masa lalu gue yang pernah gue ceritakan, 'kan?” Tukasnya.
“…”
“Apa yang ada di pikiran lo sekarang ketika menatap cewek yang udah nggak suci lagi di depan lo ini?” Dia mencerca gue dengan berbagai pertanyaan.
“Biasa aja.” Jawab gue.
“Oh..” Dia membalas singkat, “Kalau begitu, apa yang bakal lo lakukan kalau melihat ini.”
Dan secara tiba-tiba ia melepaskan handuk yang melekat di tubuhnya barusan hingga kini gue bisa melihat seluruh tubuh putihnya yang sudah tak terbalut apa-apa. Ia melemparkan handuk basahnya ke atas kasur dan gue langsung milirik ke arah kasur. Aduh itu handuk basah jangan ditaruh di kasur dong!
Ya, gue lebih gregetan ngeliat anduk basah ditaruh di kasur ketimbang cewek bugil di depan gue sekarang.
Kemudian setelah badannya polos tidak mengenakan apa-apa itu tampil di depan gue yang masih duduk di hadapnnya, ia kemudian melepaskan ikatan yang ada di kepalanya dan kini rambut basahnya terurai menempel di beberapa area tubuhnya. Seperti yang sudah gue jelaskan dulu, tubuhnya benar-benar putih. Tidak ada bekas luka sama sekali kecuali di area tangan. Tahi lalat di atas payudara kirinya bisa terlihat jelas dari sana.
Pisang lemes yang dari tadi lagi gue pegang mendadak tegang sendiri.
.
                                                            ===
.
Oke, sebentar. Sebelum gue lanjutkan lagi, kalian yang baca ini pasti mikir, ah ini mah cerita fiksi. Karangan doang. Mana ada cewek yang kaya gitu sampai buka baju di depan cowok. Hahahahaha kalian bego kalau mikir ini cuma cerita doang. Kalian pikir cuma cowok doang yang hyper kaya gini? Kalian pikir nggak akan ada cewek yang juga hyper dan bahkan ngajak ML duluan? Kalau kalian mikir kaya gitu dan menganggap apa yang gue tuliskan di atas adalah sesuatu yang fiksi dan karangan doang, ya bisa gue bilang kalian itu mainnya belum jauh. Cuma masih seujung tai kuku doang.
Kalian mungkin selama hidup di dunia ini tidak pernah masuk ke pergaulan yang kalian anggap fiksi itu. Selama hidup ini, kalian cuma di situ-situ aja, jadi anak baik doang. Kuliah, pulang, les, pacaran, ciuman, dan sebatas itu doang. Bahkan mungkin kalau ke bar atau pub pun kalian cuma tau bir Bintang sama smirnoff doang. Padahal Bintang mah hanya upil kalau dibandingkan dengan banyaknya minuman yang ada di bar. Jadi jangan kalian pikir cewek hypersex, cewek doyan sex toys, cewek kerudungan tapi sering ML itu nggak ada. Ada, dan justru banyak banget. Kalian aja yang nggak tau. Maka dari itu dulu di awal banget gue udah bilang, cerita ini akan menjabarkan apa-apa yang kalian anggap nggak pernah ada di dunia ini. Padahal sebenarnya mah ada di sekitar kalian. Dan gue sudah banyak sekali ketemu yang seperti ini. Jadi, jangan hanya karena kalian tidak pernah tau dan tidak pernah liat dengan mata kalian sendiri, maka kalian menganggap semua hal itu nggak ada.
Sama aja kaya otak kalian sendiri. Nggak bisa kalian liat kan? tapi kalian anggap itu ada kan? Sama juga kaya Tuhan. Tul nggak? Jadi.. Ya.. ini adalah segelintir cerita dari banyaknya hal-hal kecil dunia bawah dan dunia kost-kost campur di seluruh universitas yang belum pernah kalian temui.
Oke sampai mana tadi? oh iya sampai mbak Adele bugil ya?
Dia masih berdiri di depan gue tanpa mengenakan busana sama sekali lalu secara perlahan langkahnya semakin mendekat ke arah gue. Sedangkan gue masih diem aja menclok di atas kursi kaya burung kakaktua. Ya biar bagaimanapun gue juga pria. Kalau liat yang kaya gini lama-lama ya mana tahan.
“Gue pernah dipake sama pacar gue sendiri. Jadi.. Kalau melihat gue yang kaya gini di depan mata kepala lo sendiri, lo mau apa sekarang?” Tanyanya memecah keheningan.
Gue melirik ke arah matanya, dan ia menatap gue. Kami cukup lama saling menatap tanpa suara.
“Ayo.. ” Dia beranjak ke arah kasur dan duduk di pinggirnya, kakinya perlahan membuka dan mengarah ke gue hingga sekarang gue bisa melihat dengan jelas apa yang ada di antara kedua pahanya tersebut terbuka begitu saja.
“Gue nggak akan nahan elo. Elo mau apain juga bebas. Tapi gue minta satu, tolong jangan pernah pergi. Bisa?” Katanya lagi.
Gue menghela napas panjang, menaruh pisang lemes yang sedari tadi gue pegang ke atas meja belajar dan beranjak pergi ke pintu lalu mengambil kunci dan menguncinya dari luar. Dari luar gue bisa mendengar dia teriak-teriak memanggil nama gue berulang-ulang kali tapi tetap tidak gue bukakan. Ada alasan tersendiri kenapa gue memilih untuk pergi ketimbang menghampirinya.
“Ryan!! Jangan dikunci!! Nanti gue makan apa malem?!” Teriaknya.
“Noh ada pisang di atas meja belajar. Makan dah tuh. Kenyot sana sampai puas.” Kata gue yang lalu pergi ke ruang tengah dan memilih untuk rebah di sana.
Gila juga, malam puasa pertama gue harus dilewati dengan melihat seseorang yang mempunyai badan kelas atas tanpa busana sama sekali di depan mata kepala gue sendiri. Tuhan memang maha bercanda.
Di ruang tengah, gue memijat kening gue sendiri. Berulang kali menarik napas dan menahan gejolak yang muncul di kepala. Gue tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Apa yang ia lakukan barusan benar-benar mengingatkan gue dengan kejadian beberapa taun yang lalu. Dan gue nggak mau harus terjebak di situasi itu lagi, terlebih dengan apa yang ia pertaruhkan di sana perihal gue yang harus menjaganya terus apabila kami melakukan itu malam ini. Tidak, kalau masalah ML sih bisa kapan dan sama siapa aja gue lakuin, tapi gue nggak mau harus terjebak dan mengambil keputusan ketika nafsu gue sedang memuncak. Kalau logika di kepala atas pindah ke kepala bawah, bisa panjang urusannya.
Gimana ya, biar gue cerita dulu deh ya bentar. Buat beberapa orang yang kalian kenal, ML tuh sesuatu yang sakral, sesuatu yang hanya bisa dilakukan ketika kalian sudah diikat dengan sesuatu yang namanya tali pernikahan. Tapi di bawah itu, jauh lebih dalam dari yang tidak kalian tau, buat kami-kami ini, ML itu sesuatu yang ya.. biasa aja. Bahkan ML ketika nggak ada status pacaran juga biasa aja. Itu sebuah kebutuhan biologis setiap manusia. Simbiosis mutualisme, saling menguntungkan satu sama lain. Ada yang pacarannya tiap hari ML, ada yang sudah tinggal satu rumah bareng padahal belum nikah. Ya itu biasa aja buat kami. Temen-temen gue udah pada ML dan nggak ada yang istimewa tuh.
Buat kami-kami, orang yang pamer baru beres ngewe sama seseorang itu cuma sekelas anak bau kencur yang baru ngenal apa yang namanya penis dan vagina. Sedangkan buat kami-kami yang sudah biasa melihat hal itu, ya itu nggak ada istimewanya. Cuma terkadang memang ML itu bisa sangat nikmat apabila dilakukan dengan orang yang benar-benar kamu sayang. Bagaimana wangi pheromone yang dikeluarkan dari keringat dan lendir vagina lawan jenis bisa sangat terasa memabukkan dan membuat kepayang sekali jika orang itu memang orang yang kau sayang. Segala stress, pusing, migraine, luka, penyakit, hingga rasa sakit yang lagi diderita mendadak hilang ketika kalian ML.
Ya daripada panjang lebar gue bacotin tentang reaksi kimia dan biologi ketika ML, mending kalian baca aja sendiri deh ya. Khusus buat mereka-mereka yang mau menerima dengan lapang dada dan membuka pemikiran aja. Buat mereka-mereka yang keukeuh bahwa ML itu sesuatu yang haram dan sebagainya, yaudah berhenti baca. Kalian nanti nggak ada bedanya sama netizen yang kemarin geger karena bilang kalau renang sama lawan jenis bisa menyebabkan kehamilan karena sperma bisa masuk lewat pori-pori kulit.
Luar biasa.
Dari bacotan gue di atas, kalian akan jadi mengerti bahwa buat mbak Adele, mungkin ML bukan sesuatu yang tabu lagi mengingat dia barusan dengan mudahnya mau memberikan itu sama gue tanpa gue minta. Gue pun sebenarnya sama, tapi untuk kali ini beda. Dia ini adalah tipe-tipe orang yang dari awal memang perlu gue jauhi sebisa mungkin. Karena apabila gue luluh dan mulai menaruh hati, bisa-bisa kejadian kamar sebelah terulang lagi. Jujur, gue masih belum bisa lepas dari kejadian itu. Bahkan Dimas dan Ikhsan yang kemarin datang ke toko gue pun masih sering menanyakan kabar gue gimana. Karena mereka tau gimana traumanya gue dulu hingga pernah hampir bunuh diri agar benar-benar bisa terlepas dari bayang-bayang kelam sialan itu. Sungguh, depressi itu adalah sesuatu yang menggerogoti dari dalam lebih parah dari yang kalian tau.
Btw tulisannya kepanjangan ya?
Gue potong  ke part selanjutnya aja ya.
.
.
.
                                                      Bersambung
432 notes · View notes
eckojr-blog · 7 years ago
Text
You Are Everywhere
Tumblr media
.
Ikhsan hanya ketawa sambil angguk-angguk, “Nah Lifa, sekarang gantian gue yang cerita tentang si gempal sebelah lo ini. Kalau si Gempal ini beda lagi. Jadi kami bertiga punya cara yang beda-beda soal ngobrol sama cewek. Eh bentar bentar, Yan, lo udah cerita tentang hal itu sama dia sebelumnya?” Ikhsan tiba-tiba melihat serius ke arah gue.
Gue mengerti pertanyaan apa yang Ikhsan maksudkan barusan, dan gue hanya geleng-geleng menandakan gue belum cerita sejauh itu sama mbak Adele.
“Oh, oke. Berarti ceritanya beda lagi. Gini, si Gempal ini juga pinter ngobrolnya. Dulu waktu gue pertama ketemu dia mah dia nggak sepinter sekarang ini, tapi karena mungkin kenal sama Dimas malah jadi ketularan brengseknya kali ya. Ryan sama Dimas ini kalau disatuin udah jadi kombinasi Lethal Weapon banget. Kombinasi pahit manis. Tapi keduanya punya cara berbeda. Kalau si Dimas..”
Belum sempat Ikhsan merampungkan kalimat, mendadak pintu toko tiba-tiba di buka dan datanglah orang yang dari tadi lagi kami bicarakan ini. Begitu dia masuk, teman-teman di meja pada langsung menyambutnya. Dia menghampiri mereka dulu lalu ngobrol sebentar sebelum kemudian berjalan ceria ke arah kami bertiga.
“Wah-wah-wah tempat luas begini kalian pada ngumpul dempet-dempetan kaya jembut. Hahahahaha, cocok dah emang kecap botol hadap-hadapan sama merpati sayur!” Katanya sambil kemudian memukul kepala Ikhsan pakai gantungan kunci mobilnya.
“Tuh, kan Lifa. Liat nggak? Dateng-dateng langsung menghina orang.” Kata Ikhsan.
“Elo juga tadi waktu ketemu gue pertama kali langsung gitu, setan!” Sanggah gue.
“Eh? Ada siapa nih? Baru ya? Haloo…” Tiba-tiba belum juga salaman atau bro hug sama kami berdua, si Dimas malah langsung ngajak ngobrol mbak Adele.
“Hai.. Dimas.” Tukasnya sambil tiba-tiba ngulurin tangan.
Mbak Adele yang kebingungan cuma bisa nanggepin sambil salaman, “Ngg.. Lifana..” Katanya bingung.
“Hmm.. Lifana ya? Lifana, kamu percaya pada jatuh cinta pada pertanyaan pertama nggak?” Tukas Dimas penuh percaya diri.
Sontak mendengar hal itu, kami bertiga pun langsung ketawa, “HAHAHAHAHA ITU KATA-KATA UDAH DIPAKE DULUAN SAMA SI IKHSAN, DIM TADI!!” Kata gue ngakak.
“Anjing! Brengsek emang! Seenaknya pake kata-kata pamungkas orang! Gue jadi kehilangan momentum nih!” balasnya sambil bete dan kami bertiga makin ketawa ngakak.
“Btw, yan! Apa kabar lo? Feels good?” Balas Dimas.
Gue mengelap air mata yang ada di mata gara-gara kebanyakan ketawa, “Yap, belakangan ini jadi jauh lebih baik.”
“Masalah yang dulu gimana? Lo inget kan kalau lo itu punya kita berdua buat cerita?” Kata si Dimas lagi sambil nepuk pundak Ikhsan yang dari tadi angguk-angguk doang kaya boneka cepot.
“Gue bisa handle sendiri kok, gaes. Tapi kalau suatu saat gue kaya dulu lagi pasti kalian yang pertama gue cari.”
“Oke deh. Nah Lifa, kamu kerja di sini?” Tiba-tiba Dimas berbalik dan menghadap mbak Adele.
“Lah anjing gue lagi ngomong malah diacuhin, setan!” Kata gue sambil melempar tisu ke arah si Dimas dan dia cengengesan doang, “Mau minum apa lo, Dim? Whiskey as usual?” Tawar gue.
“Gin Tonic. Hendriks. Pake limau.” Balasnya singkat.
“On my way.” Balas gue sigap.
“Dim, Lifana ini seangkatan sama kita loh, Fakultas kedokteran doi. Gimana? Kedokteran tuh, favorit elu kan.” Kata Ikhsan.
“Wuih?! Serius? Pantesan kaya pernah liat di mana gitu ya. Berarti waktu acara Get Healthy kemarin yang diadain sama anak kedokteran itu, kamu ada dong?” Balas si Dimas sigap menangkap info dari Ikhsan.
Mbak Adele hanya angguk-angguk mengiyakan.
“Sebagai apa kalau boleh tau? Aku dateng loh ke sana.”
“Aku cuma bantu-bantu di bagian dekor kok.” Balas mbak Adele.
“Hmm.. Dekor ya? Berarti yang ngurus posisi stand buat bazzarnya juga kamu?”
“Iya, aku bagian ngurus yang deket panggung.”
“Loh, di deket yang jualan makanan crepes itu ya?”
“Iya, aku di situ mulu kok pas acara juga.”
“Nah kan aku pernah liat berarti, kan. Tapi lepas dari itu, acara kemarin sukses ya kelihatannya. Surplus nggak sih? Kan ngundang band Naif segala tuh.”
“Aku kurang tau sih, tapi surplus kayaknya meski nggak banyak.”
“Aku bingung deh, kalau misalnya dekor kan kebagian ngurus bagian convetty juga kan? Aku dari dulu nyari di Bandung nggak pernah nemu rasa-rasamya. Di daerah mana sih? Kamu ada info nggak?”
“Ih gampang kalau nyari Convveti, aku beli di toko Celebrate Dago. Tau nggak?”
“Yang tukang jualan boneka itu? Emang ada?”
“Ada ih! Murah lagi. Terus di sana itu…”
Belum sempat mbak Adele melanjutkan, gue langsung memotong sambil mengantarkan minuman buat si Dimas.
“Heh, Lifa. Ati-ati, lo udah masuk jebakan dia. Liat, nggak sadar kan lo?” Kata gue kesel.
“Hah? Jebakan apaan?” sanggahnya.
“Hati-hati sama ini orang. Dia udah kaya ikan lampion. Kalau lo lengah sedikit udah dijamin langsung hilang kesadaran deh. Apaan pake acara ngomongin event kedokteran, setau gue waktu ada acara kedokteran dulu bukannya lo ada di kost gue ya, Dim? Lo cuma ngeliat acara kedokteran doang sepintas sambil jalan ke parkiran motor kan?”
“Loh? Loh? Loh?” Mbak Adele kebingungan, dan Ikhsan cuma ketawa aja.
“Tuh kan, liat. Dia itu bisa menggiring kamu ke opini-opini di mana kamu bisa nyaman ngobrol sama dia. Nih ya gue kasih tau, si kambing ini pengetahuan umumnya jago banget. Bahkan dia tau istilah-istilah banyak hal cuma buat ngedeketin cewek doang. Paling bentar lagi dia mulai bahas istilah-istilah kedokteran yang simple biar ngebuat kamu ngejelasin dengan antusias karena itu bidang elo. Pinter emang dia ini. Ati-ati. Jangankan orang, laptop si unyil aja dia rayu langsung bisa bluescreen.” Kata gue galak.
“Hahahahahahahaha, faaaaakkkkk semua aja lo bocorin bangke!” Kata Dimas sambil ketawa, “Nah Lifa, kamu juga harus tau nih! Sedangkan mahluk sebelah kamu ini juga sama bahayanya, bedanya si tiang listrik ini lebih pintar mendengarkan. Dia bisa ngebuat orang cerita-cerita hal pribadi yang nggak orang lain ceritakan ke siapa-siapa.” Balas Dimas.
“Contohnya kamu tadi siang.” Sambung gue sambil melihat ke arah mbak Adele.
“Lengah sedikit kamu bisa dengan nyaman nyeritain aib kamu sama dia. Bahaya, diam-diam dia suka ngejual info aib kamu tadi ke orang lain buat meras kamu di masa depan nanti loh. Hati-hati. Terakhir ada yang sampai bangkrut terus terpaksa harus jual ginjlanya buat bayar utang ke si Ryan. Kamu sekarang mengerti kan Ryan dapet duit dari mana biar punya kost-kostan?” Lanjut si Dimas.
“Brengsek! Jangan nyebarin gossip gak bener oi!” Balas gue.
Mbak Adele cuma diam aja karena kehilangan kesadaran. Dia mungkin baru sadar kalau dia sekarang ada di sekitar orang-orang yang tingkat level bahayanya udah di atas rata-rata.
“Terus, kalau Ikhsan?” Tanya mbak Adele.
“Ah tai, gue mah kebagian ampasnya doang, Lif!” protes Ikhsan.
“Maksudnya?”
“Iya, gue ini bagian ngambil sampahan mereka berdua. Kalau misal si Dimas udah ngedeketin cewek terus tiba-tiba si Dimas hilang, atau juga si Ryan yang tiba-tiba jadi dingin, si cewek-cewek ini pasti curhatnya sama gue semua. Biar pun pada akhirnya gue bisa jalan sama mereka sih. Jadi ya kami bertiga ini emang udah saling mengisi. Simbiosis mutualisme. Hahahahaha.” Balas Ikhsan sambil nepuk-nepuk punggung si Dimas.
.
                                                             ===
.
Beberapa jam telah kami lalui, Ikhsan dan Dimas kembali ke meja teman-temannya untuk ngobrol, meninggalkan gue berdua di area Bar dengan mbak Adele yang masih terlihat banyak pikiran.
“Gue nggak habis pikir lo ternyata kaya gitu ya?” Gumamnya.
“Hahaha kenapa? Kecewa ya?”
“Enggak juga sih. Tapi.. ya kaget aja.”
Gue melihat ada rona layu di wajahnya setelah mendengarkan penjelasan sahabat-sahabat gue, “Tapi tenang, gue nggak kaya yang lo pikirkan, kok. Lo inget waktu lo hujan-hujanan terus gue bawa ke kamar kost?”
Dia angguk-angguk.
“Ya itu, kebanyakan cewek yang gue bawa ke kost adalah orang-orang yang sedang mengalami masalah berat kaya yang lo alami dulu. Gue di sini sebagai bartender, sudah tugas gue untuk ngelayani para pelanggan gue dan mendengarkan mereka curhat. Membuat mereka nyaman, beberapa ada yang nggak mau pulang, ada yang hangover, dan sebagainya. Gue bawa ke kost ya biar nggak ada yang macem-macemin. Ada juga yang sengaja dateng ke kost gue cuma buat cerita tentang masalahnya dah gitu pulang lagi. Sebagain besar dari mereka yang temen-temen gue bilang itu ya yang seperti itu. Dan kalau pun nginep, gue bakal lebih milih tidur di tempat Rara dan membiarkan mereka sendirian di kamer gue.”
“Loh tapi kenapa dulu lo malah tidur di sebelah gue kalau gitu?!”
“Itu pengecualian. Lo udah nyusahin gue soalnya.”
“Ish!”
Kami sama-sama diam sebentar, sebelum kemudian mbak Adele bertanya lagi,
“Mereka baik ya. Bisa gue rasain dari saat pertama ngobrol sama mereka.”
Gue terkekeh, “Iya, mereka itu biar pun luarnya kaya kulit salak semua, tapi dalamnya mereka benar-benar baik kok. Lembut mereka tuh sebenarnya, nonton drama korea juga nangis. Nah kalaupun suatu saat lo harus jadian lagi, gue lebih Ikhlas lo jadian sama salah satu dari mereka berdua. Atau mau jadian sama keduanya juga gapapa. Biar gitu-gitu, mereka itu satu-satunya orang yang gue sangat yakini bisa bertanggung jawab sepenuhnya. They are truly a gentleman. Mereka baik, terlebih lagi mereka akan selalu ada kapanpun lo butuh. Gue berani sumpah, meski saat itu lo misal dalam keadaan bugil total dan mabuk lalu nggak bisa bangun di depan mereka berdua, mereka nggak akan ngapa-ngapain elo selain nyelimutin elo. Trust my words.” Jelas gue.
Malam itu akhirnya semakin larut. Ikhsan dan Dimas pamit sama gue dan mbak Adele sebelum mereka pulang. Ketika tau mbak Adele ternyata ngekost di kostan gue, mereka berencana dalam waktu dekat berkunjung ke sana lagi. Di sepanjang perjalanan pulang, hening menyelmuti kami berdua. Jalanan Bandung sudah lengang, lagu instrumental You Are Everywhere mengalun di playlist yang gue pilih sendiri.
“Kenapa lo bisa akrab sama mereka? Padahal kan baru ketemu waktu ospek.” Tanya Lifana memecah keheningan.
Gue mengecilkan volume radio, “Karena persabahatan itu bukan tentang siapa yang kamu kenal dari lama, tapi ini perihal siapa yang bisa datang ke kehidupan kamu dan selalu ada di tiap kamu butuh. Mereka berdua itu seperti itu. Kalau suatu saat lo sedang terjebak dalam suatu masalah dan saat itu gue nggak ada di sana, hubungi mereka. Mereka nggak akan pernah mikir dua kali untuk datang saat itu juga.”
Mbak Adele menganggukkan kepalanya pelan, lalu tersenyum. “Baru kali ini gue liat lo kaya orang. Maksud gue, seperti orang kebanyakan. Seperti seseorang cowok kuliahan yang seharusnya. Yang nakal, yang sifat kekanakan-kanakan keluar kalau ngumpul sama temennya, ceria, banyak ketawa.” Tukasnya, “Tapi kenapa kalau sama gue lo nggak bisa gitu?”
Gue diam tidak menjawab.
“Rara pernah cerita sedikit, katanya pernah ada kejadian yang ngebuat lo jadi berubah ya? Apa itu hal yang sama seperti yang tadi Ikhsan tanyakan sama lo?” Tanyanya lagi.
Gue menggelengkan kepala, “Bukan, itu masalah berbeda. Seperti yang lo ketahui, masalah gue ini sebenarnya jauh lebih banyak dari masalah yang lo hadapi sekarang. But I cannot tell you. Sorry. Maybe not now.”
“It’s oke. Bisa lihat kamu kaya tadi aja aku udah senang.”
Gue ketawa sedikit mendengarkan hal itu.
“Btw, gimana si Dimas? Kayaknya lo cocok deh sama dia. Mau gue bantu makin deket biar bisa jadian nggak? Biar lo nggak sendirian lagi. Biar sekarang lo ada orang yang bener-bener baik buat nemenin lo kapanpun lo butuh.” Tawar gue.
“Nggak deh.”
“Loh kenapa? Doi satu-satunya orang yang gue rekomendasiin buat elo loh. Ya Ikhsan juga sih, tapi itu mah pilihan terakhir kalau udah nggak ada pilihan lagi.” Celetuk gue.
“Kalaupun harus jadian lagi, gue lebih milih sama lo.”
Gue tersentak kaget, hingga tanpa sengaja gue menginjak pedal rem begitu keras sampai-sampai mesin mobil ini mati di tengah jalan.
“Woi!! Nyetir yang bener dong! Kepala gue kena dashboard kan ah jadinya!” Saut dia seraya memukul pundak gue.
Gue masih diam tidak bergeming, sekarang mobil ini diam di tengah jalan raya begitu aja. Ada lebih dari lima menit gue terdiam tidak mengeluarkan sepatah kata apa pun. Mbak Adele yang melihat hal ini lama kelamaan mulai parno karena gue yang tiba-tiba diem sambil masih fokus ngeliat ke depan. Mana sekarang keadaan gelap total lagi, dia mulai manggil nama gue berkali-kali tapi gue masih fokus melihat ke depan. Hingga kemudian, gue kembali menyalakan mesin mobil yang sempat mati tadi.
Gue nengok ke arah dia perlahan, dan dia langsung mundur pelan-pelan sampai mepet kaca,
“Ikut gue ngecek lokasi baksos ya..” Kata gue pelan.
Dia kaget sampai-sampai tas yang ia pangku jatuh ke bawah, “Hah?! Sekarang? Udah jam dua malem ini!”
Gue cuma angguk-angguk doang, “Mau nggak?”
“Lo gila?! Tadi lo tiba-tiba diem aja gue udah gemeteran! Ogah! Balik ke kost sekarang juga!”
“Bentar aja kok.”
“ENGGAK!! PULANG!!”
“Hah? Lembang? Oke.. kita ke Lembang sekarang.”
“RYAN!!!!”
Tidak peduli sudah dihajar dan ditarik berapa kali kerah baju gue hingga melar kaya adonan cakwe, gue tetap melajukan mobil ini menuju ke arah Lembang atas di Jumat malam seperti ini.
“Lif…” Gue kembali membuka percakapan ketika jalanan sudah lengang sekali, kabut juga sudah turun sampai gue harus menyalakan lampu jauh.
Mbak Adele tidak menjawab, ia hanya terus memegangi sabuk pengamannya semakin erat.
“Lo percaya hantu ga?” Tanya gue lagi.
.
.
.
                                                            Bersambung
381 notes · View notes
eckojr-blog · 7 years ago
Text
Kau ini Tidak Sedang Berlomba Dengan Siapa-Siapa
Kau ini sebenarnya tidak sedang berlomba dengan siapa-siapa. Tidak mencari pemenang perihal siapa yang lebih banyak atau siapa yang lebih cepat sampai duluan.
Tidak ada.
Jika melihat hasil orang lain lantas membuatmu malah merasa kalah, merasa berkecil hati, merasa tertinggal, dan justru bukan bersemangat, maka berhentilah untuk melihat ke arah sana. Berhenti melihat orang lain. Stop, tinggalkan, lepaskan, unfollow. Tidak ada peraturan yang mengatakan bahwa kamu harus menjadikan pencapaian orang lain itu sebagai pemacu semangatmu, tidak ada.
Jangan mengikuti kata-kata orang brengsek yang bilang bahwa pencapaian orang lain itu harus dijadikan sebuah motivasi, apabila jauh dalam dirimu kamu tidak bisa merasa seperti itu. Hidupmu ini ya hidup kamu sendiri, kamu tau mana yang kamu suka dan mana yang nggak kamu suka. Masa harus ngikutin kata orang lain? Nggak usah sok dewasa kalau memang tidak bisa.
Setiap orang punya rezekinya masing-masing, punya waktunya masing-masing, punya jalannya masing-masing. Jadi ya nggak bisa disamaratakan bahwa semua orang harus mampu menjadikan keberhasilan orang lain itu sebagai pemacu untuk bisa berhasil juga. Ya nggak bisa, kalau kamu nggak nyaman ya tidak apa-apa, tidak ada yang salah, kamu boleh egois. Hidup kamu sendiri ini.
Jangan sampai dengan bergaul dengan orang-orang itu malah membuatmu merasa kalah dan tidak berguna sehingga sulit sekali untuk mau menghargai diri sendiri. Lepaskan, keluar dari lingkaran itu, pergi, berhenti bertemu, lalu masuklah ke lingkungan di mana kamu nyaman di dalamnya. Jika kau memang bukan tipe orang yang hidup karena berlomba dengan orang lain, maka baiknya hiduplah sekali lagi, mencobalah banyak hal tanpa ada perasaan diburu-buru untuk sukses, nikmati semua yang kamu kerjakan tanpa harus merasa kamu butuh mengejar seseorang yang sudah lebih dulu sampai. Carilah jalan di mana kau bisa sukses dan merasa bahagia tanpa perasaan iri dan kurang bersyukur.
Karena sejatinya,
Satu-satunya lomba yang harus kau menangkan adalah lomba dengan dirimu sendiri. Hidupmu ini perihal melampaui batas-batas yang kau gariskan sendiri, tentang segala pencapaian yang harus dilebihkan dari apa yang sudah pernah dicapai sebelumnya. Tumbuh, dan menjadi lebih baik dari kamu sebelumnya.
Kamu tidak sedang berlomba dengan siapa-siapa. Rencanakanlah untuk bisa melebihi pencapaianmu di masa lalu. Bukan dengan pencapaian orang lain.
2K notes · View notes
eckojr-blog · 7 years ago
Text
Best I Ever Had
Tumblr media
.
Bukannya berhenti, hujan justru semakin membesar. Membuat payung yang sedari tadi dipegang kini mulai tak kuat menahan gempuran air beserta angin dingin malam itu. Keuntungan lain punya badan segede babon kaya gini adalah gue mampu memeluk tubuh perempuan kecil ini dan menggenggamnya dengan mudah. Gue tutup payung itu dan melemparkannya ke teras toko lalu gue angkat tubuh mbak Adele dengan kedua tangan dan membawanya lari ke dalam.
Di dalam toko yang sunyi ini, lagu Vertical Horizon - Best I Ever Had masih mengalun dengan pelan. Gue dudukkan ia lantai dan menyandarkannya di pintu toko karena ogah ngebuat lantai toko jadi basah semua. Gue langsung bergegas mengambil tas mbak Adele yang ada di atas meja tempat ia terkapar sebelumnya, di sana ada kunci mobil. Tidak mungkin kalau gue bawa mbak Adele naik motor, bisa-bisa dia keterak angin terus nyangkut di asbes ruko. Bahaya.
Gue langsung mengambil jaket, mengunci toko, lalu mengangkat mbak Adele ke dalam mobilnya. Gue pacu mobil itu lumayan kencang karena gue takut kalau dia terlalu lama dalam keadaan basah kuyup begini, bisa-bisa besoknya demam.
Kok gue peduli?
Enggak. Kalian salah. Gue bukan peduli. Gue nggak mau dia sakit karena kalau dia sakit, ada kemungkinan dia bakal minta gue buat ngerawat dia sebagai tanggung jawab karena udah ngebuat dia kebasahan kaya gini. Dan itu berarti gue harus berinteraksi lebih lama dengannya. Enggak deh, gue nggak mau.
Sebisa mungkin gue harus menghindari segala hal-hal yang bisa membuat gue berhubungan dengan dia lebih lama. Apapun itu.
Keadaan kost cukup sepi karena sekarang sudah hampir menjelang bulan puasa. Beberapa anak kost sudah memilih pulang kampung untuk merayakan hari pertama puasa dengan keluarganya di rumah masing-masing. Begitu juga dengan Rara yang sampai saat ini belum pulang-pulang juga ke Bandung.
Karena tubuhnya yang kecil dan badan gue yang segede toren pinguin warna oren ini, gue bisa menggendongnya dengan mudah ke lantai dua. Sesampainya di kamar, gue tidak langsung membaringkannya di kasur. Gue taruh dia di lantai dan bersandarkan di daun pintu. Sama kaya yang gue lakukan di toko barusan, alasannya juga sama. Gue nggak mau kamar gue jadi becek semua.
Dengan gegas gue mengambil anduk yang bertengger di teras kamer dan mulai mengeringkan bulir-bulir air yang menetes dari rambut hingga ke pangkal pahanya. Gue buka sepatunya, gue lepas kaus kakinya, gue keringkan sela-sela jari-jemari kakinya. Gue sibahkan rambutnya ke belakang telinga lalu mengeringkan sela-sela belakang telinganya juga, termasuk tengkuk dan daerah bahu.
Setelah merasa tidak ada lagi bulir air yang menetes, gue lalu mengangkatnya dan membaringkannya di atas kasur. Gue kunci kamer gue, menatap wajahnya yang sedang pulas tanpa dosa itu sebentar lalu kemudian berjalan menghampirinya. Ada perasaan bergejolak di pikiran gue saat ini, mencoba untuk membunuh semua pemikiran-pemikiran busuk itu di kepala. Gue menghela napas panjang sekali, mengatur ritme jantung dan menahan ego gue yang sudah meluap-luap ini. Gue palingkan tatapan gue ke arah lemari pakaian untuk mengambil handuk baru yang masih kering.
.
                                                            ===
.
Gue menghampiri mbak Adele yang saat itu sedang benar-benar dalam keadaan lelap total. Fase mabuk terakhir memang seperti ini, makanya banyak kasus pemerkosaan terjadi setelah mabuk-mabukan, karena setelah alkohol hinggap di kepala, kepalamu akan terasa berat sekali. Bahkan untuk membuka kelopak mata pun rasanya sulit sekali.
Perlahan tangan gue mulai membuka kancing blusnya satu-persatu hingga kemudian blusnya terbuka dan kulit putihnya terlihat di sana. Gue angkat sedikit badannya untuk melepaskan blus itu dari kedua pergelangan tangannya. Kini di hadapan gue mbak Adele hanya mengenakan Bra sama celana saja.
Gue taruh blus itu di lantai. Lalu tangan gue perlahan mulai mencopoti celananya. Gue buka kancing celana jeans itu lalu menurunkan resletingnya agar mudah dibuka. Gue angkat kakinya serta menarik jeans tersebut hingga kini keadaannya hanya mengenakan pakaian dalam saja.
Sebenarnya niat gue hanya sampai di sana, namun kejadian di toko malam tadi membuat seluruh badannya jadi basah total. Gue sentuh celana dalam beserta Bra-nya dan ternyata memang sudah basah dan terasa dingin sekali. Kalau gue nggak melepasnya dan membiarkannya mengenakan pakaian itu semalaman, besoknya kemungkinan besar dia pasti demam. Terlebih dalam keadaan mental down seperti ini.
Ada jeda sebentar sebelum gue mulai mencopoti sisa pakaian yang bertengger di tubuh mbak Adele itu. Namun setelah berpikir matang-matang, gue putuskan untuk melepaskannya. Lebih baik seperti itu ketimbang harus melihat wanita ini sakit keesokan harinya. Gue mulai dengan ragu-ragu melepaskan pengait Bra di belakang dadanya dan menekuk lengannya agar talinya bisa lepas. Gue lepaskan Bra itu dan menaruhnya tepat di atas celana jeans dan blus yang sudah ada di lantai kamer gue barusan. Dan kini dua payudara kecil manisnya itu ranum ada di hadapan gue.
Putih. Bersih. Kenyal kaya yupi. Di payudara sebelah kirinya ada tahi lalat kecil manis sekali berada hampir di tengah dadanya.
Gue diam sebentar, mengumpulkan keberanian untuk mulai perlahan-lahan melepaskan celana dalamnya. Gue melakukan ini secara perlahan ya karena gue takut dia bangun juga. Kalau dia bangun terus ngeliat gue lagi berusaha mencopot celana dalamnya, bisa-bisa gue ditendang terus diteriakin yang enggak-enggak. Bahaya juga kalau sampe ada warga datang terus gue diarak rame-rame ke kantor RW.
Hadeeeeh…
Dengan perlahan gue angkat kakinya lalu akhirnya celana dalamnya terlepas dari tubuh putihnya itu. Di sana gue melihat seonggok wanita cantik yang bersih sekali. Kulitnya putih mulus kaya taplak catering. Saking putihnya, ini cewek kalau misalnya minum air teh, pasti bisa keliatan itu air teh jalan di lehernya.
Putih banget pokoknya kaya mochi Lembang.
Dua buah payudaranya yang berukuran 32B itu ranum terlihat pekat menggantung di dada putihnya. Beda dari semua payudara yang pernah gue lihat di hidup gue, mungkin mbak Adele sering olahraga kali ya? Jadi terlihat lebih sekel dan padat. Bahkan beda sama kepunyaan Rara.
Ya.. Gue juga sudah lihat semua onderdil Rara. Kapan-kapan gue ceritain cerita itu di lain waktu.
Semakin turun gue lihat di sana mulus sekali tanpa ada bulu-bulu seperti halnya cewek yang lain. Mungkin doi baru ikut Brazilian wax kali ya.. Entahlah, gue sebagai cowok nggak pernah nyobain hal-hal kaya begitu. Paling-paling cukur biasa doang kalau udah lebat banget kaya semak belukar.
.
                                                      ===
.
Gue mulai perlahan mengeringkan tubuhnya. Ke arah lengan dan ketiaknya. Gue angkat kedua tangannya pelan-pelan. Lalu kemudian beralih ke dua payudaranya. Secara pelan-pelan gue usap daerah dada beserta belahan payudaranya agar tidak ada air yang menempel di sana. Juga puting kecilnya yang tak lupa gue keringkan. Setelah selesai, gue miringkan tubuh mbak Adele dan mulai mengeringkan punggung hingga pinggulnya.
Setelah merasa tubuhnya cukup kering, gue sedikit bergeser ke arah kakinya lalu perlahan mulai mengeringkan semua bagian tubuh yang ada di sana. Termasuk pangkal pahanya. Secara perlahan, gue angkat pelan-pelan kaki kirinya hingga kini selangkangannya terbuka. Gue keringkan bagian sisi-sisinya yang menempel dengan kulit paha karena gue tahu daerah itu tidak boleh lembab sama sekali.
Berkali-kali gue mengatur napas agar beraturan dan tidak melakukan hal-hal yang aneh. Bahkan gue sering melepaskan pandangan gue agar gue masih bisa dalam status pemikiran yang normal. Sela-sela daerah pantatnya pun gue bersihkan. Lalu kemudian gue angkat kaki kanannya sekarang, dan mulai gue bersihkan perlahan dari area selangkangan, Labia Majora, Labia Minoranya, hingga ke pangkal paha belakang.
Setelah selesai, ada lepasan napas panjang dari gue. Itu adalah part paling menegangkan selama beberapa tahun ke belakang. Tegang karena gue harus bergelut dengan diri gue sendiri. 
Dan kini bagian terakhir adalah mengeringkan betis beserta jari-jemari kakinya satu persatu. Sepanjang gue membersihkan tubuhnya tadi, ada banyak bekas luka gue lihat di area tangan, wajah, juga betis kaki. Namun di area dalam seperti dada, payudara, juga pinggul, sama sekali bersih dan tidak ada bekas luka apapun. Baguslah, ini berarti belum ada hal-hal parah yang terjadi padanya. 
Baru kali ini gue melihat wanita semulus, sesemok, dan sesekel ini. Kulit putih beserta onderdil yang masih kencang-kencang seperti ini jarang gue temukan di tubuh wanita yang lain. Lalu-lalang di dunia malam selama beberapa tahun ke belakang membuat gue dengan berani bilang bahwa mbak Adele ini adalah wanita termulus yang pernah gue lihat tanpa busana.
Bahkan Rara yang memegang kandidat sebagai wanita paling mulus sebelumnya juga gue rasa kalah. Kalah dalam segi sekel dan semoknya.
Setelah semua selesai, gue bergegas pergi mengambil satu pasang baju luaran lalu memakaikannya ke mbak Adele. Sebuah sweater hoodie gue yang besar dan juga celana training yang dulu sering gue pake buat nge-gym gue pakaikkan ke badannya tanpa memberikannya kaos atau baju dalam terlebih dahulu. Gitu doang cukup deh menurut gue.
Gue bereskan pakaian basah mbak Adele barusan lalu mencucinya di dalam kamar mandi dan menjemurnya di sana. Karena gue juga sempat kena air hujan, gue terpaksa mandi malam itu.
.
                                                ===
.
15 menit kemudian gue keluar dari kamar mandi dan duduk di sebelah mbak Adele yang sekarang bentuknya udah mirip sama lemper. Terbungkus hangat. Enak bener hidup nih anak. Udah kaya bayi aja. Sambil masih ngedumel, tanpa sengaja mata gue menatap ke arah tasnya. Dengan sigap gue ambil tas itu lalu mengeluarkan isinya satu-persatu. Kali ini gue mau melihat dengan serius, siapa cewek yang tengah terbaring di kasur gue ini. Tidak seperti dulu waktu ngoprek tasnya pertama kali dengan asal, sekarang gue baca semua data dirinya satu-persatu.
Ada KTP di sana, gue lihat namanya tertera jelas di kartu itu.
Lifana Ladiana A.
Namanya bagus juga. Gue lihat di sana ada tanggal lahirnya yang ternyata hanya berbeda 3 bulan saja dari tanggal lahir gue. Di dalam tasnya ada banyak sekali make up, ada token bank, ada buku tabungan juga. Ada dua ponsel. Yang satu Iphone, yang satu lagi Samsung. Buset buat apa dah punya HP dua-dua begini. Karena kebetulan gue lagi megang Iphonenya, gue langsung memasukan nomer gue ke dalam Handphonenya itu dengan nama kontak yang mencolok:
“INI RYAN KALAU GUE NELEPON HARUS ANGKAT”
Setelah merasa semua sudah gue cek, gue lalu memasukkan kembali semua barangnya dengan asal ke dalam tasnya lagi. Gue matikan lampu, dan untuk kali ini gue tidur di sebelah mbak Adele. Kenapa? Karena gue juga lagi nggak enak badan belakangan ini lantaran kehujanan terus + jarang istirahat.
Jadi kalau gue tidur di lantai atau begadang lagi hari ini, bisa-bisa gue tepar dan nggak ikut puasa di hari pertama.
Malam itu, Suasana terasa begitu tentram dan damai.
Namun tidak dengan paginya.
.
                                                           ====
.
Seperti yang sudah gue jelaskan sebelum-sebelumnya, kalau gue mendengar ada suara atau gerakan dikit aja, gue bisa langsung kebangun. Cocok jadi satpam. Beberapa kali mbak Adele gerak di tengah malam, gue otomatis kebangun. Melihat sebentar ke arahnya, setelah tidak ada masalah, gue lanjut tidur lagi.
Ada juga ketika dia mulai gelisah lantaran panas memakai hoodie, gue bangun lalu mengangkat kepalanya dan melepaskan hoodie itu dari kepalanya. Kemudian ia mulai tertidur lagi, dan gue lanjut tidur juga.
Jam 4 pagi dia mulai sedikit sadar, terdengar sesekali mencoba menelan ludah tapi tak bisa. Fase pasca mabuk selanjutnya adalah dehidrasi ketika bangun pagi, dan ini yang dirasakan oleh mbak Adele sekarang. Namun karena masih kuatnya alkohol bertengger di kepalanya, ia hanya bisa merasa risih sambil berbicara meminta air dengan suara serak.
“Ha.. Hauus…” Katanya beberapa kali hingga gue terbangun
“Iya-iya sebentar ya.” Balas gue yang kemudian bangun dan mengambilkan air dari dispenser.
Gue mengangkat badannya sedikit sambil meminumkannya air putih. Ia teguk banyak sekali air putih itu, lalu kemudian tepar lagi tanpa sempat membuka mata. Pun gue yang ikut-ikutan tidur lagi karena masih ngantuk berat.
Detik demi detik berlalu, jam demi jam tuntas. Masih dalam lelap yang nyenyak, tiba-tiba mata gue kaya disembur oleh angin entah dari mana. Hentakkan angin yang sedetik ada, terus sedetik kemudian hilang. Awalnya itu nggak ngebuat gue kebangun sama sekali, namun lama-lama rasanya mata gue jadi gatel karena kecolok sama bulu mata sendiri yang goyang-goyang gara-gara angin tersebut.
Gue mulai membuka mata perlahan, mencoba fokus untuk bisa kembali ke kenyataan. Ada cahaya masuk dari sela-sela ventilasi pintu, sepertinya masih jam 8 pagi. Gue kembali menguatkan mata agar benar-benar terbuka. 
Dan..
Ketika gue membuka mata, wajah gue sedang menghadap ke arah wajah yang sekarang sedang menghadap ke arah gue juga. Gue agak kaget, soalnya wajah di depan gue ini udah bangun duluan ternyata. Posisi kami saat itu adalah, gue meluk dia kaya gue lagi meluk guling. Dan dia cuma bisa nutupin badannya pake tangan sambil terus melihat dalam diam ke arah gue yang baru melek tadi.
JDUAK!!
Tiba-tiba tanpa ada basa basi perut gue ditendang keras sampe gue jatuh dari kasur dan menghajar lantai. Ya Allah, baru juga bangun udah disiksa lagi.
Gue masih mencoba bangun dari lantai dengan susah payah karena selimut yang sedang gue pakai melilit badan gue. Sedangkan dia di atas kasur mulai terlihat panik, dia mulai melihat ke arah kiri dan kanan, menelaah keadaan kasur, dan yang terakhir… dia melihat ke arah pakaian yang tengah ia pakai.
Matanya semakin membuka lebar, dengan cepat ia langsung ngintip dalemannya dari kerah sweater. Begitu dia melihat tidak ada BH di sana, dia langsung menunjukkan gelagat mau teriak hebat. Namun belum sempat dia teriak gue langsung loncat dari lantai dan menutup mulutnya pake tangan.
“SSST!!!! JANGAN TERIAK, BEGO!! LO MAU DIDATENGIN TETANGGA?!”
PLAK!! Gue ditampar. Lagi.
“i..ini… ini…” Katanya menunjuk ke arah pakaiannya sambil terlihat shock.
Dengan cepat dia berdiri dan langsung lari ke dalam kamar mandi. Tak butuh waktu lama dia tiba-tiba menjerit keras sekali di dalam sana. Mungkin dia lagi ngecek celana dalemnya mungkin. Begitu dia teriak kaya tadi, sontak gue langsung kalang kabut mengecek keaadan kost takut kalau-kalau ada orang yang mendengar. Mana ini udah siang lagi.
BRAK!! Pintu kamar mandi ditendang kasar. Kusennya copot setengah.
Wajahnya terlihat shock tidak percaya. Ada rasa kesal, ada rasa takut, juga ada rasa ingin menahan tangis gue lihat di sana. Dia masih tidak percaya dengan keadaannya. Sedari keluar dari kamar mandi, mbak Adele masih terus memegangi dada dan selangkangannya. Dia perlahan mengangkat kepalanya dan melihat ke arah gue yang lagi berdiri di depan jendela.
“L… Lo… Lo ngapainin gue se-semalem?” Tanyanya sambil terlihat ketakutkan.
Gue menghela napas panjang lalu kembali mengecek ke arah luar jendela sekali lagi untuk memastikan. Di keadaan yang seperti ini, tidak mungkin kalau gue menjelaskan dengan biasa. Hal pertama yang harus gue lakukan adalah membuat dia tenang dulu. Percuma kalau menjelaskan ketika wanita sedang dipenuhi oleh prasangka yang dibuat oleh kepalanya sendiri. Yang ada malah semua makin menjadi runyam.
Gue berjalan menghampiri dia, dan mbak Adele langsung mundur beberapa langkah ke belakang karena takut. Gue genggam pundaknya dengan kedua tangan dan mbak Adele langsung merem seperti halnya mencoba menahan sakit. Gue diem sebentar, kasihan dia, mungkin sudah sering trauma hingga ketika gue menggenggam pundaknya seperti ini saja dia merasa seperti akan dipukul.
Gue giring dia untuk dudduk di pinggir kasur, dan dia hanya mengikuti sambil masih menutup mata. Gue ambil segelas air dan menggeser kursi meja komputer.
“Minum dulu. Dehidrasi nanti.” Kata gue sembari menyerahkan segelas air dingin.
Dia menerimanya dengan napas yang tersenggal-senggal.
“Ceritanya panjang. Gue janji bakal jelasin, tapi lo juga harus janji jangan mencela ketika gue ngomong. Simpan semua pertanyaan lo sampai penjelasan gue beres. Semua pertanyaan lo bakal terjawab ketika penjelasan gue sudah selesai. Lo denger ga?”
“…” Dia masih diam.
“Hei..” Tegur gue.
“I-iya denger.”
.
                                                        ===
.
Kemudian gue menceritakan semua kejadian semalam, tapi tidak dengan pengakuan dia di tengah guyuran hujan kemarin. Bagian itu gue rasa tidak baik untuk gue ceritakan. Juga gue ceritakan kalau semalam tadi gue hanya membersihkan tubuhnya, mengganti pakaiannya yang basah, lalu membiarkannya tidur begitu saja.
“Bohong! Nggak mungkin. Lo pasti ngapa-ngapain gue!” Potongnya sambil menutupi bagian-bagian tubuhnya.
“Maaf ya kalau lo kecewa nggak gue apa-apain, tapi sorry-sorry nih ye, gue paling nggak berminat dengan cewek yang hilang kesadaran. Nggak ada menarik-menariknya.”
“Terus ngapain lo buka celana dalam sama BH gue?!” Dia mulai menaikkan volume suaranya.
“Kalau gak gue ganti, lo bisa kena demam nanti.”
Dia diam sebentar sambil masih ada rasa tak percaya di wajahnya, “Jadi… Lo liat…”
“Iya…” Gue angguk-angguk, “Gue liat semuanya.”
“Semua?”
“Seluruh bagian.” Kata gue dingin tanpa ekspresi.
Matanya mulai berair, tangannya semakin erat menutupi daerah-daerah yang begitu ia jaga itu.
“Tugas gue hanya mengganti pakaian. Tidak lebih. Terserah lo mau percaya atau enggak. Yang jelas sama seperti yang sudah gue jelaskan sebelumnya, gue nggak berminat sama cewek yang nggak gerak kaya kemoceng begitu.” Kata gue mencoba menangkan dia dengan perkataan yang nggak bikin tenang juga sebenarnya.
“HP!! SINI HP LO!!” Pinta mbak Adele yang masih tidak percaya.
“Nih..” Gue lempar Hp gue ke pangkuannya, gue suruh dia mengecek Galery foto di Hp gue. Mungkin dia pikir gue sudah mengambil foto bugilnya ketika ia tak sadar, tapi begitu ia menjumpai di Galery Hp gue isinya cuma 90% foto kucing dan 10% foto contekan racikan minuman di toko, dia langsung mengembalikan HP gue begitu aja.
“See?” Gue mencoba meyakinkan.
Dengan mimik masih kesal dia seperti terus mencari cara agar gue meminta maaf, “Lo harus tanggung jawab!” Katanya makin nggak logis.
“Dih apaan sih.”
“Ini semua kan gara-gara elo! Gara-gara elo angkat telepon sembarangan! Tanggung jawab!” Bentaknya.
“Sorry ya, gue cuma tanggung jawab sama diri gue sendiri dan anak-anak kost di sini. Nah elo bukan termasuk salah satunya, jadi masalah lo ya masalah lo.”
“Tapi… Tapi lo udah nidurin gue semalem!”
“Nidurin sama tidur bareng beda, Pak. Lagian gue cuma tidur di sebelah lo doang. Noh guling juga tiap hari tidur di sebelah gue nggak pernah minta pertanggung jawaban kaya elo.” Balas gue semakin ngawur.
“Lah terus ngapain paginya lo meluk gue kalau gitu?” Sanggahnya lagi.
Gue mulai bete, “Lah lo pikir habis kehujanan kaya gitu apa gue mau tidur di lantai? Mikir! Lagian yang buat gue hujan-hujanan juga siapa coba?”
“Hujan-hujanan?” Tanyanya heran.
Aduh anjir gue keceplosan.
“Bukannya tadi lo bilang baju gue basah pas lo mau bawa gue ke mobil?”
“…" Gue masih diem.
"Bentar bentar, kalau cuma ke mobil nggak mungkin sampe pakaian dalam gue basah semua, kan?” Dia terlihat berpikir,
“Ryan!”
Gue langsung menatapnya kaget,
“Apa kita sempat ngobrol hujan-hujannan?” Tanya dia serius.
“Ngg.. Mungkin..”
“Tunggu tunggu…” Dia tampak mulai mengingat semuanya, “Gue mulai inget..”
Lalu kemudian ada hening panjang di mana dia terlihat diam mencoba mengingat semuanya, sedangkan gue cuma diem duduk gitu aja di depannya. Satu dua menit dia terdiam sebelum kemudian dia langsung mengangkat wajahnya cepat-cepat dan menatap gue penuh ketakutan.
“Gu..Gue… Gue ngomongin semuanya?” Tanya dia yang kayaknya baru ingat apa yang terjadi semalam di toko.
“Semua.” Jawab gue.
“Se… SEMUA?!”
“S-E-M-U-A.” Eja gue satu-satu.
Dia shock dan mendadak jadi patung. Lalu secara tiba-tiba dia meletakkan gelas yang sedang ia genggam itu di lantai dengan keras hingga airnya berceceran, lalu ia bergegas mengambil tasnya di lantai dan pergi meninggalkan kamer gue begitu saja. Gue lihat dari jendela lantai dua, dia terlihat buru-buru meninggalkan kostan ini dan memacu mobilnya kencang-kencang hingga tak terlihat lagi di ujung pelupuk mata.
Gue hanya diam saja melihat kepergiannya dari jendela kamer. Sebelum kemudian gue baru sadar,
“WOI BAJU GUE ITU WOI MAU LO BAWA KEMANA WOI!!!!” Teriak gue, tapi percuma, mobilnya sudah menghilang di belokan komplek.
Aduh brengsek, terus itu nasib baju dia beserta kolor dan BH yang lagi gue keringin di kamar mandi gimana dong?! Masa harus gue yang simpen?! Ya Tuhan makin nambah aja koleksi daleman cewek yang ketinggalan di kamer ini.
.
.
.
                                                 Bersambung 
462 notes · View notes
eckojr-blog · 7 years ago
Quote
Dicintaimu aku merasa cukup. Cukup tenang karena kau mampu menjaga kepercayaanku. Cukup nyaman karena kau tak mudah tergoda oleh mereka-mereka yang datang ketika aku tidak ada. Cukup berterima kasih karena dari semua yang pergi, kau adalah satu-satunya yang tetap tinggal.
(via mbeeer)
1K notes · View notes
eckojr-blog · 7 years ago
Link
0 notes
eckojr-blog · 7 years ago
Text
Watching John Wick: Chapter 2
– View on Path.
0 notes
eckojr-blog · 7 years ago
Quote
Peluklah sebanyak-banyaknya. Katakan sayang sesering-seringnya. Hubungi selagi ada kesempatan. Perbanyak pertemuan selagi dekat. Katakan rindu tanpa harus malu. Banggakan sebangga-bangganya. Cintai ia sebesar-besarnya. Lakukan semua itu selagi kau bisa. Selagi kau sanggup. Daripada sesal ketika ternyata kau sudah tidak punya hak, sudah tidak lagi mampu, dan terlebih ketika Tuhan sudah memutuskan bahwa kau tidak lagi punya waktu.
(via mbeeer)
2K notes · View notes
eckojr-blog · 7 years ago
Text
Tida Takut Ditinggal Lagi, Wlek!
Sebagai seseorang yang dulu parno-an parah soal tinggal dan meninggalkan, pada akhirnya gue mencapai milestone achievement unlocked. YAY! Sekarang gue sudah cukup dewasa menghadapi remah-remah drama percintaan. 
Gue udah nggak takut takut amat ditinggalin. Bukan karena gue udah nggak sayang. Gue sayang banget, parah. Akan gak tau gimana kalo udah gak sama-sama, mengorientasikan semua dunia gue ke dia, segala-galanya dia, ya pokonya sayang deh. Gabisa dijelasin ‘-’)/
Tapi gue udah nggak takut ditinggalin ato diseligkuhin, —parno dikit mungkin ada, tapi nggak semayor dulu. Dulu kalo lagi ketakutan, gue mikirnya dia udah nggak cinta, dia udah bosen, udah gamau sama gue lagi blablabla; cenderung menyalahkan diri sendiri. Sekarang, kalo lagi ketakutan gue cuman 
“Let it go lah, Tam. Dia nggak lagi memilih kamu, mungkin karena di persepsinya, uda ada yang lebih bikin dia bahagia daripada kalo sama kamu. You deserve more; —dia juga sama. Baik atau buruk pilihannya, bukan urusanmu lagi. Tugas untuk sama-sama membahagiakan uda selesai. End. Yaudah.”
Di kepala gue sekarang, —setelah pengaruh film-film, cerita orang dan observasi pribadi; gue tau betul, overthinking pasangan melakukan kecurangan, mengiba seseorang untuk tetap bersama kita, atau bahkan memaksa seseorang untuk tetap tinggal, itu sama sekali gak ada gunanya. Seseorang akan menetap kalau dia ingin. Ia juga akan pergi jika ia kehendaki. Sadly, we can’t make people stay. Suda kodratnya demikian. 
Kalo gue berkesempatan untuk  kasih last word ketika kelak gue ditinggalkan, sama-sama menyetujui perpisahan atau sesederhana suda sama sama tidak sepeduli biasanya, gue cuman mau bilang:
“Dulu kamu pernah banyak sekali merekahkan senyum karena tingkahku, hampir selalu kesal dan gemas dalam sekali waktu, —lagi lagi karena ulahku. Denganku, kamu sebahagia itu. Penggantiku kumohon harus lebih dari itu. Kamu pantas bahagia. Jangan ngga……”
….kalo ngga mah yaudah sini sama gue aja elah. Gausah pergi pergi segala!
189 notes · View notes
eckojr-blog · 7 years ago
Text
Don’t Say A Word
Tumblr media
.
“Can we talk?” Ucapnya seraya mendorong pelan gelas air putih hingga gelas itu ada di hadapan gue.
Ada hening sebentar di antara kami berdua. Matanya masih menatap ke arah gue. Sesekali pandangan kami bertemu, sedikit ditelisik tampaknya gelap sekali lingkaran di bawah matanya. Nih cewek sering begadang apa gimana ya? Tapi mengingat dia anak kedokteran, rasa-rasanya begadang emang sudah hal yang lumrah buat fakultas mereka.
Gue menghela napas panjang. Mengambil gelas di depan gue itu lalu meminumnya barang dua teguk.
“Sebentar kalau gitu.” Balas gue yang kemudian pergi meninggalkannya.
Gue berjalan keluar Bar menuju pintu depan. Gue cukup sedikit kaget melihat ternyata di luar sedang hujan besar. Aduh, motor gue gimana nasibnya ini? Motor jelek begitu kalau kena air udah kaya opak kesiriam air teh, lembek amat. Terakhir nerjang banjir di daerah Pasteur Bandung dulu sepulang kampus, pulang-pulang motor gue jadi sepedah roda tiga wimcycle, kisut.
Dengan gegas gue masukkan papan neon di depan pintu. Lalu memutar knop pengumuman yang menggantung di pintu menjadi close.
Di dalam toko cuma ada 3 lampu yang masih menyala, yaitu di daerah bar sama kasir doang yang emang nyambung mejanya. Sebelum gue kembali ke depan mbak Adele, gue sempatkan memutar satu lagu sejenis instrumental classy modern Jazz dari band Idealism - dont say a word.
Gelas yang berisi air putih tadi gue kosongkan, dan gue ambil botol Bourbon dari lemari kaca lalu menuangkannya sedikit. Tanpa es batu biar lebih kental buat malam-malam hujan begini.
Gue berjalan menghampirinya, berdiri di hadapannya yang lagi terduduk sambil masih dengan posisi yang sama.
“Mau ngomong apa?” Gue teguk sedikit Bourbon gue barusan.
Kami saling berhadap-hadapan. Gue berdiri di depannya, dan ia duduk di sana menatap gue sebentar lalu mengalihkan pandangannya ke gelas yang sedang gue pegang.
“Ada apa? Keburu malem nih. Gue nggak bawa kunci kos soalnya.” Sambung gue lagi.
Dia melirik dingin, “Ngekos di mana?” Tanyanya.
“Bandung.” Jawab gue singkat.
“Ya gue juga tau.”
Lalu kemudian kembali ada hening yang panjang. Kalau boleh jujur gue paling nggak suka keadaan diam lama begini, tapi mau gimana lagi? Di luar lagi hujan besar, gue nggak punya alasan untuk pulang duluan. Dia sih enak pake mobil, lah gue pake motor butut yang kalau diompolin kucing aja langsung ngadat mesinnya.
“Lo angkatan berapa?” Dia kembali angkat bicara sembari memutar-mutarkan gelasnya pelan.
“Sama kok.”
“2010?”
Gue mengangguk. Lalu kemudian dia terlihat berpikir.
“Jurusan?” Tanyanya lagi
“Dago - Kebon Kelapa.”
“GUE NGGAK NANYA JURUSAN ANGKOT! JURUSAN KULIAH!”
“Ooh..” Gue meneguk minuman gue sekali lagi, “Psikologi.”
“Sejak kapan kerja di sini?”
Gue menatapnya bete, “Ngapain sih nanya-nanya? Mau sensus lu?”
“…” Dia terlihat kesal sama balasan gue barusan.
Dengan buru-buru dia merapikan tasnya lalu meninggalkan gue begitu aja dan pergi membuka pintu toko. Namun ia tak langsung keluar, dia diam sebentar di sana.
“Masih hujan.” Kata gue dari jauh.
Dia nengok, lalu menutup pintu itu dan kemudian kembali lagi duduk di tempat yang sama.
Sekarang dia tak banyak bicara, ia menatap ke arah gelas yang sedari tadi gue pegang.
“Bikinin gue yang kaya gitu dong.”
“Nggak.”
“Gue bayar.”
“Nggak. Ribet kalau lo mabok lagi kaya kemarin.”
“Gue bisa jaga diri kok.”
“Nggak. Lagian dispensernya udah mati.” Tukas gue males-malesan.
“Sejak kapan whisky pake dispenser?”
Belum juga melanjutkan pembicaraan, tiba-tiba gue merasa ada yang geter-geter di meja bar. Sontak gue langsung ngecek hape gue tapi ternyata hape gue masih mati gitu aja.
“Hape lu ya? Ada yang nelepon tuh.” Kata gue.
Dengan sigap dia langsung membuka tasnya yang ia taruh di atas meja bar. Dan ternyata benar, ada satu telepon masuk. Namun bukannya dia angkat, yang ada malah dia lempar gitu aja ke atas meja sambil mendengus kesal.
Walaupun gue tidak peduli, tapi hape mahal gambar buah apel digigit codot yang dilempar gitu aja bikin mata gue langsung ngeliat khawatir ke arah hape itu juga. Mental miskin gue keluar. Ada satu nama yang sama kaya nama yang meneleponnya di hari pertama gue bertemu dia.
Hape itu bergetar lama di atas meja. Berulang kali dia nelepon ulang, namun tetap saja cewek di depan gue ini nggak mau ngangkat itu telepon. Heran dah, cewek ini kalau emang udah gak suka sama cowoknya ya putus aja sih. Ribet amat pake drama kaya begini segala.
“Nggak diangkat?” Tanya gue.
“Males.” Jawabnya singkat sambil tiba-tiba ngerebut gelas gue dan menegaknya begitu aja.
Dan yang seperti gue kira, dia langsung keliatan tersedak. Mau nelen nggak kuat, tapi mau dikeluarin lagi juga nggak mau. Wajar sih, Bourbon diminum sama orang yang nggak pernah nyoba minum itu sebelumnya pasti kaget. Rasanya emang nggak karuan, tapi entah kenapa banyak pelanggan gue yang suka. 
Gue menghela napas panjang lalu mengambil gelas itu dari tangannya. Dan dia masih saja keliatan tersiksa sambil berulang kali menghabiskan air putihnya. Nggak pernah minum-minuman begini tapi mau sok-sokan pesen. Cewek kalau udah galau emang kadang otaknya pindah ke tetek.
Gue melihat ke arah hape yang dari tadi terus saja bergetar itu. Lama-lama gue risih juga. Tanpa pikir panjang gue ambil itu hape, gue pencet tombol ijo lalu kemudian menempelkannya di telinga.
“LIFANA!! KAMU DI MANA?!?!” 
Tiba-tiba tanpa salam tanpa apa itu cowok langsung nyemprot gitu aja. Mbak Adele di depan gue sontak langsung berusaha merebut telepon itu ketika tau gue mengangkat teleponnya.
“Cari siapa ya?” Balas gue sambil menahan tangan cewek di depan gue yang mulai rusuh ngobok-ngobok muka gue.
“LOH INI SIAPA?! MANA LIFANA?! LO SIAPA?”
“Elo yang siapa.” Gue malah balik nanya.
“GUE PACARNYA LIFANA! LO SIAPA?! ADA MAIN APA LO SAMA LIFANA SAMPE BISA NGANGKAT TELEPONNYA?!”
“Lifana?”
“MANA DIA?!”
“Baru aja dia ketiduran tuh.” Gue melirik ke mbak Adele yang masih rusuh berusaha ngerebut telepon itu.
“HAH?! ANJING LO!! DI MANA LO ANJING!!”
“Kasar amat bos mulutnya. Kebanyakan nelen kertas amplas ya?”
“ANJING! DI MANA LO GUE SAMPERIN LO BANGSAT!!”
“Di Bandung.”
“GOBLOK!! LO SIAPA SETAN!!”
Lah katanya gue setan, terus masih nanya gue siapa coba. Nggak cewek, nggak cowok kalau udah galau begonya emang kebangetan ye.
“Gue?”
“IYA ELO!!”
“Chicken Nugget.”
“NGGAK LUCU ANJING!! KETEMUAN SAMA GUE SEKARANG.”
“Ogah, jadwal gue padet kaya lontong. Dah ah, ngantuk gue. Mau lanjut tidur. Mau titip salam sama Lifana?” Bales gue.
“BRENGSEK!! MATI LO BANGKE!!”
“Oke nanti gue sampein. Assalamualaikum.”
Gue langsung menekan tombol warna merah di layar hapenya dan telepon pun keputus sepihak. Dengan polosnya gue kembalikan hape itu sama cewek di depan gue ini yang ternyata gue baru tau namanya Lifana. Gue kira selama ini namanya Adele. Ah gue memang polos orangnya.
“LO NGAPAIN SIH!!!” Dia langsung ngambil hapenya sambil marah-marah.
“Jawab telepon.”
“NGGAK USAH IKUT CAMPUR BISA NGGAK?!”
“Siap.” Balas gue tanpa peduli dia mau nanggepin apaan.
.
                                                     ===
.
Gue kembali ke belakang untuk mencuci gelas gue barusan. Mengelapnya sebentar lalu memasukkannya kembali ke rak gelas-gelas di bawah meja kasir. Gue matikan komputer kasir dan dengan begitu maka lagu yang sedari tadi menggema di toko ini langsung redup.
“Pulang gih. Gue mau tutup.” Kata gue tanpa melihat ke arahnya.
Dia masih keliatan kesal di ujung sana, gue cuma sesekali ngelirik lalu kembali menghitung uang yang ada di mesin kasir. Dia keliatan gelisah, berulang kali dia melihat ke arah hapenya. Menelepon entah siapa tapi berulang kali ia mematikan hapenya itu sambil marah-marah.
Dia masih sibuk di sana ngedumel di depan hapenya, menelpon sekali lagi, terus mengumpat karena tidak diangkat. Karena gue merasa hujan sudah sedikit reda, baiknya gue langsung pulang aja. Besok gue harus benerin keran anak kos yang lain. Kata Budi, tadi siang dia mau manggil tukang ledeng, jadi mau nggak mau gue harus jadi mandor buat ngawasin kerjaan itu tukang.
Gue memakai jaket gue sambil masih berdiri di depan meja kasir. Pas gue ngelirik ke si mbak Adele, dia ternyata lagi ngeliatin gue. Dengan terlihat masih sangat kesal, dia berjalan cepat menghampiri dan berdiri di depan meja kasir.
“Lo mau ke mana?!” Dia memukul mesin kasir. Tiba-tiba laci uangnya langsung kebuka.
“Ke Rahmatullah.” Balas gue, dan dia masih menatap gue kesal, “Pulang.” Gue mengoreksi ucapan gue barusan.
Kayaknya gue udah keterlaluan deh. Ah Ryan bego! Ngapain juga lu ikut campur urusan orang lain sih? Lo kan udah janji nggak akan deket sama siapa-siapa kecuali anak kost sama anak UK (Unit Kegiatan). Dan sekarang gue baru merasa menyesali tindakan iseng gue sebelumnya.
“Lo tanggung jawab. Gue nggak mau tau.” Dia menarik lengan jaket gue.
Gue hanya menatapnya. Mendengus sekali lalu melepaskan genggamannya dari jaket gue.
“Iya. Mau tanggung jawab apa?” Bales gue.
“Gue nginep di kossan lo.” Bentak dia.
“HAH?!?! Apa hubungannya anjir?!”
“Lo tau?!” Dia nyodorin layar hapenya ke muka gue. Bener-bener ke muka gue. Idung gue sampe nempel di monitornya. “Liat! Liat ini gara-gara perbuatan lo!” Dia maju mundurin layarnya ke muka gue, dan gue cuma bisa merem melek gara-gara itu hape ngepretin muka gue berkali-kali.
Gue mundur dua langkah, lalu menyipitkan mata melihat ke layar monitor.
Di sana ada satu sms dari nama orang yang tadi teleponnya gue angkat.
“GUE DI DEPAN RUMAH LO!! KELUAR SEKARANG!! GUE TAU LO DI DALEM, MOBIL LO ADA DI SANA!!” Tulis sms itu.
Habis membaca sms barusan, gue langsung melihat ke cewek itu lagi yang keliatannya udah marah banget.
“Gue nggak mau tau! Gue nggak mau dipukulin lagi! Gue nggak mau pulang sekarang!” Teriak dia sedikit lebih kencang.
“….”
“Kenapa nggak ke nginep di rumah temen lo yang lain?” Tanya gue berusaha membuat pilihan lain agar dia tidak harus nginep di kossan gue.
“JAM SEGINI LO PIKIR TEMEN GUE MASIH PADA BANGUN HAH?!” Bentaknya sekali lagi.
Aduh, bener-bener bego lo, Yan. Panjang kan dah kalau gini urusannya.
.
.
.
                                           Bersambung
490 notes · View notes