Tumgik
decembercloud · 5 years
Photo
Tumblr media
Memang benar, Allah nggak akan mengambil sesuatu dari kita tanpa menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih baik. Memang benar, Allah nggak akan memindahkan kita tanpa memberikan tempat baru yang jauh lebih baik. Memang benar, semua janji Allah itu pasti. Dan memang benar, Kamu cuma perlu sedikit lebih sabar, dan Allah akan berikan apa yang kamu butuhkan pada waktunya. Pada waktu yang menurut Allah adalah yang terbaik, dalam keadaan terbaik, yang akan membuatmu dikelilingi orang baik, menuju sesuatu yang baik. Lihatlah sekitarmu, pandangi orang-orang di sekelilingmu, pandangi senyum Ayah Ibumu, lihat lagi ke belakang jejak hidupmu. Sadarkah kau bahwa Allah selalu memberikan yang paling baik dari yang terbaik? Yang harus kamu lakukan hanya satu: percaya. Allah tidak pernah mengabaikan satupun hambaNya. #muhasabahdiri #selfreflection #selfreminder https://www.instagram.com/p/B1EDP49Bp38/?igshid=a2iqg9m496zn
3 notes · View notes
decembercloud · 5 years
Photo
Tumblr media
SESEDERHANA ANAK KECIL Jadi anak kecil itu enak, ga mikir kerja, ga mikir uang, ga mikir besok makan apa. Mikirnya sekolah, main, ngerjain PR, tidur. Katanya. Tapi belum tentu. Ada anak kecil yang udah harus mikir kerja, mikir makan, mikir hidupi keluarganya. Bahkan mungkin mereka yang bebannya berat lebih telaten dari kita yang kerja aja banyak ngeluhnya. Tapi ada satu kesamaan yang dimiliki semua anak kecil: kesederhanaan. Anak kecil itu bahagianya sederhana. Karena cenderung memikirkan hal yang terjadi saat itu aja, mereka justru lebih mudah bahagia karena hal kecil yang mereka alami saat itu juga. Nggak peduli nanti gimana, besok gimana, kalau saat itu dia seneng, ya seneng. Sederhana. Mungkin ini yang harus dicontoh oleh kita orang dewasa. Berbahagia karena hal yang sederhana. Nggak perlu lah menunggu banyak hal tercapai baru bisa bahagia. "Kalau punya gaji gede, baru gua seneng" "Kalau punya sneakers baru, baru gua seneng" "Kalau punya mobil baru, baru gua seneng" "Kalau punya suami, baru gua bahagia" Bukan begitu cara mainnya. Berbahagialah sekarang. Berbahagialah karena hal-hal yang sederhana. Hal-hal kecil yang sering luput dari kesadaran kita setiap hari. Ketemu temen yang perhatian, dikelilingi orang yang sering mengingatkan kebaikan, bisa makan 3 kali sehari, bisa cium tangan orang tua, dan masih banyak lagi. Mari kita kontemplasi sejenak, bahagia atas kesederhanaan itu pada akhirnya akan membawa kita pada diri yang lebih bersyukur dan lebih menghargai, dan pasti lebih bahagia. Jadilah seperti anak kecil, yang bahagianya sederhana. - Azka Dieniha 06/08/19, 08.37AM - Photo by @syahogi (at Bogor, Jawa Barat, Indonesia) https://www.instagram.com/p/B0zfNJBBJvt/?igshid=13oltpp6rwdm0
0 notes
decembercloud · 5 years
Photo
Tumblr media
Tadi malem random buka Instagram, paling atas ada post cuplikan podcastnya @jayshetty. bahas hal-hal yang bisa dilakukan kalau lagi frustasi, sedih, atau marah. Biasanya, orang akan bilang hal semacam, "Just think positive!". dan kita yang lagi sedih di tengah kebingungan cuma bisa bertanya-tanya, "How I am gonna think positive at this lowest point?". Kita tau harus melakukan apa, tapi nggak tau gimana caranya. Jadi, cara untuk bisa berpikir positif pas lagi frustasi adalah dengan memikirkan 3 hal yang mungkin bisa terjadi saat itu juga yang mungkin akan membuat keadaan jadi semakin buruk. Dengan begitu, kita akan sadar bahwa yang sedang kita lewati ya rupanya bukan apa-apa. Yang sedang kita alami nggak seberapa dibandingkan yang kita bayangkan itu. Bisa aja kita ditimpa lebih banyak dan lebih besar masalah dari yang sedang kita alami, tapi kamu harus tau kalau Tuhan itu terlalu sayang dengan hambaNya untuk membuat keadaan seburuk itu. dan Allah juga nggak akan membebani hambaNya di luar kemampuannya, kan? Outputnya apa? Tadinya mau marah-marah jadi sabar, tadinya mau mengeluh jadi bersyukur, tadinya mau sedih jadi bahagia. Jadi kalau kamu sedang ada di titik terrendah yang rasanya beraaaat banget, coba bayangkan hal-hal buruk yang bisa aja terjadi saat itu juga. InsyaAllah itu akan jadi pengingat untuk tetap bersyukur di keadaan apapun seberat apapun. Trust Allah and everything will be alright. - Azka Dieniha 30/07/19 05.46PM https://www.instagram.com/p/B0ib5X-h9r0/?igshid=17cig6drp8d65
0 notes
decembercloud · 6 years
Photo
Tumblr media
Banyak orang bilang, "gua tuh nggak mau overthinking. pengen ga mikirin tapi gimana caranya." Sebagai orang yang memang pemikir, di keadaan tertentu saya juga kadang merasakan itu. Kayaknya enak kalau nggak banyak mikirin sesuatu sedalam itu, kayaknya otak akan lebih rileks, hati juga tenang. Tapi saya nggak pernah berhasil. Jarang sekali nggak memikirkan sesuatu setelah itu terjadi. Sekecil apapun kejadiannya, sesingkat apapun kejadiannya, pasti akan dipikirkan ulang by the end of the day. Iya betul, melelahkan. Tapi, saya mulai mencoba menerima itu. Menerima bahwa saya memang overthinker. dan itu adalah salah satu yang paling saya syukuri sekarang. Karena dengan overthinking, saya bisa merefleksikan banyak hal, saya bisa mengambil pelajaran-pelajaran yang tersirat dalam sebuah kejadian, saya bisa belajar untuk tidak mengulang suatu kesalahan, saya bisa perlahan berubah jadi lebih baik lagi. That's the main goal: berubah jadi lebih baik. Kalau saya nggak overthinking dan nggak melihat detail terkecil dari banyak hal di sekitar saya, saya mungkin akan mengabaikan pelajaran-pelajaran yang semesta coba beritahu pada saya. yang Tuhan coba tunjukkan pada saya. Saya nggak pernah lagi berharap untuk nggak overthinking agar bisa serileks itu. Saya justru berharap agar nggak dihilangkan kepekaan terhadap sekitar untuk saya pikirkan agar bisa menarik pelajaran. Dear myself, you are so great for being an overthinker. #selfreflection #selflove #selfdevelopment #adienihas https://www.instagram.com/p/BvPTecUB03b/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=nwwmxmhgr2ul
0 notes
decembercloud · 6 years
Text
cukup
Suatu sore waktu KL, mama saya berpesan seperti ini :
“hidup adalah tentang kecukupan, sebab hanya langit yang tanpa batas”.
Saya terdiam mencerna dalam-dalam makna kalimatnya.
“Makan secukupnya tidak perlu mewah dan mahal. Punya baju secukupnya, tidak perlu yang serba branded. Liburan secukupnya, sesederhana pulang ke rumah untuk melaraskan pikiran dan hati. Hidup itu secukupnya, jangan terlalu tinggi, jangan juga terlalu rendah"
“Sebab, semua yang kita miliki saat ini adalah titipan, sewaktu-waktu bisa diambil tanpa permisi oleh penciptaNya. Kalau sudah begitu apa yang tersisa ?”
Saya masih terdiam di ujung telepon
“Hmm, gak ada ma” jawabku pelan
Mama menghela napas lembut di ujung sana sambil melanjutkan kalimatnya ” yang tersisa adalah kamu dan kebaikan-kebaikan yang pernah kamu lakukan” ” mulai sekarang, segala hal tentang dunia harus belajar untuk dicukupkan mbak, mama juga masih belajar nih. Bukan berarti pelit atau antipati, harus belajar menekan hawa nafsu, harus ingat bahwa semua di dunia ini hanyalah titipan, ngapain beli banyak-banyak kalau yang lama masih layak”
“Iyaa ma”
“cukup itu kunci kedamaian hati. Uang bisa di cari, tapi ketentraman hati tidak. Mulai sekarang harus belajar cukup ya mba, tidak kurang tidak lebih”
“Termasuk dalam hal mencari pasangan hidup. Cari yang sederhana terhadap urusan dunia, namun cintanya besar untukmu dan kepada Tuhan”
Klik, telepon dimatikan
Aku duduk di pinggiran tempat tidur sambil terus bergumam, apa sih yang dikejar Lin…
444 notes · View notes
decembercloud · 7 years
Text
Perayaan
Melihat beberapa orang menyiapkan wisuda kadang mirip seperti beberapa orang menyiapkan pernikahan.
Bagi saya, keduanya adalah momen pergantian status yang sarat akan makna.
Wisuda menjadi momentum peresmian lulusnya seseorang dari suatu kampus dimana statusnya berubah dari mahasiswa menjadi gelar yang diraihnya. Setelah terjadinya wisuda, bertambah tanggungjawab seseorang akan ilmu yang telah diemban terhadap dunia yang sesungguhnya dimana harus bisa mengaplikasikan atau setidaknya memanfaatkan apa yang telah dipelajari selama kuliah.
Sedang pernikahan menjadi momentum dimana kedua mahluk Tuhan menjadi halal satu sama lain untuk beribadah. Setelah menikah, bertambah tanggungjawab seseorang terhadap keluarga yang dibangunnya, terhadap istri atau suaminya, terhadap masa depan hidupnya, anaknya.
Keduanya terasa seperti tujuan yang terlihat seperti tujuan akhir. Padahal dalam makna yang jauh lebih serius, keduanya adalah betul-betul permulaan yang besar. Sebagaimana banyak dikatakan orang bijak, every end is a start. So does the marriage or graduation.
But, what makes me keep thinking about it is the way we prepare both of them.
Kebanyakan dari kita terlalu mempersiapkan apa yang hanya terjadi sekali dan sebentar saja.
Saat wisuda, bagaimana nanti penampilan yang akan ditunjukkan, pakaian apa--kalau perempuan kebaya cantik apa--yang harus dikenakan, seperti apa riasannya nanti, pakai sepatu yang mana nanti, akan dibuat seperti apa hijabnya nanti, warna apa, cocokkah dengan baju toganya, dan sebagainya sebagainya. Padahal prosesi wisuda dan perayaannya tidak lebih dari 5 jam.
Saat menikah, bagaimana resepsinya nanti, catering mana yang akan dipilih, penata rias mana yang akan dipakai, semegah apa dekorasinya nanti, dan sebagainya sebagainya. Padahal perayaan pernikahannya tidak lebih dari 7 jam.
Hal-hal di atas sering kita temui, kan?
Doing all those things is okay, as long as you don't forget what's really behind of it. The real reason why you graduate, why you get married. The real goal on those things.
Kadang ku hanya miris melihat orang-orang hanya mempedulikan luarnya dan awalnya saja, tanpa benar-benar tahu dan siap akan apa yang ia hadapi setelahnya.
I'm writing this just because I just feel like I'm doing it, no offense.
11 notes · View notes
decembercloud · 7 years
Text
Being A Fangirl
Sometimes I miss those time when I used to be a fangirl.
Obsessed over bands, collecting stuffs, proudly wearing their merchandises, staying up all night just to join the twitcam live streams, remembering all the song lyrics, singing out loud at home. Learning lots of the songs by guitar. Keeping pictures and videos on the phone until it’s out of space, moving it to computer and lost it and keeping it again. It’s like there’s always things to keep and I was never get enough of it. Writing articles about them on my blog, reading and writing fan fictions on wattpad, I even do the writing in the classroom during the lecture, the idea of the story was like coming to my head over and over again. Saving money to buy the concert ticket and convincing parents to get permit to go to the concert. I even went to some fandom meet up, bringing my guitar to the place so we can sing together and unite. And many many more.
It may sounds useless, wasting time, wasting money and all.
But to fangirls, it’s more than just that. We don’t mind doing those things because we extremely love them—even though we know that they don’t know us. But there is a reason why. Some people fall in love with their work, the music they made, the song they made, the way they sing, the way they put things into song lyrics, or even the person behind the stage, there are a lot of reasons. And usually only fangirl understands.
I heard people say about being a fangirl is not a good thing, but do you know that being a fangirl gives a lot of good things, too?
You meet fellow fans who are from around the city, even from around the world. You talk to people about the same thing you like, you support each other, it’s like you’re connected to those people. You get friends from there, until you can talk about anything beside the things you both like (the band).
You get to know the industries you probably have never been before; music. About how it works, how it not as fun as it looks. How you get to acknowledge the inside of it.
And if you are lucky, you get to be invited to the radio shows or magazine interviews about the bands you like or about the fandom you are in. And you get to know about the inside of it too.
Meeting new people from the fandom or the entertainment industries is probably the best thing you get by being a fangirl, because you get connections from many resources that might be useful in the future.
And those are good things, right?
But however, I don’t do fangirl anymore. I’m a grown up now.
I kinda realize that there are a lot of things to do than just fangirling over bands or music. I realize that I have to face the real world. There are plans, and future.
And I think this fangirl world is just an escape for people who are bored and tired with the real thing they do. Admit it. But it is a good escape, instead of you do drugs and smoke and all.
So I can agree if people say that being a fangirl is not a really good thing. But, like I said before, not all of it is bad.
And i think that as long as you don’t forget about your real life—the family, the school, the work—you can still manage being a fangirl. Or as long as you are not too crazy over the bands/singer you like, you can still manage doing a real life. But for me, when you are not crazy enough over the bands you like, you are not a fangirl. And here comes the arguments about the die hard fans and just fans. It’s going to make a really long explanation.
There are good things and bad things about anything. Including being a fangirl.
But in my opinion, i think there are many more important things to worry about than just the music you like. Especially for us as the moslems, we should be worry about the hereafter and how we’re going to get there. Because however, we have to remember that the real everlasting life is in the hereafter.
So let it all the fangirl thing be the memories we don’t regret, because it taught us a lot of things.
But listening to their songs is still okay, some of them are really positive and inspiring, you can’t close your eyes to the fact that they made work by heart.
0 notes
decembercloud · 7 years
Text
Pilihan
Hidup adalah pilihan, itu betul.
Dalam hidup kita dihadapkan pada berbagai macam pilihan.
Nantinya mau melakukan apa, mau jadi orang seperti apa, kita memilih.
Seperti halnya membaca, kita membaca apa yang mau kita baca, kita memilih dari sekian banyak tulisan apa yang ingin kita baca.
Seperti halnya kepercayaan, kita percaya apa yang ingin kita percayai. Kita memilih dari sekian banyak pilihan yang bisa dipercayai.
Seperti halnya kebahagiaan. Kita tinggal pilih, mau jadi yang berbahagia atau tidak. Kalau kau memilih jadi orang yang bahagia, maka berbahagialah. Tidak ada yang melarang, pun tidak ada hambatan.
It's all in your mind.
"Aku tidak bisa mengatur apa-apa yang ada di luar diriku. Aku hanya bisa mengatur yang apa ada dalam diriku sendiri."
Jika kau merasa belum bahagia? Mungkin kau belum memilih untuk bahagia.
-
Azka Dieniha
Tangerang Selatan, 2 Januari 2018 : 18.18
1 note · View note
decembercloud · 7 years
Text
Berdo'a
Dulu, beberapa tahun yang lalu, orang tua saya pernah bercerita tentang buku yang mereka baca. Satu yang kuingat, buku itu mengajarkan; jika kita ingin mencapai atau memiliki sesuatu, bersikaplah-- bersyukurlah--seolah-olah hal itu telah kita miliki, telah kita dapatkan.
I was confused then. Bagaimana bisa mensyukuri apa-apa yang bahkan belum kita miliki, belum kita capai? Wujudnya pun tak ada di depan mata. Lantas bagaimana bisa bersikap seolah-olah apa yang diingikan itu telah dimiliki, telah tercapai?
Saya yang tidak mengerti apa-apa kemudian bersikap seperti biasanya saja.
Berbicara tentang bersyukur, mungkin itu bab yang paling sulit saya pahami sejak kecil. Ibu sering sekali bilang, "Apapun keadaannya, syukuri.". Aku membantah, " lantas bagaimana jika ada masalah? Masak disyukuri juga? Itu kan kesedihan.", jawabannya berbeda pada tiap contoh masalah yang saya pertanyakan, tapi intinya sama; yaitu ada kebaikan di balik masalah yang dihadapkan. Sulit untuk saya menerima teori tersebut, tapi Ibu bisa-bisanya dengan sabar mengatakan bahwa sesulit apapun keadaan, sesedih apapun keadaan, syukur tidak boleh lepas dari hati kita. Sesekali hati melunak ketika mendengarkan penjelasan Ibu berulang kali, namun tak jarang juga saya tetap bersikap tak bersyukur karena tak bisa mengendalikan hati.
Semakin dewasa pandangan terhadap suatu masalah jadi berbeda, perlahan saya mengerti mengapa hal-hal menyakitkan juga harus disyukuri. Jika dulu saya melihat kulitnya saja--masalahnya saja, maka sekarang hati dipaksa melunak dan mencari-cari apa maksud dari masalah yang dihadapkan ini, apa yang ada di balik masalah tersebut. Ketika menemukannya, tak ada alasan untuk tidak bersyukur. Bagaimana tidak, masalah yang dilewati ternyata justru menguatkan kita, membuka hati kita, menuju hal yang lebih dan lebih baik lagi.
Doa-doa yang dulu hanya berisi permohonan, permintaan, kini terselip ucapan syukur atas apa yang telah didapatkan. Rasanya tidak adil jika kita meminta banyak sekali kepada Tuhan dan berterimakasih sedikit sekali kepada Tuhan.
Namun, ternyata ada yang kurang.
Sampailah saya pada diskusi lagi bersama Ibu. Kira-kira inti pembicaraanya begini, beliau bilang, "Kalau berdoa, awali dengan terimakasih. Terimakasih Yaa Allah atas apa yang telah Engkau berikan dan apa yang akan Engkau berikan."
Saya berpikir lagi. Selama ini saya hanya mengucapkan terimakasih atas apa yang telah didapatkan, tanpa berpikir panjang atas apa yang akan saya dapatkan. Lalu aku teringat obrolan bertahun-tahun yang lalu tentang "bersyukurlah seolah-olah itu telah kita miliki, telah kita capai" yang saya tulis di atas.
Ternyata ini bentuknya, rasa syukur seperti inilah yang dimaksud buku tersebut, yang harusnya dilakukan. Rasa syukur yang tidak hanya mensyukuri atas apa yang telah kita dapatkan, namun juga mensyukuri apa yang akan kita dapatkan walaupun kita tidak tahu seperti apa yang akan kita dapatkan nanti.
Sejak saat itu, Ibu memintaku mengganti caraku berdo'a. Dengan begitu, kita akan otomatis berprasangka baik kepada Allah, dan ternyata ucapan yang seperti ini adalah lebih membahagiakan :')
Yaa Allah, terimakasih atas rezeki yang telah Engkau berikan dan yang akan Engkau berikan kepadaku.
Yaa Allah, terimakasih atas ilmu yang telah Engkau berikan dan yang akan Engkau berikan kepada kami.
Yaa Allah, terimakasih atas kesempatan yang telah Engkau berikan dan yang akan Engkau berikan kepada kami.
Yaa Allah, terimakasih atas kesehatan yang telah Engkau berikan dan yang akan Engkau berikan kepada kami.
Yaa Allah, terimakasih atas keselamatan yang telah Engkau berikan dan yang akan Engkau berikan kepada kami.
Yaa Allah, terimakasih atas segala perlindungan yang telah Engkau berikan dan yang akan Engkau berikan kepada kami.
Yaa Allah, terimakasih atas kelapangan yang telah Engkau berikan dan yang akan Engkau berikan kepada kami.
Yaa Allah, terimakasih atas kemudahan yang telah Engkau berikan dan yang akan Engkau berikan kepada kami.
Yaa Allah, terimakasih atas kelimpahan yang telah Engkau berikan dan yang akan Engkau berikan kepada kami.
Yaa Allah, terimakasih atas kekuatan yang telah Engkau berikan dan yang akan Engkau berikan kepada kami.
Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah.
Segala Puji bagi Allah.
Semoga kita semua senantiasa menjadi hamba-Nya yang bersyukur. Aamiin :')
-
Azka Dieniha
Tangerang Selatan, 23 Desember 2017, 00.44
0 notes
decembercloud · 7 years
Photo
Tumblr media
- Panji Ramdana, Menuju Baik Itu Baik
0 notes
decembercloud · 7 years
Text
Anak Kecil
Obrolan kemarin dengan anak kecil sekitar umur 7 tahun. Dia adik sepupu seorang sahabat, karena saya sering main ke rumahnya, kita sudah lumayan akrab.
Saat itu dia sedang main game di ponsel saya, sambil mengagumi ponsel saya yang menurut dia bagus—padahal mah biasa aja wkwk—dia bilang begini;
“Kak aku mau hape, beliin dong yang kaya ya Kak Azka.” Pintanya.
“Kamu belum butuh hape, dek. Masih kecil, belum perlu..” jawabku.
“Tapi aku mau Kak...” sambil sedikit merengek.
“Kalaupun dibeliin, nanti Kak Azka belinya 10 tahun lagi, pas udah 17 tahun boleh deh tuh kamu punya hape.” Jawabku.
“Yes! Yang kaya Ka Azka ya.” Balasnya dengan raut bahagia.
Lucu, ya. Kalau dulu umur segitu mana kepikiran untuk minta ponsel. Paling mainan yang normal dipakai anak kecil. Bisa main keluar sama temen ngelilingin komplek aja udah seneng banget.
Tapi, ada alasan masuk akal juga kenapa anak kecil zaman sekarang banyak yang berperilaku seperti itu. Salah satunya, karena kita sendiri kadang lebih fokus sama gadget di tangan pas diajak main sama dia.
Kadang kalau udah kesel, mereka bilang, “Ah Kak ini main hape, Kak itu juga main hape. Hapeeee semua.” , dan ujungnya, “Aku juga mau dong, Kak pinjem hape Kakak.”
Sebenarnya ternyata, kita berperan juga dalam perilaku anak zaman sekarang. Kalau aja kita nggak terlalu fokus sama gadget—saat di depan mereka—dan bisa dengan tulus main sama meraka, mereka nggak akan berpikir kalau apa yang ada di gadget itu lebih mengasyikkan dibandingkan main betulan sehingga mereka mau juga main gadget.
Dan mungkin kita juga bisa berhenti menyalahkan perilaku anak zaman sekarang yang maunya serba main gadget. Cara mereka belajar ya dengan mencontoh, kalau kita nggak mau perilaku mereka seperti itu, ya berilah contoh yang baik. Lagi-lagi intinya harus bijak menggunakan teknologi. Tahu situasi dan kondisi kapan harus pegang gadget, kapan harus lepas.
Semoga kita semua bisa jadi orang dewasa yang bijak yang menjadi contoh terbaik untuk anak-anak sekitar kita.
-
Azka Dieniha
Desember 2017, Tangerang Selatan
0 notes
decembercloud · 7 years
Text
Edukasi Narkotika
A lot of people still under estimate about the education of narcotics. Iya. Saya rasa masih banyak orang menyepelekan pengetahuan perihal narkotika. Seminar-seminar atau majlis ilmu yang membahas narkotika bukan jadi sesuatu yang jadi pilihan. Pengetahuan yang dimiliki, ya sekadarnya saja. Tanpa ditambah atau diperluas.
Ilmu tentang narkotika bukan sekedar mengetahui bahwa "narkoba itu bahaya" saja. Pengetahuan-pengetahuan tentang bahaya narkotika mencakup banyak hal, mulai dari apa yang disebut narkotika, bahaya penyalahgunaan narkotika baik dalam skala kecil sampai yang besar, bagaimana asal usul bisa tersebarnya narkotika hingga saat ini bisa dengan mudah didapatkan dan dipakai seenaknya saja, bagaimana hukum berlaku untuk kasus narkotika bagi pemakai, pecandu, pengedar, pelapor, bagaimana kehidupan sosial berpengaruh ketika terjadi kasus narkotika, bagaimana dampak bagi pemakai narkotika dari segi jiwa, raga maupun sosial, dan banyak lagi.
Beberapa orang berhenti mencari lebih luas tentang narkotika ketika merasa cukup hingga setidaknya bisa membentengi diri sendiri dari penyalahgunaan benda tersebut. Hal itu baik, karna pertahanan pertama memang datang dari diri sendiri. Namun, sebagai orang yang mengetahui, ternyata tugas kita lebih dari itu.
Keluarga dan orang-orang terdekat yang tersayang sudah sepatutnya jadi fokus utama kita untuk dilindungi dari narkotika apapun bentuk kasusnya. Sebagai orang yang mengetahui--walau seminim apapun yang diketahui--setidaknya pemberian edukasi tentang narkotika harus dilakukan dalam lingkup paling kecil dahulu--keluarga. Ajakan untuk menghindari dan peringatan bahaya juga perlu dilakukan untuk mencegah masuknya narkotika pada lingkungan terkecil kita.
Dan itu dimulai dari kepedulian yang didukung ilmu pengetahuan yang kita miliki. Maka jika kau tahu mengenai apa-apa yang berkaitan dengan narkotika dan segala macam bahayanya, lindungi lah orang-orang tersayangmu dengan edukasi-edukasi kecil yang setidaknya bisa jadi peringatan dan tameng diri, sedikit pemahaman-pemahaman tentang maraknya narkoba bisa berguna setidaknya agar tak awam hingga jadi korban pada kasus narkoba. Tak ada salahnya juga terus membaca dan memperluas pengetahuanmu tentang segala yang berhubungan dengan narkotika dari sudut padang manapun.
Karena kita tidak pernah tahu apakah orang-orang di sekitar kita benar-benar terlindungi atau tidak, bisa jadi besok atau kapanpun nanti kau mendapati orang terdekatmu terjerat narkoba, entah keluargamu, saudaramu, tetanggamu, temanmu, sahabatmu.
Lindungilah, bukankah kita semua mengaku satu?
-
Azka Dieniha, Tangerang Selatan 2017
0 notes
decembercloud · 7 years
Text
SEVENTSEAS 2017
*dis is a very long story*
Pertama kali.
Bisnis, sudah jadi passion saya sejak SMA. Usaha-usaha kecil pernah saya coba sejak itu, mulai penasaran dengan rahasia bisnis, dan segala yang berkaitan dengan bisnis. Hingga sekarang—alhamdulillah—bisa mengelola bisnis yang baru berjalan sekitar 2 tahun. Saya masih membaca dan mencari artikel-artikel berkaitan dengan bisnis, apapun itu. Hingga menemukan tulisan mengenai pentingnya menuliskan rencana bisnis. Semua kepentingan yang terlibat dalam bisnis yang saya jalani mulai dituliskan dalam catatan-catatan besar—termasuk mulai mengaplikasikan nilai syariah yang dilakukan dalam segala transaksi, walau belum sempat dibukukan hingga menjadi sebuah perencanaan bisnis yang rapi.
Ketika sedang asik-asiknya pada kegiatan menulis dan bisnis, seorang teman membagikan info lomba Business Plan yang diadakan organisasinya, SEVENTSEAS nama acaranya (Sharia Economic Event South East Asia). Tertarik, tentu. Apalagi memang itu yang sedang saya lakukan. Rencana awalnya, tulisan Business Plan yang akan saya lombakan adalah tentang bisnis saya sendiri, tapi rasanya kurang mengena pada tema yang diusung—“Strategy and Innovation for Economic Development in Digital Era”.
Sebelum benar-benar memutuskan untuk maju lomba, ada sedikit keraguan. “Aspek Syariah” pada kriteria penilaian menjadi sesuatu yang begitu menakutkan bagi saya. Tentang ekonomi saja, tingkat kepahaman saya sangatlah sedikit. Apalagi Ekonomi Syariah. Sedikit sekali. Minder. Takut salah.
“Kayaknya aku nggak jadi ikut lomba, ragu.” Begitu yang saya ucapkan pada teman saya yang penyelenggara.
“Kenapa?”
“Ajari aku tentang aspek syariah yang harus ada di bisnis, nggak ngerti.”
“Baca aja, di internet banyak, contoh proposal bisnis syariah nya juga banyak. Ikut aja, sih. Masih lama ini.” Begitu katanya.
Somehow, disitu ada sedikit rasa menantang. Semacam jadi ingin mencoba untuk belajar.
Saya mulai mengajak rekan-rekan terdekat untuk membuat tim yang berakhir dengan hanya satu orang yang ingin ikut berkompetisi bersama saya. Pencarian ide tidak memakan watu lama, satu ide pertama yang muncul dari rekan saya langsung saya putuskan untuk dibuat perencanaan bisnisnya. Pengumpulan abstrak, adalah tahap pertama lomba. Pembuatan abstrak hanya dilakukan dengan satu pertemuan tim, selama beberapa jam. Selebihnya, mencakup diskusi dan revisi, dilakukan melalui whatsapp.
“Oke, mari kita coba. Kalau nggak lolos, nggak apa-apa. Ini pertama kalinya.” Ini yang kuucapkan dalam hati ketika mengirim email sebagai bentuk pendaftaran.
Bismillahirrahmanirrahim.
Setelah mengirim email, keseharian berjalan seperti biasanya. Tanpa begitu menunggu hasil, kadang bahkan lupa telah mengirimkan abstrak. Sekitar sebulan—kalau tidak salah—abstrak selesai diseleksi. Pengumuman lolos abstrak lalu dipublikasikan.
Judul kami tertera. Antara kaget dan senang—karena ini pertama kalinya—ketika melihat hasil. Sempat minder juga karena dari sekitar 50+ yang lolos, rata-rata dari PTN unggulan di Indonesia.
Akhirnya, datanglah tugas pembuatan proposal bisnis sepenuhnya. Parahnya, ketika tahu harus membuat proposal bisnis, kita tak begitu saja langsung mengerjakannya. Hehehe
Pembuatan proposal bisnis dimulai sekitar 10 hari sebelum deadline pengumpulan. Dilakukan dengan lagi-lagi satu pertemuan tim—karena rekan tim saya harus segera pindah ke Bandung untuk melanjutkan studinya—selama beberapa jam. Karena pertama kali, pertemuan yang harusnya diisi diskusi berbobot, justru kebanyakan kami isi dengan melamun. Berpikir. Bingung. Membaca. Kami tak tahu harus apa. Wkwk. Akhirnya, satu pertemuan tersebut menghasilkan sekitar satu paragraf latar belakang. Sungguh. Luar. Biasa.
Beberapa hari kemudian, saya baru membuka booklet Business Plan terbaru yang dikirimkan panitia yang ternyata, tertera segala yang dibutuhkan untuk ada pada proposal tersebut. Disitu saya merasa.... ah sudahlah. Antara bodoh dengan lalai. Akhirnya, diskusi dilanjutkan via whatsapp (lagi) untuk pembagian tugas mulai pembuatan hingga revisi. Seluruhnya kami lakukan full via whatsapp dan email.
Kebiasaan buruk saya sebagai deadliner berpengaruh pada pembuatan proposal. Pelengkapan proposal dilakukan sekitar 3 hari sebelum deadline pengumpulan. Dan mengejar pengumpulan sehari sebelum deadline. Alhamdulillah, done.
Lagi-lagi berkata dalam hati. “Coba dulu, kalau nggak lolos nggak apa-apa. Ini pertama kali. Lawannya PTN-PTN ternama. You did your best”
Bismillahirrahmanirrahim.
Sampai saat menunggu lagi, kali ini masa menunggu nya lebih greget karena pengumuman selanjutnya adalah finalis. Siapa yang lolos final, akan bertandang ke Malang untuk tahap terakhir; presentasi. Nggak se-lama nunggu hasil lolos abstrak, pengumuman lolos proposal lebih cepat dipublikasikan—walau agak telat juga dari jadwal. Ketika buka file, lumayan deg-degan, yang teringat selalu rasa minder. Tapi Bismillah, akhirnya terbukalah file lolos proposal dan ternyata, Business Plan kami lolos final.
Senaaaaaang sekali. Wkwk
Tapi lagi-lagi, takut dan minder.
Akhirnya segala persiapan mulai disusun, dari pengajuan dana ke kampus untuk registrasi ulang sampai kebutuhan teknis untuk sampai dan berkunjung ke Malang. Semuanya tida dilakukan dan selesai dengan cepat karena padatnya agenda masing-masing. Rekan tim saya masih berada di Bandung, dan saya tengah berada pada tuntutan untuk melatih anak-anak didik paskibra untuk lomba baris-berbaris tingkat SMP yang dilakukan setiap hari penuh selama sebulan. Satu hal yang justru dilakukan terakhir, adalah persiapan materi presentasi. Hehe. Pembuatan materi presentasi dilakukan dalam 2 pertemuan, setelah rekan tim saya kembali dari Bandung di sela-sela ujiannya demi lomba ini. Dan di sela-sela hari-hari terakhir saya melatih anak-anak didik untuk lomba baris berbaris. Hectic.
Pembuatan materi presentasi berlanjut hingga dilakukan di perjalanan dari Jakarta menuju ke Malang, lalu masih di lanjutkan di Malang sesampainya di penginapan hingga malam harinya sebelum Technical Meeting. Semacam nol persen persiapan. Hal yang saya rasakan pun ketika berangkat adalah seperti, “ini benar-benar pergi untuk lomba? Semuanya rasa dadakan”. agak lucu, tapi seru dan menantang. Yo wis, jalani saja, selesaikan saja apa yang sudah dimulai.
Hari ke 2 di Malang jadi hari presentasi, dengan persiapan seadanya dan pikiran yang sudah kemana-mana karena selama di Malang saya dichat dan ditelfon tak habis habisan oleh anak-anak didik yang tengah gladi resik untuk lombanya keesokan hari. Fokusku. Pecah. Presentasi berakhir tidak maksimal, tapi lega bukan main. Dan tidak ada beban untuk menang. Selesai begitu saja.
Lanjut ke hari terakhir, seminar dan pengumuman pemenang. Aneh, kali ini hampir nggak deg-degan sama sekali. Semacam pasrah apapun hasilnya. Karena semuanya pun sudah selesai. Dan ternyata...
Nggak beruntung. Wkwk
Ketiga pemenang diwakili dari mahasiswa ptn yang tersebar di Indonesia. Alhamdulillah, ketika denger pemenangnya, siapapun itu, betulan ikut senang. Dengar pemenang Call For Paper—lomba sebelah yang nggak saya ikuti—itu aja saya senang. Mungkin karena memang sudah suasananya bahagia, jadi ikut bahagia aja.
Lagi-lagi saya ucap dalam hati, “nggak apa-apa, ini pertama kalinya.”
Beberapa saat setelah euphoria kemenangan selesai, kami peserta ramailah dengan desas desus akumulasi hasil nilai. Saya yang penasaran dengan cepat mendapat datanya dan ketika melihat hasilnya... barulah menyesal. Kurang sedikit sekali poin untuk bisa menyingkirkan si juara 3 (hehe hampura). Lalu di kepala mulai memutar kejadian-kejadian kemarin, flashback melihat apa yang telah dijalani dan dilalui. Greget. I should’ve done better.I knew I can do better but I didn’t.
Nggak, saya nggak sedih. Cuma greget sama diri sendiri. Semua orang memaklumi bahkan memberi selamat karena itu lomba pertama yang saya jalani dan menurut mereka hasil itu cukup bagus. Tapi tetap saja, greget. Saya seharusnya bisa lebih serius, bisa lebih siap, bisa lebih baik, dan sebagainya sebagainya. Tapi lalu saya teringat ucapan teman yang dulu sempat mempengaruhi saya untuk maju lomba ketika saya ragu. Pada sambutannya ia bilang, “Selanjutnya untuk materi, atau hadiah, atau trophy, itu semua adalah bonus. Tapi proses yang teman-teman jalani adalah lebih berharga daripada itu.”
Deg.
Somehow, ucapannya adalah yang membuat saya lupa akan pentingnya kemenangan, pentingnya status juara, berharganya hadiah, dan lain-lain.
Saya seharusnya ingat bahwa selama menjalani lomba tersebut dari pembuatan abstrak hingga bisa bertandang ke Malang merupakan perjalanan yang tidak bisa diganti dengan apapun. Bukan kemenangan tujuan dan intinya. Lebih dari itu, saya mendapat pengalaman dan pelajaran yang benar-benar membuat diri ini berpikir. Berproses.
Semua yang saya jalani dari serangkaian Seventseas 2017 ini adalah pertama kalinya untuk saya. Membuat Proposal Bisnis selengkap itu, belajar Ekonomi Syariah, masuk pada lingkungan orang-orang penggiat Ekonomi Syariah, masuk pada lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama namun tetap profesional yang membuat nyaman dan kagum, bertemu dan berdiskusi dengan pakar-pakar ekonomi dan bisnis—yang saat itu menjadi juri presentasi, bertemu rekan sesama mahasiswa dari kampus yang tersebar di Indonesia dari latar belakang yang berbeda namun bersatu dengan maksud dan tujuan yang sama, mahasiswa-mahasiswa hebat yang sesama pengusaha muda, penggiat karya ilmiah, penggiat organisasi, semua bersatu dalam satu forum.
Mungkin ini adalah satu-satunya lomba yang tidak terasa seperti kompetisi. Rasanya justru seperti saling bersinergi dengan pikiran-pikiran kritisnya untuk tujuan yang sama; menciptakan negeri yang maju melalui ekonomi. Saya yang sama sekali buta dengan ekonomi perlahan terbuka pikirannya karena ajang ini, pada awalnya memang rasanya seperti tuntutan harus memahami ekonomi yang menurut saya sulit sekali, lama-kelamaan justru ingin tahu lebih banyak tentang ekonomi Indonesia. Mengikuti seminar di hari terakhir dengan tema “Financial Technology for Islamic Economic Development” adalah juga kali pertama bagi saya. Sebelumnya seminar yang saya ikuti tidak jauh dari tema perkembangan informasi , komunikasi dan teknologi, pengembangan bisnis, kegiatan anti narkoba, dan pemberdayaan perempuan. Kalau kau orang yang sama seperti saya, tentu terbayang bagaimana sulitnya mencerna materi tentang ekonomi, apalagi ekonomi syariah, apalagi ekonomi syariah yang berkembang bersama dengan perkembangan teknologi. Sulit. Sungguh. Tapi menyenangkan. Menantang untuk dipelajari. Sedikit banyak ada pemahaman-pemahaman baru yang kini saya ketahui, ada hal-hal baru yang ternyata penting untuk diketahui.
Semua orang yang saya temui disana bisa jadi inspirasi, mahasiswa penggiat lomba yang benar-benar menjalankan passionnya dalam menulis karya, mahasiswa pengusaha yang dengan apik menjalankan bisnisnya namun tetap jadi mahasiswa berkualitas di kelasnya, mahasiswa dengan ide briliannya yang dimanfaatkan dengan baik hingga ide bukan jadi sekedar ide namun bisa menebar kebermanfaatan, para juri dengan segala pengalamannya yang luar biasa yang mendukung penuh kemajuan mahasiswa yang berkembang melalui ide dan tulisan, para pembicara seminar yang pola pikirnya tak terduga hingga usahanya bisa meningkatkan perkembangan Indonesia, bahkan para mahasiswa panitia yang totalitas, serius dan konsisten dalam menjalankan tugasnya di sela-sela sibuknya perkuliahan.
Inti dari tulisan ini adalah bukan rangkaian cerita saya di awal, tapi bagaimana pengalaman pertama saya mengikuti lomba dalam rangkaian Seventseas 2017 memberikan pelajaran yang tak terhingga dan bermanfaat bagi kehidupan ke depannya. Dan itu adalah lebih berharga dari materi apapun.
Jadi, cobalah apapun selagi kita masih muda—yang mengandung nilai-nilai kebaikan tentunya. Keluarlah dan cari hal-hal baru untuk dipelajari.
Jangan sampai kita menyesal.
:)
-
Azka Dieniha
Tangerang Selatan, 23 Nov 2017
0 notes
decembercloud · 7 years
Text
Manajemen Waktu
Time management is so hard. Iya. Manajemen waktu itu sulit. Sangat sulit untuk saya.
Ketika kau sudah menjadwalkan sesuatu dan mencoba menempatkan masing-masing urusan pada level kepentingannya sendiri, kadang masih banyak hal-hal tak terduga yang bisa merusak tabel manajemen tersebut.
Misalkan, untuk satu hari sudah dijadwalkan untuk melakukan apa saja, untuk pergi kemana saja, dan dalam waktu berapa lama. Tapi lalu jadwal yang sudah dibuat bisa mundur dari yang seharusnya, ada banyak faktor penyebab. Jika urusannya dengan diri sendiri, kenyamanan melakukan suatu hal bisa membuat kita lupa waktu, terlalu asik dengan apa yang dikerjakannya tanpa ingat ada hal lain yang harus dikerjakan selanjutnya. Atau kelalaian pada diri sendiri, seperti istirahat yang berlebih, terlalu lama berkutat pada ponsel, dan lain-lain.
Jika urusannya dengan orang lain--misalnya ketika menjanjikan pertemuan, bisa saja waktu habis untuk menunggu, atau terlalu lama diskusi/bicara hingga lupa waktu.
Selain faktor yang berkaitan dengan diri sendiri dan orang lain, ternyata ada faktor lainnya. Salah satunya, kesalahan teknis. Seperti ternyata alat transportasi yang kita gunakan tiba-tiba bermasalah, kendaraan yang kita gunakan tiba-tiba mogok, atau bahkan ponsel kita tiba-tiba tidak bisa digunakan untuk order transportasi online--yang mana sudah jadi pilihan semua orang saat ini.
Hal-hal tersebut ada di dalam dan di luar kendali diri kita. Jika kacaunya jadwal terjadi karna diri sendiri, ada baiknya jika mulai sadar waktu dengan menghargai dan menggunakannya secara bijak dengan sebaik-baiknya. Jika terjadi karena pengaruh orang yang bersangkutan, ada baiknya kita tetap konsisten pada apa yang telah direncanakan sebelumnya.
Yang membuatku bingung adalah bagaimana jika yang terjadi disebabkan karena kesalahan-kesalahan teknis yang tidak bisa kita duga sebelumnya. Ini hal paling sedih yang dirasakan ketika harus mengejar target jadwal, tapi malah terhenti hanya karena persoalan teknis. Terlepas dari hal-hal itu memang di luar dugaan, mungkin solusi terbaik adalah berantisipasi. beri spare waktu lebih pada jadwal in case kereta bermasalah, transjakarta terlambat, atau aplikasi ojol error. atau mungkin dengan cepat mengambil keputusan untuk mencari alternatif lain agar tidak terlambat sesuai jadwal yang telah dibuat.
Memiliki kesibukan dalam hal baik tentu baik, sehingga waktu tidak habis begitu saja tanpa jadi manfaat. Tapi kadang kita lupa bahwa alokasi waktu juga harus dilakukan sebaik-baiknya semaksimal mungkin agar tidak ada waktu yang terbuang sia-sia atau menjadi tidak bermanfaat karena salah mengatur jadwal dan sebagainya.
Melompat ke tahap "sibuk bermanfaat" sungguh-sungguh sulit bagi saya. Ketika diri mencoba mencari kegiatan yang sesuai dengan keinginannya dan ingin jadi bermanfaat pada saat yang sama. Lupa kapasitas diri hingga merasa bisa melakukan semuanya tanpa mengerti tingkat kesanggupan yang dimilikinya. Atau tidak bisa memanfaatkan kapasitas diri hingga jadwal yang diatur jadi tidak efektif. Lalu pada akhirnya merasa kekurangan waktu. Padahal waktu sejatinya adalah sesuatu yang tidak bisa berkurang atau bertambah. Kita tak bisa memutar waktu untuk mengulang masa lalu, tak bisa pula dengan kehendak sendiri menambahkan waktu sesuai yang dibutuhkan karena hidup dan mati tak ada pada tangan kita. Setiap hari yang baru mungkin adalah bonus waktu bagi kita untuk terus melanjutkan apa yang telah kita persiapkan, telah dijadwalkan. Tinggal kita bisa memanfaatkannya dengan maksimal atau tidak. Dan hal itulah yang menjadi hal paling sulit bagi saya untuk dijalankan. Segala ketakutan, kekhawatiran, ikut bersama seiring dilakukannya seluruh agenda pada hari itu. Apakah bisa dilakukan semuanya, sepenuhnya, sesuai target, maksimal atau tidak, butuh waktu tambahan atau tidak.
Pada akhirnya, ketika kita tahu bahwa kita sama sekali tak berkehendak soal waktu kecuali dengan pemanfaatan yang efektif, maka yang harus dilakukan adalah melakukan semuanya dengan maksimal sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Agar kelak tidak ada penyesalan dan peratapan pada apa yang telah dilewatkan.
Menghargai waktu. begitu kira-kira.
yang kemudian berkaitan dengan penghargaan kepada apa-apa yang telah didapat. Kesempatan, orang-orang sekitar, lingkungan, segala rezeki dan kelimpahan.
Mungkin memang ini intinya, jika kita bisa hargai dan syukuri segala aspek dalam hidup, maka penghargaan kepada hidup akan lebih tinggi hingga kita bisa jadi bermanfaat. yang semuanya berkaitan dengan menghargai waktu.
-
Azka Dieniha
Jakarta, 22 November 2017, 21:04
di KRL menuju Tangerang Selatan
1 note · View note
decembercloud · 7 years
Text
Harga Diri Wanita
Perempuan harusnya lebih cerdas dalam menjaga diri. Risih sekali melihat perempuan-perempuan yang sepenuhnya memberikan yang ia miliki untuk laki-laki yang tidak pasti. Status pacaranmu tidak lantas menjadikan kamu halal untuk laki-laki itu. Jika soal hati kau merasa memperbolehkan ia memiliki hatimu, janganlah kau samakan dengan aset fisikmu. Karena pacaran bahkan adalah bukan sebenar-benarnya status, itu tidak berarti apa-apa hingga membuat kau membebaskan dirimu untuknya. Jangan lah karena kau pacaran lantas kau memperbolehkan dia memegang tanganmu, tubuhmu sesuka hatinya. Janganlah lantas kau memperbolehkan ia melihat dirimu yang tanpa jilbab (padahal sebenarnya kau wanita berjilbab) tapi karena dia "pacarmu", kau membebaskannya begitu saja. Dan yang paling berbahaya, jangan lah kau lantas memberikan keperawananmu hanya karena kau percaya akan cintanya. Ketahuilah, wanita. Meskipun telah banyak waktu kau habiskan dengannya, telah lama kau mengenalnya, hingga tak terhitung kata cinta yang diakuinya, itu tidak serta merta menjadikan mereka berhak atas dirimu. Tidak serta merta membuat mereka boleh memegangmu, memelukmu, mengambil keperawananmu dan melakukan hal lainnya yang membuatmu murah. Karena tidak ada yang tahu apakah itu bisa dipertanggungjawabkannya. Tidak ada yang tahu apakah ia yang kelak akan menjadi suamimu nanti. Jika kau merasa telah memberikan semuanya, coba kau pikir lagi, laki-laki yang baik dan benar-benar serius tidak akan melakukan itu semua karena tak ingin meremehkanmu. bagaimanapun juga kau adalah wanita yang harus dihormati dan dihargai. dan sebenar-benarnya status adalah pernikahan, jika telah mampu dalam segala aspek, maka tuntutlah pernikahan. jika tidak, maka hal terbaik yang bisa kau lakukan adalah menjaga diri dengan menghargai dirimu dan jadilah terhormat. Jika kau tidak bisa melakukannya, ingatlah orang tuamu. Bagaimanapun kau tak ingin menyesal apalagi membuat mereka kecewa. Ini bukan soal aku benci kalian yang pacaran bebas, ini soal harga diri kalian, wanita.
Tangerang Selatan, 28/09/17 - 00.30
2 notes · View notes
decembercloud · 7 years
Text
Waktu Luang
Sekitar dua bulan sudah saya menyelesaikan tahapan studi saya di akademi, hari-hari sibuk yang berisi dengan urusan kuliah, tugas dan organisasi perlahan terganti. Sejak itu lebih banyak waktu saya habiskan di rumah karena memang tidak ada tuntutan untuk keluar, dalam satu minggu, bisa hanya dua hari yang berisi jadwal rutin keluar baik untuk mengajar atau mengurusi urusan organisasi yang sebentar lagi selesai. Selebihnya, keperluan saya hanya terus menjalankan bisnis kecil yang selalu bisa dikerjakan di rumah. Ada banyak sekali waktu luang karena urusan di luar rumah perlahan-lahan selesai.
Bosan? Pasti. Kebanyakan orang bertingkah laku sesuai kebiasaannya, maka jika kebiasaan saya adalah selalu ada urusan di luar rumah setiap hari, ketika tidak ada lagi urusan, akan mencari kesibukan agar tidak diam di rumah begitu saja. Namun tidak bisa dipaksakan, karena memang tidak ada yang bisa benar-benar ditemui di luar rumah. Ingin main? Teman-teman lain ada yang sibuk lanjut kuliah dan mencari pekerjaan sana-sini. Ingin sekedar nongkrong dan makan di luar? Sepertinya tidak ada gunanya, semua yang ada di rumah sudah lebih dari cukup. Rasanya seperti memang dikehendaki Allah untuk tetap berada di rumah.
Seringnya berada di rumah membuat saya perlahan menjadi peka dan merasakan suasana rumah yang begitu sepi karena semua orang sibuk dengan urusannya. Sering sekali ketika pagi tiba dan semua orang sibuk bersiap pergi untuk menjalani rutinitasnya, waktu terasa begitu cepat dan tiba-tiba, tinggal saya dan Ibu di rumah. Sepi. Sunyi.
“Ternyata begini rasanya jadi Ibu ketika kutinggal pergi setiap hari.”
Saat itu lah baru saya sadari bahwa; kelonggaran kesibukanku dan kemudahan untuk tetap bisa produktif dengan bekerja di rumah merupakan rezeki dari Allah agar saya bisa menemani Ibu. Jadi memang ini yang Allah inginkan agar saya tak terlena dengan asiknya bertumbuh dewasa dengan seabrek kesibukan yang kadang membuat saya lupa pulang. Memang ini yang diinginkan Allah untuk menyadari bahwa umur Ibu juga terus bertambah, tidak hanya saya.
Kadang hal-hal kecil seperti itu lah yang tidak kita sadari sehingga tidak kita syukuri. Kita bahkan malah mengeluh karena jenuhnya hidup dengan rutinitas yang menurut kita kurang sibuk. Terlebih lagi malah berusaha meninggalkan rumah dengan alasan apapun bahkan yang tidak begitu bermanfaat hanya karena tidak ingin bosan. Lupa bahwa di rumah ada Ibu yang selalu menunggu kepulangan kita dalam kesendiriannya. Dan ternyata justru keadaan itulah yang patut disyukuri, tanpa mengganggu urusan yang lain kita bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan orang tua. Lihat saja banyak orang di luar sana yang begitu sulit bertemu orang tuanya karena sudah terlalu sibuk.
Menghabiskan waktu bersama orang tua itu penting, mungkin sudah saatnya untuk dijadwalkan. Makan bersama bisa dilakukan lebih sering, berbagi cerita dan pengalaman yang telah kita dapat menjadi begitu membahagiakan, saling berbicara sebagai orang dewasa tentang hal apapun menjadi pembelajaran yang tidak pernah didapat sebelumnya, berangan-angan tentang masa depan dan merumuskan bagaimana cara merealisasikannya menjadi begitu seru. Terlebih lagi, melihat mata Ibu berbinar karena antusias dengan pembicaraan kita, melihat Ibu tersenyum tulus memandangi anaknya yang ternyata sudah tumbuh dewasa, melihat Ibu tertawa ceria atas cerita-cerita seru nan menggelikan dari kita, mungkin adalah kebahagiaan yang belum tentu bisa kau dapatkan kapan saja.
Maka pulanglah, habiskan waktu dengan orang tua sebelum terlambat. Karena terlepas dari seberapa besar prestasimu, seberapa tinggi jabatan pekerjaanmu, seberapa banyak hartamu, seberapa hebat kau di luar sana, tidak ada yang lebih membahagiakan orang tua selain waktu luangmu yang kau habiskan bersama mereka.
Jangan sampai kita terlena dengan segala kesibukan hingga lupa jalan pulang.
Pulanglah. Karena ridho Allah adalah ridho Orang Tua.
 Tangerang Selatan, 27/09/17 - 00.20
2 notes · View notes
decembercloud · 7 years
Text
Belajar
Beberapa hari yang lalu ayah saya mengatakan sesuatu tentang bagaimana cara belajar kebanyakan orang di lingkungan sekitar. Melihat bagaimana mudahnya kami—orang Indonesia—terbawa dan percaya oleh informasi yang diajarkan dengan cara mendengar. Salah satu contohnya adalah apa yang terjadi pada majlis ilmu yang kebanyakan metodenya adalah narasumber bicara, lalu kita mendengarkan. Kemudian ditambah lagi beberapa narasumber atau pemateri atau guru kadang merasa menyampaikan hal yang sudah pasti benar, sehingga jika ada pendengar atau murid yang menyanggah, mereka yang justru akan dianggap salah. Audiens yang tadinya suka berpikir dan mempertanyakan sesuatu kemudian seperti “disuruh” untuk mengikuti arus saja seperti kebanyakan orang lainnya. Sehingga terciptalah semacam standar bahwa kita sebagai murid harus mengikuti apa yang diajarkan guru tanpa berpikir lebih kritis dan mengkaji lebih dalam apakah hal yang disampaikan benar-benar tepat atau adakah ajaran lain yang tidak kita ketahui?
Padahal pembelajaran yang baik menurut saya adalah justru yang terdapat perbedaan pendapat di dalamnya sehingga akan terjadi perdebatan dan diskusi sehat yang berkualitas untuk mendapatkan jawaban bersama. Jika akhirnya pendapat murid memang salah, tidak apa-apa. Begitu juga jika akhirnya ternyata apa yang disampaikan guru ternyata kurang tepat, juga tidak apa-apa. Karena proses belajar tidak berhenti sampai kita bisa menyampaikan apa yang kita ketahui pada khalayak banyak saja, proses belajar akan terus terjadi ketika kita terus melangkah dan melakukan atau menemukan hal-hal baru dalam hidup kita.
Budaya belajar seperti ini yang kebanyakan terjadi di lingkungan sekitar juga berdampak pada minat seseorang untuk mencari tahu lebih lanjut tentang materi atau ajaran yang didapatkan. Banyak sekali yang kemudian benar-benar mengikuti arus saja dan menyebarkan apa yang ia dapatkan pada lebih banyak orang dengan keyakinan bahwa apa yang ia sampaikan adalah benar tanpa benar-benar mengetahui apakah yang ia sebarkan itu benar atau tidak. Sebaliknya, sedikit sekali yang kritis untuk kemudian mencari sumber lain untuk mencari tahu tentang apa yang disampaikan. Alhasil, karena merasa apa yang dipelajari sudah paling benar, mereka akan dengan mudah menyalahkan apa yang mereka dapatkan dari tempat lain. Padahal, perbedaan informasi yang disampaikan atau didapatkan seharusnya dapat dikaji lebih dalam dan dilakukan perbandingan terhadap apa yang telah didapatkan lebih dahulu untuk mendapatkan jawaban atau sekedar mengetahui bahwa ternyata segala sesuatu tidak bisa dipandang dari satu sisi saja. Ada banyak faktor mengapa ini terjadi, salah satunya karena metode yang sekedar mendengarkan dan menerima tadi. Faktor lainnya yaitu malasnya seseorang berpikir karena ingin mudah dan mengikuti saja, dan juga takutnya seseorang menemukan sesuatu yang berbeda dari biasanya.
Menjadi seorang muslim sejatinya harus membuat kita cerdas dengan berpikir agar tidak mudah terhasut atau terbawa arus yang belum tentu benar (walaupun sering dianggap benar). Sangat tidak disarankan untuk percaya begitu saja terhadap apa yang disampaikan orang lain atau bersikap ikut-ikutan saja sekedar untuk mendapatkan kemudahan, dan bahkan merasa apa yang dipercayai adalah paling benar sehingga menutup diri dari informasi-informasi lain yang berbeda dari pendapat kita yang ternyata belum tentu salah. Perbedaan pendapat atau pemahaman seharusnya tidak membuat kita hidup menjadi tersekat-sekat, sebaliknya, perbedaan seharusnya membuat kita membuka pikiran lebih luas dan berpikir kritis hingga menemukan bagaimana caranya hidup dalam banyaknya perbedaan pendapat, pemahaman, hingga ajaran.
Untuk kita semua, mari membuka pikiran lebih luas dan berhenti menutup bahkan mengasingkan diri dengan alasan apapun. Karena sesungguhnya kita tidak bisa hidup sendiri.
Note: tulisan ini adalah ringkasan dari hasil diskusi dengan ayah
Tangerang Selatan, 26/09/17 - 18.27
0 notes