Text
Kosong #1
Malam masih gelap gulita dan masih belum lupa dengan kodratnya untuk menjadi peneman setia dari bintang. Hanya satu yang kurang, bulan sedang malu-malu malam ini. Tak tampak sedikit pun gejala ia akan bersinar. Sementara aku, masih duduk menatap kertas kosong yang butuh untuk diisi atau minimal berisi coretan, titik, bekas sobekan atau bentuk ketidaknormalan apapun, yang membuat malam menjadi beda. Menjadi berisi.
Mereka bilang kosong hanyalah titik yang butuh untuk kita isi dan bentuk menjadi pola geometris yang dimengerti oleh nalar manusia. Nyatanya, kosong hanyalah kosong. Tidak ada apa-apa disana yang butuh untuk dimengerti. Hanya senyap yang seharusnya siap untuk menjadi kekosongan lain. Menjadi kelatahan manusia akan buah ilmu pengetahuan yang dimengerti dalam bentuk keabsenan cahaya. Setidaknya itulah yang diteorikan oleh Einstein, orang yang disinyalir sebagai orang paling jenius di dunia. Apa kau juga pernah merasakan kosong ini, prof?
Pernah sekali aku mendadak melankonlis, salah tafsir akan rindu sebagai obat paling mujarab dari kekosongan. Merasa jika ia adalah nabi yang menjawantahkan butir-butir gelap itu takkan kembali. Dan seperti biasa, aku salah, layaknya manusia lain. RIndu hanyalah bentuk lain dari kekosongan. Sebuah dialektika yang menggambarkan jika kosong juga butuh teman.
Ia disana, jauh di lubuk hati setiap manusia dan akan muncul ketika kekosongan sudah membutuhkan teman. Jika manusia sudah lupa bahwa kekosongan akan merenggut apapun yang ia punya, rindu adalah jawaban. Padahal tidak, rindu pun menggerogoti. Ia mematikan setiap sel yang peka terhadap aspek lain yang kita punya dalam hidup. Jika tidak menemui penawarnya, rindu hanyalah penyakit yang menyebabkan kebotakan dini. Jika tidak menemui tempatnya, rindu hanyalah penyebab kita menenggak minuman yang begitu banyak kala malam atau menghisap habis puntung rokok lebih banyak dari biasanya. Ia adalah bentuk penyakit dan peneman paling sunyi dari kekosongan.
Ingatlah jika malam, kekosongan yang menerpa bukanlah lawan. Ia teman yang kadang bisa jadi sarana paling baik untuk bercanda dan bercerita. Tetapi kembali lagi, terlalu lama dalam kekosongan hanya menyebabkan kita lupa bagaimana nikmatnya memiliki “rasa”. Seperlunya saja, karena Tuhan memang tidak pernah suka dengan apapun yang berlebihan. Bagaimanapun juga, kekosongan akan datang, baik kita siap maupun tidak.
0 notes
Quote
We live, We Die. Our hopes are going to the sky
Wordgenic
4 notes
·
View notes
Quote
Karena rindu yang tidak biasa, menghasilkan kita yang tidak kuasa
Wordgenic
0 notes
Text
Bi
Birama menuju tanda tanya yang memekakkan telinga Yang mengatasnamakan hujan sebagai penyalah berita Diantara tanda seru yang terbentang membelah sebagian mata Di sana hanya ada gaung abadi yang menyalahkan kita Yang sedang menjadi target cupid yang salah arah
Bi… Bilamana rerumputan bersahutan memanggil namamu Ia dibaiat rabi yang sedang kasmaran di sudut tergelapnya Yang terlupa merapal mantra untuk membaptis dunia Agar kodrat manusia berjalan sebagaimana mestinya Agar aku tak jadi pendosa karena lupa mengucap doa Dan menyebut namamu dalam ketidaksucian yang fana
Bi… Bicaralah padaku dalam bahasa yang kita berdua pahami Agar kita berdua dapat duduk bertatapan 24 jam lamanya Tanpa perlu khawatir pagi kan menjadi malam yang gelap Dan udara yang segar mendadak jadi lembap dan pengap Karena kita bercengkerama melewati batas spasi
Bi… Kau terpaut oleh waktu yang tak bergaris letaknya Absurditas hidup memaksa kita ‘tuk jadi tak nyata Ambiguitas garis hubung membutakan matamu dan aku Bahwa kita bukan lah Satu Bahwa kita terjerat permainan Tuhan akan rindu
Bi… Bicaralah padaku dalam gelapmu Katakan padaku Bisakah kau bersanding dalam paragraf yang ku tulis?
0 notes
Text
Hutan Penyanyi
Letak retak yang memuat hasrat Bersanding dengan wajah yang berkarat Bersenandung dibayangi geram dengan latah akan harap Di tempat terbaik dimana awan sudah tak bermajikan
Di sana kita menjadi yang tak bisa terjadi Berlabuh kepada ke sandaran yang tak terlabuh Berjinjit kepada nyata yang membuyarkan bayang peneduh
Kita disana letaknya, sayang… Di hutan penyanyi tempatmu tak lagi merasa asing Bisa terbayang menjadi penari yang merajai hari Menjadi penyanyi bersuara surga di musim kemarau Menjadi guru yang mengajar dengan keteguhan hati Letaknya tepat di sana…
Hingga kita tak lagi perlu bermain petak umpet dengan waktu petang Kita bisa puas berdansa dengan imaji yang menata masa depan Letaknya tepat di sana… Di dimensi tempat semua terasa sempurna
1 note
·
View note
Text
Gelagap (Kontemplasi Malam Gelap)
1 note
·
View note
Text
Buih Pagi
Dalam keterpaksaan yang menyilaukan mata
Gerak berjarak dalam kesepian membutakan
Ia bersekat, berperekat menawar harga kebahagiaan
Berbuih memarahi pagi yang menjadi sumber pengharapan
Menerima letak bersimbah peluh yang sudah sirna
Untuk ia...
Kamu...
Dia...
Kita...
1 note
·
View note
Quote
Sesederhana kata, sesederhana itu juga aku jatuh dalam perangkap rindu. Tak Berkesudahan. Seperti kamu.
@wordgenic
0 notes
Text
BIMBANG MENIMBANG
Gerakan dinamis tak menatap dalam gelap
Aku menakuti gagasan yang menghantui bak gemuruh
Bergelantungan di muatan besi berkerlip di pelabuhan kedua
Menyusun geraian rambut sebahuku di pipi pagi
Oh, Indah tak mungkin menutup diri
Kala aku menutup kerlip lampu berbohlam
Aku memandang kursi kosong di depanku bernyawa
Ku ajak bercanda untuk sejenak menenangkan getaran gelasku
Menghentikan kakiku yang sedari tadi bergerak tak menentu
Ah galaulah, jika memang itu sungguh perlu!
Tak perlu menyalahkan bumi yang tak bergetar atau langit yang menyilang
Agar kau dapat menahan malu yang mengepang di depan gugus gemilang
Sepihak dan menuntut untuk segera dihentakkan agar berdesing
Lalu tanpa banyak kata, segera menghilang
Butuh beberapa seruput kecil hingga aku akhirnya tenang
Meninggalkan toko berkelas yang dijadikan kedok
Agar dapat mengungguli pecundang kelas teri
Lalu mulai tersadar bila bimbang sudah mengambang
Menatap kita yang berargumen dengan riang
Lalu Aku menimbang lagi apa yang sudah hilang
Dari percakapan seharian yang selamanya bisa kita perdebatkan
Dan kita tak kunjung dapat menemukan gerak itu, detik itu
Atas alasan mengapa kita dipertemukan untuk tak saling tatap
Hanya berbisik lembut untuk mengerjapkan mantra intens
Kini sudah habislah cairan hitam itu berbuih di mulut kita
Perut yang mengembung tak lagi terbendung
Tak terselesaikan juga dialog di antara kita
Yang sudah menyentuh dini pagi yang menggumpalkan awan
Maukah kau berhenti? Aku tak becus menahan rindu
Setidaknya peluklah bayanganku
Agar aku bisa merasakan hangat atau raksi sekejap
Dari aroma kekalutan tubuhmu itu
Yang sudah memuai bersama bulir keringat seharian
Aku ingin merasakanmu dalam remang
Atau menggaulimu dalam terang benderang
Sehingga aku bisa moksa
0 notes
Audio
0 notes
Text
Kotak Kecil
Berkat alasan ini juga, saya mulai bergerak. Mencari inti dari hidup, yang bagi sebagian orang kadang cukup klise dan diremehkan. Tapi tidak bagi seorang saya. Hidup adalah sesuatu yang perlu dicari esensinya jika memang ingin terus hidup. Umur yang sudah menginjak kepala dua, menjadikan saya lebih dewasa untuk mencari arti hidup, yang lazim disebut Quarter Life Crisis bagi sebagian peneliti, atau seperti itu yang selama ini orang-orang di muka bumi ini yakini.
Bali adalah tempat pertama saya memulai ini semua. Ia adalah awal untuk mencari esensi, berbagi pada keheningan, dan merekam hangatnya orang-orang yang saling sapa satu sama lainnya. Sesuatu yang tidak pernah bisa saya temui di kota sepanas Batam. Menuju kesana dalam keadaan penuh keterbatasan bukanlah tujuan awal. Entah mengapa, kaki yang sudah lelah dengan pekerjaan yang menumpuk, kuliah yang begitu monokrom, membuat saya akhirnya nekad menuju pulau seribu pura ini.
Kuta, Mei 2013
Tidak banyak yang bisa saya harapkan dalam perjalanan awal saya ini. Perjalanan pertama saya di usia dua puluhan banyak saya habiskan dengan merenung pada keriuhan lorong-lorong sempit dan sesak dengan manusia di Poppies Lane. Cafe-café yang penuh dengan bule dan pribumi yang membaur menjadi satu, restoran minimalis yang dijejali orang-orang kelaparan, hingga wanita berpakaian minimalis yang ingin berpesta menghabiskan malam, menjadi pemandangan yang terekam di otak dengan jutaan sel milik saya ini.
Jika Dee pernah menyebutkan “badai serotonin” di dalam Supernova miliknya, maka ijinkan saya meminjam istilah itu untuk menggambarkan malam panjang di pinggiran pantai Kuta. Saya larut dalam malam yang dahsyat dan tidak bisa menggambarkannya dalam satu cerita. Jamur magis yang saya makan bersama mie instan malam ini, membuat saya hening. Saya berbicara pada kedalaman semesta, bertanya kepada diri sendiri tentang apa arti hidup, dan mengapa saya bisa sampai di sini. Semua tampak begitu jelas. Perasaan tertinggi hati saya menyuruh saya untuk berjalan dan terus berjalan, berhenti menanyakan berbagai hal. Saya tertidur pulas malam itu dalam tanda tanya.
Keadaan yang jauh berbeda malah saya temui saat siang hari. Poppies Lane yang liar itu, pada pagi hari terlihat keletihan karena malam yang panjang. Yang terlihat di pagi hari, tak lain adalah manusia-manusia biasa bermata telanjang dan melanjutkan hidup yang dinamis. Saya masih terus merenung, mencari tempat kontemplatif yang tidak bisa memalsukan senyum. Akhirnya saya memutuskan meninggalkan Kuta yang riuh, menuju Ubud yang menurut banyak orang sangat teduh.
Ubud, Mei 2013
Tidak seperti Kuta yang begitu penuh dengan keriuhan manusia yang berdesakan dengan peradaban kota, Ubud adalah sisi berbeda dari Bali. Ia adalah sudut kecil, tempat bersantai paling mujarab bagi orang-orang yang kelelahan dengan riuhnya kota. Jika di Kuta saya hanya akan menemukan paduan antara manusia, kota, dan pantai, maka di Ubud menyajikan perbedaan. Ubud memberikan saya pandangan baru, bahwa manusia, budaya, seni, alam, dan peradaban bisa berjalan berdampingan tanpa saling mengganggu. Sesuatu yang selama ini saya cari, dan akhirnya saya temukan di sini.
Galeri seni yang penuh dengan berbagai karya lukisan dan pahatan magis khas Bali, pertokoan padat yang ditata rapi, manusia yang berjalan kaki, pepohonan yang menghiasi pinggir jalan, adalah hal yang saya temukan di sepanjang perjalanan. Semuanya adalah seni di sini. Semuanya bergerak lewat bahasa yang sederhana dan bisa dimengerti oleh manusia – seni. Ubud adalah galerinya dan aspek yang berjalan di dalamnya adalah karyanya yang ditata sedemikian rupa membentuk pola yang rumit dan terus bergerak. Semua begitu indah.
Setelah bersantai sejenak, saya melanjutkan perjalanan singkat saya ke pinggir Ubud, sebuah tempat yang jauh dari keramaian dan bernama Gua Gajah. Lagi-lagi, saya disajikan tempat yang magis. Ubud tidak berhenti membuat saya kagum. Saya menyusuri jalan-jalan licin Gua Gajah yang tidak terlalu besar. Bunyi burung, candaan dalam bahasa Bali yang asing di kuping saya menjadi bebunyian indah yang mengusik telinga saya. Terduduk di Bale Bengong sambil menutup mata hanyalah satu hal yang bisa saya bayangkan untuk dilakukan di tempat ini.
Berjalan dan terus berjalan. Saya masih mengelilingi tempat ini dan betah berlama-lama di sini. Alam yang begitu teduh dan manusia yang khusyuk beribadah masih menjadi pemandangan khas yang bisa saya temukan di sini. Sekali lagi, agama dan alam yang menyatu belum pernah seindah ini. Setidaknya bagi seorang saya.
Kaki saya terhenti di depan sebuah pura mini di tengah hutan. Entah bagaimana, pura itu bisa dengan indahnya berdiri di sana. Di dalamnya, ada seorang Ibu tua yang sedang mempersiapkan sesajen miliknya dengan serius. Pandangan matanya yang sudah menua, tidak menyurutkan semangatnya untuk menyembah dalam keikhlasan kepada Sang Hyang Widi. Kebaya khas Bali dan Ende yang kelihatan sudah memudar warnanya menjadi bagian kasat mata yang bisa saya lihat. Terlihat sudah, hidup sudah menjadi hal lumrah yang dijalaninya setiap hari.
Kami mengobrol dalam bahasa yang dimengerti. Ia menjelaskan tentang kegiatannya sehari-hari, yang terdengar sangat indah di telinga saya. Beribadah sepanjang hari, menempuh jarak beberapa kilometer hanya untuk menuju pura ini. Dalam obrolannya, ia masih dengan serius membenahi sesajennya sambil meladeni saya yang kelihatan agak mengganggunya.
Tapi, tampaknya dia senang mengobrol, begitu pun dengan saya. Beberapa menit kami habiskan untuk berbicara tentang ketenangan yang saya dapatkan di Gua Gajah. Sampai di titik akhirnya saya terdiam, kembali bertanya kepada diri sendiri. Apakah saya bisa seikhlas beliau menjalani hidup? Saya sendiri masih meragukannya.
Akhirnya saya menemukan sebuah permulaan. Sosok yang penuh keikhlasan dalam menjalani hidup, membuat saya ragu untuk menghina hidup. Berkat hidup, saya bisa berjalan sampai sejauh ini, bertemu dengan Ibu tua yang sampai sekarang tidak saya ketahui namanya. Berkat hidup, saya juga bisa bertemu dengan Ubud, tempat yang sangat kontemplatif.
Akhir dua puluhan adalah angka pasti. Angka di mana saya akan kembali, ke Bali. Sebuah tempat koheren untuk hidup. Menjalani hidup. Awal dan mula di suatu kotak kecil, dimulai dari tempat, sosok, dan alam yang mempesona. Kotak kecil yang utuh itu tersusun rapi di Ubud.
0 notes
Text
Steak Murah Rasa Menggugah di Abuba Steak - Bandung
Sekilas, jika melihat dari depan, tidak ada yang terlalu “wah” dari tempat ini. Karena warna hijau dominan dari Abuba Steak tidak mencolok di antara keremangan malam atau juga terangnya siang. Namun ketika kita masuk ke dalam, kita akan menemukan desain interior khas dari Abuba Steak yang minimalis tetapi menarik. Ada taman mini di dalam tempat ini yang membuat suasana terkesan “alami”. Belum lagi meja bar yang didekorasi dengan aksen rumput. Pihak manajemen dari Abuba Steak seakan memberikan kesan steik yang disajikan langsung dari hewan ternak di balik dapurnya. Selain itu, di dinding-dinding juga terpajang dengan apik bermacam-macam poster yang “nyeleneh” bertemakan steik. Unik dan terkadang malah membuat pengunjung bisa sedikit tersungging kecil dengan tulisan-tulisan yang ada di dalamnya.
Saya memesan Tenderloin dari sapi lokal dengan tingkat kematangan medium to rare seharga Rp 53.000,00 dan Ice Age Meltdown yang merupakan campuran sprite yang diblender bersama daun mint sebagai minumnya seharga Rp 15.000,00 (yang katanya merupakan minuman yang banyak dipesan di Abuba). Sedangkan pacar saya memesan New Zealand T-Bones Steak dengan tingkat kematangan yang sama dengan saya seharga Rp 80.000,00 dan teh tawar panas seharga Rp 3.000,00.
Untuk tenderloin, rasa daging cenderung lebih juicy dibanding restoran steak yang ada di Malang. Untuk harga pun, lebih ekonomis dan ukuran jauh lebih memuaskan. Sedangkan untuk T-Bone, rasa daging cenderung lebih gurih dikarenakan lemak pada daging lebih banyak. Untuk minuman Ice Age Meltdown yang saya pesan, sangat disukai pacar saya (saya malah tidak suka) karena ada perpaduan dari daun mint dan sprite yang unik ketika diminum. Untuk teh tawar rasa sama saja seperti umumnya.
Pelayanan di Abuba Steak cukup menyenangkan, pelayannya ramah dan cepat tanggap dengan kebutuhan konsumen. Pesanan yang datang pun sesuai dengan yang diorder. Selain itu, waktu penyajian dari makanan dan minuman cukup cepat, dalam hitungan menit semua pesanan sudah tersaji di depan mata.
Jika dibandingkan dengan Abuba Steak Jakarta, variasi menu di cabang Bandung jauh lebih beragam. Misalnya, di cabang Bandung terdapat menu steik-steik lokal dengan ukuran yang lebih kecil (125-150gr). Selain itu, harga minuman di cabang Bandung sedikit lebih murah daripada pusatnya yang di Jakarta. Rasa khas Abuba tetap terjaga, namun sayang di cabang Bandung makanan yang disajikan kurang panas (tersaji dalam kondisi hangat), denga saos yang cenderung dingin. Padahal jika tersaji dalam kondisi panas, rasa dari steik akan lebih keluar. Selain itu, saos barbeque yang biasanya ditaruh dibotol pusatnya di Jakarta, di sini tidak ada.
Secara keseluruhan, Abuba Steak cukup recommended untuk temen-temen traveler yang ingin merasakan sensasi steik dengan biaya dibawah Rp. 100.000,00. Untuk teman-teman yang kebetulan berdomisili di Jakarta, dapat mengunjungi Abuba di berbagai cabang, ada di Cipete untuk pusatnya, Kelapa Gading, Bintaro, dan masih banyak lagi. Untuk yang sedang berada di Bandung, bisa mencoba ke Abuba Steak di Jalan Prabu Dimuntur ini.
0 notes
Text
Melasti yang Menenangkan Hati
Sesampainya disana, kami memesan minuman untuk sekedar mendapatkan tempat beristirahat setelah sebelumnya kami berkunjung ke Tanah Lot yang jaraknya cukup jauh. Sore hari di Sanur ternyata cukup penuh sesak dengan pengunjung. Wajar saja, hari itu adalah hari sabtu sore. Menurut penuturan dari salah satu penjual jagung bakar yang ada di sekitar, setiap malam minggu Sanur memang dipenuhi oleh muda-mudi yang berpacaran. Harus saya akui, sore di Sanur sungguh indah. Jadi, wajar saja banyak pasangan yang ingin menghabiskan waktunya disini. Selain menikmati pantainya, kita juga dapat mencoba ke Nusa Lembongan dan Nusa Penida yang tersohor itu dengan menggunakan ferry. Tapi karena budget yang sudah semakin menipis, kami mengurungkan niat kesana. Mungkin lain kali, deh.
Ada yang menarik perhatian saya ketika berjalan di pinggiran pantai Sanur dengan pasir putihnya. Ternyata, sewaktu itu sedang diadakan Upacara Melasti yang dilaksanakan oleh pemeluk agama Hindu di Bali. Saya terkesima. Baru kali ini saya menyaksikan ritual seperti ini di depan mata saya. Ritual yang dilaksanakan tersebut cukup menarik. Karena para pemeluk Hindu yang bersembahyang, melarungkan sesajen yang telah mereka bawa dari rumah ke laut. Yang membuat saya sungguh iri, mereka datang bersama dengan keluarganya masing-masing. Ternyata di Bali, ibadah, alam, dan suasana kekeluargaan tak bisa dipisahkan. Hal ini yang membuat penduduk asli Bali senantiasa ramah kepada para wisatawan. Karena memang, mereka terbiasa dengan suasana kekeluargaan yang kental sekali.
Menurut informasi yang saya dapatkan, Upacara Melasti ini adalah upacara yang dilakukan sebelum jatuhnya hari raya Nyepi. Tujuan dari upacara ini adalah sebagai simbol penyucian diri dan jagat raya. Upacara ini dilakukan di tepi laut, karena Umat Hindu percaya bahwa laut dapat menetralkan energi negatif yang selama ini melekat di tubuh. Saya yang menyaksikannya tidak enak menggangu keberlangsungan upacara ini. Karena itu, setelah merasa cukup mendapatkan foto dan informasi, saya pun meninggalkan para pemeluk Hindu ini untuk menjalankan kewajibannya dengan khidmat. Jiwa saya ikut terasa tenang sekali menikmati upacara yang hanya sejenak saya singgahi ini. Mungkin, energi negatif yang berada di jiwa saya ikut terbersihkan? Entahlah.
Terlebih dari itu, saya sungguh salut dengan keberadaan upacara-upacara serupa di Bali. Para penduduknya memegang erat sekali budaya dan juga menjaganya dengan sangat baik. Walau budaya barat sudah cukup kental merasuk di Bali, tapi konsepsi budaya dan agama di Bali tidak luntur. Yang terjadi selanjutnya adalah tercipta akulturasi budaya yang apik dan berjalan berdampingan, tidak saling menjatuhkan satu sama lain.
0 notes
Audio
0 notes
Text
5 Tempat Wisata yang Wajib Dikunjungi Sebelum Keluar Negeri
1. Raja Ampat, Papua
Raja Ampat yang terletak di bagian timur Indonesia ini, memiliki keindahan alam berbentuk pantai dan lembah-lembah yang sangat asyik untuk dieksplorasi. Baik bersama pasangan, keluarga, atau teman-teman. Bahkan tak jarang, banyak kita temui orang-orang yang berlibur sendirian mencari ketenangan di pantai-pantai yang bersih di pulau-pulau di Raja Ampat. Tak kurang dari 610 pulau yang terdapat di Kepulauan Raja Ampat yang dapat kita pilih untuk jelajahi. Bahkan kita sudah dapat menemui banyak resor atau penginapan ketika berlibur disana. Sehingga kita tidak perlu khawatir lagi dengan urusan penginapan. Untuk menuju kesana, akses transportasi yang digunakan juga sudah cukup mudah. Sudah ada penerbangan menuju ke Raja Ampat tiap harinya. Sedangkan untuk menjelajahi pulau-pulau di Raja Ampat, kita dapat menggunakan kapal-kapal yang dapat disewa dari penduduk sekitar. Pengalaman yang berbeda dan pemandangan yang luar biasa indah akan kalian temukan di tempat ini. Jadi, jangan lupakan kamera kalian untuk memotret keindahan Raja Ampat.
2. Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau
Masih banyak yang belum mengetahui jika di Provinsi Kepulauan Riau terdapat kepulauan yang tak kalah indahnya dengan Raja Ampat di Papua. Kepulauan tersebut bernama Kepulauan Anambas. Saya sendiri yang anak asli Kepulauan Riau, baru "ngeh" dengan tempat ini. Kepulauan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga ini menyuguhkan keindahan bahari yang sungguh menakjubkan. Bahkan Kepulauan Anambas dinobatkan sebagai Pulau Tropis terindah di Asia oleh CNN beberapa waktu yang lalu. Hal ini tentu saja tidak muluk-muluk. Mengingat keindahan pantai-pantai dan pemandangan yang bersih di Anambas memang sungguh indah. Untuk mencapai kesana, kita dapat menggunakan alternatif transportasi udara dan juga laut. Sedangkan untuk penginapan, di Anambas sudah cukup banyak pilihan penginapan yang dapat dijadikan alternatif ketika kita berlibur kesana. Untuk menjelajahi puluhan pulau di Anambas, kita dapat menyewa perahu yang disediakan dengan biaya yang cukup terjangkau. Selain itu, jika kamu berencana untuk melakukan foto pre wedding atau foto perpisahan bersama teman-teman, tempat ini adalah alternatif yang tidak boleh dilewatkan.
3. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur
Tidak perlu jauh-jauh ke Afrika untuk menikmati keindahan padang rumput yang indah dengan dominasi warna hijau kekuningan dan fauna khas padang rumput. Indonesia juga memilikinya, tepatnya di Taman Nasional Baluran. Taman Nasional ini terletak di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Selain menawarkan keindahan padang rumput yang luas nan indah , kita juga dapat menemukan banyak sekali jenis fauna unik di tempat ini. Kita dapat menemukan ayam yang dapat terbang, hingga kadal berbentuk aneh. Di Taman Nasional Baluran ini, kita harus berhati-hati. Karena monyet-monyet di tempat ini tidak kalah nakalnya dengan monyet-monyet di Monkey Forrest, Bali. Jika tidak hati-hati, barang kita bisa-bisa jadi objek rampasan. Tempat ini juga menawarkan lokasi dengan pemandangan sunrise atau matahari terbit yang indah. Untuk itu, disarankan kita datang pagi-pagi sekali ke tempat ini. Jika keadaan sudah mulai lelah, kita bahkan dapat bersantai sejenak di pantai yang letaknya tidak terlalu jauh dari padang rumput yang dibicarakan di atas. Musim terbaik untuk mengunjungi tempat ini adalah antara bulan Maret-Agustus tiap tahunnya.
4. Gunungkidul, Yogyakarta
Yogyakarta sudah cukup lama terkenal sebagai Kota Budaya dan Kota Pelajar. Namun siapa sangka, ternyata Yogyakarta juga memiliki keindahan alam yang menakjubkan. Salah satu tempat dengan berbagai keindahan alam tersebut adalah di Gunungkidul, sebuah kabupaten di Provinisi Yogyakarta yang dapat ditempuh dengan kendaraan darat selama 2 jam dari pusat Kota Yogyakarta. Di Gunungkidul, kita dapat menemukan banyak sekali pantai. Mulai dari Pantai Baron yang memiliki campuran air laut yang asin dan tawar, hingga Pantai Indrayanti yang melankonlis. Ada lebih dari 10 pantai yang dapat kita jelajahi pantainya di tempat yang masih asri ini. Selain itu, jika kita sudah mulai bosan dengan pantai-pantai yang ada (walaupun sebenarnya sangat indah), kita dapat mencoba cave tubing di Goa Pindul. Goa yang terkenal melalui serial video internet “Jalan Jalan Men” ini, dapat menjadi alternatif liburan bersama keluarga, teman-teman, maupun pasangan. Kita dapat menikmati indahnya stalagtit dan juga stalagmit yang dipenuhi air dengan kedalaman hingga lebih dari 5 meter ini sambil berkontemplasi dengan diri sendiri. Saya sendiri bahkan sampai sudah 2 kali ke Goa Pindul, dan tidak pernah bosan dengan keindahannya. Perpaduan wisata alam dan spiritual yang menanti untuk dijelajahi.
5. Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur
Destinasi bahari di Indonesia tidak akan pernah ada habisnya. Salah satu keindahan tersebut dapat tercermin di Pulau Derawan yang berada di Pulau Kalimantan, Pulau yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia dan Brunei Darussalam. Untuk sampai ke pulau ini, kita harus menempuh tiga jalur: darat, udara, dan laut. Perjalanan yang panjang menjadi tantangan sendiri untuk mencapai pantai-pantai indah di Kepulauan Derawan. Di Derawan sendiri terdapat 3 pulau besar yang dapat kita jelajahi, yaitu Pulau Maratua, Pulau Derawan, dan Biduk Biduk. Secara keseluruhan, kita dapat menemukan pantai pantai berpasir putih dengan laut yang bersih nan jernih. Keunikan pantai-pantai di tempat ini adalah, perpaduan pantai dan budaya yang kental sekali. Untuk menikmati perpaduan budaya dan keindahan alamnya, kita dapat mencoba menginap di penginapan yang berbentuk rumah khas Kalimantan yang menghadap langsung ke arah laut di tempat ini. Selain pantai pantai indah, di Kepulauan Derawan juga terdapat konservasi alam untuk penyu sisik dan penyu hijau yang sudah sangat langka, hutan bakau, hingga penangkaran bagi spesies laut lainnya. Kita dapat menikmati diving atau snorkeling di laut yang bersih dan bebas dari sampah di tempat ini. Cocok bagi kamu yang senang berenang bersama ikan karang dan juga fotografi bawah laut. Saya sendiri ingin sekali ke tempat ini jika memungkinkan.
Berikut tadi adalah 5 tempat wisata "wajib" dikunjungi sebelum kamu berangkat ke luar negeri. Tidak ada salahnya kita membanggakan tempat wisata Indonesia dahulu sebelum kita berbangga ria karena sudah keluar dari Indonesia.
(Foto : Berbagai Sumber)
3 notes
·
View notes
Text
Bromo yang Berbisik
Beberapa waktu yang lalu saya bersama beberapa teman berkesempatan untuk mengunjungi Gunung Bromo yang sudah terkenal sekali namanya. Ini kali kedua saya akan menginjakkan kaki di gunung suci bagi Suku Tengger ini. Dan untuk kali ini, saya menggunakan sepeda motor bersama teman-teman lainnya. Sekedar ingin mencoba sensasi berbeda dalam menikmati Bromo dari atas roda dua.
Perjalanan kami pun dimulai pukul 1 pagi dari Kota Malang. Saat itu adalah malam minggu dan jalan sedang ramai, tidak seperti hari biasa. Jalanan bukan dipenuhi hanya oleh kendaraan-kendaraan wisata, namun juga dipenuhi oleh pembalap liar di sisi jalan. Kami terpaksa harus membatasi kecepatan agar tidak mengganggu mereka (Cukup aneh ya? Padahal mereka yang harusnya mengalah). Untungnya, perjalanan berjalan cukup lancar dan dapat ditempuh dalam waktu 3 jam untuk sampai ke pintu gerbang Bromo. Ya, itu baru sampai pintu gerbangnya saja. Sedangkan untuk mencapai ke kawah Bromo, kita harus menempuh perjalanan tambahan lagi selama 45-60 menit dari pintu gerbang tersebut. Tiket masuk ke Bromo adalah Rp 25.000,00 sudah termasuk biaya masuk motor ditambah orang yang berada di atasnya. Jadi, siapkan uang sejumlah itu jika anda akan menanjak menuju Bromo menggunakan sepeda motor seperti saya dan teman-teman.
Karena hari ini adalah weekend, tentu saja Bromo dipenuhi oleh berbagai macam orang, baik lokal maupun mancanegara. Saya sempat berbincang dengan salah satu traveler asal Prancis di tempat ini. Seperti yang sudah saya duga, ini bukan kali pertamanya ia ke Bromo. Ia menjadi salah satu dari sekian banyak traveler yang jatuh cinta dengan pesona bromo layaknya saya. Selain dengan keindahannya, kita yang sudah pernah menikmati Bromo pasti akan jatuh cinta juga dengan keramahan penduduk asli lereng Bromo.
Kami sampai di lereng Bromo sekitar pukul 4 pagi. Untuk mengejar sunrise, teman-teman saya akhirnya terpaksa harus meninggalkan saya untuk menuju ke kawah karena saya tidak kuat menanjak (mungkin saya kurang olahraga). Tapi saya tidak mau kalah. Karena sudah kepalang basah, akhirnya saya menyusuri juga jalan menuju ke kawah, langkah demi langkah. Saya beberapa kali berhenti di sudut-sudut penanjakan. Bukan hanya karena kecapaian, tapi juga karena terperangah dengan wujud gunung bromo dan batok yang ada di depan mata saya. Sementara mata saya dimanjakan dengan pemandangan yang sangat indah, telinga saya diusik dengan bunyi angin yang ada di Bromo yang sekilas bersuara seperti orang yang berbisik. Mungkin inilah yang menyebabkan banyak orang menyebut Bromo dengan sebutan “gunung pasir berbisik”. Saya jatuh cinta berkali-kali hari itu, dengan gunung yang entah siapa pemiliknya.
Sesampainya di puncak Bromo, pemandangan yang ditawarkan ternyata sebanding dengan effort yang saya lakukan. Setelah melalui 250 anak tangga (walau saya belum sempat menghitungnya), bebauan khas kawah langsung tercium di hidung besar saya. Bau balerang menyeruak dan menyebabkan pusing. Karena itu, saya tidak menghabiskan waktu lama disana. Saran saya untuk traveler yang ingin ke Bromo, bawalah masker dari rumah atau beli dari penjual yang ada di sekitar penanjakan untuk dapat berlama-lama di sekitaran kawah. Waktu paling lama yang disarankan berada di kawah ini adalah satu jam. Setelahnya, lebih baik kita segera turun. Karena efek belerang akan mulai membuat kita semakin pusing di kawah ini.
Jika kita memiliki uang lebih dan tidak ingin berpeluh ria untuk berjalan ke kawah, kita dapat menyewa kuda di sekitaran penanjakan menuju kawah. Harga yang ditawarkan berkisar antara Rp 30.000,00 sampai Rp 100.000,00. Harga tersebut dapat berkurang jika kita pintar menawar. Sedangkan untuk oleh-oleh, tidak ada salahnya kita membeli bunga edelweiss yang ditawarkan oleh pedagang yang berada di area wisata ini. Harga yang ditawarkan berkisar antara Rp 15.000,00 Rp 50.000,00 tergantung bentuk dan banyaknya bunga yang kita beli.
Perjalanan kali ini saya tutup dengan menikmati padang pasir Bromo yang menghitami badan saya. Sebuah pengalaman berbeda akan kita dapatkan dengan kendaraan yang berbeda pula. Gunung Bromo adalah tempat yang cocok itu. Selain itu, jika anda adalah penikmat udara dingin dibalut dengan keramah tamahan khas gunung, Gunung Bromo perlu menjadi salah satu tujuan wisata untuk tahun depan. Gunung yang sungguh kontemplatif, namun terlalu riuh bagi penyuka kesunyian seperti saya ini.
0 notes