Semoga menjadi pribadi yang selalu berusaha untuk senantiasa memperbaiki diri.
Last active 3 hours ago
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
yang sering kita lupa,
adalah bahwa kita tak akan selalu diberi pengingat.
beberapa diberi waktu untuk berubah.
beberapa hanya diberi waktu untuk pergi.
dan kita—dengan segala logika dan rencana hidup yang kita banggakan—
terus menunda untuk ingat.
terus menunda untuk sadar.
terus menunda untuk pulang.
sampai sesuatu yang kita cintai hilang.
sampai sesuatu yang kita genggam dicabut.
sampai yang kita anggap biasa… jadi tidak ada lagi.
kenapa harus yang mahal dulu?
karena kita seringkali tak terguncang oleh yang sederhana.
karena yang ringan terlalu mudah dimaafkan, terlalu mudah dilupakan.
karena kita baru benar-benar mendongak ke langit
saat bumi di bawah kaki kita retak.
lalu kita menangis
bukan karena tak tahu,
tapi karena terlalu lama pura-pura tidak tahu.
dan waktu,
tak selalu menunggu kita selesai menangis.
22 notes
·
View notes
Text
Segala perkara keduniaan, kita hanya disuruh berjalan. Namun perkara menghamba, kita diperintah untuk berlari. Tapi kenapa, ya, yang terjadi justru kebalikannya? Kita lincah sekali dalam urusan dunia, serba cepat, serba tangkas. Sementara dalam urusan akhirat, kita selalu bilang “nanti,” atau bahkan merasa sudah cukup dengan apa yang ada. Padahal, seorang hamba tidaklah pantas meletakkan kehendak dunianya lebih tinggi dari kehendak Tuhannya. Ibnu Al-Qayyim rahimahullaahu pernah mengatakan bahwa dunia itu ibarat bayang-bayang: jika kita kejar, ia justru semakin menjauh, namun jika kita berpaling, ia tak punya pilihan selain mengikuti. Kita terjebak, berlari mengejar sesuatu yang tak bisa kita genggam, padahal mungkin, yang kita butuhkan hanyalah berhenti, dan biarkan bayang-bayang itu mengikuti kita tanpa kita harus bersusah payah.
Bukankah kita sudah sering mendengar bahwa yang berharga itu bukanlah apa yang kita kejar, tetapi apa yang kita tinggalkan? Dunia ini tak akan lari, ia akan selalu berada di sana, menunggu kita untuk melepaskan diri dari belenggunya.
Berpalinglah, kata Ibnu Al-Qayyim. Karena hanya dengan berpaling, dunia akan datang dengan sendirinya, tak dapat tidak. Bayang-bayang itu hanya akan mengikuti kita, jika kita berhenti mengejarnya. Bukankah itu ironis? Kita terjebak dalam kebingungannya, mengira bahwa dengan mengejar dunia kita akan lebih dekat pada kebahagiaan, padahal kebahagiaan sejati justru datang saat kita berhenti mengejarnya.
Kita adalah hamba yang terbuai dengan angan, yang terus berlari mengejar bayang-bayang, padahal yang kita cari justru berada dalam setiap langkah kita yang penuh ketenangan, dalam setiap helaan nafas yang penuh kepasrahan. Kita lupa bahwa dunia tak pernah bisa memberi ketenangan, hanya Allah yang dapat memberikannya. Maka berlarilah, jika memang harus berlari—tapi berlarilah menuju-Nya, bukan menjauh.
26 notes
·
View notes
Text
Dan percayalah, ada malaikat yang mencatat air mata yang tak sempat ditampakkan. Ada Dia yang mendengar nama seseorang yang kamu sebut dalam doa, tapi tidak pernah tahu bahwa dirinya kamu doakan. Ada pahala yang datang dari diam yang menahan diri.
Tak semua harus tahu isi hatimu.
Cukup Allah. Dan itu, kadang, lebih dari cukup.
22 notes
·
View notes
Text
Lucu juga, ya. Semakin aku sibuk mengejar dunia, semakin jauh rasanya dari ketenangan. Seperti mengejar bayangan sendiri di tengah senja—capek, tapi tak pernah benar-benar sampai. Sampai akhirnya aku paham, mungkin hidup yang benar bukan tentang jadi siapa-siapa. Tapi jadi manusia yang tahu diri. Yang sadar bahwa detik adalah kemewahan, dan hari ini... bisa saja kesempatan terakhir untuk berubah, sebelum semuanya jadi kenangan yang tak sempat dibetulkan.
29 notes
·
View notes
Text
Aku tak bisa membayangkan itu semua kecuali rasa takut yang kemudian menjalar ke seluruh tubuh. Nasihat terbaik memang kematian. Ia tak pernah berteriak, tapi pesannya selalu sampai. Kadang datang lewat kabar duka, kadang lewat keheningan yang mendadak asing di kamar sendiri.
Aku mulai percaya, barangkali tugas kita di dunia ini bukan untuk menang, bukan pula untuk jadi paling kuat atau paling benar. Tapi untuk pulang... dalam keadaan tak terlalu kotor. Dengan hati yang meski pernah robek dan nyaris patah, tetap berusaha utuh. Tetap memilih memaafkan, meski luka-lukanya belum sempat dijahit. Tetap memilih diam, padahal kata-kata balasan sudah lama mengantri di ujung lidah. Tetap memilih berdoa, meski kita tak pernah tahu: doa mana yang sampai lebih dulu, dan luka mana yang didengar terakhir.
Maka kalau pun besok tak sempat lagi membuka mata, semoga aku tak sedang sibuk menyimpan marah. Semoga aku sedang dalam perjalanan memberi, memaafkan, atau setidaknya berusaha menjadi lebih lapang.
Dan barangkali, kejujuran paling suci adalah saat kita mengakui: kita ini cuma mampir. Maka jangan sombong. Jangan pelit kebaikan. Jangan lupa pulang.
16 notes
·
View notes
Text
Memilih teman dekat itu bukan perkara sepele. Sebab teman, pelan-pelan, bisa mengubah cara kita memandang dunia. Mengubah arah langkah kita, bahkan ketika kita tak sadar sedang digiring perlahan.
Kita tak butuh teman yang selalu sama. Tapi kita butuh teman yang sejalan. Yang kalaupun jalannya berbatu, dia tahu ke mana arah yang ingin dituju. Teman yang kalau kita lelah, tak memaksa untuk terus berlari, tapi ikut duduk, menepi, dan mendoakan dari hati.
Tak apa menyaring. Tak apa menjaga jarak. Karena menjaga diri juga bagian dari mencintai diri sendiri. Dan jika harus menyendiri sementara waktu, bukan berarti kamu kalah. Tapi bisa jadi, itu cara Allaah mengajakmu menata ulang. Supaya nanti, ketika teman yang tepat datang, kamu sudah siap berbagi hati—dengan utuh, bukan dengan sisa-sisa.
Karena pertemanan yang baik, tak harus sempurna. Cukup yang saling mendoakan. Yang saling mengingatkan, dengan cara yang tidak membuat kita merasa kecil, tapi justru membuat kita ingin jadi lebih baik.
Hidup ini singkat. Teman yang baik adalah mereka yang mengingatkan tentang yang kekal, bukan sekadar menemani yang fana.
40 notes
·
View notes
Text
Esok hari, berhentilah jadi pelancong di kehidupan orang lain. Mereka punya musimnya sendiri, begitu pun kamu. Tidak semua bunga mekar bersamaan, dan tidak semua luka harus dipamerkan agar dianggap nyata.
Kadang, kamu terlalu sibuk mengukur langkahmu dengan penggaris orang lain. Padahal, hidup bukan perlombaan lari, tapi semacam perjalanan pulang. Kadang berhenti. Kadang justru yang diam lebih tahu arah.
Jangan buru-buru ingin punya semua. Kadang yang paling kita butuhkan bukan pencapaian besar, tapi dada yang tidak sesak saat bangun pagi. Atau tawa kecil yang muncul tanpa alasan. Itu pun sudah cukup jadi bentuk syukur yang khusyuk.
Dan jangan takut kalau hidupmu terlihat biasa-biasa saja. Hidup yang tenang, yang tidak selalu dijelaskan ke siapa-siapa, justru kadang lebih utuh.
Esok hari, peluk dirimu. Dengan hangat. Katakan pelan: “Pelan-pelan saja, ya. Yang penting tetap berjalan.”
Karena yang paling tahu perjuanganmu, bukan algoritma, bukan orang asing yang datang dan pergi di linimasa, tapi kamu. Dan Tuhan, tentu saja.
:)
32 notes
·
View notes
Text
aku pernah menulis puisi
di atas struk belanja
lalu menangis
karena tak mampu membeli
semua yang ibu suka
aku pernah meyakini bahwa kerja keras
akan membawamu ke tempat terbaik
sampai kusadari
tempat terbaik
kadang hanya seonggok lantai mushola
yang sunyi dan nirmala
aku pernah menolak mencintai siapa-siapa
karena takut
mereka tak tahu
betapa beratnya
hidup tanpa pertolongan-Nya
aku pernah diam lama sekali
di depan kaca
dan bertanya:
siapa yang kau lawan hari ini?
dunia?
—Dalam buku “Dunia Tak Pernah Benar-Benar Milik Kita” (coming soon, insyaa Allaah, mohon do'anya ya)
44 notes
·
View notes
Text
Aku berlindung kepada Allah dari keputusasaan yang diam-diam tumbuh di dada, dari kecewa yang tak sempat kusebut namanya, dari keramaian yang membuatku merasa sendirian, dan dari cinta yang hanya membuatku jauh dari-Nya.
:)
133 notes
·
View notes
Text
“Perbaikilah hubunganmu dengan Allah. Maka kau akan tercukupi dari segala sesuatu.”
Syaikh Shalih Ushaimi Hafizhahullaah
158 notes
·
View notes
Text
Tidak ada “selamat pagi” di Gaza.
Yang ada:
“Apakah kamu masih hidup hari ini?”
Serangan datang seperti musim.
Ia tak pernah lupa jalan pulang.
Dan para pelakunya—
duduk nyaman
di ruang kendali berpendingin udara,
menyebut “collateral damage”
untuk bayi tujuh bulan
yang bahkan belum sempat menyebut “ibu.”
Tapi Gaza tak patah.
Ia tak ditaklukkan oleh dentuman,
juga tidak luluh oleh ratap.
Ia adalah tanah
yang tahu cara mencintai,
meski terus dihujani benci.
Ia adalah puisi
yang ditulis dengan air mata,
dan dibacakan dengan nyali.
Ada yang berterbangan di langit sana—
dan itu bukan burung.
Itu adalah semangat
yang tak sempat tumbuh dewasa.
Itu adalah cinta tanah
yang dipelajari lewat reruntuhan
dan rerongga.
Itu adalah syahid
yang tak dicatat dunia,
tapi langit menghafalnya
dengan nama-nama mulia
yang hanya disebut dalam doa.
Dan untuk pelakunya—
semoga bumi dan langit
sepakat menutup pintu.
Semoga nama mereka
tak pernah ditulis di batu,
tapi diluruhkan dari sejarah,
seperti debu
yang digugurkan dari sajadah.
Karena Gaza,
meski berdarah,
adalah puisi panjang
yang dituliskan oleh Allah
di kitab-Nya
untuk mereka yang pulang tanpa suara,
tapi disambut surga.
Dan di akhir baitnya—
akan ada surga
yang membuka gerbang selebar pelukan ibu
untuk mereka
yang tak pernah meminta apa-apa,
selain:
izin untuk pulang.
--Ba’da Subuh, saat langit belum sepenuhnya terang--
6 April 2025
36 notes
·
View notes
Text
Berulang kali jatuh bukan berarti lemah, mungkin itu cara Allah menguatkanku. Karena dunia memang bukan tempat paling nyaman untuk jiwa yang halus. Tapi selama masih ada yang bisa kudoakan, aku tahu—aku belum benar-benar kalah.
:)
134 notes
·
View notes
Text
asy syaikh dr. shalih al-ushaimiy hafizhahullaah telah berkata:
“..jangan memberatkan diri dengan memikirkan sesuatu yang belum terjadi, dan tanamkanlah dalam hati kalian keimanan kepada Allaah serta apa yang telah Dia takdirkan dan syariatkan. memikirkan sesuatu yang tidak ada hanya akan melemahkan jiwa, sedangkan mengisi hati dengan keimanan adalah penyembuh luka..”
51 notes
·
View notes
Text
Hai, hati. Bukankah kasih sayang Allaah ﷻ jauh lebih pantas memenuhi rongga-ronggamu? Kenapa masih berharap pada makhluk yang fana, yang datang dan pergi sesuka hati?
Hai, hati. Bukankah kau tahu, manusia adalah kumpulan rasa yang rawan? Mereka datang dengan manis, pergi dengan getir. Tapi Allaah? Ah, kasih sayang-Nya tak pernah pakai syarat. Kau datang dalam dosa sebesar gunung pun, pintu-Nya selalu terbuka, seluas langit yang kau pandangi saat rindu menggigil di dadamu.
Hai, hati, kau ini seperti pengembara yang meneguk air laut saat dahaga, mengira akan lega, tapi justru semakin haus, semakin hampa.
Cinta-Nya adalah jaminan, bukan sekadar perasaan yang naik turun mengikuti musim. Dekatlah kepada-Nya, niscaya kau akan tahu, bahwa seindah-indahnya perhatian manusia, tetap saja ia tak sebanding dengan sejuknya pelukan keimanan.
Jadi, hati, berhentilah mendekap luka yang kau buat sendiri. Bukankah lebih baik mengisi ronggamu dengan sesuatu yang tak akan pernah meninggalkanmu dalam kesepian?
:)
70 notes
·
View notes
Text
Pernahkah kita berpikir, bahwa harga sebuah pengingat yang Allaah berikan itu mahal sekali?
Bukan hanya teguran dari mulut manusia yang sering kita acuhkan, tapi juga lewat kehilangan, kesedihan, dan luka yang perlahan menyelinap tanpa kita sadari.
Sering kali, kita baru benar-benar ngeh setelah pukulan itu keras. Saat satu-satunya harapan yang tersisa hanyalah Allaah. Bukan teman, bukan pula rencana-rencana dunia yang begitu kita elu-elukan.
Allaah bukan ingin menyakiti, tapi mengajak kita kembali. Seringkali, kita baru membuka mata saat ujian memaksa kita untuk diam, mengosongkan hati dari segala yang fana. Dan ketika dunia terasa rapuh, kita baru ingat untuk berdoa, ketika tak ada lagi yang tersisa selain keyakinan pada-Nya.
Jadi, seberapa mahal harga sebuah pengingat? Kadang, harganya adalah air mata. Kadang, harganya adalah kehilangan. Tapi satu hal yang pasti, itu jauh lebih murah dibanding harga sebuah kelalaian.
65 notes
·
View notes
Text
Ya Rabb, selamatkanlah aku dari kekhawatiran yang jauh lebih besar daripada mengimani kuasaMu atas segala sesuatu.
Sebab yang sering membebani bukan kenyataan itu sendiri, melainkan ketakutan yang kita besarkan dalam kepala. Kita mengaku percaya pada-Nya, tetapi masih sibuk menyusun skenario buruk, seolah-olah segala sesuatu bergantung pada kecemasan kita.
Padahal, bukankah iman menuntut kepasrahan? Bukan dalam arti menyerah tanpa usaha, melainkan keyakinan bahwa tak ada yang luput dari pengaturan-Nya. Bahwa sekeras apa pun kita menggenggam kendali, hidup tetap berjalan menurut kehendak-Nya, bukan kehendak kita.
Maka, mengapa membiarkan kekhawatiran tumbuh lebih besar daripada keyakinan? Mengapa memberi ruang bagi kegelisahan yang hanya menggerogoti ketenangan? Bukankah tugas kita bukan menebak masa depan, melainkan menjalani hidup dengan sebaik-baiknya—dengan hati yang yakin, bukan pikiran yang terus berprasangka?
Ya Rabb, cukup. Selamatkan aku dari beban yang tak perlu, dari kekhawatiran yang tak sepatutnya berkuasa, dan dari diri sendiri yang kerap lupa bahwa hanya di tangan-Mu segala kepastian bermuara.
29 notes
·
View notes
Text
Lepaskan genggamanmu dari ilusi yang kamu ciptakan sendiri. Bukan tugasmu meraba-raba kepastian yang sudah ditetapkan-Nya. Sebab sekeras apa pun kamu menata kemungkinan, masa depan tetap berjalan di luar kuasamu.
Kita ini sering kali berlagak sutradara dalam film yang naskahnya bahkan tak pernah kita pegang. Sibuk mengatur alur, menentukan babak, bahkan memilih siapa yang boleh bertahan dan siapa yang harus pergi. Padahal, kita tak lebih dari aktor yang sering lupa skrip, salah masuk adegan, dan kelewat banyak improvisasi yang justru merusak cerita.
Kita membayangkan skenario paling buruk, lalu menangisinya sebelum terjadi. Kita merancang masa depan dengan segenggam ambisi, lalu kecewa ketika kenyataan tak tunduk pada kehendak kita. Kita berdiskusi dengan ketakutan lebih sering daripada berdialog dengan-Nya. Ironis, bukan?
Padahal, kalau kita mau jujur, hidup ini tak butuh seambisius itu untuk dipahami. Takdir berjalan dengan ritmenya sendiri. Bukan tugas kita untuk mengintervensi setiap detailnya, apalagi mengatur ulang sesuai kehendak kita yang terbatas.
Jadi, cukup sudah. Berhenti bersilat pikir dengan kemungkinan-kemungkinan yang hanya menambah lelah. Serahkan pada-Nya yang sejak awal sudah paham ke mana kaki ini harus melangkah. Tugas kita hanya melangkah, bukan merampas kendali yang sejak awal tak pernah jadi milik kita.
157 notes
·
View notes