In a long life journey to find peace and stregth within. I write to understand.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Menyeruput Pahit, Merayakan Syukur
Lihatlah, di lorong-lorong sepi ada lelaki yang mengadu pada dingin, di pasar-pasar ramai ada ibu yang melawan harga dengan doa. Lalu kita, yang masih bisa mereguk pagi, mengumpulkan siang, menakar petang dengan harapan—adakah lebih pantas selain sujud yang khidmat?
Maka syukur itu bukan soal jumlah, bukan soal pundi atau takaran penuh. Syukur adalah belajar mencintai remah-remah yang jatuh di meja, mengunyahnya perlahan, dan merasa cukup. Sebab, ada yang lebih lapar dari kita, ada yang lebih dingin dari kita, ada yang lebih jauh dari sekadar kehilangan.
Jadi, marilah, minum sedikit kepahitan ini dengan lega, makan sedikit kesakitan ini dengan lapang, telan, kunyah, telan lagi, sebab semuanya adalah gizi bagi jiwa, bekal bagi esok yang entah bagaimana.
Dan jika esok pun tetap sama, sepi, lusuh, atau bahkan lebih buruk, maka bersyukurlah, sebab itu artinya kau masih punya esok, untuk terus mencoba, untuk terus percaya.
1 note
·
View note
Text
Rumah yang Hanya Ada di Kepalanya
Apa yang lebih ramai dari isi kepala lelaki?
Ia berjalan di trotoar yang bising, di sela gedung-gedung yang tak pernah mengingat namanya. Di kantongnya ada sisa gaji, di bahunya ada beban yang tak bisa ia hitung, di dadanya ada pertempuran yang tak bisa ia ceritakan.
Dan lelaki, adalah musim hujan yang selalu datang sendirian, membasahi tanah yang tak pernah memintanya, menyuburkan luka yang ia ingin lupakan.
Ia lelaki—mencari tempat istirahat di dunia yang tak memberinya sandaran, memanggul nama keluarga di punggungnya, menjejalkan mimpi-mimpi ke dalam lemari sempit, memilih diam agar tak ada yang tahu betapa ribut isi kepalanya.
Ia tahu, dunia tak memberi jeda, dan lelaki tak diajarkan cara meminta waktu untuk bernapas. Maka ia berjalan, dengan kaki yang ia paksa kuat, dengan hati yang sudah lama kelelahan.
Namun di suatu malam di bawah lampu jalan yang enggan redam, ia melihat bayangannya sendiri. Dan ia bertanya, “Sampai kapan?”
Sebab lelaki juga butuh pulang, meski ia tak tahu lagi ke mana.
Namun lelaki, tak pernah benar-benar bisa pulang. Rumahnya adalah tempat ia berdiri, meski lantainya retak, meski atapnya bocor, meski dindingnya hanya bayangan dari harapan yang pernah ia bangun.
Lelaki tak bertanya kapan hujan reda, ia hanya menarik kerah jaketnya, menunduk, dan terus berjalan. Ia tak menunggu dunia menjadi lebih lunak, sebab ia tahu, dunia hanya tahu cara menekan, menumpuk beban, mengajarkan tabah dengan cara paling kejam.
Dan lelaki, terus menggenggam gengsi di satu tangan, dan kecemaan di tangan lainnya. Ia ingin menangis, tapi air matanya terlalu mahal untuk dihamburkan.
Ia ingin berhenti, tapi siapa yang akan menjaga semuanya jika ia menyerah? Maka ia merapal doa dalam diam, di sela detak jam yang tak peduli. Ia menatap jauh ke depan, ke masa depan yang masih buram, ke langit yang tak selalu menjanjikan terang.
Tapi ia tetap melangkah, meski punggungnya pegal oleh beban, meski kakinya gemetar oleh jarak. Karena lelaki tak diajarkan cara istirahat, hanya cara bertahan, sampai entah kapan.
9 notes
·
View notes
Text
Lelah di Dunia, Istirahat di Akhirat
Tabiat hidup di dunia memang penuh dengan rasa lelah.. terutama bagi seorang mukmin yang senantiasa 24 jam waspada pada perkara-perkara yang membahayakan dirinya di akhirat.. namun, bagaimanapun... hidup tak pernah bertanya apakah kau siap, ia datang, menerjang, menyeretmu ke hari-hari yang tak selalu kau inginkan. Di subuh yang masih letih, di siang yang menggerus ketabahan, di malam yang berisik oleh kecemasan—hidup terus berjalan, tak peduli kau ingin berhenti atau tidak.
Maka, lelah itu wajar, kawan. Kita ini musafir yang berjalan di jalan sempit, diapit dunia yang gemerlap tapi licin, di mana tiap langkah adalah ujian, tiap keputusan adalah perhitungan.
Ada hari di mana imanmu seperti pohon kering, daun-daunnya rontok oleh angin ragu. Ada hari di mana kau berdiri di antara cahaya dan bayang-bayang, tak tahu harus menuju mana. Dan ada hari di mana dunia menggairahkan, seolah berkata ”bahwa tak mengapa, sesekali melupakan akhirat.”
Tapi ketahuilah—tak ada istirahat dalam perjalanan ini, karena dunia hanya terminal, bukan tujuan akhir. Kita semua asing di sini, menunggu keberangkatan yang tak kita tahu jadwalnya.
Maka, biarkan lelah itu menjadi saksi, bahwa kau tetap bertahan, bahwa kau berjuang. Sebab nanti, ketika fajar terakhir menyingsing, dan dunia tak lagi menarik, kau akan tahu—bahwa setiap lelahmu, setiap air matamu yang jatuh dalam sujud, tidak pernah sia-sia.
Sebab lelah di dunia, adalah istirahat di akhirat.
1 note
·
View note
Text
Apa Bekalmu Sebelum Ramadan Datang?
(1)
Ramadan berangkat dari kejauhan,
menembus angin, meniti waktu.
Ia datang, seperti kabar baik
atau pesan yang terlambat kau baca.
Lalu kau bertanya:
“Sudahkah aku bersiap?”
Namun pertanyaan itu jatuh di meja,
di antara daftar belanja dan rencana libur.
Kau menarik napas panjang.
Seolah sebulan ibadah bisa ditebus dalam semalam.
Seolah waktu masih panjang.
Seolah besok pasti datang.
(2)
Di pojok surau, seorang lelaki berbicara
tentang mereka yang berdoa enam bulan sebelum Ramadan,
tentang mereka yang menangis enam bulan setelahnya.
Seseorang bertanya,
“Mengapa?”
Ia tertawa pelan, menggoyang cangkirnya,
sebelum menjawab dengan suara yang berat,
“Karena mereka takut tak sampai.”
Dan kau?
Kau hanya menatap bulan separuh
di jendela yang berembun,
menghitung dosa dalam kepalamu,
seperti utang yang tak kunjung lunas.
(3)
Ramadan semakin dekat,
tapi hatimu masih berdebu.
Shalatmu, seperti tamu yang datang lalu pergi.
Al-Qur’anmu, masih terbuka di halaman yang sama.
Sujudmu, tak lebih dalam dari tidurmu.
Dan hatimu?
Terkadang ia merasa dekat,
sering kali ia jauh.
Terkadang ia ingin pulang,
tapi terlalu betah tersesat.
(4)
Malam ini, kau duduk di teras,
menghitung bintang seperti menghitung sisa waktu.
“Andai besok aku tak sempat...”
“Andai Ramadan ini adalah yang terakhir...”
Kau menghela napas.
Dada terasa sempit.
Tapi doa selalu lapang.
Jadi kau angkat tanganmu,
dengan gemetar, dengan malu,
lalu berbisik di sela-sela angin:
“Yaa Rabb, sampaikan aku...”
“Ya Rabb, bersihkan aku...”
“Ya Rabb, cukupkan bekalku...”
(5)
Dan di kejauhan,
Ramadan terus mengetuk.
Tak tabah, tak menunggu.
Datang dengan atau tanpa dirimu yang siap.
3 notes
·
View notes
Text
YA ALLAH, HISABLAH AKU DENGAN HISAB YANG MUDAH
/1/
Ya Allaah, jika suatu hari Kau panggil aku
dan kakiku gemetar di padang luas yang tak kukenal,
jika matahari turun sedekat sejengkal
dan nafas setiap hamba terdengar seperti isak yang tak habis-habis,
maka hisablah aku dengan hisab yang mudah.
Jika catatan hidupku dibuka
dan tanganku tak sanggup menyangga lembar-lembar hitam yang berserak,
jika dosa-dosa yang kuanggap kecil
tumbuh menjadi gunung yang siap menindih dadaku,
maka Ya Allaah, hisablah aku dengan hisab yang mudah.
Aku takut, Ya Rabb,
takut saat namaku dipanggil,
aku melangkah tapi lututku patah,
aku menunduk tapi tanahnya menyala,
aku ingin berlari tapi tak ada tempat bersembunyi.
Dan ketika timbangan itu dipasang,
ketika setiap tatapan,
setiap bisikan,
setiap kelalaian
dibongkar satu-satu,
ketika mulutku dikunci
dan tanganku bicara tentang semua yang pernah kusentuh,
ketika kakiku bersaksi tentang semua yang pernah kudatangi,
di mana aku bisa berlari?
/2/
Ya Allaah,
aku tahu betapa beratnya timbangan itu,
aku tahu betapa tajamnya keadilan-Mu.
Jika Kau hisab aku dengan perhitungan yang teliti,
maka aku hancur sebelum sempat mengangkat kepala.
Jika Kau tanyakan setiap nikmat yang kusia-siakan,
maka aku tersungkur sebelum sempat menjawab.
“Barang siapa yang dihisab dengan teliti pada hari kiamat, maka sungguh ia telah binasa.” (HR. Bukhari, no. 1037)
Allaah, aku datang dengan tangan hampa,
dengan amal yang compang-camping,
dengan salat yang sering tertunda,
dengan sujud yang penuh angan-angan.
Allaah, aku datang dengan hati yang kotor,
dengan janji-janji yang tak kutepati,
dengan nasihat yang tak kupatuhi,
dengan waktu yang kugunakan sesuka hati.
Aku datang, Ya Rabb...
tidak dengan wajah seorang hamba yang layak meminta surga,
tapi dengan wajah seorang pendosa
yang berharap diampuni.
/3/
Ya Allah, jika Kau hisab aku,
maka hisablah aku dengan hisab yang mudah.
Jika Kau hitung dosa-dosaku,
maka hitung juga air mataku.
Jika Kau hitung kelalaianku,
maka hitung juga sesalku.
Jika aku harus mempertanggungjawabkan semua,
maka hitung juga kali-kali aku menyebut nama-Mu
dalam kecemasan dan jua harapan.
Aku tak berharap perhitungan yang adil,
karena aku tak akan sanggup.
Aku hanya berharap pada rahmat-Mu,
karena hanya itu yang bisa menyelamatkanku.
Maka Ya Rabb,
jika suatu hari Kau panggil aku,
dan kakiku gemetar di padang luas yang tak kukenal,
maka hisablah aku dengan hisab yang mudah—
agar aku bisa melangkah
menuju ampunan-Mu.
2025
2 notes
·
View notes
Text


Alhamdulillaah, hadza min fadhli Rabbi, puisi saya yang berjudul "Aku Ingin Tahu Seberapa Bisa Aku Melepaskan Hubbud Dunya" menjadi juara dua dalam acara lomba cipta puisi nasional yang diselenggarakan oleh Fun Bahasa 2024. Dua puisi lainnya, "Mencari Surga dalam Desiderium" dan "Kapan Puisi Ditulis Lagi?" menduduki peringkat 13 & 17 dalam even yang sama. Terima kasih pihak-pihak yang sudah membantu mengkurasi dan mengkritisi. 🙏🙏🙏
1 note
·
View note
Text
Wudhu yang Tak Sampai ke Hati
i.
Langit seperti kaca retak
menyimpan segala kotor yang terangkat ke udara—
debu dari sumpah palsu,
keringat dari kerja yang tak shidq,
cipratan ithm yang tak sempat diusap.
“Cuci tanganmu”
katanya,
tapi air ledeng berbau besi,
dan tangan ini
lebih terbiasa menggenggam uang daripada menengadah.
ii.
Maka, bagaimana cara kita mencuci dosa?
Dengan air dari kran masjid yang mulai berkarat?
Dengan parfum mahal yang menutupi aroma maksiat?
Dengan janji-janji yang larut sebelum subuh?
Dengan keringat pekerja yang diupah rendah?
Dengan doa-doa yang mengudara seperti asap rokok di perjamuan pejabat?
iii.
Di suq, harga taharah naik saban hari,
ada yang menjual kejujuran per gram,
ada yang melelang iman di depan kamera,
ada yang mengambil wudhu dengan tangan yang tak ingin melepaskan hubbun dunya.
iv.
Saudara seimanku pernah berkata:
“Thaharah bukan cuma air,
tapi juga hati, juga pikiran, juga laku.”
Lalu aku melihat seorang thalibul 'ilm,
yang membersihkan wajahnya dengan segenggam debu
di bawah jembatan layang,
karena di kota ini, air lebih mahal dari keimanan.
Aku menatap ibu
yang membasuh tangannya dari lelah
setelah seharian mencuci piring di rumah orang lain,
agar anaknya bisa membaca surah di sekolah.
Aku menatap seorang pengemis,
yang menggulung sajadahnya dengan hati lapang
meski dunia memberinya lebih banyak kotoran daripada karunia.
v.
Thaharah adalah perlawanan—
terhadap debu yang tak kasatmata,
terhadap noda yang membekas di jiwa.
Thaharah adalah keteguhan—
duduk di serambi mesjid,
menunggu subuh meski perut kosong.
Thaharah adalah janji—
bahwa meski dunia semakin jauh dari sujud,
akan selalu ada tangan yang terangkat,
seraya memohon:
“Ya Allah, bersihkanlah aku,
sebelum aku tak lagi mengenali diriku sendiri.”
14 Februari, 2025
4 notes
·
View notes
Text
Ramadan, Aku Takut Tak Kau Temukan Lagi
(I)
/Di dinding-dinding kota, suara azan terdengar parau
Seperti seorang penyair tua yang lupa bait terakhirnya/
Ramadan berjalan pelan di trotoar
di antara poster diskon dan wajah-wajah yang lupa caranya bersujud.
Ia mengetuk pintu satu per satu,
tapi siapa yang masih ingat bagaimana cara menjawabnya?
Di langit: bulan seperti lentera yang lupa dipadamkan.
Di jalan: aroma takjil bercampur dengan debu dan umpatan.
Di dada: suara ibu yang masih terjaga, menggumamkan surah-surah lama.
(II)
Ramadan datang seperti tamu yang kita nanti ..
tapi lupa bagaimana harus menyambutnya.
Langkahnya disambut dengan kasir yang lebih sibuk dari imam
dengan troli yang lebih khusyuk dari sajadah.
Di jendela: anak kecil melatih lapar dengan es krim di tangannya.
Di meja makan: ayah berzikir dalam antrean kasir minimarket.
Di televisi: Ramadan berubah menjadi jingle,
berkhutbah tentang promo yang lebih panjang dari tarawih.
/Apakah kita benar-benar masih ingin bertemu?/
(III)
Ibu berkata, Ramadan adalah sebongkah kaca.
“Kau akan melihat wajahmu di dalamnya,
tapi apakah kau masih mengenali dirimu sendiri?”
Di dapur, ibu meracik sahur seperti meracik doa,
menyusun lauk seperti ayat-ayat yang dipelajarinya sejak kecil.
Di matanya, ada cahaya yang redup, tapi tak pernah padam.
“Tahun lalu kita bertemu Ramadan,” katanya,
“Tahun ini, semoga Ramadan masih mau bertemu kita.”
(IV)
Malam-malamnya begitu panjang,
bukan karena kita bertahan di sajadah,
tapi karena drama di layar lebih panjang dari sujud.
Subuh datang dengan dingin yang malas,
karena doa-doa tertinggal di kasur.
/Ramadan mengetuk lagi, lebih pelan kali ini/
/Tapi kita sibuk mengetuk layar ponsel/
(V)
Ramadan duduk di peron stasiun, menunggu kereta yang penuh.
Ramadan bersandar di tiang lampu, mengawasi orang-orang berbuka tanpa basmalah.
Ramadan berjalan di gang-gang kecil, menunggu pintu dibuka.
Ramadan menunggu kita,
tapi kita menunggu sesuatu yang lain.
/Apakah kita benar-benar masih ingin bertemu?/
(VI)
Ramadan,
jika nanti kita bertemu,
tolong tegur aku dengan keras,
jangan biarkan aku hanya lewat di pinggirmu,
seperti seorang asing yang pura-pura lupa jalan pulang.
Jika nanti kita bertemu,
jangan biarkan aku hanya menjadikanmu tamu,
tapi jadikanlah aku rumah.
Jika nanti kita bertemu,
ajarkan aku lapar yang bukan hanya tentang perut,
tapi tentang hati yang rindu dipenuhi cahaya.
/Ramadan mengetuk pintu terakhir kali/
/Kali ini, semoga kita masih tahu cara membukanya
Kost, Februari 2025
2 notes
·
View notes
Text
FUTUR
(Ia datang seperti malam yang lupa subuh,
merambat di antara takbir dan ragu,
dan ketika kau menyadarinya—sujud pun terasa jauh.)
I.
: Adzan yang tak sampai ke jantung ..
Kau mendengar panggilan itu—
tapi ia hanya mengetuk di daun telinga,
tak pernah benar-benar masuk ke dada.
Kau menatap sajadah yang tergulung,
seperti tubuh yang enggan bangkit dari tidur panjang.
Kau bilang, “Nanti, setelah pekerjaan selesai.”
Tapi waktu adalah perampok yang tak pernah mencicil pengampunan.
Langkahmu berat, bukan karena tubuhmu lelah,
tapi karena hatimu mulai gemuk oleh hubbud dunya.
Futur adalah batu kecil dalam sepatumu,
yang lama-lama mengajarkanmu cara berjalan pincang.
II.
Di meja kerja,
deadline mengantri seperti jamaah subuh di malam takbiran.
Aku menatap layar,
bukan lembaran-lembaran wahyu,
tapi angka-angka,
yang kuhitung lebih teliti dari istighfarku.
Tangan ini lebih lihai membolak-balik chat kerjaan,
daripada membalik lembar Al-Qur’an.
Jari ini lebih cepat mengetik email,
daripada menghitung tasbih.
Dunia ini menjanjikan segalanya.
Kau masih rukuk, masih sujud,
tapi hatimu tidak ikut serta.
Lidahmu masih berputar dalam dzikir,
tapi ia hanya melafal, bukan merapal.
Futur adalah tamu yang datang tanpa salam,
duduk di dadamu tanpa diundang,
menjadikan ibadahmu sekadar rutinitas
yang kehilangan ruh.
Di tanganmu,
Al-Qur’an terbuka,
tapi hatimu tertutup.
Kau membacanya seperti membaca koran,
tanpa tadabbur, tanpa peduli.
III.
Di luar, dunia begitu gaduh,
dengan janji-janji yang lebih terang dari lampu masjid.
Keramaian menawarkan pelarian,
dan kau, tanpa sadar,
sudah melangkah semakin jauh dari cahaya.
“Besok aku kembali,” katamu.
Tapi besok selalu sibuk,
dan hari ini selalu beralasan.
Kau menunda satu rakaat,
satu ayat,
satu sujud,
hingga akhirnya yang kau tunda adalah satu kehidupan.
IV.
Di ujung lelah,
ketika malam tak bisa kau bodohi lagi,
dan sunyi terasa lebih pekat dari biasanya,
kau temukan dirimu di depan cermin—
melihat seseorang yang tak kau kenali.
Futur bukan kematian,
tapi ia cukup kuat untuk membunuh semangat.
Futur bukan neraka,
tapi ia cukup licin untuk membuatmu lupa jalan pulang.
Maka kau jatuh berlutut,
bukan karena lelah,
tapi karena sadar:
bahwa Allah tidak pernah meninggalkan,
hanya kau yang terlalu lama berjalan ke arah yang salah.
(Ia datang seperti malam yang lupa subuh,
tapi selalu ada fajar yang bersedia kembali.)
Februari, 2025
19 notes
·
View notes
Text
BIOGRAFI TUBUH IBU
Kata pertama yang ditulis ibu adalah namaku, di perutnya, sebelum ia bisa mengeja sakit.
Ibu, tubuhnya sebuah negeri—
Di dahinya: jalan-jalan retak yang ia tempuh setiap subuh
Di tangannya: sungai-sungai kecil yang mengering di musim susah
Di kakinya: luka-luka yang ditinggalkan jarak
Di punggungnya: gunung yang menanggung hari-hari
Ibu, tubuhnya sebuah rumah,
atapnya rapuh,
tiangnya bengkok,
tapi dindingnya selalu terbuka.
Kata pertama yang kulis adalah tangis, di tubuhnya, sebelum aku bisa mengeja dunia.
Ibu, tubuhnya sebuah pagi—
Ia merebus matahari di dapur yang sempit,
menuangnya ke dalam cangkir,
memaksaku meneguknya sebelum aku sempat bertanya:
“Kenapa pagi selalu pahit?”
Di perutnya: bunyi panci berdenting dengan nasib
Di dadanya: kabut yang menolak pergi
Di matanya: kalender yang tak bisa ia baca
ia lupa tanggal lahirnya sendiri, tapi ingat kapan aku terakhir kali pulang.
Ibu, tubuhnya sebuah peperangan—
Ia menakar sisa-sisa gaji ayah seperti menghitung tentara yang belum gugur,
ia menjahit kaus kaki bolong dengan benang yang hampir habis,
ia tidur di ruang tamu karena kasur sudah penuh oleh anak-anak.
“Aku tak lelah,” katanya,
tapi dinding kamar menangis setiap malam.
Di tangannya: pisau dapur yang tak pernah istirahat
Di kakinya: lantai dapur yang menolak bersih
Di dadanya: napas panjang yang berulang-ulang
seolah kelelahan bisa dihapus dengan satu embusan.
Ibu, tubuhnya sebuah luka—
Ia tersenyum di antara belanjaan yang tak cukup,
tertawa di antara utang yang tak selesai,
berdiri di antara dua kemungkinan:
mati atau terus berjalan.
Ia berjalan.
Di punggungnya: gendongan yang tak pernah lepas
Di lengannya: bekas gigiku waktu kecil
Di pergelangan tangannya: garis-garis biru yang tak pernah dikisahkan
Ibu, tubuhnya sebuah puisi—
Bahkan saat dunia kehabisan kata,
ia tetap menyusun bait-baitnya sendiri,
di sela-sela doa yang ia bisikkan ke dalam bantal,
di sela-sela nasi yang ia suapkan ke mulutku,
di sela-sela tangannya yang merapikan rambutku sebelum aku berangkat kerja.
“Tidurlah,” katanya,
tapi matanya tetap terbuka.
Kata terakhir yang ia tulis adalah namaku, di doanya, sebelum ia bisa mengeja selamat tinggal.
Bekasi, 2025
3 notes
·
View notes
Text
Ada yang lebih suka keheningan, mampu menyerap momen, nyaman melakukan apapun sendiri, dan peka dengan suasana hati orang lain. Ada pula yang suka keramaian, menebar energi positif, memulai percakapan, dan menghidupkan suasana. Tidak ada salah dari keduanya. Tidak ada yang salah dengan memilih sepi untuk mengisi ulang tenaga diri, tidak pula salah jika memang tidak suka melakukan apapun seorang diri. Yang salah adalah yang menyalahkan—yang memaksakan sesuatu di luar dari seharusnya. Kita sama sekali tidak perlu memerankan peran orang lain. Selama kita tidak menyakiti orang lain, maka biarlah. Sebab tidak ada yang salah dari menjadi diri sendiri.
1 note
·
View note
Text
Kalau kamu lelah, istirahat, bukan berhenti. Kalau berhenti, memulai dari awal lagi, nanti lelah lagi, ganti lagi, mulai dari awal lagi.
Mau sampai kapan? Dewasalah.
4 notes
·
View notes
Text
Sering bilang tentang diri sendiri,
“Masih banyak kurangnya, masih banyak salahnya. Tapi mau terus belajar supaya jadi lebih baik”
Semuanya berawal dari meruntuhkan ego sendiri, mengakui kekurangan. Baru akhirnya mau menerima setiap masukan dan memperbaikinya.
8 notes
·
View notes