aurora1453
Great Struggling For A Better Life in Jannah
46 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
aurora1453 · 4 years ago
Video
. Pernikahan telah menyatukan bukan saja tubuh dua insan –laki-laki dan perempuan, namun pernikahan telah menyatukan dua cinta, dua cita-cita, dua hati, dua perasaan, bahkan dua jiwa yang berbeda. . Suami dan isteri berkolaborasi dalam kehidupan keluarga, dengan ikatan cinta kasih yang tulus, untuk menempuh kehidupan dalam kebersamaan. Keluarga telah meleburkan suami dan isteri dalam sebuah ikatan yang sangat kuat –tidak ada ikatan sekuat dan sehangat ikatan yang muncul dalam pernikahan. . Ikatan itu menjadi kuat, karena atas nama Allah. Ikatan Ketuhanan yang sangat sakral. . Maka dalam kehidupan sehari-hari, suami dan isteri harus berusaha saling memberikan yang terbaik kepada pasangan, bukan menuntut dari pasangan. . Jika suami dan isteri selalu memberikan yang terbaik, maka mereka akan mendapatkan pula dari pasangannya. . Namun jika suami dan isteri lebih mendahulukan menuntut dari pasangan, maka mereka tidak akan mendapatkan. Sikap menuntut ditunaikannya hak pasangan, merupakan sebentuk pengingkaran dari konsekuensi cinta kasih. . Karena cinta itu artinya memberi, bukan menuntut diberi. Wujud tertinggi dari cinta ---menurut Erich Fromm--- adalah hasrat untuk memberi yang terbaik bagi orang yang dicintai. Barakallahu laka wa baraka alaikacwa jama'a bainakuma fi khair. Untuk mbak Azka Mufarrida @zka.m dan mas Yosep Suhendar @suhendaryosep yang melaksanakan akad nikah hari ini, Sabtu 22 Mei 2021. Reposted from @cahyadi_takariawan https://www.instagram.com/p/CPMYArjgtzf-aTPgUDUNox230Tg0BvxvUscdS00/?utm_medium=tumblr
0 notes
aurora1453 · 4 years ago
Text
Halmeoniseries #4 “Kucing ditukar Ayam”
Pagi ini, kittenku sedang berlari-lari di rumah.
Melihat mereka, dimulailah cerita mbah Uti tentang kucing. Anak ragil mbah Uti, suka sekali dengan kucing. Kucingnya lucu, gendut, dan sangat penurut. Tanteku tak hanya memanjakannya, tapi bahkan tidur kucingnya pun di kasur bersamanya. 
Suatu saat, kata mbah ada orang yang datang ke rumahnya. Tanteku sedang bersekolah, dan sang kucing setia menanti di pintu.
“Mbah, ini kucingnya dituker ayam ya,, “ kata orang itu. Sepertinya dia tertarik dengan kucing tante yang unyu.
Mbah uti yang tau anaknya sangat sayang kucing itu menolak dengan halus.
“Maaf, ini bukan kucing saya, tapi punya anak saya. Kalau mau ya minta ijin dulu ke anak saya.”
========================================
mbah Uti adalah sosok yang sangat menghargai siapapun. Bahkan kepada anaknya sendiri. Aku ingat sekali, mbah Uti dulu hidup serba kekurangan. Makan ayam adalah hal yang sangat mewah bagi keluarganya. Seandainya beliau tega, bisa saja menukar kucinng itu dengan ayam untuk dimakan sekeluarga. Tapi beliau tahu, anaknya akan sangat sedih bila kucing kesayangannya diambil orang lain.
0 notes
aurora1453 · 4 years ago
Text
Halmeoniseries #3 “Beli Durian”
Halmeoni series #3
Ini kisah tentang bagaimana mbah uti membeli buah durian yang matang dan bagus. Membeli buah durian itu, bisa dikatakan untung-untungan. Kalau penjualnya jujur, kita bisa dapat durian yang bagus dan enak rasanya. Tapi kalau tidak jeli, maka zonk yang kita dapat. Sudahlah mahal, dalamnya kadang keras, sepat, atau malah busuk. Rugi berlipat. 
“Mbah itu.. Kalau mau beli durian selalu nunggu orang Cina.” kata Mbah suatu hari. 
Di Lasem, tempat mbah Uti tinggal, memang banyak sekali etnis Cina.
“Maksudnya mbah? Kenapa nunggu orang Cina?”
“Orang Cina itu, tau mana durian yang bagus, mana yang enggak. Kalau mbahmu ini, ga tau gimana cara ngebedainnya. Jadi kalau ada orang Cina pegang durian yang mau dibeli, trus nawar ke penjual, mbah akan perhatiin.”
“Trus mbah?” tanyaku tertarik.
“Kalau penjualnya ga mau menurunkan harga sesuai yang diminta, orang China itu akan pergi. Nah, mbah langsung ambil durian yang ditinggal tadi, trus naikin sedikit harga tawarnya dari harga yang ditawar orang China itu. Biasanya penjualnya mau kalau kita naikin harga.”
Aku terpana mendengarnya. Wow.. sungguh movement yang cerdas sekali. Aku bisa merasakan bahwa mbah Uti itu sangat teliti dan perhitungan. Nggak mau rugi. Masya Allah. 
Benar juga ya.. Kalau kita nggak ekspert di suatu hal, ya temukan sosok yang ekspert itu, lalu sebisa mungkin kita ambil manfaat darinya. Dengan cara yang tidak merugikan orang lain tentu saja. Karena memang kita tidak bisa memaksakan diri untuk ekspert di semua hal. Serahkan hal-hal yang tidak bisa kita lakukan ke ahlinya, dan kita fokus pada apa yang ingin kita raih. 
0 notes
aurora1453 · 4 years ago
Text
Halmeoniseries #2 “About Her”
Mbah uti, bisa aku bilang adalah sosok yang cerdas, meski tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Semasa kecil, beliau harus mengurus keponakannya dan tidak diijinkan ayahnya untuk bersekolah di sekolah rakyat sebagaimana teman-temannya. 
Saat teman sebayanya bersekolah, mbah uti akan duduk di luar, di dekat kelas mendengarkan penjelasan guru, sambil menjaga keponakannya.
Suatu saat sang guru bertanya tentang penjumlahan matematika. Tiba-tiba secara spontan terdengar suara jawaban dari luar. Ya, mbah uti yang excited karena tahu jawabannya tanpa sadar mengucapkannya dengan keras. Semua  menoleh. Guru pun keluar kelas, mendapati Mbah Uti kecil, dan mengajaknya untuk masuk mengikuti pelajaran. Merasa malu, mbah Uti malah berlari menjauh dari pelataran sekolah. Sejak saat itu, beliau tak pernah kembali lagi. Malu, jawabnya saat kutanya mengapa.
Jadi, hingga saat ini mbah Uti tidak bisa membaca atau menulis. Tapi beliau survive dengan kecerdasannya dalam menghadapi berbagai masalah.
Mbah uti juga sosok yang sangat mempercayai perkataan pak Kyai. apa yang beliau dengar di pengajian-pengajian, maka akan terpatri di hati beliau dan sebisa mungkin diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 
Maka meski tidak bisa membaca Al Qur’an, tapi bibir beliau selalu basah dengan dzikir. Do’a-doanya, meski berbahasa Indonesia, selalu pernuh dengan penghayatan. Tak jarang air matanya menetes. 
0 notes
aurora1453 · 4 years ago
Text
Halmeoniseries #1 “Mbah Utiku”
Series ini akan bercerita tentang mbah uti, sosok yang sering menemani masa liburanku saat kecil dengan cerita-cerita pengalamannya yang seru, lucu, tapi ada banyak hikmah yang terselip, yang baru aku sadari saat sudah dewasa.
Kenapa judul seriesnya pakai kata halmeoni? 
Entah kenapa rasanya seru aja, pakai bahasa asing untuk tema series ini, dan kebetulan Halmeoni kata yang cukup bagus dan cocok menurutku.
Kondisi mbah uti saat ini semakin tua, dan bersamaan itu pula, aku merasakan kebenaran kalimat yang mengatakan bahwa orang sepuh, kadang akan bertingkah seperti bayi. Kadang mendadak sangat tidak rasional, memprotes apa yang kita lakukan, berteriak menyuruh kita melakukan sesuatu yang harus dikerjakan saat itu pula tanpa memahami bahwa saat itu kita juga sedang sibuk dengan sesuatu yang lain. kadang juga marah-marah dengan hal sepele. 
Ya,, tentu saja sebagai orang normal, kadang aku merasa agak jengkel, tapi semua itu  harus ditahan. Karena memang seperti inilah hidup. Bisa jadi, saat kita nanti tuapun seperti itu. Mbah Uti, juga pasti sebenarnya tidak mau demikian. karena memang sifat asli beliau bukan seperti itu. That’s why, ini harus menjadi ladang pahalaku. Harus bersabar dan melapangkan dada.
Tulisan ini sekaligus untuk menyegarkan lagi ingatanku betapa aku pernah sangat menghormati dan menyayangi mbah uti. Aku tidak ingin semua itu pudar tergantikan oleh cerita bagaimana aku menghadapi tantrum beliau.
Bismillah..
0 notes
aurora1453 · 5 years ago
Text
Kenapa kuliah s2 gak linier?
Sebagai sarjana lulusan prodi komunikasi dan penyiaran Islam, keputusanku untuk melanjutkan jenjang s2 dengan jurusan ilmu tafsir memang bisa dibilang hal yang cukup berani dan mungkin dipertanyakan banyak pihak.
Siapa aku berani-beraninya melompat belajar ilmu tafsir Qur’an yang sungguh tidak main-main beratnya?
Ketidaksesuaian fokus pembelajaran adalah satu hal yang sudah pasti akan kuhadapi selama mengikuti kelas nanti. Itu tentu saja bisa diprediksi.
Mayoritas orang yang kuliah s2 memang mengambil jurusan yang masih linier dengan pendidikannya sebelumnya sehingga relatif mudah untuk mencari kerja atau menjadi dosen nantinya.
Lalu kenapa aku tidak kuliah jurusan KPI juga, misalnya. Atau ilmu komunikasi umum, broadcasting, dll yang masih terhitung linier? Tentu saja dari awal aku juga menginginkan hal yang sama. Begitu lulus akhir tahun 2018 lalu, aku segera mencari peluang beasiswa ke luar negeri, atau kampus-kampus yang relatif dekat dengan domisiliku.
Satu semester berlalu dan aku tak menghasilkan apapun. Hatiku tak pernah cukup yakin untuk mempelajari lebih dalam jurusan-jurusan tersebut.
Orang-orang bertanya, kenapa aku masih di Jakarta kalau sudah lulus kuliah? Kenapa tidak pulang kampung?
Beberapa memintaku untuk mengajar di lembaga tertentu.
Aku entah mengapa merasa belum siap untuk kembali. Masih banyak hal yang ingin kupelajari dengan akses lebih mudah di Jakarta. Masih banyak teman yang terlalu berat untuk kutinggalkan. Masih banyak kenyamanan di balik sulitnya kehidupan Jakarta. Aku sudah terlalu terbiasa dengan rutinitasku sehingga tak siap bila melepasnya secara tiba-tiba.
Satu semester yang lalu, aku ngotot kembali ke Jakarta setelah libur lebaran meski masih belum pasti apa yang akan kulakukan selain mengajar privat sampingan. Mengambil course bahasa Inggris, les menjahit, les berenang, mengajukan cv ke beberapa perusahaan, apapun. Whatever will do selama itu bisa menjadi reason aku stay di Jakarta.
Sampai akhirnya, aku mendengar seorang teman telah resmi menjadi mahasiswa pasca sarjana di kampus PTIQ. Kampus yang berfokus pada studi Ilmu Al Qur’an. Kabar itu seolah menjawab kebimbanganku selama ini. Kenapa aku tidak mempelajari kitabku lebih dalam saja? Apalagi aku memang dari dulu tertarik dengan keunikan bahasa Al Qur’an.
Aku segera mencari info dan membuka websitenya. Kupelajari semuanya dalam waktu singkat, mulai dari biaya, hari perkuliahan, mata kuliah yang akan kuambil, dan lokasinya yang ternyata hanya sekitar 9 km dari tempatku tinggal.
Pendaftaran gelombang kedua hampir berakhir. Aku tak sempat untuk merasa gamang. Setelah bertanya ke orang tua, murabbiyah dan diskusi dengan roommate, keputusan segera kuambil. Waktuku tak banyak. Entah mengapa aku merasa begitu yakin.
Tanpa pikir panjang lagi, segera kudaftarkan diri di kampus tersebut. Padahal sebenarnya saat itu uang tabunganku baru saja terkuras untuk urusan lain. Tapi aku yakin Allah akan memudahkan semuanya. Sampai tiba saatnya masa pembayaran uang muka.
Uangku belum cukup dan tiba-tiba aku merasa harus meninjau ulang keputusanku. Serius akan kuliah dengan biaya sendiri tapi ga linier? Ga bakal bisa jadi dosen loh. 2 tahun ga sebentar, itupun kalau lulus tepat waktu. Yakin bisa mengikuti perkuliahan yang hampir mayoritas aku belum dapetin basicnya di kampus sebelumnya?
Semua pertanyaan itu menghantuiku.
Namun dari dulu aku memang tidak tertarik untuk masuk ke sistem pendidikan resmi negara ini. Orang tuaku puluhan tahun berada di bidang ini. Jadi kalaupun ga bisa jadi dosen, gak masalah buatku. Saat itu Allah kuatkan aku lagi dengan keinginan untuk bisa memahami Al Qur’an. Kalaupun pada saatnya nanti aku menjadi ibu rumah tangga biasa, paling tidak ilmu itu bisa aku transfer ke putra-putriku, dan masyarakat sekitar. Aku ingin menjadi bermanfaat untuk ummat.
Lalu bagaimana dengan bahasa Arab? Semua orang, bahkan non muslim pun tau kalau Al Qur’an berbahasa Arab. Belajar ilmu tafsir, tentu saja harus bisa Bahasa Arab. Paling tidak harus tau ilmu nahwu sharaf yang bisa dibilang grammarnya bahasa Arab. Dan tentu saja lebih baik lagi bila belajar ilmu balaghah mengingat keindahan bahasa Al Qur’an yang puitis tak tertandingi.
Fortunately, in the past I studied arabic language at LIPIA Jakarta for three years. I have faith in myself that I could accomplish it no matter what. I read Al Qur’an every day. I understand most of the text without looking at the translations. So how difficult it can be?
That’s..
Of course my silly thought.
Beberapa minggu awal aku kuliah, ternyatanya semua terasa sangat berat. Nahwu shorof balaghah? Itu hanya sebagian keciiiiiiil dari ilmu Al Qur’an yang sebenarnya sangat luas, terlalu luas untuk dikaji hanya dalam kurun waktu tertentu.
Dosen selalu menekankan, konstruksi berpikir mahasiswa pasca sarjana harus sebagai ilmuwan. Menyampaikan apapun harus ada maraji’nya. Mengatakan dan menulis apapun harus bersifat deskriptif analitif. Semua harus dianalisa. Nggak boleh main vonis ini itu. Makalah yang kami tulis nggak bisa asal comot sana sini. Nggak bisa presentasi asal-asalan. Harus menguasai materi, harus aktif di diskusi, harus revisi makalah. Semua terasa lebih ketat dibanding saat aku kuliah S1.
Meski aku mencoba menguasai semua materi yang harus kupresentasikan, pada akhirnya forum diskusi tanya jawablah yang menyudutkanku. Materi presentasi meluas ke mana-mana. Orang-orang berargumen dengan ilmu yang telah mereka pelajari sebelumnya. Banyak istilah asing yang tak kumengerti. Bila di kampus sebelumnya aku bisa cukup aktif dalam diskusi, kali ini aku banyak terdiam. Sampai di sini aku tersadar bahwa linier dalam belajar memang diperlukan.
Aku merasa disoriented.
Sudah benarkah keputusan yang kuambil?
Haruskah aku mundur dan merekonstruksi lagi langkahku?
Tapi tidak.
Sudah terlalu banyak biaya dan energi yang kukeluarkan.
Aku teringat lagi tujuanku mengambil tafsir Al Qur’an sebagai jurusan pilihan.
Naif rasanya bila mundur hanya karena minder dan malu pada kelemahanku.
Hari ke depan akan semakin berat, namun aku masih bisa belajar. Aku bisa bertanya ke teman-temanku tentang apa yang tak kumengerti. Aku bisa memulai semuanya dari awal lagi. Aku pasti akan tertatih, but its okay. Memang untuk mencapai tujuan butuh pengorbanan bukan?
0 notes
aurora1453 · 5 years ago
Text
Menulis dan Aku
Dulu, aku suka menulis.
Diary, short story, cerita bersambung yang mandek di tengah jalan kehabisan ide, atau puisi-puisi aneh sok melankolis.
Dulu, aku suka membaca
Sejak kecil, aku terbiasa membaca cerita-cerita yang harusnya dibaca oleh orang dewasa.
Bukan, bukan karena isinya porno atau menjurus ke situ
Tapi karena muatan isinya yang cukup berat untuk dibaca anak seusia kelas 3 sd sepertiku kala itu
Kehausanku akan bacaan menyebabkanku kehabisan bahan setelah semua buku cerita di sekolah habis kubaca.
Luar biasa?
Tidak juga
Perpustakaan sekolahku dulu tidak cukup besar untuk bisa menampung banyak buku
Satu ruangan sebesar kelas normal dibagi 2, menjadi ruangan perpustakaan dan UKS
Buku-bukunya dominan berisi buku pelajaran. Cerpen atau novel mungkin hanya 3 baris rak.
Beberapa di antaranya judulnya bahkan sama.
Aku tak tertarik membaca cerita yang sama berulang kali
Ayahku juga suka membaca
Koleksi bukunya banyak. Mungkin sekarang sekitar 1000 buku lebih.
Ada ruangan perpustakaan kecil di rumahku.
Mungkin seperempat masa kecilku kuhabiskan di sana.
Tapi tak ada cerita anak-anak.
Cerita untuk anak hanya lembaran Permata yang menjadi bonus dari majalah Ummi langganan ibuku setiap bulannya.
Lembaran-lembaran itu habis kulahap dalam beberapa jam.
Bagaimana dengan 29 hari sisanya?
Aku suka membaca cerita. Tapi tidak dengan nonfiksi, berita atau artikel. Aku terlalu kecil untuk memahaminya.
Mulailah perjalanan mengeksplor perpustakaan rumah.
Banyak judul buku yang asing. Kubuka sebagian, lalu kulewati karena tak tertarik.
Ayahku suka membeli bendelan-bendelan majalah. Satu seri bendel bisa berisi 12 majalah yang terbit di tahun tertentu.
Di dalamnya selalu ada cerbung ataupun cerita pendek. Aku suka.
Meski topiknya seringkali tak kumengerti.
Kadang tentang politik, pernikahan, perceraian, hukum, ekonomi, dan entah apa lagi aku lupa.
Namun semakin bertambah angka kelas yang kududuki, pemahaman tertentu terbentuk. Meski tak sempurna.
Kadang aku mengerti hal-hal yang seharusnya belum harus kuketahui.
Tulisan yang kubaca menjadi patokan bila mulai menulis sesuatu.
Usiaku masih belia. Meski bacaanku beragam, tapi aku tak memahami mereka secara utuh.
Aku tak pernah puas dengan kualitas hasil tulisanku yang jauh sekali dengan apa yang biasa kubaca.
Ya, tanpa sadar cerita-cerita itu menjadi standar tinggi bagiku.
Cerita yang ditulis oleh para pemenang lomba essay nasional, mahasiswa-mahasiswa intelektual, profesor, dan lainnya.
Alur cerita, diksi, penokohan yang kuat, latar yang mampu bercerita, dan ending yang luar biasa terasa begitu memikatku.
Aku merasa tak pernah bisa menulis cerita sekeren itu.
Cerita yang kutulis terasa seperti sampah yang tak layak dibaca siapapun.
Aku hanya anak sd, dengan pemahaman mengenai banyak hal yang tak utuh.
Seringnya stuk saat menulis membuatku tak tertarik lagi dengan hal itu.
Memasuk usia SMP, aku mondok di sebuah pesantren.
Jam membaca hanya terbatas di hari jum’at saat liburan.
Itupun seringkali harus antri dengan yang lain karena buku di pondok kecilku hanya sedikit.
Hobiku terkikis.
Kemampuanku tak lagi terasah.
Aku dan menulis tak lagi berada dalam sisi yang sama.
Kesibukan aktivitas pondok dan bermain bersama santri lain semakin menjauhkanku darinya.
Kami berpisah.
Karena aku tidak kompeten.
0 notes
aurora1453 · 6 years ago
Text
Tumblr media
One Plus One Minus
Di pertemuan sebelumnya, kami sepakat untuk menyambut Ramadhan dengan satu project kecil tapi mudah-mudahan bisa istiqomah hingga lanjut ke bulan-bulan setelahnya. Nama project ini One Plus One Minus.
Seperti namanya, kita komitmen untuk menambahkan satu kebaikan atau satu amalan positif yang sebelumnya belum pernah atau jarang dilakukan. Misalnya menambah rakaat dhuha, silaturahmi ke rumah saudara, membaca sirah sahabat, dan sebagainya.
One minus berupa meremove satu perilaku negatif yang sangat ingin kita hentikan tapi masih saja selalu terulang. Bentuknya macam-macam, bisa mengurangi ghibah, stop stalking akun korea, kurangi gegoleran di atas kasur, dan minus-minus lainnya yang berpotensi merusak amal ibadah.
Dan minggu ini, kita bertemu lagi untuk merefresh ulang ruhiyah melalui sharing mengenai project positive yang akan atau sedang kita targetkan. Bukan untuk saling menyombongkan, tapi untuk menginspirasi satu sama lain, termasuk berbagi ide yang mungkin belum terfikirkan sebelumnya. Juga sebagai afirmasi agar semakin teguh dalam merealisasikan target yang telah diniatkan.
Dan masya Allah, pertemuan ini lebih dari yang kuduga hasilnya. Target mereka, luar biasa High Quality. Padahal kalau melihat basic mereka sebagai mahasiswi kampus bisnis, malu rasanya diri ini mendengar rencana mereka meningkatkan kualitas keimanan di bulan penuh berkah ini.
Berikut target mereka yang mungkin juga akan membuat para pembaca malu, dan mulai berinisiatif untuk mengikut jejak mereka.
1. Menghadiri kajian-kajian secara langsung lebih sering
2. Tilawah 3 juz sehari. Tipsnya, baca Qur'an setiap ba'da shalat setengah juz.
3. Infaq 2 ribu setiap hari. Kelihatannya kecil, tapi kalau kontinyu membesar pahalanya insya Allah
4. Menginisiasi dan mengajak orang lain berbagi kotak makanan untuk buka puasa orang-orang di jalan. Alhamdulillah sudah terkumpul 100 porsi lebih
5. Muraja'ah setiap ba'da maghrib 1 juz
6. Mulai follow akun instagram kajian atau masak untuk mengalihkan dari stalking oppa-oppa Korea
7. Menambah kuantitas shalat malam selain shalat tarawih
8. Menambah rakaat dhuha jadi 8 atau 12 rakaat.
Nah, itu sebagian poin plus yang mereka sharing di pertemuan. Sedangkan poin minus, karena memang sifatnya aib diri, maka sengaja tidak kami bahas di forum. Cukup mereka yang berazzam teguh untuk tidak mengulanginya lagi.
Bagi yang mau memulai project One Plus One Minus, segera tuliskan dan tentukan timingnya ya. Mumpung masih bulan Ramadhan, lebih mudah bagi kita untuk memulai project kebaikan. Dan insya Allah pahalanya juga akan berlipat ganda. Mudah-mudahan kita dapat mencapai finish Ramadhan dengan Husnul Khatimah.
0 notes
aurora1453 · 6 years ago
Text
Tumblr media
ANTARA EKSTREM ATAU PERTENGAHAN
“Menjadi ekstrim itu enak lho.”
Agak kaget aku mendengarnya dari bibir penulis kondang, Bapak Lili Nur Aulia saat mengikuti pelatihan menulis di kantor Adara kemarin Kamis. Benarkah? Benarkah menjadi ekstrim itu enak?
Bukan, ini bukan karena aku salah dengar mengira ekstrim yang dimaksud adalah eskrim dengan taburan chocho di atasnya karena makanan kesukaanku itu sudah pasti enak buatku. Tak perlu dipertanyakan ulang, apalagi kalau dapatnya gratisan. Makin mantap pasti. Namun karena Pak Lili jelas menyebutkan kata ekstrim di kalimat beliau seterusnya, jadi aku yakin tidak salah dengar.
Masalahnya adalah, dari sisi mana ekstrim itu enak?
Karena kalau ditilik di KBBI, kata ekstrim (yang ternyata adalah kata tidak baku, sedangkan bentuk bakunya adalah ekstrem) memiliki makna :
paling ujung (paling tinggi, paling keras, dan sebagainya)
sangat keras dan teguh; fanatik: mereka termasuk golongan -- dalam pendirian mereka
Dari definisi di atas, mungkin yang paling mendekati dengan topik tulisan yang dimaksud adalah definisi kedua, yaitu yang sangat keras dan teguh, fanatik. Nah lho, fanatik ini kan biasanya diasosiasikan dengan makna negatif karena cenderung berlebihan dalam mempercayai sesuatu sehingga seringkali dinilai kurang masuk akal saat bertentangan dengan sesuatu yang lain. Jelas ini nggak enak menurutku. Karena sifat seperti ini biasanya mendapat penolakan keras dari orang lain.
Namun, penjelasan beliau selanjutnyalah yang membuatku menganggukkan kepala setuju, sambil berkata dalam hati
‘iya juga ya..’
“Karena menjadi ekstrim itu tinggal pilih dari 2 pilihan, mau jadi ekstrim kanan atau ektrim kiri. Kalau ekstrim kanan, gampang. Tinggal ke masjid, sholat, dzikir, puasa, gitu aja terus sepanjang hari. Sedangkan ekstrim kiri ya tinggal mabuk, zina, jadi liberalis, tak perlu agama. Enak kan? Tapi tentu kita tidak bisa seperti itu. Harus seimbang dunia akhirat. Makanya kita disebut ummat wasathiyah.”
Kurang lebih demikian penjelasan Pak Lili yang sebenarnya panjang namun hanya kuingat intinya. Inti yang membuatku memikirkan ulang berkali-kali kalimat beliau sehingga jadilah tulisan ini, yang berfungsi mengembangkan lagi gagasan beliau di pemikiranku.
Kalau dipikir-pikir lagi, jadi ekstrim kiri memang enak. Nggak perlu pusing mikir dakwah, mikir halal haram, mikir tetangga yang kesusahan harus dibantu, mikir mati mau ke mana. Nggak perlu. Suka sama lawan jenis atau bahkan yang sedang tren, sesama jenis ya mudah saja. Pacaran, sex bebas, selingkuh, tanpa tanggung jawab apapun. Bebas. Yang penting cinta katanya. Bahkan yang lebih lucu lagi UU-nya mau disahkan di negeri ini. Ekstrim memang. Masalahnya kalau banyak anak lahir di luar nikah (yang otomatis dipertanyakan masa depannya, statusnya, pendidikannya, mentalnya), penyakit HIV bertebaran, keluarga yang tercerai berai, siapa yang akan mengambil alih kepemimimpinan di negeri ini bila generasinya tak karuan begini? Asing dan Aseng?
Itu baru menyinggung sisi generasi bangsa. Belum masalah alkohol, narkoba, korupsi, ketimpangan sosial, adab, pendidikan yang carut marut, dan ekonomi yang morat marit. Biar pemerintah yang urus saja. Lha kalau masalahnya ada di pusat juga, trus siapa yang mau memperbaiki? Entahlah..
YOLO katanya. You Only Life Once. Do everything you want. Kalau keingininanmu ternyata melanggar agama? Nggak masalah. Kapan lagi bisa senang-senang?
Gimana? Enak kan jadi ekstrem kiri.
Jadi golongan ekstrem kanan juga nggak kalah enak kok. Katanya dapat surga lagi. Wiih..
Ah masa iya? Saya susah kok sholat 5 waktu, ngaji 1 juz, puasa sunnah. Susah lhoo
Enggak kok, nggak susah. Soalnya yang ngelakuin ini dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai saat ini juga ada. Dan mereka fine aja dengan kehidupan mereka. Enjoy. Karena memang fokus mereka hanya ke situ. Tidak ada kewajiban cari nafkah untuk keluarga, membantu anak yatim dan fakir miskin, berdakwah ke masyarakat seperti Nabi Muhammad dan para penerusnya, menegakkan ekonomi Islam, syariat Islam. Yang penting mereka beribadah di masjid atau di tempat khusus mereka, sampai ajal menjemput, lalu mati masuk surga.
Hmm.. Padahal tidak semudah itu Ferguso!
Saat pelatihan, Pak Lili menceritakan tentang betapa nikmatnya beribadah di Masjidil Haram. Rasanya begitu dekat dengan Allah. Nggak pengen pulang ke Indonesia, pengennya ibadah aja di sana. Beberapa orang yang kutemui pun mengatakan hal yang sama saat mereka kembali ke tanah air. Pengennya sekalian wafat di sana dalam keadaan terbaik, menyembahNya.
Tapi sekali lagi, bukan kehidupan seperti itu saja yang Rasulullah ajarkan. Bukan tentang ibadah mahdhoh sholat, puasa, zakat saja yang wajib kita lakukan. Namun ada tugas mulia lain, yang diemban oleh setiap muslim. Yaitu melanjutkan risalah Rasulullah SAW. Menegakkan agama Allah sesuai dengan fitrah manusia, rasional, dinamis, dan elastis.
Selain 5 kewajiban utama yang ada dalam rukun Islam, muslim juga harus menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhiratnya. Tidak boleh timpang salah satu. Coba bayangkan seandainya Rasulullah dulu tidak mencontohkan tentang bagaimana bermusyawarah yang baik, bagaimana membangun tata pemerintahan yang sesuai Al Qur’an dan As Sunnah, bagaimana adab terhadap tetangga muslim maupun non muslim, tentang kewajiban menuntut ilmu bahkan bila sampai ke negara Cina, dan lain sebagainya. Mungkin kita tidak akan pernah mendengar cerita-cerita sejarah kejayaan yang pernah diraih oleh Islam.
Itulah sebabnya mengapa muslim tidak boleh berdiam diri saja dengan apa yang terjadi di tempat tinggalnya, negaranya, pemerintahannya. Apalagi bila ternyata sang pemangku tahta memiliki wewenang membuat kebijakan yang bisa menguntungkan ataupun merugikan muslim dalam menjalankan syariat Allah. Bila sudah demikian, jalan terbaik ya memang menjadi bagian dari penguasa tersebut, atau mendukung penguasa yang adil, tidak mendeskriminasi muslim.
Bukankah dalam Qowaidul Fiqhiyyah, terdapat teori bila ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan, maka wajib bagi kita untuk memilih yang paling ringan mudharatnya. Apalagi di zaman teknologi maju seperti saat ini. Lebih mudah memilah, menyeleksi dan memilih mana yang sesuai dengan syariat Islam dan mana yang justru menjatuhkannya. Atau kalau memang masih bingung, kurang yakin dengan kapasitas otak kita, maka condonglah dengan pilihan Ulama yang hanif dan lurus.
Karena memang hidup ini adalah tentang pilihan kita. Pilihan untuk menjadi baik atau buruk. Pilihan untuk mentaati syariat Allah atau mengingkarinya. Menjadi bermanfaat untuk sekitar atau justru benalu yang merusak. Mendukung kebaikan atau justru menggerogotinya dengan kebodohan kita dalam bersikap. Sesimple itu. Tidak ada netralitas dalam keberpihakan pada kebaikan atau keburukan.
Jadi ummat wasathiyah memang ga mudah. Itulah sebabnya kita dituntut untuk terus bergerak, berdakwah, bersinergi dengan muslimin lain untuk menegakkan kalimat tauhid. Agar seluruh makhluk alam ini merasakan betapa indahnya agama Islam sebagai agama yang membawa Rahmat bagi seluruh alam. Agar saat ditanya Allah nanti, kita bisa menjawab dengan percaya diri untuk apa saja waktu, harta, tenaga, dan badan yang telah Allah pinjamkan kepada kita.
0 notes
aurora1453 · 7 years ago
Text
Salam Terakhir
Dalam setiap pertemuan, selalu ada perpisahan. Sama seperti adanya permulaan, pastilah akan sampai pula pada ujung akhirnya. Terdengar klise memang. Tapi rasanya memang kalimat tersebutlah yang paling mewakili kondisi saat ini, di mana tepat 29 hari yang lalu aku memulai sebuah lembar perjuangan bersama sosok-sosok asing yang telah menjelma menjadi teman yang saling mensupport. Hari di mana aku mengazzamkan diriku, menyugesti pikiran, bahwa 30 hari non stop menulis itu mudah. Apalagi jika minimalnya hanya 200 kata, pasti bisa. Sudah jilid yang ke delapan pula, sebelumnya banyak yang sudah sukses. Kalau mereka saja bisa, kenapa aku tidak? Dan ternyata... Aku salah. Salah besar. Menulis 30 hari non stop itu tidak mudah!! Bayangkan apa yang bisa terjadi pada dirimu dalam kurun waktu sebulan! Tiba-tiba ada berita duka, perhatianmu teralih. Dua minggu UTS, fokusmupun berpindah. Datang tamu bulanan, nyeri tak karuan menyiksa. Belum lagi ide yang stuck dan block writer yang melanda hampir setiap penulis. Jadi kata siapa menulis sebulan penuh itu mudah? Tahukah kamu berapa kali aku berpikir untuk mundur? Mengertikah kamu betapa hidupku sudah cukup sulit tanpa ditambah tugas macam begini? Sadarkah kamu berapa malam dan siang yang kulalui dengan penuh was-was, mencari ide yang tak kunjung menyemai? Pernahkah kamu berlomba dengan tengah malam bagai Cinderella menghitung detik? Berat kawan, sangat berat! Konsistensi itu bukan sesuatu yang instan. Membentuk habits pun tak menjelma dalam semalam saja. Butuh tetes air mata dan otak yang mengebul untuk merangkai ide menjadi tatanan kata. Dan kabar baiknya, di balik semua kegamangan, keinginan untuk mundur dari medan laga, mengakui kekalahan dan mengambil langkah ke belakang terhentikan oleh semangat yang terhimpun bersama fighters yang lain. Saling memberi feedback, seruan semangat untuk terus berkarya memberikan yang terbaik selalu digaungkan hari demi hari. Semangatpun kembali berkobar. Ah.. bukankah berjama'ah memang solusi terbaik untuk memulai kebaikan? Mungkin hasilnya memang tak sempurna. Masih banyak cacat yang harus terus diperbaiki. Tapi paling tidak, aku sudah cukup berusaha di tengah serangan kantuk yang mendera, lelah yang menjerat, dan pikiran yang tak berfokus. Paling tidak niatku sudah terpenuhi untuk mengasah lagi kemampuan menulisku yang melemah. Paling tidak aku sudah naik kelas meski hanya satu tingkat dengan pencapaianku terbaruku. Maka ijinkan tulisan ini menjadi salam terakhir dariku untuk 30dwcjilid8. Salam yang penuh rindu berharap suatu saat bisa bergabung kembali di jilid-jilid selanjutnya. Salam yang penuh takzim pada setiap mentor yang telah meluangkan waktu berharga mereka untuk membersamai perjuangan kami. Salam yang penuh kekaguman untuk teman-teman sesama fighters yang telah berhasil menyelesaikan tantangan ini bersama. Dan terakhir, salam penuh cinta untuk para bunda, ayahanda dosen, dan mahasiswi-mahasiswi jomblo sholihah yang tergabung bersamaku dalam squad 1. Sungguh merekalah yang terus memupuk tunasku agar tak berhenti untuk bertumbuh. Tak berhenti untuk belajar dari manapun. Tak bosan mengingatkan di kala malas dan pasrah menyerang. Ahh.. sungguh tiada kata dapat mewakili betapa kubersyukur menjadi bagian dari mereka. بارك الله لي و لكم جميعا
4 notes · View notes
aurora1453 · 7 years ago
Text
Tawaran Oktober
Oktober menawarkan hujan Padamu yang tengah beradu waktu Ilalang meliuk, Menarikan deru tetesannya Hatimu bergetar Bagai desisan resonansi garputala Mengajukan diri menembus kerumunan Bahu demi bahu tersibak Bisikan demi bisikan kau telan Seolah gotri terantai di langkahmu Kakimu menderu kecipak-kecipak di aspal Semakin dekat, melemah Kecipak itu lalu menyurut Mengejekmu yang mulai menganak sungai Menatap sosok di balik pintu bus
Oktober menawarkan pilu Padamu yang tengah bertarung rindu Kecipak lusa sore Terus merongkol dalam sukmamu Padahal surya tengah meramu cahaya Tapi kau masih saja terkungkung badai Ilalang menari lagi Kali ini bermusik desisan angin Hatimu membeku tak peduli Bagai es batu yang dicongkel paksa Bopeng penuh cerukan
Oktober menawarkan bising Padaku yang tengah terasing Tangismu terus mengejar Mendebur karang pertahananku yang tak lagi kokoh Sungguh inginku terbang Bagai belalang menggumul ilalang Apa daya kaki terpasung Bersama guguran maple pedestrian
Oktober akhirnya menawarkan tawa Bersama gingsulmu yang menyembul malu Ilalang menari lagi Kali ini bersama tabuhan gendang Anak kecil ikut bergoyang Menyaksikanmu bertaut lengan di pelaminan Bibirku menggumam senyum Menatap binarmu dari layar smartphone
Oktober masih menawarkan bising Padaku yang semakin terasing Terkungkung rindu yang tertolak Bersama maple yang terus menimbunku Quebec masih sama Hanya beku hatiku yang terus mencelos Menyaksikanmu berbalut gaun
0 notes
aurora1453 · 7 years ago
Text
Jangan Hanya Jadi Penikmat, Berkaryalah!
"Jangan hanya jadi penikmat Mas, berkaryalah!" Bram tercenung, teringat kembali kalimat yang selalu ayah ulang-ulang pada keempat anak-anaknya. Terutama pada Bram sebagai anak tertua. Dulu, dia agak muak saat mendengarnya. Karena ayah selalu mengatakan itu saat Bram sedang asyik-asyiknya membaca komik dan novel, menonton anime atau mendengar musik. Bram ingat sekali, kalimat pamungkas itu ayah ucapkan sambil menghentikan aktivitas hiburan Bram yang dirasa ayah sudah berlebihan. Namun entah mengapa, meski Bram kecil tak mengerti tentang definisi berkarya, ucapan ayah selalu terngiang dengan jelas di telinganya. Saat masih duduk di tingkat sekolah dasar, Bram senang sekali membaca komik. Bila ada gambar yang menarik perhatiannya, segera diambilnya kertas dan pensil, lalu mulai menggambar seperti yang ada di dalam komik. Hasilnya? Di awal tentu saja hampir tak bisa terdeteksi gambar apa yang sedang ia hasilkan. Tapi lama-lama kemampuannya terasah. Temannya bahkan kadang merequest minta digambar dan Bram dengan senang hati menyanggupi. Kalau ayah bertanya karya apa yang Bram hasilkan, dengan bangga dia akan menunjukkan gambarnya pada ayah. Lalu beliau mengangguk-ngangguk sambil tersenyum. Hanya saja, Bram lemah dalam memadukan warna. Alhasil, setiap dia mencoba mewarnai gambarnya, malah berubah jadi mengerikan. Sejak saat itulah Bram tak lagi menekuni aktivitas menggambar. Dia mencari kesibukan lain. Akhirnya Bram memilih menulis cerita pendek untuk disebar ke teman-temannya. Respon mereka sangat bagus. Bila ceritanya bersambung, dia akan ditagih kelanjutannya. Bram senang bukan main melihat antusias temannya. Sayangnya, hobi ini luntur saat Bram memasuki dunia SMP. Jam belajar yang padat hingga sore hari dan ekskul beragam membuat perhatian Bram teralihkan sepenuhnya. Di SMA, Bram semakin sibuk dengan sekolah dan organisasi yang diikutinya. Aktivitas membaca buku pun juga terlupa. Ditambah saat itu, gadget sedang mengalami percepatan kemajuan yang membuatnya semakin terlena bila memiliki waktu luang. Bram bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain game saat sedang liburan. Hingga suatu hari, ayah memanggilnya. "Tadi Mas sedang apa?" Tanya beliau sambil mengasokan badan setelah badminton di lapangan kelurahan. "Main game, Yah." Jawab Bram sambil agak beringsut menjauh, hidungnya kembang kempis mencium bau "segar" keringat ayah. Ayah terdiam sejenak sambil meminum jus mengkudu yang diunduhnya dari pohon depan rumah. "Mas tau siapa Marie Curie, Edison, Bill Gates, atau Mark Zuckeberg?" "Tau." Jawab Bram singkat. "Kalau Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Al Biruni? "Mereka ilmuwan muslim yang keren banget." "Tau apa persamaan mereka semua?" Bram terdiam, mulai menebak arah pembicaraan. "Punya karya?" Tebaknya ragu. Ayah tersenyum. "Benar sekali. Mereka punya karya di bidang masing-masing. Karya yang hingga saat ini membawa perubahan besar bagi umat. Bram, setiap manusia memiliki jatah hidup yang sama, hanya satu kali. Yang membuat mereka berbeda adalah karya, kebermanfaatan untuk sesama. Kamu ingat apa yang dulu sering ayah katakan?" "Mmm.. jangan hanya jadi penikmat, berkaryalah!" "Tau kenapa kita tak boleh jadi sekedar penikmat karya?" Bram menggeleng tak yakin. "Karena itu tanda kalau kita egois Bram. Hanya mementingkan diri sendiri. Padahal dalam tubuh kita, ada hak umat yang harus kita penuhi. Maka berkaryalah Bram! Jangan menjadi manusia biasa-biasa saja! Berkaryalah dan bawa perubahan kebaikan, sekecil apapun itu!"
0 notes
aurora1453 · 7 years ago
Text
Hallyu Wave dan Haters
"Ya ampun, kamu suka nonton korea? Yang cowoknya melambai itu? Eww.. mendingan drama Turki dong.. cowoknya macho!" Sri jengkel bukan main mendengarnya. Ini kan masalah preferensi. Nggak bisa dipaksakan dong. Lagian dikira cowok Korea nggak ada yang macho apa? Coba saja cek Choi Sung Hoon, Lee Jaeyoon, Daniel Henney.. pasti dia bakal klepek-klepek. Huuh. Sebelumnya, kakak kelasnya, Kinan juga ikut berkomentar saat tahu Sri suka nonton acara-acara tv dari negeri Ginseng itu. "Seriusan Sri, kamu suka korea? Aku kira kamu orangnya berpendidikan gitu. Soalnya wawasan kamu kan luas. Ternyata penyuka drama menye-menye juga ya?" Katanya dengan nada meremehkan. Mendengarnya, rasanya Sri ingin sekali menyumpal mulut orang sok tahu itu. Sejujurnya dia sangat heran dengan pribadi yang berpikiran sempit macam kak Kinan. Hanya tahu dari luar saja, tapi sudah berani menyerang secara verbal. Picik sekali. Dan sayangnya orang-orang seperti Kak Kinan ini banyak sekali. Yang Sri tak faham, memangnya orang berpendidikan itu nggak boleh punya hiburan apa? Dan kenapa pula penyuka Korea selalu dikaitkan dengan remaja labil pecinta oppa unyu? Apa bedanya Sri yang penyuka Korea dengan Kinan yang hobi nonton film India? Sama-sama suka nonton ini. Lagipula dalam memilih hiburan ringan, Sri jelas memang lebih memilih menonton drama Korea dibanding sinetron beratus-ratus episode milik Indonesia yang hampir tak menambah nilai plus untuk sisi kognitif Sri. Atau dibandingkan serial Barat yang meskipun bagi sebagian orang memiliki alur dan plot yang bagus, tapi Sri tak nyaman dengan budayanya yang bebas dan seringkali bertolak belakang dengan nuraninya. Selain drama Korea lebih bervariasi, lengthnya pun hanya sekitar 16-20 episode. Jadi tak menimbulkan rasa bosan para penontonnya. Poin positif lain yang Sri suka dari drama korea adalah konsistensi mereka dalam mengangkat sisi lain dari kehidupan para pemeran utama dengan beragam profesinya, mulai dari dokter, lawyer, public prosecutor hingga presidennya. Ini jelas membantu sekali menambah wawasan Sri mengenai profesi-profesi tersebut. Meskipun sejujurnya, Sri tak terlalu suka menonton drama korea. Dia lebih condong pada reality show mereka yang informatif dan inspiratif. Tak seperti Indonesia yang sering kali hanya berisi talkshow atau games saja. Kurang variatif menurutnya. Bisa dibilang pengetahuan Sri yang luas itu selain dari hobinya membaca buku, juga dari tontonan-tontonan semacam The Returns of Superman, Hello Counselor, Abnormal Summit, Law of The Jungle, dsb. Jadi jelas sekali Sri gedeg dan kesel kalau ada orang yang sok tahu, sok menjudge ini itu sedangkan sebenarnya tak mau mencari tahu dan hanya bicara melalui asumsi saja tanpa bertanya fakta. Lain hari, gantian Fina, teman kajiannya yang berkomentar. "Astaghfirullah ukhti, anti ikut-ikutan terbawa arus budaya asing yang merusak seperti orang 'ammah' itu ya?" Nah kalau todongan Fina ini, jelas sekali Sri bingung gimana membantahnya. Masalahnya adalah biarpun dia memang ga pernah mengkoleksi poster, menonton konser, ataupun mengejar-ngejar oppa-oppa Korea, tetap saja ia suka beberapa jenis lagu mereka. Terutama lagu ballad dan R&B. Jadi kalau dibilang terbawa arus ya memang iya. Tapi jelas Sri menolak kalau langsung disandingkan dengan arus negatif seperti yang dipikirkan Fina. Menurut Sri, sah-sah saja mau menyukai budaya Jepang, Korea, Barat, Turki, India, Cina, Arab atau dari negara manapun selama ia mampu memfilter dan memilah mana yang positif dan mana yang negatif. Kalau memang ternyata dengan hobinya itu justru mempermudah dia dalam menggapai mimpinya, passionnya, why not? Asal tentu masih dalam garis batas wajar, tidak berlebihan. Hiburan ya secukupnya saja. Jangan sampai memakan waktu-waktu produktif secara sia-sia.
0 notes
aurora1453 · 7 years ago
Text
Rekening Pahala dan Dosa
Manusia, tak pernah lepas dari sebuah label bernama 'makhluk sosial'. Tak peduli ia seorang introvert, berkepribadian ganda, ataupun spiderman. Selalu saling membutuhkan satu sama lain untuk melengkapi kebutuhan hidupnya, lahiriyah dan batiniyah. Bersosialisasi menuntut manusia untuk merespon bagaimana tutur perilaku orang-orang di sekelilingnya. Menjadi peniru dan juga menciptakan tren. Keberadaan entitas lain yang sejenis dengannya, seringkali menyebabkan manusia untuk saling berlomba mengunggulkan diri menunjukkan eksistensi keberadaannya dalam sebuah lingkup sosial. Pada struktur perilaku manusia, hanya ada 2 macam value. Kebaikan dan keburukan. Di antara dua hal tersebut, manusia condong pada salah satu titik saja. Tak mungkin memiliki keduanya. Karena sudah jelas haq dan batil tak pernah bisa bercampur dalam sebuah wadah.
Kebaikan dan keburukan adalah 2 hal yang saling bertentangan satu sama lain. Saling menghadang, saling menyerang, saling bertarung untuk mengambil posisi terkuat dalam jiwa manusia. Sesorang yang berhasil menciptakan sebuah tren dan follower setia, entah itu membawa sebuah misi kebaikan ataupun keburukan di dalamnya, sejatinya ia sedang membuka rekening demi rekening tabungan masa depan. Rekening yang akan terus membengkak selama followernya mengikuti setiap presisi tren yang ia gaungkan. Bahkan saat ia sudah meninggalpun, rekening ini tak pernah berhenti bertambah selama masih ada jejak follower yang terinspirasi darinya. Satu-satunya pilihan manusia adalah membuka rekening kebaikan yang membengkak, atau justru malah rekening-rekening yang akan memberatkan dosanya di hari pengadilan. Dan yang paling penting adalah tren ini tak harus berupa sesuatu yang besar dengan jutaan pengikut. Tapi juga dari hal-hal kecil dalam keseharian yang berpeluang membuat orang lain mengikuti apa yang dilakukan. Jadi silahkan saja membuat tren, menciptakan follower. Tapi harus selalu ingat bahwa setiap kebaikan ataupun keburukan berantai yang dimulai, akan ada rantai pahala dan dosa juga yang mengikutinya. Sebagaimana dalam hadist disebutkan, ﻣﻦ ﺩَﻝَّ ﻋﻠﻰ ﺧﻴﺮٍ ﻓﻠﻪ ﻣﺜﻞُ ﺃﺟﺮِ ﻓﺎﻋﻠِﻪ “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim no. 1893). ﻭَﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻰ ﺍﻹِﺳْﻼَﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺳَﻴِّﺌَﺔً ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭِﺯْﺭُﻫَﺎ ﻭَﻭِﺯْﺭُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻩِ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ “ Barangsiapa yang memberi petunjuk pada kejelekan, maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan jelek tersebut dan juga dosa dari orang yang mengamalkannya setelah itu tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun juga .” (HR. Muslim no. 1017).
0 notes
aurora1453 · 7 years ago
Text
Finding Family
Mahasiswa identik dengan anak rantau. Jauh dari keluarga, sanak saudara, apalagi gebetan. Kalau masih berstatus MABA, biasanya luntang lantung sendirian karena belum punya banyak teman. Hidup di perantauan, mau tak mau memaksa diri untuk bersedia satu atap dengan orang asing. Entah itu berupa ngekost, kontrak rumah atau sewa apartemen. Meski opsi terakhir hampir bisa dikatakan sangat sedikit yang memilihnya karena harganya yang fantastis untuk ukuran mahasiswa. Hal yang paling penting dari perjuangan mencari tempat tinggal tentu saja bukan hanya tentang interior ruangan dan fasilitasnya, tapi juga mengenali sosok-sosok yang akan tinggal bersama di dalamnya. Bisa dikatakan, teman satu kosan adalah keluarga sementara selama di perantauan. Mereka yang akan membersamai dalam setiap relief perjuangan. Oleh karena itulah penting sekali untuk para perantau mencari keluarga baru yang dapat memberi warna positif dan membangkitkan nilai spiritual dalam diri. Karena kepribadian seseorang, bisa berubah sesuai dengan lingkungan yang mewarnainya. Sudah banyak kasus menyebutkan seseorang yang terjerumus dalam dunia kelam dan negatif karena pengaruh teman bergaul yang jelek. Namun tak sedikit pula orang yang justru berproses ke arah kebaikan karena bergaul dengan orang-orang yang sholih. Sedemikian pentingnya menentukan teman bergaul, hingga Rasulullah SAW menganalogikan dalam sebuah hadisnya, ﻣَﺜَﻞُ ﺍﻟْﺠَﻠِﻴﺲِ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢِ ﻭَﺍﻟﺴَّﻮْﺀِ ﻛَﺤَﺎﻣِﻞِ ﺍﻟْﻤِﺴْﻚِ ﻭَﻧَﺎﻓِﺦِ ﺍﻟْﻜِﻴﺮِ ، ﻓَﺤَﺎﻣِﻞُ ﺍﻟْﻤِﺴْﻚِ ﺇِﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳُﺤْﺬِﻳَﻚَ ، ﻭَﺇِﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺒْﺘَﺎﻉَ ﻣِﻨْﻪُ ، ﻭَﺇِﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺠِﺪَ ﻣِﻨْﻪُ ﺭِﻳﺤًﺎ ﻃَﻴِّﺒَﺔً ، ﻭَﻧَﺎﻓِﺦُ ﺍﻟْﻜِﻴﺮِ ﺇِﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳُﺤْﺮِﻕَ ﺛِﻴَﺎﺑَﻚَ ، ﻭَﺇِﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺠِﺪَ ﺭِﻳﺤًﺎ ﺧَﺒِﻴﺜَﺔ “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628) Oleh karena itu, peran orang tua untuk turut mendampingi sang abege dalam menemukan keluarga barunya sangat diperlukan. Atau paling tidak, ada wakil yang dipercaya sebagai pengganti kehadiran mereka. Karena suatu saat, ananda akan merasakan gembira, bahagia, sedih, sakit, atau mendapat musibah, sedang orang tua tak mampu untuk mendampingi. Keluarga kedua inilah yang akan hadir pertama kali di sisi ananda. Mereka yang seharusnya menguatkan, atau justru malah berbalik menghancurkannya. Mereka juga yang akan merawatnya saat sakit, atau justru malah cuek membiarkannya. Tentu semua orang tua berharap yang terbaik untuk putra putrinya. Dan salah satu usaha terbaik yang harus dilakukan adalah memilihkan keluarga kedua yang juga terbaik untuk menemani pembentukan ketajaman EQ dan SQ mereka selama di tempat rantau.
0 notes
aurora1453 · 7 years ago
Text
RUTE
Hal yang paling menarik dan harus selalu ada di kartu undangan pernikahan, selain nama mempelai adalah rute menuju lokasi resepsi. Ini penting banget, karena kalau tidak, para tamu undangan bisa-bisa tersasar ke mana-mana tanpa pernah sampai tujuan. 'Aah.. gue kalau ke kondangan nggak perlu lah pake rute segala. Tinggal buka gmaps aja. Nyampe deh." Benar sekali, kecanggihan teknologi memperkenalkan kita pada aplikasi penunjuk arah macam waze ataupun gmaps, di mana terdengar suara merdu perempuan yang mengarahkan kita untuk belok kanan belok kiri hingga akhirnya sampai ke lokasi tujuan dengan aman, selamat dan sentosa. Tapi tetap saja gmaps membutuhkan letak lokasi yang kita tuju, supaya bisa menampilkan rute perjalanan yang hendak ditempuh. Jadi tetap saja judulnya kita masih butuh rute. Nah sama seperti hidup kita. Sejatinya sejak kita lahir hingga nanti menemui kematian, kita sedang menyusuri sebuah rute kehidupan. Ada banyak pilihan rute yang bisa kita ambil untuk mencapai goal akhir apa yang kita inginkan. Dan setiap rute tentu saja memiliki tantangan dan cobaan masing-masing. Masalahnya adalah, kadang kita tak tahu rute mana yang harus kita ambil. Kebingungan menentukan rute, akhirnya sering kali membuat kita hanya berputar-putar saja pada satu titik tanpa pencapaian dan prestasi. Padahal sebenarnya mudah saja menentukan rute hidup ini. Cukup mempelajari sejarah biografi orang-orang sebelum kita. Kenapa? Karena dengan begitu kita mengetahui rute apa yang mereka ambil dan bagaimana rute tersebut berakhir. Dalam Al Qur'an, tentu kita sering sekali menjumpai kisah-kisah terdahulu dan akhir kehidupan mereka. Kisah ini bukan ditujukan pada kita tanpa sebab. Karena Allah jelas menyebutkan di beberapa akhir ayat agar kita berpikir. Allah menunjukkan pada kita akhir dari orang-orang kafir, ingkar, dan sesat supaya kita tak mengikuti rute mereka. Bila kita tetap saja berlakon seperti itu, maka sudah dipastikan akhir rute kitapun tak jauh berbeda dengan mereka. Na'udzubillah min dzaalik. Maka pr kita sekarang adalah mencari tokoh yang memiliki rute paling sesuai dengan keinginan kita. Yang sesuai dengan akhir apa yang kita inginkan. Contohnya bila kita ingin menjadi pedagang sukses, maka kita bisa meniru rute sahabat Abdurrahman bin Auf, atau founder Windows, Bill Gates. Kalau ingin jadi pemimpin yang dicintai rakyatnya, langsung saja kita pelajari rute Rasulullah, atau Muhammad Al Fatih atau Erdogan bila ingin tokoh yang lebih dekat masanya dengan kita. Yang paling penting dari poin mengikuti rute adalah, bukan mengikuti mentah-mentah semua yang mereka lakukan. Tapi kita memfilternya terlebih dahulu. Bila beberapa kali mereka terjatuh sebelum sukses, kita cukup tahu dan berhati-hati jangan sampai terjatuh seperti mereka. Karena itulah inti dari mengambil rute orang lain. Tidak mengulang kesalahan yang sama berkali-kali, sehingga kita bisa memotong jalan agar lebih cepat sampai ke tujuan. Nah, selamat mencari rute terbaik!
0 notes
aurora1453 · 7 years ago
Text
Mahasiswa Gagal Fokus
Udara terasa kering. Hawa panas menyerbu seluruh muka Fatma yang terlupa memakai masker. Kulitnya memerah terpanggang terik matahari siang. Segera dihentakkannya kaki membelok menuju kafe terdekat. Sekedar mengisi perut yang belum terisi sejak ia berangkat menemui temannya, dekan di salah satu universitas ternama daerah tersebut. Kafe yang terlihat cozy, cocok untuk tempat nongkrong mahasiswa sambil brainstorming memikirkan ide-ide hebat. Seluruh meja sudah hampir penuh, hanya 2 yang tersisa. Fatma segera menuju ke meja kosong dekat pintu masuk. Matanya mengscan seluruh ruangan. Seperti yang ia duga, hampir seluruh pelanggan adalah mahasiswa kampus tersebut. Sambil menunggu pesanannya tiba, Fatma memeriksa email yang masuk mengenai kasus terbaru yang sedang ditanganinya. "Eh.. demi apa, GD ke gramed deket kampus kita? Aarrgh.. kenapa gue ga ke sana juga kemarin??" Suara cempreng 1. "Ya ampun, kan lo juga udah beli tiketnya kan! Pasti juga ketemu!" Suara cempreng 2 menyahut. "Duit gue udah habis gegara nonton konser Mubank kemaren, bingung gimana beli tiket BTS. Padahal kan pengen banget ketemu oppa Jungkook!!" Suara cempreng 3 menangis bombay. "Udah lu gadai aja laptop lu. Lumayan tuh.. ntar kalau duit bidik misi udah turun, tinggal tebus!" Suara cempreng 1 agak acuh. Telinga Fatma menegak mendengar obrolan mahasiswi-mahasiswi tersebut. Dia nggak salah dengar kan? "Sial*n! Anj*ng! Gue kalah lagi! Kampr*t dah ah nih game!" Suara bariton terdengar mengutuk dari ujung lain. "Hahaha.. sudah gue bilang bunuh aja ceweknya! Dia tuh spy. Lu gobl*k sih!" Suara 2 menimpali sambil tertawa-tawa. "Au ah. Gue mau cabut. Lu nanti malem jadi ke angkringan kan? Ada cewek bohay yang mau join kita!" Fatma tak bermaksud menguping. Tidak sama sekali. Tapi mereka sendiri yang tak tahu malu, bicara sekotor itu di tempat umum. Bola matanya bergerak sekali lagi menyusuri setiap inci kafe. Kali ini lebih intens. Di tengah kafe, sekitar 4 pemudi berjilbab sedang sibuk membahas sesuatu. Wajah mereka terlihat cantik dengan polesan make up yang tebal. Majalah fashion terbuka lebar. Tools make up berserakan di atas meja. Tanpa mendengar suara merekapun, Fatma tahu apa yang sedang menjadi topik pembahasan.Tiba-tiba Fatma gamang memandang para pemuda yang seharusnya menjadi penerusnya kelak. Ditatapnya lagi berkas-berkas berisi protes warga tentang pajak yang mencekik, gula petani yang tak laku dijual, harga garam yang melambung, dan kebijakan-kebijakan lain pemerintah yang meresahkan hampir seluruh penduduk negeri. Ingatannya kembali ke 20 tahun silam, di mana saat itu dia masih menyandang titel mahasiswa. Dia ingat sekali bagaimana mereka melakukan konsolidasi berkali-kali antar kampus. Rangkaian aksi demonstrasi dan mimbar bebas di kampus-kampus juga mulai berlangsung dengan berbagai macam isu utama, seperti “Turunkan Harga kebutuhan Pokok”, “Tolak Korupis Kolusi dan Nepotisme (KKN)”, dll. Perjalanan panjang hingga akhirnya mereka berhasil menjatuhkan Soeharto dari tampuk kekuasaan.
Entah mengapa Fatma hampir tak mendengar sepak terjang mahasiswa kini yang seharusnya berfungsi sebagai social control bila ada keganjilan dalam masyarakat ataupun kebusukan-kebusukan pada birokrasi. Membandingkan mahasiswa masa dulu dan sekarang, rasanya Fatma ingin menangis. Wahai ananda yang bergelar agent of change, social control dan iron stock, sedang ke mana fokusmu berbelok?
0 notes