Text
من يزرع يحصد
Siapa yang menanam, ia akan menuai
4 notes
·
View notes
Text
Kalender Bumi
Ia melihat kalender di dinding kamar. Ia melihat dan memandangi angka-angka hijau yang berubah menjadi pohon.
Ia menatap kalender. Ia memerhatikan angka-angka hitam serupa monster dan robot.
Ia memerhatikan kalender. Ia menemukan angka-angka berklir merah yang menjelma taman-taman nirwana, kebun-kebun jingga, rumah-rumah dari gumpalan awan.
Ia melihat kalender. Ia memandanginya lamat-lamat. Tiba-tiba angka-angka itu berkata: hidup-hiduplah di bumi dengan jiwa.
Cirebon, 12.01.19
7 notes
·
View notes
Text
Bila Kau Melihat yang Tidak Sempurna
Setiap orang yang kau jumpai sejatinya luarbiasa dan menakjubkan dan ajaib dan unik dan bagian dari manifestasi-Nya di semesta ini.
Sebagian kau temui mungkin menyadarinya. Sebagian lain barangkali belum (tidak?) menyadarinya. Di sanalah, kau bertugas mengingatkanya. Dan ingatkanlah dengan kasih dan cinta dan tepa-selira. Sesederhana itu.
"Bila kau mendapati yang tidak sempurna, maka kaulah yang bertugas menyempurnakanya," ujar seorang mursyid pada satu kesempatan yang saya tidak tahu sekarang dimana.
Saya merindukannya.
Cirebon, 25|02|18
(foto : pixabay)
0 notes
Video
youtube
Menunggu Sableng, #SiapSableng Salah satu pengalaman "ganjil" yang hadir dalam hidup saya adalah membaca cerita silat (cersil) Wiro Sableng untuk kali pertama. Peristiwanya pun di Pesantren Annida al-Islamy, Bekasi, tempat saya mondok. Seringkas ingatan saya, kala itu saya masih duduk di kelas 2 Tsanawy. Suatu siang, mungkin sejam jelang Asar, kepala saya berat dan pening. Semua karena hafalan dan muthalaah kitab. Lalu, saya nyebrang ke kamar teman (lupa kamar berapa) yang posisinya di depan kamar saya, 16-17. Tiba-tiba, saya menemukan satu buku cersil Wiro Sableng tergeletak di bale abang kelas. Saya menduga, sang empunya lupa memasukkan kembali ke lemari bukunya. Karena tidak ada orangnya, sambil tiduran di bale tersebut, kisah murid Sinto Gendeng itu saya baca dalam tempo yang tidak sampai satu jam. Khatam. Tuntas. Setelah itu, aneh, kepala saya yang semula seperti digandulin seember air mendadak byar, enteng pisan. Oh, ternyata cersil, juga mungkin dongeng-dongeng seni bela diri lainya, bisa menjadi obat kepala. Boleh juga untuk terapi. Sejak itu, saya mulai baca cersil Bastian Tito yang lain secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Konon, 2018 ini, kisah pendekar Wiro Sableng 212 ini bakal tayang di jejaring 21. Melihat teaser & trailernya sepertinya ciamik. Ada nama Seno Gumira Ajidarma yang terlibat di skenarionya, ada Yayan Ruhiyan, Lukman Sardi, Arif Rahman dll yang terbayang lumayan menjanjikan. Saya pasti akan masuk ke bioskop dalam kondisi kepala penat dan semoga bersua dengan pengalaman saat kali pertama membaca cersilnya dulu di pesantren. Kalau tidak, saya akan misuh-misuh sendiri atau kembali mencari-cari novelnya lagi di gerai buku-buku lawas di lantai bawah Blok M. #siapsableng #catatanmuaz | 20.01.18
2 notes
·
View notes
Photo
Membaca Muslihat
Saya menikmati betul Muslihat Musang Emas Yusi Avianto Pareanom ini. Sampai kebayang tokoh Jarwo di cerpen terakhirnya, Pak Pendek Anggur Orang Tua Terakhir di Dunia, itu tidak mati. Berkhayal ia menjadi kawan Tyrion Lannister a.k.a Peter Dinklage di Game of Thrones yang baru saya khatamkan.
Jangan pernah membayangkan kisah yang manis (baca: cerita cinta yang melow dan kinyis-kinyis) di sini. Sebagian besar dongeng-dongeng yang ditawarkan Yusi bicara seputar kesialan, kemalangan dan absurditas anak manusia. Bukankah hidup manusia kerap begitu yah?
Plot-plot Yusi beres. Karakter-karakternya juga unik dan tidak membosankan. Diksinya juga terampil dan rapi jali. Banyak juga, misalnya, hal-hal baru (informasi atau wawasan ini itu) yang kita temui dalam sepilihan cerpen ini. Saya merasakan betul kalau Yusi membuat cerpen seperti disiapkan dengan matang bahan-bahanya, sehingga sulit mencari celah kelemahanya. Ada mungkin bagi kritikus sastra yang piawai. Tapi, buat saya yang sukadar penikmat sastra dan berniat menulis cerpen atau novel kok terasa malu dan ingin mundur secara teratur. Hahaha. Sindrom aneh ini selalu terjadi setiap baca fiksi yang bagus. Entahlah ke depan.
Cirebon, 21.01.18 #catatanmuaz
#menulis#cerpen#catatanmuaz#indonesia#instagram#pembaca#bananabooks#reading#baca#like4like#likeforlike#notebooks#blogger#books#muslihatmusangemas#followforfollow#sastra#postsanta#writing
0 notes
Text
Anjing yang Berjalan di Belakang Wali
Tuan, kau mendaku seorang pendosa. Aku tidak percaya. Kau sebut dirimu pelaku maksiat. Apalagi. Aku sungguh tidak yakin dan aku merasa tersindir. Tuan, kau merasa fakir. Boleh jadi. Laku hidupmu. Jalan yang kau tempuh sangat memungkinkan kefakiranmu. Kau tentu tidak butuh yang lain-lain kecuali Kekasih sejatimu: Sang Rahman.
Tuan, kau merasa fakir, pendosa dan pelaku maksiat. Dan kau berharap bisa melangkah di belakang para Nabi atau para wali atau para sufi atau manusia luhur lainnya yang kelak bisa memberimu syafaat di Hari Hisab.
Anjing, Tuan, kau menyebut anjing pun bisa berjalan di belakang para wali dan para sufi, sehingga anjing direken berhak ikut di dalam rombongan kaum suci tersebut. Ah, bila anjing itu aku, aku juga mau, Tuan. Meski, aku sendiri tidak yakin.
Tuan, agaknya, kau menyimpan rapat-rapat sebagian riwayat dalam manuskrip para sufi bahwa asu-asu yang pernah membantu para wali atau para sufi pada suatu masa dan peristiwa kelak bisa terangkat derajatnya. Wallahu'alam. Tuan sangat mafhum dan mengerti itu. Itu semesta dan sasmita yang sepertinya hanya Tuan dan kawan-kawan Tuan yang mafhum. Bukankah kasih-sayang-Nya meliputi semesta, dan semesta cuma noktah yang kalau Dia berkehendak semua anjing di dunia pun bisa mendapat predikat mulia.
Tuan, meski kau bukan anjing yang melangkah di belakang para wali dan sufi. Tapi, kau berhasrat serupa hewan yang kerap kami uar dalam sumpah serapah kami. O, Tuan, kau sungguh jatmika; ucapan, tulisan, perbuatan, dan mungkin juga fisik (siapa tahu dan hamba toh tidak pernah bertemu dengan Tuan). Musyawarah Burung yang pernah kau torehkan menginspirasi orang hatta sekarang. Tapi, kau merunduk dan tawadhu. Kau malah mendaku hanya lelaki fakir-pendosa-pemaksiat yang kelak bisa dicatat sebagai pecinta para pecinta-Nya, bahkan rela disebut sebagai debu yang menempel di tumit para pecinta yang mencintai para nabi, para wali, para sufi, para zahid, para ulama dan para ahli ibadah. Kau hanya berharap, kelak, dengan menjadi debu yang menempel di kaki para pecinta-Nya itu, kau memperoleh syafaat, hingga Tuhan meanugerahi taubat nasuhamu, merestui amal-amal baikmu, menjaga agama dan imanmu dari murka-Nya, menjagamu dari kejahatan setan, memaafkan segala khilaf dan kesalahanmu, mengumpulkanmu bersama umat Baginda Nabi Muhammad saw.
Ah, Tuan, dikau membuatku merasa kerdil dan keruh berlipat-lipat. Dikau hanya merendah dan merasa hina. Muswayarah Burung (Mantiqat Thair) menunjukkan bahwa klaim dirimu yang begini dan begitu semakin menguatkan kau pun sama luhurnya dengan orang-orang pilihan-Nya. Metafor-metafor yang kau terakan, alegori-alegori yang kau sampaikan di dalam Musyawarah Burung, adalah sebuah pencapaian yang bukan diskursif belaka, tapi ada sulur-sulur futuh Ilahi yang tersibak kepada-Mu dan kau mengekalkanya dalam aksara. Kau menyinggung pencarian salik tentang diri dan Tuhannya dalam tujuh stasiun spritual yang indah. Aku beruntung pernah membaca anak ruhanimu itu dalam versi terjemah, dan nalar serta kalbuku belum penuh menggapai lapis-lapis maknanya yang indah. Entah karena terjemahanya yang buruk. Atau karena cermin di hatiku yang terlampau berjelaga hinga tidak bisa tersingkap setitik cahaya-Nya di jalan yang kau tempuh itu. O, Tuan, betapa banyak kaum cerdik-cendikia yang terpesona karena Simurgh yang kau tulis itu. "Attar sudah melintasi tujuh kota Cinta, sementara kita masih berada di belokan satu jalan," ujar Rumi yang masyhur di kalangan para pencari spiritual sejagat ini, memujimu. Oh, betapa aduhainya punya karya semisal buku-bukumu. Betapa luhurnya adab sesama penulis-penyair-sufi seperti dikau dan Rumi.
Lalu, Borges, sastrawan Argentina buta yang menganggap perpustakaan adalah surganya, yang lahir berabad-abad kemudian lahir. Yang cerita-ceritanya banyak memengaruhi bejibun juru dongeng ciamik, juga pernah menyebut namamu dalam cerita pendek fantasi berjudul The Approah to Al-Mu'tasim. Borges malah menilai kau melampaui Dante. Agaknya, ia terpengaruh juga olehmu.
Tuan, selain Rumi dan Borges yang tercerahkan oleh karyamu, tentu saja banyak nama dan cerita hasil beasyik-masuk dengan tulisanmu. Wawasan kulo cuma seuprit Tuan. Sedih kulo mah kalau menyadari ini, Tuan. Ah, tak elok rasanya mengeluh kepadamu.
Tuan, itu baru satu buku yang menginspirasi dan memengaruhi hidup para penulis dan orang banyak. Sedang kau menulis bukan hanya itu. Tak terbayang berlimpah pahala dan berkah yang bisa menaungimu untuk masuk kelompok manusia mustafa yang dirindukan-Nya. Dan bila kau menyebut diri sang fakir yang pendosa dan pemaksiat sebetulnya itu lebih layak untuk kami.
Izinkan aku membaca Tazkiratul Auliya-mu ini, Tuan. Semoga penutup mukaddimah yang kau tulis, juga senarai maksud yang ingin kau reguk dari menulis buku ini, melindap di dalam hidupku.
Cirebon, A. Muaz | 18.01.18
0 notes
Photo
Ihwal umur, gelar dan rumor-rumor yang mengganggu kita.
0 notes
Text
Pemalas yang Menerima Kabar-kabar Duka
16.01.18. Pasca menjemput anak dari sekolah.
Ia sampai di rumah satu jam menjelang Ashar. Hari itu matahari seperti neraka yang bocor seupil. Membuat kulitnya terasa terbakar. Membuat kepalanya kliyengan. Ia langsung leyeh-leyeh melepas lelah di bangku panjang ruang tamu sambil mengecek notifikasi WhatsApp. Satu pesan dari sahabat karibnya: "Innalillahi wa innailaihi rajiun. Telah wafat ayahanda kami bla bla bla..."
Ia ikut bersedih. Apalagi, sehari sebelumnya, ia memimpikan rumah kawan yang sudah dianggap seperti saudaranya itu kedatangan banyak tamu. Berdasarkan nubuat gurunya kalau mimpi tersebut adalah ilafat duka-cita. Tapi, ia tidak cerita kepada karibnya. Entahlah.
Ia mengucapkan belasungkawa dan doa dan hadiah fatihah. "Gue sekarang sendirian. Tidak punya ortu lagi, " imbuh sahabatnya. Ia lalu menatap gawainya, membaca dengan hati yang basah.
15.01.18. Ba'da shalat Isya dan makan malam yang alhamdulillah.
Ia menyalakan Mi-nya yang sejak Maghrib sengaja di pasang lambang pesawat. Beberapa notifikasi muncul banyak sekali. Yang terbanyak dari grup WhatsApp. Ia langsung membuka sebuah grup yang salah satunya mencantumkan namanya sebagai admin. "Innalillahi wa innailaihi rajiun. Telah meninggal dunia Habib Abdurrahman Kwitang...bla..bla" Ah, cucu ulama besar Jakarta. Satu lagi ibukota kehilangan putra terbaiknya. Ia bersedih. Ia teringat mimpinya. Ia bersua dengan alm. kakek sang habib setahun lalu. "Sebaiknya, Mas, segera sowan dan berziarah ke Kwitang.." ujar kiai muda yang juga pengurus Jatman dan Matan Jakarta. Ia berharap memiliki kekuatan teleportasi untuk memungkasi nasehat kiai muda dari Cibubur tersebut. Andai.
11.01.18. Pagi di teras rumah dan segelas Caffe Latte yang masih mengepul.
Ia tengah membaca cerpen B.U.D yang ada dalam Muslihat Musang Emas-nya Yusi Avianto Pareanom. Ia suka tokoh dalam dongeng tersebut yang bermain-main dengan permainan kata palindrom. Ia pernah juga dulu bermain-main dengan kata, tapi versi anagramnya. Karena semalaman belum menyalakan gawai, ia menekan tombol pesawat. Hp-nya kembali siuman, dan sejurus kemudian beberapa notifikasi muncul. Dari grup WhatsApp tentu yang paling banyak. Ia memilih membuka grup sekolahnya. "Innalillahi wa innailaihi rajiun. Telah meninggal H. Ikin Muhammad Lukman Sadikin bin H. M. Cholis Hasan. Mohon dimaafkan segala kesalahannya..." satu pesan dikirim oleh kiai muda cemerlang yang punya pesantren di pelosok Bekasi. Ia terdiam. Ia meraba-raba memorinya. Nama itu. Ah, nama almarhum itu adalah pria muda jatmika yang pernah menerjemahkan teks pidatonya untuk lomba pidato bahasa Inggris pada Porseni se-Kabupaten Bekasi dulu. Almarhumlah yang melatihnya melafalkan dengan benar pengucapan beberapa kata dalam bahasa Inggris agar tampak aduhai dan joss. Ia yang bukan siapa-siapa dan bodoh menang juara pertama di ajang tersebut. Kala itu, ia menduga dewan juri sedang kesurupan jin.
Ia memang bukan pendhabit ilmu yang tsiqah, tapi ia ingat dialog terakhir saat bertemu dengan almarhum di Masjid Fathullah UIN Jakarta, tempat ia dan almagfurlah kuliah:
"Sekarang lagi sibuk apa, Bang?"
"Biasalah. Kayak dulu. Cuma ane lagi ambil kelas pengajar Inggris di LIA.."
"Wah...keren."
Konon, menurut catatan adiknya, almarhum abang kelasnya itu pergi menghadap ilahi setelah sebelumnya merampungkan Burdah Bushiri. Ia bungah dan sedih; bungah karena almarhum kelak menjadi salah satu tamu terbaik-Nya, dan sedih karena ia khawatir kembali ke sisi-Nya dalam kondisi keruh dan berdebu dan berjelaga.
Cirebon,
A.Muaz | 17. 01.18.
0 notes
Text
Memori dan Kita
"Kenangan," ujar Oscar Wilde, "adalah buku harian yang akan selalu kita bawa dalam hidup kita." Nama-nama. Tempat-tempat. Tanggal-Tanggal. Tahun-tahun. Benda-benda. Semuanya tidak akan bermakna tanpa kita terlibat dan bertaut di dalamnya. Mereka ada karena manusianya. Karena kita pernah mengalaminya. Entah sekadar sepotong adegan, entah keseluruhan adegan. Kecil. Besar. Sederhana. Kompleks. Kita memaknainya. Kita menyebutnya itu menjadi realitas; realitas di dalam diri kita, di dalam interior batin kita.
Kenangan-kenangan itu. Memori yang melekat di dalam benak kita akan sebentar-sebentar datang dan sebentar -sebentar pergi saat kita menemukan nama-tempat-benda yang sama (sebetulnya mungkin tidak sama; melainkan hanya mirip dan bukankah tidak ada yang serupa di dunia ini karena Dia selalu menciptakan kehidupan yang baru) dalam ruang dan waktu yang berbeda. Ia menjadi penanda-penanda yang kita curigai atau suntuki atau nikmati atau syukuri selama kita masih bernafas. Namun, kita tidak akan pernah mampu membuangnya. Tidak pernah. Pergumulan teks (ingat: teks bisa apa pun) dan konteks melahirkan makna, dan kenangan hasil produksi di dalamnya. Barangkali begitu.
Sejak memahami dan berpikir demikian, saya agak mafhum kenapa sebagian kita ada yang mati-matian ingin membunuh kenangan jelek, dan ada yang berusah-payah ingin menghidupkan kembali kenangan yang baik dimilikinya. Dalam prakteknya, bahkan, yang paling klise (untuk tidak mengatakan norak) seloroh teman saya: seandainya saya bisa membeli kenangan-kenangan itu. Melankolis dan melow. It's okay. Kenanganmu. Milikmu. Perjalananmu. Yang krusial dan kritis adalah, pada bentuk yang paling ekstrem dan destruktif, sebagian kita ada yang ingin menghidupkan kembali kenangan-kenangan itu dengan cara yang paling tidak aduhai. Dan ia minta dukungan berbagai pihak untuk mendukungnya, untuk mewujudkannya. Semoga anda bukan salah satunya. Mari bergembira dengan kenangan yang baik. Mari berdamai dengan kenangan yang buruk. Damai. Hanya itu.
A. Muaz, 14.01.18
(#catatanmuaz: ini status melantur di Ahad pagi; bila ada sesuatu yang berfaedah, silahkan ambil. Bila tidak ada, sebaiknya abaikan saja. Salam sejuk dari bumi Syekh Syarif Hidayatullah) Foto: pixabay.com
1 note
·
View note
Photo
2018 Semoga yang baik-baik, yang hadir, yang mengumpar dan mengisi hidup kita.
0 notes
Photo
And you became like coffee, in the deliciousness, and the bitterness, and the addiction.~Mahmoud Darwish.
2 notes
·
View notes
Photo
Umar dan ibu dan kita yang kerap lupa kepada airmata jiwa.
1 note
·
View note
Quote
You are very lucky if you have someone to whom you can tell about your bad behaviours without them thinking that you are a bad person, but because they know that what is inside you is purer and more beautiful. أنت محظوظ جدا إن كنت تملك شخصا تحكي له تصرفاتك السئة دون أن يفكر بأنك شخص سيء، لأنه يعرف جيدا أن الذي بداخلك أنقى و أجمل
Nizar Qabbani (via nizariat)
Love this one.
267K notes
·
View notes
Photo
Mahmoud Darwish on Life and death.
0 notes
Photo
Gandhi on Palestine.
0 notes
Photo
Oh Jerusalem, the city of sorrow A big tear wandering in the eye Who will halt the aggression? On you, the pearl of religions? Who will wash your bloody walls? --Nizar Qabbani
12 notes
·
View notes